Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 29


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 29




   "Heh-heh-heh...Dua ekor sangkar di dalam burung!...Eit, keliru tidak, yaa? Wah, mana yang betul? Dua ekor sangkar atau dua ekor burung? Anu...wah, bangsat, keparat, monyet busuk...aku sudah lupa lagi!...Ada burung kecil di dekat ekor!...Lhaah, kini baru betul, haha-heheh...! Oh, sungguh, menyenangkan!...Ada burung kecil di dekat ekor!...Hmm, enaknya burungnya kecil atau besar, ya? Wah, yaa...terserah yang punya. Hihihahah! Dan kini ada dua ekor burung kecil sedang dipermainkan oleh seekor burung besar, heheh..." Melihat kedua orang jago mereka kalah, semua orang Mo-kauw yang berada di tempat itu segera berloncatan maju. Mereka mengepung dan mengeroyok Put-pai siu Hong-jin di tengah-tengah. Beberapa orang anggota Bing-kauw ikut bergerak maju pula, tetapi Put gi-ho dan Put-chih-to segera melarang mereka.

   "Apakah kalian minta dihajar sendiri oleh Put-pai-siu Hong-Jin suheng? Put-pai-siu Hong jin paling tidak suka diganggu kalau sedang bertempur dengan lawannya. Dia akan berteriak sendiri kalau mau minta pertolongan kita."

   Ternyata kekhawatiran teman-teman Put-gi ho tadi memang tidak beralasan sama sekali. Biarpun dikeroyok belasan orang lawan, ternyata Si Gila Yang Tak Punya Malu itu justru semakin memperlihatkan kelihaiannya. Dengan leluasa orang sinting tersebut bergerak dan bergaya dengan ilmunya yang konyol tapi hebat bukan main itu. Rupa, tubuh dan pakaiannya sudah tidak keruan macamnya lagi, karena dipakai untuk tiarap, terlentang, merangkak, masuk ke air telaga, berguling-guling dan memanjat pohon! Tapi hebatnya satu persatu lawannya tampak berjatuhan tidak dapat bangun lagi, sehingga akhirnya sepeminuman teh kemudian semua lawannya telah menggeletak tak berdaya. Semuanya roboh tertotok oleh tangannya yang membawa buli-buli arak tersebut.

   "Bagus! Bagus! Sekarang semuanya sudah tertidur, hehheh...Kalau begitu akupun juga mau menemani tidur..." Put-pai-siu Hong-jin bertepuk tangan, lalu ikut merebahkan diri di atas pasir di antara Iawan-lawannya. Secara kebetulan tubuhnya berdampingan dengan tubuh salah seorang lawannya yang berjubah biru tadi, dan secara kebetulan pula orang itu tertotok jatuh dalam keadaan tertelungkup. Put pai-siu Hong-Jin bangkit kembali dan merangkak mendekati orang itu. Berkali-kali Si Gila Yang Tak Tahu Malu itu mengintip dan berputar-putar di sekeliling tubuh lawannya, seperti sedang mencari sesuatu di bawah tubuh yang tertelungkup itu. Setelah yakin bahwa di bawah tubuh tersebut tiada apa-apanya, Put-pai-siu Hong-jin segera membalikkan tubuh orang berjubah biru itu. Sambil mencongkel tubuh lawannya, mulutnya mengomel tidak keruan.

   "Memalukan! Sungguh memalukan sekali...! Lelaki tidak boleh tidur tertelungkup, tahu? Itu sama saja menghina seekor kuda, sebab kuda tak bisa tidur terlentang, heh hehheh...Kalau manusia sudah tidak berbeda dengan kuda...wah, repot...repot!"

   "Tutup mulutmu!" Tiba-tiba dari dalam perahu Mo-kauw yang tertambat di tepi sungai itu berloncatan keluar tiga orang laki-laki berjubah coklat. Rata rata umur mereka sekitar empat puluh lima tahunan. Gerakan mereka sangat cepat sekali, sehingga begitu suara teriakan mereka berhenti, orangnyapun telah berdiri tegak di depan Put-pai-siu Hong-jin! Tak heran, memang mereka bertiga adalah tokoh-tokoh tingkat dua dalam urutan tingkat ilmu Aliran Mo-kauw. Mereka adalah murid-murid langsung Bhong Kim Cu dan Leng Siau, yaitu tokoh-tokoh tingkat pertama yang kini memangku jabatan sebagai kau Tai shih (Utusan Agama) dalam Aliran Mo-kauw. Sebuah jabatan tertinggi setelah Mocu (Ketua Aliran Mo)!

   "Sute, kalian berdua pergilah mengobati dan menyadarkan orang-orang kita itu! Biarlah untuk sementara kuhadapi sendiri jago dari Bing-kauw ini," yang tertua dari ketiga orang Mo-kauw berjubah coklat itu menoleh ke arah temannya.

   "Baik! Tapi kami harap suheng berhati-hati menghadapinya. Kalau tak salah orang gila ini adalah Put-pai-siu Hong-jin yang terkenal itu""

   Souw Lian Cu yang bersembunyi di atas pohon itu menjadi terkejut melihat perubahan suasana pertempuran yang mendadak tersebut. Gadis itu benar-benar tidak mengira kalau masing-masing pihak ternyata mengerahkan tokoh-tokoh utama dari aliran mereka. Jangan-jangan keduanya malah sudah mempersiapkan seluruh kekuatan mereka di tempat ini. Tanpa terasa Souw Lian Cu menoleh ke kanan dan ke kiri, siapa tahu di dekatnya ada salah seorang dari tokoh-tokoh mereka? Benar juga! Seketika berdiri semua bulu roma Souw Lian Cu! Tanpa setahu dia di belakangnya telah duduk seorang kakek tua berambut putih dan berjenggot putih, mengenakan jubah lebar berwarna putih pula. Kakek tua itu amat sangat dikenalnya, karena kakek tua itulah yang dahulu melukainya. Kakek itu tiada lain adalah Pek-i Liong-ong sendiri, ketua atau Mo-cu dari Aliran Mo-kauw!

   "Nona, maaf aku dulu terpaksa melukaimu..." kakak tua itu berbisik perlahan,

   "Tetapi sebenarnya bukan maksudku untuk melukaimu saat itu. kau lah yang mengagetkanku dengan pukulan Tai-lek Pek-khong-ciangmu itu, sehingga aku terpaksa menangkisnya dengan tenaga Pai-hud ciangku...Eh, nona...siapakah sebenarnya kau ini? Apakah hubunganmu dengan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai?" Souw Lian Cu membalikkan tubuhnya dengan cepat. Matanya yang lembut itu kini menatap kakek tua yang duduk tenang di hadapannya.

   "Aku adalah puterinya," Jawab gadis itu tegas.

   "Ooooo...?!" Mo-cu dari Aliran Mo-kauw itu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan mulut ternganga. "Tapi...bukankah ayahmu tak mempunyai hubungan dengan Aliran Bing-kauw. Mengapa engkau membantu orang-orang ini?"

   "Aku tak membantu siapa-siapa...!" Souw Lian Cu menjawab dengan kaku. Bagaimanapun juga kakek tua ini pernah melukainya dengan parah. Ingin sebenarnya gadis itu membalas dendam, tapi ia segera menyadari bahwa ia bukanlah lawan dari kakek itu. Hanya ayahnya sajalah yang kiranya mampu menghadapinya.

   "Tapi sudah dua kali ini kau kuketemukan bersama-sama dengan orang-orang Bing-kauw itu." Pek-i Liong-ong memandang dengan tajam.

   "Ya! Tapi kedua-duanya juga cuma kebetulan saja. Secara kebetulan dan tidak sengaja, aku selalu berada di tempat pertemuan kalian. Baik ketika aku kau lukai dulu itu, maupun sekarang ini..." Souw Lian Cu menjawab semakin berani. Seperti juga tokoh tokoh persilatan yang pernah ia jumpai selama ini, agaknya Mo cu dari Aliran Mo-kauw itu juga kelihatan segan bila menyebut nama ayahnya.

   "Baiklah, aku percaya kepadamu," akhirnya kakek tua itu mengangguk. Kemudian dengan pandang mata berkilat kakek tua itu melihat ke bawah, ke arena pertempuran. Tampak para anggota Aliran Mo-kauw yang tertotok roboh tadi telah berdiri semua.

   Dengan wajah pucat mereka berdiri menunduk di depan dua orang berjubah coklat yang menolong mereka. Malahan dua orang berjubah biru yang tadi memimpin rombongan itu tampak berlutut ketakutan di depan salah seorang tokoh berjubah coklat tersebut. Tapi dengan mendengus marah tokoh itu membalikkan tubuhnya dan menonton pertempuran antara suhengnya melawan Put-paisiu Hong-jin. Sementara itu para anggota Bing-kauw yang datang bersama dengan Put-gi-ho dan Put-chih-to tampak diam saja di tempat masing-masing. Mereka membiarkan saja dua orang berjubah coklat itu membebaskan teman-temannya. Mereka percaya seratus persen pada kesaktian suheng mereka Putpai-siu Hong-jin, karena dalam Aliran Bing-kauw kesaktian Put-pai-siu Hong Jin adalah nomer tiga setelah Put chien-kang Cin jin dan Put-cengli Lojin, tokoh puncak mereka!

   Maka kalau cuma melawan jago-jago tingkat dua dari Mo-kauw seperti tiga orang berjubah coklat itu saja mereka tak usah merasa khawatir. Lain halnya kalau yang datang itu adalah Bhong Kim Cu atau Leng Siau, kau Tai shih (Utusan Agama)Aliran Mo-kauw! Benar saja, belum ada lima belas jurus mereka bertempur, jago Aliran Mo-kauw berjubah coklat itu sudah mulai kebingungan menghadapi ilmu Put-pat-siu Hong-jin yang konyol dan aneh! Akhirnya dua orang berjubah coklat lainnya ikut terjun pula ke arena, membantu suheng mereka yang kerepotan tersebut. Kini mendapat lawan tiga orang berjubah coklat sekaligus memang tidak ringan bagi Put-pai-siu Hong jin! Dibandingkan dengan ilmu kepandaian masing-masing lawannya, Put-pai-siu Hong-jin memang masih lebih tinggi setingkat.

   Tapi kalau dengan selisih yang hanya satu tingkat tersebut dia harus menghadapi mereka bertiga sekaligus, memang sungguh amat berat bagi Put-pai-siu Hong-jin. Mungkin kalau cuma melawan dua orang saja di antara mereka, Si Gila Yang Tidak Tahu Malu itu masih bisa mengimbanginya, atau bahkan memenangkannya. Tapi tiga lawan sekaligus? Berat sekali memang! Salah-salah bisa kalah malah! Benar saja. Orang sinting itu mulai tampak kerepotannya. Buli-buli arak yang setiap kali selalu ia tuangkan ke dalam mulutnya itu kini sudah tidak dapat ia lakukan lagi. Celoteh-celoteh tidak keruan yang selalu terlontar dari mulutnya setiap ia melakukan gerakan, kini tidak begitu sering lagi ia teriakkan. Sekarang mulut itu lebih sering menyerukan umpatan dan makian untuk mengiringi jurus-jurusnya yang gila!

   "Kalau di rumah ada isteri cuma seekor, sungguh amat mudah mengurusnya, hihihi...Tapi bila tambah lagi yang dua ekor, masa depan benar benar sengsara!...Bangsat keparat! Monyet busuk bau terasi! Setaaaann...! Sulit betul mengurus tiga ekor isteri piaraan...eh, tiga ekor manusia keparat ini! Aduuuuuh...babi kau!" Sebuah tendangan yang amat keras menghantam selangkangan Put-pai-siu Hong-jin, tepat pada kemaluannya, sehingga orang sinting itu terlontar jatuh ke dalam air telaga.

   "Byuuur...!" Sebentar kemudian tubuh yang kotor dan tak keruan macamnya itu tenggelam dan...tak keluar-keluar lagi! Sejenak tiga orang lawannya terlongong-longong dan saling memandang satu dengan lainnya. Matikah orang itu? Agaknya memang demikian. Mungkin tendangan yang mematikan tadi telah menghancurkan tulang selangkangannya! Put-gi ho dan Put-chih-To segera bersiap-siap dengan semua kawannya.

   Hati mereka menjadi kecut karena secara tak terduga jago mereka kalah, Put gi-ho memberi perintah untuk berkelahi sampai mati! Tapi sebelum orang-orang Bing-kauw itu bergerak maju, tiba-tiba terdengar jeritan nyaring disertai suara debur air telaga yang muncrat ke mana-mana! Put-pai-siu Hong-jin yang tadi terbenam ke dalam air tampak meloncat keluar dengan sinar mata beringas dan...tidak mengenakan pakaian barang selembar benang pun! Dan pada selangkangnya tak terlihat apa-apa! Tempat tersebut tampak bersih dan halus, sedikitpun tak tampak bekas-bekas luka atau bekas tendangan! Tentu saja orang-orang Mo-kauw menjadi kaget dan heran. Mengapa orang itu tak mengalami luka sedikitpun meski terkena tendangan dengan telak pada kemaluannya? Apakah selain gila orang itu juga kebal?

   "Bangsat keparat! Babi! Terasi berbau monyet...eit, monyet berbau babi! Hei...? Setaaan...mau memaki saja tidak bisa! Goblog! Sinting!...Hai, Put-gi-ho! Mana yang betul, terasi bau monyet atau...monyet bau terasi?"

   "Monyet bau terasi!" Put gi ho menjawab cepat.

   "Haa, benar! kau benar...hahaha...monyet bau terasi! kau benar-benar monyet berbau terasi, hehehe...eit, keliru! Maksudku...maksudku orang-orang inilah yang seperti monyet bau terasi!" Put pai siu Hong-jin tertawa senang sekali, lupa bahwa dia tadi baru saja tercebur ke dalam air gara-gara didesak dan ditendang oleh lawannya itu. "Dan orang orang ini sungguh sekawanan monyet yang sangat rusuh dan kotor! Masakan bertempur dari tadi yang diincar cuma selangkangankuuuuuu...saja! Heran benar aku! Apa sih keistimewaannya tempat itu? Paling-paling juga sama saja dengan yang lain, hehehe...Ataukah kalian orang-orang dari Aliran Mo-kauw ini menginginkan aku agar tidak dapat kawin lagi, begitu...? Wah!" Put-pai-siu Hong jin melanjutkan kelakarnya sambil mendekap erat selangkangannya.

   Tentu saja ulah Put-pai siu Hong-jin yang kurang ajar dan memalukan itu membuat risih dan kikuk lawan-lawannya. Semuanya melangkah mundur dengan perasaan jijik. Apalagi seorang gadis seperti Souw Lian Cu! Dengan muka merah seperti udang direbus, gadis itu segera melengos tak mau melihat lagi ke arena pertempuran. Untung saja tempat persembunyiannya agak sedikit jauh dari tempat itu.

   "Bocah itu memang amat keterlaluan sekali!" Pek-i Liong-ong yang berada di dekat Souw Lian Cu bergumam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Anehnya, sementara yang lain pada risih dan malu menyaksikan ulah kegilaan Put-pai-siu Hong-jin, orang-orang dari Bing-kauw sendiri ternyata justru menjadi sangat bergembira malah! Mereka bersorak-sorak memberi semangat kepada jago mereka itu. Bagi para anggota Aliran Bing-kauw, hal-hal seperti yang dilakukan oleh Put-pai siu Hong jin itu tidak terasa aneh lagi. Mereka setiap hari telah terbiasa menonton kegilaan-kegilaan seperti itu, yaitu bila di gedung mereka sedang diadakan latihan-latihan ilmu Chuo-mo-ciang oleh tokoh-tokoh aliran mereka. Semua pengikut Bing-kauw akan berbuat yang aneh-aneh pula bila sedang memainkan Ilmu Chuo mo-ciang, tidak peduli siapa dan apa kedudukannya!

   Masing-masing akan bergaya dan berceloteh menurut seleranya sendiri-sendiri. Dan selama ini yang paling gila dan paling konyol memang Put-pai-siu Hong-jin seorang! Demikianlah, ketika orang sinting itu sudah mulai menyerang lagi dengan ilmunya yang konyol dan aneh, tiga orang tokoh Mo-kauw berjubah coklat itu masih belum bisa menghilangkan rasa kikuk dan jijiknya. Maka untuk beberapa saat mereka bertigalah yang kini menjadi bingung dan didesak oleh Put-pai-siu Hong-jin. Apalagi ketika cara bersilat orang sinting itu semakin menggila dan semakin ngawur! Tahu kalau lawan-lawannya merasa jijik melihat pantat dan selangkangannya, Put-pai-siu Hong-jin justru semakin brutal memainkan bagian anggota tubuhnya tersebut. Beberapa kali pukulan lawannya sengaja ia songsong dengan pantat atau selangkangannya yang tahan tendangan itu.

   Tentu saja lawannya buru-buru menarik kembali pukulan mereka begitu hampir menyentuhnya! Jijik rasanya! Tapi dalam pertempuran yang kacau seperti itu, mana mampu ketiga orang Mo-kauw itu terus menerus menarik serangannya? Maka sekali waktu terpaksa pula mereka menyentuhnya. Dan konyolnya, Put-pai-siu Hong-jin tentu akan segera merem-melek seperti monyet mengisap tembakau bila tempat itu disentuh lawan! Biarpun sentuhan itu kadang-kadang begitu kerasnya sehingga Put-pai-siu Hongjin terpaksa jatuh tunggang-langgang di atas pasir. Melihat anak buahnya jatuh di bawah angin hanya disebabkan karena jijik dan segan menyentuh anggota tubuh lawannya, Pek i Liong-ong menjadi gusas sekali. Dan kegusaran orang tua itu dapat dilihat oleh Souw Lian Cu.

   "Kelihatannya kau mau membantu anak muridmu lagi seperti dulu..." gadis itu berbisik, matanya yang bulat Iebar itu menatap tajam.

   Pek-i Liong-ong menghela napas panjang.

   "Tidak! Aku ke sini ini justru untuk mengawasi anak muridku. Aku tak ingin mereka berbuat keterlaluan sehingga menggagalkan jalan perdamaian yang baru dirintis oleh dua orang kau Tai-Shih (Utusan Agama) kami. kau tahu, apakah sebabnya aku bersembunyi di sini?" Pek i Liong-ong menghentikan kata-katanya sebentar untuk melihat kesan pada wajah Souw Lian Cu, kemudian setelah dilihatnya gadis itu diam saja tak menjawab, orang tua itu segera menjawab sendiri pertanyaan tersebut.

   "...Karena anak-anak Mo-kauw yang datang kemari itu pergi tanpa sepengetahuanku dan tanpa ijinku! Mereka akan ketakutan setengah mati bila aku keluar menemui mereka. Tapi meskipun aku tak menyukainya tindakan mereka ini, aku tetap merasa penasaran juga melihat mereka terdesak oleh orang Bing-kauw yang sinting dan gila-gilaan itu. Seharusnya kalau mereka bertiga mau berpikir tenang dan mengenyampingkan segala perasaan risih dan jijik di hati mereka, mereka takkan serepot itu keadaannya."

   "Lalu apa yang hendak kau lakukan?" Souw Lian Cu bertanya lagi, suaranya tetap keras biarpun tidak sekaku sebelumnya. Bagaimanapun juga baiknya orang tua itu sebenarnya, tapi dia pernah melukai tubuhnya hingga cukup parah.

   "Sebenarnya aku tadi mau melerai mereka. Tapi dengan kedudukan orang-orangku yang berada di bawah angin seperti sekarang ini, aku jadi serba salah untuk melakukannya.Jangan-jangan aku cuma dikira mau membantu atau mau menolong muka anak buahku sendiri nanti. Oleh karena itu aku malah menjadi bingung sekarang. Mau melerai nanti disangka membantu, tidak melerai orang-orangku sedang kerepotan!" orang tua itu meremas-remas jari tangannya sendiri.

   "Lalu apa hendak kau diamkan saja mereka, sehingga ada salah satu yang mati, begitu?"

   "Hmmm,..."

   "Mengapa tidak kau bantu dulu orang-orangmu itu dengan diam-diam agar bisa menang, sehingga setelah itu kau bisa dengan leluasa melerai mereka? Misalnya kau bisiki anak buahmu itu dengan ilmu coan-im-jib-bit bagaimana caranya lumpuhkan ilmu orang sinting itu..." Pek-i Liong-ong tersenyum mendengar usul gadis cantik yang agak berbau kekanak-kanakan itu.

   "Wah, kau ini masih muda sudah pelupa benar," orang tua itu berkata.

   "Maksudmu...?" Souw Lian Cu bertanya tak mengerti.

   "Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa kepergian mereka kemari itu tidak dengan seijinku? Lalu apa jadinya kalau mereka yang kini sedang dalam keadaan terdesak itu mendengar suaraku? Apakah hal itu justru tidak berbahaya bagi mereka? Lain halnya kalau engkau mau menolong aku..."

   "Hah? Maksudmu aku yang harus menjadi juru bicaramu dalam hal ini?"

   "Tepat! Mau...?" Souw Lian Cu terdiam.

   Sekejap ia melirik ke arah pertempuran, tapi serentak terlihat olehnya tubuh Put-pai-siu Hong-jin yang telanjang bulat itu, ia segera memejamkan matanya. Tapi yang sekejap itu sudah cukup baginya untuk dapat menilai keadaan pertempuran. Tiga orang Mo-kauw berjubah coklat itu memang tampak sangat kacau gerakannya. Mereka benar-benar repot harus melayani ilmu silat Put-pai-siu Hong-jin yang gila-gilaan itu. Souw Lian Cu lalu teringat kepada utusan Mo-kauw yang beberapa waktu yang lalu berkunjung ke Kuil Delapan Dewa untuk mengusut kesalah-pahaman yang terjadi di antara dua buah aliran agama tersebut. Masih terbayang juga di depan mata Souw Lian Cu-sikap dan tingkah laku kedua orang utusan itu ketika meminta keterangan kepada Tong Ciak Cu-si dan Toat-beng-jin. Sikap yang amat sabar, tenang, dan penuh maksud-maksud damai.

   "Bagaimana, nona?" Pek-i Liong-ong mendesak.

   "Baiklah, lekas katakan...!"

   "Terima kasih!" orang tua itu tersenyum.

   "Lekas kau katakan kepada orang orangku yang sedang terdesak itu untuk membuang jauh-jauh perasaan jijik mereka! Atau kalau mereka tak bisa berbuat itu, suruh saja mereka untuk mengambil senjata apa saja yang dapat mereka pergunakan untuk mengatasi rasa jijik tersebut! Kayu, ranting, batu, ikat pinggang atau yang lain! Terserah kepada mereka!"

   Souw Lian Cu mengangguk, kemudian dengan sebat ia mengerahkan tenaga sakti Ang-pek Sinkang andalan keluarganya. Sebuah ilmu lweekang yang amat dahsyat, yang khusus hanya dapat dipelajari dan dimiliki oleh keluarga Souw saja! Sebab untuk mempelajari ilmu yang amat sulit itu dibutuhkan persiapan yang matang dan terarah sejak orang itu lahir. Apalagi untuk menampung atau menghimpun tenaga sakti tersebut, harus diperlukan pula susunan jalan darah tersendiri, yang cara dan pengaturannya telah dimulai dan dilaksanakan sejak kelahirannya.

   Beberapa saat kemudian dengan disertai oleh pandangan kagum ketua Mo-kauw Souw Lian Cu mulai berkemak-kemik membisikkan pesan-pesan Pek-i Liong-ong kepada tiga orang jago Mo-kauw berjubah coklat itu. Sebuah bisikan jarak jauh yang hanya dapat diterima oleh orang yang dimaksudkan saja. Sekejap kemudian tampak perubahan pada wajah ketiga orang tokoh Mo-kauw yang sedang bertempur seru melawan Put-pai-siu Hong jin itu. Ketiga-tiganya menjadi kaget begitu mendengar suara wanita yang memberitahu bagaimana caranya mengatasi kesulitan mereka saat itu. Tapi serentak mereka menyadari kebenaran dari pesan-pesan tersebut, maka merekapun lantas melaksanakannya dengan bersemangat.

   Bagi yang bisa menghilangkan rasa jijiknya tak perlu mencari alat untuk senjata, tapi yang sukar untuk melepaskan perasaan tersebut lalu mengambil barang seadanya untuk senjata. Ternyata apa yang mereka lakukan itu membawa hasil pula sedikit demi sedikit. Lambat tapi pasti mereka bisa mengembalikan kepercayaan mereka pada kemampuan sendiri, sehingga mereka bertiga tidak kikuk dan ragu-ragu lagi. Akibatnya memang segera dapat dilihat. Sedikit demi sedikit mereka dapat mengurung dan menguasai pula kembali seperti keadaan mereka sebelum orang sinting itu membelejeti pakaiannya. Sekarang ganti Put-pai-siu Hong-jin yang jatuh di bawah angin. Si Gila Yang Tidak Tahu Malu itu benar-benar terkurung dan repot sekali sekarang.

   Ketiga orang pengeroyoknya yang kini sudah tidak merasa ragu-ragu lagi itu mencecarnya hingga kalang kabut. Meskipun dengan lweekangnya yang tinggi Put-pai-siu Hong-jin dapat menahan beberapa pukulan musuhnya,tapi kalau harus terus menerus demikian, ia tentu takkan bisa bertahan lebih lama lagi. Akhirnya ia tentu akan roboh pula! Dalam keadaan yang sulit itu, tiba-tiba Put-pai-siu Hong-jin mendengar suara bisikan pula di telinganya. Suara bisikan yang dikirim orang dengan ilmu Coan-im-jib-bit pula. Hanya yang amat mengejutkan tapi juga amat mengecutkan hati Put-pai-siu Hong-jin adalah suara orang itu, karena orang sinting itu segera mengenali suara tersebut sebagai suara suhunya! Suara Put-chien-kang Cin Jin (Pendeta Yang Tidak Waras), bekas ketua Bing-kauw atau suheng dari Put-cengli Lojin sendiri.

   "Hong jin, bocah gila...! Sekarang tahu rasa tidak kau? Itulah akibatnya kalau kau berani mengelabuhi suhumu sendiri. Kini kau benar-benar merasakan bagaimana enaknya dihajar orang, hihihi...Untung aku sudah curiga pada tingkah lakumu sejak semula, maka kuikuti kau sampai tempat ini. Dan aku benar-benar bisa menyaksikan muridku yang sering membuat onar itu dihajar orang, hihihahahihi..."

   "Suhu...!" Put-pai-siu Hong-jin menjerit tidak terasa.

   "Huss, tutup paruhmu...eh, tutup mulutmu hihihahahihi!...eh, burung kecil di dekat ekor! Mengapa engkau kini terberak-berak dan terkencing-kencing dikeroyok tiga ekor burung besar? Huaahahah-hah hah-hah...!" Put chien-kang Cin jin mengirimkan suaranya lagi dengan Coan-im-jib-bit.

   "Suhu, tolonglah aku...!" Put-pai-siu Hong-jin kembali berteriak seperti anak kecil.

   "Eh! Apakah bekas ketua Bing-kauw itu benar-benar berada di sekitar tempat ini?" dengan tegang Pek-i Liong-ong menoleh ke kanan dan ke kiri.

   "Apa? Bekas ketua Bing-kauw? Bukankah ketua Bing-kauw sekarang masih dipegang oleh Put ceng Ii Lojin?" Souw Lian Cu menatap Pek-i Liong-ong dengan wajah bingung.

   "Benar! Tapi yang kumaksudkan adalah Put-chien-kang Cin jin, guru dari orang sinting itu. Delapan tahun yang lalu dia menjabat sebagai ketua Aliran Bing-kauw, sebelum digantikan oleh Put-ceng-li Lojin, adik seperguruannya, seperti sekarang ini..."

   "Oh, begitu...Tapi mengapa dia digantikan oleh Put-ceng-li Lojin, padahal dia masih hidup?" Souw Lian Cu yang selalu ingin tahu itu mendesak. Pek-i Liong-ong tersenyum meskipun mata dan telinganya tetap waspada memperhatikan keadaan di sekeliling tempat itu. Orang tua itu masih bercuriga, kalau-kalau bekas ketua Bing-kauw yang amat lihai itu benar-benar berada di sekitar tempat tersebut.

   "Pergantian ketua itu disebabkan oleh karena terjadi bentrokan antara Aliran pula seperti sekarang ini. Pada waktu itu Aliran Mo-kauw kami belum terurus rapi dan belum dipersatukan pula. Saat itu yang ada barulah Aliran Bing-kauw dan Aliran Im-yang-kauw.Perselisihan-perselisihan kecil yang selalu terjadi di antara anggota-anggota mereka, membuat kedua Aliran itu akhirnya bentrok satu sama lain. Bentrokan-bentrokan yang semakin panas di antara tokoh-tokohnya membuat kedua tokoh puncaknya, yaitu Kauwcu Bing-kauw Put-chien-kang Cin-jin dan Tai si-ong Im-yang-kauw yang lama, bertempur satu sama lain. Pertempuran itu disaksikan oleh seluruh anggota aliran masing-masing..." Pek-i Liong-ong menghentikan ceritanya sebentar, sambil sekali lagi mengedarkan pandangnya ke segala penjuru. Setelah itu barulah dia meneruskannya.

   "...Keduanya bertempur tanpa melibatkan seluruh anggota aliran mereka masing-masing, sebab telah diputuskan bersama bahwa perselisihan di antara kedua aliran mereka itu akan diselesaikan dengan pibu antara ketua masing-masing. Siapa yang kalah harus pergi dan membubarkan diri..."

   "Lalu bagaimana?" Sekali Iagi ketua Aliran Mo-kauw itu tersenyum.

   "Bukankah sudah kau ketahui sendiri, tak satupun dari kedua aliran tersebut yang membubarkan diri sekarang?"

   "Ya...tapi bagaimana kelanjutan dari pibu itu?" Souw Lian Cu tetap belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh Pek-i Liong-ong.

   "Mereka tidak ada yang kalah atau menang! Seharian mereka bertempur tetap tak ada yang bisa menyelesaikan pertandingan tersebut. Biarpun masing-masing mempunyai ilmu yang dahsyat, keduanya tetap seimbang, sehingga akhirnya kedua-duanya sama-sama menderita..."

   "Menderita? Apakah yang Lo-Cianpwe maksudkan?"

   "Mereka berdua sama-sama terluka, sehingga pibu itu dianggap seri, tidak ada yang kalah maupun yang menang.Maka keputusan yang diambil pun juga tidak berat sebelah. Masing-masing tetap berdiri serta mengurus kepentingan mereka sendiri-sendiri. Karena ternyata ilmu mereka juga seimbang dan sama hebatnya, maka mulai saat itu, masing masing tidak boleh mengganggu lawannya. Kalau ada suatu perselisihan yang timbul harus segera dilaporkan ke atas agar bisa lekas-lekas diselesaikan,"

   "Ah, mengapa tidak dari semula mereka berbuat begitu..." Souw Lian Cu menghela napas sesal.

   "Kalau pagi-pagi mereka berbuat demikian bukankah tidak usah terjadi pibu itu?" Pek i Liong-ong memandang Souw Lian Cu dengan senyum lebar.

   "Ah, kau ini seperti bukan orang persilatan saja...Justru karena masing-masing tidak mau kalah dan merasa Iebih kuat itulah yang menyebabkan bentrokan tersebut. Baru setelah kedua jago terlihai mereka masing-masing ternyata bertanding sama kuat, mereka menjadi sadar bahwa ilmu mereka ternyata juga tidak lebih baik dan lebih kuat dari pada yang lain."

   "Ooooh!" Souw Lian Cu berdesah.

   "Lo-Cianpwe tadi mengatakan bahwa dua orang ketua yang pibu itu sama-sama terluka. Apakah luka mereka begitu parahnya sehingga kedua-duanya tak bisa menduduki kursi ketua lagi?" Ketua Aliran Mo-kauw itu mengangguk.

   "Kedua-duanya digotong pulang ketika selesai pibu. Tai-si-ong (Ketua Kuil Agung) dari Aliran Im-yang-kauw menjadi buta kedua biji matanya, sedangkan Kauwcu Aliran Bing-kauw menderita lumpuh kedua buah kakinya."

   "Oooh...!"

   "Hei?" Tiba-tiba Pek-i Liong ong membelalakkan matanya. Souw Lian Cu menjadi heran. Sekilas gadis itu melirik ke arena pertempuran, lalu cepat-cepat melengos kembali. Tapi yang sekilas itu sudah cukup untuk melihat apa yang terjadi di arena tersebut. Ternyata Put-pai-siu Hong-jin yang tadi sudah terdesak kembali oleh ketiga orang lawannya, kini tampak bisa berbalik mendesak pula lagi! Tentu saja keadaan itu sangat mengherankan Pek-i Liongong. Ketua Aliran Mo-kauw ini sudah amat yakin bahwa anak muridnya tentu akan menang setelah bisa menghilangkan rasa kikuk dan jijik mereka.

   Ternyata dugaannya keliru. Put-pai-siu Hong-jin yang sudah kewalahan tadi kini tampak bangun kembali menyusun serangan-serangan yang berbahaya, seolah-olah mendapat tambahan semangat baru lagi. Apakah sebenarnya yang terjadi? Apakah Si Gila Yang Tidak Punya Malu itu telah memperoleh bantuan dari suhunya, Put chien-kang Cin-jin? Memang benar! Biarpun pada mulanya Put chien-kang Cinjin selalu mentertawakan muridnya, tapi setelah Put-pai-siu Hong-jin itu benar-benar tidak bisa berkutik lagi dan hampir dijatuhkan lawannya, ternyata orang tua itu tidak tega juga akhirnya. Masih dengan nada berkelakar bekas ketua Aliran Bing-kauw itu memberi petunjuk kepada muridnya.

   "Hihih...burung kecil yang goblog! kau pintar sekali berceloteh dengan nyanyian nyanyian dungu, tapi kau sendiri ternyata tak bisa memetik maknanya...Hoho, kau tadi baru saja menyanyikan lagu jorok. Burung kecil di dekat ekor! Heheheh...! Kenapa dalam keadaan terpepet seperti sekarang ini kau masih lupa juga untuk memanfaatkannya?"

   "Maksud suhu...?" Put-pai-siu Hongjin berbisik pula dengan ilmu Coan-im jib-bit.

   "Kau masih bisa kencing tidak?" Put-chien-kang Cin-jin membentak dengan ilmu itu pula.

   "Yaa...masih, donggg...! Masakan pekerjaan anak kecil begitu saja tidak bisa? Suhu ini ada-ada saja! Memangnya burungku ini sudah rusak?" Put-pai-siu Hongjin yang terkurung dengan hebat itu masih dapat melawak pula.

   "Nah, kalau begitu buang dia sedikit demi sedikit!"

   "Hwaduuuh, jangannn...! sakit dong nanti. Burung sudah enak-enak bertengger di tempatnya sendiri suruh membuang...suhu ini bagaimana sih...?" Put-pai-siu Hongjin berteriak dengan tidak mempergunakan ilmu Coan-im-jib bit tanpa terasa, sehingga ketiga orang pengeroyoknya menjadi kaget sekali.

   "Bocah sinting! bocah goblog! Yang dibuang itu airnya, bukan burungnya! Tahu? Asal kau tidak bisa berkutik lagi, buang dia sedikit sambil tetap bersilat, biar lawan-lawanmu mandi air neraka itu, hahahah...! Kutanggung mereka takkan berani mendekatimu lagi!"

   "Kalau mereka mendekati lagi?"

   "Ya...siram lagi dengan air nerakamu itu!"

   "Lha...kalau air neraka itu sudah habis?"

   "Wah, bodoh benar kau ini! Kalau sudah habis"ya lari! Mengapa mesti malu-malu segala?"

   "Hehe, bagus sekali...! Ada burung kecil di dekat ekor, karena ngeri dan takut lalu terkencing-kencing! Huah hah hah...! Awaass aku mau kencingggg...!" Kontan saja tiga orang Mo-kauw berjubah coklat itu segera berloncatan surut, ketika secara mendadak lawan mereka yang bertelanjang bulat itu membuang air ke arah mereka. Dan begitu terbebas dari kurungan, Put-pai-siu Hong-jin lalu ganti menyerang mereka. Dengan kegembiraan yang meluap-luap orang sinting itu ganti mencecar lawannya tanpa ampun. Keadaan inilah yang kemudian dilihat oleh Pek-I Liong-ong dan membuat heran ketua Aliran Mo-kauw itu. Padahal orang tua itu sudah amat yakin bahwa tiga orang anak buahnya tersebut tentu menang. Ternyata tidak demikian, mereka kembali terdesak lagi oleh orang gila itu.

   "Bagaimana sekarang, Lo-Cianpwe? Agaknya tiga orang anak buah Lo-Cianpwe itu memang bukan tandingan orang Bing-kauw itu." Souw Lian Cu bertanya kepada Pek-I Liongong. Ketua Aliran Mo-kauw itu menggeram perlahan.

   "Seharusnya mereka bertiga tidak kalah. Seharusnya mereka menang. Tapi entah apa yang menyebabkannya" Mungkin bekas ketua Bing-kauw itu memang benar-benar datang dan memberi petunjuk kepada muridnya itu seperti kita."

   "Lalu apa yang akan Lo-Cianpwe perbuat? Menolong mereka?" Pek-I Liong-ong terdiam. Wajahnya yang penuh keriput ketuaan itu tampak berpikir keras. Alis matanya yang putih panjang seperti rambut kepalanya itu berkerut sehingga kelihatan bertemu satu sama lain.

   "Sebentar...Aku tidak akan menolong mereka. Aku justru akan menghukum orang-orangku yang pergi tanpa seijinku itu. Tapi yang sedang kupikirkan sekarang adalah cara untuk melerai mereka. Bagaimana cara yang paling baik agar tidak menimbulkan salah pengertian..."

   "Hmh! Hmh! Waduh...banyak benar semutnya pohon ini," tiba-tiba terdengar suara orang menggerutu di atas mereka. Pek-i Liong-ong dan Souw Lian Cu cepat menengok ke atas. Mereka menjadi terkejut sekali ketika kira-kira empat atau lima meter di atas mereka, duduk dengan santai di atas dahan seorang kakek tua renta berkepala gundul. Dengan tersenyum simpul kakek tua itu memandang ke arah mereka. Kedua belah lengannya yang tergantung bebas di samping tubuhnya itu tampak memegang dua batang tongkat besi seperti yang biasa dibawa oleh orang yang cacat kakinya.

   "Put-chien-kang Cin-jin...!" Pek-i Liong-ong berdesah. Sedang Souw Lian Cu hanya terlongong-longong saja melihat kakek tua itu.

   "Benar! Selamat bertemu, Pek-i Liong-ong...hihihihahaha! Sebenarnya sudah sejak tadi kita berada di atas pohon yang sama, cuma..." Put chien kang Cin jin tidak meneruskan perkataannya. Dipandangnya wajah Pek-i Liong-ong yang terheran-heran itu beberapa saat lamanya dengan air muka yang berseri-seri.

   ""Cuma kau tidak usah heran, mengapa sampai kau tidak tahu kalau aku berada di sini, hihi...Soalnya aku telah lebih dulu berada di atas pohon ini dari pada kau," katanya tanpa basa-basi, seperti kawan akrab saja.

   "Ohh!" Pek-i Liong-ong menghela napas lega, makanya dia tak tahu kedatangan orang itu.

   "Aku telah mendengar semua percakapan kalian sejak tadi. Dan ternyata kita mempunyai pendapat yang sama untuk menyelesaikan urusan ini. Oleh karena itu aku lantas bersuara agar kalian tahu bahwa aku berada di sini, sehingga kita berdua bisa memikirkan bersama jalan keluar yang baik untuk menyelesaikan pertikaian ini." Put-chien-kang Cin-jin melanjutkan lagi keterangannya. Sementara itu tubuhnya meluncur ke bawah, mendekati ketua Mo-kauw.

   "Jadi maksud Loheng..." Pek-i Liong-ong bergeser ke samping untuk memberi tempat kepada bekas ketua Aliran Bing-kauw tersebut.

   "Seperti juga orang-orangmu itu, orang-orang dari aliran kami itu juga datang ke sini tanpa sepengetahuan Kauwcu Bing-kauw. Muridku yang kurang ajar itu juga pergi ke tempat ini tanpa seijinku.Untunglah aku tak dapat dikelabuhinya, sehingga aku bisa mengikutinya sampai di tempat ini. Kalau tidak, bagaimana nanti aku mempertanggungjawabkan kesalahan muridku itu di hadapan suteku, Put-ceng-li Lojin? Padahal suteku itu juga sedang pergi mengurus persoalan ini pula..."

   "Kalau begitu mari kita bersama-sama melerai mereka!" Pek-i Liong-ong mengajak.

   "Marilah...!" Lalu bagaikan berIomba kedua orang tokoh puncak Mo-kauw dan Bing-kauw itu meloncat dari dahan yang mereka duduki, ke bawah ke arah arena pertempuran. Masing-masing mengerahkan kesaktian mereka! Put-chien-kang Cin-jin yang sudah lumpuh kedua buah kakinya itu meluncur turun dari atas pohon bagaikan seekor burung walet menyambar mangsanya, cepatnya bukan main!

   Hampir-hampir tidak dapat dipercaya bahwa seorang kakek tua renta, lumpuh pula kakinya, dapat bergerak sedemikian gesitnya. Semakin mengherankan lagi ketika dua batang tongkat besi penyangga tubuhnya itu mendarat di atas pasir yang empuk, sedikitpun ujung tongkat yang kecil tersebut tidak ambles atau terbenam seperti halnya sebatang anak panah yang mengenai sasarannya! Enteng bagaikan kapas, tubuh Put-chien kang Cin-jin bergoyang-goyang di atas kedua tongkatnya. Benar-benar sebuah demonstrasi ginkang yang bukan main hebatnya! Meskipun begitu, ketika bekas ketua Bing-kauw itu menatap ke depan hatinya benar-benar kaget sekali! Ternyata ketua Aliran Mo-kauw tersebut telah berdiri tersenyum di depannya beberapa detik lebih awal! Seketika hati tokoh tua dari aliran Bing-kauw itu bergetar.

   "Ah, bagaimanapun juga Pek-ih Cin-kang warisan Bu-eng Sin-yok-ong ternyata memang tidak bisa ditandingi oleh siapapun juga," akhirnya Put-chien-kang Cin-jin mengakui.

   "LoHeng-terlalu memuji, padahal aku tadi hampir saja berputus-asa..." Pek-i Liongong merendah. Ternyata kedatangan kedua tokoh tersebut benar-benar mengagetkan orang-orang yang sedang berkumpul di tepi telaga itu. Tanpa diminta lagi semuanya meloncat mundur dan bergegas menghampiri tokoh mereka masing-masing dengan wajah ketakutan. Tiga orang berjubah coklat itu segera berlutut di depan Pek-i Liong-ong diikuti kawan-kawannya yang lain. Dengan wajah pucat mereka membentur-benturkan dahinya ke atas pasir.

   "Mo-cu...!" mereka berseru berbareng dan tak bisa berkata-kata lagi. Semuanya diam dan tak berani mengangkat wajah mereka masing-masing. Mereka bagaikan sekumpulan orang pesakitan yang menunggu keputusan hukumannya. Orang-orang Bing-kauw juga tidak berbeda dengan orang orang Mo-kauw itu. Merekapun dengan wajah ketakutan berdiri menunduk di depan bekas ketua mereka. Hanya Put pai-siu Hong-jin seorang yang kelihatan tenang seperti tak ada masalah apa-apa. Orang sinting itu justru pergi menyelam mencari pakaiannya di dalam telaga, padahal Put-gi-ho dan Put-chih-to sudah gemetar seluruh tubuhnya.

   "Hong-jin...! Ayoh, pulang...!" Put-chien-kang Cin-jin memanggil muridnya.

   "Sebentar, suhu! Celanaku hilang, tak ada dalam air ini..."

   "Sudahlah, tak usah dicari lagi. Ambil saja akan atau daun untuk menutup badanmu!"

   "Wah, suhu...nih!" Put-pai-siu Hong-jin terpaksa keluar dari dalam air sambil menggerutu. Tangannya sudah menggenggam akar-akaran beserta tumpukan lumut untuk menutupi badannya. Lalu sambil tersenyum-senyum dia masih bisa bergoyang pinggul menuju ke perahu mereka. Put-chien-kang Cin-jin mengangguk ke arah Pek-I Liong ong sebelum mengajak para anggota alirannya ke perahu.

   "Pek-I Liong-ong, aku berangkat dahulu. Biarlah semua urusan ini diselesaikan oleh petugas-petugas kami nanti..."

   "Baik, Cin-jin..." Ketua Aliran Mo-kauw itu menanti sampai perahu orang orang Bing-kauw itu pergi, lalu mengajak pula anak buahnya sendiri untuk meninggalkan tempat itu. "Kalian pulanglah dahulu! Tinggalkan sebuah perahu untukku, nanti aku menyusul!"

   "Baik, Mo-cu...!" Ketiga orang berjubah coklat itu mengiyakan, kemudian dengan diikuti oleh kawan-kawannya yang lain mereka pergi meninggalkan tempat itu dengan perahu mereka. Tidak lupa mereka meninggalkan sebuah perahu untuk Mo-cu mereka. Telaga itu menjadi sunyi dan sepi kembali. Tak seorangpun akan menyangka bahwa di tempat tersebut baru saja terjadi pertempuran yang seru dan menegangkan.

   "Nona Souw, kau turunlah...!" Pek-i Liong-ong berseru ke arah pohon dimana Souw Lian Cu tadi bersembunyi.

   "Bukankah kau mau pergi ke sungai Huang-ho? Kalau kau mau, mari kita pergi bersama-sama! Akupun mau pergi ke sana juga."

   "Pergi ke Sungai Huang ho? Eh, mengapa Lo-Cianpwe tahu aku akan pergi kesana?" Souw Lian Cu meloncat turun dan menghampiri ketua Aliran Mo-kauw itu. Pek-i Liong-ong tersenyum.

   "Nona tak usah merasa heran. Lohu memang telah lama mengikutimu, yaitu sejak engkau meloloskan diri dari keributan yang terjadi di rumah makan dan kemudian pergi meninggalkan dusun Ho-ma-cun ini. Oleh karena itu Lohu juga menyaksikan ketika kau beberapa kali ditolak untuk menumpang pada perahu-perahu yang sudah sarat dengan muatan mereka sendiri itu."

   "Ah, celaka! Mengapa aku tidak mengetahuinya? Bukankah di sepanjang jalan itu sepi sekali. Tapi" ah, benar! Tentu saja aku takkan mungkin bisa melihatnya!" Souw Lian Cu yang merasa terkejut itu tiba-tiba mengetuk-ngetuk dahinya sendiri dengan jari tangannya, seolah-olah baru teringat dengan siapa sekarang dia sedang berhadapan.

   "Apa? Nona Souw, apa yang kau katakan?"

   "Oh, tidak apa-apa...! siauwte Cuma menyesali kebodohanku sendiri, mengapa siauwte sampai melupakan bahwa orang yang mengikuti siauwte itu adalah pewaris Pek-in Ginkang dari mendiang Bu-eng Sin-yok-ong."

   "Ahhh...nona Souw, kau itu bisa saja memukul hati orang. Kedengarannya saja kau ini menyanjung ilmuku, tapi bila hal itu dirasakan dengan mendalam kata-katamu itu justru menyakitkan sekali malah!" Pek-i Liong-ong tersenyum kecut.

   "Menyakitkan...? maaf, Lo-Cianpwe, apa yang kau maksudkan?" Souw Lian Cu menjadi kaget. Pek-I Liong-ong membalikkan tubuhnya, lalu dengan menghela napas berat ia memberi keterangan.

   "Nona...bila yang mengeluarkan pujian itu bukan kau, itu tidak menjadi apa. Tapi kalau yang memuji ilmuku tadi adalah orang dari keluarga Souw seperti engkau...wah, suasananya menjadi lain."

   "Menjadi lain...? Lo-Cianpwe, siauwte benar-benar tidak mengerti kata-katamu." Souw Lian Cu bertambah bingung. Ketua Aliran Mo-kauw itu kembali menatap ke depan, seakan-akan matanya yang tajam sedang merenungi aliran sungai yang pekat bergelombang itu.

   Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Nona, apakah kau belum pernah mendengar cerita dari ayahmu tentang dongeng Kakek Pelukis yang menundukkan Empat Datuk Besar Persilatan di zaman seratus tahun yang Ialu?"

   "Kakek Pelukis menundukkan Empat Datuk Besar Persilatan? Maaf, Lo-Cianpwe...ayah belum pernah menceriterakannya kepadaku." Souw Lian Cu memandang orang tua itu dengan wajah ragu.

   "Lebih dari seratus tahun yang lalu, Empat Datuk Besar Persilatan yang sangat terkenal akan kesaktiannya dan belum pernah terkalahkan itu sebenarnya sudah pernah ditundukkan dan dibuat malu oleh seorang kakek pelukis yang bertempat tinggal di lereng Gunung Hoa-san. Biarpun kejadian itu tidak ada yang menyaksikan selain mereka sendiri, tetapi hal itu benar-benar tak pernah dilupakan oleh Empat Datuk Besar Persilatan beserta anak keturunan mereka. Dan...tahukah nona, siapakah kakek pelukis yang sangat sakti tersebut?" Souw Lian Cu menggeleng dengan cepat.

   "Dia adalah kakek Souw...nenek-moyangmu sendiri!" akhirnya Pek-i Liong-ong memberi keterangan. "...Maka kaIau nona tadi memuji ilmu silatku, hal itu benar-benar tidak kena, karena ilmu silat keluargamu jauh lebih hebat dan lebih dahsyat dari pada ilmu silat warisan Empat Datuk Besar Persilatan seperti kepunyaanku ini..."

   "Tapi...tapi ayahku tak pernah menceritakannya kepadaku. Mungkin...mungkin ayahku juga tak mengetahuinya pula, sebab segala macam dongeng tentang anak keturunan keluarga kami sudah dituturkan ayah kepadaku, Semuanya..." Ketua Aliran Mo-kauw itu kembali tersenyum pahit.

   "Hmm, itulah kebesaran jiwa keluarga Souw. Mendiang suhuku memang pernah berkata kepadaku, bahwa beliau amat sangat menghormati Kakek Pelukis ini meskipun sudah dikalahkan. Sebab selain pihak Empat Datuk Besar Persilatan sendiri yang mula-mula membuat gara gara dengan kakek itu, ternyata cara-cara yang dipakai oleh Kakek Pelukis tersebut untuk menaklukkan mereka benar-benar amat bijaksana. Sedikitpun tidak melukai hati maupun perasaan empat jago silat takterkalahkan itu. Kakek Pelukis tersebut justru menyadarkan bahwa mereka bukanlah malaikat yang tak terkalahkan!"

   "Kalau begitu siauwte sungguh minta maaf kepada Lo-Cianpwe. Sungguh mati siauwte tak bermaksud menghina dengan ucapan-ucapan tadi. siauwte memang benar-benar kagum di dalam hati bila membayangkan kehebatan ilmu Lo-Cianpwe..."

   "Sudahlah, nona Souw. Lohu juga tidak apa-apa. Lohu malah sangat bergembira sekali melihat kau mau melupakan kejadian yang tak mengenakkan hati antara kita itu. Dalam hati Lohu juga amat menyesal sekali telah melukai engkau. Beberapa hari lamanya Lohu mencari jejakmu, takut kalau pukulanku itu berakibat buruk terhadap jiwamu...maka betapa senang hatiku kau sehat wal-afiat ketika memasuki rumah makan di pinggir sungai itu."

   "Oh, jadi selama ini Lo-Cianpwe selalu mencari saya?" Pek-i Liong-ong mengelus-elus kumis dan jenggotnya yang putih panjang, lalu mengangguk.

   "Benar!...Ah, kita omong saja di sini. Lihat! Matahari sudah condong ke barat. Kita bisa terlambat sampai di Pantai Karang nanti," orang tua itu berkata dan bergegas melangkah ke perahu yang ditinggalkan oleh anak buahnya.

   "Hah? Lo-Cianpwe tahu pula tentang harta-karun itu?" Souw Lian Cu tersentak kaget, kemudian berlari mengikuti orang tua itu ke perahunya.

   "Ya! Lohu mengetahui rahasia tersebut tanpa sengaja...Tetapi demi Tuhan kepergianku kali ini bukan untuk turut memperebutkan harta karun itu! Sama sekali tidak! kalau sekarang aku hendak pergi ke sana, hal itu bukan karena harta karun tersebut, tetapi karena keinginanku untuk menemui seseorang yang kutahu juga pergi ke tempat itu," ketua Aliran Mo-kauw menjawab sabil melompat ke atas perahunya.

   "Marilah, nona...!" Tanpa segan-segan lagi Souw Lian Cu ikut melompat ke atas perahu.

   "Terima kasih, Lo-Cianpwe"" gadis itu mengangguk di depan orang tua tersebut untuk menyatakan rasa terima kasihnya. Hanya matanya yang bulat bening itu masih mengawasi ketua Mo-kauw, seolah-olah masih menuntut keterangan yang lebih lengkap lagi dari orang tua tersebut. Tampaknya Pek-I Liong-ong menangkap juga keinginan Souw Lian Cu yang terpancar lewat sinar matanya itu. Maka sambil mendorong perahu kecil tersebut ke tengah, ketua Aliran Mo-kauw yang amat lihai itu memberi keterangan lagi.

   "Kepergianku dari rumah kali ini memang khusus untuk menyelidiki sebab musabab terjadinya pertempuran dan perselisihan antara Bing-kauw, Im-yang-kauw dan Mo-kauw. Lohu tidak menginginkan perselisihan-perselisihan kecil itu semakin menjadi besar dan meruncing, sehingga akhirnya terjadi perang terbuka seperti yang terjadi delapan tahun yang lalu," orang tua itu menghentikan kata-katanya sebentar untuk mengambil napas, kemudian ia melanjutkannya lagi, "Oleh karena itu Lohu merasa belum puas juga meskipun sudah mengirim dua orang kauw-tai-sih kepercayaan kami. Sepeninggal mereka Lohu juga pergi untuk ikut menyelidiki pula. Suatu saat Lohu membayang-bayangi dua orang utusan kami tersebut dan ternyata jerih payahku itu membuahkan hasil pula. Ketika Lohu berkeliaran di sekitar Pat-sian-gai (Bukit Delapan Dewa), Lohu melihat dua orang yang sangat mencurigakan sedang diintip dan diikuti oleh putera seorang sahabatku..."

   "Putera dari sahabat Lo-Cianpwe...?" Souw Lian Cu memotong.

   "Benar. kau kenal Yap Kiong Lee? Putera dari Yap Cu Kiat, ahli waris perguruan Sin Kun Bu Tek itu? Dialah yang membayangi dua orang yang mencurigakan itu."

   "Ah, kenal sekali sih...belum. Baru kemarin siauwte melihat dan mengenal pendekar muda itu. Justru dari dialah siauwte mengetahui tentang Pantai Karang dan harta karun itu." Lalu Souw Lian Cu bercerita tentang pengalamannya setelah mendapatkan luka akibat pukulan dari kakek itu, yaitu semenjak gadis itu digotong oleh Put-gi-ho dan Put-chih-to sampai dibawa oleh tokoh-tokoh Im-yang-kauw ke rumah Kam Lojin di dusun Ho-ma-cun.

   Dimana di rumah kakek ahli obat itu dia bertemu dengan Honglui-kun Yap Kiong Lee, yang kemudian bercerita tentang Hek-eng-cu dan anak buahnya. Pek-I Liong-ong mendengarkan cerita Souw Lian Cu dengan penuh perhatian. Berkali-kali ketua Aliran Mo-kauw itu membelalakkan matanya atau menggeleng-gelengkan kepalanya ketika gadis itu menyebut tokoh-tokoh sakti yang dijumpainya. Apalagi ketika gadis tersebut menyebut nama Kam Lojin, orang tua itu sampai ternganga karena rasa kagetnya. Dan Souw Lian Cu merasakan pula kekagetan ketua Aliran Mo-kauw tersebut. Maka begitu selesai bercerita, gadis itu segera menanyakannya pula.

   "Kam Lojin berkata bahwa beliau masih mempunyai hubungan perguruan dengan Lo-Cianpwe, benarkah...?" Pek-I Liong-ong cepat-cepat mengangguk.

   "Dia adik seperguruanku. Dimana dia sekarang?"

   "Entahlah. Kata Toat-beng-jin dan Tong Ciak Cu-si, beliau mau pergi mengembara lagi entah kemana."

   "Hmmh!" Pek-i Liong-ong menghela napas dalam-dalam, hatinya kelihatan berduka. Mata yang dilingkari keriput dan tampak tua itu sedikit berkaca-kaca.

   "Adikku itu sejak muda memang suka bertualang, sehingga sampai lupa untuk berumah tangga pula. Tapi kepandaiannya bukan main hebatnya, semua kakak seperguruannya tak ada yang menang melawan dia. Mendiang guruku, Bu-eng Sin-yok-ong sangat sayang kepadanya..."

   "Tapi orang tua itu sangat sederhana sekali. Hampir-hampir tidak kentara kalau dia mempunyai kepandaian yang maha hebat." Souw Lian Cu menyahut dengan nada kurang percaya. Pek-i Liong-ong tersenyum pahit.

   "Itulah salah satu dari kehebatannya yang membuat suhu semakin menyayanginya. Hatinya sangat baik, jujur, sederhana, tidak sombong dan sangat bijaksana! Padahal adik seperguruanku itulah satu satunya ahli waris guruku yang sebenarnya paling berhasil dalam menerima ilmu perguruan kami. Nona Souw, tahukah kau siapa sebenarnya Keh-sim Siauwhiap yang dalam empat atau lima tahun terakhir ini sangat terkenal di dalam dunia persilatan melebihi tokoh tokoh tua seperti Lohu ini?" Tiba-tiba orang tua itu bertanya kepada Souw Lian Cu.

   Souw Lian Cu tergagap. Gadis itu mengetahui bahwa ketua Aliran Mo-kauw tersebut tidak bermaksud menggodanya, sebab Souw Lian Cu yakin tak seorangpun di dunia ini yang tahu tentang rahasia hatinya terhadap Keh-sim Siauwhiap selain pendekar itu sendiri. Tapi meskipun demikian, pertanyaan yang mendadak tentang Keh sim Siauwhiap tersebut memang sungguh mengejutkannya. Apalagi pertanyaan itu datang dari orang yang tak disangka-sangka seperti ketua aliran Mo-kauw tersebut! Souw Lian Cu berpegang pada tiang layar dengan eratnya, seakan-akan mencari kekuatan agar supaya tubuhnya tidak menjadi gemetar karenanya. Matanya yang lebar dan bening itu menatap kosong kepada Pek-i Liong-ong, lalu menunduk mengawasi gelombang air di bawah perahunya yang berbuih buih karena terbelah oleh lajunya perahu yang didorong oleh angin.

   "Pendekar muda yang amat terkenal itu adalah murid kesayangan dari adik seperguruanku..." akhirnya ketua Aliran Mo-kauw itu menjawab sendiri pertanyaannya ketika dilihatnya Souw Lian Cu tidak berusaha untuk menjawabnya. Kembali gadis buntung itu tersentak kaget.

   "Aah?! Dia murid dari Kam Lojin?" desahnya hampir tak kedengaran. Souw Lian Cu benar-benar tak menyangka bahwa dua orang yang pernah menyelamatkan nyawanya itu ternyata adalah guru dan murid. Tapi bagi Pek-i Liong-ong kekagetan Souw Lian Cu tersebut diartikan lain. Ketua Aliran Mo-kauw itu menganggap Souw Lian Cu benar-benar kaget karena tidak menduga bahwa kesaktian adik seperguruannya, yang dipanggil dengan nama Kam Lojin itu sedemikian tingginya, sehingga pendekar ternama seperti Keh-sim Siauwhiap saja ternyata hanya seorang muridnya.

   "Nah, kau dapat membayangkan betapa tingginya ilmu suteku itu..." Pek-I Liong-ong berkata bangga. Souw Lian Cu mengangguk-angguk tanpa terasa. Lalu untuk beberapa saat Iamanya mereka berdua berdiam diri dan sibuk dengan jalan pikiran mereka sendiri-sendiri.

   Pek-i Liong-ong berpikir tentang adik seperguruannya yang tak pernah jumpa, sedangkan Souw Lian Cu-sibuk melamunkan Keh-sim Siauwhiap yang dikaguminya. Sementara itu angin sore mulai datang meniup, membuat perahu kecil yang mereka tumpangi itu semakin bertambah laju jalannya. Dan mataharipun telah jauh pula condong ke arah barat, sehingga sebentar lagi tentu akan tertutup oIeh pucuk-pucuk pohon yang tumbuh rimbun di sepanjang tepian sungai. Apabila tidak ada aral melintang, mungkin perahu itu sudah akan tiba di Sungai Huang-ho sebelum matahari terbenam. Dan kalau cuaca masih tetap baik seperti sekarang, maka pada waktu tengah malam nanti mereka juga sudah akan tiba pula di pantai timur. Kemudian dari muara tersebut mereka tinggal berjalan beberapa saat untuk mencapai Pantai Karang yang mereka tuju.

   "Kalau siauwte tidak salah dengar, Lo-Cianpwe tadi mengatakan bahwa Lo-Cianpwe ikut membayang-bayangi dua orang yang mencurigakan yang saat itu sedang diintip dan diikuti oleh Hong-lui-kun Yap Kiong Lee...? Lalu...apakah mereka itu kemudian pergi ke sebuah perahu yang dinaiki oleh tokoh-tokoh dari Ban-kwi-to? Dan kemudian mereka bersama-sama berperahu ke arah hilir untuk bertemu dengan seorang aneh yang terkenal dengan nama Hek-eng-cu...? apakah...?"

   "Hei, benar! Bagaimana kau tahu? Orang-orang yang mencurigakan itu memang...eh, kau tentu mendengar tentang hal itu dari Yap Kiong Lee, bukan? Benar, engkau tadi telah mengatakannya kepadaku..." ketua Aliran Mo-kauw yang semula terperanjat itu tiba-tiba tersenyum mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Dua orang yang mencurigakan itu memang sudah dinantikan oleh tokoh-tokoh Ban-kwi-to di atas perahu. Dan ketika mereka mengayuh perahu ke hilir aku terpaksa berlari-lari mengikuti mereka dari tepian sungai.Sesekali Lohu bisa menangkap percakapan mereka. Itulah sebabnya Lohu mengetahui serba sedikit tentang mereka dan rencananya...putera sahabatku itu! Sejak kedua orang yang mencurigakan itu naik ke atas perahu, aku tidak melihatnya lagi. Kemana gerangan bocah lihai itu?"

   "Dia berada di atas perahu," Souw Lian Cu menjawab.

   "Diatas perahu bersama orang-orang itu?" Pek-i Liong-ong mengernyitkan keningnya seolah tak percaya. Souw Lian Cu mengangguk lalu menceritakan pengalaman Yap Kiong Lee seperti yang diceritakan oleh pendekar muda itu kepadanya. Pek-I Liong-ong mendengarnya dengan penuh perhatian. Sekali-sekali tampak air mukanya berubah atau kadang-kadang kepalanya yang berambut putih itu menggeleng-geleng bila mendengar tentang keberanian dan kecerdikan Hong-lui-kun Yap Kiong Lee.

   "Bocah itu memang cerdik dan lihai sekali..." Akhirnya ketua Aliran Mo-kauw tersebut berkata, ""Tak heran Baginda Kaisar Han amat percaya kepadanya." Semakin lama permukaan air sungai itu semakin tampak lebar dan luas. Ombak atau gelombang airpun kelihatan semakin besar sehingga perahu kecil yang mereka tumpangi terasa bergoyang semakin keras pula. Langit tampak kemerah-merahan seolah-olah sinar matahari yang hampir terbenam itu mencat semua gumpalan awan yang bertebaran memenuhi angkasa dengan warna kuning menyala.

   "Lihat, sungai ini tampak semakin lebar! Dan...Lihat juga warna airnya itu! Nona Souw, sebentar lagi kita akan masuk ke sungai Huang-ho. Awas, kau berpeganganlah dengan kuat agar supaya gelombang dan pusaran air pada pertemuan kedua sungai ini tidak melemparkanmu ke dalamnya!" tiba-tiba Pek-I Liong-ong memperingatkan Souw Lian Cu.

   Benarlah. Tak lama kemudian terdengar suara gemuruh pertemuan antara sungai kecil itu dengan sungai Huang-ho yang besar. Perahu mereka yang kecil itupun mulai bergoyang ke kanan dan ke kiri. Sebentar-sebentar ujung perahu mereka seperti ditampar dari arah depan atau samping sehingga kemudi perahu bagaikan mau berbelok dengan paksa. Tapi Pek-I Liong-ong memegangnya dengan kuat. Aliran sungai kecil itu seperti berhenti dan tak bisa mengalir ke depan lagi. Meskipun begitu gelombang airnya justru bertambah besar dan kuat, sehingga rasa-rasanya dibawah permukaan air yang tampak tenang ini seperti ada puluhan ekor ikan raksasa yang sedang bergulat dengan seru!

   

Darah Pendekar Eps 38 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 10 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 4

Cari Blog Ini