Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 43


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 43




   "Baik! Aku kalah dalam pertaruhan ini! Lekas katakan kehendakmu, bangsat!" Chin Yang Kun tidak marah dicaci-maki begitu. Ia tahu orang itu tidak bermaksud untuk menghina atau meremehkannya. Orang itu memaki dan mengumpat asal bicara saja dan hanya merupakan logat kebiasaan setiap harinya.

   "Nah, pertama-tama katakan dulu nama dan gelarmu...!" pintanya.

   "Ha!" orang itu menggeram. "...Aku sudah lupa pada nama pemberian orang tuaku. Tapi aku biasa disebut Hong-Jin (orang gila) oleh orang-orang yang mengenalku. Dan di dalam perkumpulanku aku diberi nama...Put-pai-siu (Tak Punya Malu)! Nah, puas...? Sekarang katakan keinginanmu yang ke dua!" Chin Yang Kun hampir tak kuasa menahan tawanya. Nama itu benar-benar kocak dan sangat sesuai dengan orangnya.

   "Put-pai-siu...!" tegasnya sambil melirik Tiau Li Ing. Kedua remaja itu saling pandang dengan mulut tersenyum.

   "Ya! Memangnya kenapa...? Apakah kau ingin berkelahi lagi? Ayoh!" orang itu bersiap-siap kembali.

   "Nanti dulu...! Aku toh belum mengatakan pertanyaanku yang kedua."

   "Kalau begitu...lekaslah kau katakan, jangan cerewet saja!" Chin Yang Kun melangkah maju.

   "Begini...! Kedatangan kami ini sebenarnya hanya mau mencari penginapan. Cuma yang sangat mengherankan hati kami adalah keadaan di dalam kota ini. Kenapa kota yang cukup besar ini mendadak menjadi sepi seolah tak ada penghuninya sama sekali? Ke mana mereka itu?"

   "0hh...itu!" Put-pai-siu Hong-jin mendengus dingin.

   "Mereka semua adalah pengecut-pengecut yang takut mati. Mereka semua bersembunyi di dalam rumah masing-masing dan memalang pintu mereka kuat-kuat dari dalam."

   "Bersembunyi...? Mengapa mereka bersembunyi?" Chin Yang Kun dan Tiau Li Ing bertanya hampir berbareng.

   "Itulah...! Kata mereka gerombolan perusuh yang mau memberontak kepada Kaisar Han akan lewat di sini malam ini. Maka penduduk lantas menjadi panik dan bingung. Anak-anak dan perempuan segera diungsikan oleh keluarganya, sementara yang laki-laki tetap berada di rumah menjaga harta bendanya."

   "Para perusuh...?" sekali lagi Chin Yang Kun dan Tiau Li Ing saling memandang. Keduanya segera teringat pada gerombolan yang sangat mencurigakan di puncak bukit itu.

   "Tapi...bukankah Kaisar Han telah mengirimkan tentaranya ke daerah ini?" pemuda itu mengerutkan keningnya.

   "Benar! Itulah sebabnya kukatakan mereka pengecut. Meskipun di dalam kota ini tidak ada pasukan Kaisar, tapi di sekeliling daerah ini toh sudah dijaga dengan ketat oleh pasukan itu. Masakan mereka masih berani lewat di kota ini juga?"

   "Ooo...jadi mereka itu masih berada di dalam rumah masing-masing? Dan mereka itu takut keluar karena khabar tentang kaum perusuh itu? Wah, jika demikian...jangan jangan aku ini disangka sebagai anggauta kaum perusuh pula oleh mereka..." Chin Yang Kun tertawa kecut.

   "Mungkin juga..." Put-pai-siu Hong-jin mengangguk-angguk.

   "Mungkin juga? Eh, kalau begitu engkaupun mempunyai anggapan demikian?" Chin Yang Kun tersentak kaget. Lalu katanya, "Nah, sekarang aku baru mengerti...mengapa engkau berpura-pura marah dan menyerang aku tadi. Sebenarnya engkau mencurigai aku dan bermaksud untuk menangkapku. Ya atau tidak...?"

   "Berpura-pura marah dan bermaksud menangkapmu? Hei...apa yang kau maksudkan? kenapa aku mesti harus menangkapmu? Dan...mengapa aku mesti berpura-pura pula? Apa hubunganku denganmu? Kurang ajar...! Setan busuk! Bukankah engkau yang mula-mula membuatku marah?" Put-pai-siu Hong-jin berjingkrak-jingkrak marah.

   "Ah, tidak usah kau tutup-tutupi lagi! Bukankah kau salah seorang dari penghuni kota ini? Dan melihat kepandaianmu aku berani bertaruh bahwa kau tentu orang penting di sini. Paling tidak sebagai pejabat keamanan atau..."

   "Bocah gila...! kau benar-benar ngawur! Siapa bilang aku penduduk kota ini? Siapa bilang aku pejabat keamanan? Huh...masakan rupa seperti ini patut menjadi pembesar? Nekad saja!"

   "Lantas siapakah sebenarnya engkau ini? Mengapa berada di tempat ini?" Chin Yang Kun yang telah salah terka itu tersipu-sipu.

   "Nah, begitu baru pertanyaan yang benar..." Put pai-siu Hong-jin tersenyum dengan wajah kocak. Perlahan-lahan ia membuka tutup buli-buli araknya, lalu meminumnya beberapa teguk sebelum menjawab pertanyaan Chin Yang Kun. "...Akupun orang asing di kota ini. Aku juga baru saja datang tadi malam, beberapa jam lebih awal dari pada kalian. Aku terus berjalan kemari ketika kau ditangkap oleh pasukan Kaisar itu..."

   "Hah?!? Jadi...Jadi Lo-Cianpwe tahu ketika aku ditangkap oleh anak buah Kim Cian-bu itu?" Chin Yang Kun terkejut.

   "Hahaha...tentu saja. Kenapa tidak? Aku telah membayang-bayangi kau sejak dari kota Poh-yang, sejak kau dikelabuhi gadis ini untuk membawakan pedati kecilnya...sampai kau membakar daging di hutan bersama-sama Honggi-hiap Souw Thian Hai dan diberi baju yang kau pakai sekarang ini, hehehe...Semuanya telah kulihat, sampai yang sekecil-kecilnya." Putpai-siu Hong-jin berkata sambil melirik Tiau Li Ing. Sekejap muka Chin Yang Kun menjadi merah.

   "Jadi...Lo-Cianpwe melihat juga ketika aku bertempur dengan mayat-mayat di dalam kuil itu?"

   "Tentu saja. Akupun berada di sana pada waktu itu. Kulihat kau sampai menjadi ketakutan melihat mayat-mayat hidup itu. heee...Padahal apa sih hebatnya ilmu hitam seperti itu? Asalkan kau musnakan sumbernya mereka takkan berguna lagi."

   "...Dan ketika aku terjerumus ke dalam sumur tua itu?"

   "Nah, saat itu aku beranggapan bahwa kau telah mampus. Maka akupun lalu melihat-lihat ke dalam gedung besar itu. Hehehe...hampir saja aku diketahui Tung-hai-tiau dan kawan-kawannya..."

   "Ah...!" Chin Yang Kun berdesah kikuk.

   "Eh...tak tahunya ketika pertempuran di atas bukit itu sedang berlangsung dengan sengitnya...kau tiba-tiba keIuar dari dalam gedung mengejar-ngejar gadis itu." Put-pai-siu Hong-jin meneruskan keterangannya sambil menunjuk ke arah Tiau Li Ing. "...Maka akupun lalu membuntutimu lagi..."

   "Eh...ahh..." Chin Yang Kun berdesah berulang-ulang, hatinya terasa semakin kikuk.

   "...Tapi...tapi mengapa aku sama sekali tidak mengetahui kalau Lo-Cianpwe selalu mengikutiku? Bukankah Souw-Taihiap (pendekar besar Souw) saat itu juga bersamaku? Apakah dia juga tidak tahu pula?"

   "Tentu saja kau tidak melihatku, karena ginkangku jauh lebih tinggi dari pada ginkangmu, hehehe...Eit, nanti dulu! kau jangan lekas-lekas merasa tersinggung pada perkataanku ini!" Put-pai-siu Hong-jin cepat-cepat menggoyangkan tangannya begitu melihat mata Chin Yang Kun menyala mendengar kelakarnya.

   "Dengarlah...! kau memang hebat! Kepandaianmu luar biasa tingginya! Sebagai seorang tua yang telah puluhan tahun berkecimpung di dunia persilatan, aku benar-benar kagum melihat kesaktianmu. Selama ini aku belum pernah menjumpai anak muda mempunyai ilmu sedahsyat ilmumu itu. Tetapi...meskipun demikian kau juga harus mengakui bahwa ginkangmu tidaklah sedahsyat ilmumu yang lain. Kalau boleh kumisalkan, kau adalah seperti seekor naga yang kokoh kuat dan bertenaga besar. Kulitmu liat dan keras, tenagamu luar biasa kuat dan dahsyat, tapi...sayang gerakanmu lamban!" Chin Yang Kun tidak jadi marah. Memang, secara diam diam iapun harus mengakui bahwa ginkangnya tidak sehebat ilmu-ilmunya yang lain. Hal ini pernah disinggung pula oleh Keh-sim Siauwhiap di haIaman rumah Pendekar Li beberapa hari yang lalu.

   "Ya...ya, misalkan aku tak melihat Lo-Cianpwe, tapi...masakan Souw-Taihiap juga tidak melihat pula?" sambil menghela napas pemuda itu bertanya.

   "Ahh, kalau dia memang lain...Di depan matanya tak seorangpun bisa menyembunyikan dirinya. Akupun sempat dilihatnya, beberapa kali malah! Tapi meskipun demikian ia tak bisa menangkapku, biarpun dia juga telah mengerahkan seluruh kepandaiannya."

   Setelah sedikit membanggakan dirinya Put-pai-siu Hong-jin diam. Begitu pula dengan Chin Yang Kun dan Tiau Li Ing. Masing-masing sibuk dengan jalan pikiran mereka sendiri sendiri. Sepi. Sementara itu di ufuk timur telah mulai bersinar kemerah merahan. Alam pun mulai tampak terjaga dari tidurnya. Daun-daun pohon yang semula tampak diam tak bergerak itu mulai terayun-ayun ditiup angin pagi. Embun-embun yang berada diatasnya tampak bercucuran ke bawah, menimpa semak semak dan rumput sehingga pohon-pohon kecil itu ikut bergoyang-goyang pula. Tiba-tiba keheningan di halaman itu disentakkan oleh kicau burung di pojok rumah. Burung itu menggelepar terbang meninggalkan sarangnya menuju ke pohon pek yang tinggi di samping rumah.

   Dan suara kicau yang nyaring itu seolah-olah merupakan lonceng pembukaan bagi burung-burung yang lain, karena sebentar kemudian ramailah suasana pagi itu dengan suara nyanyian mereka. Dan satu persatu pintu rumah di pinggir jalan besar itu mulai terbuka. Beberapa buah kepala tampak menjenguk ke luar dengan wajah pucat dan sinar mata ketakutan. Dan wajah itu perlahan-lahan menjadi lega begitu melihat suasana tampak aman. Satu persatu penghuni kota itu mulai ke luar dari rumahnya. Mereka saling menyapa dengan tetangga mereka, lalu berbincang-bincang berkelompok-kelompok, membicarakan keadaan kota mereka. Begitu pula dengan pemilik rumah penginapan itu. Bersama-sama dengan para pembantunya orang itu mulai berani membuka pintu dan jendelanya. Setelah itu mereka keluar untuk melihat-lihat keadaan.

   "Heh? Sia-siapa...?" pemilik rumah penginapan itu terpekik kaget begitu matanya tiba-tiba bentrok dengan mata Put-pai-siu Hong-jin yang nakal.

   "Nah, lihatlah...! Mereka telah keluar dari persembunyiannya. kau ingin bertemu dengan mereka?" Put pai-siu Hong-jin tersenyum ke arah Chin Yang Kun. Chin Yang Kun tidak segera menjawab. Lebih dahulu pemuda itu menatap Tiau Li Ing untuk menanyakan pendapatnya, lalu setelah gadis itu menyerahkan semua keputusan mereka kepadanya, barulah pemuda itu mengangguk kepada Put-pai-siu Hong-jin.

   "Yah, kami memang bermaksud beristirahat di penginapan ini meskipun hanya sebentar sebab kami hari ini juga harus lekas-lekas pergi melanjutkan perjalanan kami ke kota Sian-yang," pemuda itu menjawab pertanyaan Put-pai-siu Hong-jin.

   "Kalau begitu silakan menemui orang-orang ini..." Put-pai-siu Hong-jin menunjuk pemilik rumah penginapan dan para pembantunya, lalu perlahan-lahan dia sendiri melangkah meninggalkan tempat itu.

   "Eh...Lo-Cianpwe mau pergi ke mana?" Chin Yang Kun buru-buru bertanya. Orang sinting itu menoleh sebentar, lalu sambiI tetap melangkahkan kakinya dia menjawab,

   "Akupun harus cepat-cepat pergi dari tempat ini, sebab kalau tidak...aku bisa ditangkap suhuku nanti. Dan kalau aku tertangkap, hehehe...paling tidak aku harus menghadap tembok selama tiga bulan sebagai hukumannya."

   "Ditangkap suhu Lo-Cianpwe...?" Chin Yang Kun tercengang, tapi tak berani menanyakan lagi sebab-sebabnya, takut dikatakan terlalu cerewet dan mau tahu urusan orang.

   "Orang tua itu masih mempunyai guru? Lalu macam apa gurunya itu? Kenapa dia dikejar-kejar gurunya sendiri?" Tiau Li Ing yang sedari tadi diam saja itu tiba-tiba bergumam bingung.

   "Entahlah! Orang itu memang sungguh aneh dan penuh rahasia. Coba saja kau pikirkan, namanya saja Put pai-siu, yang berarti Tak Punya Malu! Lalu kepandaiannya yang sangat konyol dan aneh gerakannya namun ternyata hebat bukan main itu. Bukankah semuanya itu sangat aneh? Kemudian sikapnya yang ketakutan karena dikejar gurunya. Bukankah itu juga sangat membingungkan? Hmmm...dunia persilatan memang penuh rahasia, apapun bisa terjadi...Hei! Put-pai siu...?"

   Tiba-tiba pemuda itu terhenyak, pikirannya segera melayang kepada Toat-beng-jin dari Im-yang-kauw, orang tua yang pernah menolong dan menggendongnya keluar dari dusun Hok-cung itu. Ketika berada di Bukit Delapan Dewa orang itu bercerita tentang Aliran Bing-kauw, yang para anggotanya selalu memakai huruf "PUT" sebagai namanya. Kalau begitu, apakah orang sinting itu tokoh dari Aliran Bing-kauw?

   "Twako, apakah yang sedang kau pikirkan?" Tiau Li Ing memegang lengan Chin Yang Kun.

   "Ah, sudahlah...nanti kuceritakan. Sekarang marilah kita menemui pemilik rumah penginapan ini dahulu!" Keduanya lalu mendekati pemilik rumah penginapan yang keluar bersama-sama para pembantunya tersebut. Dengan singkat mereka mengatakan maksud mereka untuk menyewa kamar pada hari itu.

   "Masih ada kamar kosong, bukan?" Tiau Li Ing bertanya. Mula-mula pemilik penginapan itu masih curiga juga kepada kedua muda-mudi itu, tapi setelah Chin Yang Kun memberi keterangan siapa sebenarnya mereka pemilik penginapan itu mau juga menerima mereka.

   "Baiklah, tuan...akan kami sediakan kamar tuan. Hei, A Sun...kau antarkanlah tuan-tuan ini ke kamar paling ujung itu!" pemilik rumah penginapan itu menjura, lalu memerintahkan pembantunya untuk melayani Chin Yang Kun berdua. Tapi Tiau Li Ing segera menjadi marah ketika mereka dibawa ke kamar yang disediakan itu.

   "Lhoh, kenapa hanya satu kamar? Aku minta dua kamar, tahu...?" bentaknya kepada pelayan yang mengantarkannya.

   "Tapi...tapi bu...bukankah nyonya tadi tidak...tidak...?" pelayan itu ketakutan.

   "Kau panggil apa aku, he? Nyonya...? Siapa bilang aku sudah menjadi nyonya? Kurang ajar! Kugampar mulutmu!" Tiau Li Ing semakin menjadi marah.

   "Ini...ini...?!?" pelayan itu semakin gemetar sambil menoleh ke arah Chin Yang Kun.

   "Sudahlah! Sudahlah...! Kita tadi memang salah, belum mengatakan bahwa yang kita butuhkan adalah dua kamar. Pelayan ini tidak bersalah, kau jangan marah...!" pemuda itu membujuk Tiau Li Ing. LaIu pemuda itu menoleh ke arah pelayan yang ketakutan itu.

   "...Nah, tolong sediakan kami dua kamar!" perintahnya.

   "Tapi...tapi kami memang hanya tinggal mempunyai satu kamar ini, tuan. Sungguh!" jawab pelayan itu terbata-bata.

   "Hanya tinggal satu kamar ini saja? Bagaimana dengan kamar-kamar yang lain itu? Apakah kamar-kamar itu isi semua?" Tiau Li Ing membentak lagi.

   "Yaa...ya, benar! Kamar-kamar itu ada penghuninya semua. Oleh karena takut kepada kaum perusuh yang akan menyerbu kota ini, maka banyak para hartawan yang bertempat tinggal di luar kota masuk ke sini untuk tidur di penginapan. Mereka lebih aman dari pada tinggal di rumah mereka sendiri." Chin Yang Kun memandang wajah Tiau Li Ing sambil menggeIeng-gelengkan kepalanya agar supaya gadis itu mau menghentikan kemarahannya.

   "Sudahlah, nona...kau tidak perlu memarahi pelayan ini. Biarlah, satu kamarpun tak apa. kau pakailah kamar ini! Aku akan duduk-duduk di pendapa sana..." katanya sambil tersenyum.

   "Hah? Tidak...! Aku tidak mau!"

   '"Lhoh? Kenapa?" Chin Yang Kun yang sudah mau beranjak ke pendapa itu membatalkan niatnya.

   "Aku tidak mau! kau saja yang tinggal di kamar ini! Aku yang pergi ke luar sana."

   "Lhoh? Kenapa sih...? kau seorang gadis, jadi lebih leluasa kalau beristirahat di dalam kamar ini. Bagiku sih mudah, tidur di kursi pun jadi...Ataukah nona takut berada di kamar sendirian?"

   "Siapa takut sendirian?" Tiau Li Ing menyangkal dengan suara tinggi, tapi tidak segera mengatakan alasannya.

   "Lalu kenapa...?" Chin Yang Kun mendesak. Gadis itu diam saja tak menjawab. Pipinya tiba-tiba berubah merah bagai buah tomat masak. Bagaimana ia dapat mengatakan keberatannya itu kalau alasannya hanya karena dia takut ditinggal pergi oleh pemuda yang mulai menarik hatinya tersebut?

   "Pokoknya aku tidak mau! kau saja yang tinggal di kamar ini!" gadis itu menjawab seraya melangkah pergi ke pendapa.

   "Eeee...nanti dulu!" Chin Yang Kun cepat-cepat menahannya. "Wah, nona...repot benar kita ini. Masakan sejak tadi cuma bertengkar saja soal begini. Sekeluar kita dari perkemahan Kim Cian-bu tadi kita bertengkar soal siapa-siapa yang harus naik kuda kini di sini kita bertengkar lagi tentang siapa yang harus tinggal di dalam ini. Bagaimana sih sebenarnya kita ini? Baiklah, sekarang begini saja...! Perbedaan pendapat ini kita putuskan pula seperti tadi. Kita bersama-sama tinggal di dalam kamar ini! Atau...kalau nona keberatan, lebih baik kita berpisah di sini saja dari pada selamanya kita selalu berselisih pendapat. Bagaimana...?"

   Sambil berkata pemuda itu menggandeng lengan Tiau Li Ing masuk ke dalam kamar, lalu menutupnya dari dalam. Dan pelayan yang melongo melihat pertengkaran yang sangat aneh itu juga pergi meninggalkan tempat tersebut. Beberapa kali pelayan itu menoleh, seolah-olah tak mempercayai apa yang dilihatnya tadi. Sementara itu di dalam kamar Tiau Li Ing tidak berani menatap muka Chin Yang Kun. Mukanya masih tampak merah sekali seperti kepiting direbus. Dan mereka duduk berhadapan di atas kursi rotan, dipisahkan oleh meja kayu tebal yang amat kuat. Sambil beberapa kali mempermainkan ujung taplak meja gadis itu berusaha mencuri pandang ke arah Chin Yang Kun yang juga duduk diam saja mengawasi langit-langit kamar. Akhirnya kedua orang muda-mudi itu merasakan juga kecanggungan tersebut.

   Bagai disentakkan dari dunia lamunan mereka masing-masing keduanya lalu menoleh secara berbareng sehingga sepasang mata mereka bertatapan satu sama lain, Tiau Li Ing tersipu-sipu malu, sementara Chin Yang Kun justru malah terlongong-longong bingung mengawasi wajah cantik yang kemerah-merahan seperti sekuntum bunga bwee yang sedang mekar itu. Tiba-tiba darah Chin Yang Kun bergolak dengan hebat. Matanya terasa berkunang-kunang sementara kepalanya terasa pening pula dengan mendadak. Dan sesuatu yang aneh yang selama ini belum pernah ia rasakan tiba-tiba bergolak di dalam tubuhnya. Mendadak saja ia ingin menerkam gadis itu dan menciuminya sepuas-puasnya. Entah mengapa bibir yang merekah itu seperti menantang kejantanannya! Pemuda itu bergegas bangkit dari kursinya. Tangannya menyambar lengan Tiau Li Ing, kemudian...

   "Twako! Eh, Twako! kau...kau kenapa? Ja-jangan menakut-nakuti aku...!" Tiau Li Ing menjerit sekuatnya sehingga Chin Yang Kun tersentak kaget dan urung menerkam gadis itu.

   "Ohhh...!" pemuda itu sadar kembali. Wajahnya berubah pucat dan merah berganti-ganti. Kedua belah tangannya meremas-remas rambutnya sendiri. "Maaf...maafkan aku! Aku tak tahu apa yang telah kuperbuat..." katanya penuh rasa sesal dan malu.

   "Twako! kau kenapa? Mengapa mukamu merah sekali? kau...? Mengapa sikapmu tiba-tiba berubah menjadi sangat menakutkan?" Tiau Li Ing cepat memeluk pundak Chin Yang Kun dengan perasaan khawatir. Tapi pemuda itu cepat meronta sehingga Tiau Li Ing terdorong ke belakang dengan kuatnya dan hampir menabrak pintu keluar.

   "Pergi...! Nona, kau pergilah dahulu dari kamar ini! Lekas!" pemuda itu berteriak.

   "Twako...!" Tiau Li Ing menjerit seraya berlari kembali menghampiri Chin Yang Kun. Gadis yang "belum mengenal bahaya" ini cepat merangkul Chin Yang Kun kembali. Wajahnya tampak cemas bukan main! Tapi sekali lagi Chin Yang Kun mengibaskan tangannya, dan...gadis itu kembali terhuyung-huyung ke belakang, kini tubuhnya malah menabrak pintu sehingga pintu tersebut terbuka lebar. Seorang wanita muda dengan dandanan menyolok cepat menangkap lengan Tiau Li Ing sehingga gadis itu tidak jadi terjatuh di Iuar pintu. Wanita itu tidak cantik, tapi karena pandai berdandan maka wajahnya tampak menarik juga. Sayang sikapnya terlalu bebas dan binal. Dan hal ini bisa dilihat ketika dia mulai berbicara. Suaranya yang centil dan gerakan tubuhnya yang dibuat-buat!

   "Auu...ramai benar, nih! Ada apa sebenarnya? iiiiiih...!" wanita itu menutupi mulutnya dengan saputangan. Matanya yang nakal ini tiba-tiba "menyala" melihat ketampanan Chin Yang Kun. Dan selanjutnya mata itu tampak berkedip-kedip seperti orang mengantuk. Sekejap saja wanita itu ternyata telah tahu apa yang sedang bergejolak di dalam tubuh Chin Yang Kun.

   "Dia...dia...?" Tiau Li Ing menunjuk ke arah Chin Yang Kun yang sedang menjambaki rambutnya sendiri.

   "Dia kenapa? Ahh, dia tidak apa-apa! Kenapa kau takut? Apakah kalian baru saja menikah?" wanita itu tertawa terkekeh-kekeh malah. Tetapi gadis yang sedang bingung dan gelisah hatinya itu seperti tak mendengar seloroh wanita pesolek tersebut. Dan seluruh perhatian gadis itu memang sedang tertumpah pada Chin Yang Kun, sehingga dia sama sekali tidak menaruh perhatian kepada wanita yang tiba-tiba muncul di dekatnya itu, apalagi kepada orang-orang yang berdatangan ke tempat tersebut.

   "Twako...!" gadis itu memanggil kembali dengan suara khawatir.

   "Sudahlah, kau tak usah cemas! Dia tidak apa-apa, biarkanlah dia sendirian, sebentar juga dia akan kembali normal lagi, hihihihi...! Dia cuma kecewa..." wanita pesolek itu membujuk Tiau Li Ing sambil sebentar-sebentar tertawa geli melihat "kebodohan" gadis yang dikiranya pengantin baru itu.

   "Ah, Twako..."

   "Pergiiiii...! Semua pergilah dahulu!" mendadak Chin Yang Kun berteriak seperti orang gila, kemudian meloncat menutup pintu kamarnya.

   "Twako...?" Tiau Li Ing menjerit dan mau menerjang pintu tersebut, tapi dengan tangkas wanita pesolek itu menahannya.

   "Hei, adik...jangan kau ganggu dia! Dalam keadaan demikian laki-laki sungguh berbahaya sekali. Sekarang marilah kau beristirahat dahulu di kamarku! Nanti setelah panas yang "membakar" tubuh kawanmu itu lenyap, dia akan kembali normal lagi. Dan pada saat itulah kau boleh menemuinya kembali..." wanita itu cepat-cepat menggandeng lengan Tiau Li Ing, lalu membawanya ke ruangan belakang, di mana kamarnya berada. Orang-orang yang datang ke tempat itu ingin melihat ramai-ramai tersebut segera menyingkir begitu mereka Iewat. Para pelayan yang mendapat laporan tentang keributan itu juga datang dengan tergopoh-gopoh. Tapi sambil berjalan wanita pesolek itu memberi keterangan kepada mereka bahwa semuanya sudah beres, sehingga merekapun lalu kembali lagi ke tempat masing-masing.

   "Adik, agaknya cara kau melayani dia tadi kurang memuaskan sehingga dia tidak puas dan marah-marah kepadamu. Tapi tak apa, jangan takut! Lama-lama kau nanti juga akan bisa melayaninya pula, hihihihi..." sambil melangkah wanita itu mencoba mencari tahu tentang keributan tersebut dari mulut Tiau Li Ing.

   Tapi karena masih dicekam oleh kegelisahan dan kerisauan hatinya Tiau Li Ing tetap belum bisa "menangkap" maksud dari kata-kata wanita yang agak jorok itu. Malahan gadis itu seolah-olah baru sadar dari mimpi buruknya ketika memasuki kamar wanita tersebut. Kamar itu diatur dengan rapi dan luar biasa bagusnya. Hiasan gambar-gambar dan sulaman-sulaman benang sutera tampak dipasang di mana-mana, sementara pot-pot bunga dengan segala macam isinya juga tampak menyegarkan seluruh isi ruangan tersebut. Dan bau yang harum dari bunga bunga inilah yang menyadarkan Tiau Li Ing.

   "Ah, di mana aku...? Dan kau...kau siapakah?" gadis itu bertanya bingung. Matanya yang lebar dan bagus itu terbelalak mengawasi ruangan itu. Wanita itu tersenyum genit.

   "Adik, kau duduklah dulu...! Nanti kubuatkan teh biar hatimu sedikit tenang kembali." katanya seraya mendudukkan Tiau Li Ing di kursi rotan yang sangat bagus. Lalu sebelum gadis itu membantah lebih lanjut, wanita pesolek tersebut telah menghilang ke pintu samping. Dan beberapa saat kemudian terdengar suara cangkir yang sedang dituangi air. Hati Tiau Li Ing semakin gelisah. Untunglah wanita pemilik kamar itu lekas kembali. Kalau tidak, gadis itu mungkin telah lari kembali ke kamarnya sendiri.

   "Nah, kau minumlah dulu agar hatimu sedikit tenang! Setelah itu baru kita pergi menengok kembali suamimu..."

   "Suami...? Dia...dia bukan suamiku! Eh, maksudku...maksudku kami belum menjadi suami-isteri..." dengan kaget Tiau Li Ing memotong perkataan wanita itu.

   "Aihh...jadi baru calon pengantin, ya...? Wah...wah, kalau begitu gawat juga kekasihmu itu!" wanita genit itu seolah seperti anak kecil yang mendapatkan barang mainan baru. Matanya yang binal itu tampak bergetar liar. Tiau Li Ing menunduk saja tak menjawab. Entah mengapa gadis berwatak keras dan ganas itu kini seperti telah kehilangan kegarangannya. Tampaknya pengaruh panah asmara itu benar-benar telah menggoyahkan jiwanya dan melupakan kepribadiannya, sehingga gadis itu untuk
sementara seperti gadis kebanyakan yang lemah tak berdaya.

   "Ayolah! Mengapa tidak kau minum cangkir itu? Marilah...! Nanti kita segera kembali ke kamarmu." wanita itu tersenyum dan mempersilakan tamunya minum.

   Bagaikan seorang yang sedang bingung dan kehilangan akal Tiau Li Ing mengangguk, meskipun demikian ia tak segera mengangkat cangkirnya. Biarpun sedang bingung gadis itu masih juga tidak lupa untuk berhati-hati. Baru setelah wanita genit itu mendahuluinya minum, Tiau Li Ing berani meminum tehnya pula. Rasa segar dan bau harum teh itu membuat gadis itu mulai mendapatkan kembali ketenangannya. Tapi perasaan segar itu tiba-tiba lenyap dan diganti dengan perasaan mengantuk yang luar biasa kuatnya. Bukan main terkejutnya Tiau Li Ing! Dengan cekatan gadis itu bangkit dari kursinya, tapi tubuhnya segera terhuyung-huyung mau jatuh. Kepalanya terasa berat sekali, sehingga kedua tangannya terpaksa bertelekan pada meja di depannya.

   "Kau...kau?!" jeritnya sebelum tubuhnya jatuh berdebam di lantai. Wanita genit itu tertawa melihatnya.

   "Hihihi...bagaimanapun hebat kepandaianmu kau takkan menang melawan tipu muslihatku, hihi-hi...! Nah, sekarang kau tidurlah barang sebentar, gadis bodoh! Akan kulihat dulu kekasihmu yang tampan itu, apakah dia memang seekor kuda jantan yang sangat hebat? Hihihi...!"

   Wanita itu segera keluar dan menutup kamarnya. Dengan gairah nafsu yang berkobar-kobar wanita itu bergegas pergi ke kamar Chin Yang Kun. Belum-belum sudah terbayang dalam angan-angannya suara kegembiraan yang tidak terkira memperoleh kuda jantan yang masih muda belia seperti itu. Sementara itu sepeninggal Tiau Li Ing tadi Chin Yang Kun cepat merebahkan dirinya di atas pembaringan. Dengan sekuat tenaga pemuda itu melawan keinginan aneh yang mendadak timbul di dalam tubuhnya. Keringat mengalir deras dari seluruh badannya, sehingga baju dan celananya basah kuyup bagai direndam di dalam air.

   "Gila! Kenapa aku in...ini?" pemuda itu berdesah dengan gelisah di atas pembaringannya. Badannya berguling kesana kemari, sehingga alas tempat tidurnya tersebut menjadi berantakan. Pemuda itu lalu mencoba mengerahkan tenaga sakti Liongcu-i-kangnya untuk menekan pengaruh aneh itu, tapi tak berhasil. Semakin ditentang nafsu iblis itu justru semakin berkobar tak terkendalikan!

   "Keadaan ini be-belum pernah kuderita se...sebelumnya. Mengapa tiba-tiba pengaruh aneh me-menyerangku?"Chin Yang Kun menjerit di dalam hatinya.

   "Mula-mula nafsu Iblis ini menyerang untuk yang pertama kalinya ketika aku naik kuda bersama-sama dengan nona Tiau itu. Tapi serangan itu cepat berhenti dan tak sehebat sekarang ini. ohhhh...! Ough...apa...apakah aku kini sedang keracunan? Tapi kalau keracunan...lalu keracunan apa ini? Mengapa aku masih bisa keracunan juga?" Lama-kelamaan pengaruh nafsu iblis itu mereda juga, sehingga akhirnya pemuda itu dapat bernapas lega kembali. Tapi meskipun demikian pengaruh itu juga belum lenyap sama sekali. Badan rasanya masih terasa panas bukan main.

   "Tok! Tok! Tok!" Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. Chin Yang Kun terkejut. Wajahnya berubah pucat. Jangan-jangan Tiau Li Ing kembali lagi, pemuda itu berpikir di dalam hati. Sungguh gawat! Selama nafsu iblis itu belum hilang sepenuhnya dari badannya, kedatangan gadis itu sungguh berbahaya sekali.

   "Sia...pa?" pemuda itu menyapa dengan suara seret.

   "Aku pemilik rumah penginapan ini...Bolehkah aku masuk?" terdengar suara genit di luar pintu. Dan sebelum pemuda itu sempat menjawab, pintu kamarnya telah dibuka dari luar dan bau wangi segera menyebar ke dalam ruangan itu. Seorang wanita muda dengan pakaian sangat sembrono memasuki kamarnya. Chin Yang Kun terperangah! Nafsu iblisnya tiba-tiba bangkit kembali! Entah disengaja atau tidak kancing baju sebelah atas dari wanita itu tidak tertutup sebagaimana mestinya.

   Lebih gila lagi di bawah baju tersebut sama sekali tidak ada Iapisan penutupnya lagi, sehingga ketika wanita itu membungkuk untuk memberi hormat kepada Chin Yang Kun, buah dadanya yang montok itu seolah-olah mau meloncat keluar dari kandangnya! Tidak hanya itu! Kain celana yang dikenakan oleh wanita itu sedemikian tipisnya sehingga bayangan lekuk-liku tubuhnya menerawang dengan jelas ketika berdiri di depan pintu. Itupun masih ditambahi pula dengan lagak dan gayanya yang merangsang serta mengundang berahi. Maka tak heran kalau nafsu iblis yang sudah hampir bisa dijinakkan oleh Chin Yang Kun itu tiba-tiba kambuh kembali! Dan karena yang jadi penyebabnya juga lebih merangsang dari pada tadi, maka akibat yang ditimbulkannya sekarang juga Iebih hebat dan bergelora pula!

   Mata pemuda itu tampak melotot merah mengerikan! Semua urat-urat di dalam tubuhnya kelihatan menegang pula! Dan sekejap kemudian, bagaikan singa yang lepas dari kurungannya Chin Yang Kun menerkam wanita genit itu dengan buasnya. Dan kali ini mangsanya tidak mengelak atau menjerit seperti Tiau Li Ing tadi. Korbannya kali ini justru menyongsongnya dengan semangat yang meluap-luap pula. Maka di pagi hari yang mulai cerah itu terjadilah suatu pergumulan penuh nafsu antara seorang pemuda yang entah karena apa telah menderita kelainan pada tubuhnya, dengan seorang wanita binal isteri pemilik rumah penginapan! Dan gilanya, perbuatan itu mereka lakukan begitu saja di atas lantai kamar yang terbuka pintunya!

   Semula wanita binal itu memang tak menyangka bahwa lawannya akan sebuas itu terhadapnya, tapi serentak ia merasakan pula kenikmatan yang selama ini belum pernah ia dapatkan dari lelaki lain, maka iapun lalu menjadi lupa segala-galanya! Untunglah tak seorangpun diantara para pelayan dan penghuni kamar-kamar itu yang berani melongok ke kamar tersebut. Dan untung juga kamar itu berada di ujung lorong yang tak mungkin dilewati oleh penghuni-penghuni kamar lainnya, sehingga perbuatan terkutuk itu dapat mereka lakukan dengan aman pula. Hanya suara rintihan wanita binal itu saja yang terdengar oleh penghuni kamar sebelahnya. Suara rintihan yang menyerupai suara kucing betina yang sedang mabuk berahi. Tapi penghuni kamar sebelah itu tiba-tiba menjadi pucat ketika suara rintihan tersebut tiba-tiba berubah menjadi jerit kesakitan yang mendirikan bulu roma.

   Dan jerit kesakitan itu semakin lama semakin keras dan mengerikan. Malahan sebentar kemudian terdengar suara gedubrakan di dalam kamar tersebut, seolah-olah ada perkelahian seru di sana. Penghuni kamar sebelah itu menjadi ketakutan. Meskipun demikian ia tetap tak berani keluar dari kamarnya. Ketakutannya terhadap kaum perusuh itu membuatnya selalu curiga kepada siapa pun. Tapi seorang pelayan yang kebetulan lewat di dekat kamar itu mendengar pula jeritan tersebut. Dan suara jeritan yang diikuti oleh suara gedubrakan itu sungguh menakutkan hatinya, sehingga ia segera berlari menemui majikannya. Lalu bersama-sama dengan si pemilik penginapan dan beberapa orang pelayan yang lain ia mendatangi kamar di ujung lorong tersebut. Dan apa yang mereka lihat di dalam kamar itu benar-benar menggoncangkan jiwa mereka!

   "Ohhhh...!" Pemilik rumah penginapan itu ternganga. Di dalam kamar yang telah berantakan isinya itu tampak mayat seorang wanita dengan keadaan yang sangat menyedihkan! Dan mayat itu ternyata adalah mayat si wanita genit atau isteri si pemilik rumah penginapan itu sendiri.

   Dan suami yang malang itu bergegas melompat ke dalam kamar menghampiri mayat isterinya. Isteri yang baru dikawinnya dua bulan yang lalu, yaitu seorang wanita bekas kupu-kupu malam yang sangat terkenal di kota tersebut. Pemilik rumah penginapan itu meneteskan air mata melihat keadaan mayat isterinya. Tubuh yang biasanya sangat menggairahkan itu kini tampak kaku dan penuh bekas-bekas cakaran pada bagian bawah perutnya, sementara wajah dan bibirnya yang biasanya amat menarik itu kini tampak pucat kebiru-biruan. Dan kelihatannya kematian isterinya itu didahului oleh penderitaan atau kesakitan yang amat hebat. Hal itu dapat dilihat dari pakaiannya yang sobek dan compang-camping, serta bekas-bekas cakaran kukunya sendiri pada bagian bawah perutnya. Isterinya itu seperti menderita keracunan hebat sebelum kematiannya!

   "Dia...dia mati karena racun!" pemilik penginapan itu menggeram penasaran. Lalu bentaknya kepada para pembantunya, "Cari di mana tamu yang menyewa kamar ini tadi! Tentu dia yang membunuhnya...!" Para pelayan itu lalu mencari Chin Yang Kun, orang yang baru saja masuk ke kamar itu. Mereka mengobrak-abrik seluruh isi kamar yang sudah porak-poranda itu, tapi mereka tidak menemukannya. Mereka lalu mencarinya di seluruh penginapan itu, tapi pemuda itu tetap tidak mereka ketemukan juga. Pemuda itu telah menghilang entah kemana.

   "Masakan kalian tak bisa menemukannya? Bukankah dia baru saja di sini? Dia tentu masih berada di sekitar tempat ini!" pemilik rumah penginapan itu marah-marah.

   "Tapi...dia memang benar-benar tidak ada lagi, tuan..." pelayan-pelayan itu menjawab ketakutan.

   "Kurang ajar...!"

   "Tapi...teman puterinya ma-masih di sini tuan?!" tiba-tiba pelayan yang melihat Tiau Li Ing tadi melapor.

   "Hah? Di mana dia...?"

   "Di kamar nyonya..." pelayan itu menjawab agak takut-takut.

   "Hah? Benarkah? Mari kita lihat...!" Pemilik rumah penginapan itu bersemangat kembali. "...Tapi marilah mayat itu kita taruh di atas pembaringan dulu!" Demikianlah, setelah mayat isterinya ditidurkan di atas tempat tidur dan kemudian menutupinya dengan kain, pemilik penginapan tersebut lalu bergegas pergi ke kamar isterinya.

   Pintu kamar itu ditendangnya dengan kasar sehingga menimbulkan suara hiruk-pikuk ketika terbuka. Kebetulan Tiau Li Ing juga sedang siuman dari pengaruh obat yang diberikan oleh wanita genit itu. Gadis itu terkejut bukan main mendengar suara gaduh tersebut. Otomatis tubuhnya melompat tinggi dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Kecurangan yang ia dapatkan dari wanita yang berpura-pura berbaik hati kepadanya itu membuatnya marah dan membangunkan kembali sifat kejam dan ganasnya! Sementara itu Si pemilik rumah penginapan yang baru saja kehilangan isteri mudanya itu ternyata tidak melihat sama sekali "bahaya" yang memancar dari mata Tiau Li Ing. Dengan suara serak orang itu memberi perintah kepada para pembantunya untuk meringkus Tiau Li Ing!

   "Tangkap gadis itu...!" teriaknya lantang. Pelayan-pelayan itu cepat menyerbu ke dalam kamar. Mereka berebut dahulu mendekati Tiau Li Ing seperti sekawanan serigala buas yang hendak memperebutkan mangsa. Celakanya korban mereka kali ini ternyata jauh lebih kuat dari pada yang mereka sangka. Bukan saja korban itu sangat garang, tapi korban itu justru berani menyonsong serangan mereka pula.

   "Aduhh!"

   "Hegh! Ohh!"

   "Mati aku...!" Para pelayan itu berjatuhan ke lantai seperti buah kelapa yang jatuh ke atas pasir. Mereka tampak berkelojotan sebentar lalu mati. Darah mengalir dari seluruh lobang-lobang tubuhnya.

   "Hah? kau...?!?" pemilik rumah penginapan itu terbelalak tak bisa mengeluarkan suara. Tubuhnya gemetaran saking takutnya! Dia sungguh-sungguh tak menyangka kalau gadis itu pandai silat, sehingga para pembantunya yang hanya mengandalkan otot itu tersapu habis dalam sekejap mata. Perlahan-lahan kakinya melangkah mundur, kemudian setelah dekat dengan pintu ia meloncat melarikan diri. Tiau Li Tng yang telah kembali pada sifat aslinya itu tak membiarkannya. Gadis ganas itu mengayunkan tangannya dan sebuah kipas kecil yang terbuat dari besi baja tampak meluncur dengan cepatnya ke arah batok kepala lawan.

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Prak!" Kepala itu pecah berantakan, sehingga darah berhamburan memercik ke mana-mana! Gadis itu lalu membalikkan tubuh yang jatuh berdebam di atas lantai itu, mengambil kembali kipasnya, lalu keluar dari kamar tersebut. Kakinya segera berlari-lari kecil menuju ke kamarnya sendiri. Wajahnya yang pucat itu tampak gelisah karena memikirkan keadaan Chin Yang Kun. Bukan main kagetnya gadis itu ketika dilihatnya pintu kamar itu masih tetap terbuka lebar seperti ketika ia tinggalkan tadi. Dan hatinya semakin bertambah kecut ketika dilongoknya kamar itu dalam keadaan kalang-kabut seluruh isinya. Dengan tergesa-gesa Tiau Li Ing masuk ke dalam kamar dan serasa terbang semangatnya melihat sesosok mayat tertutup kain di atas pembaringan!

   "Toat-beng-jiiiiiiiin...!" jeritnya. Tergopoh-gopoh gadis itu menghambur ke arah pembaringan. Kain penutup mayat itu disentakkannya begitu saja sehingga isinya ikut tertarik pula ke pinggir dan hampir saja jatuh ke lantai. Kepala mayat itu tergantung dengan muka tengadah di bibir pembaringan.

   "Ouhhh...eh...!?!" Tiau Li Ing terpekik melihat wajah wanita genit itu.

   Gadis itu menghela napas berulang-ulang. Dia memang kaget, tapi kekagetannya itu segera berganti dengan kelegaan, karena mayat tersebut ternyata bukan mayat kawannya. Tapi dengan demikian hatinya lantas menjadi bingung, apa sebenarnya yang terjadi di rumah penginapan ini? Mengapa tiba-tiba kawannya bersikap sangat aneh begitu memasuki kamar ini? Dan siapa sebenarnya wanita genit itu? Mengapa mendadak ia mati di tempat ini pula? Dan ke mana pula temannya itu sekarang? Sesungguhnyalah, ke mana sebenarnya Chin Yang Kun itu? Setelah melakukan perbuatan terkutuk dengan wanita yang belum pernah dikenalnya yang akhirnya ternyata mengakibatkan kematian wanita itu, Chin Yang Kun lantas lari meninggaIkan tempat itu seperti orang dikejar dosa.

   Beberapa kali pemuda itu hampir menabrak para pejalan kaki yang mulai berani keluar dari rumah masing-masing. Tentu saja tingkah lakunya itu sangat menarik perhatian orang-orang yang berada di jalan tersebut. Tapi Chin Yang Kun tidak mempedulikan semua itu. Rasa berdosa, malu dan menyesal karena peristiwa yang baru saja dilakukannya itu membuat dia seperti selalu dikejar-kejar oleh perasaan bersalah. Maka ia segera berlari. Berlari sejauh-jauhnya dari tempat terkutuk itu! Hanya yang sangat mengherankan adalah Si Cahaya Biru! Kuda itu seperti mempunyai pikiran dan perasaan saja. Melihat majikannya berlari keluar dari rumah penginapan ia segera membetot pula dari tali ikatannya, lalu berlari juga mengikuti tuannya.

   Demikianlah, Chin Yang Kun berlari terus bagai dikejar setan. Mula-mula pemuda itu berlari menyusuri jalan besar di kota itu, sehingga akhirnya ia keluar dari kota dan berlari melewati ladang dan sawah penduduk. Dan beberapa waktu kemudian ladang dan sawah itu telah berganti dengan padang alang-alang dan hutan pula. Chin Yang Kun tetap berlari terus dan makin lama makin jauh, sementara Si Cahaya Biru juga selalu berderap beberapa langkah di belakangnya. Keduanya berlari cepat seperti berkejaran di jalan yang semakin lama semakin sukar dan jelek di daerah perbukitan dan lembah yang berhutan lebat. Akhirnya langkah pemuda itu makin lama makin lambat juga, dan ketika mendaki sebuah perbukitan lagi pemuda itu sudah tidak berusaha untuk berlari seperti semula.

   Sambil menyeka aliran keringat yang membasahi muka dan lehernya pemuda itu berjalan dengan langkah biasa. Demikian juga yang dilakukan oleh Si Cahaya Biru. Kuda itu segera menghentikan pula larinya, kemudian dengan langkah yang tegap berjalan di samping tuannya. Chin Yang Kun tetap berjalan terus, sama sekali tak mengacuhkan kehadiran kudanya itu. Hatinya masih tetap resah dan gelisah meskipun telah jauh meninggalkan tempat terkutuk itu. Kekacauan dan kerisauan hatinya akibat peristiwa yang tidak dimengertinya itu tetap belum mereda juga sampai sekarang. Diam-diam peristiwa yang sangat memalukan itu terbayang kembali di depan matanya. Mula-mula perasaan aneh yang timbul di dalam hatinya ketika naik kuda berhimpitan dengan Tiau Li Ing.

   Saat itu ia sendiri menjadi heran, mengapa tiba-tiba seperti ada suatu aliran aneh di dalam darahnya yang menyebabkan nafsu berahinya memuncak dan bergelora! Lalu yang kedua adalah ketika ia dan Tiau Li Ing duduk berduaan saja di dalam kamar di rumah penginapan itu. Melihat kecantikan Tiau Li Ing yang mempesonakan itu darahnya serasa bergolak kembali. Getaran-getaran iblis itu rasanya seperti mengalir kembali di dalam darahnya. Dan kali ini serangannya terasa lebih kuat sehingga ia bagaikan mau menjadi gila karenanya. Untunglah Tiau Li Ing segera dibawa pergi oleh wanita genit itu! Tapi pada serangan yang ketiga ternyata dia tak bisa mengelakkannya lagi. Ketika ia belum sepenuhnya bisa menguasai serangan yang kedua, mendadak wanita genit itu datang lagi ke kamarnya.

   Akibatnya nafsu iblis itu menjadi bergolak kembali dan ternyata kali ini ia tak bisa mengekangnya lagi. Dan selanjutnya terjadilah peristiwa terkutuk yang sangat memalukan itu! Celakanya, setelah semuanya selesai dan ia baru menyesali perbuatannya itu, tiba-tiba wanita genit yang menjadi lawannya bermain cinta itu menjerit-jerit dan menggaruk-garuk bagian bawah perutnya. Tampaknya wanita itu merasa kesakitan dan gatal yang amat sangat di tempat tersebut. Dan tampaknya rasa sakit dan gatal itu semakin lama semakin menghebat serta tak tertahankan lagi, sehingga akhirnya wanita itu seperti orang gila yang menggaruk-garuk kulitnya sendiri secara ganas. Sambil menggaruk wanita itu bergulung-gulung menabrak ke sana ke mari sampai seluruh isi kamar itu menjadi kalang-kabut berantakan!

   Kemudian setelah menderita siksaan beberapa saat lamanya wanita tersebut mati! Tentu saja kematian wanita itu sangat mengejutkan! Tiba-tiba terlintas dalam benaknya keterangan Chu Seng Kun tentang dirinya setahun yang lalu. Pada waktu itu Chu Seng Kun mengatakan kepadanya bahwa di dalam darahnya kini tersimpan kadar racun yang tak mungkin bisa dihilangkan lagi. Racun itu telah menyatu dengan sel-sel darahnya sendiri, sehingga kadar racun tersebut semakin berkembang seperti halnya darah yang mengalir di dalam tubuhnya itu. Dan hal ini mengakibatkan dirinya menjadi seorang manusia beracun yang sangat berbahaya! Darah beracun yang mengalir di setiap pembuluh darahnya itu membuat semua kelenjar di dalam tubuhnya menjadi beracun pula.

   "Kalau...kalau begitu wanita itu tampaknya juga keracunan pula oleh darahku...Ahhh...!" Chin Yang Kun mengeluh panjang pendek sambil kakinya tetap melangkah di atas jalan yang jelek itu. Tiba-tiba saja Chin Yang Kun menjadi sedih dan hampa luar biasa. Kalau dugaannya itu betul, hal itu berarti bahwa dirinya tak mungkin dapat hidup bersama dengan orang lain. Dia harus hidup menyendiri di tempat yang sunyi, jauh dari kehidupan manusia dan binatang, karena semua yang ada pada tubuhnya bisa membahayakan kehidupan orang lain. Darahnya, keringatnya, ludahnya, air kencingnya dan semua saja yang keluar dari tubuhnya dapat menjadi alat pembunuh untuk orang lain.

   "...Dan hal itu juga berarti bahwa selama hidup aku tak boleh kawin pula, sebab siapa saja yang kawin denganku akan mengalami juga nasib seperti wanita genit itu." Kenyataan tersebut sungguh-sungguh merupakan pukulan batin yang amat berat bagi Chin Yang Kun. Seketika itu juga wajah Souw Lian Cu kembali terbayang di dalam angan-angannya. Wajah yang cantik itu seolah-olah sedang melambai-lambaikan tangannya yang cuma satu itu sambil pergi meninggalkan dirinya.

   "Ooooooh...!" bibir Chin Yang Kun berdesah tak terasa. Hatinya bagai teriris sembilu. Pemuda itu berhenti melangkah, kemudian dipandangnya matahari yang sudah hampir berada di atas kepalanya itu.

   "Aaaah, ternyata sudah hampir setengah hari aku berlari. Sampai di mana aku sekarang? Semoga aku tidak semakin menjauhi kota Sin-yang saja." desahnya sambil menoleh ke arah kudanya yang ikut berhenti dan mencari rumput di dekatnya. Ditepuk-tepuknya leher kuda itu, lalu perlahan-lahan pemuda itu naik ke atas punggungnya.

   "Maafkan aku, Cahaya Biru. Tadi aku sampai lupa mengajakmu...Sekarang marilah kita meneruskan perjalanankita lagi. Kita cari dusun yang terdekat untuk mencari tahu di mana kita sekarang ini sebenarnya."

   Kuda itu meringkik kecil seolah tahu apa yang dikatakan tuannya, kemudian melompat ke depan dengan garangnya. Jalan yang jelek dan mendaki terus itu seperti tak dirasakannya. Dengan gagah ia mencongklang bagai tidak membawa muatan berat saja. Sampai di pinggang bukit jalan yang terus menanjak itu lalu habis, diganti dengan jalan yang melingkar-lingkar turun seperti mau turun ke Iembah yang dalam. Dan jalan itu memang menuju lembah, di mana dari atas telah terlihat sebuah kota yang cukup lumayan besarnya. Biarpun tidak sebesar Ko-tien maupun Poh-yang, tapi kota yang tampak dari atas bukit itu cukup Iebar dan padat penduduknya. Hal itu dapat dilihat dari bangunan rumahnya, yang rapat dan berjajar di sepanjang lembah.

   "Lihatlah kota di bawah itu, Cahaya Biru! Tampaknya kali ini kita masih beruntung juga, tidak tersesat atau salah jalan. Marilah kita ke sana untuk menanyakan kepada penduduknya, apa nama kotanya itu...!" Chin Yang Kun berusaha menghibur hatinya sendiri dengan bayangan kegembiraan di kota yang tampak dari atas bukit tersebut. Sambil meringkik kuda itu mengangkat kedua kaki depannya ke atas, lalu berlari menuruni bukit dengan tegarnya. Tampaknya kuda itu juga sangat bergembira melihat kota itu. Kakinya yang panjang-panjang itu melangkah dengan cepat, seolah-olah ingin lekas-lekas sampai di sana dan beristirahat sepuas-puasnya.

   Dan tidak lama kemudian mereka telah tiba di pintu gerbang kota itu. Berbeda sekali dengan penduduk Ko-tien yang selalu merasa ketakutan kepada kaum perusuh, penduduk kota ini tampaknya sangat tenang sekali. Sama sekali tak tampak pada wajah dan sikap mereka yang mencerminkan rasa takut mereka kepada kaum perusuh yang berkeliaran di daerah mereka. Tapi rasa heran Chin Yang Kun itu segera hilang begitu melihat sepasukan pemerintah yang terdiri dari belasan orang perajurit keluar dari pintu gerbang tersebut untuk melakukan tugas perondaan. Dan ketika pemuda itu telah memasuki kota, dia juga banyak melihat beberapa orang anggota pasukan kerajaan berlalu-lalang hilir-mudik diantara penduduk.

   "Ah, tampaknya kota ini lebih beruntung mendapatkan perlindungan dari pada Ko-tien, Cahaya Biru." Chin Yang Kun menepuk-nepuk leher kudanya seraya mengedarkan pandangnya ke sekeliling mereka. "Nah, di sana ada sebuah rumah makan besar, Cahaya Biru! Marilah kita ke sana! kau boleh beristirahat sambil makan sepuas-puasmu..." Chin Yang Kun membawa kudanya ke rumah makan yang dilihatnya itu. Seorang anak kecil berusia sekitar sepuluh tahunan datang menyongsongnya. Tampaknya anak itu biasa mencari upah dengan membantu para tamu yang akan masuk ke dalam restoran tersebut.

   "Marilah, tuan...! Cobalah menCicipi masakan restoran yang paling terkenal di daerah ini! Kalau tuan juga merasa lelah, di sinipun disediakan pula kamar-kamar yang paling nyaman di seluruh dunia..." katanya dengan gerak yang lucu. Chin Yang Kun menjadi tersenyum juga mendengar kata kata anak itu.

   "Adik kecil, apakah tempat ini juga menyediakan tempat penitipan kuda yang paling baik seluruh dunia?" tanyanya kepada anak itu. Anak itu tersenyum kemalu-maluan. Tapi melihat tamunya sekedar berkelakar saja kepadanya, iapun lalu mengangguk pula dengan berani,

   "Terbaik sih tidak! Tapi kalau tuan bandingkan dengan yang lain-lain, tempat ini kukira masih yang paling baik juga..." katanya sambil mengacungkan jempolnya.

   "Baik, aku akan mencobanya! Nah, tolong urus kudaku ini baik-baik! Nih, uangnya...! Sisanya boleh kau ambil," Chin Yang Kun merogoh kantung pemberian Liu-Twakonya dan mengeluarkan sekeping uang perak.

   "Eh...ini...ini terlalu banyak." anak itu terbelalak menerimanya.

   "Sudahlah, kau ambil saja! Bukankah sudah sewajarnya, kalau tempat yang baik itu sewanya juga mahal?" Chin Yang Kun tersenyum lagi.

   "Baik! Baik! Terima kasih...! Tuan benar-benar akan mendapatkan pelayanan yang istimewa hari ini." anak itu mengangguk-angguk sambil mengambil tali kendali Si Cahaya Biru.

   "Eh, tunggu...!" Chin Yang Kun berseru perlahan ketika anak itu mau menuntun kudanya ke belakang. "Apakah nama kota ini?" tanyanya.

   "Lho, masakan tuan belum tahu? Ini adalah...kota Yu-tai! Apakah tuan belum pernah ke kota ini? Dari mana tuan ini sebenarnya?" anak kecil itu menjawab dengan wajah heran. Chin Yang Kun bertepuk tangan.

   "Bagus! Ternyata aku tidak salah jalan! Sungguh beruntung sekali aku bisa sampai di kota Yu-tai. Nah, kau pergilah! Urus baik-baik kuda itu, karena aku akan memakainya setelah makan siang nanti...!"

   "Jadi tuan hanya akan beristirahat sebentar saja di Yu-tai?"

   "Ya!" Chin Yang Kun mengangguk seraya melangkah memasuki restoran. "Aku akan meneruskan perjalanan ke Sin-yang. Di sana aku akan menginap..."

   "Ohh!" anak kecil itu tampak kecewa. Dipandanginya punggung tamunya yang royal dan dermawan itu dari belakang. "Sayang..." gumamnya. Rumah makan itu ternyata penuh dengan orang-orang yang ingin makan siang, sehingga ruangan ini menjadi riuh luar biasa. Chin Yang Kun segera diantar ke meja yang paling bagus setelah memberi uang hadiah kepada pelayan yang menyongsongnya.

   "Silahkan, tuan muda...! Silakan! Tuan muda mau memesan apa?" pelayan itu bertanya sambil membersihkan meja yang telah bersih itu.

   "Masakan apa yang paling mahal dan paling terkenal di rumah makan ini?" Chin Yang Kun baIik bertanya. Pelayan itu mengerutkan keningnya sebentar lalu tertawa.

   "Wah, semua masakan dari restoran kami mahal-mahal dan amat terkenal, terutama masakan telur burung daranya. Banyak orang dari luar daerah yang datang kemari hanya khusus untuk menikmati masakan telur burung dara kami""

   "Baik! Aku memesan masakan itu...dan ehh...apakah restoran juga menyediakan arak merah dari Kang-lam?"

   "Wah, tentu saja kami menyediakannya pula. Jangankan hanya arak merah dari Kang-Iam, semua arak-arak pilihan yang sukar didapatkan orangpun kami menyediakannya juga. Tuan muda ingin Arak Tetesan Madu dari Hong-ciu? Ataukah tuan menginginkan arak Harimau Kelabu dari Tibet? Dan masih banyak lagi yang lain kalau tuan muda ingin menCicipinya, seperti Arak Air Mata Perawan, Arak Embun Salju, Arak Pengantin dari Tiang-An dan lain sebagainya..." pelayan itu menyebutkan nama-nama arak pilihan dengan bersemangat. Chin Yang Kun melongo, matanya hampir tak berkedip mengawasi bibir si pelayan yang berkicau tentang segala macam nama arak yang aneh-aneh itu. Tak satupun dari sederetan nama itu yang pernah dikenal ataupun didengarnya.

   "Tuan muda ingin yang mana...?" pelayan itu bertanya. Chin Yang Kun cuma meringis.

   "Wah, bisa gila kalau aku meminum minuman yang aneh-aneh itu. Beri saja aku Arak Merah dari Kang-lam...!" akhirnya pemuda itu berkata.

   "Ohh, baik...baik!" pelayan itu mengangguk-angguk seperti ayam makan padi. Begitu pelayan itu pergi Chin Yang Kun segera mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Diperhatikannya semua orang yang kini sedang makan-minum di dalam ruangan itu. Dilihatnya seorang hartawan kaya sedang menjamu tamu-tamunya di meja tengah. Rata-rata tamunya juga dari kalangan orang berada.

   Mereka makan minum, bergurau dan tertawa seakan-akan tidak menghiraukan sama sekali kekacauan yang diletuskan oleh para perusuh di daerah mereka. Agaknya mereka benar-benar telah merasa aman dengan adanya pasukan kerajaan di kota mereka. Dan Chin Yang Kun memang melihat belasan orang perajurit yang sedang makan-minum pula di restoran itu. Mereka ada yang duduk di meja depan, di meja dekat jendela dan malahan ada pula yang duduk di dekatnya. Mereka dilayani secara khusus dan istimewa oleh para pelayan karena mereka dianggap sebagai dewi pelindung kota mereka. Selain hartawan dan tamu-tamunya, serta para perajurit itu, Chin Yang Kun masih melihat banyak orang lagi yang makan minum di ruangan itu. Diantara mereka adalah para pedagang dan pelancong yang kebetulan sedang singgah di kota itu.

   Mata Chin Yang Kun tiba-tiba terbelalak mengawasi dua orang Ielaki yang keluar dari ruang dalam. Kedua orang itu berpakaian ringkas dan membawa senjata di tangannya. Salah seorang diantaranya segera dikenal oleh Chin Yang Kun sebagai penjaga yang kemarin ikut memergoki dirinya di atas bukit yang digunakan oleh para perusuh itu. Chin Yang Kun cepat-cepat menutupi wajahnya supaya tidak terlihat oleh mereka. Tapi dua orang anggota kaum perusuh itu malah berjalan ke arahnya kemudian duduk di meja kosong yang ada di belakangnya. Begitu duduk kedua orang itu Ialu memanggil pelayan dan memesan makanan. Chin Yang Kun tidak bisa menebak, apakah kedua orang itu sudah melihat dia atau belum tapi yang terang dengan kehadiran orang itu di dekatnya ia harus hati-hati.

   "Apakah yang harus kita kerjakan sekarang, Twako?" salah seorang dari kedua orang perusuh itu berbisik.

   "Ssst, jangan terlalu keras! Lihat, di sini banyak sekali telinga!" perusuh yang lain, yang dikenal oleh Yang Kun sebagai penjaga itu berbisik pula memperingatkan temannya. Sambil berbisik orang itu menggerakkan ibu jarinya ke arah perajurit-perajurit itu.

   "Ah, mereka takkan peduli kepada kita...Bagaimana, Twako? kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apakah yang harus kita lakukan sekarang? Memberitahukan musibah ini ke daerah-daerah dahulu, atau kita langsung mencari Wan Lo-Cianpwe untuk melaporkan kematian Song-bun-kwi itu?" Temannya tidak segera menjawab. Beberapa saat lamanya orang ini berpikir, apa yang sebaiknya mereka lakukan berkenaan dengan musibah atau bencana yang telah menimpa kawan-kawan mereka itu. Chin Yang Kun mendengarkan bisikan-bisikan itu dan hatinya merasa kaget juga mendengar kematian Song-bun-kwi Kwa Sun Tek.

   

Darah Pendekar Eps 4 Darah Pendekar Eps 11 Darah Pendekar Eps 41

Cari Blog Ini