Naga Sakti Sungai Kuning 13
Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
Sebetulnya, Giok Cu bukan hanya tabah tanpa perhitungan. Ia cerdik sekali. Kalau ia berani mengantar dua orang muda itu kembali ke dusun tanpa khawatir akan dihadang oleh subonya, bukan karena ia berani menghadapi ancaman bahaya itu, melainkan karena ia sudah memperhitungkan bahwa subonya dan Lui Seng Cu yang baru saja menerima hajaran hebat dari Hek-bin Hwesio, sudah pasti tidak akan berani sembarang-an keluar dan melakukan kejahatan lagi untuk sementara waktu ini. Mereka tentu menjadi jerih, maklum bahwa kepandaian mereka sama sekali tidak mampu m nandingi kesaktian Hek-bin Hwesio. Selain ini, juga gadis cerdik ini memperhitungkan bahwa tidak mungkin suhunya yang baru itu akan membiarkan saja ia terancam bahaya, la sudah hampir merasa yakin bahwa suhunya tentu akan membayanginya dan melindunginya!
Giok Cu disambut dengan gembira oleh para penduduk dusun ketika ia mengiringkan dua orang muda yang lenyap diculik "iblis" seperti yang dipercaya oleh para penduduk dusun itu. Giok Cu menasehatkan mereka agar bekerja sama dan bersatu padu untuk menghadapi ancaman bahaya dari orang-orang jahat. Setelah itu, ia pun meninggalkan mereka dan kembali ke dalam hutan di mana ia mendapatkan suhunya masih duduk bersila dalam samadhi! Anehnya, biar dalam samadhi, tetap saja mulut gurunya itu tersenyum lebar! Ia tidak berani mengganggu suhunya, melainkan seger duduk bersila tak jauh dari situ dan ikut bersamadhi.
la bersamadhi seperti biasa, seperti diajarkan oleh subonya. Bersamadhi degan satu tujuan tertentu, yaitu untuk menghimpun kekuatan batin dan membangkitkan tenaga sakti dari pusar. Akan tetapi, tiba-tiba saja, selagi ia hampir tenggelam dalam samadhi, ia mendengar suara yang besar dan dalam dari Hek-Bin Hwesio.
"Samadhi berarti memasuki keheningan jiwa raga. Buang semua pamrih dan tujuan, biarkan diri kosong dan curahkan semua kesadaran kepada penyerahan diri lahir batin kepada Tuhan, Kekuasaan yang terdapat di luar dan di dalam dirimu. Kosong tenang hening""" " Giok Cu mentaati petunjuk ini, membuang semua keinginan mencapai suatu tujuan dan ia tenggelam ke dalam keheningan, membiarkan dirinya diseret arus yang amat halus, yang menghanyutkannya dan ia membiarkan dirinya dengan pasrah, pasrah kepada Tuhan dan andaikata pada saat itu nyawanya dicabut sekalipun, karena ia sudah menyerahkan diri, maka ia pun tidak merasa takut.
Kurang lebih sejam kemudian, suara panggilan yang lapat-lapat menyadarkan Giok Cu dari samadhinya. Masih suara Hek-bin Hwesio berkata dengar lembut.
"Tenaga sakti dari pusar selalu dihamburkan keluar melalui sembilan lubang dalam tubuh kita. Karena itu, perlu kita melatih diri untuk menutup lubang-lubang itu dari dalam. Sekarang kita melatih diri untuk menutup lubang yang paling bawah, lubang dubur. Tarik napas sedalam mungkin, sampai sepenuhnya, lalu tahan sekuatnya, tanpa paksaan, sesudah itu, keluarkan napas perlahan-lahan dan pada saat keluarkan napas, tutuplah lubang dubur, pertahankan dan tutup terus sampai napas habis dikeluarkan, lalu tahan dalam keadaan tanpa napas, lubang dubur terus ditutup rapat-rapat. Setelah bernapas kembali, baru buka lubang dubur dan ulangi seperti tadi. Cukup tujuh kali setiap kali latihan."
Giok Cu mentaati semua petunjuk gurunya dan mulailah ia menerima latihan pernapasan dan semadhi yang jauh berbeda dengan latihan yang diterima dari subonya.
Matahari sudah condong ke barat ketika Hek-bin Hwesio mengajak muridnya meninggalkan tempat itu. Mulai hari itu, Giok Cu menjadi murid Hek-bin Hwesio, meninggalkan rumah Ban-tok Mo-li berikut seluruh pakaiannya. Ia mengembara bersama Hek-bin Hwesio, mempelajari ilmu-ilmu, hidup sederhana seperti pertapa, mengunjungi Himalaya dan tempat-tempat lain yang selama ini hanya didengarnya sebagai dongeng saja.
Selama lima tahun kurang lebih ia menerima gemblengan Hek-bin Hwesio dan kini Giok Cu telah berubah sama sekali. Bukan lagi gadis remaja yang berwatak keras dan ganas, bahkan dapat bersikap kejam terhadap musuh-musuhnya, tidak mengenal ampun. Kini ia telah menjadi seorang gadis dewasa, berusia kurang lebih dua puluh tahun yang cantik manis namun sederhana dan yang masih tinggal hanyalah sikapnya yang riang gembira dan jenaka walaupun di balik kejenakaannya itu terdapat watak yaraj mendalam dan seperti watak orang yang telah matang dalam gemblengan pengalaman hidup.
Pada suatu pagi, Giok Cu yang sudah dewasa turun gunung sebagai seorang gadis yang berpakaian sederhana tanpa membawa senjata, nampaknya lemah lembut dan hanya sinar matanya yang mencorong itu saja yang menunjukkan bahwa ia bukanlah seorang gadis "biasa". Gurunya yang sudah amat tua itu menyatakan bahwa sudah tiba saatnya Giok Cu turun gunung dan tiba saatnya mereka berpisahan karena Hek-bin Hwesio ingin bertapa sampai maut da tang menjemputnya. Nampaknya saja gadis cantik manis ini tidak bersenjata, akan tetapi sesungguhnya, di balik bajunya, terselip dipinggangnya, ia mempunyai sebatang pedang. Pedang yang amat aneh! Sarung dan gagang itu cukupi indah, dengan ukir-ukiran burung Hong, dengan ronce-ronce merah. Akan tetapi kalau pedang itu dicabut dari sarungnya, orang tentu akan mentertawakannya. Pedang itu buruk sekali! Terbuat dari baja yang warnanya kelabu dan kotor nampaknya, buatannya pun pletat-pletot tidak halus, dan yang lebih jelek lagi, pedang itu tumpul, tidak runcing dan tidak tajam!
Pedang itu pemberian Hek-bin Hwesio kepada muridnya! "Jagalah baik-baik pedang ini, Giok Cu. Namanya Hong-pokiam, dan memang sengaja dibuat tidak tajam dan tidak tumpul untuk mengingatkan pemakainya bahwa senjata ini bukan dibuat untuk membunuh orang. Gagang dan sarungnya indah akan tetapi terbuat dari tembaga disepuh emas, pedangnya sendiri jelek sekali namun terbuat dari baja yang sukar dicari bandingnya. Ini untuk mengingatkan bahwa yang amat indah di luar itu hanyalah palsu, yang terpenting adalah dalamnya. Lebih baik jelek sederhana namun bermanfaat daripada gemilang dan mewah namun tidak ada gunanya."
Ketika suhunya menyatakan agar ia turun gunung, Giok Cu berlutut di depan kaki suhunya. Ia memang telah berubah sama sekali, bukan hanya karena gemblengan ilmu-ilmu silat yang tinggi melainkan terutama sekali gemblengan batin dari suhunya.
"Suhu, mengapa teecu tidak boleh tinggal bertapa di sini atau menjadi seorang nikouw (pendeta wanita) dan hidup di kuil? Teecu melihat betapa dunia ini penuh dengan dosa. Kalau teecu memasuki dunia ramai, bagaimana teecu dapat mencegah terjadinya perbuatan dosa? Teecu tentu akan terseret hanyut dalam arus pertentangan antara baik buruk, dan kalau teecu berpihak kepada yang baik, dengan sendirinya teecu akan menentang dan berlawanan dengan yang jahat. Teecu ingin membaktikan diri kepada Tuhan dan hidup tenang tentram di pegunungan, dalam sebuah kuil atau gua."
Gurunya tertawa bcrgelak.
"Itu akan menyalahi garis hidupmu, Giok Cu. Tidak, engkau tidak berbakat menjadi nikouw. Tugasmu sebagai orang yang memiliki ilmu silat amatlah banyaknya dan juga amat penting. Kini, kejahatan merajalela, rakyat hidup sengsara karena pemerintah yang lemah tidak mampu melindungi mereka. Bahkan kaki tangan pemerintah sendiri yang melakukan penyelewengan menambah beban rakyat dengan adanya kerja paksa dan korupsi. Banyak pejabat bersekutu dengan penjahat, banyak pemuka agama bahkan tidak segan menumpuk dosa demi menari kemuliaan melalui kedudukan dan harta. Tidak, muridku. Engkau harus terjun ke dunia ramai dan engkau harus melaksanakan tugas sebagai seorang pendekar, melindungi mereka yang terancam bahaya, membela mereka yang lemah tertindas, menentang mereka yang dikuasai nafsu iblis untuk menyebar kejahatan. Pesan pinceng, kalau engkau bertemu dengan para murid Siauw-Iim-pai, bantulah mereka. Biarpun mereka memusuhi pemerintah, akan tetapi pinceng tahu bahwa para murid Siauw-lim-pai adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan pembela rakyat tertindas."
Demikianlah, akhirnya Giok Cu turun gunung seorang diri, meninggalkan gurunya dengan siapa ia telah hidup selama hampir lima tahun.
Kota Pei-shen terletak di Lembah Sungai Kuning, di Propinsi Shantung. Kota ini cukup besar dan ramai, bahkan terkenal sebagai kota yang banyak menjual rempah-rempah. Banyak pedagang rempah-rempah yang kaya di kota ini dan satu di antara pedagang rempah-rempah yang juga memiliki sebuah toko cita di sebelah toko rempah-rempah, adalah Tang Gu it, seorang pedagang berusia lima puluh tahun.
Tang Gu it bukan hanya dikenal se bagai seorang pedagang yang hidup kaya raya, akan tetapi dia dikenal sebag seorang ahli silat yang pandai. Oleh karena itu, di kota Pei-shen, dia disegani karena dua hal, pertama karena dia kaya raya dan juga dermawan, dan kedua karena dia lihai dalam ilmu silat. Pernah seorang diri pedagang ini melumpuhkan segerombolan perampok terdiri dari belasan orang yang berani mengacau di pinggiran kota, dan sejak itu namanya semakin terkenal dan keamanan kota Pei-shen, sebagian disebabkan oleh nama besarnya sebagai seorang jago silai yang tangguh.
Karena dia memiliki dua buah toko vang cukup besar dan sibuk, maka Tang Gu It mempunyai belasan orang pegawai yang bekerja di kedua toko itu. Rumah keluarganya yang cukup besar berada di belakang kedua toko itu. Di sini hanya tinggal dia, isterinya dan putera tunggalnya yang bernama Tang Ciok An, seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh lima tahun akan tetapi belum menikah. Tentu saja ada beberapa orang pelayan keluarga itu yang juga tinggal di situ, di beberapa buah kamar di bagian belakang bangunan. Sebuah taman yang luas dan penuh bunga indah dan kolam ikan penuh teratai berada di belakang rumah. Pendeknya, keluarga itu hidup serba kecukupan dan nampaknya berbahagia.
Memang sesungguhnya demikian, aka tetapi ada satu hal yang menjadi pikiran bagi Tang Gu It, yaitu tentang pernikahan puteranya. Puteranya itu, Tan Ciok An, sejak kecil sudah ia tunangkan dengan
(Lanjut ke Jilid 14)
Naga Sakti Sungai Kuning/Huang Ho Sin-liong (Seri ke 01 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
puteri tunggal adik perempuannya, Souw Hui Im yang kini sudah berusia delapan belas tahun dan tinggal bersama ayahnya yang sudah menjadi duda di kota raja.
Karena dia merasa bahwa usia ke dua orang muda itu sudah lebih dari cukup, yaitu puteranya sendiri berusi dua puluh lima tahun sedangkan calon mantunya itu sudah delapan belas tahun, maka beberapa hari yang lalu, dia bersama beberapa orang pengikutnya membawa kereta berkunjung ke kota raja untuk menentukan hari pernikahan mereka. Tentu saja dia membawa segala macam hadiah yang cukup mewah sebagaimana mestinya, hampir sekereta penuh! Akan tetapi, setelah tiba di rumah adik iparnya itu, yaitu Souw Ku Tiong yang membuka toko obat di kota raja, dia mendengar malapetaka yang menimpa keluarga adik iparnya. Adik iparnya itu bersama seorang sutenya telah tewas ketika rumah itu diserbu pasukan pemerintah dengan tuduhan pemberontak! Sedangkan puterinya, Souw Hui Im, dikabarkan orang hilang tak tentu rimbanya!
Tentu saja Tang Gu It menjadi terkejut setengah mati, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, bahkan tidak berani lama-lama tinggal di kota raja, takut kalau-kalau dia akan tersangkut. Bagaimanapun juga, dia mengenal adik iparnya dan tahu bahwa Souw Kun Tiong memang seorang murid Siauw-lim-pai yang oleh pemerintah dianggap sebagai pemberontak! Adik iparnya itu dituduh pemberontak tentu ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai, pikirnya dengan hati tidak enak. Bagaimana tidak kalau dia sendiri pun pernah menjadi murid di kuil Siauw-lim-pai, walaupun hanya untuk dua tahun saja. Kalau ini diketahui oleh mereka yang membasmi keluarga Souw, tentu keluarganya sendiri akan terancam bahaya maut!
Dengan hati yang gelisah Tang Gu It pulang ke Pei-shen, membawa kembali barang-barang hadiah yang tadinya akan diserahkan kepada adik iparnya. Dia merasa amat gelisah memikirkan nasib Souw Hui lm, calon mantunya. Kemanaka perginya gadis itu? Pergi melarikan diri ataukah ditangkap musuh? Dilarikan orang? Tidak ada yang mampu memberitahu karena dia tidak berani banyak bertanya di kota raja. Setelah tiba di rumah, dia pun menceritakan tentang pengalamannya di kota raja kepada isteri dan puteranya.
Mendengar berita ini, Tang Ciok An seorang pemuda yang berwajah tampan dan bersikap gagah dan tinggi hati, segera berkata,
"Ayah, kalau begitu, biarlah aku pergi mencari Piauw-moi (Adi Misan) Souw Hui Im!" Pemuda ini pun sejak kecil mempelajari ilmu silat dari ayahnya dan dia menganggap ayahnya dan dirinya sebagai pendekar-pendekar yang disegani di kota Pei-shen.
"Jangan lakukan itu, Ciok An!" cegah ayatnya.
"Kalau engkau pergi sendiri, atau aku, hal itu berbahaya sekali. Mereka itu dibasmi pemerintah karena menjadi anggauta atau murid Siauw-lim-pai! Jangan mengkhawatirkan nasib calon istermu, aku tidak akan tinggal diam dan akan menyebar orang-orang untuk mencari dan menyelidiki ke mana ia pergi."
"Ayah aku ingin mencari Piauw-moi bukan kaiena ia calon isteriku saja. Terutama sekali karena bagaimanapun juga, ia itu adik misanku, puteri mendiang Bibiku. Tentang perjodohanku dengannya, andaikata tidak jadi pun tidak mengapa, Ayah. Masih banyak gadis yang akan suka menjadi isteriku."
"Benar sekali!" kata Ibunya.
"Memang sejak dulu aku pun kurang setuju dia menikah cengan adik misan sendiri. Kata orang tua, hal ini hanya akan mendatangkan bencana. Dan lihat saja, bencana telah menimpa keluarga Souw!"
Mendengar ucapan putera dan isterinya, Tang Gu It mengibaskan tangannya dan berkata dengan nada jengkel,
"Sudahlah, sudahlah, jangan ribut. Urusan ini gawat sekali, dan dapat saja kita tersangkut. Kalian diam saja dan menanti, aku akan menyuruh orang untuk melakukan penyelidikan ke kota raja."
Apa yang dikhawatirkan Tang Gu It memang terjadi. Dua hari kemudian, pada suatu hari di tokonya muncul orang laki-laki tinggi kurus, berusia kurang lebih enam puluh tahun. Pakaiannya ringkas seperti pakaian orang di dunia kang-ouw, apalagi di punggungnya terdapat sebatang pecut ekor sembilan dan sikapnya serius sekali. Dia membawa sebuah guci dari besi yang bermulut lebar dan guci yang cukup besar itu ditempelkan tulisan bahwa dia adalah seorang pengumpul derma! Biasanya, yang mengumpulkan derma seperti itu hayalah para pendeta dan pengurus perkumpulan sosial, akan tetapi laki-laki ini tidak memperlihatkan bahwa dia seorang pendeta, juga tidak ada tanda-tanda bahwa dia seorang pengurus perkumpul tertentu yang mengharapkan bantuan sukarela dan para hartawan.
"Krekkkkk!" Kaki meja di toko itu mengeluarkan bunyi hampir patah-patah ketika dia meletakan guci itu di atas meja.
"Heiiiii, jangan taruh benda berat itu di situ!" teriak seorang pegawai toko.
"Turunkan
saja!"
Melihat betapa laki-laki tinggi kurus itu sama sekali tidak bergerak untuk menurunkan gucinya, hanya berdiri seperti patung membisu, Si Pegawai toko lalu menghampiri dan mencoba untuk menurunkan guci itu. Akan tetapi, benda itu sama sekali tidak bergerak saking beratnya! Beberapa kali dia mengerahkan tenaga namun sia-sia belaka.
"A-kiu, bantu aku menurunkan benda ini. Meja kita bisa runtuh kalau tidak diturunkan!" teriaknya kepada .seorang temannya. Dua orang pegawai itu mengerahkan tenaga dan mencoba, akan tetapi tetap saja benda itu tidak bergerak! Bukan main beratnya benda itu!
Pengurus toko, seorang laki-laki berusia enam puluhan, kepercayaan Tang Gu It, segera menghampiri dan memberi isarat kepada dua orang bawahannya untuk mundur. Dia tahu bahwa laki-laki tinggi kurus ini tentu seorang kang-ouw yang hendak minta derma, maka dia pun merangkap kedua tangan ke depan dada memberi hormat.
"Harap maafkan dua orang pembantu kami. Tidak tahu siapakah Ho-han (Pendekar) dan apa puia keperluan Ho-han berkunjung ke toko kami? Harap jelaskan agar kami dapat menyampaikan kepada majikan kami."
Orang itu agaknya senang disebut ho-han (sebutan pendekar atau patriot) akan tetapi masih bersikap angkuh.
"Hemmm, di mana Tang Gu It? Suruh dia keluar bicara dengan aku!"
Melihat sikap ini, tentu saja para pegawai di toko itu menjadi tidak senang. Akan tetapi, pengurus itu menyabarkan mereka dan dia pun tidak ingin majikannya harus turun tangan sendiri menghadapi peristiwa yang dianggapnya hanya gangguan kecil ini. Dia akan mengatasinya sendiri.
"Ho-han datang membawa guci untuk minta derma? Baiklah, kami akan menderma. Nah, ini sumbangan kami, kiranya cukup banyak dan tidak kalah dibandingkan sumbangan para pemilik toko lainnya." Dia mengeluarkan dua potong uang perak dan memasukkannya ke dalam guci. Suara nyaring dari dua potong perak itu menunjukkan bahwa guci itu masih kosong!
Laki-laki tinggi kurus itu mengerutkan alis, matanya memandang beringas dan dia mengeluarkan dua potong perak itu dari dalam guci, mengamatinya dan berkata,
"Kalian kira aku Kiu-bwe-houw (Harimau Ekor Sembilan) datang untuk mengemis? Aku bukan mengemis!" Dia lalu menekan dua potong perak itu ke atas meja kayu tebal dan potongan perak itu melesak masuk ke dalam kayu sampai rata dengan permukaan meja!
Melihat ini, para pegawai menjadi panik dan pengurus toko menjadi pucat mukanya. Akan tetapi, bagaimanapun juga, mereka adalah pegawai-pegawai dari seorang ahli silat yang terkenal, maka biarpun mereka tidak pandai silat, hati mereka cukup besar. Pengurus itu lalu memberi hormat pula.
"Aih, Sobat yang baik. Kalau memang kurang, biarlah kami tambah lagi. Berapa yang kaubutuhkan, Ho-han?"
"Penuhi guci ini dengan perak!" kata orang yang berjuluk Kiu-bwe-houw itu. Para pembaca tentu masih ingat kepada orang ini. Dia adalah Kiu-bwe-houw Can Lok, seorang jagoan besar dari Taigoan yang amat terkenal di dunia kang-ouw, terutama sekali senjatanya berupa cambuk ekor sembilan dan cakar harimaunya. Dialah seorang di antara mereka yang pernah memperebutkan anak naga di pusaran maut Sungai Kuning (Huang-ho) akan tetapi telah gagal karena "anak naga" itu jatuh ke tangan Si Han Beng, Bu Giok Cu, dan Liu Bhok Ki. Sebagian besar darah anak naga itu disedot dan diminum oleh Han Beng, seJ bagian lagi oleh Giok Cu, dan kepalanya dimakan oleh Liu Bhok Ki sehingga menyembuhkan luka beracun yang dideritanya.
Kiu-bwe-houw Gan Lok adalah seorang jagoan, sebetulnya bukan seorang yang pekerjaannya merampok atau mencuri. Sama sekali tidak. Dia menganggap dirinya seorang datuk yang ditakuti dan dia tidak mau melakukan pekerjaan rendah sehingga dia akan dicap perampok, pencuri atau penjahat. Akan tetapi, kalau dia membutuhkan uang, dia datangi saja orang-orang kaya dan dia minta begitu saja dengan ancaman! Sekarang ini, dia membutuhkan banyak uang karena dia sudah merasa tua dan, ingin mengundurkan diri, hidup berkecukupan dengan uang yang besar jumlahnya. Se-agi dia mencari jalan bagaimana untuk memperoleh uang banyak tanpa sukar, tiba-tiba saja dia mendengar bahwa hartawan Tang Gu It adalah masih terhitung ipar bahkan calon besan dari Souw Kun Tiong di kota raja, yang dicap pemberontak dan kaki tangan Siauw-lim-pai oleh pemerintah. Kesempatan baik ini tidak disia-siakan dan pada pagi hari itu dia pun muncul di toko milik keluarga Tang dan menuntut uang sumbangan yang amat banyak!
Mendengar bahwa orang itu menuntut sumbangan perak seguci penuh, semua pegawai di toko itu terbelalak. Pengurus itu pun menjadi pucat wajahnya, dan maklumlah dia bahwa orang ini memang datang untuk mencari gara-gara! Bagaimana mungkin memenuhi guci besar itu dengan perak? Mungkin kalau separuh isi toko dijual, belum tentu bisa memenuhi guci itu dengan perak. Jumlah yang amat besar, cukup untuk modal berdagang sedikitnya tentu akan muat lima ratus tail!
"Aih, Sobat yang baik! Harap jangan main-main! Mana mungkin kami memberi sedekah sebanyak itu? Kami tidak mempunyai perak sebanyak itu!" katanya.
Kiu-bwe houw mengerutkan alisnya dan suaranya terdengar marah penuh ancaman.
"Kalian ini pegawai-pegawai yang tidak tahu apa-apa, jangan banyak cerewet lagi. Penuhi guci ini dengan perak. Kalau kalian tidak memilikinya, panggil keluar Tang Cu It. Dia harus memenuhi guci ini dengan perak murni, atau kalau tidak, keluarga ini akan kuhancurkan!"
Mendengar ucapan ini, seorang pegawai muda yang pernah belajar silat menjadi marah. Dia berusia dua puluh lima tahun, tubuhnya tinggi besar dan dia memiliki tenaga tiga kali orang biasa. Dia baru saja datang melaksanakan tugas luar dan mendengan ucapan itu, dia menjadi marah sekali.
"Hem, engkau ini sungguh kurang ajar! Mana ada aturan orang minta-minta sumbangan melebihi rampok seperti itu? Hayo pergi kau!"
Kiu-bwe houw mengerutkan alisnya dan suaranya terdengar marah penuh ancaman.
"Kalian ini pegawai-pegawai yang tidak tahu apa-apa, jangan banyak cerewet lagi. Penuhi guci ini dengan perak. Kalau kalian tidak memilikinya, panggil keluar Tang Cu It. Dia harus memenuhi guci ini dengan perak murni, atau kalau tidak, keluarga ini akan kuhancurkan!"
Mendengar ucapan ini, seorang pegawai muda yang pernah belajar silat menjadi marah. Dia berusia dua puluh lima tahun, tubuhnya tinggi besar dan dia memiliki tenaga tiga kali orang biasa. Dia baru saja datang melaksanakan tugas luar dan mendengan ucapan itu, dia menjadi marah sekali.
"Hem, engkau ini sungguh kurang ajar! Mana ada aturan orang minta-minta sumbangan melebihi rampok seperti itu? Hayo pergi kau!"
Melihat pemuda tinggi besar itu, Kiu-bwe-houw Gan Lok tersenyum mengejek, memperlihatkan giginya yang sudah banyak rusak.
"Hemmm, kalau aku tidak mau pergi sebelum guci ini dipenuhi I erak, kau mau apa?"
"Aku.......akan melemparkanmu keluar seperti ini!" Pemuda itu menggerakkan dua lengannya yang besar dan berotot untuk menangkap pundak laki-laki tua yang tinggi kurus itu. Gan Lok tidak mengelak sehingga kedua pundaknya dicengkeram pemuda itu yang mengerahkan tenaga untuk mengangkat tubuhnya dan dilemparkan keluar. Akan tetapi, terjadi keanehan! Sedikit pun tubuh yang tinggi kurus itu tidak bergerak walaupun Si Pemuda Tinggi Besar sudah mengerahkan semua tenaganya.
"Hemmm, tikus sombong, pergilah kau!" terdengar Kiu-bwe-houw Gan Lok berseru, kedua tangannya yang kecil bergerak cepat, menepuk punggung pemuda itu yang menjadi lemas seketika dan tiba-tiba saja jagoan dari Tai-goan itu telah mengangkat Si Pemuda dan1 melemparkannya keluar toko.
"Brukkkkk!" Tubuh pemuda tinggi besar itu terbanting keluar toko! Ancaman pemuda itu kini berbalik, bukan Kiu-bwe-houw Gan Lok yang dilempar keluar, melainkan dia sendiri!
Gegerlah di toko itu. Semua pegawai berlari keluar, bukan hanya untuk menolong pemuda tadi, melainkan untuk menjauhi Si Tinggi Kurus yang ternyat amat lihai itu. Sang Pengurus toko sudah lari menyelinap ke dalam rumah belakang toko memberi laporan.
Kiu-bwe-houw Gan Lok masih berdiri di dekat meja di mana berdiri pula gucinya yang tinggi besar dan berat ketika Tang Gu It memasuki tokonya. Tang Gu It tadi terkejut mendengar peristiwa di dalam tokonya, apalagi ketika mendengar bahwa perusuh itu mengaku berjuluk Kiu-bwe-houw! Sebagai seorang ahli silat yang banyak mengenal tokoh-tokoh dunia kang-ouw, tentu saja dia pernah mendengar nama jagoan Tai-goan ini walaupun belum pernah melihat orangnya. Dia pun merasa heran mengapa tiada hujan tiada angin, tokoh kang-ouw itu mengganggu dia, padahal di antara mereka tidak ada hubungan atau urusan apa pun juga. Dengan hati-hati dia pun memasuki tokonya.
Kini kedua orang itu saling berhadapan dan saling pandang sejenak, sementara itu para pegawai toko hanya melihat dari kejauhan. Tentu saja mereka semua mengharapkan majikan mereka yang terkenal lihai akan memberi hajaran kepada pemungut derma yang kurang ajar itu.
Biarpun tubuh tinggi kurus dari Gan Lok itu tidak mengesankan, kecuali sinar matanya yang menyeramkan dan wajahnya yang bengis, namun Tang Gu It tidak berani memandang rendah. Sebaliknya, melihat munculnya seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang berpakaian ringkas, dengan tubuh yang tegap dan wajah yang berwibawa, Kiu-bwe-houw Gan Lok memandang rendah.
"Engkaukah yang bernama Tang Gu It, pemilik toko ini?" tanyanya sambil lalu, sikapnya memandang rendah sekali.
Tadi Tang Gu It sudah mendengar akan guci yang berat itu, dan mendengar betapa dalam segebrakan saja orang ini telah melempar keluar seorang pegawainya yang muda dan kuat. Biarpun dia tidak merasa jerih, akan tetapi dia harus berhati-hati. Dengan sikap hormat dia pun mengangkat kedua tangan ke depan dada.
"Maaf, karena belum pernah berjumpa, maka kami tidak melakukan penyambutan sebagaimana mestinya. Kami telah lama mendengar nama besar Kiu-bwe-houw dari Tai-goan dan kunjungan ini merupakan kehormatan bagi kami. Silakan Sobat yang gagah masuk saja ke rumah kami di mana kita dapat bicara dengan baik."
Kiu-bwe-houw Gan Lok mengerutkan alisnya.
"Aku bukan datang untuk mengobrol atau berkenalan denganmu. Aku datang untuk minta agar guciku ini kaupenuhi dengan perak, baru aku akan pergi dengan damai!"
Tentu saja Tang Gu lt merasa penasaran. Sikap orang ini sungguh keterlaluan.
"Sobat yang baik, dengan alasan apakah kami harus memenuhi guci ini dengan uang perak? Kami ingin menerimamu sebagai seorang tamu baik-baik, akan tetapi engkau menolak. Nah, kalau begitu, kami persilakan engkau keluar dari toko kami karena kami tidak mempunyai urusan apa pun denganmu!" Sikap Tang Giu It berwibawa sekali dan mau tidak mau Kiu-bwe-houw Gan Lok agak berkurang kecongkakannya. Dia melihat betapa ruangan di toko itu sempit, penuh dengan barang dagangan, maka kalau sampai dia dikeroyok, akan merugikan dirinya. Sambil menyeringai dia pun melangkah keluar.
"Ha-ha, engkau ingin bicara di luar? Baik, mari kalau engkau ingin tahu mengapa aku datang minta derma seguci uang perak!" Dengan langkah lebar Si Harimau Ekor Sembilan keluar dari toko. Di luar toko sudah berkumpul banyak penonton yang tertarik melihat ribut-ribut di dalam toko itu. Ketika melihat Si Pengacau itu keluar, para penonton segera menjauh. Di antara para penonton itu Han Beng dan Hui Im. Mereka, baru tiba, akan tetapi begitu melihat ada keributan di toko yang menurut keterangan orang-orang adalah milik Tang Cu It, keduanya tidak masuk dan hanya menonton di luar.
Kini Gan Lok sudah berhadapan dengan Tang Gu It di luar toko. Memang Tang Gu It juga menghendaki agar keributan tidak terjadi di dalam toko. Kalau sampai terjadi perkelahian di dalam toko, tentu hanya akan merugikan dirinya, barang-barang di tokonya dapat menjadi rusak.
"Nah, Sobat. Sekarang katakan mengapa engkau datang memaksa kami untuk memberi sumbangan seguci uang perak!" Tang Gu It menegur pengacau itu.
Gan Lok tidak segera menjawab, melainkan menoleh ke kanan kiri seolah-olah hendak menyatakan kepada tuan rumah bahwa amat tidak baik kalau percakapan tu didengarkan orang lain.
"Tang Gu It, perlukah kujelaskan itu? Sebaiknya kalau engkau memenuhi guciku dengan perak, an aku akan pergi tanpa banyak rewel lagi. Kalau kuberitahu sebabnya, engkau sekeluarga akan celaka! Ingat akan ipa yang terjadi di kota raja, yang menimpa keluarga Souw!" berkata demikian, Gan Lok memberi isarat dengan kedipan mata. Mendengar Hui im, berubah wajah Tang Gu It. Apa yang dikhawatirkannya terjadi! Ada orang yang hendak memerasnya karena pembasmian keluarga Souw di kota raja yang dituduh pemberontak. Timbul kemarahan di dalam artinya. Orang ini adalah seorang penjjahat, seorang pemeras tak tahu malu.
"Kiu-bwe-houw, sungguh tidak kusangka bahwa orang yang sudah memiliki nama besar seperti engkau, tiada lain hanyalah seorang pemeras yang tak tahu malu!" bentaknya.
Kiu-bwe-houw Gan Lok tertegun. Tak disangkanya bahwa orang she Tang itu demikian beraninya. Dia sudah memperhitungkan bahwa Tang Gu It tentu akan ketakutan kalau dia menyebut tentang peristiwa yang menimpa keluarga Souw. Tak tahunya, orang she Tang itu malah memakinya!
Sementara itu, Souw Hui Im terkejut mendengar ucapan orang tinggi kurus yang membawa pecut ekor sembilan di punggungnya itu, yang menyinggung tentang keluarga Souw di kota rajai Ia memegang lengan Han Beng, akan tetapi pemuda ini memberi isarat agar ia diam saja dan hanya mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Tang Gu It! Masih berani engkau membuka mulut besar? Apakah engkav menghendaki aku membuka rahasia bahwa engkau adalah keluarga dari pemberontak yang ditumpas pemerintah?"
Tang Gu It menjadi marah. Dia bertolak pinggang lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka Kiu-bwe-houw Gan Lok.
"Kiu-bwe-houw Gan Lok! Tidak perlu dirahasiakan lagi. Memang orang she Souw di kota raja adalah iparku! Akan tetapi apakah dia pemberontak tau bukan, bukan urusanku dan aku sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan itu! Dia tinggal di kota raja dan aku tinggal di kota ini! Tidak perlu engkau memeras dan mengancam, dan kalau engkau tidak cepat pergi membawa gucimu itu, terpaksa aku akan menghajarmu sebagai seorang pengacau!"
"Ayah, serahkan saja babi tua ini kepadaku!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dari dalam rumah muncul lah seorang pemuda yang tampan dan gagah. Pemuda itu tinggi tegap dan wajahnya jantan. Itulah Tang Ciok An, putra tunggal dari Tang Gu It, seorang pemuda yang tampan dan gagah, dengan kaian yang serba bersih dan rapi, terbuat dari kain sutera yang mahal. Tang Ciok An sudah mewarisi hampir seluruh ilmu kepandaian ayahnya dan di kota Pei-shen dia terkenal sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan sukat dicari tandingnya. Sekali melompat, Ciok An yang usianya sudah dua puluh lima tahun itu telah berada di depan Kiu-bwe-houw Gan Lok. Sikapnya angkuh dar memandang rendah lawan, pandang matanya penuh wibawa ketika pemuda perkasa ini menghadapi orang tinggi kuru itu.
"Hemmm, engkaukah yang berjuluk Kiu-bwe-houw Gan Lok? Kudengar tadjj engkau mengancam dan memeras Ayah! Sungguh engkau seperti orang yang buta tuli, tidak mendengar siapa Ayahku dan tidak melihat bahwa kami adalah orang baik-baik dan kami bukanlah pengecil yang mudah kaugertak! Hayo kau cepat pergi dari sini!"
Melihat munculnya pemuda itu, berdebar rasa jantung dalam dada Hui Im. Ia pernah satu kali melihat Ciok tunangannya dan ia tidak lupa. Itu! tunangannya! Sekarang dia telah menjadi seorang pemuda dewasa yang matang, yang gagah perkasa dan ganteng! Tidak kalah ganteng dan gagahnya dibandingkan Han Beng! Bahkan pakaiannya jauh lebih mewah dan rapi. Sementara itu, Han Beng juga sudah dapat menduga bahwa tentu pemuda itulah tunangan Hui Im. Diam-diam dia merasa kagum dan bersukur. Hui Im mempunyai seorang tunangan yang demikian tampan dan gagah perkasa! Dibandingkan dengan dirinya sendiri, kalau pemuda itu dapat diumpamakan seekor merak, dia sendiri hanyalah seekor burung gagak!
"Dia meninggalkan guci kosong di dalam toko!" kata Tang Gu It sambil memandang kepada puteranya dengan bangga.
"Ah, begitukah? Biar kuambil barangnya itu!" kata Ciok An, melangkah ke
dalam toko. Semua orang memandangnya, apalagi para pegawai toko yang tadi sudah merasakan sendiri betapa beratnya guci kosong itu.
Melihat bentuk guci, Ciok An dapat menduga bahwa guci itu tentu berat sekali. Maka dia pun sudah siap sedia, Mengerahkan tenaga di dalam kedua tangannya, lalu sekali tarik, dia berhasil mengangkat guci itu. Memang terasa berat sekali olehnya, namun dia mengerahkan tenaga, menahan napas dan mengangkat guci itu tinggi-tinggi, membawanya keluar. Para pegawai toko bersorak dan bertepuk tangan memujinya,
"Nih barangmu, ambillah!" bentak Ciok An sambil melemparkan guci yang berat itu kepada pemiliknya. Kiu-bwe-houw Gan Lok menerima guci kosong itu yang dilontarkan oleh Ciok An. Melihat cara dia menyambut guci berat itu, diam-diam Han Beng mengkhawatirkan keselamatan tunangan Hui Im itu, karena dia dapat mengukur dan menduga bahwa orang tinggi kurus itu memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan tunanga Hui Im.
Biarpun hatinya agak gentar melihat betapa pihak tuan rumah ayah dan anak tidak merasa takut akan ancaman dari usahanya melakukan pemerasan, namun Gan Lok tidak mau mundur begitu saja. Dia sudah terlanjur menjual lagak, kini banyak orang menyaksikan di depan toko, walaupun dalam jarak yang aman dan cukup jauh. Setidaknya, dia harus mampu mengalahkan pemuda sombong ini, pikirnya.
"Hemmm, agaknya keluarga Tang sudah nekat!" katanya lantang.
"Tunggu saja kalau pasukan pemerintah datang dan membasmi kalian sebagai keluarga pemberontak!"
"Manusia busuk!" bentak Ciok An arah sambil melangkah maju.
"Tidak perlu banyak cerewet. Kalau memang engkau berani, tidak perlu mengancam kami dengan fitnah dan pemerasan! Hayo hadapi aku sebagai laki-laki, kalau memang engkau benar Harimau Berekor Sembilan! Kalau tidak berani, lebih baik kaugulung ekor-ekormu itu dan berjuluk Harimau Ompong dan Buntung!"
Ucapan Ciok An ini memancing gelak tawa orang-orang yang mendengarnya. Diam-diam Han Beng mengerutkan alisnya. Hemmm, pemuda ini agak terlalu mengangkat diri sendiri dan merendahkan orang lain. Sikap angkuh itu sungguh tidak akan menguntungkan dirinya.
"Hemmm !" la mengeluarkan suara tak puas.
"Apa, Twako? Ada apakah?"
Pertanyaan Hui Im itu menyadarkan Han Beng dan mukanya berubah merah. Ih, kenapa dia merasa tidak senang dan mencela pemuda yang menjadi tunangan Hui Im itu? Cemburukah? Iri hatikah?
"Uhhh, tidak apa-apa, Siauw-moi, hanya lihat...........itu tentu tunanganmu, dia sungguh gagah perkasa!"
Hui Im diam saja, hanya menundukkan mukanya yang berubah merah. Ia sendiri tidak tahu apakah ia harus gembira ataukah berduka mendengar pujian pemuda itu kepada tunangannya.
Sementara itu, ketika mendengar tantangan pemuda itu yang disusul suara tertawa para penonton, Kiu-bwe-houw Gan Lok menjadi merah mukanya dan dia sudah marah sekali. Dicabutnya pecut berekor sembilan dari punggungnya dan begitu pecut itu dia gerak-gerakkan ke udara, terdengar suara meledak-ledak nyaring. Sembilan ujung pecut itu bagaikan ular-ular hidup menyambar-nyambar. Melihat ini, semakin besar rasa khawatir di hati Han Beng. Orang ini memang lihai, pikirnya, dan memiliki pandang mata kejam. Orang seperti ini amat berbahaya, tidak akan pantang untuk membunuh tanpa sebab. Diam-diam ia memungut beberapa butir kerikil dan menggenggamnya dalam persiapannya ntuk melindungi tunangan Hui Im. Biarpun dia tidak mempunyai hubungan apa pun dengan keluarga Tang, akan tetapi mendengarkan percakapan mereka tadi, dia pun tahu bahwa orang kurus tinggi pemegang cambuk berekor sembilan itu adalah seorang pemeras. Hal ini saja sudah membuat hatinya condong berpihak kepada keluarga Tang, apalagi mengingat bahwa pemuda itu adalah tunangan Hui Im. Kini dia pun tahu bahwa berita tentang dibasminya keluarga Souw di kota raja dengan tuduhan pemberontak telah tersiar dan agaknya dipergunakan oleh orang berjuluk Harimau Ekor Sembilan itu untuk memeras keluarga Tang.
Melihat betapa lawannya sudah mengeluarkan senjata pecut, Tang Ciok An lalu mencabut pula pedang yang tadi tergantung di pinggangnya. Dia pun bukan seorang bodoh walaupun wataknya agak tinggi hati. Pemuda ini sejak kecil digembleng oleh ayahnya dan dia pun cukup awas untuk melihat bahwa lawannya adalah seorang yang lihai dan berbahaya maka melihat lawan memegang senjata aneh, dia pun mengeluarkan senjatanya.
"Bocah sombong, majulah kalau engkau ingin dihajar oleh cambukku!" bentak Gan Lok.
"Engkau yang datang mencari perkara, maka engkaulah yang lebih dulu maju menyerang," kata pemuda itu dan sikap ini diam-diam dipuji Han Beng. Cerdik juga pemuda itu, walaupun berwatak tinggi hati. Namun sudah sepatutnya kalau tinggi hati. Bukankah dia seorang pemuda yang tampan, kaya raya, gagah perkasa dan berkedudukan baik dan terpandang di kota itu?
"Bocah sombong, sambutlah cambukku!" Bentak Gan Lok dan dia sudah menyerang dengan sambaran cambuknya dari atas. Sedikitnya empat dari sembilan ekor ujung cambuk itu menyambar dan menyerang dan atas, datang dari berbagai penjuru ke arah kepala, leher dan pundak pemuda itu. Berbahaya sekali serangan itu, akan tetapi Tang Ciok An masih dapat mengelak dengan loncatan ke belakang sambil memutar pedangnya sehingga empat ekor cambuk yang menyambar itu tidak mengenai sasaran. Secepat kilat, Ciok An sudah membalas dengan terjangan ke depan sambil menusukkan pedangnya ke arah perut lawan. Namun, serangan ini dapat pula digagalkan oleh Gan Lok yang meloncat ke samping dan kini pecutnya yang tadi sudah diputarnya ke belakang, sudah menyambar lagi ke depan. Sekarang bukan hanya ada empat ekor yang menyambar, melainkan tujuh ekor ujung cambuk itu menyambar cepat dan ganas, yang diarah adalah bagian-bagian tubuh yang lemah dan ubun-ubun kepala sampai ke pusar!
Pemuda itu terkejut bukan main. Biarpun dia sudah memutar pedangnya dan kembali meloncat ke belakang, namun nyaris lehernya terkena ujung cambuk. Kemudian, Gan Lok terus menyerang bertubi-tubi dan pemuda itu hanya mampu mengelak sambil menangkis saja. Dia merasa seperti dikeroyok oleh sembilan orang lawan. Ujung-ujung cambuk itu memang lihai sekali, menyerangnya bertubi-tubi dari sudut-sudut yang tidak terduga sehingga Ciok An sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk membalas. Pemuda ini hanya mampu melindungi tubuhnya saja dan terus main mundur. Jelas bahwa dia terancam ba haya dan sewaktu-waktu tentu akan dapat dirobohkan lawan!
Melihat ini, Tang Gu It merasa khawatir sekali. Dia pun dapat melihat betapa puteranya terdesak dan diam-diam dia terkejut. Puteranya sudah memilik kepandaian yang cukup tinggi, hanya sedikit selisihnya dengan tingkatnya sendiri. Kalau Ciok An sama sekali tidak mampu membalas serangan lawan itu, berarti bahwa dia sendiri pun tidak akan dapat menandingi Kiu-bwe-houw Gan Lok!
Akan tetapi, tiba-tiba dia terbelalak! Terjadilah perubahan pada perkelahian itu! Kini bukan Ciok An yang terdesak hebat, melainkan keadaannya berbalik dan Gan Lok yang terdesak oleh pedang di tangan Ciok An! Permainan cambuk ekor sembilan yang tadi demikian lihainya, kini kacau balau dan bahkan beberapa kali ada ujung cambuk yong saling belit dan menjadi ruwet! Apakah yang sesungguhnya terjadi? Tidak ada yang tahu kecuali Han Beng sendiri, Bahkan Gan Lok sendiri pun hanya dapat merasa terkejut dan terheran-heran. Dia hanya merasa betapa beberapa kali pangkal lengannya terasa nyeri, kesemutan hampir lumpuh seperti terkena totokan, dan permainan cambuknya menjadi kacau, bukan hanya karena lengannya setengah lumpuh, akan tetapi juga beberapa kali ekor ujung cambuknya seperti tidak mau menuruti gerakan tangannya, melainkan menyeleweng dan saling libat sampai menjadi ruwet. Tentu saja dia terkejut sekali dan bingung sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya. Yang mengetahi presis hanyalah Han Beng karena hal itu terjadi akibat ulah pemuda ini. Meliha betapa pemuda tunangan Hui Im terancam bahaya sehingga Hui Im sendiri dapat melihat ini dan gadis itu tampak gelisah, diam-diam Han Beng memper gunakan jari telunjuknya untuk menyentil sebuah kerikil yang menyambar dengan amat cepatnya dan menotok pang kal lengan Kiu-bwe houw Gan Lok dai membuat lengan itu setengah lumpuh. Kemudian, beberapa kali Han Beng me nyentil kerikil lain yang tepat mengenal ekor-ekor ujung cambuk yang menjadi kacau dan saling belit!
Setelah Gan Lok menjadi bingung permainan cambuknya menjadi kacau balau, kini Ciok An mendesak dengan pedangnya dan akhirnya dia berhasil melukai pundak kiri dan paha kanan lawan.
Gan Lok meloncat ke belakang, lalu menghentikan permainan cambuknya, menjura kepada pemuda itu.
"Baiklah, hari ini aku mengaku kalah. Akan tetapi hari-hari masih banyak dan kelak aku akan menembus kekalahan hari ini!" berkata demikian, dia lalu mengambil gucinya yang masih kosong dan meninggalkan tempat itu.
Tentu saja semua orang bertepuk tangan memuji dan saking gembiranya melihat betapa perkelahian itu berubah dengan kemenangan di tangan puteranya, Tang Gu It gembira bukan main.
"Kiu-bwe-houw, tunggu dulu !" teriaknya sambil meloncat ke dekat orang
yang mau pergi itu dan dia mengeluarkan sepotong perak.
"Aku bukan seorang yang
pelit dan setiap ada orang yang datang m inta sumbangan, sudah pasti kuberi. Nah, inilah sepotong besar perak kuberikan untuk sumbangan!" Dia melemparkan potongan perak itu yang dengani cepat masuk ke dalam guci yang dipangku! Gan Lok.
Gan Lok melotot. Pemberian itu dirasakan sebagai penghinaan dan mukanya menjadi merah. Akan tetapi dia mengangguk tanpa berkata sesuatu pun, lalu pergi dengan tergesa-gesa, mukanya merah padam karena malu, penasaran dan marah. Diam-diam Kiu-bwe-houw Can Lok masih merasa bingung dan heran. Jelas bahwa dia tadi
hampir memperoleh kemenangan dan pemuda itu didesaknya sehingga tidak mampu membalas serangannya. Akan tetapi, mengapa lengan kanannya tiba-tiba menjadi setengah lumpuh dan ekor-ekor cambuknya menjadi kacau balau? Kemudian menyadari. Ah, tentu ada orang pandai diam-diam membantu oemuda itu. Kalau yang membantu itu adalah Tang Gu It sendiri, maka betapa hebat kepandaian orang itu! Dia pun menjadi jerih sekali.
Ciok An sendiri merasa bangga bukan main. Matanya bersinar-sinar wajahnya yang tampan itu berseri ketika dia memasukkan pedangnya ke sarung pedang yang tergantung dipinggangnya. Bibirnya tersenyum manis dan dengan congkak dia memandang ke sekeliling, menikmati pandang mata orang banyak yang ditujukan kepadanya dengan kagum. Para penonton itu segera bubaran dan tentu saja menjadi juru-juru warta yang amat baik sehingga nama Tang Ciok An disanung-sanjung dan dipuji-puji.
Hanya dua orang yang tidak meninggalkan tempat itu.mereka adalah Han Beng dan Hui Im. Setelah semua orang pergi, Hui Im lalu menghampiri Tang Gu It dan Ciok An yang sudah bergerak hendak memasuki toko mereka, dan Han Beng hanya mengikuti gadis itu.
Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paman ........!" Hui Im berkata sambil memberi hormat ketika ia berhadapan dengan Tang Gu It. Pria berusia lima puluh tahun yang berperawakan gagah dan berwibawa itu, dengan pakaian yang jelas menunjukkan bahwa dia seorang hartawan, menjadi heran mendengar sebutan itu. Dia memandang kepada Hui m dan juga kepada Han Beng. Agaknya dia sudah lupa sama sekali kepada keponakan yang juga menjadi calon mantunya ini, apalagi karena dia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis itu akan muncul di situ
.
"Maaf, siapakah Nona..........?" tanyanya sambil mengerutkan alisnya dan memandang tajam. Juga Ciok An memandang kepada gadis itu, lalu kepada Ha Beng yang mendampinginya.
"Paman, lupakah Paman kepada saya? Saya Souw Hui Im............."
"Ahhh!" Tang Cu It berseru kaget dan kini baru dia mengenal keponakannya itu. Juga Ciok An tertegun dan mengamati gadis yang cantik itu dengan jantung berdebar, akan tetapi alisnya berkerut ketika dia melihat ada seorang pemuda sederhana namun tampan, seperti seorang pemuda dusun, yang menemani tunangannya itu.
"Mari, mari kita masuk dan bicara di dalam.......!" kata Tang Gu It sambil memandang ke kanan kiri. Tentu saja timbul kekhawatiran di dalam hatinya kalau-kalau ada yang mengetahui bahwa gadis ini adalah puteri Souw Kun Tiong yang dituduh memberontak.
Hui Im mengangguk dan menoleh pada Han Beng. Pemuda itu nampak ragu untuk ikut masuk, akan tetapi gadis itu berkata,
"Marilah, Toako."
Mereka memasuki pekarangan rumah sete!ah menembus toko ke belakang, dan Ciok An yang sejak tadi merasa tidak senang dengan kehadiran Han Beng segera bertanya,
"Akan tetapi, siapakah dia Ini?" Dia menuding ke arah Han Beng.
"Dia ah, sebaiknya kalau kita birakan semua di dalam. Bagaimana, Paman?" kata Hui Im.
Pamannya mengangguk.
"Baik, memang seharusnya begitu. Mari kita masuk ke dalam saja. Engkau juga, orang muda," ajaknya kepada Han Beng yang kembali bersikap ragu-ragu ketika mendengar pertanyaan tunangan Hui Im tadi.
Tuan rumah membawa dua orang tamu muda itu ke ruangan dalam dan mereka disambut pula oleh isteri Tang Gu It yang tentu saja merasa terkejut akan tetapi juga girang melihat betapa keponakan suaminya atau juga calon mantunya itu berada dalam keadaan selamat, walaupun seperti juga puteranya, wanita ini mengerutkan alisnya ketika melihat bahwa gadis calon mantunya itu datang bersama seorang pemuda yang tidak mereka kenal sama sekali.
"Paman Tang Gu it, dan Bibi, perkenankan saya lebih dulu memperkenalkan Saudara ini. Dia bernama Si Han Beng, dan Toako inilah yang telah mengantar saya sampai ke sini. Toako, mereka inilah keluarga Tang seperti yang saya ceritakan kepadamu. Ini adalah Paman Tang Gu it dan isterinya, dan dia...........dia adalah Kanda Tang Ciok An."
Han Beng bangkit berdiri dan menberi hormat kepada tiga orang itu yang disambut dengan dingin saja oleh mereka bertiga, terutama sekali oleh Ciok An dan ibunya. Dua orang ini tetap merasa tidak suka melihat gadis itu diantar oleh seorang pemuda asing dalam melakukan perjalanan yang demikian jauhnya.
"Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi dengan Ayahmu. Ketahuilah, Hui Im. Baru-baru ini aku sendiri pergi ke kota raja berkunjung ke rumah keluargamu. Akan tetapi yang kudapat hanyalah berita yang mengejutkan itu. Aku mendengar pula bahwa engkau lolos dan tidak ada seorang pun tahu ke mana engkau pergi. Bagaimana kini tiba-tiba dapat muncul di sini?"
Hui Im lalu bercerita tentang pertentangan antara keluarganya dengan Ang-kin Kai-pang, dan tentang fitnah yang dilontarkan Ang-kin Kai-pang kepada ayahnya sehingga ayahnya dituduh pemberontak.
"Kalau tidak ada Toako Si Han Beng dan gurunya, kiranya saya pun tak mungkin dapat selamat. Bahkan Ayah dan Susiok juga diselamatkan oleh Toako Han Beng dan gurunya, akan tetapi mereka berdua tewas karena luka-luka mereka. Karena saya tidak mempunyai tempat tinggal lagi, tidak mempunyai keluarga, maka satu-satunya tujuan adalah datang kepada Paman dan Toako Han Beng demikian baiknya untuk mengantar saya sampai ke sini."
Suara Hui Im mengandung kedukaan, akan tetapi ia tidak lagi menangis. Sejak melakukan perjalanan dengan Han Beng, ia banyak mendengar tentang isi kehidupan dan ia pun telah pandai mengubah sikap yang keliru.
"Hemmm, engkau melakukan perjalanan sejauh itu, selama berhari-hari, berdua saja dengan pemuda ini, Hui Im? Itu namanya tidak sopan dan tidak pantas!" isteri Tang Gu It berkata dengan alis berkerut dan mulutnya meruncing tanda bahwa hatinya tidak senang.
"Benar, Bibi.Habis dengan siapa? Toako Han Beng ini penolong saya dan dia suka mengantar......"
"Memang kurang pantas kalau seorang gadis melakukan perjalanan jauh yang berhari-hari lamanya bersama seorang pemuda bukan sanak keluarga," kata pula Ciok An. Mendengar ucapan calon ibu mertua dan calon suami itu, Hui im tidak mau membantah, hanya menundukkan mukanya dengan alis berkerut.
"Sudahlah! Biarpun tidak pantas, akan tetapi kalau keadaan memaksa, mau bagaimana lagi? Apakah kalian menganggap bahwa lebih baik Hui Im melakukan perjalanan seorang diri? Lebih tidak pantas lagi, juga tidak aman," kata Tang Gu It.
"Hui Im, sukurlah kalau engkau selamat. Tidak perlu engkau bersedih. Tinggallah di sini dan setengah tahun kemudian, pernikahan antara engkau dan Ciok An kami rayakan di sini."
"Aih, kalau saja aku berada di sana, Im-moi, tentu tidak akan terjadi malapetaka menimpa keluarga Ayahmu. Aku akan lebih dulu membasmi perkumpulan pengemis-pengemis hina itu sebelum mereka dapat bertindak jahat!" kata Ciok n kepada tunangannya.
"Jaman sekarang ini memang kita tidak boleh percaya kepada sembarang orang, Moi-moi. Lihat saja tadi, Si Kiu-bwe-houw Gan Lok. Namanya saja besar, akan tetapi dia bukan lain hanyalah seorang pemeras. Untung ada aku! Benarkah engkau tidak menemui halangan sesuatu ketika engkau pergi meninggalkan kota raja kesini, Moi-moi. Tidak ada yang berbuat jahat kepadamu?"
Hui Im memandang kepada tunangannya, dan menggeleng kepala.
"Tidak terjdi apa-apa...................
"
"Benarkah? Tidak ada misalnya laki-laki yang mengganggu dan menggodamu?" Ciok An melirik ke arah Han Beng.
"Engkau seorang gadis muda yang cantik menarik, Moi-moi. Aku tidak akan merasa heran kalau banyak pria tergila-gila kepadamu dan mencoba untuk berbuat kurang ajar kepadamu!"
Hui Im maklum bahwa tunangannya itu diam-diam secara tidak langsung merasa cemburu kepada Han Beng. la mengerutkan alisnya dan kini mengangkat muka memandang tajam kepada Ciok An.
"Koko! Apakah engkau menuduh aku berbuat yang tidak-tidak, melakukan hal yang tidak sopan dan tidak tahu malu dalam perjalananku ke sini?" Ia mengajukan pertanyaan ini dengan pandang mata tajam dan suara meninggi.
"Aih, tentu saja, Moi-mol. Tentu saja engkau tidak melakukan sesuatu yang tidak baik. Akan tetapi, biasanya laki-laki yang suka kurang ajar kepada wanita. Dan engkau melakukan perjalanan berhari-hari bersama seorang laki-laki asing............."
"Koko! Toako ini adalah Si Han Beng, seorang pendekar sejati! Dia adalah murid dari Sin-tiauw Liu Bhok Ki dan Sin-Ciang Kai-ong! Sedikit. pun dia tidak pernah memperlihatkan sikap yang buruk kepadaku!"
"Hemmm, seorang pendekar sejati, ya?" Ciok An memandang kepada Han Beng dengan mata dipicingkan
.
"Ciok An!" kini Tang Gu It membentak puteranya.
"Bersikaplah wajar dan hormat kepada tamu! Bagaimanapun juga, Si - taihiap (Pendekar Besar Si) telah menyelamatkan calon isterimu! Si-taihiap, harap maafkan kami dan kami berterima asih sekali kepadamu."
Sejak tadi Han Beng telah merasa marah sekali. Hatinya terasa panas bukan main. Dia memang sudah merasa terpukul batinnya ketika melihat Hui Im bertemu dengan tunangannya, biarpun Dihiburnya perasaannya sendiri bahwa gadis itu memiliki seorang calon suami mg amat baik, tampan kaya raya, dan gagah perkasa. Karena itulah, maka tadi diam-diam membantu Ciok An megalahkan Gan Lok. Akan tetapi kini, dia hanya mendengar kata-kata yang amat tidak enak dan melihat sikap yang amat memandang rendah kepadanya. Dan sikap Tang Gu It yang merendah itu pun amat yang merendah itu pun amat dibuat-buat, atau mungkin karena mendengar nama kedua orang gurunya. Hatinya terasa panas sekali dan kalau bukan untuk Hui Im, tentu sudah sejak tadi dia pergi
.
Ibu Ciok An agaknya juga menyadari bahwa suaminya marah dan menegur puteranya, maka ia pun hendak bersikap baik.
"Benar, Ciok An. Pemuda ini sudah mengantar calon isterimu sampai ke sini dengan selamat. Sebaiknya engkau cepat mengambil perak beberapa puluh tail untuk diberikan kepadanya sebagai imbalan dan uang lelah!"
Han Beng tidak dapat menahan lagi. Dia bangkit berdiri dengan kedua telapak tangan masih berada di atas meja, lalu memandang kepada Hui Im tanpa menjawab semua kata-kata dari keluarga tuan rumah itu.
"Siauw-moi, engkau tahu benar bahwa aku mengantarmu sampai kesini tanpa pamrih apa pun. Aku sudah merasa berbahagia sekali bahwa engkau telah bertemu dengan keluarga calon suamimu dengan selamat. Aku tidak minta imbalan upah apa pun, akan tetapi aku pun tidak sudi untuk dipandang rendah oleh siapa pun! Nah, engkau sudah tiba di tempat tujuan, Siauw-moi, maka perkenankan aku pergi sekarang."
"Nanti dulu, Toako! Ah, jangan engkau pergi dengan perasaan tidak enak seperti itu. Kau kaumaafkanlah semuanya, Toako. Semua ini hanya kesalah pahaman belaka. Toako, aku minta, dengan hormat dan sangat, sudilah engkau hadir pada perayaan pernikahanku tengah tahun mendatang."
Mereka berdiri dan saling pandang. Han Beng melihat betapa sepasang mata yang indah itu memandang kepada penuh permohonan, bahkan kedua mata itu basah dengan air mata. Hanya terasa lemas dan dia pun mengangguk.
"Kalau Tuhan memperkenan aku tentu akan datang. Nah, selamat tinggal, Adik Souw Hui Im!"
Setelah berkata demikian, semua orang yang duduk di situ hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh pemuda itu sudah lenyap dari situ! Tentu saja Tang Gu It, isterinya dan Ciok An, terkejut bukan main. Mereka memandang ke arah pintu depan, namun tidak nampak lagi bayangan Han Beng dan tiba-tiba Tang Gu It menuding kearah meja yang tadi dihadapi Han Beng dengan telunjuk gemetar. Ciok An dan ibunya memandang, juga Hui Im. Dan meja di mana tadi ditekan oleh kedua telapak tangan Han Beng, nampak ada tanda dua telapak tangan dan papan meja itu hangus dan masih mengepulkan sedikit asap! Agaknya, saking marahnya dan menahan perasaannya, Han Beng menyalurkan kekuatannya melalui kedua telapak tangan dan sin-kang itu mendatangkan hawa panas yang sampai membakar papan meja!
"Ahhhhh.......!" Ciok An berseru dan wajahnya berubah pucat. Dia memandang kepada tunangannya.
"Im-moi........ dia.............. dia begitu saktikah............?"
Gadis itu menundukkan mukanya agar jangan nampak kedukaan membayangkandiwajahnya dan dengan perlahan ia mengangguk,
"la memang seorang pendekar sakti, seperti seekor naga sakti.............
"
Tang Gu It menarik napas panjang "Nah, sekarang terbukalah matamu, Ciok An. Jangan mudah memandang rendah orang lain. Tadi pun aku sudah terkejut mendengar bahwa dia murid Sin-tiauw Liu Bhok Ki dan Sin-ciang Kai-ong! Tahukah engkau siapa kedua orang sakti itu? Mereka adalah dua orang sakti yang amat terkenal di dunia kang-ouw, karena itu tadi pun aku segera menyebutnya taihiap. Akan tetapi engkau sudah tidak tahu diri, masih saja merendahkannya. Bahkan ingin memberi hadiah uang kepada seorang pendekar sakti! Sungguh menggelikan dan memalukan sekali!"
Keluarga itu masih belum hilang kagetnya dan sejak hari itu, mereka tidak pernah lagi menyebut nama Han Beng, apalagi membicarakan persangkaan buruk kepada pendekar itu. Sikap mereka terhadap Hui Im juga menjadi baik dan hal ini sedikit banyak menghibur hati gadis itu yang merasa kehilangan sekali setelah Han Beng pergi. Baru ia yakin benar bahwa sesungguhnya ia telah jatuh cinta kepada pendekar itu. Akan tetapi apa daya? Sejak kecil ia sudahditunangkan denganTang Ciok An dan tidak mungkin ia mengubah kenyataan ini. Pertama, ia harus mentaati keputusan ayahnya, apalagi setelah ayahnya meninggal dunia, ia harus lebih mentaatinya lagi. Pesan seorang yang sudah meninggal dunia adalah pesanan yang suci dan harus ditaati. Kedua, ia sudah ditampung oleh keluarga tunangannya, dan bagaimanapun juga, calon ayah mertuanya adalah pamannya sendiri pula. Ia tidak mempunyai tempat lain atau keluarga lain yang dapat ditumpangi. Dan ke tiga, harus diakuinya bahwa pilihan orang tuanya itu pun tidak keliru, tidak mengecewakan. Ia sudah harus merasa beruntung mendapatkan seorang calon suami seperti Tang Ciok An, Dia ganteng, tampan, gagah perkasa, kaya raya. Mau apa lagi?
Sepasang Naga Lembah Iblis Eps 8 Si Bayangan Iblis Eps 4 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 15