Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 52


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 52




   "Bangsat licik! Ayoh...majulah! kita bertempur beradu dada! Jangan Cuma berlari-lari begitu...aduuuuh!" Ceng-ya-kang terlempar jatuh berdebam di atas pasir. Pukulan Chin Yang Kun yang bertubi-tubi itu akhirnya tak bisa dielakkan lagi oleh Cengya-kang. Sebuah pukulan dengan telak mengenai punggungnya sehingga iblis itu terjerembab tak bisa bangun lagi. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya.

   "Anak setaannn...! anak iblisssss...!" sebelum menutup mata iblis itu masih sempat mengumpat dan memaki. Tubuh yang gemuk berkulit pucat kehijau-hijauan itu tampak meregang sebentar, kemudian diam tak bergerak. Perlahan-lahan kulitnya berubah kehitam-hitaman, sesuai dengan warna darah Chin Yang Kun yang beracun. Diam-diam Chin Yang Kun menghela napas. Di dalam hati pemuda itu menjadi ngeri sendiri melihat korban pukulan beracunnya. Ceng-ya-kang adalah tokoh ahli racun terkemuka. Tubuhnya telah biasa bergelut dengan segala macam racun yang ganas-ganas. Meskipun demikian iblis itu tetap juga tidak kuasa menahan keampuhan pukulan beracunnya!

   "Dia telah mati..." terdengar suara Chu Seng Kun lega.

   "Kau telah berhasil membalaskan dendam keluargamu." Chin Yang Kun menoleh, lalu menghela napas lagi. Wajahnya kelihatan lesu dan tak bergairah meskipun sudah bisa membunuh musuh besarnya. Tentu saja Chu Seng Kun merasa heran sekali.

   "Eh, saudara Yang...mengapa kau tidak bergembira? Bukankah kau telah berhasil membunuh orang yang membantai keluargamu? Apa yang membebani hatimu lagi!" Chin Yang Kun menundukkan kepalanya, suaranya tampak kecewa sekali ketika menjawab.

   "Chu-Twako...! orang terakhir yang diharapkan menjadi kunci terbukanya rahasia pembunuh keluargaku ini ternyata juga tak tahu apa-apa. Orang ini hanya membunuh ibu dan adik-adikku. Dia tidak membunuh ibu dan adik-adikku. Dia tidak membunuh ayah dan pamanku. Ahhh...lalu siapa sebenarnya yang membantai ayah dan pamanku itu?"

   "Saudara Yang..." Chu Seng Kun berbisik seraya menyentuh lengan sahabatnya itu.

   "Semua orang yang kucurigai, yang kira-kira terlibat di dalam peristiwa itu, telah kutemui semuanya. Tapi tak seorangpun dari mereka yang terbukti membunuh keluargaku..." Chin Yang Kun mengeluh lagi dengan sedihnya. "Chu-Twako...lalu apa yang harus kuperbuat sekarang?"

   "Saudara Yang, sudahlah...kau tenangkanlah dahulu hatimu! Marilah kita ke dusun itu dan berkumpul dengan kawan-kawan! Nanti kita pikirkan lagi persoalanmu itu bersama-sama. Siapa tahu Hongsiang dan para pembantunya bisa membantumu?"

   "Tidak! Aku tidak mau membuat ribut orang lain. Persoalan ini adalah persoalanku sendiri. Biarlah aku mencoba mengusutnya lagi dari semula."

   "Maksudmu?"

   "Mungkin kegagalanku ini disebabkan karena kurangnya ketelitianku dalam melacak jejak-jejak pembunuh itu. Oleh karena itu aku akan mencoba mengusutnya lagi dari depan. Aku akan kembali ke rumahku, di mana aku sekeluarga mengasingkan diri selama ini..."

   "Jadi...?"

   "Aku akan mengambil kudaku secara diam-diam, lalu pergi meninggalkan tempat ini..." Chin Yang Kun berkata tegas.

   "Kau tidak ingin berjumpa dengan Hongsiang dulu?" Chin Yang Kun tampak termangu-mangu sebentar. Lalu katanya,

   "Sebaiknya aku tidak usah menemuinya. Aku minta tolong saja kepada Chu-Twako untuk melaporkan perihal kepergianku ini besok pagi. Biarlah semua orang tidak menjadi ribut kalau mendengarnya. Twako, bersediakah kau?" Tabib muda itu menarik napas panjang.

   "Baiklah kalau memang itu yang kau inginkan. Tapi...bagaimana dengan gangguan pada simpul syarafmu itu? Apakah penyakit tersebut akan kau diamkan saja hingga menjadi parah?"

   "Tentu saja tidak, Chu-Twako. Aku akan segera mencari Chu-Twako begitu urusanku ini selesai."

   "Dan...apabila urusan itu dalam jangka waktu lama tidak kunjung selesai juga? Padahal penyakitmu semakin hari semakin parah. Apa jadinya nanti? Di satu pihak kau dapat menyelesaikan dendammu, tetapi di lain pihak kau sudah berubah-berubah menjadi seorang iblis penyebar maut di kalangan para wanita. Apakah kau tidak merasa ngeri?"

   "Ahh...aku akan berhati-hati sekali menjaga diriku. Akan selalu kuhindari hal-hal yang sekiranya bisa membuat penyakitku kambuh."

   "Saudara Yang, tampaknya kau belum menyadari sepenuhnya, macam apa penyakitmu itu. Tak seorangpun di dunia ini yang mampu bertahan terhadap penyakit seperti itu. Jangankan Cuma seorang manusia biasa seperti kau dan aku, biarpun seorang pendeta atau pertapa yang telah ber puluh puluh tahun menyepipun takkan kuat bertahan menghadapi amukan penyakit tersebut. Paling-paling kau akan menyesal setelah semuanya terjadi. Tapi apa gunanya itu?"

   "tapi...tapi...aku harus mencari dan menemukan orang yang telah membunuh ayah serta pamanku dulu. Aku takkan enak makan dan tidur kalau belum mendapatkan orang itu." Chu Seng Kun berdesah panjang melihat kekerasan hati kawannya itu.

   "Terserahlah kalau begitu..." Demikianlah, tanpa menimbulkan perhatian kawan-kawannya serta para perajurit yang berada di dusun itu, Chin Yang Kun menuntun si Cahaya Biru dan pergi meninggalkan tempat tersebut.

   Dibawanya kuda itu menyeberangi muara, kemudian terus berjalan ke arah utara. Pemuda itu berharap pagi hari besok telah bisa mencapai lembah itu. Tempat dimana keluarganya dulu mengasingkan diri memang tidak jauh dari muara itu. Langit mulai tampak kemerah-merahan, dan udarapun sudah tidak begitu gelap lagi. Pohon-pohon sudah kelihatan daunnya, sementara jalan yang mereka lalui juga sudah kelihatan pula batu-batu dan kerikilnya, sehingga langkah si Cahaya Birupun dapat menjadi lebih cepat pula. Kenangan Chin Yang Kun mulai terusik kembali ketika melewati tempat-tempat yang dulu sering ia kunjungi atau ia lewati. Hutan yang kini ia lalui adalah hutan tempat ia dan mendiang paman bungsunya sering berburu kelinci atau babi hutan dahulu.

   "Sebentar lagi akan terlihat batu karang berwarna putih itu. Ahhh...masihkah batu putih itu disana? Dan masih jugakah bekas pukulan tangan Paman Bungsu itu?" Chin Yang Kun yang semakin tenggelam dalam kenangan dengan paman bungsunya itu bergumam perlahan. Chin Yang Kun sejak kecil memang lebih dekat dengan paman bungsunya dari pada dengan ayahnya sendiri. Apalagi semua ilmu silat pemuda itu hampir semuanya adalah hasil didikan paman bungsunya. Maka tak heran kalau pemuda itu lebih merasa sedih dan lebih merasa kehilangan ketika paman bungsunya itu mati daripada ketika ayahnya sendiri dibunuh orang.

   "Haa...itu dia Batu Putih itu!" Chin Yang Kun seperti bersorak ketika melihat sebongkah batu karang besar berwarna putih di pinggir jalan.

   "Kalau begitu desa Hoa-ki-cung tinggal beberapa langkah lagi, Ah...tampaknya semuanya tak berubah dan masih seperti dahulu juga. Rasanya aku menjadi ingin sekali singgah barang sebentar untuk menengok sanak keluarga ibuku..."

   Ibu Chin Yang Kun berasal dari desa In-ki-cung, yaitu desa yang letaknya hanya bersebelahan dengan desa Hoa-ki-cung tersebut. Keluarga ibunya sangat besar dan hampir semuanya tinggal di dua desa itu. Dan karena sejak kecil ayah dan ibunya sering mengajak Chin Yang Kun mengunjungi kakek dan neneknya, maka Chin Yang Kun juga hampir mengenal semua sanak keluarga ibunya. Hanya saja hubungan keluarga tersebut memang tidak begitu akrab seperti halnya dengan keluarga ayahnya, sebab bagaimanapun juga ayahnya adalah seorang Pangeran Chin, sementara ibunya hanya dari kalangan rakyat jelata saja. Tetapi kakek luarnya atau ayah dari ibunya adalah orang yang terpandang di kedua desa itu. Kakek luarnya adalah seorang kepala kampung yang disegani di sekitar daerah itu. Teringat akan kakeknya, Chin Yang Kun menghela napas beberapa kali.

   "Masih hidupkah dia? Dan masihkah ia menjabat sebagai kepala kampung?" Chin Yang Kun bertanya di dalam hatinya. Sambil berjalan mendekati batu karang putih itu Chin Yang Kun mengenangkan kembali kakek dan nenek luarnya.

   "Sejak kakek Baginda digulingkan oleh pemberontak Chu Siang Yu dan Liu Pang, ayah lantas mengajak seluruh keluarganya keluar dari Kotaraja. Mula-mula ayah bermaksud tinggal disini, di tempat kakek luarku. Tapi karena takut nanti dikejar dan dicari oleh musuh yang kini berkuasa, maka ayah lantas memutuskan untuk mengasingkan diri di tempat yang terpencil, yaitu di daerah pegunungan di sebelah barat desa In-ki-cung itu. Bertahun tahun aku tinggal di lembah terpencil itu tanpa setahu atau memberi kabar kepada kakek luarku. Ayah mengancam akan membunuh siapa saja yang berani keluar dari lembah itu. Ahhhh...! tapi meskipun sudah bersembunyi, rencana itu akhirnya tetap datang juga..."

   Chin Yang Kun menghela napas panjang, lalu menghentikan kudanya di pinggir jalan. Batu karang putih itu telah berada di depan matanya, dan iseng-iseng ia ingin melihat bekas pukulan paman bungsunya disana. Tapi...tiba-tiba matanya terbelalak! Telinganya seperti mendengar suara orang mengerang di balik batu karang putih itu! Bergegas pemuda itu meloncat turun dari punggung kudanya, lalu berlari menghampiri batu karang itu. Dan...sekali lagi pemuda itu terbelalak matanya! Di batu itu tampak terikat erat seorang lelaki dengan kulit muka biru memar bekas pukulan. Mulut dan hidung orang itu pun tampak bekas-bekas darah yang telah mengering, sementara kedua biji matanya hampir tertutup oleh kelopak matanya yang membengkak.

   "Ooughh...tu-tuan...to-tolonglahhh...aku." orang itu merintih begitu melihat kedatangan Chin Yang Kun. Chin Yang Kun cepat menolong orang itu. Dilepaskannya ikatannya, lalu dibaringkannya tubuh yang lemas tersebut diatas rumput. Kemudian Chin Yang Kun mengambil buli-buli tempat airnya dan memberi minum orang itu.

   "Hmm...saudara siapa? Mengapa kau berada di tempat ini? Siapakah yang telah menganiayamu?" Chin Yang Kun bertanya setelah orang itu kelihatan bisa menguasai dirinya kembali. Orang itu kelihatan gelisah kembali. Matanya yang sipit karena membengkak itu berkali-kali melirik Chin Yang Kun dengan sinar mata curiga dan ketakutan. Tampaknya orang itu masih merasa ngeri dan ketakutan terhadap orang yang menyiksanya. Chin Yang Kun bisa menduga apa yang sedang berkecamuk di dalam pikiran orang itu. Maka agar supaya orang itu tidak semakin curiga dan menduga hal-hal yang buruk kepadanya, Chin Yang Kun cepat membujuknya dengan kata-kata halus.

   "Saudara tak usah takut atau curiga kepadaku. Aku adalah seorang pengembara yang secara kebetulan sedang lewat di tempat ini. Aku tadi mendengar suara rintihan saudara, sehingga aku berhenti dan menolong saudara...Nah, sekarang coba saudara ceritakan, apa sebenarnya yang terjadi?" Orang itu tampak lega dan mulai percaya akan perkataan Chin Yang Kun.

   "Siapa...siapakah tuan ini?" tanyanya ragu.

   "Namaku Yang Kun...Chin Yang Kun!"

   "Chin Yang Kun...? Apa...apakah tuan ini Chin...Chin Yang Kun putera Pangeran Chin itu?" tiba-tiba orang itu berdesah kaget. Chin Yang Kun menatap orang itu tajam-tajam. Keningnya berkerut.

   "Ayahku memang seorang Pangeran Chin. Mengapa...?"

   "Dan...ibumu adalah puteri kakek Cia, kepala desa In-ki-cung dan Hoa-ki-cung itu? Benarkah...?" orang itu bertanya lagi dengan tegangnya.

   "Ya-ya, benar! Maksudmu? Eh...siapakah kau ini? Mengapa kau mengenal kedua orang tuaku? Apakah kau tinggal di desa In-ki-cung juga?"

   "Ohhh...Adik Yang Kun! Ketahuilah, aku...aku ini Yung Ci Pao, saudara sepupumu dulu itu." orang itu berseru gembira.

   "He? kau si Bopeng Ci Pao putera bibi Hui itu?"

   "Be-betul!"

   "Wah...aku sudah tidak mengenalmu lagi. kau dulu kecil dan berpenyakitan, sekarang demikian gemuk dan kekar." Chin Yang Kun tersenyum memuji.

   "Ahhh...akupun sudah tidak mengenalmu pula, adik Yang. Delapan tahun yang lalu kau juga hanya merupakan seorang anak kecil kerempeng pula seperti aku. Tapi sekarang...wah! Tentu banyak sekali gadis-gadis yang tergila-gila kepadamu!" Ci Pao tersenyum pula seraya bangkit duduk.

   "Ah! kau ini tampaknya masih suka menggoda anak perempuan, ya? Bagaimana dengan Si Burung Walet dulu itu? kau masih berani menggodanya juga?" Chin Yang Kun yang teringat kembali akan masa kanak-kanak mereka segera bertanya tentang Wi Yan Cu, puteri guru sekolah desanya yang cantik lincah dahulu.

   "Hei? Kenapa tidak berani? Setiap hari aku tentu menggodanya, karena dia telah menjadi isteriku sekarang. kau...ouughh!!!" Tiba-tiba wajah Yung Ci Pao berubah dengan hebat! Wajah itu secara mendadak berubah menjadi sedih, murung, gelisah dan ketakutan kembali! Mata yang bengkak ini menatap Chin Yang Kun tanpa berkedip.

   "Hah, Ci Pao...kenapakah kau?" Chin Yang Kun berseru kaget.

   "Oooooh!" Yung Ci Pao berdesah lemas. "Dia...dia sekarang...ohh!"

   "Dia? Dia siapa? Wi Yan Cu maksudmu? Kenapa dia? Katamu dia telah menjadi isterimu!"

   "Dia...dia memang telah menjadi isteriku. Tapi sekarang...dia diculik orang jahat! Aku...aku...Oh! Inilah mungkin akibat dari dosa-dosaku!" Yung Ci Pao menangis tersedu-sedu.

   "Diculik penjahat?" Chin Yang Kun menegaskan. Yung Ci Pao tidak segera menjawab. Tangisnya semakin keras malah.

   "Dosa! Dosa! Aku orang yang berdosa! Uh-huuu...!" Chin Yang Kun menahan napas jengkel karena saudara sepupunya itu tidak mau berhenti menangis juga. la lalu berdiri dan berjalan menghampiri kudanya yang sedang merumput.

   "Piao-te (Adik sepupu)...tunggulah, kau jangan pergi!" melihat itu Yung Ci Pao berteriak. Chin Yang Kun berhenti melangkah.

   "Mengapa kau berhenti menangis? Menangislah terus, kalau menurut pendapatmu tangis itu memang bisa menyelesaikan segala-galanya," katanya acuh.

   "Piao-te, maafkan aku..." Chin Yang Kun menghampiri Yung Ci Pao kembali.

   "Nah...kalau demikian, ceritakanlah apa yang terjadi!" Yung Ci Pao mengangguk.

   "Baiklah..." katanya seret. Yung Ci Pao lalu bercerita. Dia telah dua tahun kawin dengan Wi Yan Cu, tapi belum dikaruniai seorang anakpun. Sebenarnya Wi Yan Cu pernah hamil, tapi bayi tersebut meninggal sebelum dilahirkan. Hal itu menyebabkan Wi Yan Cu menjadi sedih luar biasa. Sikapnya menjadi berubah. Gadis yang semula lincah dan gembira itu berubah menjadi pendiam dan tak mempunyai semangat hidup lagi. Seperti orang yang kurang waras isterinya itu sering meninggalkan rumah mereka tanpa tujuan. Tetapi karena dia sangat mencintai isterinya itu, maka ia selalu mencarinya dan mengajaknya pulang kembali. Dan kemarin sore seperti biasa isterinya telah pergi meninggalkan rumah mereka lagi. Dia cepat-cepat mencarinya.

   Dan menurut penuturan para tetangganya, isterinya itu pergi ke arah hutan ini. Demikianlah, dengan ketekunannya ia berhasil menemukan isterinya kembali. Tapi di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba mereka berjumpa dengan dua orang lelaki dan seorang wanita muda. Ketiga orang itu ternyata bukan orang baik-baik. Melihat kecantikan isterinya, salah seorang dari kedua lelaki itu, yaitu yang berwajah tampan dan berpakaian mentereng, segera mencoba untuk berbuat tak senonoh. Tentu saja dia menjadi marah sekali. Tapi kali ini ia benar-benar membentur batu. Ketiga orang itu ternyata adalah jago-jago silat berkepandaian tinggi. Hanya dengan tangan kirinya saja lelaki tampan itu telah menghajarnya habis-habisan dan kemudian mengikatnya di batu karang putih ini. Selanjutnya penjahat itu lalu membawa pergi isterinya.

   "Ohhh...piao-te, tolonglah!" Yung Ci Pao menangis lagi.

   "Baiklah! Mari kita cari mereka!"

   "Tapi...tapi mereka bertiga, sedangkan kita hanya berdua. Dan mereka itu mahir ilmu silat lagi!" Yung Ci Pao berkata ketakutan.

   "Sudahlah! Hal itu kita pikirkan nanti. Sekarang yang penting kita cari dulu isterimu!"

   "Ohh...ba-baiklah!" Demikianlah mereka lalu bersama-sama naik di atas punggung si Cahaya Biru. Chin Yang Kun mengarahkan kuda itu ke desa Hoa-ki-cung yang jaraknya tinggal beberapa ratus langkah lagi. Sementara itu matahari benar-benar telah keluar dari peraduannya. Sinarnya yang hangat itu telah menyergap kulit pipi dan punggung mereka. Burung-burungpun mulai terdengar berkicau bersaut-sautan di atas pohon yang mereka lalui.

   "Itu dia Hoa-ki-cung!" Yung Ci Pao berseru, telunjuknya menunjuk ke depan.

   "Ahh...masih seperti dulu juga. Tidak ada perubahan. Hanya pohon siong di muka jalan masuk ke desa itu kini sudah besar sekali," Chin Yang Kun bergumam.

   "Yaa!" Yung Ci Pao mengangguk.

   "Dan...rumah besar yang kelihatan gentingnya itu rumah Wi Yan Cu, bukan?"

   "Ya...! dan kami berdua tinggal di sana selama ini."

   "Lalu di mana ayah dan ibu Wi Yan Cu? apakah kalian tinggal bersama mereka?"

   "Ah-eh...ti-tidak! Be-beliau sudah...sudah meninggal dunia semua." tiba-tiba wajah Yung Ci Pao berubah pucat, suaranyapun menjadi gemetar.

   "Hei...Sudah mati semua? Kapan?" Chin Yang Kun berseru kaget.

   "Anu...anu...dua tahun yang Ialu, setelah...setelah perkawinan kami," jawab Yung Ci Pao semakin gagap dan pucat. Sikapnyapun tampak semakin gelisah pula. Chin Yang Kun mengerutkan keningnya. Pemuda itu menjadi curiga, hatinya seperti mencium hal-hal yang tak wajar di dalam sikap saudara sepupunya itu.

   "Dua-duanya mati setelah perkawinan kalian? Apakah mereka dibunuh orang?"

   "Oh, tidak...tidak! mereka mati karena sakit! Mereka tidak...eh, tidak di-dibunuh orang!" Yung Ci Pao cepat menyahut dengan suara tinggi. Chin Yang Kun menghela napas panjang, matanya menatap wajah saudara sepupunya itu dengan tajamnya, sehingga Yung Ci Pao menjadi gelisah sekali.

   "Sudahlah! Kenapa kau menjadi gelisah dan berteriak-teriak begitu?" akhirnya Chin Yang Kun berkata pelan.

   "Habis, pertanyaanmu tadi mengingatkan aku kembali kepada semua kesedihan dan penderitaanku..." Yung Ci Pao berkata seraya mengusap peluh yang meleleh di atas dahi dan lehernya.

   "Kalau begitu maafkanlah aku...! Eh, lihat! Tampaknya ada sesuatu yang terjadi di mulut desa itu! Banyak orang berkumpul di sana! Mungkin isterimu telah dikembalikan..." mendadak Chin Yang Kun berseru seraya mengangkat jari telunjuknya ke depan.Chin Yang Kun lalu menepuk pantat Si Cahaya Biru agar berlari lebih cepat.

   "Ko Tiang! Jiu Kok...! Ada apa di sini?" begitu tiba Yung Ci Pao lantas berteriak ke arah dua orang pemuda yang berdiri di luar kerumunan orang itu. Semua orang lantas berpaling mendengar kedatangan Chin Yang Kun dan Yung Ci Pao. Kedua orang pemuda yang dipanggil Yung Ci Pao itu juga menoleh.

   "Hei...si Bopeng Ci Pao telah pulang rupanya!" salah seorang dari mereka yang bernama Jiu Kok berkata seenaknya. Malah kedua buah lengannya segera bertolak pinggang.

   "Apakah kau telah menemukan isterimu?"

   "Belum. Apakah dia telah pulang kembali?" dengan cemas namun penuh harap Yung Ci Pao balik bertanya. Sedikitpun dia tidak mempedulikan sikap Jiu Kok yang sinis itu. Malahan dengan tergesa-gesa ia melorot turun dari atas punggung Cahaya Biru.

   "Ya. Isterimu sudah pulang." Ko Tiang menyahut pendek, suaranya kaku.

   "Benarkah? Lalu dimanakah dia? Dan...eh, mengapa semua orang berada disini?"

   
"Ketahuilah! Isterimu pulang bersama tiga orang kawannya, dua lelaki dan seorang wanita. Tapi...ternyata mereka adalah penjahat penjahat yang sangat kejam sekali. Karena mereka datang pada saat tengah malam, beberapa orang pemuda kita menahan mereka dan menanyakan maksud kedatangan mereka. Hal itu dilakukan oleh para peronda malam, karena mereka melihat hal-hal yang tidak wajar pada diri isterimu. Tapi...apa yang terjadi? Orang-orang itu menjadi marah dan membunuh para peronda kita itu!" Jiu Kok menerangkan. Chin Yang Kun terkejut mendengar cerita Ko Tiang dan Jiu Kok itu. Bergegas ia turun dari punggung kudanya dan ikut menghampiri kerumunan orang dari desa Hoa-ki-cung tersebut.

   "Oh??? Lantas bagaimana dengan para penduduk yang lain?" Yung Ci Pao mendesak dengan wajah kaget.

   "Tak seorangpun yang berani melawan. Ketika ada beberapa orang yang mencoba memperingatkan perbuatan kejam mereka, mereka semakin marah! Orang-orang itu juga dibunuh pula. Oleh karena itu semua penduduk lantas menutup pintu rumah mereka dan tidak berani keluar. Mayat-mayat itu mereka biarkan saja tergeletak di jalanan. Baru sekarang kami berani keluar untuk mengambil mayat-mayat kawan kita itu. Lihatlah! Mengerikan bukan?" Jiu Kok menunjuk ke tengah-tengah kerumunan temannya.

   "Oooh...!" Yung Ci Pao terbelalak memandang ke arah mayat-mayat itu.

   "Lalu kemana perginya tiga penjahat itu?" tiba-tiba Chin Yang Kun yang baru saja mendekat itu menyela. Orang-orang itu terperanjat. Mereka menatap Chin Yang Kun dengan curiga. Begitu pula dengan Jiu Kok dan Ko Tiang.

   "Si-siapa dia...?" Ko Tiang bertanya kepada Yung Ci Pao.

   "Ahhh...masakan kalian sudah lupa? Dia...Chin Yang Kun dulu itu, saudara sepupuku yang bertempat tinggal di Kotaraja."

   "Chin Yang Kun...? Putera Pangeran Chin itu? Eh...!" Ko Tiang dan Jiu Kok tersentak kaget. Tapi sekejap kemudian Chin Yang Kun telah dirubung oleh para penduduk Hoa-ki cung tersebut.

   "Sudahlah! Kalian tadi belum menjawab pertanyaanku. Dimanakah ketiga orang itu?" Chin Yang Kun mengalihkan perhatian yang ditujukan kepada dirinya itu.

   "Mereka berada di rumah Yung Ci Pao! dan mereka memaksa beberapa orang gadis kita untuk melayani mereka disana. Tapi...mengapa kau tanyakan hal itu? Apakah engkau bermaksud untuk bunuh diri di sana? Jangan! Mereka bertiga benar-benar mempunyai kepandaian seperti iblis. Dengan hanya menggerakkan tangan dari kejauhan saja mereka bisa membunuh kawan-kawan kita itu...!" Jiu Kok menjawab.

   "Hmmm... aku hendak melihat mereka. Ci Pao, ayoh...antarkan aku kesana!" Chin Yang Kun menggeram, lalu mengajak saudara sepupunya untuk menemui para penjahat itu.

   "A...Aaku ti-tidak berani!" Yung Ci Pao menjawab gemetar.

   "Pengecut! Bukankah isterimu dibawa oleh mereka? Mengapa kau tidak berusaha mengambilnya? Huh! Sudahlah... kalau begitu aku akan kesana sendirian!" Chin Yang Kun mendengus jengkel melihat sikap saudara sepupunya yang pengecut itu. Pemuda itu lalu meloncat ke punggung kudanya dan pergi menuju rumah besar yang kelihatan gentingnya tadi. Orang orang Hoa-ki-cung itu sebenarnya merasa takut juga seperti halnya Yung Ci Pao, tapi melihat kenekadan Chin Yang Kun, beberapa orang diantaranya termasuk juga Ko Tiang dan Jiu Kok, akhirnya ingin melihat pula apa yang hendak dilakukan oleh Chin Yang Kun terhadap para penjahat itu.

   "Jiu Kok, mari... marilah kita me-mengintipnya dari kejauhan!"

   "Ma... marilah!" Sementara itu matahari telah merangkak semakin jauh dari peraduannya. Dan sinarnya yang hangat itupun juga mulai menebar menjelajahi setiap sudut halaman rumah para penduduk. Meskipun demikian, tidak seperti biasanya desa itu masih tetap sunyi. Sunyi dan sepi, seolah-olah desa itu telah ditinggalkan oleh penduduknya. Tak sesosok bayanganpun yang tampak meskipun hari telah terang tanah. Chin Yang Kun menggeleng-gelengkan kepalanya. Di sepanjang jalan yang dilaluinya ia juga tak menjumpai siapapun. Pintu-pintu rumah penduduk masih tetap tertutup rapat sementara para penghuninya entah berada dimana.

   "Hmmm... desa ini benar-benar dicekam ketakutan!" pemuda itu berbisik. Beberapa puluh meter dari rumah Yung Ci Pao, Chin Yang Kun menghentikan kudanya. Kuda itu ia tinggalkan di halaman rumah penduduk, kemudian ia melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki. Dengan sangat berhati-hati pemuda itu menuju ke bagian belakang rumah yang ditujunya.

   Rumah peninggalan ayah Wi Yan Cu itu kelihatan sunyi dan sepi pula. Tapi ketika Chin Yang Kun melompati tembok belakang dan bersembunyi di dekat dapur, lapat-lapat ia mendengar suara tangis perempuan disana. Oleh karena itu tanpa mengendorkan kewaspadaannya pemuda itu masuk ke dalam dapur itu. Dua orang gadis desa kelihatan kaget dan takut sekali ketika tiba-tiba mereka berhadapan dengan Chin Yang Kun. Dengan sekuat tenaga kedua orang gadis itu berusaha menghentikan tangis mereka, sementara tangan mereka sibuk menghapus air mata yang mengalir di atas pipi mereka. Sebaliknya Chin Yang Kun juga berusaha keras untuk mengenali gadis-gadis itu, mungkin salah seorang diantaranya adalah Wi Yan Cu, temannya bermain semasa kanak-kanak. Tapi wajah kedua gadis itu tak satupun yang mirip Wi Yan Cu semasa kecil.

   "Jangan takut! Aku bukan kawan dari penjahat itu. Aku adalah saudara Yung Ci Pao... mengapa kalian menangis? Dimana Wi Yan Cu dan para penjahat itu?" Chin Yang Kun berkata lirih. Kedua orang gadis desa itu berpelukan dan tidak bisa menjawab. Mereka masih tetap ketakutan. Terpaksa Chin Yang Kun harus berulang-ulang menerangkan kepada mereka bahwa ia benar-benar bukan penjahat, dan kedatangannya itu justru hendak menolong mereka. Barulah sedikit demi sedikit kedua orang ini mau menerima keterangannya.

   "Nah, sekarang katakanlah! Dimana ketiga penjahat itu berada? Dan dimana pula Wi Yan Cu kini?" Chin Yang Kun mendesak.

   "Mereka... mereka bertiga berada di...di ruang dalam, bersama dengan nyonya Yung Ci Pao. Tuan... tuan ini, eh... apakah saudara sepupu Tuan Yung yang berasal dari Kotaraja itu?" salah seorang dari kedua gadis itu, yang tampaknya malah mulai mengenal Chin Yang Kun, akhirnya menjawab tersendat-sendat.

   "Benar, aku memang saudara sepupu Yung Ci Pao. kau mengenali aku?" Chin Yang Kun memandang gadis itu dengan raut muka gembira.

   "Aku juga penduduk Hoa-ki-cung ini. Turun temurun keluargaku telah tinggal disini." Gadis itu menjawab lagi dengan muka tertunduk. Wajahnya tampak murung dan sedih. Chin Yang Kun menarik napas panjang.

   "Sudahlah! Kalian tak perlu takut dan sedih lagi. Penjahat itu akan kutangkap. Sekarang marilah kau pulang...!" Lalu dengan hati-hati Chin Yang Kun mengantar kedua gadis itu ke pintu halaman belakang serta membukakannya.

   "Nah, pulanglah kembali ke rumah kalian masing-masing! Dan katakanlah kepada semua orang, bahwa penjahat itu sebentar lagi akan kutangkap. Oleh karena itu mereka tak perlu takut lagi. Mengerti...?"

   Kedua gadis itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Setelah keduanya hilang dari pandangan, Chin Yang Kun lalu melangkah masuk ke dalam gedung besar itu kembali. Dengan berindap-indap pemuda itu menuju ke ruangan dalam. Sama sekali Chin Yang Kun tidak menyadari bahwa semua gerak-geriknya itu telah diketahui dan diintip oleh salah seorang dari ketiga penjahat tersebut. Penjahat itu kebetulan hendak pergi ke dapur, sehingga dapat melihat gerak-gerik Chin Yang Kun ketika melepaskan gadis-gadis tadi. Penjahat itu, yang ternyata adalah wanita, segera berlari ke dalam menemui kawan-kawannya.

   "Li-Taihiap! Jai-hwa Toat-beng-kwi! Celaka...!" serunya pelan setelah berada di ruangan dalam. Pendekar Li dan Jai-hwa Toat-beng-kwi bergegas keluar dari kamar masing-masing. Pendekar Li hanya mengenakan celana saja sementara Jai-hwa Toat-beng-kwi malahan hampir tidak memakai apa-apa lagi pada tubuhnya. Dengan kaget keduanya menyongsong kedatangan wanita itu. Lapat-lapat di kamar Jai-hwa Toat-beng-kwi terdengar suara isak tangis perempuan.

   "Pek-pi Siau-kwi, ada apa...? Apanya yang celaka?" Pendekar Li segera bertanya, nadanya sedikit mendongkol dan penasaran karena merasa terganggu tidurnya.

   "Benar! Apa sebenarnya yang telah terjadi, Hantu Cantik?" Jai-hwa Toat-beng-kwi juga meminta penjelasan. Suaranya halus, namun juga terasa kalau ia terganggu pula oleh seruan wanita itu tadi.

   "Celaka! Pemuda itu telah datang ke rumah ini! Apa yang harus kita kerjakan?" tanpa mempedulikan kemarahan temannya Pek-pi Siau-kwi berteriak lagi.

   "Kurang ajar! Mengapa kau tiba-tiba menjadi penakut seperti ini? Memangnya kenapa dengan pemuda-pemuda desa itu? Biarkan saja mereka membawa seluruh penduduk kampung ini kemari, apa yang kita takutkan?" Pendekar Li menjawab marah.

   "Whah! Sedang asyik-asyiknya, diganggu pula... hmm!" dengan sedikit jengkel Jai-hwa Toat-beng-kwi berbalik kembali ke dalam kamarnya.

   "Ei! Yang kumaksudkan adalah... Yang Kun! Bukan pemuda desa ini!" Pek-pi Siau-kwi berteriak penasaran.

   "Apaaa...? Yang Kun??" hampir berbareng Pendekar Li dan Jai-hwa Toat-beng-kwi menjerit.

   "Benar! Nah, apa yang akan kita lakukan?" Ternyata kedua penjahat itu tampak gemetar sekarang. Bagaimanapun juga kesaktian Chin Yang Kun itu amat menggiriskan hati mereka.

   "Dengan siapa dia datang?" Pendekar Li bertanya.

   "Sendirian."

   "Syukurlah. Kalau begitu kita masih punya kesempatan untuk melawannya. Hmm, kita harus menjebaknya di ruang dalam tanah itu..."

   "setuju. Mari kita menjebaknya di sana!" Jai-hwa toat-beng-kwi mengangguk. Pendekar Li lalu mendekati Pek-pi Siau-kwi.

   "Siau-kwi, persiapkanlah perangkap itu! Pergunakanlah perempuan itu sebagai umpannya! Mengerti?"

   "Tapi... aku belum puas dengan perempuan itu!" Jai-hwa Toat-beng-kwi cepat memotong.

   "Lupakan saja perempuan itu! Engkau bisa mencarinya lagi yang lain! Yang penting kita dapat lolos dari tangan pemuda itu hari ini!" pendekar Li membentak.

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kita lawan saja dia. Masakan kita bertiga tidak mampu melawannya?" Jai-hwa Toat-beng-kwi masih tetap penasaran.

   "Tentu saja! Tapi kitapun perlu berhati-hati. Tiada jeleknya kita berjaga-jaga sebelumnya. Siapa tahu kita benar-benar tak bisa menghadapi dia nanti?"

   "Baiklah!" Jai-hwa Toat-beng-kwi akhirnya mengangguk. Ketiga orang itu lalu bersiap-siap. Pendekar Li dan Jai-hwa Toat-beng-kwi mengambil pakaian dan senjata mereka, sementara Pek-pi Siau-kwi membawa perempuan yang berada di dalam kamar Jai-hwa Toat-beng-kwi, yang tidak lain adalah Wi Yan Cu itu, ke ruang bawah tanah untuk memasang perangkap.

   Meskipun demikian ketika Chin Yang Kun masuk ke dalam ruangan itu, Pendekar Li dan Jai-hwa Toat-beng-kwi tergetar juga hatinya. Di dalam pandangan mereka, pemuda itu tampak lebih matang serta garang sikap dan penampilannya. Dan hal itu berarti bahwa pemuda itu sudah matang dan berpengalaman daripada ketika berjumpa dengan mereka beberapa waktu yang lalu. Sebaliknya, Chin Yang Kun kelihatan terkejut sebentar begitu berhadapan dengan Pendekar Li dan Jai-hwa Toat beng-kwi! Pemuda itu memang tidak menyangka akan berjumpa dengan mereka di desa itu. Tapi begitu teringat pada apa yang telah diperbuat orang-orang itu di Kim-liong Piauw-kiok, darahnya segera mendidih.

   "Bangsat! Sungguh kebetulan sekali kalian kujumpai di tempat ini! Hmmh... coba katakan! Apa maksud kalian membunuh Thio Lung dengan meminjam namaku ini? Apakah kalian bermaksud menghilangkan jejak kejahatan kalian dengan mengadu-domba antara aku dan Kim-liong Piauw kiok? Begitukah? Hmmm... kini aku justru menjadi curiga, jangan-jangan kalian malah benar-benar ikut terlibat dalam pembunuhan keluargaku itu!" Chin Yang Kun menggeram marah. Pendekar Li saling pandang dengan Jai-hwa Toat-beng-kwi, kemudian menoleh ke arah pintu dimana Pek-pi Siau-kwi tadi keluar membawa Wi Yan Cu. Melihat kawan wanitanya itu belum muncul lagi, Pendekar Li lalu berusaha untuk mengulur waktu.

   "Baiklah! Bagaimanapun juga kalau aku tidak berterus terang, kau tentu akan selalu mencari aku. Nah, kau dengarlah...! pada malam yang naas itu, engkau telah mengetahui pula bahwa tidak hanya keluargamu saja yang terbunuh, tetapi seluruh keluargakupun telah habis pula dibantai orang. Dari kenyataan ini saja, setiap orang tentu bisa berpikir bahwa pelakunya tentu bukan dari pihakku atau pihakmu. Tentu orang ketigalah yang telah berbuat..."

   "Sudahlah, kau jangan berbelit-belit! Sekarang ceritakan saja secara terus terang, apa sebenarnya yang telah terjadi di rumahmu malam itu? Cepat!" Chin Yang Kun memotong dengan tak sabar.

   "Baik... aku akan menceritakan apa adanya, terserah kepadamu untuk menilainya." Pendekar Li mengangguk. Lalu sambungnya lagi.

   "Seperti telah kuceritakan kepadamu, bahwa malam itu aku dan kawan-kawanku sedang menantikan kedatangan Tung-hai Sam-mo, untuk menyelesaikan persoalan peta harta karun itu. Tapi secara tidak terduga rombongan ayahmu telah datang ke rumahku. Tentu saja kami menjadi bingung. Perselisihan tidak bisa dikendalikan lagi, apalagi rombongan ayahmu itu sejak semula tampaknya sudah siap tempur..."

   "Hmm... tentu saja. Sudah beberapa hari rombongan ayahku itu dikejar-kejar orang..." Chin Yang Kun menyahut.

   "Begitulah, aku bersama-sama dengan kawan-kawanku bertempur melawan rombongan ayahmu. Oleh karena kawan-kawanku lebih banyak jumlahnya, maka sebentar saja rombongan ayahmu jatuh di bawah angin. Apalagi salah seorang di antara rombongan ayahmu itu ternyata tidak bisa ilmu silat sama sekali..."

   "Tentu saja! Orang tua itu cuma pelayan keluargaku." Lagi lagi Chin Yang Kun memotong perkataan Pendekar Li.

   "Nah... beberapa saat kemudian kamipun segera dapat membunuh dua orang di antara rombongan ayahmu itu. Tampaknya kedua orang itu adalah pengawal kepercayaan ayahmu..."

   "Benar! Kedua orang itu adalah Siang-hu-houw (Sepasang Harimau Terbang), pengawal kepercayaan ayahku." Chin Yang Kun mengiyakan.

   "Hmmm... lalu bagaimana dengan ayah dan pamanku?" Pendekar Li mengambil napas seraya melirik sekali lagi ke arah pintu. Ternyata Pek-pi Siau-kwi belum tampak juga, sehingga diam-diam hatinya menjadi khawatir.

   "Karena sudah bisa membunuh dua orang lawan, maka kamipun menjadi semakin bersemangat untuk segera menyelesaikan pertempuran itu. Siapa tahu rombongan Tunghai Sam-mo akan segera tiba pula?" Pendekar Li meneruskan ceritanya.

   "Tetapi kepandaian ayah dan pamanmu itu ternyata sangat tinggi. Meskipun lengan ayahmu tinggal sebelah, tapi ilmu goloknya ternyata hebat bukan main. Kami benar-benar mendapatkan kesulitan untuk segera membereskannya. Apalagi ayah dan pamanmu itu berkelahi seperti orang kesetanan..." Pendekar Li menghentikan lagi ceritanya untuk mengambil napas. Tapi ia segera melanjutkan lagi ketika didengarnya Chin Yang Kun menggeram tidak sabar.

   "Pada saat kami sedang berusaha dengan sekuat tenaga untuk membereskan ayahmu itulah tiba-tiba terdengar suara siulan panjang tinggi melengking bagaikan hendak memecahkan gendang telinga kami. Dan sekejap kemudian di halaman rumahku itu tampak berkelebat sesosok bayangan hitam dengan cepat sekali. Begitu hebat dan mentakjubkan ginkangnya sehingga kami semua lantas menduga kalau orang itu tentulah Keh-sim Siauwhiap, musuh bebuyutan kami. Dan terus terang... kami menjadi ketakutan pada waktu itu. Selain kami tak pernah menang melawan dia, bangsat itu biasanya tentu datang dengan pengikut pengikutnya. Oleh karena itu tanpa mempedulikan perasaan malu, kami semua pergi meninggalkan arena pertempuran itu. Dan selanjutnya... kau telah melihatnya sendiri. Keluargamu dan keluargaku sama-sama terbantai habis!"

   "Huh! Jadi kau tetap berpendapat bahwa pembunuh itu adalah Keh-sim Siauwhiap?"

   "Ya!"

   "Lalu apa sebabnya kau membunuh Thio Lung? Ingin membungkam mulutnya?"

   "Ya! Kami khawatir kau akan membalas dendam pula kepada kami, karena bagaimanapun juga kami telah membunuh dua orang kepercayaan ayahmu. Selain itu memang ada persoalan pribadi antara kami dan Thio Lung..." Chin Yang Kun terpekur menatap lantai. Ia dapat merasakan bahwa apa yang diceritakan oleh Pendekar Li tersebut tentu benar. Tampaknya orang itu memang tidak berbohong sekali ini. Hanya saja dugaan tentang Keh-sim Siauwhiap itu rasanya juga tidak benar pula. Keh-sim Siauwhiap adalah seorang pendekar besar yang disanjung dan dipuji oleh banyak orang, tak mungkin rasanya ia berbuat sekeji itu. Apalagi pendekar itu pernah bersumpah dihadapannya, bahwa ia tak pernah melakukan pembunuhan tersebut.

   "Hmmm... kalau begitu ada orang ketiga yang tampaknya memanfaatkan suasana yang ruwet dan ribut seperti itu. Dan entah dengan alasan apa orang itu lalu membunuh ayah serta paman. Malahan tidak cuma itu saja. Orang itupun kemudian juga membantai pula seluruh keluarga Pendekar Li, tanpa sisa!" Chin Yang Kun mencoba mengupas persoalan tersebut di dalam hatinya.

   "Nah, sekarang bagaimana menurut penilaianmu? Apakah kau juga akan menuntut balas atas kematian kedua orang pengawal kepercayaan ayahmu itu?" Pendekar Li tiba-tiba bertanya, sehingga membuyarkan semua lamunan Chin Yang Kun.

   "Meskipun mereka itu bukan keluargaku, tapi mereka berjuang dan bertempur mengadu nyawa demi keluargaku. Maka sudah selayaknyalah kalau aku juga menuntut balas untuk mereka. Tetapi biarpun begitu, aku juga menghormati hakmu pula untuk mencari dan menuntut balas kepada orang yang telah membantai keluargamu. Nah, apakah engkau telah menemukan orang itu? Ataukah engkau masih tetap juga menuduh Keh-sim Siauwhiap yang berbuat?" Chin Yang Kun berkata tenang.

   "Ini... ah... ini... lalu siapa lagi di dunia ini yang mempunyai ginkang sehebat itu selain Keh-sim Siauwhiap? Dan yang terang...siapa lagi yang berusaha menghancurkan aku selain Keh-sim Siauwhiap, musuh bebuyutanku itu?" Chin Yang Kun menghela napas.

   "Nah... kau sekarang telah berubah menjadi ragu-ragu pula seperti diriku. Di dalam hati kau tentu tidak percaya pula kalau pendekar yang terkenal berbudi baik itu sampai hati membunuh wanita dan anak-anak, bukan?"

   "Ini... eh... lalu siapakah menurut pendapatmu?" Pendekar Li semakin merasa ragu-ragu di dalam hati.

   "Itulah yang harus kita cari! Kukira pembunuh ayahku dan pembunuh anak-isterimu adalah sama orangnya. Oleh karena itu aku tidak membunuhmu sekarang. Aku memberi waktu kepadamu untuk mencari dan membalas dendam kepada pembunuh itu. Tapi waktu yang kuberikan itu hanya khusus untuk kau, teman-temanmu yang lain... tidak!" Chin Yang Kun menutup perkataannya dengan menoleh ke arah Jai-hwa Toat-beng-kwi.

   "Kurang ajar...! kau kira aku takut kepadamu? Huh! Marilah kita mengadu jiwa!" iblis pemetik bunga itu terperangah. Dengan cepat tangannya telah mengeluarkan pipa tembakaunya yang panjang. Chin Yang Kun segera menggeser kakinya dan bersiap-siap pula.

   "Dimana kawan wanitamu itu? Mengapa dia belum keluar juga?" tanyanya kaku.

   "Aku disini...!" Tiba-tiba Pek-pi Siau-kwi muncul dari balik pintu. Wanita cantik itu telah bersiap siaga dengan pedangnya pula. Chin Yang Kun menoleh.

   "Bagus! Nah, sekarang katakanlah! Dimana kalian menyembunyikan perempuan yang kalian culik itu?"

   "Saudara Yang, kami tentu akan mengembalikan perempuan itu. Tapi...kuminta dengan sangat agar kau mau melepaskan kedua orang kawanku ini. Hanya mereka berdualah sekarang yang membantu aku. Bagaimana aku bisa melawan pembunuh itu kalau aku hanya sendirian saja? Tolonglah...!" Pendekar Li memohon kepada Chin Yang Kun.

   "Tidak bisa! Kedua iblis ini sudah banyak membawa korban. Mereka harus mati! Apalagi korban yang terakhir ini masih saudara sepupuku sendiri!" Chin Yang Kun menjawab tegas.

   "Saudara sepupumu...?"

   "Benar! Perempuan yang kalian culik itu adalah isteri dari Yung Ci Pao, saudara sepupuku sendiri."

   "Akhh...!" Pendekar Li berdesah.

   "Tuan Li, kita tak perlu merengek-rengek kepadanya! Biarlah aku mengadu jiwa dengan dia!" Jai-hwa Toat-beng-kwi berteriak. Tanpa membuang waktu lagi iblis cabul itu lalu mengayunkan pipa tembakaunya. Begitu deras ayunan pipa tersebut sehingga serbuk api tampak berhamburan keluar dari tempat tembakaunya.

   "Wuuuutt!!!" Chin Yang Kun cepat menundukkan kepalanya, lalu bergegas berputar ke arah kiri, sehingga serangan itu lewat diatas kepalanya. Selanjutnya pemuda itu membalas pula dengan pukulan lurus ke arah ketiak lawan. Angin dingin terasa menyembur dari kepalan tangan tersebut. Iblis cabul itu terkejut juga melihat kegesitan dan ketangkasan Chin Yang Kun! Justru dia sendirilah kini yang berbalik terancam oleh serangan lawan. Tak ada kesempatan baginya untuk menangkis atau mengelak! Satu-satunya jalan hanya mengadu nyawa seperti yang telah dikatakannya tadi!

   Dengan ibu jarinya iblis cabul itu menekan pipa tembakaunya sehingga melengkung. Tiba-tiba asap tebal tampak menyembur keluar dari ujung pipa, tepat ke arah muka Chin Yang Kun. Hebatnya, bersamaan dengan semburan asap itu melesat pula puluhan batang jarum lembut sebesar rambut! Serangan asap dan jarum itu benar-benar tidak terduga dan sangat mendadak pula, sehingga mereka sama-sama terpojok dan tidak bisa mengelak lagi. Tentu saja siasat mengadu nyawa itu sungguh sangat mengejutkan Chin Yang Kun. Bagaimanapun juga pemuda itu tidak ingin bertukar nyawa dengan iblis cabul itu. Maka hanya dengan mempergunakan sedikit kesempatan yang tersisa, Chin Yang Kun berusaha membagi tenaga saktinya. Sebagian untuk bertahan terhadap serangan asap dan jarum itu, sebagian lagi tetap untuk menyerang ketiak lawannya!

   "Wuuuuttttt!"

   "Dhiesssss!" Jai-hwa Toat-beng-kwi terlempar jauh ke kiri, sementara Chin Yang Kun juga terjengkang ke belakang. Dan keduanya juga segera bangkit berdiri kembali. Chin Yang Kun beberapa kali mengusap kulit mukanya untuk mengambil jarum-jarum yang menempel pada kulitnya, dan Jai-hwa Toat-beng-kwi tampak meringis kesakitan sambil memegangi lengan kanannya yang lumpuh sebatas bahunya.

   "Gila! Tampaknya kau benar-benar ingin mati bersama aku, yaa...? Tapi kau jangan buru-buru bergembira dahulu! Lihatlah! Jarum-jarummu tidak ada yang dapat menembus kulitku..." Chin Yang Kun mengejek sambil memperlihatkan jarum-jarum yang tadi menempel pada kulit mukanya. Jai-hwa Toat-beng-kwi terbelalak kagum. Tapi dilain saat iblis itu lalu tersenyum lagi.

   "Tapi engkau sendiripun juga jangan buru-buru bergembira pula. Jarum-jarum itu memang tidak bisa melukai kulitmu, tetapi jangan lupa bahwa asap yang menyertai jarum-jarum tadi telah terlanjur mengenai kulit mukamu. Malah kalau tak salah kau juga telah menghisapnya pula. Dan semua itu berarti kau telah terkena racun Bunga Karangku. Nyawamu tinggal beberapa saat saja lagi, hehehe...!"

   "Hei, begitukah...? Kalau demikian sebelum mati aku harus membunuhmu dahulu, hahaha...!" pemuda yang kini sudah menyadari betapa dirinya telah kebal racun itu tertawa. Dengan cepat kedua tangannya segera menyerang Jai-hwa Toat-beng-kwi kembali. Tapi sekali ini kawan-kawan iblis cabul tersebut tidak tinggal diam lagi. Begitu melihat Jai-hwa Toat-beng-kwi diserang Chin Yang Kun, Pendekar Li dan Pek-pi Siau-kwi cepat-cepat membantunya. Pendekar Li dengan pedang tujuh bintangnya segera menebas lengan Chin Yang Kun, sementara Pek-pi Siau-kwi menusuk ke arah pinggang dan punggung pemuda itu.

   "Kurang ajar...! Mengapa kau menyia-nyiakan waktu yang kuberikan kepadamu? Ataukah kau juga ingin mati sekarang saja?" Chin Yang Kun terpaksa mengurungkan serangannya dan berteriak ke arah Pendekar Li.

   "Sudah kukatakan, tiada gunanya aku membalas dendam tanpa adanya teman-temanku ini. Oleh karena itu engkau saja yang memilih, kau lepaskan saja teman-temanku ini, atau kau bunuh aku sekalian bersama mereka!" Pendekar Li berteriak pula menyatakan rasa setia kawannya. Seperti juga teman-temannya, Pendekar Li itu juga percaya bahwa Chin Yang Kun tentu akan segera terkena pengaruh racun yang disemburkan oleh Jai-hwa Toat-beng-kwi melalui pipa tembakaunya tadi. Jadi, asal mereka bisa bertahan beberapa saat saja, pemuda itu tentu akan roboh dengan sendirinya. Dengan keyakinan seperti itulah ketiga orang sekawan itu lalu menyerang dan mengeroyok Chin Yang Kun mati-matian.

   Mereka bertiga berharap bahwa dengan pengerahan tenaga yang berlebihan, pemuda itu akan semakin cepat terpengaruh oleh daya kerja racun Batu Karang Jai-hwa Toat-beng-kwi. Sebaliknya, desakan dan serangan yang bertubi-tubi dari lawan-lawannya itu membuat Chin Yang Kun semakin menjadi marah bukan main! Pikirannya menjadi gelap, darahnya seolah-olah mau mendidih! Dan akibatnya benar-benar sangat menggiriskan ketiga orang lawannya! Bukan saja racun yang mereka andalkan itu tidak kunjung merobohkan Chin Yang Kun, tapi pengaruh racun yang mereka nanti-nantikan itu seolah-olah memang tidak ada khasiatnya sama sekali. Maka ketiga orang itu mulai menjadi gemetar dan ketakutan. Dengan sekuat tenaga mereka bertahan dan menyerang Chin Yang Kun bersama seluruh kemampuan yang mereka punyai.

   Pedang tujuh bintangnya Pendekar Li itu tampak berkelebatan kesana kemari, bagaikan bianglala yang menari-nari di angkasa sementara batu permata yang menempel pada batang pedang itu tampak berkeredepan seperti bintang-bintangnya. Sedangkan Jai-hwa Toat-beng-kwi, meskipun lengan kanannya lumpuh, ternyata juga tidak kalah garangnya. Pipa tembakaunya yang panjang itu tampak melayang-layang pula mencari sasaran. Dan bila sekali waktu pipa yang penuh tembakau menyala itu tertangkap oleh lengan Chin Yang Kun, bunga api akan segera memercik berhamburan kemana-mana. Iblis cabul itu ternyata dapat memainkan senjatanya itu dengan tangan kirinya pula. Dan hebatnya, tangan kiri itu ternyata juga sama tangkasnya dengan tangan kanan! Mungkin Cuma Pek-pi Siau-kwi saja yang daya tempurnya tidak begitu hebat dan garang!

   Sebagai seorang wanita, gaya ilmu silatnya memang lain sekali bila dibandingkan dengan kedua teman prianya. Gerakan tangan dan tubuhnya tampak halus serta lemah gemulai. Meskipun demikian pengaruh dari serangan-serangannya ternyata juga tidak kalah berbahayanya bila dibandingkan dengan yang lain-lain. Ilmu silat wanita itu ternyata banyak bertumpu pada tipu muslihat dan gerakan-gerakan semu yang mengandung perangkap yang mematikan! Demikianlah, pertempuran satu lawan tiga itu benar-benar sangat seru dan menegangkan. Kamar atau ruangan yang tidak begitu luas itu sudah menjadi porak poranda serta hancur berantakan. Suara pertempuran tersebut terdengar sampai jauh di luar rumah besar itu, sehingga penduduk yang tinggal di dekat rumah itupun semakin ketakutan dibuatnya.

   "Ihhh... ribut benar! Suara apakah itu?" Ko Tiang dan Jiu Kok yang bersembunyi tidak jauh dari rumah itu saling berbisik satu sama lain.

   "Ahh... apalagi kalau bukan suara para penjahat itu di dalam menghajar si Anak Pangeran yang mau menyombongkan keberaniannya itu?"

   "Huh... kasihan juga anak itu! Dikiranya ia masih mempunyai kekuasaan untuk menakut-nakuti orang seperti dahulu." Sementara itu pertempuran di dalam rumah itu semakin lama semakin sengit juga! Tampaknya ketiga orang itu sudah menyadari bahwa racun yang dilepaskan oleh Jai-hwa Toat-beng-kwi tadi sudah tidak dapat mereka harapkan lagi. Tampaknya racun itu benar-benar tak berpengaruh apa-apa terhadap lawan mereka yang masih muda itu. Oleh karena itu mereka harus benar-benar mengerahkan seluruh kemampuan mereka masing-masing.

   Dan hal itu memang sungguh sungguh mereka lakukan! Demi kelangsungan hidup mereka bertiga! Jit-seng-kiam (Pedang Tujuh Bintang) yang berada di tangan Pendekar Li itu bergetar dengan hebat seolah-olah sedang digerakkan dalam hembusan badai yang maha dahsyat. Ujungnya yang runcing itu bagaikan menyala di dalam keremangan ruangan itu. Sedangkan hun-cwe atau pipa tembakau Jai-hwa Toatbeng-kwi juga bergerak tak kalah ganasnya dengan pedang itu. Di dalam kegelisahannya iblis cabul itu benar-benar mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Beberapa kali di dalam kesempatan yang baik, pipa tersebut menyemburkan asap ataupun jarum-jarum beracun. Sementara itu, sebagai orang yang berilmu paling rendah, Pek-pi Siau-kwi juga berusaha dengan sekuat tenaga untuk membantu pertahanan atau serangan kedua orang kawannya.

   Dengan pedangnya yang tidak begitu panjang wanita itu selalu mencari lobang kelemahan Chin Yang Kun, sehingga bagaimanapun juga pemuda itu menjadi sibuk pula untuk melayani musuh-musuhnya. Celakanya, Chin Yang Kun sendiri tidak membawa senjata untuk melayani mereka. Sejak dari awal pertempuran pemuda itu cuma mengandalkan kedua belah tangannya saja. Dengan Hok-te Ciang-hoatnya pemuda itu berusaha mencari lobang diantara hujan senjata yang melanda dirinya. Untunglah pemuda itu memiliki sinkang yang maha dahsyat sehingga bisa untuk melindungi dirinya. Beberapa kali pemuda itu sengaja membiarkan pedang Pek-pi Siau-kwi menyabet atau menggores tubuhnya, sementara pemuda itu tetap meneruskan serangannya kepada lawannya yang lain.

   "Gila! Pemuda ini tak bisa kulukai dengan pedangku...!" Pek-pi Siau-kwi menjerit penasaran.

   "Bocah ini memang telah kerasukan iblis! Racunkupun tak ada yang mempan terhadap tubuhnya!" Jai-hwa Toat-beng-kwi juga berteriak pula.

   "Kalau begitu serang saja bagian-bagian tubuhnya yang lemah! Atau... tusukkan senjata kalian pada jalan darahnya yang penting!" Pendekar Li berseru memperingatkan kawan-kawannya.

   "Baik...!" Jai-hwa Toat-beng-kwi dan Pek-pi Siau-kwi menyahut. Demikianlah, ketiga orang itu lalu menujukan serangan mereka ke arah bagian-bagian tubuh Chin Yang Kun yang lemah. Dengan kerja sama yang rapi mereka menyerang ubun-ubun, pelipis, mata, ulu hati dan bagian bawah perut Chin Yang Kun. Dan perubahan itu memang benar-benar menyulitkan Chin Yang Kun. Dengan kedua buah tangan kosongnya pemuda itu tak mungkin bisa melindungi semua tempat-tempat yang berbahaya itu.

   "Kurang ajar...! Kalian memang benar-benar membuatku marah! Awaaaaas!" Chin Yang Kun menggeram keras dan tiba-tiba tubuhnya melesat keluar dari arena pertempuran. Dan selagi lawan lawannya masih dalam keadaan kaget dan bingung melihat ulahnya, Chin Yang Kun cepat mengerahkan seluruh tenaga sakti Liong-cu I-kangnya, dan bersiap-siap untuk mengeluarkan Kim-coa ih-hoatnya!

   Sekejap kemudian terdengar suara desis ular marah dari mulut Chin Yang Kun, dan perlahan-lahan di dalam ruangan itu berhembus udara yang sangat dingin menggigilkan. Tentu saja perubahan udara yang sangat mendadak itu semakin merisaukan dan membingungkan ketiga orang lawan pemuda itu. Apalagi ketika mereka melihat tatapan mata Chin Yang Kun yang mencorong menakutkan itu, tanpa terasa bulu roma mereka tiba-tiba berdiri. Ketiga-tiganya merasakan firasat yang tidak baik. Dan seperti sudah berunding sebelumnya, ketiga orang itu sama-sama memutuskan untuk cepat-cepat melarikan diri dari pemuda yang sangat mengerikan itu! Dan seperti ada yang memberi komando pula, ketiga-tiganya melesat ke arah pintu keluar dengan berbareng!

   "Berhentiiii...!" Chin Yang Kun berteriak mengguntur. Pemuda itu melangkah ke depan dengan cepat. Tangan kanannya meluncur ke samping, dan memanjang dua-tiga jengkal jauhnya, untuk memotong Iangkah Pendekar Li dan Pek-pi Siau-kwi, sementara lengan kirinya tampak menghantam ke depan, ke arah Jai-hwa Toat-beng kwi yang telah lolos dari jangkauan tangannya!

   "Eeit! Whusss!"

   "Bhlaaaar...!" Dengan wajah pucat serta mulut ternganga Pendekar Li dan Pek-pi Siau-kwi terpaksa meloncat mundur kembali. Keduanya menjadi "ngeri" menyaksikan lengan Chin Yang Kun. Sedangkan Jai-hwa Toat-bengkwi yang merasa telah memperoleh jalan untuk melarikan diri dari ruangan itu, tiba-tiba juga mengumpat dan membalikkan tubuhnya kembali. Mendadak saja iblis cabul itu merasakan hembusan angin dingin yang sangat dahsyat ke arah punggungnya. Dan ketika ia mengelak ke samping, pintu yang hendak ia terobos tadi tiba-tiba meledak dan runtuh dengan suara hiruk-pikuk!

   "Jangan mengharap kalian bisa lolos dari tanganku! Hayo... kita lanjutkan lagi pertempuran kita!" Chin Yang Kun yang dapat menggagalkan niat ketiga lawannya itu berseru lantang.

   "Perem...perempuan yang... yang kami culik itu berada di"di ruang bawah tanah!"saking takutnya Pek-pi Siau-kwi berkata dengan suara gemetar.

   "Bangsat! Bunuhlah kami kalau mampu!" Pendekar Li menjerit dan menyerang Chin Yang Kun kembali.

   "Betul! Ayoh... kita bertarung lagi!" Jai-hwa Toat-beng-kwi yang sudah mulai berputus-asa itu menyerang pula tanpa memperhitungkan keselamatan dirinya.

   Dan pertarungan hidup-mati itupun berlangsung kembali dengan serunya. Sekarang Pendekar Li dan Jai-hwa Toatbeng-kwi bertempur tanpa memperdulikan jiwanya lagi. Melihat jalan untuk meloloskan diri sudah tidak mungkin lagi, mereka benar-benar bertarung untuk mengadu jiwa. Dan sepak-terjang mereka memang dahsyat bukan main.

   Jilid 40
Tapi Chin Yang Kun di dalam puncak ilmunya memang sungguh-sungguh menggiriskan. Kulit tubuhnya yang sekarang seakan-akan telah berubah menjadi mengkilap kekuning-kuningan itu, benar-benar liat dan licin bagai kulit ular emas. Ketiga batang senjata lawannya itu tak satu pun yang mampu menggores kulit tersebut. Paling-paling ketiga buah senjata itu hanya bisa merobek atau merusakkan pakaian yang melekat pada tubuhnya.

   Maka sungguh tidak mengherankan bila sebentar saja ketiga orang itu telah menjadi repot bukan main. Anggota tubuh Chin Yang Kun yang bisa bergerak seenaknya sendiri itu benar-benar membuat mereka terkecoh habis-habisan. Hanya karena mereka itu berjumlah tiga orang saja, sehingga dapat saling membantu dan melindungi, membuat Chin Yang Kun tidak segera bisa mengalahkan mereka. Tapi keadaan itupun juga tidak dapat berlangsung lama. Sebuah tendangan untuk Pendekar Li dan dua buah pukulan beracun untuk Jai-hwa Toat-beng-kwi, membuat kedua orang itu terlempar menabrak dinding. Dan selanjutnya, hanya dengan sekali gebrakan saja Pek-pi Siau-kwi telah dapat diringkus oleh Chin Yang Kun pula.

   "Nah... lihatlah! Kedua orang temanmu sudah tak berdaya dan tinggal menunggu saat kematiannya saja! Sekarang marilah kau antar aku mengambil wanita yang kalian culik itu!" Chin Yang Kun menggeram sambil mencengkeram leher Pek-pi Siau-kwi.

   "Ja-jangan...! A-aku ti...tidak berani!" Pek-pi Siau-kwi yang ingat akan jebakan atau perangkapnya sendiri merintih ketakutan.

   "Kenapa tidak berani? Hah?"

   "Aku... oh, aku... aku..." Pek-pi tetap tidak berani berbicara tentang jebakan atau perangkap yang dipasangnya itu, takut Chin Yang Kun menjadi marah dan membunuhnya. Hanya jari telunjuknya saja yang teracung ke arah kamar samping.

   

Harta Karun Kerajaan Sung Eps 2 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 10 Darah Pendekar Eps 3

Cari Blog Ini