Naga Beracun 18
Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
Matanya segera bersinar-sinar, wajahnya gembira dan lidahnya yang merah terjulur ke luar menjilati bibirnya yang merah basah. Ia mengilar melihat ikan-ikan itu, karena ia mengenal bahwa ikan itu semacam ikan emas yang amat lezat dagingnya. Perutnya sedang lapar, di situ tidak ada orang, tidak ada penjual makanan, akan tetapi ada ikan yang gemuk dan gurih dagingnya berenang lewat seperti mengejek dan menggodanya! Tidak ada pancing, tidak ada jala, tidak ada benda untuk menangkap ikan itu.
Cin Cin, gadis jelita itu, menengok ke kanan kiri dan belakang. Tidak nampak orang di situ.Sunyi dan jauh dari keramaian orang, juga di atas air itu tidak nampak perahu. Hanya nampak layar perahu-perahu yang jauh di sana, perahu para nelayan mencari ikan. Hari sudah menjelang senja, tak lama lagi hari akan menjadi gelap sehingga akan semakin sukar mencari makanan. Ia tidak mau melewati malam itu dengan perut tersiksa lapar. Dan iapun perlu membersihkan diri setelah hari itu melakukan perjalanan jauh yang melelahkan dan kulit tubuhnya penuh debu yang bercampur keringat mendatangkan rasa gerah dan lekat.
Setelah yakin di situ tidak ada orang lain, tanpa ragu lagi Cin Cin menanggalkan pakaiannya satu demi satu dan ditumpuknya pakaian itu di balik semak-semak. Iapun bertelanjang bulat,meloncat ke dalam air dengan luncuran seperti seekor ikan lumba-lumba! Tidak banyak air muncrat dan tidak menimbulkan banyak suara ketika tubuhnya menusuk dan masuk ke dalam air dengan kedua lengan dan kepala lebih dahulu.
Cin Cin memang memiliki keahlian renang bermain dalam air seperti seekor ikan. Mungkin seperti dialah ikan duyung yang terkenal dalam dongeng itu. Rambutnya tadi dilepas dari sanggul dan rambut itu terurai panjang, lebat dan lembut. Ia menyelam dan tak lama kemudian ia sudah berhasil menangkap dua ekor ikan sebesar lengannya sendiri, seekor bersisik kuning dan seekor bersisik kemerahan, keduanya dengan perut berwarna putih. Ikan-ikan yang gemuk berdaging tebal.!
Dibawanya dua ekor ikan itu ke darat dan dibiarkan menggelepar di balik semak, lalu iapun masuk lagi ke air dan mandi. Betapa sejuk dan segarnya air itu. Lenyap semua rasa lelah dan gerah. Terasa nyaman, bersih dan segar. Iapun menggosok-gosok kulit tubuhnya sambil duduk di atas batu yang menonjol keluar dari air, dan dengan sendirinya mulutnya bersenandung lirih.
Kalau tubuh terasa nyaman dan hati akal pikiran tidak dibebani persoalan, maka akan timbul perasaan bahagia yang membuat orang condong untuk bersenandung! Demikianlah agaknya yang mendorong orang untuk bersenandung di waktu mandi. Keseimbangan rasa nyaman tubuh dan rasa tenang batin ini mendatangkan keseimbangan yang membuat hidup di saat itu terasa nikmat.
Cin Cin sama sekali tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang mengamatinya dari balik batu besar. Mata seorang pria, seorang pemuda yang sebaya dengannya, seorang pemuda yang tampan dan bertubuh tegap. Mula-mula ketika mendengar suara senandung, pemuda itu tertarik dan berindap menghampiri.
Setelah dia melihat apa yang bersenandung itu, seorang gadis bertelanjang bulat duduk di atas batu dan membersihkan tubuh dengan menggosok-gosoknya,dengan rambut yang panjang terurai, sebagian menutupi dadanya menyembunyikan sepasang bukit dada dan warna rambut yang hitam membuat kulit tubuh itu nampak semakin putih mulus, wajah yang manis dan riang.
Pemuda itu terbelalak, kemudian mukanya menjadi kemerahan dan diapun terpesona. Bukan gairah nafsu yang terbayang dalam pandang matanya, melainkan keheranan dan ketakjuban, seperti seseorang melihat mahluk lain dari luar angkasa, seperti seorang melihat bidadari mandi di tepi sungai.
Memang, gadis itu seperti mahluk aneh bagi pemuda itu karena selama hidupnya, baru sekali ini ia melihat seorang gadis dewasa berurai rambut dan bertelanjang bulat seperti itu! Karena selama ini, biarpun usianya sudah duapuluh satu tahun, tidak pernah terlintas dalam benaknya hal-yang ada hubungannya dengan birahi, maka dia tidak melihat hal-hal yang menimbulkan rangsangan nafsu birahi, dan pandang matanya penuh dengan pesona dan keheranan, terpesona karena penglihatan itu amat indah baginya, juga amat mengheran kan.
Saking heran dan terpesona, pemuda itu lupa diri untuk bersembunyi dengan hati-hati. Dia kini berdiri dan nampak dari dada ke atas di baik batu itu, tidak tahu bahwa yang diintainya adalah seorang gadis yang memiliki ketajaman dan kepekaan rasa dan pandangan yang lain daripada orang lain. Pandang mata yang penuh perhatian dan perasaan memiliki getaran yang kuat sekali, apa lagi bagi seorang sepeka Cin Cin perasaannya. Ia merasakan getaran itu yang membuatnya menengok dan......... dua pasang mata bertemu pandang.
Sekilas saja karena kepala pemuda yang tadi nongol di balik batu lenyap lagi dan Cin Cin juga tidak memper lihatkan suatu sikap yang menunjukkan bahwa ia telah melihat adanya seorang pengintai. Ia menekan kemara hannya, dan dengan tenang gadis itu turun ke air, sekali lagi membiarkan kegerahan dan keletihan larut bersa ma debu di tubuh terbawa air, dan iapun berenang ke balik semak, mengenakan pakaiannya dan menggelung rambutnya sejadinya saja agar cepat. Namun dari balik semak ia memperhatikan dan tahu bahwa si pengintai itu masih berada di balik batu besar.
Awas, engkau, laki-laki kurang ajar, gumamnya dalam hati. Setelah semua pakaian bersih yang diambilnya dari buntalan dipakainya, juga sepatunya, tiba-tiba saja tubuhnya meloncat dan seperti seekor burung garuda tubuhnya melayang ke balik batu besar.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati pemuda yang tadi mengintai. Sama sekali tidak disangkanya bahwa gadis yang tadi disangka bidadari atau ikan duyung atau mahluk dari dunia lain, dapat meloncat seperti terbang dan tahu-tahu telah berdiri di depannya dalam pakaian lengkap walaupun agak acak-acakan karena terburu-buru dan rambutnya yang digelung sederhana itu masih meneteskan air.
Wajah yang masih agak basah itu segar kemerahan, akan tetapi sepasang mata yang jeli itu mencorong penuh kemarahan.
"Laki-laki kurang ajar! Berani engkau mengintai orang mandi, ya? Apakah nyawamu rangkap? Ah engkau sudah bosan hidup?"
Aduh manisnya, aduh galaknya! Demikian keluh pemuda itu, tidak kelihatan takut melainkan malu-malu dan mukanya juga menjadi kemerahan. Dia mengangkat ke dua tangan ke depan dada memberi hormat, matanya yang tajam bersinar itu menatap wajah Cin Cin dengan lembut dan penuh penyesalan.
"Harap nona suka memaafkan saya. Saya kebetulan lewat dan mendengar suara senandung tadi membuat saya tertarik dan ingin melihat siapa yang bersenandung, tidak menyangka sama sekali bahwa ada seorang gadis sedang mandi di sana. Sekali lagi, maafkan kelancangan saya, nona."
Sikap pemuda itu lembut dan sopan, dan di dalam suaranya terkandung penyesalan yang tidak dibuat-buat. Akan tetapi ia masih merasa penasaran. Laki-laki ini sudah melihat ia bertelanjang bulat. Tidak mungkin hal seperti itu dibiarkan saja hanya dengan maaf! Alangkah enaknya!
"Hem, kebetulan lewat dan kebetulan melihat. Mengapa engkau tadi memandang dengan melotot?" tanyanya dengan suara bengis.
Pemuda itu menjadi semakin gugup dan wajahnya semakin merah.
"Aku.........saya.......eh.. Aku tadi....... terkejut dan heran, terpesona karena mengira ada........."
"Ada apa? Aku bukan setan, bukan iblis, bukan siluman? Hayo katakan, kaukira ada apa?" kembali Cin
(Lanjut ke Jilid 21)
Naga Beracun (Seri ke 02 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 21
Cin membentak.
""". tadinya kukira nona "".ehh, seorang bidadari dari kahyangan............."
Cin Cin terbelalak, mengira pemuda itu berolok-olok, akan tetapi melihat pandang mata yang jujur itu nampaknya sungguh sungguh dan entah mengapa. tiba-tiba saja hatinya merasa senang sekali. Entah senang karena wajah yang tampan dan simpatik itu, entah karena sinar mata yang tajam bersinar itu, ataukah karena pujian itu.
Pujian tidak langsung. Ia disangka bidadari kahyangan! Hati siapa tidak akan terasa ayem tenteram, gembira bangga, menggembung seperti katak terkejut, kalau disangka bidadari? Bidadari adalah mahluk wanita yang cantik jelita, sakti dan bijaksana Akan tetapi kegembiraan itu hanya menyelinap di hati Cin Cin dan hanya mencuat keluar melalui sinar matanya saja.Mulutnya masih dicemberutkan.
"Hemm, enak saja engkau mengintai orang mandi, lalu minta maaf begitu saja. Engkau yang enak, aku yang muak. Lain kali engkau akan memukul orang, menghina orang, atau membunuh orang lalu minta maaf dan sudah, ya? Enaknya!"
Aduh. galak benar, pikir pemuda itu. Dia menahan senyumnya karena maklum bahwa senyum geli hatinya akan dapat disalah-tafsirkan pula, disangka senyum mentertawakan. Bisa lebih runyam lagi. Kembali dia mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Maaf........"
"Sudahlah, jangan berulang kali memberi hormat merangkap kedua tangan di depan dada lalu membungkuk-bungkuk. Memangnya sekarang ini hari sincia (tahun baru) untuk saling memberi selamat.! Memangnya aku ini sedang merayakan sesuatu, maka engkau terus-terusan memberi salam? Katakan saja apa maumu, jangan banyak maaf segala. Sebelum kauminta, maafku kepadamu sudah habis!"
Pemuda itu terbelalak, namun hatinya tertarik sekali. Selama hidupnya dia tidak banyak bergaul dengan gadis-gadis cantik, dan biarpun ada gadis cantik yang juga galak, akan tetapi agaknya tidak segalak dan sebengal yang satu ini.
"Baiklah, aku tidak lagi minta maaf. Akan tetapi, aku sudah merasa bersalah dan apa yang harus kulakukan sekarang?" tanyanya, sikap dan nada suaranya merendah.
"Engkau harus dihukum!" Suaranya begitu mantap seperti seorang hakim mengetukkan palu pada keputusan sidang pengadilan menjatuhkan hukuman pada pesakitan.
"Baik, aku sudah bersalah dan aku siap menerima hukumannya," kata pemuda itu dan sikapnya yang tenang mulai menarik hati dan mengejutkan Cin Cin.
"Orang bilang, hutang uang membayar uang, utang budi membayar budi. Itu baru adil namanya. Engkau tadi melihat aku mandi, sekarang hukumannya harus kautebus dengan keadaan yang sama. Engkau mandi dan aku yang melihatnya!"
Setelah berkata demikian, dengan gerakan yang cepat sekali Cin Cin sudah menangkap pergelangan tangan pemuda itu dan mendorongnya ke sungai. Pemuda itu terkejut, agaknya tidak melawan dan tubuhnya terlempar ke air.
"Byuuur........!"
Air muncrat tinggi ketika pemuda itu terbanting ke air dengan pinggul terlebih dahulu. Cin Cin tertawa terkekeh-kekeh melihat pemuda itu gelagapan, tenggelam lalu muncul dan menyemburkan air dari mulutnya. Ia kini nampak seperti seorang anak kecil menerima mainan baru, demikian gembira dan wajahnya berseri-seri segar.
"Nah, rasakan kamu! Mandilah sepuasnya sampai bersih!" katanya dan sekali berkelebat Cin Cin sudah lenyap dari tepi sungai itu.
Tinggal pemuda itu yang berenang ke tepi bersungut-sungut.
"Sialan!" katanya kepada diri sendiri sambil memandang ke bekas tempat gadis itu tadi berdiri, lalu diapun berenang ke batu yang tadi diduduki Cin Cin, naik dan duduk di situ.
Pakaian dan rambutnya basah kuyup.
"Sial hari ini bertemu dengan........ bidadari cantik manis akan tetapi galaknya seperti setan!"
Dia melepaskan tekukan rambutnya dan memeras air dari rambutnya, akan tetapi air itu malah menyiram ke bajunya.
"Huh, kepalang basah!" katanya lagi dan diapun memandang ke kanan kiri. Sunyi, ia menanggalkan pakaiannya yang basah, juga sepatunya, memeras baju dan celana, menuangkan air keluar sepatunya dan merentangkan baju, celana dan sepatunya di atas batu. Dengan bertelanjang bulat diapun kini mandi sekalian sambil menanti pakaian dan sepatunya tertiup angin dan agak kering. Dan dia menemukan kenyataan betapa segarnya mandi di situ. Gadis itu benar.! Memang menyenangkan sekali air di situ. Dasarnya berbatu dan berpasir, dan airnya cukup jernih.
Tempatnya sunyi sepi. Setelah merasa agak dingin, dia berenang kembali ke batu tadi, baik ke atas batu dan meraih pakaian hendak dipakainya sambil berdiri di atas batu, bertelanjang bulat. Tiba-tiba matanya melihat sebuah buntalan di dekat semak-semak, dan setumpuk pakaian. Gadis itu! Benar saja, terdengar suara cekikikan tawanya dan tiba-tiba gadis itu muncul di balik semak-semak.
Memang tadi Cin Cin sudah pergi, akan tetapi ia teringat bahwa buntalan dan pakaiannya yang kotor masih berada di balik semak-semak, maka ia kembali ke situ untuk mengambilnya. Kebetulan ketika ia datang melihat pemuda yang tadi dilemparkannya ke sungai kini berdiri bertelanjang bulat di atas batu yang tadi, sehingga ia melihat semuanya. Ia terbelalak, terkejut, terheran, akan tetapi juga geli maka tertawalah ia.
"Heiii, engkau......??" Pemuda itu melepaskan bajunya dan menggunakan kedua tangan menutupi bawah pusarnya, mukanya menjadi panas karena malu.
"Jangan melihat aku!"
Gadis itu masih tertawa cekikikan, lalu mengambil buntalan dan pakaiannya, memandang lagi kepada pemuda itu sambil tersenyum nakal.
"Siapa yang melihatmu? Aku datang kembali untuk mengambil pakaianku yang tertinggal, bukan untuk mengintaimu. Akan tetapi kebetulan begini, ini namanya adil, hutangmu lunas sudah! Hi-hi-hik, engkau". jelek amat, seperti............ monyet" hi-hik!" Dan Cin Cin meloncat pergi bersama pakaiannya.
Pemuda itu menghela napas panjang. Ketika tadi dia tergesa-gesa menggunakan kedua tangan menutupi bawah pusar, dia melepaskan baju yang dipegangnya dan baju itu terjatuh ke air dan hanyut. Entah di mana sekarang. Terpaksa dia hanya mengenakan celana dan sepatunya saja, lalu pergi dari situ tanpa memakai baju, mengomel panjang pendek.
"Huh, ia bilang adil. Padahal aku mengatakan ia seperti bidadari dan ia sebaliknya menyebut aku seperti monyet! Sialan!"
Cin Cin berhenti di bawah sebatang pohon, membereskan pakaian yang tadi dipakai secara tergesa-gesa, menyanggul lagi rambutnya dan dihias tusuk sanggul perak, mengambil kalung mutiara yang indah dari buntalan pakaiannya, memakai kalung itu, kemudian mengeluarkan pula Koai-Liong-kiam (Pedang Naga Siluman) dari buntalan dan menggantungkan pedang itu di punggungnya, mengambil buntalan pakaian dan menggendongnya pula, kemudian dengan cepat ia melanjutkan perjalanannya ke sebuah dusun di tepi sungai yang tadi di lihatnya dari jauh sinar lampu-lampu dusun itu.
Melihat sebuah rumah kecil sederhana di tepi dusun dan seorang wanita setengah tua di depan rumah, di atas bangku bambu, Cin Cin segera menghampiri dan dengan sikap ramah dan sopan ia bertanya.
"Bibi, aku seorang pejalan yang kemalaman di sini. Apakah engkau dapat menunjukkan tempat di mana aku boleh menumpang untuk malam ini? Aku bersedia membayar uang sewanya semalam."
Wanita itu berusia limapuluh tahun lebih akan tetapi nampaknya sudah lebih tua, agak bongkok dan jelas ia miskin.
"Nona mau membayar sewa? Aih, nona, aku akan senang sekali engkau menumpang di sini dan memberi sekedar uang kepadaku......... aku amat membutuhkan itu......"
Cin Cin mengerutkan alisnya. Rumah itu hanya gubuk kecil dan sederhana, tentu bukan merupakan tempat yang enak untuk bermalam. Akan tetapi, kalau wanita itu membutuhkan uang.
"Bibi, dengan siapa engkau tinggal di sini?" Wajah itu nampak sedih sekali. Di bawah sinar lampu gantung kecil, wajah itu nampak penuh kerut merut.
"Aku seorang janda, nona. Anakku hanya seorang, laki-laki, akan tetapi put-hauw (durhaka), sudah lima tahun pergi ke kota mencari pekerjaan, sampai sekarang tidak pernah pulang, tidak pernah memberi kabar. Aih, dasar nasibku yang amat buruk......."
Wajah Cin Cin berseri.
"Engkau hanya tinggal seorang diri di sini? Kalau begitu, aku suka bermalam di sini. Jangan khawatir, aku akan memberi uang sewa yang cukup banyak, bibi."
Wanita itu menjadi gembira.
"Aih, terima kasih, nona. Silakan masuk. Biarpun jelek, rumah ini kujaga bersih dan tempat tidur anakku juga selalu kubersihkan walau tidak pernah dipakai.Siapa tahu sekali waktu, pada saat yang baik, dia pulang!"
Cin Cin dan wanita itu memasuki rumah gubuk dan benar seperti yang dikatakan nenek itu.Biarpun kecil, dan jelek, akan tetapi dalam rumah itu rapi dan bersih. Sebuah rumah dengan perabot murahan namun terawat dan bersih, jauh lebih menyenangkan daripada perabot rumah mewah dalam gedung besar yang tidak terawat dan kotor.
Begitu memasuki rumah, Cin Cin merasa senang, Gubuk itu memiliki dua buah kamar yang kecil dan ia memperoleh kamar putera wanita itu, kamar kecil namun terawat dan bersih pula. Alas tempat tidur sudah ada tambalannya,akan tetapi bersih sekali. Legalah hatinya dan dalam hati ia berjanji besok pagi akan memberi uang yang lebih banyak daripada uang sewa kamar hotel besar kepada wanita itu.
"Nah, di sinilah kamarmu, nona. Kalau mau tinggal di sini berapa lamapun aku akan merasa senang sekali, selain mendapatkan uang sekedarnya juga mendapatkan teman dalam hidupku yang kesepian ini. Silakan beristirahat, nona, aku akan membuatkan minuman teh dan.......... eh,makanan malam sekedarnya........" Melihat keraguan itu, Cin Cin segera mengeluarkan sepotong perak dan memberikannya kepada wanita itu.
"Bibi, ini untuk berbelanja membeli hidangan makan malam, eh, kalau ada........ aku ingin sekali makan daging ikan emas kuning dan merah."
Katanya, teringat akan dua ekor ikan yang ditangkapnya dan yang tertinggal di tepi sungai karena perjumpaan nya dengan pemuda pengintai itu. Dan ketika wanita itu pergi sambil membungkuk-bungkuk senang menerima uangnya. Cin Cin tak dapat menahan kekeh gelinya membayangkan kembali pemuda yang berdiri di atas batu, bertelanjang bulat. Akan tetapi tak lama kemudian, kekehnya terpecahkan oleh pikirannya.
Aneh, bayangan pemuda itu selalu terbayang dan ia tidak mampu menggusirnya, terutama sekali pandang matanya yang begitu tajam.
Setelah makan hidangan nasi dan masak ikan yang disuguhkan nyonya rumah, Cin Cin secara iseng bertanya,
"Bibi, apakah engkau mengenal seorang pangeran yang tinggal di sekitar lembah Huang-ho?"
Wanita itu membelalakkan mata dan tersenyum geli sehingga nampak mulutnya yang ompong,
"Walah, engkau aneh sekali, nona! Aku ini hanya seorang perempuan dusun yang bodoh dan miskin, bagaimana mungkin mengenal seorang pangeran? Wah, melihatpun belum pernah.Apakah nona mengenal seorang pangeran? Pangeran sungguhan? Hebat sekali! Siapa namanya, nona?"
Cin Cin memang tidak mengharapkan mendapat keterangan dari wanita itu. Ia tadipun bertanya secara iseng saja. Siapa tahu wanita itu demikian gembira mendengar pertanyaan tentang pangeran. Sambil lalu iapun menjawab tanpa mengharapkan apa-apa.
"Namanya Pangeran Cian Bu Ong." Ia seperti menjawab kepada diri sendiri agar tidak melupakan nama yang dipesan oleh gurunya itu. Ia melanjutkan keterangan yang ia dengar dari gurunya. seperti menghafal.
"Orangnya gagah, tinggi besar, mukanya kemerahan, usianya enampuluh lebih........"
"Ehhh? Nanti dulu nona. Di sini tidak pernah ada pangeran, akan tetapi cung-cu (kepala dusun ) kami. Cian-wangwe (hartawan Cian) mirip yang kauceritakan itu. Tinggi besar, gagah, muka kemerahan dan usianya enampuluh tahun lebih." Tentu saja Cin Cin menjadi tertarik dan ia mengamati wajah wanita itu penuh selidik.
"Hartawan Cian? Dari mana dia datang? Apakah selama ini dia memang penduduk dusun ini?"
"Tidak, nona. Dia pendatang baru, kaya raya dan dermawan. Kami semua suka kepadanya dan menghormati nya, bahkan akupun sudah sering menerima bantuan darinya. Karena itu kami semua memilih dia menjadi kepala dusun. Dia she Cian dan namanya...... hemm, kalau tidak salah Bu. Ya, Cian Bu.., akan tetapi lebih terkenal dengan sebutan Cian-wangwe (hartawan Cian) atau Cian cungcu ( Lurah-Cian)."
"Cian Bu.........??" Berdebar rasa jantung Cin Cin. Besar sekali kemungkinannya.
Mengapa begitu kebetulan? Yang dicarinya pangeran Cian Bu Ong dan di sini ia mendengar tentang lurah Cian Bu yang keadaannya mirip pangeran yang dicari.
"Bagaimana keadaan keluarganya?" Ia mencari tahu lebih lanjut karena timbul harapannya sekarang untuk menemukan musuh besar gurunya.
"Keluarganya amat baik, nona. Isterinya jauh lebih muda, sekitar empatpuluh lima tahun lebih sedikit, cantik jelita dan manis budi, pakaiannva selalu serba hitam. Mereka mempunyai dua orang anak yang telah dewasa, seorang pemuda dan adiknya, seorang gadis. Tampan dan cantik, juga baik budi."
"Engkau yakin benar lurah Cian Bu itu bukan bekas pangeran?" tanya Cin Cin seperti kepada diri sendiri. Tentang isteri dan anak-anak orang itu ia tidak tertarik.
"Bagaimana aku tahu, nona? Keluarga Cian itu pindah ke dusun ini sebagai keluarga hartawan, membangun rumah besar dan bersikap baik kepada kami semua, suka menolong orang, baik dengan barang ataupun dengan pengobatan. Mereka pandai mengobati orang sakit."
Keterangan ini semakin menarik hati Cin Cin. Besar kemungkinan keluarga itu ahli silat yang pandai mengoba ti, hal itu tidak aneh. Dan kalau orang she Cian itu memang ahli silat, maka dugaannya semakin kuat bahwa dia adalah bekas pengeran yang dicarinya.
"Apakah mereka pandai ilmu silat?" ia bertanya lagi.
"Ilmu silat? Mana aku tahu, nona? Puteranya yang kami sebut Cian Kongcu (tuan muda Cian) dan Cian Siocia (Nona muda Cian) kelihatan sehat dan gagah, entah mereka bisa silat atau tidak,aku tidak tahu."
Keterangan itu cukup bagi Cin Cin."Di mana rumah mereka, bibi?"
"Mudah sekali dicari. Di ujung dusun sebelah barat ini, dan rumah mereka adalah satu-satunya gedung besar yang berada di dusun ini."
Cin Cin tidak bertanya lagi. Ia membantu wanita itu mencuci mangkok piring biarpun nyonya rumah mencegahnya, lalu ia membersihkan mulut dan memasuki kamar, merebahkan diri seperti orang hendak tidur. Nyonya rumah itu yang menyangka ia tentu lelah, membiarkannya tidur dan ia sendiripun memasuki kamarnya.
Tentu saja Cin Cin tidak tidur. Keterangan wanita itu tentang lurah Cian Bu amat menarik hatinya dan ia mengambil keputusan untuk menyelidik. Kalau lurah itu bukan Pangeran Cian Bu Ong pun tidak mengapa, akan tetapi kalau benar orang yang dicarinya, alangkah beruntungnya.
Tak disangkanya akan demikian mudahnya mencari orang yang oleh gurunya hanya dikatakan tinggal di sekitar lembah Huang-ho. Padahal lembah itu panjang dan luasnya tak terukur lagi. Apalagi hanya setahun, biar lima tahunpun belun tentu ia akan mampu menemukan orangnya!
Wanita pemilik gubuk itu belum tidur ketika Cin Cin keluar dari kamarnya. Ketika ia bertanya,Cin Cin menjawab bahwa ia ingin berjalan-jalan sebentar. Wanita itupun tidak bertanya lagi dan Cin Cin keluar dari rumah kecil itu dan berjalan-jalan di jalan dusun yang lumayan baiknya.
Agaknya dusun itu memang sebuah dusun yang maju, mungkin berkat bimbingan kepala dusunnya itu. Jalan-jalan di situ rata dan bersih, rumah-rumahnya walaupun rumah dusun, seperti rumah wanita yang ditumpangi nya tadi, nampak bersih pula, dengan ruangan yang teratur.
Memang sesungguhnyalah, semua mahluk itu membutuhkan bimbingan seorang pemimpin.
Masyarakat tanpa pemimpin akan menjadi kacau balau, seperti juga segala kelompok binatang hutan pasti mempunyai pemimpinnya. Bukankan Maha Pencipta, Tuhan Yang Maha Kasih, juga sekaligus menjadi Pemimpin Agung seluruh ciptaannyaa?
Dusun itu cukup besar, dengan lampu penerangan sederhana di depan setiap rumah sehingga jalan itu tidak gelap benar. Di langit banyak bintang. Malam itu amat indah dengan hawa udara yang sejuk. Tanah di lembah Huang-ho memang terkenal subur dan pohon-pohonan, tanam tanaman di dusun itu nampak subur pula. Ada beberapa kedai minuman dan kedai penjual segala macam keperluan sehari-hari yang masih buka. Akan tetapi lalu lintas sudah sepi. Memang di dusun kurang sekali adanya hiburan malam, tontonan dan keramaian malam seperti di kota,maka penduduk dusun jarang yang bergadang di luar rumah.
Seperti yang diterangkan pemilik gubuk tadi, mudah saja mencari rumah lurah Cian tanpa bertanya-tanya. Setelah menyusuri jalan ke barat dan tiba di ujung dusun, nampaklah sebuah gedung. Kalau di kota, gedung itu termasuk sedang saja, akan tetapi di dusun itu nampak megah dan mewah.
Tidak baik mengganggu kedamaian dusun ini, pikir Cin Cin. Bagaimana kalau lurah itu bukan pangeran yang dicarinya? Melihat betapa penerangan di depan gedung itu masih terang, dan ada seorang gadis nampak duduk seorang diri di situ, Cin Cin mengambil keputusan untuk berkunjung secara baik-baik saja. Kalau kemudian ia bertemu muka dengan lurah Cian dan mendapat ketera ngan bahwa benar dia orang yang dicarinya, baru dia akan turun tangan membunuhnya seperti pesan gurunya. Kalau ternyata bukan pangeran yang dicarinya, kunjungannya tentu tidak akan mendatangkan keributan dan gangguan.
Ketika Cin Cin memasuki pekarangan yang juga menjadi taman bunga yang indah dan sunyi itu,gadis yang duduk melamun di atas kursi, di ruang depan, mengangkat muka dan segera bangkit berdiri ketika melihat ada orang memasuki pekarangan.
Setelah berdiri, nampak oleh Cin Cin betapa gadis itu memiliki tubuh yang ramping padat, dan wajahnya manis sekali. Cara ia bangkit dari tempat duduknya dan berdiri menunjukkan bahwa gadis itu memiliki gera kan yang gesit dan bertenaga, mungkin bukan ahli silat lihai, akan tetapi setidaknya bukan seorang gadis yang lemah, pikir Cin Cin yang memandang penuh perhatian.
Gadis itu adalah Cian Kui Eng. Ia sedang duduk melamun, memikirkan ulah suhengnya yang tadinya ia ang gap sebagai kakak kandungnya itu. Biarpun kini ia tahu bahwa kakaknya, Thian Ki, bukan kakak kandung, bahkan bukan kakak tiri, dan lebih tepat disebut suheng (kakak seperguruan), namun karena sejak kecil ia sudah menyebut koko (kakak), maka sampai sekarangpun ia masih menyebutnya koko.
Sore tadi ulah kakaknya itu amat aneh. Dia pulang hanya memakai celana dan sepatu tanpa baju! Dengan bertelanjang dada Thian Ki pulang sambil menenteng dua ekor ikan emas kuning dan merah yang gemuk.!
Tentu saja ia dan ibunya, atau lebih tepat lagi ibu tirinya yang menyambut kedatangan Thian Ki itu menjadi terheran-heran dan bertanya kenapa pemuda itu pulang bertelanjang dada dan membawa dua ekor ikan.
Dan jawaban kakaknya membuat ia tetap merasa aneh sampai sekarang. Kakaknya menjawab, dengan muka menunduk dan tidak lancar bahwa kakaknya melihat dua ekor ikan itu, lalu membuka baju, terjun dan menang kap dua ekor ikan itu. Akan tetapi ketika dia mengejar dua ekor ikan itu, bajunya terbawa angin, jatuh ke air sungai dan hanyut tanpa dia ketahui. Jawaban yang dianggapnya janggal karena selamanya belum pernah Thian Ki mengejar-ngejar ikan sampai terjun ke sungai!
Dan cara kakaknya menjawab juga tidak lancar, seperti orang berbohong, padahal kakaknya tidak pernah membohong.!
Ibunya bersikap tidak curiga bahkan tertawa geli, akan tetapi senang melihat dua ekor ikan yang gemuk itu, yang segera dibawa ibunya ke dapur. Dan tadi kakaknya menyusul ayahnya yang pergi ke dusun lain untuk mengadakan rapat mengenai para nelayan sungai dengan kepala-kepala dusun yang lain, dan sampai sekarang belum pulang. Ia menanti mereka di serambi depan sambil duduk melamun ketika muncul seorang gadis memasuki pekarangan rumahnya.
Kui Eng mengerutkan alisnya ketika melihat bahwa gadis cantik yang menghampirinya itu membawa pedang di punggungnya. Jelas gadis ini bukan gadis dusun, dan melihat pedang itu,tentu ia seorang wanita kang-ouw, pikirnya.
Hal ini sesungguhnya tidak terlalu aneh baginya, mengingat bahwa ayahnya dan ibunya adalah orang-orang yang pandai ilmu silat, seperti juga ia sendiri dan kakaknya. Akan tetapi mengapa tamu ini datang malam-malam?
"Selamat malam, apakah engkau ini yang disebut Cian Siocia?" tamu itu bertanya.
Melihat sikap tamunya yang terbuka dan ramah, lenyap perasaan tidak senang dari hati Kui Eng. Gadis ini juga memiliki watak yang lincah jenaka dan terbuka, walaupun ia juga tabah, berani dan kadang galak.
"Benar, aku Cian Kui Eng. Enci siapa dan apa keperluanmu berkunjung ke rumah kami?"
Hemm, gadis ini tidak kampungan, pikir Cin Cin. Terbuka dan jujur, dan sama sekali tidak pemalu. Lebih pantas seorang gadis kangouw! Tebal dugaannya bahwa ia datang ke alamat tepat.
Iapun menjawab sejujurnya.
"Orang memanggil aku Cin Cin, dan aku datang ke sini untuk mencari ayahmu. Bukankah dia she Cian?"
"Tentu saja dia she Cian. Engkau tahu aku disebut Cian Siocia (nona muda Cian), siapa lagi she (nama keturunan) ayahku kalau bukan Cian. Mau apa sih engkau malam-malam begini datang mencari ayah?"
Hemm, ia mulai curiga dan mulai kasar, pikir Cin Cin, hatinya juga mulai panas. Kalau betul ayah gadis ini musuh besar gurunya, berarti gadis inipun boleh dianggap musuh!
"Kedatanganku ini ada urusan penting dengan ayahmu dan tidak dapat kukatakan kepada orang lain biar engkau ini puterinya sekalipun. Bukankah nama ayahmu Cian Bu......?"
"Benar, ayahku lurah di dusun ini!" jawab Kui Eng agak ketus karena sang tamu tidak mau memberitahukan keperluannya datang berkunjung.
"Dan dia dahulu seorang pangeran bernama Cian Bu Ong bukan?" tanya Cin Cin tiba-tiba dan dengan pandang mata menusuk penuh selidik.
Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kembali Kui Eng mengerutkan alisnya. Ayah ibunya sudah berulang kali melarang ia bicara tentang ayahnya sebagai Pangeran Cian Bu Ong, karena hal itu berbahaya sekali, dapat membuat ayahnya ditangkap oleh pemerintah sebagai seorang buronan atau bekas pemberontak!
"Hai, Cin Cin, apa perlunya engkau bertanya-tanya tentang keadaan ayahku? Dia boleh jadi ini atau itu, apa hubungannya denganmu dan engkau mau apa? Ayahku adalah ayahku, lurah dusun ini dan engkau atau siapa saja tidak berhak untuk bertanya-tanya tentang urusan pribadinya.! Mau apa engkau sebenarnya?" kini Kui Eng bertolak pinggang, matanya melotot.
"Nona Cian yang manis, kalau ayahmu itu benar Pangeran Cian Bu Ong, aku datang untuk membunuhnya!" kata Cin Cin, tidak kalah bengisnya.
"Heii! Enak saja engkau membuka mulutmu yang lancang.! Apa kaukira setelah engkau membawa-bawa pedang, engkau dapat menakut-nakuti aku seperti anak kecil saja? Baik ayahku seorang lurah, pangeran atau raja sekalipun, engkau tidak patut mengancamnya seperti itu.Mungkin engkau seorang gila. Pergi dari sini atau aku akan menampar mulutmu biar rontok semua gigimu!"
Cin Cin adalah seorang wanita yang keras hati. Mendengar ucapan ini, tentu saja perutnya terasa panas.
"Cian Kui Eng, sombong amat engkau. Engkau tidak tahu berhadapan dengan siapa!"
"Engkau yang sombong! Engkaupun tidak tahu nonamu ini orang macam apa! Habis kau mau apa?" bentak Kui Eng.
"Engkau juga mau apa kalau aku akan membunuh Pangeran Cian Bu Ong?"
"Kau mau membunuh pangeran atau raja bukan urusanku, akan tetapi kalau engkau menghina ayahku, engkau akan mampus di tanganku."
"Heh-heh, nona cilik, hendak kulihat bagaimana engkau akan membikin aku mampus!" tantang Cin Cin.
Kui Eng menggerakkan kakinya dan tubuhnya meluncur ke depan Cin Cin. Kini kedua orang itu saling berhadapan dalam jarak dua meter, saling melotot dengan muka merah dan dari hidung mereka mengembus uap panas.
"Pergi kau, kalau tidak, terpaksa aku akan memukulmu!"
"Jangan banyak mulut, pukullah kalau berani!" tantang Cin Cin.
"Sombong, lihat pukulanku!"
Kui Eng memberi peringatan dan iapun maju menyerang dengan tamparan tangan kiri. Tangan itu menyambar cepat dan kuat sekali ke arah muka Cin Cin.
Melihat betapa tamparan itu membawa angin pukulan yang dahsyat, maklumlah bahwa ia meng hadapi seorang lawan yang tidak boleh dipandang ringan, Cin Cin cepat menarik tubuh ke belakang sehingga tamparaan itu mengenai angin kosong. Akan tetapi kaki kanan Kui Eng sudah menyambar pula dengan tendangan maut ke arah perutnya!
"Hemm, ganas juga engkau!" seru Cin Cin dan iapun terpaksa meloncat ke samping untuk menghindarkan diri dari tendangan itu. Iapun segera membalas, melangkah maju sambil mendorong ke arah dada lawan.
Akan tetapi, ternyata lawannya itu memiliki gerakan yang tidak kalah gesitnya, sehingga dorongan nya itupun hanya mengenai angin kosong. Kembali Kui Eng sudah menyerang dari samping sebagai balasan, tangannya mencengkeram ke arah pundak kiri Cin Cin. Karena ingin menguji tenaga lawan, Cin Cin memutar lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Dukkk!"
Dua buah lengan yang kecil mungil berkulit halus, namun yang keduanya mengandung tenaga dalam yang amat kuat itu bertemu dan keduanya terpental ke belakang! Mereka saling pandang dengan mata terbelalak, karena kini keduanya menyadari bahwa lawan benar-benar tangguh dan mereka memiliki tenaga sin-kang yang seimbang! Kembali mereka saling hantam dan saling tendang bagaikan dua ekor singa betina mengamuk.
Sebetulnya, kalau dibuat perbandingan, Cin Cin masih lebih menang setingkat. Biarpun keduanya digembleng oleh guru yang sakti, namun ketika kecilnya, Kui Eng yang merasa menjadi puteri pangeran, agak manja dan kadang malas berlatih. Berbeda dengan Cin Cin yang mengandung sakit hati karena kehancuran keluarganya, ia berlatih dengan tekun sekali untuk dapat membalas dendamnya.
Akan tetapi, menghadapi Kui Eng, Cin Cin tidak mau menghabiskan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Ia tidak ingin membunuh Kui Eng, karena belum mengetahui dengan pasti apakah ia berada di tempat musuh besar gurunya ataukah tidak. Ia belum yakin benar apakah ayah lawannya ini Pangeran Cian Bu Ong atau hanya seorang lurah kaya yang bernama Cian Bu saja. Sebaliknya, melihat orang mengancam ayahnya, Kui Eng menjadi marah sekali dan ia mengerah kan seluruh kepandaian dan tenaganya sehingga keadaan mereka menjadi berimbang.
Biarpun demikian, karena memang kalah tingkat. setelah lewat tigapuluh jurus, mulailah Kui Eng terdesak mundur. Pada saat itu, dari dalam rumah bermunculan para pembantu rumah tangga dan mereka segera lari ke dalam untuk melapor kepada nyonya majikan mereka.
Sim Lan Ci berlari keluar sambil membawa pedangnya, yaitu pedang Cui-mo Hek-kiam (Pedang Hitam Pemburu Iblis)! Melihat puterinya terdesak oleh seorang gadis cantik lain yang memiliki serangan ganas dan kuat, ia terkejut. Kepandaian puterinya sudah hebat, dan jarang ada orang mampu menandinginya, akan tetapi kini ia melihat jelas betapa puteri tirinya itu terdesak oleh lawannya.
"Tahan dulu, hentikan perkelahian ini!" teriaknya sambil meloncat ke depan dan melihat puterinya terancam sebuah tamparan lawan, iapun menangkis tamparan itu.
"Plak!"
Keduanya terkejut karena keduanya merasa betapa lengan tergetar hebat. Mengertilah Sim Lan Ci mengapa puterinya terdesak. Gadis ini memang lihai sekali dan merupakan seorang lawan tangguh.
Di lain pihak, melihat bayangan berkelebat dan seorang wanita setengah tua cantik jelita menangkis tamparannya membuat lengannya tergetar hebat, Cin Cin juga meloncat ke belakang dan memandang penuh perhatian. Ia sudah mendengar keterangan dari pemilik rumah yang ditumpangi bahwa lurah Cian Bu memiliki seorang isteri cantik yang selalu berpakaian hitam. Iapun dapat menduga bahwa tentu wanita ini isteri sang lurah dan ibu dari gadis ramping yang menjadi lawannya tadi.
Makin kuat dugaannya bahwa ia tidak tiba di alamat yang keliru. Pasti mereka ini keluarga Pangeran Cian Bu Ong karena gurunya memesan agar ia berhati-hati karena Pangeran Cian Bu Ong memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan ternyata keluarganya, isteri dan puterinya, juga amat lihai. Akan tetapi, melihat wajah wanita berpakaian serba hitam itu, ia tertegun. Ia merasa mengenal wanita ini!
Ya, ia mengenalnya dengan baik karena wanita ini dan suaminya dan puteranya menjadi tamu yang amat menarik perhatian dan yang disambut dengan meriah oleh seluruh keluarga Hekhouw-pang!
Dengan melongo Cin Cin mengamati nyonya berpakaian hitam itu, mengingat-ingat. Tak salah lagi pikirnya. Wanita ini adalah bibinya sendiri, isteri dari pamannya yang bernama Coa Siang Lee, saudara sepupu ibunya sendiri yang bernama Coa Liu Hwa. Dan ia ingat benar bahwa wanita ini bernama Sim Lan Ci, dan putera mereka bernama Coa Thian Ki.
Akan tetapi....kenapa ia berada di sini dan menjadi keluarga lurah Cian Bu atau mungkin Pangeran Cian Bu Ong? Di lain pihak, Sim Lan Ci juga mengingat-ingat karena merasa sudah mengenal gadis itu, akan tetapi lupa di mana dan kapan. Hanya wajah gadis cantik itu adalah wajah yang tidak asing baginya.
"Nona, kenapa engkau menyerang puteriku? Kui Eng, kenapa engkau berkelahi dengan nona ini?" tanya Sim Lan Ci kepada mereka berdua.
"Ibu, Iblis betina ini datang menghina ayah! Ia hendak membunuh ayah!" teriak Kui Eng marah sekali.
Tentu saja Sim Lan Ci menjadi terkejut bukan main. Sebagai seorang wanita yang banyak pengalamannya di dunia kangouw, iapun dapat menduga bahwa tentu gadis ini mempunyai alasan yang kuat maka berani datang untuk membunuh suaminya! Dan alasan itu pasti ada hubungannya dengan pangeran Cian Bu Ong, karena selama menjadi lurah Cian Bu, suaminya tidak mempunyai musuh besar.
"Nona, kenapa nona hendak membunuh suamiku, lurah Cian Bu di dusun ini?" ia bertanya, sengaja menekan kan kepada sebutan lurah.
"Lurah.......?" kata Cin Cin meragu."Nyonya, aku datang bukan hendak membunuh lurah Cian Bu atau siapapun, melainkan hendak bertanya apakah lurah Cian Bu itu Pangeran Cian Bu Ong.Kalau dia Pangeran Cian Bu Ong. aku akan membunuhnya dan siapapun juga tidak dapat menghalangiku!"
Sim Lan Ci memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi ia dapat menguasai guncangan dan debaran jantungnya dan bersikap tenang.
"Nona, siapakah engkau sebenarnya?" Ia mengamati wajah itu."Aku seperti pernah mengenalmu."
"Aku juga. Bibi mirip benar dengan seorang wanita yang kukenal baik, sama wajah, pakaian dan suaranya, seperti Bibi Sim Lan Ci."
Wajah Sim Lan Ci berubah pucat."Jadi kau.... siapakah kau......."
"Ibu, namanya Cin Cin," kata Kui Eng cepat.
"Cin Cin......? Engkau puteri ketua Hek-hou-pang? Engkau....... Kam Cin?"
"Benar! Aih, tidak kusangka dapat bertemu dengan bibi di sini. Akan tetapi aku menghadapi urusan genting, bibi. Tolonglah bibi beritahu sebenarnya siapa lurah Cian Bu itu. Benarkah dia Pangeran Cian Bu Ong?" tanya Cin Cin dan matanya mencorong, menatap tajam wajah wanita itu penuh selidik.
"Tapi kenapa......?" Ucapan Sim Lan Ci ini dipotong suara lain.
"Apakah yang terjadi di sini? Siapakah ia ini dan.......ohhh.......!" Pemuda itu terkejut ketika Cin Cin menoleh dan memandang kepadanya. Gadis yang dilihatnya bertelanjang bulat di tepi sungai itu!
Cin Cin tersenyum mengejek ketika melihat Thian Ki.
"Hemm, kiranya engkau monyet jelek berada di sini pula. Mau apa kau mencampuri urusan kami!"
"Koko, ia datang hendak membunuh ayah!" teriak Kui Eng.
"Ehhnh.......?" Thian Ki terkejut sekali.
"Thian Ki, nona ini adalah Kam Cin puteri ketua Hek-houw-pang, saudara misanmu sendiri!"
kata Sim Lan Ci.
"Cin Cin..........??"
"Thian Ki.........??"
Teriakan Thian Ki dan Cin Cin hampir berbareng dan mereka saling pandang, lalu perlahan-lahan muka kedua nya berubah kemerahan karena mereka teringat betapa mereka pernah saling melihat dalam keadaan telanjang bulat, teringat akan peristiwa di tepi Huang-ho.
"Cin Cin, engkau tidak boleh membunuh ayah!"
"Ayah? Bukankah ayahmu, paman Coa Siang Lee, telah tewas ketika Hek-houw-pang diserbu
gerombolan?"
"Yang kumaksudkan......dia.......... ayah tiriku..........." kata Thian Ki, mukanya merah.
Cin Cin mengerutkan alisnya dan menoleh, memandang kepada Sim Lan Ci yang menundukkan muka. Peristiwa ini sama sekali tak pernah disangkanya datangnya begitu tiba-tiba dan ia dihadapkan kepada kenangan masa lalu! Cin Cin mengangguk-angguk dan senyumnya sinis.
"Hemm, mengerti aku sekarang. Kiranya setelah ditinggal mati paman Coa Siang Lee, bibi Sim Lan Ci telah menikah lagi dengan......... lurah Cian Bu...... atau Pangeran Cian Bu Ong si pemberontak?"
"Cin Cin.....!" teriak Thian Ki, sedih melihat ibunya dicaci.
"Iblis betina busuk!" bentak Kui Eng marah. Cin Cin menoleh kepada Thian Ki."Enqkau hendak membela ayah tirimu? Kalau begitu, benar makianku bahwa engkau monyet buruk.Majulah!"
Dan Cin Cin sudah memasang kuda-kuda. siap menghadapi pengeroyokan tiga orang itu.
"Tahan........!"
terdengar bentakan dan suara ini demikian berpengaruh sehingga mengejutkan hati Cin Cin. Gadis itu cepat melangkah mundur lalu menghadapi orang yang datang dari sebelah kanan nya. Dan dia melihat seorang laki-laki tinggi besar, berjenggot panjang rapi, berwajah merah dan usianya tentu mendekati tujuhpuluh tahun, namun masih nampak gagah perkasa dan kokoh seperti batu karang.
Tidak ragu lagi hatinya bahwa dia tentu berhadapan dengan Pangeran Cian Bu Ong, karena laki-laki ini di waktu mudanya tentulah ganteng dan gagah perkasa sehingga tidak menghe rankan kalau gurunya jatuh cinta. Tidak mungkin ada seorang lurah memiliki wibawa seperti ini.
"Nona, aku sudah mendengar bahwa engkau mencari Pangeran Cian Bu Ong untuk membunuh nya. Nah katakan, kenapa engkau hendak membunuh Pangeran Cian Bu Ong, apa kesalahannya kepadamu?"
Cin Cin menatap tajam wajah yang jantan itu dan bertanya."Apakah engkau Pangeran Cian Bu Ong?"
Pangeran Cian Bu Ong tersenyum.
"Aku bukan seorang pengecut. Kalau aku menyembunyikan nama dari umum, hal itu hanya agar keluargaku dapat hidup denqan tenteram. Akan tetapi kalau ada yang memusuhiku secara pribadi, aku tidak akan lari bersembunyi atau mengelak. Aku memang bekas Pangeran Cian Bu Ong. Nah, katakan kenapa engkau he ndak me mbunuhku.!"
Cin Cin melepaskan kalung mutiara dari lehernya, lalu melemparkan kalung itu ke arah Cian Bu Ong sambil berseru.
"Cian Bu Ong, lihat benda ini dan engkau akan tahu mengapa aku hendak membunuhmu!"
Tentu saja ia menyambitkan kalung itu dengan pengerahan tenaga sin"kang sehingga yang nampak hanya sinar putih berkilau menyambar ke arah muka pria tua itu. Namun, dengan tenang saja Cian Bu Ong menyambut benda itu, walaupun di dalam hatinya diam-diam dia terkejut mendapat kenyataan betapa kuatnya sambitan ketika benda itu disambutnya. Dan ketika dia melihat benda itu, sebuah untaian kalung dari mutiara yang besar-besar dan indah, matanya terbelalak.
"Sui Lan....!" gumamnya seperti dalam mimpi dan terbayanglah semua pengalaman hidupnya di waktu dia masih muda.
Dia pernah bertemu dengan seorang gadis yang mendatangkan rasa kagum dalam hatinya, bukan hanya oleh kecantikannya yang luar biasa, akan tetapi juga karena gadis itu memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tinggi disamping ilmunya bermain dalam air.
Gadis itupun kagum kepadanya dan mereka saling jatuh cinta. Demikian besar cinta gadis itu kepadanya sehingga gadis itu menyelam ke dalam lautan yang berbahaya, mengumpulkan banyak mutiara pilihan dan membuat kalung dari untaian mutiara yang amat berharga, lalu memberikan kalung itu kepadanya sebagai tanda cinta!
Demikian terharu hatinya oleh hadiah ini sehingga dia pernah mengatakan bahwa dia akan meng hargai kalung itu seperti nyawanya sendiri. Mereka saling jatuh cinta, bahkan gadis yang bernama Bhok Sui Lan itu sudah menyerahkan diri kepadanya.
Hal ini saja sebetulnya sudah mendatangkan sedikit kekecewaan di dalam hatinya. Betapa mudah nya Sui Lan menyerahkan diri kepadanya, walaupun hal itu dianggapnya sebagai pernyataan cinta kasih yang tulus. Mereka memang sudah bersepakat untuk menikah. Akan tetapi kemudian dia mendengar bahwa Bhok Sui Lan adalah seorang gadis kang-ouw yang termasuk golongan sesat, atau golongan hitam.
Gadis itu datang dari keluarga para tokoh sesat yang terkenal, dari golongan manusia yang berwa tak iblis. Tidak pernah mau mengenal peraturan dan selalu mendatangkan kekacauan dengan perbuatan mereka yang teramat keji dan jahat. Hal ini membuat dia memaksa hatinya yang mencinta untuk meninggalkan dan melupakan Sui Lan dan diapun menikah dengan gadis lain.
Dia adalah seorang pangeran yang bercita-cita tinggi, kalau mungkin dapat menggantikan kedudukan kaisar. Bagaimana mungkin seorang calon kaisar menikah dengan seorang gadis golongan sesat yang jahat? Hal itu tentu akan mencemarkan seluruh nama keluarga Kerajaan Sui!
Dia mengembalikan kalung mutiara itu kepada Sui Lan, kemudian meninggalkan gadis itu dan diapun tidak takut menghadapi Sui Lan walaupun gadis itu lihai karena tingkat kepandaiannya lebih tinggi. Pula dia seorang pangeran yang memiliki banyak jagoan dan banyak pengawal sehingga gadis itu sama sekali tidak akan mampu berbuat sesuatu untuk mengganggunya.
Dia sudah hampir melupakan Sui Lan karena hal itu sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Dan hari ini, tiba-tiba saja seorang gadis datang mengembalikan kalung itu kepadanya dan mengatakan hendak membunuhnya! Dia mengamati kalung itu, menyebut nama bekas kekasihnya dan mengangkat muka lagi memandang kepada Cin Cin, gadis itu tersenyum mengejek.
"Nona, apa hubunganmu dengan Sui Lan? Bukan Bhok Sui Lan sekarang telah terkenal dengan julukan Tung-hai Mo-li (Iblis Betina Lautan Timur )?" tanyanya, suaranya masih tenang walaupun hatinya terasa tegang.
"Bagus kalau engkau masih ingat nama subo Bhok Sui Lan! Aku adalah muridnya dan ia mengu tusku untuk menukar kalung itu dengan nyawamu."
Mendengar ini, Kui Eng membentak,"Perempuan iblis, siapa takut padamu? Ibu, koko, mari kita basmi siluman jahat ini!"
Akan tetapi Cian Bu Ong mengangkat tangan atas."Kalian tidak boleh mencampuri. Ini adalah urusan pribadiku, urusan ketika aku masih muda dan kalian belum ada bersamaku."
Mendengar ucapan bekas pangeran itu, Sim Lan Ci, Thian Ki dan Kui Eng tidak berani bicara lagi, hanya menjadi penonton yang berhati tegang. Cian Bu Ong lalu berkata kepada Cin Cin, suaranya berwibawa.
"Nona, aku memang ada urusan dengan gurumu. Kalau ia mendendam kepadaku kenapa bukan ia sendiri yang datang membuat perhitungan denganku di sini? Kenapa harus engkau, seorang gadis muda yang mencari keributan di sini?"
"Cian Bu Ong, hal itu adalah urusan antara kami guru dan murid. Aku mewakili subo untuk membalas dendam ini. Aku bukan orang yang suka cari keributan dan tidak suka membuat kekacauan. Juga aku bukan seorang yang curang. Kalau engkau tidak menghendaki keributan di dusunmu ini, dan agar engkau dapat bersiap-siap menghadapiku, biarlah kuberi waktu sampai besok sore. Setelah matahari condong ke barat, aku menantimu untuk membuat perhitungan di luar dusun sebelah barat di tepi sungai. Nah, selamat malam!"
Setelah berkata demikian, Cin Cin membalikkan tubuhnya meninggalkan pekarangan itu dengan langkah gagah.
Kui Eng yang merasa penasaran sudah melangkah maju hendak mengejar, akan tetapi lengannya dipegang oleh ayahnya."Jangan kejar, biarkan ia pergi."
Sim Lan Ci yang sejak tadi hanya menjadi penonton dan pendengar, mengerutkan alisnya dan kini iapun bertanya kepada suaminya."Sebenarnya siapa sih itu Tung-hai Mo li Bhok Sui Lan dan mengapa ia mengirim muridnya untuk menukar kalung mutiara itu dengan nyawamu ?"
Lurah Cian Bu atau bekas Pangeran Cian Bu Ong itu menghela napas panjang. Sambil memper mainkan kalung mutiara itu diapun berkata,"Mari kita masuk ke dalam dan akan kuceritakan semua kepada kalian, agar kalian tahu apa yang telah terjadi dan mengapa hari ini terjadi peristiwa yang membuat kalian semua merasa heran dan penasaran itu."
Mereka berempat masuk ke dalam rumah dan di ruangan dalam, duduk mengelilingi meja besar, bekas pangeran itu menceritakan riwayatnya dengan Bhok Sui Lan. Sebagai penutup ceritanya dia berkata,
"Memang tadinya kami saling mencinta, bahkan kami sudah bersepakat untuk menikah. Akan tetapi setelah aku tahu latar belakang kehidupannya, bagaimana mungkin aku yang ketika itu seorang Pangeran yang mendambakan kedudukan sebagai kaisar dapat menikah dengan seorang gadis dari keluarga para tokoh sesat yang amat jahat dan yang namanya sudah tercemar? Aku mengembalikan kalung pemberiannya ini dan mengucapkan selamat berpisah. Tidak kusangka selama ini ia menyimpan dendam padaku."
Karena urusan cinta gagal itu terjadi ketika suaminya masih muda dahulu, jauh sebelum bertemu dengannya, maka Sim Lan Ci juga tidak merasa tersinggung. Ia hanya ikut menyesal dan bertanya,
"Kalau memang ia mendendam, kenapa tidak sejak dahulu ia membalas dendamnya ke padamu ?"
Cian Bu tersenyum."Tentu saja ia tidak berani. Selain ketika itu ilmunya tidak akan menang melawanku, juga sebagai pangeran tentu saja aku mempunyai banyak pengawal yang pandai."
"Tapi sekarang?" tanya isterinya.
Cian Bu menghela napas panjang."Entahlah, tetapi melihat gerakan gadis tadi, jelas kini Tung-hai Mo-li tentu telah memperdalam kepandaiannya. Tadi kulihat engkau dan Thian Ki seperti telah mengenalnya, benarkah?"
"Benar, kami mengenalnya. Ia bernama Kam Cin dan biasa dipanggil Cin Cin. Ia puteri ketua Hek- houw-pang yang tewas pula ketika terjadi penyerbuan malam itu" Sim Lan Ci teringat akan keterlibatan suaminya dalam penyerbuan itu dan menahan ucapannya.
"Tapi kenapa tiba-tiba ia muncul sebagai murid Tung-hai Mo-li?" tanya Cian Bu sambil mengerut kan alisnya yang tebal. Bagaimanapun juga, ayah gadis itu, ketua Hek-houw-pang, tewas oleh lima orang anak buahnya. Kalau gadis itu mengetahuinya, bukan untuk subonya saja ia datang hendak membunuhnya, juga tentu untuk membalas kematian ayahnya!
"Kami juga tidak mengerti. Ketika aku kembali ke dusun Ta-bun-cung dulu itu, kami mendengar bahwa Cin Cin diantar oleh susioknya (paman gurunya) untuk menjadi murid Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) Si Han Beng. Entah bagaimana kini tiba-tiba saja ia muncul sebagai murid Tung-hai Mo-li."
Bekas pangeran itu mengangguk-angguk dan meraba dagunya yang ditumbuhi jenggot yang terawat rapi. Kalau gadis itu murid Huang-ho Sin"liong tidak aneh kalau ia lihai sekali. Akan tetapi ia mengakui Tung-hai Mo-li sebagai gurunya.
"Bagaimanapun juga, aku melihat bahwa gadis itu memiliki watak yang gagah. Buktinya, ia memberi waktu kepadaku untuk bersiap sampai besok sore."
"Engkau hendak menandinginya?" tanya isterinya khawatir."Engkau khawatir aku kalah?"
Sim Lan Ci menggeleng kepala. Ia maklum akan kemampuan suaminya dan ia tadi sudah melihat kelihaian Cin Cin. Bagaimanapun juga, sukar dapat dipercaya kalau gadis itu akan mampu mengalahkan suaminya.
"Aku justeru khawatir engkau membunuhnya hingga permusuhan akan menjadi semakin parah padahal, biarpun agak jauh, tetap saja ia masih keponakanku dan saudara misan Thian Ki."
Cian Bu tersenyum."Engkau kira aku ini orang macam apa hendak membunuh seorang gadis muda yang menjadi lawanku? Jangan khawatir,aku tidak akan mencelakainya. Kalau memang Sui Lan hendak membalas dendam kepadaku, ia harus datang sendiri. Tidak menyuruh orang lain."
Diam-diam bekas pangeran ini merasa terharu karena dia mengenal betul watak Sui Lan. Wanita itu bukan seorang penakut, bahkan sangat pemberani. Kalau ia mengutus muridnya, hal itu pasti bukan karena ia takut maju sendiri.
Satu-satunya sebab yang dapat menyebabkan Sui Lan tidak datang sendiri adalah bahwa ia masih mencintanya! Sui Lan agaknya tidak pernah melupakannya, menaruh dendam akan tetapi tidak mau turun tangan sendiri karena agaknya yakin bahwa kalau berhadapan muka, Sui Lan tidak akan tega mencelakainya karena masih mencintanya.
Malam itu, Cian Bu tidur nyenyak, sedikitpun agaknya tidak memikirkan tentang tantangan Cin Cin untuk membuat perhitungan besok sore. Akan tetapi sebaliknya, Sim Lan Ci dan Thian Ki tidak dapat tidur, merasa gelisah membayangkan apa yang akan terjadi esok.
Ketika malam itu Sim Lan Ci menyelinap dari dari dalam kamarnya, meninggalkan suaminya yang sedang tidur nyenyak, ia mendapatkan puteranya duduk termenung seorang diri di ruangan belakang. Melihat ibunya. Thian Ki segera menyambut dengan pertanyaan,"Kenapa ibu belum tidur?"
"Kulihat engkaupun belum tidur masih melamun di sini, Thian Ki. Agaknya pikiran kita sama. Engkau juga memikirkan Cin Cin, bukan?"
"Benar, ibu. Aku khawatir sekali membayangkan apa yang akan terjadi besok sore.""Thian Ki, tadi agaknya Cin Cin telah mengenalmu. Mengapa ia memakimu sebagai monyet jelek?"
Wajah Thian Ki berubah kemerahan. Tentu saja dia merasa malu untuk menceritakan peristiwa itu kepada ibunya, dan dia tidak tahu harus menjawab bagaimana sehingga dia menunduk saja.
"Thian Ki, apakah ada kaitannya dengan ketika engkau pulang bertelanjang dada membawa dua ekor
(Lanjut ke Jilid 22)
Naga Beracun (Seri ke 02 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 22
ikan itu?"
Thian Ki mengeluh dalam hatinya. Ibunya adalah seorang wanita yang cerdik sekali, bagaima napun sukar untuk membohonginya. Dia harus menceritakan pertemuannya dengan Cin Cin, tentu saja tanpa menyebut dan menyinggung tentang dia dan Cin Cin saling melihat masing-masing bertelanjang bulat!
"Benar, ibu. Akan tetapi ketika kami saling jumpa di tepi sungai itu, kami tidak saling mengenal. Ketika itu aku hendak mandi dan sudah membuka baju, ketika aku melihat dua ekor ikan itu menggelepar di balik semak. Aku menanqkap dua ekor ikan itu. Tidak tahunya, ia muncul dan marah-marah, mengatakan bahwa aku hendak mencuri ikan miliknya. Lalu sebagai gantinya, ia dengan marah membuang bajuku yang sudah kutanggalkan ke tengah sungai sampai hanyut, lalu ia memaki aku monyet jelek dan pergi."
Terpaksa Thian Ki berbohong dan mengubah kejadian yang sebenarnya kepada ibunya, karena bagaimanapun tentu saja dia merasa malu untuk bicara terus terang tentang ketelanjangan itu.
Ibunya mendengarkan penuh perhatian dan menarik napas panjang."Hemm, ia masih lincah, jenaka dan pemberani seperti dahulu, hanya kini bertambah galak dan lihai. Thian Ki, bagaimana pun juga, kita harus mencegah terjadinya perkelahian antara ia dan ayahmu."
"Akan tetapi bagaimana caranya, ibu? Ayah sudah mengatakan bahwa itu urusan pribadinya dan kita tidak boleh mencampuri. Ayah benar dan aku tidak berani untuk membujuknya."
Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Engkau harus dapat membujuk Cin Cin agar membatalkan perkelahiannya dengan ayahmu. Kalau aku yang membujuk, kurang baik. Engkaulah yang lebih dekat dengannya, karena ayahmu adalah saudara sepupu ibunya. Engkau bujuklah ia agar tidak melanjutkan kehendaknya menantang ayahmu."
Thian Ki membayangkan Cin Cin yang demikian galak terhadap dirinya dan diam-diam dia merasa jerih juga. Gadis itu demikian galak seperti harimau betina. Akan tetapi, ketika itu Cin Cin belum mengetahui bahwa dia adalah Thian Ki. Mungkin kini sikapnya berubah lebih lunak, mengingat betapa dulu, ketika dia menjadi tamu keluarga gadis itu bersama ayah ibunya, me re ka adalah s audara mis an yang bersahabat karib.
Naga Sakti Sungai Kuning Eps 4 Pedang Naga Hitam Eps 2 Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 5