Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 6


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 6




   "Hahaha... Yang-hiante, jangan katakan kepadaku bahwa engkau adalah seorang yang takut hantu, hahaa""

   "Hehe" tidak, Liu Twako! Aku bukan seorang penakut! Jika aku takut, aku tentu tidak akan tetap tinggal di atas pembaringan ini, aku tentu telah lari keluar biar kakiku akan menjadi lumpuh sekalipun...! Liu Twako, aku justru malah mendengarkan dengan seksama, sehingga lama-kelamaan aku bisa menangkap seluruh isi lagunya."

   "Benarkah? Hahaha...hebat benar hantu itu, dapat memberi pelajaran menyanyi kepada seorang manusia, haha...Wah, macam apa pula, ya" lagunya? Tentunya tidak seperti nada-nada lagu pada musik buatan manusia macam kita ini, yaa"?" Perwira itu tertawa terpingkal-pingkal. Mereka berdua benar-benar sudah sangat akrab sekali sehingga biar baru satu bulan mereka bergaul, mereka berbicara seperti seorang kakak beradik saja, tanpa khawatir merasa tersinggung satu sama lainnya.

   "Twako, kau tentu tidak mempercayainya, bukan? kau tentu menganggap bahwa aku telah menjadi gila karena racun-racun itu, bukan?"

   "Benar, haha" Kun-te, kakakmu ini selama hidup belum pernah melihat hantu maka sedikitpun juga tidak percaya kalau di dunia ini ada hantu. Apalagi hantu yang mengajari manusia menyanyi... Kalau menurut pendapatku, apa yang telah terjadi kepadamu itu hanya disebabkan oleh daya khayalmu saja, saking lamanya engkau berbaring di sini. Padahal suara itu cuma suara angin bertiup atau suara binatang malam""

   "Tetapi, Twako""

   "Haha, Kun-te, sudahlah...! Aku dulu juga pernah mengalami peristiwa seperti yang kau alami ini... Tapi percayalah semua itu tidak benar, hanya khayalan kita sendiri saja!"

   "He? Liu Twako juga pernah mendengar hantu bernyanyi?"

   "Ah... Tidak hanya bernyanyi" tapi seolah-olah juga berdiri di hadapan saya... Hei, kenapa kita hanya berbicara soal hantu saja? Ayoh, kita berbincang mengenai soal yang lainnya...!"

   "Tunggu dulu...! Twako, kau berceritalah dahulu tentang hantu yang mengganggu dirimu itu, baru kita berbicara tentang soal-soal yang lain!"

   "Wah, engkau ini ada-ada saja. Aku sudah hampir melupakannya. Peristiwa itu terjadi ketika aku masih muda sekali, ah" kenapa kau tanyakan juga hal ini?"

   "Alaaa... Twako kenapa pelit amat? Ayolah ceritakan dulu, aku senang dengan cerita-cerita tentang hantu!"

   "Hmm, baiklah! Begini... 20 tahun yang lalu, aku adalah seorang anak petani di dusunku. Biarpun tidak kaya tetapi aku sekeluarga juga tidak kekurangan. Kami mempunyai kepala desa yang sangat kaya raya. Dia mempunyai seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Aku" aku dan gadis itu bersumpah untuk menjadi suami istri, apapun akibatnya" Tapi kepala desa itu ternyata tidak menyukai aku. Puterinya ditunangkan dengan seorang bangsawan dari Kotaraja. Sebelum perkawinan mereka dilangsungkan, kekasihku itu aku larikan dari rumahnya. Tentu saja calon suaminya mengejar bersama-sama dengan pasukan yang dibawanya. Kami tertangkap setelah melarikan diri selama 2 hari di tanah perbukitan. Aku disiksa sampai hampir mati" Kun-te, lihatlah! Luka-luka itu masih membekas hingga sekarang! Wajahku yang semula tampan juga menjadi codat-cedet di sana-sini, sehingga aku terpaksa memelihara kumis dan jenggot lebat untuk menutupinya."

   "Ah, Liu Twako" lambat benar, mana hantunya?" Yang kun memotong. Tak sabar hatinya mendengarkan penuturan sahabatnya yang berbelit-belit tak kunjung sampai di tujuan itu.

   "Katanya mau mendengar ceritaku..., bagaimana ini? Jadi tidak?" perwira itu tersenyum.

   "Iya"! Tapi mana hantunya? Masa dari tadi tidak muncul muncul juga?"

   "Wah... Ya belum sampai di situ ceritanya! Nanti kalau sudah sampai di situ, hantu itu tentu akan muncul juga."

   "Yaa... tapi kenapa berputar-putar begitu. Sampai tua aku mendengarkan tak muncul-muncul juga nantinya..."

   "Habis, bagaimana aku harus menceritakan kisah hantu ini kepadamu?"

   "Langsung ke sasarannya, dong! Tanpa embel-embel ini itu, terus bercerita tentang kedatangan hantu itu."

   "Wah, baiklah! Sekarang aku langsung saja bercerita tentang hantu itu. Dengarkanlah baik-baik!... Tiba-tiba hantu tersebut menyanyi di depan pembaringanku""

   "Lhoh! Kenapa terus begitu? Haha" repot... repot! Masa menuturkan suatu kisah demikian caranya, mana orang lain dapat mengerti maksudnya?"

   "Habis pendengarnya juga merepotkan benar! Begini salah begitu salah, Lalu harus bagaimana? Orang bercerita kan harus dari permulaan, tidak dipenggal-penggal. Kalau dipenggal-penggal, mana bisa dimengerti orang? Aneh benar kau ini!"

   "Baiklah" baiklah! Maafkan aku, aku memang tidak sabaran... hehe" tapi jangan marah, lho!" Kaisar Han menjadi heran pula hatinya. Kenapa hari ini ia begitu gembira seperti anak kecil saja? Kenapa senang benar bersahabat dengan anak muda ini? Ah, dunia ini memang sangat aneh! Dan Baginda tidak tahu apa yang menyebabkan hal itu semua...

   "Kun-te, bagaimana ini? Jadi bercerita tidak aku ini?" Yang Kun tertawa.

   "Haha" tak usahlah! Liu Twako, aku kasihan melihatmu! Hahaha...!" Kaisar Han juga tertawa terbahak-bahak, sehingga para pengawal yang berdiri di luar semakin merasa heran. Tidak biasanya Baginda itu tertawa demikian kerasnya. Tiba-tiba Yang Kun mengerutkan dahinya.

   "Liu Twako...Tapi aku tidak main-main dengan suara seruling yang aku ceritakan tadi. Sungguh! Aku benar-benar mendengarnya. kau dapat membuktikannya nanti malam..." katanya bersungguh-sungguh, sehingga Kaisar Han tidak mau berkelakar lagi.

   "Baiklah, aku nanti malam akan membuktikannya""

   Malam harinya... sejak matahari terbenam Yang Kun telah menjadi gelisah di dalam kamarnya. Ia ingin membuktikan bahwa ceritanya adalah benar, tapi ia takut jangan-jangan malam ini hantu itu tak mau meniup serulingnya lagi, apalagi mau bernyanyi seperti biasanya. Sahabatnya baru datang ketika menjelang tengah malam. Langsung saja sahabatnya berkemas-kemas membenahi tempat tidur yang satunya, lalu berbaring di atasnya.

   "Kun-te, kau bangunkan aku nanti kalau hantu yang kau katakan itu muncul di kamar ini! Sekarang aku mau tidur saja." Yang Kun hanya mengangguk, pikirannya tetap tegang menanti datangnya suara seruling itu. Akan dia tunjukkan kepada sahabatnya itu bahwa suara yang didengarnya itu benar-benar suara seruling, bukan suara angin malam yang bertiup seperti yang dikatakannya itu.

   Malam semakin larut. Suara yang dinanti-nantikan itu belum juga terdengar. Suasana benar-benar telah menjadi sangat sunyi, sehingga suara angin malam yang bertiup menerpa genting di atas kamar itu terdengar sangat nyata sekali. Ruangan kamar itu menjadi agak gelap karena lampu besar yang semula dipasang di atas meja telah diambil oleh penjaga, sehingga kini tinggal sebuah lampu teng kecil yang diletakkan di atas lantai di depan pintu masuk. Nyala apinya yang bergoyang-goyang gelap di dalam ruangan tersebut juga ikut berayun ayun. Yang Kun telah memusatkan seluruh perasaan hatinya kepada suasana di sekelilingnya, seperti yang selalu ia lakukan setiap hari apabila ia mendengarkan suara seruling itu. Karena hanya perasaan hatinyalah yang dulu pertama tama dapat membedakan suara seruling itu dari suara-suara lembut yang lain.

   Baru setelah dalam beberapa hari ia telah terbiasa dengan suara itu, ia berusaha mendengarkannya dengan seksama seluruh irama dan pantunnya. Dan ternyata ia telah berhasil menangkap keseluruhan dari lagu itu. Ternyata sama sekali tidak disadari oleh Yang Kun bahwa dia telah mempelajari sebuah ilmu silat tingkat tertinggi yang biasanya hanya didapatkan pada orang-orang yang telah mencapai tingkat kesempurnaan saja, yaitu ilmu yang biasa disebut orang dengan nama Lin-cui Sui-hoat (Ilmu Tidur di Atas Permukaan Air). Sebuah ilmu yang didasarkan pada ketajaman perasaan dan kesempurnaan panca-indera manusia, sehingga apabila hal itu telah dipelajari dengan sempurna akan mengakibatkan seseorang bisa mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya.

   Yang Kun semakin tenggelam di dalam pemusatan pikiran dan perasaannya, sehingga tubuhnya yang terbaring lurus dengan mata tertutup itu tampak seperti mayat saja. Tetapi apa yang terjadi pada diri Yang Kun pada saat itu benar-benar suatu yang sangat mentakjubkan, apalagi untuk orang yang seumur dia! Ternyata dengan apa yang kini sedang dilakukan olehnya, Yang Kun sudah mampu membedakan sebuah suara, betapapun lembutnya, di antara riuhnya suara-suara lembut yang lain. Yang Kun sudah dapat membedakan antara suara desir angin lembut yang menghembus di atas genting dan suara desir angin yang menerobos celah-celah lubang angin di atas pembaringannya.

   Yang Kun juga sudah mampu membedakan suara masing-masing nyamuk yang pada malam itu banyak beterbangan mengerumuni dirinya. Malah pada akhirnya pemuda itu sudah mampu membedakan suara nyamuk jantan dan suara nyamuk betina. Lebih hebat lagi ketika pemuda itu dengan ketajaman perasaannya mampu melihat tanpa membuka kelopak matanya, bahwa perwira sahabatnya itu sedang memperhatikan dirinya dari tempat pembaringannya. Tiba-tiba Yang Kun merasa ada sebuah desiran suara yang lembut, yang sangat dikenalnya, diantara desiran lembut angin lalu. Suara itu mengalun tinggi rendah membentuk sebuah sebuah irama lagu yang amat dikenalnya pula. Tak terasa bibirnya bergumam mengikuti lagu tersebut dengan pantun yang telah dihapalnya pula di luar kepala.

   Sinar Bulan di antara bintang,
Membasahi padang di antara ilalang,
Hamparan perak luas membentang,
Alas tidur menentang awan.

   "Kun-te" kau... kau berkata apa?" perwira itu terbangun dari pembaringannya. Yang Kun cepat menempelkan jari telunjuk pada bibirnya.

   "Toa-ko... dengarlah! Suara seruling itu sudah terdengar... coba kau dengar dengan seksama, bukanlah suara itu ada di dalam kamar ini?" Kaisar Han yang kini mengaku sebagai perwira itu berusaha mendengarkan pula, tapi meski sampai lelah ia menyaring nyaring semua suara yang terdengar oleh telinganya, toh suara seruling yang dikatakan sahabatnya itu tak kunjung kedengaran juga. Kedua belah telinganya hanya mampu mendengar suara denging nyamuk-nyamuk yang beterbangan di dalam kamar itu.

   "Ha-ha" Kun-te, aku benar-benar tidak dapat mendengar apa-apa," akhirnya Kaisar Han menyerah. Seakan-akan bahwa hantu itu masuk ke dalam tanah melalui celah ini...!" Kaisar Han bergurau.

   "Celah" celah apakah itu? Hei, kenapa rumahmu yang bagus ini sudah mulai retak?" Kaisar Han menjawab dengan hati-hati, karena setiap pertanyaan yang menyinggung persoalan pribadi, Baginda harus mengingat penyamarannya.

   "Kun-te, rumah ini bukan rumahku. Oleh karena aku belum berkeluarga, maka Baginda Kaisar belum berkenan memberi aku sebuah rumah. Aku hanya diperkenankan menempati salah sebuah ruangan di kompleks istana ini. Itupun hanya khusus untuk diriku saja, karena aku adalah perwira pengawal kepercayaan Kaisar. Jadi ruangan ini adalah sebagian dari bangunan istana yang sudah berumur hampir seratus tahun, sehingga seperti yang kau lihat, lantai ini telah merekah saking tuanya. Selain itu, konon menurut para ahli, tepat di bawah bangunan istana ini mengalir sebuah sungai di bawah tanah, sehingga hal ini pula yang menyebabkan bangunan di dalam istana ini mudah retak."

   "Hei?!?... Jadi bangunan ini adalah bangunan istana Kaisar di Kotaraja itu?" pemuda itu kaget sekali. "Kenapa aku dulu tidak melihat pintu gerbangnya ketika kita memasuki halaman istana ini?"

   "Kita lewat pintu samping pada saat itu. Tapi meskipun lewat pintu gerbang depan, kau juga tidak mengetahuinya, karena kau selalu berbaring saja di dalam kereta. Lagi pula lewat pintu samping lebih dekat dari pada lewat pintu gerbang depan atau belakang."

   "Pintu gerbang belakang? Adakah pintu gerbang belakang itu?"

   "Dahulu memang tidak ada. Di tempat itu hanya ada sebuah pintu kecil untuk lewat para pengawal seperti halnya dua buah pintu kecil yang dibangun pada kedua belah tembok sampingnya. Tapi sejak dibangun kembali dari keruntuhan akibat adanya gempa bumi besar pada kira-kira seratus tahun yang lalu, pintu belakang tersebut dibuat menjadi besar dan megah seperti yang terdapat di bagian depan. Pembaharuan seperti yang terdapat di bagian depan. Pembaharuan ini dimaksudkan agar supaya Baginda lebih mudah menemui tamunya apabila kebetulan Baginda sedang berada di istana bagian belakang. Sebab dengan terjadinya gempa itu mengakibatkan suatu tanah retak yang membelah istana bagian tengah dan istana bagian belakang. Tanah retak yang memisahkan kedua buah bagian istana itu sedemikian lebar dan dalamnya sehingga tidak bisa dibangun sebuah jembatan di atasnya""

   "Lalu bagaimana harus menyeberanginya?" Yang Kun bertanya. Pemuda ini memang seorang keturunan bangsawan, justru keturunan Kaisar Chin sendiri malah. Tetapi karena mendiang ayahnya cuma seorang keturunan dari selir, maka beliau hampir tak pernah berada di dalam lingkungan istana. Apalagi pemuda itu sendiri, sejak kecil selalu berada bersama ibunya di desa.

   "Memakai perahu!" Kaisar Han menjawab. "Celah yang lebar dan dalam itu digenangi air di bawahnya. Sehingga" wah, Kun-te" lebih baik kuantar saja engkau melihatnya besok. Percayalah, suasananya malah menjadi lebih indah bukan main!"

   "Terima kasih, Liu Twako! Aku memang ingin sekali melihatnya."

   "Nah, marilah kita tidur sekarang! Lupakan saja hantumu itu!" Kaisar Han berkata.

   "Liu Twako, Tunggu...! Engkau tentu masih menganggap aku berbohong dan berkhayal tentang suara nyanyian itu... Benar, bukan? Tapi percayalah "Twako" aku tidak berbohong, aku bersungguh-sungguh! Nah, sekarang dengarlah! Aku mendengar seseorang berlari melintasi halaman. Ginkangnya sangat tinggi dan gerakannya sangat gesit sehingga tidak seorangpun penjaga yang melihatnya..."

   "Kun-te, apa katamu? ada orang berlari melintasi halaman? Kenapa aku tidak mendengarnya?" Kaisar Han beranjak dari pembaringannya, lalu berusaha mendekati Yang Kun. Dengan bersungguh-sungguh Baginda berusaha mendengarkan suara tersebut, tapi ternyata sedikitpun beliau tidak mendengarkan sama sekali. Wah, dia tentu kumat lagi, pikir Kaisar Han.

   "Liu Twako, cepatlah kau keluar! Orang itu kini bersembunyi di balik rumpun bambu kuning di depan istana ini!" Yang Kun berbisik dengan tegang.

   Kaisar Han terpaksa keluar pula dengan hati-hati, agar tidak terlalu menyakiti hati sahabatnya. Sambil lalu dia melemparkan sepatunya ke arah rumpun bambu itu. Tapi betapa terkejutnya Baginda ketika sepatu itu tiba-tiba membalik ke arahnya kembali dengan kecepatan yang bukan main hebatnya. Otomatis Baginda mengelak ke samping sehingga tubuh Baginda menabrak daun pintu. Sepatu tersebut meluncur lewat hanya satu dim dari pipi Baginda dan menghantam tembok hingga melesak ke dalam. Untuk sekejap Kaisar melihat sesosok bayangan melayang meninggalkan rumpun bambu itu menuju ke gedung sebelahnya, gerakannya cepat sekali. Kaisar Han bersuit nyaring untuk memanggil para penjaga, lalu sambil mencabut pedang Baginda mengejar bayangan mencurigakan tersebut.

   Gedung itu adalah gedung perpustakaan tempat Baginda biasa membaca dan menulis, maka tentu saja Baginda sangat hapal seluruh keadaan di tempat itu. Dengan hati-hati Baginda membuka pintu samping yang menembus ke ruangan belakang tempat menyimpan buku. Dari tempat itu Baginda akan dapat mengawasi ke seluruh ruangan yang ada di dalam gedung tersebut melalui kisi-kisi yang terdapat di atas deretan almari buku. Sementara itu para penjaga yang mendengar suitan Baginda berbondong-bondong datang ke tempat itu. Merekacepat mengepung gedung itu dengan ketat sehingga tak mungkin seorang dapat lolos dari tempat tersebut tanpa mereka ketahui. Kepala penjaga yang bertugas memimpin pengepungan itu mengajak beberapa orang penjaga untuk memasuki gedung tersebut melalui pintu depan.

   Yang Kun yang belum berani meninggalkan tempat pembaringannya hanya dapat menunggu saja di kamarnya. Ia cuma dapat menerka-nerka saja apa yang terjadi di luar kamarnya sekarang. Agaknya ada seorang tokoh sakti datang ke tempat ini untuk berbuat jahat, buktinya orang itu datang dengan cara sembunyi sembunyi serta pada waktu tengah malam pula. Beberapa saat telah berlalu, tapi belum juga ada khabar tentang orang yang mencurigakan itu. Di luar masih terdengar ramai suara para penjaga yang mengepung tempat itu. Sinar obor mereka yang terang benderang tampak menerobos lubang angin dan lubang pintu yang jebol akibat senggolan perwira Liu tadi, sehingga kamar yang dihuni oleh pemuda itu ikut menjadi terang benderang pula.

   Beberapa waktu lagi telah berlalu pula. Yang Kun menjadi tegang pula hatinya. Rasa-rasanya ia ingin meloncat keluar juga untuk menyaksikannya. Tapi bila diingat kaki itu sudah hampir sembuh, pemuda itu terpaksa mengurungkan pula niatnya. Akhirnya Yang Kun memusatkan seluruh perasaan dan pikirannya kembali. Biarpun tidak dapat melihat keadaan di luar secara langsung dengan kedua buah matanya, pemuda itu ingin pula mengetahuinya melalui ketajaman rasa dan panca indera yang lain, seperti yang biasa ia lakukan apabila ia mendengarkan suara "hantu" itu. Mula-mula Yang Kun mendengar berpuluh-puluh suara langkah kaki dikamarnya. Menurut suara langkah kaki mereka yang meskipun hilir mudik tapi tidak pernah meninggalkan tempat itu, dapat diduga bahwa mereka sedang berjaga di tempat masing-masing.

   Dan apabila hal itu dihubungkan dengan peristiwa yang kini sedang terjadi, maka tidak salah lagi bahwa mereka kini sedang mengepung suatu tempat tertentu. Kemudian terdengar langkah beberapa orang di antara mereka menuju ke arah kanan. Lalu terdengar suara pintu dibuka secara perlahan. Agaknya beberapa orang dari para pengepung itu telah membuka sebuah pintu ruangan yang diperkirakan berisi penjahat itu. Tetapi beberapa saat kemudian terdengar lagi langkah mereka itu keluar dari tempat tersebut. Kini terdengar langkah mereka telah bertambah dengan satu orang lagi, dan Yang Kun telah mengenal langkah orang tersebut dengan baik. Orang yang telah dikenal langkahnya dengan baik oleh Yang Kun itu terus menuju ke kamarnya dan tak lama kemudian muncullah "perwira" sahabatnya itu di hadapannya.

   "Engkau tidak menemukan orang itu, Liu Twako?" tanya Yang Kun kepada sahabatnya itu. Kaisar Han menggelengkan kepalanya.

   "Heran! Tempat itu telah dikepung oleh seratus orang penjaga. Tidak mungkin rasanya apabila orang itu dapat meloloskan diri. Tapi orang itu benar-benar hilang lenyap tak ada bekasnya!"

   "Apakah sudah diperiksa semua tempat dengan teliti? Siapa tahu ada tempat rahasia di sana?" pemuda itu bertanya lagi.

   "Sudah! Sudah kuperintahkan untuk memeriksa di segala sudut-sudutnya, tapi orang itu tetap tidak dapat diketemukan. Dan rasa-rasanya juga tak ada jalan rahasia di tempat itu."

   "Benar-benar mengherankan kalau begitu... Masakan di dunia ini ada manusia yang dapat menghilang dari pandangan mata?"

   "Kun-te, kau tidurlah saja dahulu! Masih ada cukup waktu untuk meneruskan istirahatmu. Aku akan kembali ke tempatku untuk mengurus persoalan ini" Dan"" Kaisar Han menghentikan kata-katanya sebentar, lalu lanjutnya, "...Maafkan Twakomu ini! Sekarang aku mulai percaya pada kata-katamu tentang hantu itu. Agaknya memang telingaku yang tidak mampu mendengarkan suara-suara itu. Buktinya engkau dapat mendengar kedatangan penjahat itu, tapi aku yang telah kau beri tahu terlebih dulu juga tetap tidak dapat menangkap suara langkahnya." Tetapi hingga fajar mulai menyingsing Yang Kun tetap tidak dapat tidur. Banyak sekali persoalan yang memberati pikirannya. Baik mengenai persoalan tentang keluarganya serta tugas-tugas yang dibebankan oleh mendiang ayahnya maupun persoalan yang menimpa dirinya sendiri.

   "Haha... sudah bangun rupanya. Bagaimana keadaan kakimu, Yang-hiante!" tiba-tiba terdengar suara tabib yang setiap pagi menjenguknya.

   "Hei kenapa matamu merah sekali? Ahh... Tentu tak bisa tidur akibat gangguan penjahat yang tadi malam tadi, bukan?" Yang Kun terkejut.

   "Sinshe sudah mengetahui peristiwa yang terjadi di sini tadi malam?"

   "Haha... tentu saja sudah, karena aku singgah di tempat Liu-Ciangkun sebelum kemari tadi."

   "Benarkah? Lalu bagaimana akhirnya? siapakah penjahat yang datang itu? Dan apa pula maksud kedatangannya ke dalam istana ini?" Tabib itu meletakkan tas tempat peralatannya di bawah pembaringan Yang Kun, lalu tangannya meraih kedua kaki pemuda itu untuk melihat luka-lukanya yang telah mengering.

   "Liu-Ciangkun tetap belum mengetahui, siapakah sebenarnya tamu malam itu. Yang terang ilmu kepandaiannya benar-benar sangat tinggi. Menurut Liu-Ciangkun tiada seorangpun jagoan istana yang akan mampu menghadapi orang itu seandainya dia mau berkelahi dengan para penjaga. Liu-Ciangkun juga berkata kepadaku bahwa orang itu bermaksud membunuh Kaisar Han. Dengan kepandaiannya yang sangat tinggi orang itu mampu meloloskan diri dari pengawasan penjaga istana, sehingga tanpa mendapatkan kesukaran orang itu dapat memasuki kamar tidur Baginda. Untunglah malam ini Baginda tidak tidur di kamarnya."

   "Orang itu bermaksud membunuh Kaisar?" Yang Kun terkejut. Berani betul orang itu, pemuda itu membatin. Seorang diri memasuki gua macan! Padahal setiap orang mengetahui betul bahwa istana Kaisar merupakan tempat berkumpulnya orang-orang sakti dari seluruh pelosok negara. Tabib itu telah selesai memeriksa kedua kaki Yang Kun.

   "Besok pagi Yang-hiante telah dapat pulang ke desa, karena luka-luka ini telah sembuh seperti sedia kala," tabib itu memberi tahu.

   "Hah? Benarkah...?" Yang Kun berteriak gembira. "Sinshe, aku... aku..."
"Sudahlah, aku tahu Yang-hiante tentu akan mengucapkan rasa terima kasih kepadaku. Lupakanlah itu! Tapi Liu-Ciangkun telah memberi pesan kepadaku tadi, bahwa nanti malam dia akan mengajakmu berjalan-jalan di istana ini. Dia ingin menunjukkan seluruh keindahan istana ini kepada sahabatnya yang akan meninggalkan dia untuk selamalamanya...!"

   "Untuk selama-lamanya...? Ah, tidak demikian, sinshe! Aku bukan seorang yang mudah melupakan budi seseorang, apalagi orang tersebut adalah sahabatku...! Aku tentu akan sering mengunjunginya setiap saat!"

   "Nah, justru itulah yang sulit. Dalam keadaan biasa Yang-hiante akan sangat sulit untuk menemui Liu-Ciangkun, sebab selain Liu-Ciangkun itu merupakan seorang yang sangat penting di sini, Liu-Ciangkun itu juga jarang berada di istana. Dia sering mendapat tugas dari Kaisar Han untuk mengurus sesuatu di luar istana."

   "Benarkah...? Ah, kalau begitu pertemuanku nanti malam adalah pertemuanku dengan dia yang terakhir?" Yang Kun berdesah perlahan, tampak kedua buah matanya berkaca kaca. Pemuda itu merasa bahwa ia telah diselamatkan jiwanya oleh sahabatnya itu. Tanpa inisiatif Liu-Ciangkun untuk membawa dirinya kepada Chu Seng Kun yang ahli pengobatan itu niscaya dirinya telah mati di dalam penjara di bawah tanah tersebut. Maka di dalam kegembiraan hatinya saat ini ternyata ada terselip juga rasa sedih karena harus berpisah dengan sahabatnya.

   "Yang-hiante, aku akan kembali dahulu. Mungkin aku tidak dapat mengantarkanmu besok pagi. Kali ini kau harus lebih hati-hati di dalam petualanganmu selanjutnya! Selamat jalan!" tabib itu tersenyum sambil menenteng tasnya.

   "Terima kasih, sinshe!" Pemuda itu mengawasi punggung tabib tersebut sehingga lenyap di balik pintu, kemudian dengan menghela nafas panjang pemuda tersebut menatap ke arah langit-langit kamarnya kembali.

   Pikirannya melayang jauh meliwati atap kamarnya itu. Hmm, ternyata banyak juga orang yang mempunyai budi baik di samping para pembunuh yang rnembantai keluarganya. Sampai matahari hampir terbenam Yang Kun telah berusaha melatih kedua buah kakinya untuk .berjalan-jalan di dalam kamar itu. Kadang-kadang ia menjenguk keluar pintu. Tapi ia belum berani keluar karena terlihat olehnya para penjaga hilir mudik di sekitar tempat itu. Pemuda itu takut nanti terjadi kesalah-pahaman di antara mereka, biarpun dirinya adalah sahabat Liu Ciangkun. Ternyata bersamaan dengan datangnya seorang penjaga yang menyalakan lampu kamarnya, Liu Twako juga telah muncul di dalarn kamarnya. Dengan tersenyurn lebar sahabatnya itu menyalaminya.

   "Hahaha tabib itu sudah mengatakannya kepadamu, bukan? Kun-te, engkau tentu gembira sekali. Apalagi malam ini aku mengajakmu keliling istana ini untuk melihat-lihat keindahannya..." Yang Kun memaksa diri agar kelihatan bergembira pula di hadapan sahabatnya itu.

   "Terima kasih, Liu-Twako! Aku memang telah diperbolehkan pulang ke desaku besok pagi. Tentu saja aku benar-benar merasa gembira sekali... Tetapi... tetapi benarkah bahwa malam ini adalah malam terakhir dari persahabatan kita, Liu-Twako? Kata tabib itu engkau sangat sulit untuk ditemui pada hari biasa, benarkah itu? Bagaimana kalau aku merasa rindu dan pada suatu saat ingin bertemu denganmu lagi?"

   "Hei, kenapa hal itu kau risaukan benar? Bu-kankah tabib itu hanya bilang kalau aku "sulit" ditemui, dan itu tidak berarti bahwa aku "tidak dapat" ditemui, bukan? Nah, itu berarti bahwa aku masih dapat ditemui, hanya saja karena tugas-tugasku yang sering harus bepergian jauh itulah yang menyebabkan kita akan sukar sekali bertemu. Tapi kalau rnemang berjodoh, di manapun kita tentu dapat saling bertemu. Haha... kenapa hal yang demikian saja sangat memberati hatimu? Su-dahlah, jangan kau pikirkan lagi hal itu! Marilah kita keluar melihat-lihat keindahan suasana istana ini! Kebetulan juga bagi kita bahwa malam ini adalah malam bulan purnarna"

   Setelah berpikir sebentar akhirnya Yang Kun membenarkan pula ucapan sahabatnya itu. Memang benar, kenapa ia mesti susah-susah memikirkan semua itu? Kalau memang Thian menghendaki besok lusapun mungkin mereka telah dipertemukan lagi. Maka dengan tersenyum gembira Yang Kun turun dari pembaringannya.

   "Liu-Twako, engkau memang benar! Marilah kita pergi, aku telah siap mengikuti engkau!" katanya bersemangat.

   Jilid 05
Mereka berdua kemudian keluar bersama-sama dari kamar itu, sebuah kamar yang selama sebulan menjadi tempat pemondokan bagi Yang Kun. Di luar Yang Kun seakan-akan telah disongsong pula dengan meriah oleh taburan sinar cemerlang dari bulan purnama, yang saat itu dengan gencarnya sedang menerangi seluruh alam di sekitar mereka. Hati dan perasaan Yang Kunpun seakan-akan menjadi lapang pula, sehingga ingin rasanya dia menghirup udara sepuas puasnya.

   "Ooh... Twako, begitu indah rasanya dunia ini setelah aku keluar dari kungkungan kamarmu yang pengap itu!" serunya lega.

   "Kun-te, kau benar...! Coba kau lihatlah daun-daun yang bergoyang-goyang disentuh angin itu, kau lihat juga dahan dahan dan ranting-rantingnya yang mencuat ke sana ke mari di tempat yang tinggi itu, lalu kau pandanglah juga atap-atap bangunan yang menjulang ke langit itu...! Semuanya seakan-akan berlapiskan perak yang putih mengkilap ditimpa sinar purnama, bukan? Indah sekali...! Inipun belum seberapa indahnya. kau akan lebih terpesona lagi apabila kau nanti melihat jurang yang tergenang air di taman sebelah belakang istana ini."

   Mereka berjalan dengan perlahan-lahan mengitari halaman istana yang luas itu. Mereka melihat gedung perpustakaan, gedung tempat senjata, gedung tempat menjamu tamu, gedung tempat para puteri istana, gedung tempat kesenian dipertunjukkan dan gedung-gedung yang lain, yang semuanya adalah bangunan yang berukir-ukir sangat indah sekali. Dan agaknya perwira Liu sahabatnya tersebut memang orang yang sangat dihormati di istana itu, buktinya pemuda itu selalu melihat para penjaga, pengawal dan para dayang yang berpapasan dengan mereka tentu berdiri membungkuk dengan hormat sekali.

   "Twako, kau benar-benar sangat dihormati di istana ini. Agaknya kau benar-benar orang yang penting seperti yang dikatakan oleh sinshe itu." Yang Kun tersenyum. Kaisar Han tentu saja ikut tersenyum pula.

   "Apakah dengan demikian kau lalu tidak mau mengenalku lagi?" Baginda bertanya sambil merangkul pundak Yang Kun.

   "Ah, tentu saja tidak! Apapun kedudukan Liu Twako di sini tidak akan merubah pandangan maupun penghargaanku kepadamu. Biar engkau hanya seorang tukang sapu ataupun seorang Kaisar sekalipun, engkau tetap seorang yang pernah melepas budi kepadaku. Liu Twako tetap seorang yang menyelamatkan aku dari elmaut!"

   "Eh, Kun-te... benarkah kata-katamu itu? Bagaimana kalau pada suatu saat nanti kakakmu benar-benar menjadi Kaisar seperti kata-katamu tadi? Engkau juga masih tetap mau kenal denganku?" Kaisar Han bergurau, tetapi di dalam hati sebenarnya merasa berdebar-debar. Baginda merasa takut kalau kenyataan seperti itu akan merubah pandangan sahabat kecil yang telah disukainya seperti anak kandung sendiri itu.

   "Ha-ha-ha... Awas kau! Di sini bukan tempat bergurau seperti itu. Salah-salah engkau akan ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh kaki tangan Kaisar Han nanti!" Yang Kun tertawa mendengar kelakar Kaisar Han yang menyamar sebagai perwira she Liu itu. Tetapi dengan roman muka bersungguh-sungguh Kaisar Han menatap wajah Yang Kun.

   "Kun-te, aku tidak bergurau! Aku ingin mengetahui pendapatmu! Bagaimana seandainya seperti yang kukatakan itu benar-benar terjadi?"

   "Ah, Liu Twako... apakah engkau ingin memberontak kepada Kaisar Han?" Yang Kun berbisik kaget.
Lalu dengan dahi berkerut karena merasa heran atas tingkah laku sahabatnya itu, Yang Kun menjawab pertanyaan tersebut perlahan-lahan. Tetapi jawaban pemuda itu benar-benar bagai petir di siang hari bolong bagi telinga Kaisar Han.

   "Liu Twako, terus terang engkau tak cocok untuk menjadi Kaisar. Seorang Kaisar tulen haruslah seorang yang berhati keras dan kejam, selain kecakapan dan kebijaksanaan tentunya. Dan engkau adalah seorang yang berhati lemah lembut dan penuh kasih sayang, maka mana cocok kedudukan itu bagimu? Engkau takkan tega menghukum atau menyiksa lawan-lawanmu yang setiap saat tentu akan mengusik singgasana yang kau duduki! Tetapi meskipun demikian apabila engkau tetap juga ingin mengetahui pendapatku, jika pada suatu saat engkau benar-benar menjadi Kaisar seperti yang kau katakan itu, aku hanya akan selalu berdoa agar engkau cepat-cepat jatuh dari tempat singgasanamu dan kembali menjadi rakyat biasa bersama aku untuk menggarap sawah serta ladang di desaku!"

   "Kun-te...! Oh, cocok benar isi hatimu dengan apa yang kuinginkan selama ini! Hahaha" orang she Liu... orang she Liu! kau benar-benar menemukan seorang sahabat yang sungguh-sungguh cocok dengan isi hatimu... hahaha...! Kunte, aku sangat setuju pada apa yang baru saja kau katakan itu. Pada suatu saat apabila aku menjadi Kaisar dan pada suatu hari tiba-tiba engkau datang mengajakku ke desamu untuk bertani dan menggarap sawah" hahaha... kedudukan sebagai Kaisar itu kontan aku tinggalkan! Sungguh! hahaha...!" Kaisar Han tertawa terbahak-bahak saking senangnya, sehingga Yang Kun yang tidak mengetahui apa apa itu menjadi ketakutan apabila sampai terdengar oleh para pengawal Kaisar Han yang berada di sekitar tempat itu.

   "Kun-te... jangan takut! Bukankah aku orang penting di sini?" kata sahabatnya itu. "Aku akan selalu melindungimu dari siapapun juga, hahaha... Marilah kini kita pergi ke taman istana yang berada di bagian belakang sana...!" Ketika mereka lewat di samping gedung lian-bu-thia (ruangan untuk berlatih silat), Yang Kun mendengar suara denting senjata beradu. Otomatis mereka berhenti. Yang Kun menoleh ke arah pintu ruangan yang terbuka daun pintunya. Sekilas pandang ia melihat beberapa orang prajurit sedang berlatih silat dengan mempergunakan senjata.

   "Ah, mereka cuma pengawal-pengawal tingkat pertengahan. Kepandaian silatnya belum dapat dibanggakan. Lain halnya dengan jagoan-jagoan istana yang tergabung dalam Sha-cap mi-wi, mereka rata-rata punya kesaktian setinggi ketua sebuah cabang persilatan!" Kaisar Han menerangkan.

   "Benarkah...? Hebat betul kalau begitu!"

   "Tentu saja aku mengatakan yang sebenarnya kepadamu. Coba pada waktu penggerebegan di rumah Si Ciangkun terhadap penjahat-penjahat yang berkepandaian tinggi itu kita langsung menurunkan jago jago dari Sha-cap mi-wi itu... hehe, kukira tak seorangpun dari para penjahat tersebut yang mampu untuk meloloskan diri!"

   "Kalau begitu kenapa kemarin malam tak seorangpun dari anggota Sha-cap mi-wi itu yang keluar untuk membekuk penjahat yang lenyap menghilang itu?"

   "Soalnya pada saat ini tak ada seorangpun dari pasukan itu yang sedang berada di istana. Mereka tengah melaksanakan sebuah tugas yang diperintahkan oleh Kaisar Han."

   "Liu Twako, bolehkah aku melihat latihan mereka itu sebentar saja?"

   "Kenapa tidak boleh? Marilah...!" Mereka berdua memasuki lian-bu-thia itu. Beberapa orang yang berada di tepat itu tampak terkejut, sehingga dua orang yang sedang berlatihpun terpaksa menghentikan latihan mereka. Tetapi sebelum mereka berbuat sesuatu yang lain, perwira she Liu itu cepat menghardik mereka dengan suara nyaring berwibawa.

   "Jangan hiraukan aku! Teruskan latihan kalian, aku akan melihatnya!" Dengan agak takut mereka meneruskan latihan mereka kembali, sehingga Yang Kun benar-benar menjadi heran sekali, sahabatnya ini sungguh mempunyai wibawa yang hebat di dalam istana ini. Dua orang yang tadi berlatih berpasangan mempergunakan senjata pedang kini tampak saling berhadapan kembali. Keduanya saling serang menyerang dengan ilmu silat yang mereka peroleh dari perguruan mereka masing-masing sebelum mereka masuk menjadi pengawal istana. Yang bertubuh agak gemuk tampak bersilat dengan gaya Hok-kian, sementara lawannya yang bertubuh jangkung agaknya datang dari daerah Se-hek di Sin-kiang.

   Keduanya mempunyai gaya silat yang sangat berlainan sekali. Agaknya mereka memang bermaksud untuk saling bertukar pikiran tentang ilmu silat masing-masing. Biarpun bertubuh agak gemuk ternyata orang yang datang dari Hok-kian tersebut bersilat dengan gerakan yang sangat cepat dan tangkas, ginkangnyapun sangat lumayan. Dia berputar-putar pergi datang mengelilingi lawannya yang selalu berusaha mendekatinya. Memang, seperti kebiasaan ilmu silat dari daerah barat yang dipengaruhi oleh gaya gulat, ilmu pedang dari orang Se-hek itupun dititikberatkan pada pertempuran dalam jarak dekat. Itulah sebabnya mengapa pedang yang dipegangnya juga tidak sepanjang pedang lawannya yang datang dari Hok-kian tersebut.

   "Kun-te, bagaimana menurut penilaianmu tentang ilmu silat kedua orang ini?" Baginda bertanya kepada Yang Kun. Kaisar Han ingin menjajaki ilmu kepandaian sahabat mudanya yang ia dengar hanya seorang murid dari guru silat desa saja itu. Baginya juga ingin mengetahui keadaan yang sesungguhnya, benarkah seorang pemuda yang mampu mengalahkan dirinya dalam hal ketajaman panca-indera itu, benar-benar hanya seorang murid dari guru silat desa saja?

   "Ah, Liu-Twako..., bukankah engkau sendiri yang mengatakan kepadaku bahwa akibat dari kedua buah racun yang menyerang diriku itu, aku kini sudah tidak berguna lagi? Lweekangku sudah lenyap sama sekali, mana ada muka lagi bagiku untuk berbicara tentang ilmu silat?"

   "Benar" tetapi bukankah hanya lweekangmu saja yang hilang? Bukankah ilmu silatmu masih engkau kuasai dengan baik? Engkau masih dapat bersilat dengan tangkas seperti semula, biarpun hanya berdasarkan pada tenaga gwakang saja. Jadi asal tidak menghadapi seorang ahli lweekeh saja engkau masih bisa mendapatkan kemenangan!" Kaisar Han menerangkan.

   Yang Kun termenung mengawasi pertempuran kedua orang prajurit pengawal itu. Memang, meskipun ia tidak punya lweekang lagi, tapi ia masih dapat melihat dengan jelas mutu ilmu silat kedua orang tersebut. Dan iapun tahu setelah sekian lama ia melihatnya bahwa meskipun orang Hokkian itu kelihatan lebih gesit dan tangkas dari pada lawannya tetapi pertahannya ternyata tidak begitu kuat. Berbeda dengan Se-hek tersebut, biarpun kelihatan lamban dan pasif tapi ilmunya benar-benar ulet dan tangguh. Sehingga di dalam pertempuran yang bersungguh-sungguh orang Hok-kian itu tentu akan kalah. Ketika Yang Kun dengan perlahan-lahan mengutarakan pendapatnya tentang kedua macam ilmu silat mereka itu, Kaisar Han cepat menepuk-nepuk pundak si pemuda dengan gembira sekali.

   "Bagus! Bagus! kau ternyata bermata awas sekali. Akupun berpendapat begitu. Kun-te ternyata kau benar-benar lihai sekali!" kata Baginda keras-keras. Lalu tangannya cepat menghentikan pertempuran mereka.

   "Pengawal! Mumpung Yang-hiante sahabatku, ada di tempat ini, ayoh... kalian mintalah pelajaran kepadanya!" Yang Kun menjadi kaget setengah mati. Tapi sebelum ia mampu berkata-kata para prajurit pengawal tersebut telah menjura kepadanya.

   "Yang siauw-ya, perkenankanlah kami belajar satu-dua jurus gerakan dari tuan." Yang Kun memandang sahabatnya dengan bengong, tapi Baginda sendiri seakan-akan tidak mengetahui. Baginda justru melangkah ke tepi untuk memberi tempat kepada mereka.

   "Kun-te, kasihanilah mereka! Berilah sedikit pelajaran agar mereka mereka puas di dalam hatinya!" Terpaksa pemuda itu menghadapi kedua orang pengawal itu. Hatinya menjadi ragu-ragu, bagaimana ia harus melayani mereka itu? Dapatkah ia hanya mengandalkan jurus-jurus ilmu silatnya saja, tanpa dilandasi dengan lweekang sama sekali? Masakan ia mampu mengelak saja terus-terusan tanpa sekali-sekali mengadu kepalan atau lengan, yang berarti ia harus mengadu tenaga? Tetapi Yang Kun tidak mempunyai waktu lagi untuk melamun.

   Kedua orang itu telah meletakkan senjata mereka dan kini telah bersiap-siap di hadapannya. Maka agar jangan mengecewakan mereka, Yang Kun cepat memasang kuda-kuda. Dengan berteriak keras kedua orang itu menyerang dari kanan dan kiri. Semuanya mengarah ke pinggang Yang Kun. Dalam keadaan masih mempunyai lweekang, Yang Kun tentu memilih untuk menangkis serangan itu, sehingga ia akan lebih mudah untuk menyerang mereka kembali. Tapi karena ia tak berani beradu tenaga, terpaksa pemuda itu meloncat kebelakang. Dan dari tempat itu baru dia menyerang balik kedua lawannya dengan tendangan berantainya. Sekarang ganti kedua orang pengawal itulah yang meloncat mundur. Tetapi mereka meloncat ke belakang sambil memisahkan diri ke kiri dan ke kanan, sehingga akhirnya Yang Kun menjadi terkepung di antara mereka berdua.

   Untuk sesaat mereka bertiga hanya berdiri diam saling mengukur kekuatan lawan. Tetapi beberapa saat kemudian mereka telah terlihat lagi di dalam tertempuran yang seru. Yang Kun yang telah kehilangan seluruh kekuatan lweekangnya ternyata masih mampu juga bergerak dengan tangkas melayani kedua orang lawannya, biarpun setiap kali ia harus menghindari adu tenaga dengan mereka. Yang kun dengan gesit menyerang pada bagian-bagian yang berbahaya dari kedua orang lawannya, karena hanya dengan berbuat begitu ia akan mampu merobohkan lawannya. Maka dengan sangat hati-hati Yang Kun memainkan Hok-te Ciang-hoat (Ilmu Pukulan Menaklukkan Bumi), yaitu ilmu silat tangan kosong andalan keluarga Chin di samping Hok-te To-Hoat (Ilmu Golok Menaklukkan Bumi).

   Hok-te Ciang-hoat diciptakan oleh cikal bakal raja-raja Chin dan terdiri dari 36 jurus. Setiap jurusnya terdiri pula dari beberapa gerakan rahasia yang sukar diduga oleh lawan. Seperti juga pada Ilmu Golok Hok-te To-Hoat, llmu Pukulan Hok-Te Ciang-Hoat ini berdasarkan pada kegesitan kaki dan kekuatan lengan. Semua jurus serangan yang ada di dalam Hok-te Ciang-hoat ini selalu mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan yang berbahaya. Pengawal yang berasal dari Hok-kian itu bergerak semakin gesit tetapi ternyata gerakan kaki Yang Kun masih tetap lebih cepat dari padanya, sehingga setiap usahanya untuk mencecar dan merangsak Yang Kun selalu gagal karena pemuda itu tentu melejit dengan cepat menghindarkan diri. Akhirnya justru dia sendirilah yang mengalami kesukaran ketika Yang Kun ganti membalas serangannya.

   Yang Kun yang mengetahui titik kelemahan lawan dalam pertahanannya, selalu mempergunakan setiap kesempatan yang diperolehnya. Untunglah prajurit pengawal yang ke dua, yang berasal dari Se-hek, selalu menolong temannya yang kerepotan itu. Tetapi dengan berbuat demikian lambat-laun kedua orang itu akhirnya jatuh di bawah angin. Kaisar Han yang memperhatikan cara bersilat Yang Kun sejak permulaan tetap belum dapat menebak dari aliran mana sahabatnya itu berasal. Melihat gerakan kakinya yang cepat dan gesit seperti orang menari mengingatkan Baginda pada gerakan seorang ahli silat pedang, tetapi bila melihat gerakan tangannya yang selalu bertumpu pada gerakan pinggang, mengingatkan Baginda pada gerakan seorang ahli silat tombak yang biarpun agak lamban tetapi terlihat kokoh dan kuat itu.

   Tetapi apabila dilihat dari gaya pukulan tangan dan jari-jarinya, Baginda menjadi teringat kepada seorang ahli kin-na-jiu (ilmu menangkap dan membanting). Sehingga akhirnya Baginda menjadi pusing dan bingung sendiri. Sementara itu pertempuran di antara ketiga orang itu telah hampir berakhir. Pemuda itu berhasil mengurung kedua orang lawannya. Beberapa kali serangannya berhasil menembus pertahanan lawan. Hanya karena serangan tersebut tidak disertai Lweekang yang kuat maka kedua lawannya masih bisa bertahan. Coba Yang Kun masih memiliki tenaga dalam seperti semula, mungkin kedua pengawal itu hanya dapat bertahan dalam beberapa jurus saja.

   "Tahan!" tiba-tiba Kaisar Han berseru. Yang Kun yang pada saat itu berhasil memasukkan sebuah serangan lagi ke dalam benteng pertahanan lawan, sehingga kedua ujung jari kanannya dapat menjepit tenggorokan salah seorang di antaranya, terpaksa melepaskan tangannya. Kedua orang lawannya itu juga segera meloncat mundur, lalu menjura kepada Yang Kun dan mengaku kalah.

   "Bagus! Bagus! Kun-te, engkau sungguh hebat sekali! Sekalipun tanpa lweekang ternyata engkau masih mampu mengalahkan kedua orang kepala pengawal Tu-shu-koan (Gedung Perpustakaan). Agaknya suhumu itu memang bukan orang sembarangan, sayang ketika bertemu dengan suhumu di ruang penjara bawah tanah itu aku tidak sekalian mengundangnya kemari." Kaisar Han berkata. Tiba-tiba seorang pengawal yang sedari tadi berada di pinggir arena tampak melangkah maju. Setelah berlutut di depan Kaisar Han, pengawal itu berdiri menjura ke arah Yang Kun.

   "Apabila diperkenankan siauwte juga ingin sekali meminta satu dua jurus pelajaran ilmu silat guna menambah pengetahuan siauwte di bidang permainan senjata." Yang Kun sekali lagi menjadi termangu-mangu. Kakinya baru saja sembuh dan dia tak ingin berkelahi sebenarnya. Tapi ketika ia menoleh ke arah sahabatnya, lagi-lagi sahabatnya itu seperti tak ambil peduli pada keadaan itu. Sahabatnya tersebut justru memberi peluang kepada mereka untuk melaksanakan niatnya itu.

   "Hahaha... Tio shao-ping rupanya (Pengawal Tio)! Bagus... engkau agaknya juga ingin mencoba kepandaian Yang Siauw-ya dalam hal bermain senjata. Tapi Tio shao-ping harus berhati-hati! Sahabatku ini bukan tandinganmu, senjata" ehh Kun-te, apakah senjata yang biasa kau pakai?" Kaisar Han bertanya kepada Yang Kun.

   "Liu Twako, aku... aku sebenarnya..."

   Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ah, Kun-te... kau tidak usah terlalu merendahkan dirimu. Kasihanilah mereka itu. Mereka ingin minta petunjuk dari sahabat pemimpinnya. Nah, apakah senjata yang biasa kau pakai?"

   "Aku... Aku... yah, baiklah! Tapi hanya satu kali ini saja lagi. Sebenarnya aku tidak ada nafsu untuk berkelahi pada saat ini. Liu Twako, aku dapat mempergunakan segala macam senjata, tapi senjata yang biasa aku bawa adalah sebuah golok."

   "haha... Kun-te, begitulah seharusnya engkau bersikap. Nah, pengawal" berilah Yang siauw-ya ini sebuah golok!" Kaisar Han berteriak ke arah para pengawal. "Nah, Kun-te... kau pun harus mengetahui, siapakah sebenarnya Tio shaoping ini. Dia adalah kepala regu pengawal Wu-chi-koan (Gudang Senjata)! Kedudukannya lebih tinggi dari pada kedua pengawal tadi. Kepandaiannya bermain tombakpun juga lebih membahayakan pula." Salah seorang pengawal menyerahkan sebuah golok besar kepada Yang Kun, sementar Tio shao-ping telah bersiap-siap pula dengan tombak pendeknya. Kedua orang itu kemudian saling berhadapan. Tio shao-ping sekali lagi memberi hormat kepada Yang Kun sebagai tanda bahwa ia sudah akan memulai serangannya! Lalu dengan sigap kepala pengawal Wu-chi-koan itu mendongakkan ujung tombaknya ke arah dada Yang Kun.

   "Hiyaaaat...!!" Bagaikan seekor ular berbisa, ujung tombak orang she Tio itu meluncur ke depan dengan cepat ke arah tenggorakan Yang Kun dalam jurus Sin-coa-chao-cu (Ular Sakti Mencari Mustika). Yang Kun terkejut juga! Ujung tombak orang itu tampak bergetar dengan dashyat, sebagai tanda bahwa serangan itu dibantu dengan dorongan lweekang yang kuat pula. Maka Yang Kun tidak berani main-main. Dalam keadaan biasa mungkin ia tidak perlu takut akan tenaga dalam lawan itu, tapi dalam keadaannya seperti sekarang ia memang harus selalu berhati-hati.

   Satu-satunya jalan untuk menghindari serangan itu tanpa resiko mengadu tenaga hanyalah dengan cara meloncat mundur, sebab untuk menghindari ujung tombak yang bergetar seperti itu sama berbahayanya dengan menghindari patukan seekor ular berbisa. Dengan cepat ujung tombak itu dapat berubah arah, ke kiri atau ke kanan! Oleh karena itu meskipun telah melangkah ke belakang, Yang Kun tetap mengibaskan goloknya ke depan dadanya dalam jurus Mengayun Tangkai Bendera Menghalau Lo Biauw. Begitu serangannya gagal, orang she Tio itu menyusuli lagi dengan Shao-in-kan-goat (menyapu Awan Melihat Bulan) ke arah muka lawan. Dan belum lagi serangan itu tiba, Yang Kun telah merasakan kibasan angin yang menyertainya seperti sebuah angin taufan yang menampar-nampar wajahnya.

   Tapi pemuda itu tidak ingin melangkah mundur lagi. Dengan tubuh membungkuk Yang Kun melangkah ke depan malah, lalu diangkatnya goloknya tinggi ke arah tangan lawan yang memegang tangkai tombak, dalam jurus Mengangkat Obor Menerangi Langit. Tentu saja pegawal itu tidak mau lengannya tergores ujung golok lawan, sehingga dengan tergesa-gesa pengawal tersebut menarik pula tombaknya ke belakang! Malah kini tampak olehnya Yang Kun mengayunkan goloknya secara mendatar ke arah lehernya dalam jurus Panglima Yi Po Mengatur Barisan. Orang she Tio itu terkejut juga melihat kegesitan lawan. Dengan perasaan berat terpaksa ia meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri sehingga keadaan telah menjadi seimbang kembali. Sama-sama telah mundur selangkah!

   Yang Kun juga tidak berusaha untuk mengejar lawannya. Ia berdiri tegak kembali dengan golok di depan dadanya. Baru setelah lawan berdiri dengan tegak ia ganti menyerang dengan sabetan goloknya. Maka terjadilah suatu pertarungan seru di antara mereka. Tapi seperti pertempuran pertama, kali ini Yang Kun juga harus selalu menghindari pertemuan di antara kedua senjata mereka, karena dengan bertemunya kedua senjata mereka berarti harus mengadu tenaga pula. Padahal lweekang lawannya kali ini justru lebih tinggi dari pada kedua lawannya yang pertama. Dan kelemahan ini tidak disia-siakan oleh orang she Tio itu. Orang itu dengan nekat dan berani menyerbu ke arah Yang Kun sambil mengobat-abitkan tangkai tombaknya dengan maksud agar sekali tempo dapat beradu dengan tenaga lawannya.

   Baginda tersenyum melihat cara bertempur pengawalnya itu. Biarpun cara bertempur seperti itu dapat dikatakan licik tapi hal itu juga dapat menjadi tanda bahwa pengawal tersebut bertempur dengan memakai otak pula. Agaknya YangKun menyadari pula akan hal ini. Beberapa kali pemuda itu terpaksa harus meloncat ke sana ke mari untuk menghindari serbuan lawannya dan beberapa kali pula ia harus menangkis tombak lawannya. Hal itu terpaksa ia lakukan karena tiada jalan lagi selain menangkis, padahal setiap senjata mereka beradu setiap kali pula ia meringis kesakitan karena tenaga gwakangnya ternyata tidak mampu menahan tenaga dalam lawannya, sehingga lambat laun telapak tangannya terasa perih bagai terkelupas kulitnya.

   Baginda mengerutkan keningnya. Ilmu golok sahabatnya itu hebat bukan main. Entah dari perguruan mana Baginda juga tidak tahu, tetapi agaknya ilmu itu sedikit dipengaruhi ilmu toya dan ilmu pedang. Beberapa kali Baginda melihat sahabatnya itu menusukkan ujung pedang. Kadang-kadang Baginda melihat golok itu diayun oleh sahabatnya seperti orang mengayun toya, keras sekali, dan tidak memakai tenaga bahu tetapi dengan tenaga pinggangnya! Baginda percaya, bila sahabatnya tidak kehilangan lweekangnya, paling-paling Tio shao-ping itu hanya dapat bertahan selama 20 jurus saja. Tapi karena keadaannya itu pula yang mengakibatkan sahabatnya itu kini menjadi terdesak malah.

   Yang Kun semakin repot menahan serbuan lawannya. Kedua buah telapak tangannya telah mulai mengalirkan darah, sehingga rasa-rasanya sudah tak dapat lagi untuk memegang tangkai golok. Tetapi untuk mundur dan mengaku kalah hatinya sungguh berat dan penasaran. Ia tahu dengan pasti bahwa ilmu tombak lawannya benar-benar bukan tandingan Hok-te To-hoatnya yang hebat, maka jika harus mengaku kalah terhadap ilmu tombak seperti itu ia sungguh merasa sangat penasaran sekali. Tetapi keadaan Yang Kun memang sangat runyam. Melawan senjata lawan yang lebih panjang serta berkelahi seperti kerbau gila itu benar-benar membuat dia tidak bisa berkutik, sehingga ketika sekali lagi dia terpaksa harus menangkis pukulan gagang tombak lawannya, goloknya sudah tak bisa dipertahankan lagi.

   Dengan suara nyaring golok itu terpental lepas dari tangannya! Padahal ujung tombak lawan masih tetap meluncur ke arah pusarnya. Sedangkan Yang Kun sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menghindar!Sementara itu saking bernafsunya, orang she Tio itupun sudah tidak keburu lagi untuk menahan daya luncur senjatanya. Semua mata terbelalak kaget! Kaisar Han juga terkejut setengah mati melihat perubahan suasana yang begitu cepatnya. Baginda juga tidak dapat berbuat apa-apa! Yang Kun juga sudah tidak mempunyai harapan lagi. Dengan berteriak keras dia menampar ke arah muka lawan dengan jurus andalannya, Raja Chin Miu Mematahkan Kim-pai! Dengan harapan meskipun ia mati tertembus tombak, tapi pihak lawan juga tidak dapat menikmati kemenangan itu dengan tubuh segar bugar, paling tidak tentu rontok semua gigi-giginya.

   "Dessss!"
"Krakkkang!" Kedua-duanya terlempar ke belakang dengan keras. Semua orang yang berada di tempat itu serentak meloncat ke depan untuk menolong. Para pengawal itu merubung dan menolong Tio shao-ping sementara Kaisar Han cepat memeluk Yang Kun yang terkapar di atas lantai. Tampak kain baju yang menutup perut pemuda itu basah oleh darah!

   "Kun-te... Kun-te! kau...?!?" Baginda berdiri kembali, matanya menatap tubuh sahabatnya yang terkapar di samping kakinya. Terpancar suatu perasaan menyesal yang dalam pada pandang mata Baginda, sehingga wajah yang tertutup kumis dan jenggot tebal itu tampak memucat. Dan lambat laun dari pucat wajah itu berubah menjadi merah membara, sejalan dengan terbakarnya hati Baginda mengingat akan kecerobohan hamba pengawalnya yang kurang hati-hati sehingga membunuh sahabatnya. Tetapi sebelum Baginda meledak dengan kemarahannya...

   "Aduhhh... wadouhhh... gatal sekali! wadouhhh... mukaku gatal sekali! Oh... Oh... ooooohhh... panasnya!" Tiba-tiba terdengar suara Tio shao-ping yang berteriak teriak kesakitan. Dan ketika Baginda menoleh, tampak tubuh pengawal itu meronta-ronta di dalam pegangan kawan-kawannya. Kulit mukanya yang semula berwarna kuning itu kini tampak membengkak kehitam-hitaman, sementara pada pipinya sebelah kanan ada bekas telapak tangan Yang Kun yang berwarna kemerah-merahan. Sekali lagi Baginda terkejut setengah mati. Terang kalau hambanya itu mengalami keracunan hebat. Segera terngiang ngiang di dalam telinga Baginda akan kata-kata Chu Seng Kun sebulan yang lalu, ketika tabib muda itu selesai mengobati tubuh Yang Kun,

   "Hongsiang, di dalam darah anak muda ini telah mengalir sebuah campuran racun yang kekuatannya telah berlipat ganda. Racun itu telah bersenyawa menjadi satu dengan cairan darah sehingga tidak mungkin terpisahkan lagi... Tanpa kepandaian apa-apapun anak muda ini sudah menjadi orang yang sangat berbahaya..." Untuk beberapa saat Baginda masih melihat hambanya itu berteriak-teriak dan meronta-ronta, tetapi ketika Baginda melangkah untuk mendekati tiba-tiba kepala orang itu telah terkulai, napasnya berhenti, nyawanya telah meninggalkan tubuhnya. Baginda berdiri termangu-mangu, begitu juga para pengawal yang lain, mereka hampir tak mempercayai segala kejadian yang baru saja berlalu itu. Baginda menghela napas berat. Akhirnya terbukti pula semua perkataan Chu Seng Kun itu.

   "Liu-Twako..." Semuanya dengan serentak menoleh. Mereka hampir tidak percaya ketika tubuh pemuda yang tadi tertembus tombak itu kini tampak duduk memandang ke arah mereka. Baginda cepat berlari menghampiri, lalu dengan perasaan tak percaya Baginda mengawasi muka sahabatnya.

   "Kun-te... kau masih hidup? Engkau tidak apa-apa? Bagaimana dengan luka di perutmu?" Baginda bertanya sambil mengawasi perut sahabatnya itu. Tangannya yang terulur ditariknya kembali begitu teringat kata-kata Chu Seng Kun.

   "Aku... aku hanya tergores pada kulit perutku. Agaknya timang perak yang Twako berikan kepadaku untuk hiasan ikat pinggang itu telah menyelamatkan jiwaku." Yang Kun menjawab sambil menoleh ke arah pecahan perak yang berkeping-keping di dekatnya. "...Dan bagimana dengan Tio shao-ping itu? Kenapa dia juga terbaring di sana? Apakah tamparanku terlalu menyakitkan dia?" Baginda terdiam untuk beberapa saat, kemudian memberi isyarat kepada para pengawal untuk menyingkirkan tubuh Tio shao-ping dari tempat itu.

   

Darah Pendekar Eps 38 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 14 Darah Pendekar Eps 3

Cari Blog Ini