Ceritasilat Novel Online

Naga Sakti Sungai Kuning 11


Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Bagian 11




   "Lo-cian-pwe, apakah kalau sudah begitu, kalau kita sudah percaya sepenuhnya kepada Tuhan, sudah pasrah segalanya kepada Tuhan, kita akan selam at? Apa perlunya kita berobat kalau sakit, menghindar kalau ada bahaya mengancam? Bukankah kita lalu menjadi diam saja dan memasrahkan segalanya kepada Tuhan?" Dalam pertanyaan ini terkandung rasa penasaran. Maklum, seorang gadis muda seperti Hui Im, tidak mudah menangkap inti dari semua ucapan kakek Itu yang mengandung makna dalam sekali.

   Mendengar pertanyaan gadis itu, Sin-Ciang Kai-ong kembali tertawa.

   "Ha-ha-ha, bukan begitu, Nona. Kita diciptakan sebagai mahluk hidup yang tergerak, kita wajib untuk berikhtiar, menjaga dan memelihara diri, namun dengan dasar iman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kalau kita sakit, sudah menjadi kewajiban kita untuk berikhtiar mencari penyembuhannya dengan pengobatan, namun dasarnya harus iman penyerahan kepada Tuhan. Apa pun ya ngditentukan Tuhan, tidak perlu diterima dengan penasaran! Itulah iman! Dunia hanya permainan pikiran. Susah senang hanya timbul karena pikiran ini menimbang-nimbang, membanding-bandingkan memperhitungkan untung rugi yang semuanya bersumber kepada si-aku! padahal, siapakah si-aku ini? Siapakah aku ini? Pernahkah Nona mempertanyakan hal ini kepada diri sendiri! Han Beng, pernahkah engkau bertanya kepada diri sendiri siapakah dirimu dan siapakah engkau?"

   Han Beng terbelalak memandang gurunya. Belum pernah dia bertanya seperti itu, dan mengapa pula harus bertanya? Apakah gurunya ini sudah kumat lagi sintingnya? Kenapa orang harus bertanya siapa dirinya? Siapakah aku ini?

   Karena dia dan Hui Im tidak menjawab pertanyaan itu, Sin-ciang Kai ong yang agaknya juga tidak mengharapkan jawaban, lalu bernyanyi!

   "Siapakah aku ini?
aku bukanlah tubuh yang rapuh ini
aku bukanlah pikiran yang kacau ini
aku bukanlah perasaan yang berubah-ubah ini
aku bukanlah akal budi yang curang ini

   semua itu hanyalah alat bagiku
sangkar rumah tempat tinggalku sementara
semua itu akan menjadi tua
lalu lemah tak berdaya
lalu mati, kembali pada debu hampa!

   Siapakah aku ini?
Sepercik api yang merindukan Matahari
Setetes air yang merindukan samudera

   Setelah menyanyikan sajak itu, Sin-Ciang Kai-ong lalu tertawa terkekeh-kekeh seperti mendengar sesuatu yang amat lucu. Akan tetapi pada saat itu pendengaran Han Beng yang tajam dapat menangkap gerakan atau langkah kaki banyak orang dari jauh, juga suara mereka bicara.

   Tadinya Han Beng dan gurunya menasehati agar Hui Im tinggal saja di tempat persembunyiannya, tidak ikut mereka yang berkunjung ke sarang Ang-kin Kai-pang. Akan tetapi gadis itu memaksa.

   "Aku kehilangan segala-galanya karena Ang-kin Kai-pang, oleh karena itu, baik dibantu oleh Ji-wi (Kalian) atau tidak, aku pasti akan menuntut balas dan menyerbu sarang Ang-km Kai pang dengan taruhan nyawa!"

   Guru dan murid itu terpaksa membiarkan Hui Im ikut, walaupun hadirnya gadis itu menambah beban bagi mereka yang harus melindunginya. Ketika mereka melihat bahwa penjagaan di tempat, itu hanya dipusatkan di pintu depan, Sin-ciang Kai-ong berbisik kepada muridnya dan Hui Im bahwa mereka akan memasuki sarang itu dari tembok belakang. Pagar tembok itu cukup tinggi dan Hui Im memandang dengan ragu-ragu.

   "Aku""". kukira...""" aku tidak mampu melompatinya" katanya lirih kepada Han Beng.

   "Mari kubantu, Nona. Peganglah tanganku erat-erat!" Han Beng berkata kemudian memberi isarat agar mereka meloncat berbareng. Dengan pengerahan tenaganya, mudah saja baginya untuk menambah tenaga loncatan Hui lm sehingga keduanya melayang ke atas pagaar tembok lalu turun ke sebelah dalam.Akan tetapi, begitu tiba di dalam pagar tembok, kakek jembel itu memberi isarat agar mereka tidak mengeluarkan suara. Ternyata rumah itu dijaga ketat sekali, bahkan dikepung penjaga. Tidak ada kesempatan sama sekali bagi mereka untuk menyelinap masuk tanpa diketahui dan kalau ketahuan tentu semua anggota Ang-kin Kai-pang akan melakukan pengeroyokan sehingga mereka tidak sempat melakukan penyelidikan. Maka Sin-Ciang Kai-ong lalu memberi isarat kepada muridnya dan Hui Im untuk keluar lagi.

   "Kita datang saja dari pintu," katanya.

   "Tapi, Suhu. Mereka sudah mengenal kita, tentu mereka akan menyambut dengan pengeroyokan pula."

   "Hemmm, andaikata dikeroyok pun kalau di luar kita lebih leluasa dan tidak ada bahaya alat-alat jebakan. Sukur kalau Koai-tung Sin-kai masih mengingat akan persahabatan antara kami dan mau keluar menemuiku."

   Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, akan tetapi sama sekali bukan karena takut, Han Beng dan Hui im mengikuti jejak jembel itu yang berjalan menuju ke pintu gerbang di mana terdapat banyak sekali anggauta Ang-kin Kai-pang. Ketika mereka bertiga tiba di depan pintu gerbang dan para pengemis itu melihat mereka, tentu saja para anggauta Ang-kin Kai-pang itu menjadi geger. Mereka segera mengenal tiga orang itu dan segera menghadapinya dengan senjata tajam seperti golok, pedang, tombak dan lain-lain. Sebagian pula memegang tongkat pengemis mereka dengan sikap mengancam. Akan tetapi, Sin-ciang Kai-ong menghadapi mereka sambil terkekeh-kekeh.

   "Ha-ha-ha-ha, kalian jangan panik jangan ribut. Aku datang untuk menemui sahabat baikku, Koai-tung Sin-kai, untuk membicarakan kesalahpahaman antara kita tadi. Katakanlah kepadanya bahwa sahabat baiknya yang bernama Sin-ciang Kai-ong datang untuk bicara dengan dia!"

   "Sin-ciang Kai-ong""..?" terdengar seruan-seruan di antara mereka dengan kaget.
Tentu saja nama ini tidak asing bagi meeka, dan mereka pun merasa jerih. Kiranya kakek jembel yang amat sakti dan yang membuat mereka tadi kocar-kacir
adalah Sin-ciang Kai-ong Raja Pengemis dari Propinsi Hok-kian itu! Pantas demikian lihainya, pikir mereka, kini menjadi ragu-ragu untuk lancang tangan.

   "Hayo cepat kabarkan padanya, ataukah kalian mau main-main lagi dengan kami? Akan tetapi hati-hati, sekali ini aku tidak akan menggunakan tangan lunak terhadap kalian!" Dengan ancaman ini, Sin-ciang Kai-ong berhasil membuat mereka semua menjadi jerih beberapa orang lalu lari ke dalam membuat laporan.

   Tak lama kemudian muncullah empat orang pengemis setengah tua yang sabuknya berwarna merah tua, tanda bahwa tingkatnya sudah tinggi. Meraka berempat itu menghadapi Sin-ciang Kai-ong dengan sikap hormat, lalu berkata,

   "Pangcu (Ketua) kami mempersilakan Sam-wi untuk masuk dan menghadap beliau!"

   "Heh-heh-heh, sejak kapan Koai-tu Sin-kai disebut beliau seperti seorang bangsawan tinggi saja? Heh-heh-heh ingin aku melihat mukanya kalau mendengar pertanyaanku ini." Sambil terkekeh-kekeh kakek jembel itu jembel lalu mengajak Han Beng dan Hui Im untuk memasuki sarang Ang-kin Kai-pang. Tentu saja diam-diam Han Beng bersiap siaga menghadapi segala kemungkin karena siapa tahu, para pengemis hanya menjebak saja, seperti menggiring harimau ke dalam perangkap. Pemuda ini agak khawatir melihat suhunya. Suhunya itu sakit, panas dan batuk dan baru sempat makan obat satu kali saja di rumah keluarga Souw. Tentu kesehatannya belum pulih benar dan sekarang memasuki saraang harimau!

   Empat orang pimpinan Ang-kin Kai-pang menjadi penunjuk jalan dan tiga yang tamu itu mengikuti mereka, memasuki sebuah ruangan besar di dalam bangunan. Ternyata isi bangunan itu mewah sekali sehingga berulang kali Sin-Ciag Kai-ong mengeluarkan suara pujian.

   "Wah, bukan main! Aku ini memasuki rumah para pengemis ataukah memasuki istana raja?"

   Ruangan yang mereka masuki itu luas,dua puluh lima meter panjangnya lima belas meter lebarnya. Agaknya tempat ini dipergunakan untuk keperluan kalau banyak orang berkumpul, pesta, tempat atau juga berlatih silat. Di bagian pinggirnya terdapat sebuah meja panjang di mana nampak duduk lima belas orang, mengelilingi meja, dan di kepala meja duduk seorang kakek berjenggot panjang yang sikapnya berwibawa.

   Begitu melihat kakek itu, Sin-ciang Kai-ong (Raja Pengemis Bertangan Sakti) segera menegur dengan suara gembira sekali,

   "Heiiiii! Sin-kai, sejak kapan engkau menjadi seorang raja yang kaya raya?"

   Kakek itu berjuluk Koai-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Bertongkat Setan) dan dia menyambut munculnya seorang "rekan" ini dengan sikap dingin saja tanpa bangkit berdiri, akan tetapi menjawab dengan cukup hormat,

   "Ah, kiranya Kai-ong yang muncul. Silakan duduk, silakan duduk!"

   Han Beng yang berpenglihatan tajam itu melihat betapa sinar mata suhunya berkilat aneh mendengar sambutan itu, namun suhunya yang agaknya melihat atau mendengar sesuatu yang tidak wajar itu bersikap biasa saja, dengan bebas dan tanpa sungkan-sungkan dia pun duduk di atas sebuah kursi kosong dan memberi isarat kepada Han Beng dan Hui Im untuk mengambil tempat duduk pula. Empat orang pengawal tadi mengundurkan diri dan keluar dari ruangan luas itu. Biarpun dalam ruangan itu hanya terdapat belasan orang pimpinan Ang-kin Kai-pang yang dikepalai Koai-tung Sin-kai, namun tiga orang tamu ini maklum bahwa di luar ruangan itu sudah siap puluhan bahwa mungkin ratusan anggauta perkumpulan itu yang Kalau perlu setiap saat dapat diperintahkan menyerbu dan mengeroyok mereka.

   "Koai-tung, kami merasa menyesal sekali bahwa engkau dan muridmu telah menimbulkan keributan di kota raja. Kalau saja aku tidak ingat bahwa diantara kita masih ada hubungan persahabatan dan kita sama-sama menjadi pimpinan pengemis, tentu tadi kalian tidak kubiarkan masuk, dan sudah kusuruh tangkap!"

   Ditegur seperti itu, Kai-ong tertawa tergelak.

   "Ha-ha-ha-ha, akal maling memang begitu, sebelum tertangkap lebih dulu teriak maling agar tertutup kesalahannya. Sin-kai, justeru kedatanganku ini untuk minta keterangan darimu! Muridku ini minta obat kepada toko obat milik Nona Souw ini, untuk mengobati aku yang sedang sakit. Akan tetapi muncul tiga orang anak buahmu yang melarang. Nona Souw memberi kepada muridku. Karena Nona Souw merasa terhina, maka ia lalu melawan tiga orang anak buahmu itu melarkandiri. Kemudian aku dan muridku diundang oleh keluarga Souw, dan tiba-tiba saja para pembantumu muncul bersama pasukan keamanan kota raja melakukan penyerbuan! Sekarang aku datang untuk bertanya kepadamu Sin-kai, apa artinya semua ini? Kenapa sikap anak buahmu jauh sekali dibandingkandahulu?"

   "Hemmm, tidak ada yang berubah pihak kami, Kai-ong. Engkaulah yang berubah karena engkau bersekutu dengan para pemberontak Siauw-lim-pai untuk melawan pasukan pemerintah! Sudah menjadi peraturan kami bahwa seluruh kotaraja dan wilayahnya merupakan wilayah kami, dan pengemis dari mana pun juga yang hendak mengemis disini harus mendapatkan persetujuan kami lebih dulu! Hal ini untuk mencegah terjadinya perebutan dan kesalahpahaman. Akan tetapi muridmu mengemis tanpa lebih dulu memberitahukan kepada kami, tentu saja dilarang oleh para anggauta kami."

   "Aha, begitukah? Dan engkau ber-ekutu dengan pasukan pemerintah untuk menindas rakyat?"

   "Kai-ong!" Tiba-tiba Koai-tung Sin-kai bangkit berdiri dan belasan orang pembantunya juga bangkit berdiri, sikap mereka mengancam.

   "Lancang engkau bicara! Kami adalah golongan rakyat yang baik, bukan pemberontak, tentu saja berbaik dengan pemerintah. Kami tidak menindas rakyat, melainkan menentang para pemberontak. Aku masih menganggap engkau rekan, sama-sama pengemis, dan bahwa keributan itu kau lakukan tanpa sengaja dan karena tidak mengerti. Mengingat itu, berjanjilah bahwa engkau malam ini juga akan keluar dari kota raja dan tidak akan kembali lagi, dan aku akan membebaskan engkau dan muridmu."

   Han Beng sudah merasa penasaran sekali, juga Hui Im yang memandang pada para pimpinan pengemis itu penuh kebencian mengingat bahwa merekalah yang menjadi penyebab hancurnya kelua ganya dan kematian ayahnya. Akan tetapi, Kai-ong juga bangkit sambil tertawa bergelak.

   "Bagus"", bagus""! Ini adalah wilayahmu dan engkau yang berkuasa, Sin-kai, maka biarlah aku mengalah dan akan pergi dari kota raja ini. Nah, sampai jumpa!" Pengemis tua ini lalu menbalikkan tubuhnya, memberi isarat kepada Han Beng dan Hui Im yang masih penasaran untuk mengikutinya keluar dari ruangan itu, langsung keluar dari dalam rumah besar itu. Setelah keluar dan ruangan baru nampak oleh mereka bahwa semua anggauta Kai-pang telah siap siaga dan jumlah mereka banyak kali, mungkin ada seratus orang! Melihat ini, Han Beng diam-diam memuji kecerdikan gurunya, karena kalau harus berkelahi di dalam, di mana pihak tuan rumah sudah siap siaga, mereka sendiri yang akan menderita kerugian.

   Setelah keluar dari rumah itu, Kai-ong mengajak dua orang muda itu pergi ke tempat yang sunyi. Sekarang Han Beng memperoleh kesempatan untuk bertanya.

   "Suhu, kenapa kita harus menuruti perintahnya"

   Gurunya tertawa.

   "Ha-ha, itu bukan perintah dari Koai-tung Sin-kai, Han Beng."

   "Bukan dia? Bukankah yang berjenggot panjang tadi, yang bicara dengan suhu, adalah Koai-tung dan Suhu juga menyebutnya Sin-kai?"

   "Justeru sebutan itulah yang meyakinkan hatiku bahwa dia bukan Koai-tung Sin-kai dan aku sudah bersahabat erat sekali sehingga sebutan-sebutan antara kita sudah amat bebas. Aku menyebutnya Lo-koai (Setan Tua), bukan Sin-kai dan tadi sengaja aku menyebutnya demikian untuk melihat sambutannya. dan dia menyebut aku Kai-ong (Raja jembel) padahal biasanya dia menyebutku Lo-kai (Jembel Tua). Nah, bukankah itu merupakan bukti kuat bahwa bukan sahabatku itu? Memang wajahnya mirip, jenggotnya juga mirip, akan tetapi aku yakin bukan dia! Sinar matanya juga berbeda. Orang dapat memulas dan mengubah muka untuk menyamar, akan tetapi tidak mungkin mengubah sinar-mata."

   "Ah, begitukah?" Han Beng terkejut, dan Hui Im juga kaget mendengar ini.

   "Lalu apa yang akan Suhu lakukan sekarang?"

   "Aku yakin bahwa telah terjadi sesuatu di Ang-kin Kai-pang, sesuatu yang yan amat dirahasiakan mengenai diri Koai tung Sin-kai yang sesungguhnya. Ini tentu ada hubungannya dengan perubahan sikap para anggauta Ang-kin Kai-pang yang condong untuk menjadi sewenang-wenang. Malam ini juga aku akan melakukan penyelidikan, apa yang terjadi dengan Lo-koai dan di mana dia searang berada. Kalian berdua menunggu saja di dalam hutan ini karena lebih leluasa melakukan penyelidikan sendirian saja."

   "Akan tetapi, Suhu sedang sakit, biarlah teecu saja yang melakukan penyelidikan," kata Han Beng.

   Kai-ong melirik ke arah Hui Im lalu menggelengkan kepalanya.

   "Penyakit tidak penting, akan tetapi karena aku yang mengenal Lo-koai yang aseli, maka sebaiknya aku yang pergi sendiri Engkau dan Nona Souw bersembunyi dalam hutan ini dan engkau tentu dapa melindunginya kalau ada bahaya mengancam. Nah, aku pergi sekarang juga'" Kakek itu berkelebat dan lenyap dari situ, akan tetapi pendengarannya yang tajam dari Han Beng membuat dia mampu mendengar suara terbatuk-batuk itu dari jauh. Suhunya belum sembuh!

   Setelah kakek itu pergi, Han Ben berdiri saling pandang dengan Hui Im. Sinar bulan memungkinkan mereka saling melihat wajah masing-masing, waalaupun hanya remang-remang. Han Beng melihat gadis itu menunduk dan menarik napas panjang. Tentu teringat akan keadaannya dan duka melanda hatinya la pikirnya. Untuk mengalihkan perhatian dia lalu berkata,

   "Nona, untuk mengusir nyamuk dan dingin, sebaiknya kita membuat api unggun."

   "Apakah tidak berbahaya? Bagaimana kalau terlihat oleh musuh?"

   "Saya kira tidak, Nona. Kalau memang pihak Ang-kin Kai-pang hendak menyerang kita, tentu sudah dilakukan tadi ketika kita berada di sana. Agaknya mereka itu ragu-ragu dan jerih menghadapi Suhu yang namanya sudah terkenal sekali."

   Han Beng mengumpulkan kayu kering lalu membuat api unggun. Mereka duduk
menghadapi api unggun."Engkau mengaso dan tidurlah, Nona, biar aku yang
berjaga di sini sambil menanti kembalinya Suhu."

   Gadis itu menggeleng kepala dan merenung memandangi api yang merah.

   "Bagaimana dalam keadaan seperti ini aku dapat tidur? Lo-cian-pwe sedang melakukan perjalanan berbahaya dan engkau sendiri juga melakukan penjagaan. Kalau kuingat, betapa bodohnya aku, Tai-hiap, mengira bahwa engkau seorang pengemis biasa. Tidak tahunya gurumu adalah seorang Lo-cian-pwe yang sakti dan engkau sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi."

   "Ah, engkau terlalu memuji-muji Nona. Buktinya, aku tidak mampu melindungi Ayahmu dan Susiokmu sehingga mereka menjadi korban"

   "Jumlah musuh terlalu banyak, Tai-hiap, dan Ayah bersama Susiok terlalu nekat. Mereka itu amat mendendam atas terbakarnya kuil Siauw-lim-si."

   Keduanya berdiam diri sampai berapa lamanya, termenung memandang api unggun yang nyalanya merah keemasan. Tiba-tiba gadis itu mengangkat mukanya memandang. Mendengar gerak ini, Han Beng juga mengangkat muka Mereka saling pandang.

   "Tai-hiap""."

   "Nona, kuharap engkau jangan menyebut aku tai-hiap. Sungguh tidak enak hati ini mendengarnya. Lihat, aku tidak hanya seorang pemuda jembel, sungguh menggelikan dan memalukan kalau terdengar orang lain seorang gadis seperti engkau menyebutku tai-hiap." Dia berhenti dan menatap wajah yang manis di bawah cahaya api unggun.

   "Namaku Han Beng, Nona."

   Hui Im kelihatannya kebingungan, dan dengan gugup, seperti orang yang baru berkenalan dan saling memperkenalkan diri, ia pun menjawab.

   "Namaku Souw Hui Im" ah, lalu" aku harus menyebut apa?"
(Lanjut ke Jilid 12)
Naga Sakti Sungai Kuning/Huang Ho Sin-liong (Seri ke 01 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12
"Terserah, asal jangan tai-hiap saja!" jawab Han Beng sambil tersenyum.

   "Bolehkah aku menyebutmu Toako (Kakak Besar)?"

   "Tentu saja boleh," kata Han Beng dengan wajah berseri,

   "dan aku akan menyebutmu Siauw-moi (Adik Kecil)."

   Sejenak mereka diam, hanya menunduk. Perubahan panggilan itu saja amat terkesan di dalam hati masing-masing dan membuat mereka merasa malu-malu dan sungkan. Memang dua orang muda Ini memiliki watak yang sama, yaitu pendiam sehingga sukarlah bagi mereka untuk memulai bicara, tidak tahu apa vang harus mereka bicarakan. Akhirnya, dengan menekan hatinya mengumpulkan keberanian, Hui Im berkata dengan suara lirih.

   "Twako, engkau telah mengetah keadaan diriku. Aku kini yatim piatu tidak mempunyai apa-apa lagi. Akan tetapi aku belum mengetahui riwayatmu Twako. Sudikah engkau menceritakannya kepadaku?"

   Han Beng menarik napas panjang, Riwayatnya amat tidak menarik, akan tetapi dia teringat bahwa keadaannya yang mirip dengan keadaan gadis tentu akan dapat menghibur hati Hui membuka mata gadis itu bahwa ia tidak seorang diri saja hidup sebatangkara dunia ini, tidak mempunyai apa-apa! lalu dia memandang gadis itu dan tersenyum baru dia menjawab.

   "Siauw-moi, keadaan diriku pun tidak banyak bedanya denganmu. Ayah ibuku telah tiada, tewas di tangan orang orang kang-ouw di Sungai Kuning ketika keluarga kami melarikan diri dari kerja paksa. Aku sendiri tidak tahu si pembunuh mereka, karena ketika itu terjadi keributan di antara orang-orang kang-ouw yang memperebutkan anak naga di Sungai Huang-ho. Aku tidak mempunyai keluarga lagi, sebatangkara dan seperti kaulihat, aku hidup dengan guruku, dan kami hanyalah pengemis-pengemis miskin yang tidak mempunyai tempat tinggal."

   "Ahhhhh""" kasihan sekali engkau, Twako," kata gadis itu dengan tulus.

   "Sudahlah, Siauw-moi, tidak ada gunanya kita memupuk iba diri seperti katakan Suhu tadi. Iba diri hanya menumbuhkan duka dan kecil hati. Bagaimanapun juga, kita masih hidup dan dunia ini cukup luas, bukan? Matahari beesok masih akan bersinar terang dan lihat, ...biarpun bulan mulai tenggelam, sebagai gantinya nampak begitu banyaknya bintang cemerlang di langit. Sesungguhnya kita tidak sebatangkara di dunia ini, Siauw-moi. Bukankah banyak terdapat manusia-manusia budiman di dunia ini yang dapat kita harapkan menjadi keluarga kita?"

   Gadis itu mengangguk.

   "Engkau benar, Twako. Ah, kalau tidak bertemu dengan engkau dan Lo-cian-pwe, entah bagaimana jadinya dengan diriku. Muungkin aku sudah putus asa menghadapi keadaan seperti ini."

   "Sudahlah, Siauw-moi, lebih baik engkau beristirahat. Engkau perlu mengumpulkan tenaga. Siapa tahu, tenagamu dibutuhkan besok. Tidurlah, biar aku yang berjaga di sini."

   Karena merasa dirinya lelah sekali dan seluruh tubuh terasa lemas karena duka, gadis itu mengangguk, merebahkan diri miring dan sebentar saja pun napasannya yang lembut menunjukkan bahwa ia telah jatuh tidur. Sampai lama Han Beng mengamati wajah yang tidur pulas itu, wajah manis yang seperti sinar api unggun dan hatinya terger. Dia sendiri tidak mengerti mengapa sejak pertemuan pertama kali, sejak di diberi obat oleh gadis itu, dia merasa tertarik sekali, ada rasa suka dan kagum, dan kedua perasaan itu kini tambah dengan rasa iba yang mendalam. Ada perasaan di dalam hatinya untuk menghiburnya, untuk menyenangkan hatinya, untuk membahagiakan hidupnya.

   Apakah yang dinamakan cinta? Dia tidak mampu menjawabnya.

   Sementara itu, dengan cepat Sin-Ciang Kai-ong lari meninggalkan muridnya, bukan karena tergesa-gesa, melainkain karena dia tidak ingin kalau batuknya terdengar oleh murid itu. Sejak tadi dia sudah menahan diri, menahan agar tidak terbatuk, padahal kerongkongannya gatal sekali dan napasnya sesak. Ia tahu bahwa kesehatannya memang belum pulih. Dia harus bertindak cepat. Rahasia yang menyelimuti Ang-kin Kai-Kai.pang dan yang agaknya membuat perkumpulan itu berubah menjadi jahat, harus dapat dibongkarnya. Setelah tiba diluar tembok yang mengelilingi bangunan arang Ang-kin Kai-pang, dia lalu melakukan pengintaian. Kebetulan sekali dia melihat seorang anggauta perkumpulan itu yang bersabuk merah cerah, tanda bahwa dia bertingkat dua, keluar dari pintu gerbang. Diam-diam dia membayanginya dan pengemis yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu menuju ke sebuah rumah tak jauh dari sarang Ang-kin Kai-pang itu.

   Pengemis itu berperut gendut bertubuh agak pendek, mukanya merah d hidungnya besar. Dia mengetuk dan jendela rumah itu, bukan mengetuk pintu. Hal ini saja menimbulkan kecurigaan di hati Sin-ciang Kai-ong dan dia melakukan pengintaian tak jauh dari situ.

   "Siapa?" terdengar suara wanita dari dalam, lirih.

   "Aku, Hong-moi, bukalah dan biarkan aku masuk."

   "Ihhh, kenapa baru sekarang kau datang? Begini larut?" tegur suara warnita itu dan jendela belum juga dibuka.

   "Gara-gara Sin-ciang Kai-ong keparat itu! Kami menjadi sibuk dan melakukkan
penjagaan. Baru sekarang aku dapat meninggalkan gardu penjagaan, aku rindu
kali padamu, bukalah jendelanya "

   "Sudah terlalu larut, sebentar lagi suamiku pulang."

   "Aaahhh, jangan khawatir. Sebentar saja. Bukalah dan biarkan aku masuk
Manis""""

   Daun jendela dibuka dari dalam dan biarpun tubuhnya gemuk dengan perut gendut, laki-laki itu meloncat dengan gesitnya bagaikan seekor burung saja meluncur ke dalam melalui jendela yang segera ditutup kembali.

   Akan tetapi, belum ada lima menit Si gendut itu memasuki rumah itu, pintu depan diketuk orang dengan kerasnya. Seorang pria mengetuk pintu rumahnya, berteriak kepada penghuni rumah itu untuk membuka pintunya. Sin-ciang Kai-ong mengintai dari atas genteng dan mendengar suara wanita tadi di dalam rumah.

   "Celaka! Itu suamiku datang! Lekas kau pergi, aku akan membuka pintunya."

   "Hemmm, jahanam itu! Berani dia mengganggu kesenanganku? Biar kuhajar mampus dia!"

   "Jangan"", jangan"" dia itu suamiku"""""

   "Hemmm, jangan cerewet! Buka pintunya dan biarkan dia masuk!" pengemis gendut itu membentak.

   Sin-ciang Kai-ong sudah melayang turun dan mengintai dekat pintu depan jika daun pintu dibuka dari dalam. tiba-tiba, sesosok bayangan gendut melayang keluar dan menghantamkan tongkatnya ke arah kepala suami wanita yang baru datang itu.

   "Trakkk!" bukan kepala suami itu yang remuk, melainkan tongkat itu patah-patah ditangkis oleh tongkat di tangan Sin-ciang Kaj-ong. Si Gendut terbelalak kaget, akan tetapi sebelum dia dapat bergerak, tangan kiri Sin-ciang Kai-ong sudah menyambar ke arah punuknya dan dia pun terkulai lemas. Tentunya suami wanita itu menjadi terkejut dan terheran-heran. Sin-ciang Kai"ong menyeret pengemis gendut itu dan berkata kepada suami yang keheranan itu.Kebaiknya engkau jangan meninggalkan rumah di malam hari agar rumahmu. tidak diganggu oleh orang-orang jahat.

   "berkata demikian, dia melompat membawa tubuh gendut itu seolah-olah menenteng benda yang ringan saja. Suami Isteri itu bengong karena dalam sekejap mata saja pengemis tua itu lenyap dari depan mereka.

   "Hayo katakan, di mana adanya Koai-tung Sin-kai?" untuk ke tiga kalinya Si ciang Kai-ong membentak. Pengemis gendut itu rebah telentang di depan di tepi sebuah hutan di luar kota.

   Pengemis gendut mencoba untuk menggerakkan tubuhnya, akan tetapi tidak dapat dia bergerak karena tubuhnya sudah lumpuh oleh totokan. Seperti tadi, dia menjawab,

   "Sudah kukatakan bahwa Pangcu berada di Asrama! Buka kah tadi engkau datang berkunjung d melihat sendiri?" Sikap Si Gendut itu masih angkuh karena dia mengira bahwa kakek jembel yang disebut Sin-cia Kai-ong dan namanya amat terkenal ini agaknya jerih terhadap ketuanya, Koai-tung Sin-kai.

   "Engkau bohong!" Kakek itu membentak.

   "Dia bukan Koai-tung Sin-kai. Dia hanyalah ketua yang palsu! Ya kutanyakan, di mana Koai-tung Sin-ka yang aseli?"

   Si Gendut membelalakkan matanya jelas nampak bahwa dia kaget bukan main.

   "Siapa bilang bahwa Pangcu kami palsu?"

   "Tak perlu kautahu siapa yang bilang, yang penting kaukatakan di mana Pangcu yang aseli? Dan siapakah ketua palsu itu sebenarnya?"

   Si Gendut memandang dengan wajah berubah pucat, lalu membuang muka kesamping dan berkata,

   "Aku tidak tahu!" Sin-ciang Kai-ong menambah kayu kering pada api unggun di dekat mereka sehingga api bernyala tinggi dan sinar-menimpa Si Gendut yang pucat, kemudian, tiba-tiba tangan kiri kakek jembel itu bergerak, cepat bukan main dan dia sudah menotok dua kali, pertama ke arah leher, dan ke dua kalinya arah pundak.

   Si Gendut terbelalak, mulutnya terluka seperti hendak menjerit-jerit, akan tapi tidak ada suara keluar dari mulutnya, dan mukanya kini penuh kerut-kerut tanda bahwa dia menderita nyeri yang luar biasa hebatnya. Sin-ciang Kai-ong membiarkan dia menderita bebepa menit lamanya, lalu membebaskan totokannya sehingga rasa nyeri itu lenyap dan Si Gendut mampu bicara kembali.

   "Nah, jawablah pertanyaanku dengan baik-baik. Di mana adanya pangcu yang aseli dan siapa pangcu yang palsu itu?"

   Si Gendut itu kini menangis. Rasa nyeri dan tak berdaya membuat dia dipenuhi rasa takut, sedih, dan penasaran.

   "Aku""" aku tidak berani""" tidak berani menjawab"""""

   Dia sudah mengatakan tidak berani, bukan tidak tahu lagi dan ini merupakan kemajuan, pikir Sin-ciang K ong. Tiba-tiba dia menyeret tubuh si Gendut, didekatkan pada api dan menarik lengannya, lalu membakar tangan kiri Si Gendut itu pada api unggun. Tercium bau sangit dan Si Gendut mengerang kesakitan. Ketika Sin-ciang Ka ong menarik kembali lengan itu, jari-jari tangan kiri Si Gendut melepuh hangus!

   
Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Engkau masih belum berani jawab? Akan kubakar tubuhmu sedikit demi sedikit sampai habis terbakar!" kakek itu mengancam.

   Si Gendut menjadi ketakutan. Ancaman bahaya dari ketuanya masih jauh, masih belum terasa, akan tetapi ancaman Sin-ciang Kai-ong ini sudah di depan mata dan sudah dirasakannya pula.

   "Baiklah"" aku...""" aku mengaku""""

   Dengan suara tersendat-sendat dia lalu menceritakan keadaan Ang-kin Kai-pang yang aneh. Kiranya telah terjadi hal-hal hebat di dalam asrama Ang-kin Kai-pang. Seorang musuh besar dari Koai-tung Sin-kai, yaitu seorang datuk sesat dari selatan yang berjuluk Lam-Sin Hui Houw (Harimau Terbang dari Gunung Selatan), mendendam kepada Koai-tung Sin-kai yang menjadi ketua Ang-kin Kai-pang di kota raja. Pernah Si Harimau Terbang ini dihajar oleh Koai-tung Sin-kai dalam suatu bentrokan ketika datuk ini melakukan kejahatan di kota raja. Dengan hati penuh dendam, si Harimau Terbang melarikan diri kembali ke selatan di mana dia menggembleng diri dan memperdalam ilmu silatnya. Sepuluh tahun kemudian, menjadi seorang yang amat lihai dengan belasan orang anak buahnya yang sudah terlatih dan masing-masing memiliki kepandaian tinggi, kembalilah dia ke kota raja dan mengunjungi Ang-Kin Kai-pang.

   Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil membalas kekalahannya, bahkan dia merobohkan Koai- tung Sin-kay, menangkapnya dan menawannya ke dalam tahanan di bawah tanah. Dia sendiri, dengan ilmu penyamaran yang telah dipelajarinya, lalu menyamar sebagai Koai-tung Sin-kai menjadi orang yang berkuasa di perkumpulan Ang-kin Kai-pang itu. Mulanya memang para anggauta perkumpulan itu merasa heran sekali akan perubahan sikap dan watak ketua mereka. Akan tetapi karena ketua mereka bersikap keras mereka pun tidak berani banyak bertanya. Apalagi ketua mereka itu mempunyai pembantu-pembantu yang amat lihai. Demikianlah, setahun yang lalu mulai terjadi perubahan besar dari perkumpan pengemis itu.

   "Ketua kami yang sekarang, yang menyamar sebagai Koai-tung Sin-kai sesungguhnya adalah Lam-san Hui-houw si Gendut mengakhiri ceritanya.

   Sin-ciang Kai-ong mengangguk-angguk. Sudah diduganya demikian.

   "Akan tetapi di mana adanya Koay-tung Sin-kai yang aseli? Ditawan di mana?"

   "Di dalam kamar bawah tanah," kata Si Gendut yang sudah terlanjur membuat pengakuan. Dia merasa kepalang tanggung dan diceritakanlah tentang keadaan penjara bawah tanah itu. Yang ditawan di situ selain Koai-tung Sin-kai, juga ada kurang lebih sebelas orang pimpinan Ang-kin Kai-pang yang megetahui rahasia itu dan yang memberontak terhadap ketua palsu.

   Setelah menguras pengakuan dari Si Gendut itu, Sin-ciang Kai-ong lalu menotoknya lagi dan meninggalkan Si Gendut dalam keadaan tak mampu bergerak itu di dalam hutan. Tentu saja Si Gendut ini ketakutan bukan main, bukan hanya takut kepada Lam-san Hui-hou yang rahasianya sudah dia buka, akan tetapi juga takut kalau-kalau muncul harimau atau binatang buas lain da menerkam dia yang tidak mampu bergerak karena tertotok itu. Rasa takutnya ini ternyata kemudian menjadi kenyataan. Terdengar gerengan-gerengan dalam hutan itu dan kalau orang melihat di mana Si Gendut itu ditinggalkan, dan hanya akan menemukan sisa-sisa pakaian dan potongan-potongan badan yang tidak sampai tertelan oleh binatang buas dan kini potongan-potongan itu pun sedang diperebutkan antara beberapa ekor anjing hutan dan burung-burung gagak dan pemakan bangkai yang lain.

   Sin-ciang Kai-ong sendiri lalu lari cepat menuju ke asrama Ang-Kin Kai-pang. Matahari pagi sudah mulai bersinar. Ketika dia tiba di dekat pintu gerbang kota raja, sesosok bayangan muncul dari balik pohon dan ternyata bayangan ini adalah Si Han Beng.

   "Eh, engkau di sini?" tanya Sin-cia Kai-ong.

   "Di mana Nona Souw?"

   "Setelah Suhu pergi, teecu mengkhawatirkan keselamatan Suhu yang masih belum sehat benar. Nona Souw teecu suruh menanti di dalam hutan itu dan teecu menyusul ke sini."

   "Bagus kalau begitu. Memang aku membutuhkan bantuanmu, Han Beng. Engkau tahu, sahabatku Koai-tung Sin-kai benar-benar mereka tawan dan yang kini bertindak sebagai Koai-tung Sin-kai adalah seorang datuk sesat dari selatan berjuluk Lam-san Hui-houw." Kakek itu menceritakan apa yang didengarnya dari kaki tangan ketua palsu itu. Han Beng mendengarkan dengan heran dan juga kagum akan kecerdikan gurunya yang ternyata telah menduga tepat sekali
.
"Sekarang, apa yang akan Suhu lakukan dan apa yang harus teecu lakukan?"

   "Aku akan mencoba untuk membebaskan sahabatku Koai-tung Sin-kai dan para pembantunya yang ditawan, dan engkau dapat membantuku, Han Beng." Kakek itu lalu berunding dengan muridnya dan mengatur siasat agar dia berhasil membebaskan para tawanan itu dan membongkar rahasia kejahatan Lam-sar Hui-houw.

   Munculnya Han Beng di depan asrama Ang-kin Kai-pang tentu saja menimbulkan keributan lagi pada perkumpulan itu. Belasan orang anggauta Ang-kin Kai-pang sudah menyambut dengan senjata di tangan, mengepung pemuda yang dianggap sebagai musuh besar atau biang-keladi keributan yang terjadi antara mereka dengan keluarga Souw. Mereka merasa heran dan penasaran bagaimana pemuda ini berani muncul lagi seorang diri!

   Melihat mereka semua siap untul mengeroyoknya, Han Beng mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata lantang,

   "Saudara-saudara, dengarlah baik baik. Aku, Si Han Beng, datang untul menantang ketua Ang-kin Kai-pang untuk keluar dan mengadu kepandaian denganku! Aku merasa berdosa kepada keluarg Souw karena aku yang menjadi biang keladi sehingga keluarga itu dimusuhi dan diserbu oleh Ang-kin Kai-pang. Maka, aku ingin membalaskan penasaran mereka, dan aku tantang ketua Ang-kin Kai-pang untuk keluar dan melawan aku kalau memang dia seorang gagah!"

   Akan tetapi, para pengemis Ang-kin Kai-pang tentu saja memandang rendah kepadanya. Pemuda jembel dari luar kota seperti itu menantang ketua mereka yang lihai? Merendahkan sekali!

   "Engkau tidak pantas dilayani ketua kami!"

   "Bunuh anjing busuk ini!"

   "Keroyok dan bunuh dia!"

   Belasan orang itu menyerbu dan mengeroyok Han Beng, sedangkan dari dalam dan luar asrama itu datang berlarian lebih banyak lagi para anggauta Ang-Kin Kai-pang. Selain para pembantu ketua palsu itu yang memang terdiri dari orang-orang sesat, para anggauta Ang-Kin Kai-pang adalah orang-orang gagah. Akan tetapi selama satu tahun lebih mereka dipimpin oleh seorang ketua yang sama sekali berubah wataknya, yang mempunyai pembantu-pembantu yang mengutamakan tindakan kekerasan kejahatan maka sedikit banyak merekapun terpengaruh. Perbuatan buruk jahat memang seperti penyakit menular mudah sekali menular kepada orang lain. Sebaliknya, perbuatan baik sukar sekali menjadi contoh dan tak banyak orang mau mengikutinya. Hal ini adalah karena perbuatan buruk itu hampir selalu didorong oleh pamrih demi kesenangan pribadi. Justeru kesenangan pribadi inilah yang menarik hati setiap orang maka berbondong-bondong mereka mengikuti contoh ini demi menikmati kesenangan itulah. Sebaliknya, perbuatan baik hampir selalu meniadakan atau mengurangi keinginan menyenangkan diri pribadi yang berarti bahwa untuk melakukan perbuatan baik orang hampir selalu menderita rugi, baik rugi lahir maupun rugi batin. Maka sudah barang tentu jarang ada yang mau melakukannya.

   Melihat betapa belasan orang anggauta Ang-kin Kai-pang itu, dengan segala macam senjata, menerjangnya berbagai penjuru, Han Beng lalu mengamuk! Dia berhasil merampas sebatang tombak, mematahkan ujungnya yang runcing sehingga tombak itu berubah menjadi sebatang tongkat dan dia pun mengamuk dengan memainkan ilmu tongkat yang dipelajarinya dari Sin-ciang Kai-ong. Dan memang hebat sekali ilmu tongkat ini. Dalam pandangan para pengeroyoknya, tubuh Han Beng seolah-olah menjadi banyak, dan tongkatnya pun menjudi puluhan banyaknya, menyambar-nyambar dan kadang-kadang berubah menjadi gulungan sinar yang setiap kali menyambar senjata lawan tentu membuat senjata itu terlepas dari tangan pemegangnya dan terpental jauh.

   Melihat kehebatan gerakan pemuda ini, para anggauta Ang-kin Kai-pang yang tadinya hanya menonton, segera terjun ke dalam pertempuran dan semakin banyak yang kini mengeroyok pemuda itu. Hal ini menyenangkan hati Han Beng, karena memang sesuai dengan siasat gurunya, dia ingin memancing keluar semua orang yang berada di dalam asrama itu. Sambil terus memutar tongkatnya ke sana-sini, merobohkan para pengeroyok dengan sapuan tongkatnya, tamparan tangan kiri atau tendangan-tendangan kedua kakinya, dia tiada hentinya berteriak menantang kepada ketua Ang-kin Kai-pang

   "Mana ketua Ang-kin Kai-pang? Hayo Pangcu, kalau engkau memang bukan pengecut, keluarlah dan tandingilah aku!" Teriaknya nyaring dan terdengar sampai ke dalam. Teriakan bukan saja untuk mengejek sehingga ketua Ang-kin Kai-pang itu akan keluar, akan tetapi juga untuk memberi isarat kepada gurunya yang dia percaya sudah berada di dalam, isarat bahwa agaknya para anggauta Ang-kin Kai-pang telah keluar semua mengeroyoknya, kecuali ketuanya
.
Tidak salah perhitungan Han Ben Ketua itu memang sejak tadi mengintai dan diam-diam ketua palsu itu terkejut melihat sepak terjang Han Beng. Tahulah dia bahwa para pembantunya bukan tandingannya pemuda lihai itudan dia sendiri yang harus turun tangan. Betapapun lihainya pemuda itu, kalau dia turun tangan sendiri dibantu para jagoan dan para anggautanya yang cukup banyak, tidak mungkin pemuda itu tidak akan lapat dirobohkan!

   "Pemuda sombong, mampuslah!" bentaknya dan dia pun sudah meloncat keluar dari tempat pengintaiannya dan dengan sebatang tongkat yang panjang dan bentuknya seperti seekor ular, ketua Ang-kin Kai-pang menerjang Han Beng dengan dahsyatnya!

   "Tuk-tuk-desssss""!" Pertemuan tongkat ular dan tongkat di tangan Han Beng mendatangkan getaran hebat, dan keduanya merasakan betapa lengan mereka tergetar dan tubuh terguncang. Han Beng terkejut dan memandang kakek itu, diam-diam dia bersikap hati-hati karena ternyata, palsu atau tidak, ketua Ang-kin Kai-pang ini sungguh lihai dan tidak oleh dipandang ringan sama sekali. Sebaliknya, Koai-tung Sin-kai palsu itu pun memandang dengan mata terbelalak.

   dia tadi telah mengerahkan tenaga sin-Kang pada ayunan tongkatnya, namun selalu dapat ditangkis oleh tongkat pemuda itu dengan kekuatan yang tidak kalah dahsyatnya. Dengan marah dan penasaran, ketua Ang-kin Kai-pang itu memberi isarat kepada para pembantunya untuk mengeroyok.

   "Bunuh bocah sombong ini!" teriaknya dan ketika para pembantunya sudah mengepung dan mengeroyok lagi, dia pun menggerakkan tongkatnya dan ikut pula mengeroyok!

   Kalau tadi dikeroyok oleh pulu orang anggauta Ang-kin Kai-pang masih dapat menahan diri dan mengamuk, kini setelah ketuanya maju sendiri ikut mengeroyok, Han Beng mu terdesak hebat. Ketua itu sendiri sua amat lihai, merupakan seorang lawan yang harus dihadapinya dengan pengerahan tenaga dan perhatian, maka pengeroyokan banyak sekali lawan itu saja membuat perhatian dan tenaganya terbagi dan beberapa kali serangan dahsyat yang dilakukan ketua Ang-kin Kai-pang itu membuatnya terhuyung kebelakang. Namun, dengan permainan tongkat yang dipelajarinya dari Sin-ciang Kai-ong yaitu Ilmu Tongkat Dewa Mabuk, ditambah lagi dengan gerakan Hui-tiauw kun (Silat Sakti Rajawali Terbang) dari gurunya pertama, Sin-tiauw Lui Rhok Ki yang membuat tubuhnya dapat "beterbangan" di antara sambaran senjata-senjata lawan, Han Beng mengamuk dan melakukan perlawanan mati-matian. Akan tetapi, dia selalu berlompatan menjauhi ketua Ang-kin Kai-pang yang amat lihai itu.

   Akan tetapi, Koai-tung Sin-kai yang palsu terus mengejarnya dan mendesaknya. Permainan tongkat dari Koai-tung Sin-kai memang hebat dan diam-diam Han Beng harus mengakui bahwa orang yang memalsukan Koai-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan) itu memang tepat menjadi Koai-tung Sin-kai palsu. Permainan tongkatnya benar-benar amat hebat. Andaikata dia harus melawan kakek itu satu lawan satu, dia merasa yakin takkan terdesak dan agaknya masih mampu untuk mengalahkannya. Namun, dia dikeroyok banyak sekali orang, dan belasan orang pembantu Koai-tung Sin-kai juga rata-rata miliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi sedangkan puluhan anggauta perkumpulan pengemis itu pun semua masing-masing memiliki kepandaian silat. Pengeroyokan yang ketat itu membuat Han Beng lelah dan beberapa kali tubuhnya telah menerima hantaman tongkat dan bacokan golok yang membuat pakaiannya robek-robek dan sedikit kulit tubuhnya lect karena dia sudah melindungi tubuh dengan tenaga sin-kang yang membuat kebal.

   Betapapun juga, Han Beng mengerti bahwa kalau pengeroyokan itu dilanjutkan, akhirnya dia akan roboh juga. utung bahwa selama ini, dia selalu dapat menghindarkan diri dari serangan tongkat ketua Ang-kin Kai-pang yang terus mendesaknya, dan hanya pukulan-pukulan para anggauta perkumpulan itu saja yang sempat mengenai tubuhnya. Kalau tongkat kakek ketua itu yang mengenai tubuhnya, sungguh berbahaya karena belum tentu kekebalannya mampu melindungi tubuhnya.

   Pada saat itu, terdengar teriakan Melengking nyaring yang mengejutkan semua orang.

   "Tahan, semua senjata! Saudara-saudara para anggauta Ang-kin Kai-pang, tahan senjata dandengarkan kata-kataku!"

   Semua orang terkejut karena suara itu mengandung getaran kuat dan mereka semua menengok ke arah suara itu. Kiranya seorang kakek telah berdiri diatas wuwungan sehingga nampak oleh mereka semua. Para anggauta Ang-kin Kai-pang yang lama tentu saja mengenal Sin-ciang Kai-ong dan mereka memang tadinya sudah merasa terheran-heran mendengar akan kunjungan Sin-ciang Kai-ong yang agaknya menentang kebijaksanaan ketua mereka. Padahal, dahulu Sin-ciang Kai-ong adalah sahabat baik ketua mereka.

   Sin-ciang Kai-ong berdiri di atas wuwungan itu dan kini dia memandang kepada ketua Ang-kin Kai-pang yang nampak marah.

   "Jangan dengarkan jembel tua busuk itu!" teriaknya kepada anak buahnya.

   "Bunuh pemuda sombong ini, dan bunuh pula Sin-ciang Kai-ong yang jelas ingin memusuhi kita!"
Mendengar ini, para pengemis sudah menggerakkan senjata lagi hendak melanjutkan pertempuran.

   "Tahan dulu dan biarkan aku bicara Sin-ciang Kai-ong membentak, suaranya mengatasi suara gaduh para pengemis itu.

   "Saudara-saudara para anggauta Ang-kin Kai-pang tentu merasa betapa dalam setahun ini telah terjadi perubahan besar dalam sikap ketua kalian! Dengarlah baik-baik dan lihat! betul-betul bahwa ketua kalian ini adalah seorang ketua palsu, dia sama sekali bukan Koai-tung Sin-kai! Dia adalah orang luar yang menyamar menjadi ketua kalian dan menyeret kalian ke jalan jahat!"

   Tentu saja ucapan ini disambut dengan seruan-seruan kaget, heran tidak percaya. Para pengemis itu memandang kepada ketua mereka dan tak seorang pun di antara mereka meragukan bahwa ketua mereka itu masih tetap Koal-tung Sin-kai!

   "Bohong!" teriak ketua Ang-kin Kai-Pang itu.

   "Dia bohong! Aku adalah Koai-Tung Sin-kai!"

   "Bohong"".. ! Bohong""..!" teriak pula para pembantu ketua itu dan banyak mulut anak buah perkumpulan itu pun berteriak bohong karena mereka sama kali tidak melihat kelainan pada ketua mereka.

   "Aku tidak bohong! Dia bukan sahabatku Koai-tung Sin-kai, akan tetapi ia adalah Lam-san Hui-houw seorang Datuk sesat dari selatan!" Kembali teriakan ini membuat semua orang tertegun, dan diam-diam ketua Ang-kin Kai-pang terkejut bukan Main, bahkan dia tidak dapat mencegah wajahnya yang berubah pucat. Akan tetapi cepat dia memutar tongkatnya dan seru,

   "Bohong! Jembel busuk itu menyebar fitnah, dia bohong besar!" Berkata demikian, sekali meloncat tubuhnya telah mencelat ke atas wuwungan dan dengan beringas dia menyerang Sin-ciang Kai-ong dengan tongkatnya.

   "Dukkk!" Sebatang tongkat lain menangkisnya dan tiba-tiba saja di atas wuwungan itu, di dekat Sin-ciang Kai-ong, berdiri seorang kakek lain yang bukan lain adalah Koai-tung Sin-Kai sendiri! Semua orang mengeluarkan seruan kaget melihat munculnya seorang kakek lain yang wajah dan tubuhnya persis sekali dengan ketua mereka! Hanya bedanya, kalau ketua mereka mengenakan pakaian tambal tambalan yang bersih dan indah, sebaliknya kakek yang baru muncul itu pakaiannya compang-camping dan butut, juga rambut brewoknya tidak terawat, berbeda dengan rambut dan brewok ketua mereka yang mengkilat oleh minyak! Tangkisan itu membuat ketua Ang-kin Kai-pang loncat turun lagi dari atas genteng, sedangkan Sin-ciang Kai-ong dan kakek yang baru muncul itu masih berdiri atas genteng.

   "Nah, Saudara-saudara para angga Ang-kin Kai-pang. Inilah Koai-tung Sin-kai yang aseli, ketua kalian yang sejati! Selama ini dia ditangkap oleh Lam-san Hui-houw dan belasan orang anak buahnya itu, ditawan didalam kamar bawah tanah sedangkan dia sendiri menyamar sebagai ketua kalian dan menyeret kalian ke dalam lembah kejahatan!" Sin-ciang Kai-ong berseru nyaring.

   "Saudara-saudara sekalian, harap kalian mundur dan biarlah kami yang akan menangkap penjahat-penjahat ini!" terdengar suara Koai-tung Sin-kai yang aseli dan kini para anggauta Ang-kin Kai-pang menjadi semakin ragu. Suara kakek yang baru muncul itu memang suara khas dari ketua mereka yang dahulu! Maka, para anggauta Ang-kin Kai-pang lalu mundur dan membentuk lingkaran besar. Yang tidak mundur hanyalah ketua Ang-kin Kai-pang dan lima belas orang pembantunya, juga Han Beng yang masih berdiri di situ, kagum melihat sepak terjang gurunya yang ternyata telah berhasil membebaskan Koai-tung Sin-kai yang aseli. Kini dua orang kekek itu melayang turun dari atas genteng dan dengan ringan mereka hinggap di atas tanah. Han Beng segera bergabung dengan mereka.

   Melihat betapa rahasianya telah terbuka, diam-diam Lam-san Hui-houw menjadi menyesaldan juga baru dia tahu bahwa sikap pemuda yang mengamuk tadi merupakan siasat untuk memancing dia dan semua pembantunya keluar, sementara itu, Sin-ciang Kai-ong agaknya menyelinap ke bawah tanah dan membebaskan Koai -tung Sin-kai dan para pembantunya! Karena rahasianya telah bocor dan dia merasa terdesak ke sudut, Lam-san Hui-houw menjadi marah dan nekat.

   "Bunuh mereka!" teriaknya kepada lima belas orang pembantunya. Akan tetapi pada saat itu, dari atas genteng berlompatan sembilan orang pengemis yang pakaiannya compang-camping. Mereka ini adalah para pembantu Koai-tung Sin-kai yang aseli, yang sudah dibebaskan pula oleh Sin-ciang Kai-ong.

   Melihat betapa pihak lawan sudah bergerak, Sin-ciang Kai-ong berkata kepada pada sahabatnya,

   "Lo-koai, engkau dan para pembantumu basmi saja anak buah penjahat itu, serahkan Macan Terbang ini kepada muridku dan aku!"

   "Baiklah, Lo-kai, akan tetapi sebaiknya jangan bunuh dia. Ingin aku menyerahkan dia kepada Phoa Tai-jin, sahabatku dan pejabat yang jujur dan adil di kota raja ini!" jawab Koai-tung Sin-kay.

   "Han Beng, tangkap ketua palsu itu!" Mendengar perintah gurunya, Han Reng lalu maju menyambut Lam-san Hui-houw yang sudah memutar tongkat ularnya.

   Terjadilah perkelahian yang seru antara mereka. Kini barulah Han Beng mencurahkan seluruh kepandaian dan perhatiannya kepada ketua palsu ini sehingga lambat laun dia mulai mendesak ketua palsu itu yang selalu main mundur.

   Sementara itu, Koai-tung Sin-kai yang aseli dibantu sembilan orang pembantunya, dengan mudah saja membabat lima belas orang pembantu penjahat sehingga mereka roboh malang melintang terkena hantaman tongkat-tongkat para pimpinan Ang-kin Kat-pang yang aseli. Kalau dulu Koai-tung Sin-kai sampai dapat ditawan adalah karena dia diserang secara tiba-tiba oleh Lam-san Hui-ho yang menjadi tamunya, lalu dikeroyok pula. Dan setelah dia ditawan, tentu saja para pembantunya dengan mudah dan ditangkapi. Andaikata Lam-san Hui-ho yang datang sebagai tamu itu tidak mempergunakan siasat busuk, belum tentu dia akan mampu menangkap Koai- tung Sin-kai yang mempunyai banyak anak buah dandia sendiri pun memiliki ilmu kepandaian tinggi dan belum terima dia kalah oleh Lam-san Hui-houw.

   Melihat betapa para pembantu penjahat itu telah roboh semua, sedangkan muridnya sudah mendesak hebat kepada Lam-san Hui-houw, Sin-ciang Kai-ong lalu melompat ke depan dan dengan tangan kirinya dia mengirim tampar kepada Lam-san Hui-houw yang sudah repot menahan desakan Han Beng. Lam-san Hui-houw cepat melempar tubuhnya belakang dan memutar tongkatnya, akan tetapi sinar hitam dari tongkat butut tangan kanan Sin-ciang Kai-ong menyambar dan di lain saat, datuk sesat terguling dan tidak mampu melawan lagi. Dia maklum bahwa dia takkan mampu nelawan lagi, maka dia pun segera bangkit dan melempar tongkatnya.

   "Aku menyerah kalah!"

   Melihat sikap ini, Sin-ciang Kai-ong menyuruh muridnya mundur dan dia pun tertawa.

   "Bagus, orang yang tahu diri, tahu pula akan kesalahannya, masih ada kemungkinan kembali ke jalan benar."

   Akan tetapi, Lam-san Hui-houw tidak menjawab, hanya memandang dengan mata muram.

   "Bagaimanapun juga, dia telah merusak ruma baik Ang-kin Kai-pang. Tidak akan mudah mengangkat kembali nama Ang-kin Kai-pang setelah dibikin cemar olehnya untuk dosa itu, dia harus mempertanggungjawabkannya dan aku akan menyeretnya ke depan kaki Phoa-taijin agar dia dihukum sesuai dengan dosa-dosanya!" kata Koai-tung Sin-kai, sementara itu, para anggauta Ang-kin Kai-pang kini sudah Menjatuhkan diri berlutut menghadap ketua mereka yang aseli.

   "Kami telah berbuat dosa, mentaati perintah ketua palsu yang mengubah jalan hidup kami, kami mohon ampun kepada Pangcu, dan kami siap menerima hukuman!" kata seorang anggauta pengemis tua, mewakili kawan-kawannya.

   Koai-tung Sin-kai menarik napas panjang.

   "Sudahlah, kalian telah tertipu tidak tahu bahwa dia bukan aku. Akan tetapi, biarlah semua itu menjadi pengalaman dan pelajaran bagi kalian dan jangan mudah diselewengkan orang kemudian hari!"

   Pada saat itu, tiba-tiba Lam-san houw bergerak secepat kilat menyerang kepada Koai-tung Sin-kai dengan sebatang pisau yang tadi disembunyikan diikat pinggangnya. Serangan kilat ini tentu akan menewaskan Koai-tung Sin-kai kalau saja Han Beng tidak segera bertindak. Pemuda ini memang sejak tadi bersikap waspada. Dia selalu memperhatikan Lam-san houw yang berwajah muram dan dia melihat pula kilatan cahaya pada sepang mata itu, kilatan sinar penuh kebencian dan kekejaman yang ditujukan kepada gurunya dan ketua Ang-kin Kai-pang. Pemuda ini memang sudah mengkhawatirkan kalau-kalau datuk sesat yang sudah tersudut itu akan menjadi nekat. Oleh karena itu, begitu tangan Lam-san Hui-houw bergerak dan nampak sinar pisau berkilauan dan penjahat itu menyerang kepada Koai-tung Sin-kai, Han Beng sudah meloncat ke depan dan tongkatnya sudah menghantam ke arah pergelangan tangan yang menyerang dengan pisau itu.

   "Takk!" Pukulan itu keras sekali sehingga lengan Lam-san Hui-houw patah, pisaunya terpental. Melihat ini, Koai-Tung Sin-kai cepat menggerakkan tongkatnya dan dia pun sudah menotok roboh jahat itu!

   "Ah, terima kasih Tai-hiap. Kalau tidak ada Tai-hiap yang mencegah, tentu aku sekarang telah tewas di tangan penjahat itu," kata Koai-tung Sin-kai kepada Han Beng, lalu menoleh kepada Sin-Ciang Kai-ong.

   "Lo-kai, muridmu memang hebat sekali!"

   Sin-ciang Kai-ong tertawa.

   "Aku sendiri tidak menduga akan gerakan jahanam itu, masih untung muridku tidak lengah. Akan tetapi, kami tidak ingin terlibat lebih mendalam, Lo-koai, maka perkenankan kami pergi. Mari, Han Beng kita pergi karena ada yang menunggu kita."

   Han Beng teringat akan Souw Hui Im yang menanti di dalam hutan, maka dia pun mengangguk.

   "Lo-kai, mengapa tergesa-gesa? Aku masih belum sempat membalas budimu, Dan masih kangen untuk bercakap-cakap denganmu!" Koai-tung Sin-kai mencoba untuk menahan.

   "Engkau masih banyak urusan, Lo-koai, mengurus penjahat-penjahat ini dan memulihkan nama baik perkumpulanmu. Biarlah lain kali kita berjumpa lagi. Mari, Han Beng." Guru dan murid ini lalu meninggalkan kota raja dan memasuki hutan di mana Hui Im menanti dengan sabar. Ia menyambut dengan sinar mata penuh harapan ketika dua orang penolongnya itu muncul kembali di hadapannya.

   "Bagaimana, Twako? Apakah Twako dan Lo-Cian pwe berhasil membasmi para pengemis jahat itu?" Tentu saja gadis ini mengharapkan agar kematian ayahnya dan susioknya (paman gurunya) dapat terbalas. Guru dan murid itu mengajak Hui duduk di atas rumput, kemudian Sin-cia Kai-ong menyuruh muridnya untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Hui Im terkejut dan terheran-heran mendeng cerita itu, dan akhirnya dara itu menarik napas panjang.

   "Aih, kiranya mereka itu pimpinan Ang-kin Kai-pang yang palsu! Pantas telah terjadi perubahan besar dalam sikap para anggautanya selama setahun ini Kini Ji-wi telah dapat membongkar rahasia itu dan mengembalikan Ang-ki Kat-pang ke jalan yang benar seperi dahulu. Akan tetapi...".. Ayah dan Susiok telah berkorban nyawa"""

   "Ha, anak baik. Ketahuilah bahwa kalau Thian sudah menghendaki seseorang itu harus mati, tidak perlu dia itu anak kecil atau orang tua, sehat atau sakit, dia sudah pasti akan tewas! Sebab kematiannya hanyalah menjadi jembatan saja, dan jembatan itu dapat berupa penyakit, kecelakaan, perkelahian dan sebagainya lagi. Ayahmu dan Susiokmu memang sudah seharusnya mati, sudah dikehendaki Thian, maka tidak perlu engkau merasa penasaran lagi. Setidaknya, engkau boleh berbesar hati bahwa Ayah dan Susioknya tewas sebagai orang-orang gagah!"

   "Siauw-moi, apa yang dikatakan Suhu memang benar sekali. Kita boleh saja berusaha sekuat tenaga untuk menjaga diri ini, namun kalau Thian sudah menghendaki kita meninggalkan dunia ini, ada saja yang menjadi penyebabnya dan kita tidak perlu merasa penasaran lagi, Siauw-moi."

   Gadis itu menyusut air matanya dan mengangguk.

   "Aku dapat mengerti, dan terima kasih kepada Lo-cian-pwe dan kepadamu, Beng-twako. Aku akan berusaha untuk melenyapkan atau setidaknya melupakan kedukaan ini."

   Tiba-tiba Sin-ciang Kai-ong tertawa. Watak aneh dari pengemis tua ini sudah diketahui Hui Im, apalagi Han Beng maka mereka tidak merasa heran lagi dan mereka memandang kepada kakek itu.

   "Kedukaan tidak dapat dilupaka Yang dapat dilupakan itu tentu akan teringat kembali. Kita tidak mungkin dapat lari dari duka, karena yang berduka itu adalah kita sendiri, batin kita sendiri. Bagaimana mungkin kita dapat lari dari diri kita sendiri? Duka bukan sesuatu yang terpisah dari kita. Duka adalah suatu kenyataan yang harus kita hadapi, kalau kita ingin agar kita dapat bebas seluruhnya daripada duka, bukan bebas dari duka yang ini atau yang itu. Duka adalah suatu keadaan dari batin kita sendiri, disebabkan oleh pikiran kita sendiri, ditimbulkan oleh perasaan iba diri yang berlebihan."

   "Lalu bagaimana kita harus berbuat agar terlepas daripada duka, Lo-cian-pwe?" tanya Hui Im.

   "Duka adalah kita, maka tidak mungkin kita, yang terdiri daridarahdan daging dan pikiran ini, yang menginginkan ini dan itu, termasuk keinginan bebas dari duka, dapat membebaskan diri sendiri dari duka. Kita harus menghadapi duka itu, menerimanya sementara memuji atau mencelanya, menerimanya sebagai suatu kewajaran, mengamatinya dengan penuh kewaspadaan dan terutama sekali, kita menyerahkan segalanya kepada Thian! Sikap menyerah dengan penuh kepercayaan akan kekuasaan Thian inilah yang akan memberi kekuatan kepada kita untuk menerima kenyataan seperti apa adanya, termasuk menerima apa yang kita namakan duka seperti sesuatu yang nyata dalam diri kita. Tanpa mengeluh, tanpa menolak, tanpa mengejar. Kekuasaan Thian akan membuka mata kita, mendatangkan kewaspadaan bahwa duka dan suka itu sama, saja! Itu hanya merupakan permainan si-aku, pikiran yang selalu mendambakan kesenangan dan menjauhi kesusahan. Pikiran kita selalu dijadikan medan perang

   

Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 3 Pedang Naga Hitam Eps 10 Pedang Naga Hitam Eps 13

Cari Blog Ini