Ceritasilat Novel Online

Pedang Naga Hitam 2


Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 2




   Setelah mendapatkan kamar, Han Sin lalu di beri tugas oleh Tiong Gi Hwesio. Tugas pekerjaan yang berat. Setiap hari dia harus mengisi bak-bak air, mencari kayu bakar, membelah kayu-kayu besar itu menjadi kayu bakar. Di waktu malamnya, dia diharuskan membaca kitab-kitab agama dan menghafalnya.

   Han Sin tidak menyangka sama sekali bahwa dia harus bekerja berat dikuil itu. Dan pekerjaan itu pun dilakukan dengan cara-cara yang seolah menyiksanya. Dia diharuskan memikul air dengan kedua kaki mengenakan bakiak (alsa kaki dari kayu) yang amat berat. Baru memakai bakiak itu saja dia sudah hampir tidak dapat berjalan dengan baik. Apalagi harus memikul air yang berat dan bergoyang-goyang. Dan pikulannya pun terbuat dari lidi bambu yang banyak diikat menjadi satu.

   Setelah dia mampu berjalan dengan bakiak memikul dua tong air yang penuh dengan baik, dengan langkah ringan dan cepat yang baru dapat dilakukan setelah dia bekerja lebih dari tiga bulan, batang-batang lidi itu dikurangi satu demi satu.

   Sudah setahun lamanya Han Sin berada di kuil dan belum juga dia dilatih ilmu silat oleh Tiong Gi Hwesio. Bahkan pekerjaannya pun semakin berat saja. Pada pikulannya di ikat dua potong besi yang beratnya tidak kurang dari sepuluh kilo dan dia diharuskan memikul air dengan tong air yang bocor. Setiap kali dia sampai di bak air, pikulannya sudah kosong karena airnya habis membocor dalam perjalanan dari sumber air ke bak air dibelakang kuil.

   Dia tidak boleh mengganti tong air. Terpaksa dia harus berjalan atau bahkan berlari secepat mungkin agar setibanya di bak air, tong itu belum habis sama sekali.

   Dalam waktu setahun, seringkali dia menjadi bahan tertawaan murid-murid yang lain yang tidak diharuskan bekerja berat seperti halnya Han Sin. Namun, biar mendapat perlakuan seperti itu, Han Sin tidak pernah mengeluh. Bahkan kepada ibunya yang hampir setiap bulan sekali datang menjenguknya, tidak ada sepatahpun kata keluhan atau aduan kepada ibunya. Han Sin sudah dapat mengendalikan perasaanya dan belajar untuk bersabar diri.

   Di waktu malam, seringkali Tiong Gi Hwesio datang kemarnya dan hwesio ini memberi petuah-petuah mengenai soal-soal kebatinan kepada anak itu. Ditekankan oleh hwesio itu agar Han Sin dapat menerima kenyataan, menerima keadaan dengan penuh kewaspadaan, menerima keadaan bukan berarti putus asa atau mengalah, melainkan penuh kepasrahan kepada kekuasaan Tuhan.

   "Setiap saat kau waspadalah terhadap segala perbuatanmu, gerak gerik semua anggota tubuhmu kalau sedang melakukan sesuatu. Juga jangan lengah untuk mengamati apa yang terjadi dengan hati dan pikiranmu. Kewaspadaan ini akan membuat kau mengenal benar siapa dirimu dan mengikuti semua ulah nafsu yang menguasai dirimu lahir batin. Hanya kewaspadaan yang menyeluruh ini yang akan membawamu ke dalam jalan kehidupan yang benar, Han Sin "

   Setiap kali menerima wejangan hwesio itu, tentu saja Han Sin merasa agak pusing. Ucapan hwesio itu terlalu dalam untuk pikiran seorang anak berusia sepuluh tahun. Akan tetapi setelah hwesio itu pergi meninggalkan kamarnya, Han Sin suka merenungkan semua itu sampai dia samar-samar dapat menangkap intinya. Makin dia mengerti, makin sabarlah dia dan kehidupan dikuil itu makin terasa ringan. Kejenakaannya yang menjadi watak dasarnya timbul kembali sehingga dia dapat bersenda gurau dengan murid-murid yang lain di dalam kuil itu.

   Karena pekerjaannya, Han Sin jadi dekat dengan Ho Beng Hwesio, tukang masak dikuil itu. Dalam pekerjaan membelah kayu bakar, mula-mula dia diberi sebuah kapak. Akan tetapi dia dilarang keras mengasah kapak itu. Tentu saja dalam setahun, kapak itu menjadi tumpul, tidak terasa oleh Han Sin dan dia tetap dapat sekali pukul membelah kayu yang besar. Ternyata ini pun merupakan latihan yang amat besar manfaatnya untuk menghimpun tenaga

   Ho Beng Hwesio seringkali melihat anak itu bekerja dan diluar tahunya Han Sin, seringkali dia mengangguk dan tersenyum. Kakek tua renta ini sudah tahu bahwa Han Sin adalah putera mendiang panglima Cian Kauw Cu. Terbayanglah dia akan masa lalunya, tiga puluh tahun yang lalu, ketika dia masih berjuluk Hek Liong Ong, dia menjadi guru Cian Kauw Cu (baca Sepasang Naga Lembah Iblis). Dan Cian Kauw Cu merupakan seorang murid yang baik sekali. Sama sekali tidak terpengaruh oleh wataknya yang ketika itu masih menjadi seorang datuk sesat yang kejam. Kemudian bahkan muridnya yang membujuknya membantu para pejuang, membantu Yang Chien menaklukkan Kerajaan Toba sehingga membangun Kerajaan Sui yang sekarang. Diapun mendengar bahwa muridnya itu telah gugur dalam perang, dan kini putera muridnya itu menjadi murid dalam kuil itu.

   Sudah dua tahun Han Sin berada di kuil itu. Pekerjaan berat yang sebetulnya merupakan latihan menghimpun tenaga itu membuat tubuhnya nampak semakin tegap. Dalam usianya yang dua belas tahun, Han Sin telah memiliki tenaga yang melebihi orang dewasa. Pada suatu hari ibunya datang menjenguknya. Seperti biasa, ibunya datang membawakan makanan yang enak-enak untuk puteranya. Setelah mereka bercakap-cakap melepaskan rindu, ibunya lalu bertanya "Han Sin, sampai dimana pelajaran ilmu silatmu?"

   "Ditanya begini, Han Sin menjadi bingng bagaimana untuk menjawab "Ah, biasa-biasa saja ibu"

   "Hari ini ibu ingin melihatnya. Berlatihlah dengan ilmu silat yang kaupelajari dari Tiong Gi Hwesio"

   Sekarang Han Sin tidak dapat menjawab lagi. Dia tidak tahu mau berbohong kepada ibunya, walaupun dia tidak ingin mengadu dan mengeluh.

   "Hayo, Han Sin, kenapa diam saja? Kau tidak malu kepada ibumu sendiri bukan? Ibu ingin melihat hasil latihan mu disini"

   Han Sin menghampiri ibunya dan memegang tangan ibunya. Dia amat sayang kepada ibunya dan tidak ingin mengecewakan hati ibunya.

   "Ibu, sebetulnya aku belum pernah berlatih silat disini, akan tetapi aku tidak kecewa, banyak mendapat pelajaran memperdalam sastra dan pengetahuan agama, juga banyak mendapat petuah dari suhu. Dan pekerjaan disini juga menyenangkan"

   Akan tetapi Ji Goat sudah marah sekali. Ia bangkit berdiri, memanggil seorang hwesio lalu berkata dengan suara dingin.

   "Tolong undang Tiong Gi Hwesio agar datang ke sini"

   Hwesio itu melihat sikap seorang yang tidak senang makan cepat ia pergi kedalam dan tak lama kemudian Tiong Gi Hwesio masuk ke dalam ruangan tamu itu.

   "Ah, Cian-toanio. Selamat pagi, toa-nio" kata Tiong Gi Hwesio dengan ramah dan hormat

   "Losuhu, apa yang terjadi disini? Aku minta kepada anakku untuk berlatih ilmu silat yang dia pelajari disini dan dia mengatakan bahwa dia belum pernah berlatih silat. Apa artinya ini, losuhu?"

   "Omitohud.... Han Sin tidak pernah mengeluh"

   "Suhu, teecu sama sekali bukan bermaksud mengeluh atau mengadu kepada ibu. Akan tetapi karena ibu minta teecu berlatih ilmu silat yang teecu pelajari disini, terpaksa teecu mengatakan terus terang"

   "Omitohud.... pinceng tidak menyalahkanmu, Han Sin, juga sama sekali tidak menyalahkan toa-nio" Dia lalu menghadapi nyonya itu dan mengangkat kedua tangan didepan dadanya.

   "Toa-nio, lupakan toanio ketika pertama kali membawa Han Sin ke sini, minta kepada pinceng untuk mengajarkan dasar-dasar ilmu silat yang dalam? Han Sin adalah putera mendiang Cian Ciangkun dan Cian-toanio yang pinceng tahu memiliki ilmu silat yang tinggi. Oleh karena itu, pinceng tekankan kepada latihan gerakan dasar yang membuat kaki tangannya ringan dan membangkitkan tenaga tubuh yang benar-benar kuat. Silahkan Toanio mengajaknya berlatih ilmu silat yang pernah dia pelajari dirumah dan toanio akan mengetahui kemajuannya"

   Jo Goat memandang kepada puteranya penuh perhatian. Ia masih belum melihat kemajuan itu, hanya harus mengakui bahwa tubuh puteranya menjadi semakin tegap.

   "Han Sin, mari kita berlatih Lo-hai-kun (Silat Pengacau Lautan) yang pernah kuajarkan kepadamu sebentar" katanya dengan nada memerintah.

   "Baik, ibu" kata Han Sin yang melihat bahwa ibunya marah dan dia mentaati untuk menghibur hati ibunya.

   Ibu dan anak itu memasang kuda-kuda, lalu ibunya berseru "jaga seranganku" dan iapun menyerang dengan ilmu silat itu. Han Sin bergerak dan keduanya, ibu dan anak itu terkejut. Ji goat melihat gerakan puteranya demikian ringan dan cepat. Juga Han Sin kaget sendiri melihat gerakannya dan sadarlah dia bahwa ini berkat latihan memikul air dengan tong bocor sehingga dia terpaksa berlari cepat.

   Ibunya mulai gembira dan menyerang dengan cepat. Han Sin menangkis "Dukkk" kembali keduanya terkejut. Tenaga tangkisan itu membuat Ji Goat merasa lengannya terguncang hebat, dan Han Sin juga merasakan betapa tenaganya mampu menolak tenaga ibunya yang biasanya dirasakan amat berat. Mereka berlatih semakin cepat dan ternyata Han Sin dapat mengimbangi permainan silat ibunya. Ji Goat lalu melompat ke belakang.

   "Cukup, Han Sin" katanya dan nyonya itu lalu memberi hormat kepada Tiong Gi Hwesio "Lo-suhu, maafkan saya. Baru sekarang saya mengerti apa yang lo-suhu maksudkan dan banyak terima kasih atas semua bantuan lo-suhu. Saya serahkan sepenuhnya kepada lo-suhu" Ji Goat memang merasa gembira bukan main, anaknya yang baru berusia dua belas tahun itu telah memperoleh kemajuan yang demikian pesatnya sehingga hampir dapat mengimbanginya dalam hal tenaga dan kecepatan.

   Nyonya janda itu pulang dengan hati gembira dan puas. Sebaliknya Han Sin juga menyadari bahwa semua pekerjaan berat yang diberikan Tiong Gi hwesio kepadanya, yang nampaknya seperti menyiksanya, sebenarnya merupakan latihan yang amat bermanfaat. Dia teringat betapa murid dikuil itu sering kali menertawakannya. Dan kini dia yang menertawakan mereka. Mereka itu hanya memperoleh ilmu sebagai kulitnya saja, tanpa mendapatkan inti dan isinya. Akan tetapi kalau begini terus, kapan dia akan memperoleh latihan ilmu silat?

   Malam itu terang bulan, setelah menghafalkan isi kitab agama, Han Sin duduk dalam kamarnya. Jendela kamarnya dia buka sehingga dia dapat menikmati keindahan malam terang bulan. Malam itu sunyi. Di luar nampak hijau kekuningan dan angin malam yang lembut bersilir, menggerakkan daun-daun pohon yang tumbuh diluar kamar jendelanya.

   Memandangi keindahan malam itu, Han Sin melamun. Nampak awan putih berarak diangkasa dan dibalik awan itu sinar bulan menciptakan keindahan di angkasa seolah angkasa menjadi sorga yang diceritakan dalam dongeng, Han Sin teringat kepada ayahnya. Apakah ayahnya berada dibalik awan-awan itu? Dia terkenang kepada ayahnya dan makin dalam tenggelam ke dalam lamunannya. Dia selalu membayangkan ayahnya sebagai orang yang paling gagah didunia. Dan diapun ingin kelak menjadi seperti ayahnya. Orang gagah yang menentang kejahatan, dan yang selalu ditakut musuh-musuhnya.

   Tiba-tiba dia melihat daun-daun pohon itu bergoyang agak keras, padahal angin tetap lembut seperti tadi. Dia seperti melihat bayangan dipohon. Han Sin bangkit berdiri dan menghampiri jendela agar dapat melihat lebih jelas. Setelah tiba ditepi jendela dia memandang dan benar saja, bayangan dipohon itu adalah seorang manusia yang tahu-tahu telah duduk di atas cabang pohon itu dan dia segera mengenal orang itu. Ho Beng Hwesio, tukang masak yang tua renta itu duduk di sana sambil tersenyum kepadanya. Hampir dia tidak dapat percaya. Bagaimana tahu-tahu hwesio tua itu telah berada di atas pohon?.

   "Ho Beng suhu"

   "Ssssttttt....... mari kau ikut denganku, nanti kita bicara. Maukah kau?" tanya hwesio tua itu dengan suara lirih.

   "Keluarlah dari jendela dan tutupkan daun jendela dari luar"

   Seperti dalam mimpi, Han Sin memenuhi permintaan hwesio tua itu meloncat keluar dari jendela dan menutupkan daun jendela. Hwesio tua itu meloncat turun dari atas cabang pohon, gerakannya demikian ringan seperti sehelai daun kering, kemudian memberi isyarat dengan gapaian tangan kepadanya untuk mengikuti.

   Han Sin meloncat kedepan, akan tetapi kakek itu juga bergerak cepat ke depan. Han Sin menjadi penasaran dan dia berlari secepatnya untuk mengejar. Namun dia tidak pernah dapat menyusul kakek itu. Jarak antara mereka masih tetap. Padahal kakek itu nampaknya seperti berjalan seenaknya saja. Ho Beng Hwesio terus membawanya menuju ke sumber air dilereng bukit di belakang kuil. Han Sin tetap membanyangi dan akhirnya kakek itu berhenti diatas sumber air dimana ada lapangan rumput. Tempat itu terang karena agak jauh dari pohon-pohon besar. Han Sin segera menghampirinya dengan perasaan kagum dan heran.

   "Ho Beng suhu, apa maksudmu mengajak aku ke sini?" tanya Han Sin. Dia sudah mengenal baik hwesio tukang masak ini karena beberapa hari sekali dia mendapat tugas membelah kayu bakar di dapur.

   "Han Sin, maukah kau belajar silat dariku? Aku pernah mempelajari beberapa macam ilmu silat. Kini aku sudah tua dan sebelum mati aku ingin meninggalkan semua ilmuku kepadamu "

   "Kenapa kepadaku, Ho Beng suhu?"

   "Karena kau seorang anak yang tekun, rajin dan tahan uji. Aku sudah melihat kau bekerja giat dan sabar selama dua tahun ini. Akan tetapi ada satu syaratnya kalau kau hendak belajar silat dariku"

   "Apa syaratnya, Ho Beng suhu?"

   "Syaratnya kau tidak boleh mengatakan kepada siapapun juga bahwa kau belajar silat dariku sehingga aku akan mengajarmu seperti sekarang ini, secara sembunyi di waktu malam. Sanggupkah kau memenuhi syarat itu?"

   "Aku sanggup. Akan tetapi kalau kau akan mengajarkan ilmu silat kepadaku, aku juga mempunyai syarat, yaitu, kau harus lebih dulu membuktikan bahwa kau lihai dan dapat mengalahkan aku. Bagaimana Ho Beng suhu?"

   "Bagus, memang kau tidak boleh percaya apapun sebelum membuktikan sendiri. Nah, sekarang seranglah aku dengan segala kepandaian dan kerahkan semua tenagamu"

   Dalam hatinya, Han Sin merasa tidak tega menyerang hwesio yang sudah tua renta ini. Bagaimana kalau pukulannya mengenai tubuh yang sudah nampak rapuh itu. Membuat tubuh itu terluka. Maka, tentu saja dia tidak ingin menyerang dengan sepenuh tenaganya.

   "Ho Beng suhu, jaga seranganku" katanya dan diapun menyerang mempergunakan sebagian saja dari tenaganya namun gerakannya cepat bukan main.

   Kakek itu melangkah dan memutar tubuh ke kira sehingga pukulan itu luput dan dari kiri tangannya mendorong tubuh Han Sin, dan dia tidak dapat mempertahankan diri lagi dan roboh terpelanting.

   "Omitohud, kenapa kau membatasi tenagamu? Hayo serang lagi, kerahkan semua tenagamu dan pergunakan jurus silatmu yang paling hebat" tantang hwesio itu.

   Han Sin bangkit dan diam-diam terkejut dan penasaran. Begitu mudahnya dia dirobohkan. Kini dia menyerang lagi, menggunakan jurus Lo-hai-kun dan mengerahkan tenaga sepenuhnya.

   Hebat serangannya ini, akan tetapi sebelum tangannya yang memukul itu mengenai sasaran, kakek itu mengelebatkan tangannya dan seketika tangan Han Sin, yang memukul menjadi lumpuh. Dia menyusulkan tamparan dengan tangan kiri, akan tetapi dengan mudahnya kakek itu mengelak dan begitu tangan kiri Han Sin lewat, dia memutar tubuh mendorong pundak anak itu dan untuk kedua kalinya Han Sin terpelanting roboh.

   Kini yakinlah Han Sin bahwa kakek itu memang memiliki ilmu silat yang lihai sekali maka tanpa ragu lagi diapun menjatuhkan diri berlutut didepan tukang masak itu.

   "Teecu siap menerima petunjuk suhu"

   "Husshhh, lupakah kau akan syaratku tadi? Kau sama sekali tidak boleh bersikap begini kepadaku, tentu orang lain akan mengetahui. Bersikaplah biasa saja, jangan seperti seorang murid terhadap gurunya, mengerti?"

   "Han Sin bangkit lalu mengangguk" Aku...... aku mengerti, Ho Beng suhu" katanya dengan sikap dan nada suara biasa.

   "Bagus, nah, mari kita mulai. Perhatikan baik-baik dan tirulah gerakan jurusku ini"

   Mulailah Ho Beng Hwesio atau Hek Liong Ong Poa Yok Su mengajarkan ilmu silat tinggi kepada anak itu. Dia mengajarkan dengan sungguh-sungguh hati dan Han Sin yang maklum bahwa dia telah menemukan seorang guru yang pandai sekali juga belajar dengan tekun.

   Mulai malam itu, boleh dibilang setiap malam karena jarang sekali berhenti, Han Sin dilatih ilmu-ilmu silat oleh kakek itu.

   Mereka selalu bertemu dimalam hari, di atas sumber air itu. Di waktu siangnya, Ho Beng Hwesio bekerja di dapur seperti biasa, dan kadang Han Sin membelah kayu bakar di dapur dan sikap kedua orang itu sama lain nampak biasa saja. Selain ilmu silat, juga Ho Beng Hwesio mengajarkan cara bersemadi menghimpun tenaga sakti.
Dan pada siang harinya, Tiong Gi Hwesio yang pernah di tegur Ji Goat juga mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silat siuw-lim-pai yang amat tangguh itu. Han Sin juga mempelajarinya dengan tekun karena dia telah diberitahu ibunya bahwa ilmu silat siauw-lim-pai adalah ilmu silat yang hebat, yang menjadi sumber dari aliran lain, karena ilmu silat siau-lim-pai mengandung pokok-pokok dasar gerakan ilmu silat pada umumnya.

   ***

   Sang waktu terbang dengan cepatnya. Kalau tidak diperhatikan, tahun-tahun lewat bagaikan berhari-hari saja. Sebaliknya, kalau kita memperhatikan waktu, sehari rasanya setahun. Tanpa disadari, sejak Han Sin di latih ilmu silat oleh Ho Beng Hwesio lima tahun telah lewat. Selama tujuh tahun Han Sin berada di kuil itu dan kini dia telah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas tahun. Tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan dan gagah. Wajahnya selalu cerah dengan senyum tak pernah meninggalkan bibirnya. Matanya bersinar lembut, akan tetapi seperti mata Naga. Sikapnya tenang akan tetapi dia lincah jenaka, suka bergurau dan memandang dunia ini dari segi yang indah dan menggembirakan. Pelajaran agama dan sastra sudah ditekuni selama tujuh tahun dan pemuda ini memiliki pandangan yang luas akan kehidupan.

   Dia pun seorang yang patuh memegang janjinya. Dia merahasiakan tentang keadaan Ho Beng Hwesio, bahkan kepada ibunya sendiri rahasia itu tidak pernah diceritakan. Juga Tiong Gi hwesio sama sekali tidak pernah menduga bahwa muridnya yang paling pandai itu di samping ilmu-ilmu silat siaw-lim-pai yang di ajarkannya, juga mempelajari ilmu silat lain yang luar biasa dari seorang datuk persilatan yang namanya pernah tersohor di dunia kang"ouw.

   Setelah dia menjadi dewasa, barulah dia yakin benar akan manfaat pekerjaan kasar dan berat yang ditugaskan oleh Tiong Gi Hwesio kepadanya ketika dia masih kecil. Hasilnya terpetik plehnya setelah dia menjadi dewasa dan untuk itu dia merasa bersukur dan berterima kasih kepada ketua kuil itu.

   Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, kuil siauw-lim-pai itu didatangi seorang tosu tinggi kurus berusia enam puluh tujuh tahun. Matanya sipit mencorong, tangan kiri memegang sebatang hud-tim dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat putih. Sikapnya tenang sekali dan karena pada hwesio penjaga dia menyatakan ingin bertemu dengan Tiong Gi hwesio, maka hwesio penjaga melapor ke dalam dan tak lama kemudian Tiong Gi Hwesio keluar menjumpai tosu itu. Mereka saling memberi hormat.

   "Siancai. Kalau pinto tidak salah duga, tentu losuhu ini yang bernama Tiong Gi hwesio dan menjadi ketua kuil siauw-lim-pai ini, bukan?" kata tosu itu dengan suaranya yang terdengar dingin namun sikapnya lembut.

   "Omitohud, dugaan to-yu memang tepat. Pinceng adalah Tiong Gi Hwesio yang bertugas memimpin dikuil ini. Tidak tahu siapakah to-tiang dan apakah keperluan to-tiang memberi kehormatan berkunjung ke kuil kami?"
"Pinto disebut orang Ngo Heng Thian Cu. Kalau tidak salah, di kuil ini terdapat seorang hwesio yang baru menjadi hwesio sekitar tujuh tahun lebih, mukanya hitam seperti arang. Benarkah ada hwesio itu, Tiong Gi hwesio?" Sepasang mata sipit itu memandang tajam penuh selidik.

   "Omitohud, mungkin to-yu maksudkan adalah Ho Beng Hwesio yang menjadi tukang masak kami. Benarkah dia yang to-yu maksudkan?"

   "Pinto tidak tahu nama barunya sebagai hwesio, akan tetapi pinto mengenalnya dengan baik sebelum dia menjadi hwesio. Bolehkah pinto bertemu dengan dia untuk melihat apakah dia orang yang pinto cari?"

   Kebetulan Han Sin berada pula di depan dan melihat pemuda itu, Tiong Gi hwesio lalu berkata kepadanya

   "Han Sin, coba panggil Ho Beng Hwesio untuk keluar sebentar. Katakan bahwa pinceng yang memanggilnya ke sini"

   "Baik, suhu" Han Sin segera masuk kedalam kuil, langsung menuju ke dapur. Di situ dia melihat Ho Beng Hwesio sedang menyalakan api dapur, agaknya hendak mulai dengan tugasnya sehari-hari, yaitu memasak.

   "Ho Beng suhu"

   "Eh Han Sin, ada keperluan apakah kau sepagi ini masuk ke dapur?" tegur Ho Beng Hwesio sambil tersenyum. Semua ilmu pilihannya telah di ajarkan kepada murid ini dan dia merasa puas karena Han Sin membuktikan bahwa dia seorang murid yang berbakat sekali. Semua ilmu itu telah dapat dikuasai dengan baik.

   "Suhu, ada seorang tamu yang ingin bertemu dengan suhu dan Tiong Gi suhu sekarang memanggil suhu untuk keluar menemuinya"

   Tiba-tiba sikap Ho Beng Hwesio berubah. Matanya yang sudah lebar itu terbelalak makin lebar. Mukanya yang hitam menjadi agak pucat dan dia nampak terkejut dan gelisah.

   "Tamu itu.......... dia seperti apakah? Bagaimana macamnya dan berapa usianya" tanyanya kepada Han Sin yang menjadi heran sekali melihat hwesio tua yang sakti itu nampak seperti orang yang ketakutan.

   "Dia seorang tosu, usianya tentu sudah hampir tujuh puluh tahun. Orangnya tinggi kurus, matanya sipit mencorong"

   "Apakah dia memegang sebatang hud-tim dan sebatang tongkat putih?"

   "Benar sekali, suhu. Dan dia mengaku bernama Ngo Heng Thian Cu"

   "Aduh celaka. Aku... aku tidak mau membunuh dan di bunuh. Han Sin tolonglah aku. Katakan pada Tiong Gi hwesio bahwa aku sedang pergi berbelanja. Sudah, aku mau pergi dan jangan katakan kepada siapapun juga" kakek tua renta itu bergegas keluar dari dapur.

   Han Sin tertegun. Tidak mau membunuh dan dibunuh? Ada apakah diantara gurunya ini dan tosu itu? Dan mengapa orang sesakti Ho Beng Hwesio dapat bersikap ketakutan seperti itu? Dia mengejar keluar ke dapur, akan tetapi hwesio tua renta itu sudah lenyap dari situ, agaknya sudah melarikan diri entah kemana.

   Dengan perasaan heran sekali terpaksa Han Sin kembali ke ruangan depan dimana Tiong Gi hwesio sedang bercakap-cakap dengan tosu yang menjadi tamu. Mereka berdua memandang ketika Han Sin kembali ke ruangan itu, dan tosu itu mengerutkan alisnya melihat Han Sin datang seorang diri saja.

   "Han Sin, mana Ho Beng Hwesio? Kenapa tidak ikut denganmu?" tanya Tiong i hwesio.

   "Ho Beng suhu sedang pergi berbelanja, suhu, dia tidak berada di dapur" Han Sin terpaksa berbohong untuk memenuhi permintaan Ho Beng Hwesio.

   "Pergi berbelanja? Aneh sekali, biasanya bukan dia yang pergi berbelanja" Kata Tiong Gi hwesio.

   Mendengar ini, tosu yang berjuluk Ngo Heng Thian Cu itu nampak marah sekali "Keparat, Hek Liong Ong. Kembali kau dapat meloloskan diri dari tangan pinto" setelah berkata demikian, sekali meloncat tosu itu sudah pergi dari situ.

   Tiong Gi hwesio tertegun dan terbelalak "Hek Liong Ong? apa maksudnya......?"

   "Suhu, siapakah Hek Liong Ong itu? Han Sin bertanya, akan tetapi di dalam hatinya dia sudah dapat menduga. Tukang masak yang bernama Ho Beng Hwesio itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, dan mungkin saja dia seorang tokoh persilatan yang menyamar dan menyembunyikan diri di dalam kuil sebagai tukang masak.

   "Hek Liong Ong adalah nama julukan seorang datuk sesat yang terkenal sekali puluhan tahun yang lalu dan yang kemudian lenyap dari dunia kang-ouw. Mungkinkah dia"

   "Suhu, kalau begitu biarlah teecu menyusul Ho Beng suhu ke pasar kita, tentu dia berbelanja di sana. Akan teecu kabarkan kepadanya bahwa dia di cari oleh tosu tadi"

   "Sebaiknya begitu dan suruh dia cepat pulang, Han Sin" Kata Tiong Gi hwesio dengan khawatir.

   Han Sin segera pergi meninggalkan kuil. Akan tetapi dia tidak pergi ke kota raja, karena tidak mungkin Ho Beng Hwesio pergi ke sana. Kalau suhunya itu pergi untuk menyembunyikan diri, kiranya hanya satu tempat yang akan di datangi suhunya itu dan dia dapat menduga mana tempat itu. Tentu tempat itu tak jauh dari sumber air dimana mereka berdua biasanya berlatih silat di waktu malam. Maka dia lalu mengambil jalan memutar menuju ke bukit di belakang kuil.

   Dugaan Han Sin memang tidak keliru. Ketika mendengar bahwa ada seorang tosu berusia hampir tujuh puluh tahun, kurus tinggi dan memegang sebuah hud-tim dan sebatang tongkat putih, Ho Beng Hwesio segera pergi dengan segera. Kambuh pula rasa takutnya akan kematian karena dia maklum betapa lihai musuh yang kini mencarinya itu. Dia atau tosu itu yang akan mati kalau mereka bertemu dan perkelahian takkan dapat dielakkan lagi.

   Karena tidak ada tempat yang baik baginya untuk bersembunyi, maka dia lalu berlari menuju bukit di mana terdapat sumber air dan dimana biasanya dia melatih ilmu silat kepada Han Sin.

   Tempat ini cukup sunyi dan tersembunyi. Untuk sementara dia dapat bersembunyi di situ sampai keadaan aman dan dia dapat pergi mencari tempat lain yang jauh dari situ. Setelah ada musuh yang tahu bahwa dia bersembunyi di kuil itu sebagai seorang hwesio, tidak ada gunanya lagi menlanjutkan persembunyiannya di situ. Setelah tiba di lapangan rumput yang dikelilingi hutan kecil itu, dia duduk termenung.

   Ngo Heng Thian Cu? Dia ingat betul orang ini. Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, sebagai seorang diantara para datuk besar, dia bermusuhan dengan Thian Te iu Kwi (Setan Arak Langit Bumi) yang terkenal sebagai seorang datuk dari timur. Dia juga disebut sebagai Dewa Mabok, namun ilmu silatnya lihai sekali dan setingkat dengan kepandaian Hek Liong Ong. Beberapa kali terjadi bentrokan antara dia dan Thian Te Ciu Kwi, terutama sekali ketika dia membantu perjuangan Yang Chien, sedangkan Ciu kwi membantu Raja Julan Khan, Raja bangsa Toba yang berkuasa di Tiang-an. Dalam pertempurannya terakhir dengan Thian Te Ciu Kwi mereka berkelahi lagi dan dia berhasil melukai ciu kwi yang menjadi semakin benci dan dendam kepadanya. Dan Ngo Heng Thian Cu adalah murid yang paling lihai dari thain te ciu kwi.

   Bahkan kabarnya tingkat kepandaian Ngo Heng Thian Cu lebih tinggi dari tingkat kepandaian gurunya itu. Maka, kalau Ngo Heng Thian Cu kini mencarinya, tentu akan membalas kekalahan gurunya dan mengingat akan kelihaian orang itu, dia harus melawan mati-matian. Padahal kini dia telah tua dantenaganya sudah berkurang banyak sekali. Sebetulnya dia tidak takut menghadapi siapa pun juga, akan tetapi membayangkan kematian membuat dia kembali merasa ngeri. Sia-sia saja usahanya selama bertahun-tahun ini untuk menghilangkan rasa takut. Bukan lenyap, melainkan hanya mengendap saja. Dan sekarang begitu maut mengancamnya, kembali rasa takut itu timbul dan mencekam hatinya.

   " Hek Liong Ong..." tiba-tiba terdengar seruan yang mengejutkan hati Hek Liong Ong. Dia meloncat bangun dan memutar tubuhnya, menghadapi tosu itu dengan muka berubah pucat, akan tetapi segera dia tertawa dan keberaniannya timbul kembali karena dia memang tidak pernah takut menghadapi musuh.

   "Ha. ha. ha., Ngo Heng Thian Cu. Mau apa kau mencariku?"

   "Hemmmm, Hek Liong Ong, tujuh tahun yang lalu, kau mampu meloloskan diri dari Pulau Naga. Sekarang jangan harap akan dapat meloloskan diri lagi dari tangan pinto.

   Demi suhu Thian Te Ciu Kwi. Kau harus mati di tangan pinto"

   "Thian Te Ciu Kwi pengecut. Suruh dia datang sendiri menghadapi aku. Kenapa menyuruh kau mewakilinya?"

   "Suhu sudah meninggal dunia sepuluh tahun yang lalu dan pesannya kepada pinto yang terakhir adalah mencari dan membunuhmu, Hek Liong Ong. Sarangmu di Pulau Naga sudah ku bakar, Semua anak buahmu sudah kubunuh. Sekarang tinggal kau yang harus mati di tangan pinto.

   "Haaaiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttt" tiba-tiba tosu tinggi kurus itu sudah menerjang dengan dahsyatnya. Tongkatnya berubah menjadi sinar putih yang menyambar-nyambar.

   Hek Liong Ong meloncat kebelakang dan tangannya menyusup ke balik jubahnya dan dilain saat dia sudah memegang sebatang pedang terhunus, kiranya kakek ini ketika melarikan diri tadi sudah membawa pedang yang disembunyikan dibalik jubahnya.

   "Ngo Heng Thian Cu, akan kuantar kau menyusul arwah gurumu" bentaknya dan diapun maju menyambut serangan tosu itu dengan gerakan dahsyat pula.

   Terjadi perkelahian yang hebat dan seru. Biarpun dia sudah tua renta namun Hek Liong Ong masih mampu memainkan pedangnya dengan dahsyat. Kakek raksasa bermuka hitam ini memang tangguh sekali. Dan dalam usia mendekati seratus tahun itu tenaganya masih kuat sehingga pedang yang dimainkan ditangannya itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung.

   Akan tetapi lawannya juga tidak kalah hebatnya, biarpun dia murid Thian Te Ciu Kwi, namun tingkat kepandaiannya sudah melampaui tingkat gurunya sendiri. Hal ini dapat terjadi karena diapun mempelajari ilmu-ilmu silat dari aliran lain. Dan menghadapi Hek Liong Ong yang tangguh, Ngo Heng Thian Cu ini mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Ketika Han Sin tiba di tempat itu, kedua orang sakti itu telah bertanding. Han Sin terkejut melihat tosu yang tadi mengunjungi kuil itu menemukan gurunya dan mereka telah berkelahi dengan serunya. Dia tidak berani mencampuri dan hanya menonton sambil mengintai dari balik batang pohon. Dia melihat bahwa gurunya tidak kalah tangguh dan kedua orang itu saling serang dengan hebatnya.

   Suara berdentingan ketika pedang bertemu tongkat, diseling bentakan-bentakan mereka membuat suasana menjadi menegangkan sekali. Han Sin mengenal jurus-jurus maut dan sekali saja seorang diantara mereka kurang cepat mengelak dan menangkis, tentu akan roboh dan tewas. Hud-tim ditangan tosu itu lihai sekali, kadang dapat digunakan sebagai cambuk melecut, kadang menjadi kaku dan dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah, dipadu dengan tongkat itu menjadi sepasang senjata yang ampuh sekali. Akan tetapi, dia melihat gurunya juga menggerakkan pedang dengan cepatnya dan seringkali pedang itu merupakan ancaman maut bagi si tosu.

   Bagaimanapun juga, dalam adu kekuatan badan, usia juga ikut memegang peran penting sekali. Setelah lewat seratus jurus, nampaklah bahwa usianya merupakan kelemahan bagi Hek Liong Ong. Kekuatannya memang masih ada, akan tetapi daya tahannya yang merosot, napasnya mulai memburu dan keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, dengan sendirinya, setelah napasnya terengah-engah, tenaganya pun berkurang banyak dan dia hanya main mundur sambil menangkis saja.

   Hek Liong Ong adalah seorang yang keras hati dan tidak pernah mau mengaku kalah. Melihat keadaannya yang sudah payah, dia menggunakan tenaga terakhir untuk menyerang. Dia mengayun pedangnya ke atas danmembacok kearah kepala tosu itu. Ngo Heng Thian Cu yang melihat bahwa lawannya sudah mulai kehabisan napas, menggerakkan kebutannya dan bulu kebutan yang panjang itu menahan datangnya pedang. Melihat pedang itu sehingga tidak dapat digerakkan lagi. Hek Liong Ong terkejut dan penasaran. Dia menggunakan tangan kirinya membantu tangan kanan untuk merengut pedangnya dan membikin putus bulu kebutan yang melibat pedangnya. Dengan pengerahan tenaga, dia berhasil. Bulu kebutan itu putus, akan tetapi pada saat itu, tongkat putih di tangan kanan Ngo Heng Thian Cu bergerak meluncur menusuk ke arah dada Hek Liong Ong.

   Hek Liong Ong sedang mengerahkan tenaganya kepada kedua tangannya untuk merengut lepas pedangnya, maka dia tidak dapat lagi melindungi dadanya, tetap saja dia tidak akan mampu menahan tusukan cepat dan amat kuat itu.

   "Craaapp" tongkat putih yang terbuat dari pada baja yang amat kuat itu telah menembus dadanya. Mata Hek Liong Ong terbelalak dan pada saat itu, Ngo Heng Thian Cu menendang perutnya sehingga dia terjengkang roboh dan darah mengucur keluar dari luka di dadanya.

   "Kau.... tosu yang jahat dan kejam" terdengar bentakannyaring dan Han Sin sudah menerjang tosu itu dengan serangannya. Karena pemuda ini tidak membawa senjata, maka dia menyerang dengan tangan kosong. Tosu itu mengelak dengan loncatan ke samping.

   Han Sin menghadapinya dan menundingkan telunjuknya ke arah muka tosu itu.

   "Kau tosu jahat. Kau telah membunuh Ho Beng Hwesio yang tidak berdosa"

   "Ha-ha-ha" Ngo Heng Thian Cu tertawa ketika dia melihat bahwa yang menyerangnya adalah pemuda murid Tiong Gi hwesio tadi.

   "Dia Ho Beng Hwesio yang tidak berdosa? Ha-ha-ha. Orang muda, agaknya kaupun kena ditipu olehnya. Ketahuilah, dia adalah Hek Liong Ong, seorang datuk sesat yang amat keji dan kejam. Entah sudah berapa ratus orang tewas ditangannya. Sudah bertahun-tahun pinto mencarinya dan dia dapat selalu menghindar. Tidak tahunya dia menyembunyikan diri dikuil dan menjadi hwesio.

   "Akan tetapi selama bertahun-tahun dia menjadi seorang hwesio yang tekun dan tak pernah berbuat dosa. Sekarang kau membunuhnya. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu ini" kembali Han Sin menerjang dengan pukulan-pukulannya.

   Menghadapi rangkaian serangan Han Sin, tosu itu dengan mudahnya mengelak ke sana sini, lalu melompat jauh kebelakang sambil berseru "pinto tidak mau bermusuhan dengan siauw-lim-pai. Pinto tidak dapat melayanimu lagi" dan diapun segera melarikan diri dengan amat cepatnya.

   Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Han Sin maklum bahwa tosu itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Gurunya saja kalah dan tewas oleh tosu itu, apalagi dia. Kalau tosu itu tidak mau melayani, bukan karena takut kepadanya, melainkan takut menanam bibit permusuhan dengan siauw lim pai karena bagaimanapun dia murid Tiong Gi hwesio seorang tokoh Siauw lim pai.

   Dia lalu menghampiri jenazah Ho Beng Hwesio dan berlutut didekat jenazah. Ho Beng Hwesio memang sudah tewas, dadanya berlubang oleh tusukan tongkat putih. Kini Ho Beng Hwesio tidak perlu takut lagi menghadapi maut.

   Perasaan takut timbul karena permainan pikiran membayangkan hal-hal yang belum diketahuinya. Kalau hal yang tadinya ditakuti itu sudah tiba, maka rasa takutnya akan hal itupun lenyap, dan rasa takut itu muncul dalam membayangkan hal-hal lain lagi yang belum diketahuinya.

   Han Sin memondong jenazah itu, menuruni bukit dan kembali ke kuil. Tiong Gi hwesio dan para hwesio lain menyambutnya dengan kaget sekali melihat jenazah Ho Beng Hwesio, tukang masak yang sudah tujuh tahun berada di kuil itu dianggap sebagai seorang hwesio yang baik, tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak baik, bahkan taat sekali kepada ketua kuil. Ketika Han Sin menceritakan apa yang dikatakan Ngo Heng Thian Cu kepadanya tentang Ho Beng Hwesio, Tiong Gi hwesio menghela napas panjang dan menggeleng kepala.

   "Omitohud.... siapa mengira bahwa dia adalah Hek Liong Ong yang tersohor itu? Bagaimanapun juga, pada masa tuanya, dia sudah berusaha untuk bertaubat. Akan tetapi, biarpun demikian, masih saja dia dicari musuh-musuhnya. Demikianlah kehidupan di dunia kang ouw, adanya hanya dendam mendendam, balas membalas, bunuh membunuh. Setiap orang manusia tidak akan lolos dari jaring karmanya sendiri. Akan tetapi, disini dia telah membuktikan dirinya seorang yang baik dan tidak pernah melanggar, maka sudah sepatutnya kalau jenazahnya mendapat perawatan sebagaimana mestinya.

   Semua hwesio merasa setuju sekali, karena tidak ada seorangpun diantara mereka yang tidak menganggap Ho Beng Hwesio seorang yang baik hati. Akan tetapi hanya Han Sin seoranglah yang merasa amat berduka karena tanpa diketahui orang. Ho Beng Hwesio adalah gurunya selama lima tahun mengajarkan banyak ilmu silat yang tinggi kepadanya. Diapun tidak mempunyai gairah lagi untuk melanjutkan tinggal dikuil itu dan ketika ibunya datang menjenguknya, dia mengatakan hendak keluar dari kuil itu. Juga sekali ini, setelah Ho Beng Hwesio meninggal, kepada ibunya dengan terus terang dia membuka rahasia tentang dia belajar ilmu kepada Ho Beng Hwesio.

   "Ho Beng Hwesio itu siapakah?" tanya ibunya yang belum pernah bertemu dengan hwesio tukang masak itu.

   "Dia hwesio tukang masak disini, ibu, dan ternyata dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan telah mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku dengan diam-diam karena dia tidak ingin diketahui orang lain bahwa dia memiliki kepandaian"

   "Aneh sekali orang itu. Aku ingin bertemu dan melihat orang yang telah mengajarkan ilmu silat kepadamu"

   "Tidak mungkin, ibu. Dia telah tewas belum lama ini"

   "Tewas? Mengapa?"

   "Tewas terbunuh oleh musuhnya yang amat lihai"

   Nyonya itu terbelalak "Ah, bagaimana terjadinya? Siapa dia sebenarnya dan apa yang telah terjadi di kuil itu, Han Sin?"

   "Ibu, selama lima tahun aku di ajar ilmu silat olehnya, akan tetapi selama itu aku tidak tahu sebenarnya siapa hwesio itu. Baru setalah kedatangan musuhnya itulah aku tahu bahwa suhu Ho Beng Hwesio itu sebetulnya dahulu berjuluk Hek Liong Ong"
"Hek Liong Ong...?" kini Ji Goat bangkit dari duduknya dan memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak.

   "Hek Liong Ong Poa Yok Su menjadi Ho Beng Hwesio di kuil Siauw lim si?"

   "Ibu mengenalnya?"

   "Mengenal Hek Liong Ong? Tentu saja aku mengenalnya karena dia dahulu juga membantu perjuangan dan membantu berdirinya Kerajaan Sui. Bahkan lebih dari itu, dia adalah seorang diantara guru-guru dari mendiang ayahmu"

   Kini Han Sin tertegun "Ah, kiranya guru mendiang ayah? Pantas dia mengajarkan ilmu kepadaku, walaupun secara sembunyi-sembunyi dan tidak mengajarkannya kepada orang lain"

   "Akan tetapi bagaimana dia sampai tewas ditangan musuhnya? Siapakah musuhnya itu dan bagaimana terjadinya?"

   Han Sin lalu menceritakan tentang kedatangan tosu tinggi kurus yang bernama Ngo Heng Thian Cu itu dan betapa Ho Beng Hwesio segera melarikan diri ketika mendengar bahwa dia dicari tosu itu.

   "Aku menduga bahwa suhu tentu sembunyi di tempat dimana biasanya dia mengajarkan silat kepadaku dan ternyata dia memang berada di sana, akan tetapi Ngo Heng Thian Cu juga menemukan tempat persembunyiannya itu. Aku melihat mereka berkelahi dengan hebatnya dan akhirnya suhu roboh setelah pertandingan yang amat lama dan seru. Aku mencoba untuk menyerang tosu itu akan tetapi dia menghindar dan mengatakan bahwa dia tidak mau bermusuhan dengan siauw lim pai. Tentu saja dia tidak tahu bahwa aku adalah murid Ho Beng Hwesio dan menganggap aku murid siauw lim pai. Ibu, apakah ibu juga mengenal Ngo Heng Thian Cu?"

   Ji Goat menghela napas panjang, mengenang semua kejadian masa lalu, ketika dia bersama mendiang suaminya, Cian Kuaw Cu, membantu Yang Chien berjuang menumbangkan kekuasaan Kerajaan Toba.

   "Ngo Heng Thian Cu? Hemmm, kalau aku tidak salah ingat, dia itu adalah murid Thain te ciu kwi. Dahulu Thian Te Ciu Kwi membantu Kerajaan Toba sehingga tentu saja bermusuhan dengan Hek Liong Ong yang membantu perjuangan rakyat yang memberontak terhadap Kerajaan Toba. Akan tetapi aku tidak mengira bahwa Thian Te Ciu Kwi menyuruh muridnya untuk menyerang dan membunuh Hek Liong Ong"

   "Ibu, apakah Hek Liong Ong itu dahulunya seorang datuk sesat yang banyak melakukan kejahatan?"

   "Semua datuk dan tokoh sesat di dunia kang ouw tidak segan melakukan kejahatan, anakku. Mereka tidak mengenal apa yang dinamakan kejahatan. Bagi mereka itu, mereka hanya melakukan segala kehendak hati mereka kalau perlu melalui kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Karena itu, tentu saja Hek Liong Ong sudah banyak melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran"

   Han Sin menghela napas panjang "Hemmmm benar saja dia seorang jahat yang kemudian hendak bertaubat menebus dosa dengan menjadi seorang hwesio"

   "Atau boleh jadi dia menjadi hwesio untuk menyembunyikan dirinya agar lolos dari ancaman musuh-musuhnya. Setelah menjadi tua dan merasa lemah, mungkin Hek Liong Ong lalu menjadi ketakutan. Dia dahulu memang seorang yang berhati keras dan kejam, dan karena itulah maka mendiang ayahmu tidak lama menjadi muridnya"

   "Ibu, apakah sebagai murid suhu Ho Beng Hwesio aku tidak berkewajiban untuk menuntut balas atas kematiannya?"
"Han Sin, Hek Liong Ong itu tidak mati penasaran. Permusuhannya dengan Ngo Heng Thian Cu adalah permusuhan antara orang-orang kang ouw dan kedua pihak memang terkenal sebagai golongan sesat. Kau tidak perlu melibatkan dirimu. Yang terpenting bagimu adalah membalaskan kematian ayahmu. Ayahmu tewas secara penasaran, bukan gugur dalam perang akan tetapi terbunuh oleh pembunuh gelap secara curang dari belakang"

   "Akan tetapi kita tidak tahu siapa yang membunuhnya, bagaimana aku dapat mencarinya, ibu?"

   "Memang tidak mungkin mencari pembunuhnya karena pembunuhan itu terjadi dalam pertempuran dan tidak ada yang melihatnya. Akan tetapi ada satu hal yang akan membawamu kepada pembunuh ayahmu. Han Sin, yaitu Pedang Naga Hitam milik ayahmu. Pedang itu telah lenyap ketika ayahmu terbunuh. Maka pencuri pedang itu tentu pembunuh ayahmu. Jadi yang kau cari bukan bukan pembunuhnya melainkan pedangnya. Kalau pedang itu dapat kau temukan, tentu pembunuh ayahmu dapat kau temukan pula.

   Pedang Naga Hitam tidak ada keduanya di dunia ini, tentu akan dapat kau kenal.
Ibu itu lalu menceritakan dengan jelas ciri-ciri pedang pusaka milik mendiang suaminya itu.

   "Kalau begitu aku akan segera pergi menyelidikinya dan mencari pedang itu, ibu"

   "Tidak, sebelum kau mempelajari ilmu silat yang diwariskan ayahmu kepadamu, Han Sin" Ji Goat mengeluarkan kitab tulisan Kaisar Yang Chien yang menuliskannya dan menggambarkan ilmu silat Bu Tek Cin Keng.

   "Ilmu ini di sebut Bu Tek Cin Keng. Ilmu ini, ditemukan ayahmu dan Kaisar Yang Chien. Karena Kaisar Yang Chien berpendapat bahwa ayahmu yang lebih berhak, maka beliau menuliskan ilmu itu dalam kitab ini agar dapat diwariskan kepadamu. Kaisar tidak mengajarkan ilmu ini kepada orang lain, bahkan kepada para putera puterinya juga tidak.

   Karena itu, sebelum kau pergi mencari pedang dan pembunuh ayahmu, kau harus mempelajari dulu ilmu ini sampai dapat kau kuasai dengan sempurna.

   Han Sin adalah seorang anak yang patuh kepada orang tuanya. Apalagi ayahnya telah tiada, hanya tinggal ibunya. Maka dia selalu berusaha untuk membikin senang hati ibunya.

   Di samping itu, dia memang suka sekali mempelajari ilmu silat, maka ketika menerima kitab Bu Tek Cin Keng itu dia segera mempelajarinya dengan tekun. Ketika dia mendapat kenyataan bahwa kitab itu amat sulit dipelajari, hal ini bahkan menambah semangatnya untuk mempelajarinya. Kesulitan itu merupakan tantangan baginya.

   Ternyata kemudian bahwa semakin dia mendalami pelajaran ilmu Bu Tek Cin Keng, semakin sukar. Han Sin harus berlatih dengan pencurahan perhatian sepenuhnya. Kaisar Yang Chien memang telah berusaha dengan sungguh-sungguh agar ilmu itu dapat diwariskan kepada putera Cian Kauw Cu, maka dia menggambarkan ilmu itu dengan jelas. Juga cara melatih diri menghimpun tenaga sakti dalam ilmu itu ditulisnya dengan jelas dan teratur. Sedikit demi sedikit Han Sin mulai dapat menguasai ilmu itu. Dia tidak mengenal lelah, siang malam mempelajari ilmu itu dan dipraktekkannya dalam latihan. Ibunya senang sekali melihat ketekunan puteranya dan selalu memberi dorongan.

   Setelah tiga tahun lamanya Han Sin mempelajari ilmu Bu Tek Cin Keng dengan penuh semangat, barulah dia berhasil menguasai ilmu yang sukar itu. Dengan dikuasai ilmu yang hebat itu, Han Sin memperoleh kemajuan pesat sekali, terutama dalam hal kecepatan gerakan dan tenaga sakti. Dan kini telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahunan yang amat lihai.

   Pada suatu hari, Ji Goat menonton puteranya latihan. Melihat pemuda itu bersilat dengan tangan kosong dengan gerakan yang amat ringan dan tenaga kedua tangannya itu mendatangkan angin yang membuat rambutnya tertiup angin dan pakaiannya berkibar, nyonya ini merasa gembira bukan main. Kini tingkat kepandaian puteranya sudah lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang ayah pemuda itu. Kemudian ia minta kepada puteranya untuk bersilat dengan menggunakan senjata pedang dan ia semakin kagum. Pedang biasa yang dimainkan Han Sin itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyilaukan mata, mengeluarkan suara berdesing-desing.

   Selagi ibu itu mengagumi ilmu silat puteranya, tiba-tiba seorang pembantu rumah tangga pria berlari-lari menghampiri mereka"Nyonya... Nyonya....... ada berita buruk" katanya dengan gugup.

   Han Sin menghentikan permainan pedangnya dan bersama ibunya dia memandang kepada pelayan it. Ji Goat juga merasa tidak senang dengan adanya gangguan ini "A-seng" tegurnya "Ada apakah kau berlari-lari dan nampak bingung seperti itu?"

   "Berita buruk Nyonya. Sri baginada Kaisar.......... telah meninggal dunia....
Mendengar berita ini tentu saja Ji Goat dan Han Sin menjadi terkejut sekali. Mereka memang telah mendengar bahwa Sri ibaginda Kaisar Yang Chien menderita sakit. Akan tetapi tidak mereka sangka akan meninggal secepat itu.

   "Ahhhh" Nyonya itu menjatuhkan diri duduk di atas bangku dalam ruangan berlatih silat itu. Ia ingat akan semua pengalamannya diwaktu muda, ketika Kaisar Yang Chien belum menjadi Kaisar, melainkan menjadi sahabat baik dari suaminya. Tak terasa lagi air matanya mengalir ke atas kedua pipinya.

   "Aihhhh, Sepasang Naga Lembah Iblis kini telah tiada" katanya kemudian.

   "Ibu, Sri baginda Kaisar adalah seorang kaisar yang bijaksana dan dicintai rakyat jelata, dan lalu meninggal dunia dengan wajar, karena sakit. Kurasa tidak ada yang perlu di buat duka dan sesal"

   "Kau benar, Sri baginda kaisar meninggal dunia dengan wajar walaupun usianya belum tua benar. Berbeda dengan ayahmu yang meninggal dunia dengan penasaran" Kata Ji Goat.

   Ibu dan anak ini segera berganti pakaian berkabung dan siap untuk pergi melayat ke istana, sebagai istri panglima tinggi dan sahabat kaisar, memang selayaknya kalau nyonya ini pergi melayat.

   Kaisar Yang Chien, Kaisar yang dahulunya merupakan seorang jagoan, pemimpin rakyat yang berhasil menumbangkan kekuasaan Kerajaan Toba dan pendiri Kerajaan Sui, telah meninggal dunia dalam usia yang belum tua benar, baru sekitar enampuluh dua tahun. Menurut berita desas desus, Kaisar Yang Chien sakit-sakitan karena merasa kecewa dan berduka melihat bahwa diantara putera-puteranya tidak ada yang menuruni semangat dan kebijaksanaanya. Pangerang Yang Ti, puteranya yang diangkat menjadi putera mahkota, memang cukup bersemangat, akan tetapi kurang meiliki kebijaksanaan dan bahkan menunjukkan gejala suka menggunakan kekerasan dan suka pula kemewahan.

   Sebelum dia meninggal, dia sempat berpesan kepada Pangeran Yang Ti agar memperhatikan nasib rakyat dan berusaha keras mensejahterakan kehidupan rakyat seperti yang telah dilakukannya. Sambil menangis, pangeran mahkota yang usianya sudah tigapuluh delapan tahun itu menyanggupi untuk melaksanakan pesan ayahnya.

   Setelah Kaisar Yang Chien wafat, maka Pangerang Yang Ti diangkat menjadi penggantinya. Setelah Yang Ti menjadi Kaisar, nampaklah dia bahwa meneruskan usaha yang dirintis ayahnya. Terusan"terusan yang menghubungkan Huang-ho dan Yang-ce diperluas, sampai ke Hang-couw. Nampaknya dia bekerja keras untuk melanjutkan cita-cita ayahnya sehingga rakyat jelata merasa senang.

   Pada permulaan pemerintahannya, tidak ada tanda-tanda bahwa Kaisar Yang Ti kelak akan menjadi seorang yang gila perang dan memboroskan uang negara untuk membangun istana-istana yang megah. Juga dia mengangkat banyak panglima dan pejabat tinggi, memilh diantara orang-orang yang sudah berhubungan akrab dengannya ketika dia masih menjadi seorang pangeran.

   Pejabat-pejabat tua yang setia kepada ayahnya dihentikan dan dipensiun. Perubahan ini menimpa diri Ji Goat. Kalau dulu diwaktu kaisar Yang Chien masih hidup, Kaisar itu itu membiarkan janda sahabatnya ini mendiami gedung yang ditempati Panglima besar itu. Setelah Kaisar Yang Ti yang berkuasa, gedung itu diminta kembali untuk ditempati panglima yang baru diangkat dan terpaksa janda bersama puteranya untuk pindah. Sejak kecilnya Ji Goat yang dahulunya puteri Perdana Menteri Kerajaan Toba tinggal dalam istana indah. Kini ia harus meninggalkan gedung yang ditempatinya semenjak suaminya menjadi panglima besar.

   Ji Goat sudah tidak betah lagi tinggal di kota raja, dimana terdapat banyak kenangan tentang suaminya, hal yang sering kali membuat ia termenung dan tenggelam dalam kesedihan. Maka ia lalu mengajak puteranya meninggalkan kota raja. Semua barang milik mereka pribadi mereka jual, semua pembantu rumah tangga mereka suruh pulang dan akhirnya mereka mencari tempat tinggal di sebuah dusun diluar kota raja, dekat kuil siauw lim si.

   Ji Goat kembali membeli sebidang tanah, mendirikan sebuah rumah sederhana dan bekerja di kebun yang ditanami dengan sayur-sayuran dan buah-buahan. Ia merasa lebih tenang dan tentram tinggal ditempat sunyi ini.

   Dan sebulan setelah mereka pindah ke dusun itu, Ji Goat lalu minta kepada puteranya untuk mulai dengan tugasnya, yaitu mencari Pedang Naga Hitam untuk mengetahui siapa pembunuh suaminya.

   "Akan tetapi ibu tinggal di sini seorang diri" kata Han Sin yang merasa kasihan kepada ibunya "Mengapa ibu tidak memakai tenaga bantuan orang lain sebagai pelayan dan juga teman? Siapa yang akan menjaga ibu kalau aku harus pergi sekarang?"

   "Han Sin, jangan bersikap cengeng" kata ibunya dengan tegas"Ibumu bukanlah seorang wanita lemah. Aku dapat menjaga dan melindungi diriku sendiri. Aku masih kuat. Dan tentang pembantu, kalau aku memerlukan kelak, tentu bisa kudapatkan tenaga dari penduduk dusin ini. Berangkatlah dan jangan mengkhawatirkan keadaan ibumu"

   "Akan tetapi, karena aku akan mencari pencuri pedang yang tidak ada jejaknya, mungkin tugas ini akan memakan waktu lama sekali sebelum aku menemukannya, ibu"

   "Jangan gentar menghadapi kesukaran, anakku. Kau sudah dewasa dan baru saja selesai mempelajari banyak ilmu silat. Bekal untuk menjaga dirimu sudah cukup kuat daripada ibu atau ayahmu sendiri diwaktu muda. Kau perlu meluaskan pengalaman hidupmu. Hanya pesanku, berhati-hatilah menjaga dirimu sendiri, bukan hanya terhadap gangguan dari luar, melainkan terutama sekali menghadapi gangguan dari dalam. Jangan membiarkan dirimu dikuasai nafsu-nafsu sendiri yang akan menyeretmu ke dalam tindakan yang menyimpang dari kebenaran. Ibu yakin semua ini sudah kau pelajari dari Tiong Gi hwesio selama kau berada dikuil siauw-lim-si

   Han Sin menangguk "Semua pesan ibu akan aku taati. Jangan khawatir, ibu. Aku dapat menjaga diri baik"baik. Paling lama tiga tahun, berhasil ataukah tidak mencari Pedang Naga Hitam, aku pasti akan pulang, ibu"

   Demikianlah, setelah menerima banyak nasehat dengan membawa bekal emas secukupnya yang diberikan Ji Goat, Han Sin berangkat meninggalkan dusun itu.

   ***

   Sudah lazim bahwa orang yang ditinggalkan seseorang yang dikasihinya akan merasa kesepian dan kehilangan. Demikian pula Ji Goat, nyonya janda itu, begitu Han Sin pergi, ia tidak dapat menahan dirinya lagi dan menangis seorang diri di dalam rumahnya. Ia merasa semangatnya terbang pergi mengikuti puteranya. Akan tetapi, nyonya yang gagah ini akhirnya dapat menekan kesedihan hatinya dan melawannya dengan harapan bahwa puteranya akan berhasil menemukan pedang suaminya dan berhasil pula membalasa dendam kematian suaminya.

   Harapan ini dapat menghibur hatinya. Duka memang datang atau lahir dari pikiran yang merasa iba kepada diri sendiri, karena di tinggalkan. Pikiran ini menguyah-nguyah keadaan dirinya itu, seperti meremas"remas perasaan hatinya sendiri penuh iba diri dan timbulah duka. Kemudian pikiran yang itu juga menciptakan harapan-harapan yang menjadi pegangannya dan harapan ini menjadi penolongnya sehingga ia dapat melupakan kedukaannya. Ia tidak tahu bahwa justru harapan ini yang kelak akan mendatangkan kekecewaan dan duka baru kalau tidak terlaksana seperti yang diharapkannya. Manusia selalu diombang"ambingkan dan dipermainkan oleh pikirannya sendiri.

   Berbeda dengan orang yang di tinggalkan, orang yang meninggalkan tidak terlalu di cekam rasa kesepian atau kehilangan. Hal ini adalah karena yang meninggalkan menghadapi hal-hal baru, pengalaman"pengalaman baru sehingga perhatiannya selalu tertuju ke depan.

   Han Sin juga tidak mengalami rasa duka seperti ibunya yang di tinggalkannya, bahkan dia merasa gembira, merasa bebas lepas seperti seekor burung di udara.
Dia boleh pergi kemana saja dia suka, boleh berbuat apa saja yang dikehendakinya. Boleh memutuskan segala hal menurut kehendaknya sendiri. Dia baru sekali ini merasakan sebagai seorang manusia yang utuh, majikan dari dirinya sendiri, tanpa kekangan.

   Ibunya benar, pikirnya. Dia harus meluaskan pengalaman dalam hidup ini agar tidak menjadi seperti seekor katak dalam tempurung.

   Pemuda itu tersenyum seorang diri. Seorang pemuda berusia duapuluh tahun yang tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya yang hitam lebat itu diikatkan dengan kain sutera kuning. Dahinya lebar, sepasang alis hitam tebal berbentuk golok. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum manis. Sepasang matanya bersinar lembut, selalu berseri karena dia memang pada dasarnya seorang pemuda yang berwatak riang gembira. Dagunya yang berlekuk itu membayangkan kejantanan walaupun pandang mata yang lembut, mulut yang tersenyum dan sikap yang sederhana itu membayangkan kerendahan dan kelembutan hati. Memang Han Sin bersikap sederhana, sama sekali tidak ada bekas-bekasnya sebagai putera seorang panglima besar. Dia lebih mirip seorang pemuda dusun yang terpelajar, seorang pemuda sastrawan misikin dari dusun. Pakainnya juga sederhana dan ringkas. Buntalan di punggungnya dari sutera kuning juga tidak terlalu besar karena dia hanya menyimpan beberapa stel pakaian dalam bungkusan itu. Sama sekali dia tidak membawa senjata. Bagi Han Sin yang sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, kaki tangannya sudah merupakan senjata yang ampuh dan segala macam benda dapat saja dia pergunakan sebagai senjata tambahan, maka dia tidak memerlukan senjata sebagai bekal. Hal ini pun di nasehatkan oleh ibunya. Kalau dia tidak membawa senjata, maka tidak ada yang akan tahu bahwa dia seorang ahli silat yang tangguh dan hal ini menjauhkan gangguan.

   

Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 2 Si Bayangan Iblis Eps 11 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 6

Cari Blog Ini