Ceritasilat Novel Online

Asmara Si Pedang Tumpul 10


Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 10




   Andaikata tidak ada hubungannya dengan Lili, tentu dia tidak akan bersusah payah mencurigai dan membayangi Yauw Siucai. Namun karena pada saat itu pikirannya penuh dengan bayangan Lili yang agaknya oleh ibu kandungnya sendiri, di luar pengetahuannya, hendak diadu melawan ayah kandungnya sendiri, disuruh saling serang dan saling bunuh antara anak dan ayah kandung, maka kemunculan Yauw Siucai itu menarik perhatiannya.

   Sin Wan menyelinap ke dalam rumah melalui pintu samping yang kecil, dan dia hampir yakin bahwa rumah itu kosong. Tak mungkin Yauw Siucai bersembunyi di rumah ini, pikirnya. Pula, kenapa bersembunyi? Dia yang tadi kurang waspada. Mungkin sastrawan itu menghilang di sebuah tikungan di lorong itu, atau memasuki sebuah pintu kecil yang terbuka. Dia telah salah duga dan tergesa-gesa mengira sastrawan itu masuk ke sini. Namun, dia tetap penasaran. Dia sudah terlanjur masuk, maka diintainya setiap ruangan di rumah itu.

   Ketika dia mengintai sebuah kamar yang besar dari balik jendela, dia terkejut. Dalam kamar yang tertutup dan remang-remang itu, dia melihat seseorang rebah terlentang di atas pembaringan dan dengkurnya terdengar lirih. Seseorang yang bertubuh tinggi besar dan perutnya gendut sekali. Dia mencurahkan perhatian dan mengamati.

   Berdebarlah jantung Sin Wan, penuh ketegangan ketika dia mengenal orang itu. Sama sekali bukan Yauw Siucai, melainkan seorang tinggi besar gendut yang mengenakan kedok hitam! Si Kedok Hitam yang pernah bertanding dengan dia di gedung peristirahatan Pangeran Mahkota! Kedok Hitam yang amat lihai itu, yang menjadi pemimpin dari gerombolan berkedok, yang mengatur pencurian benda-benda dari gedung pusaka!

   Dengan girang karena dapat menemukan tempat persembunyian pimpinan kedok hitam yang dia yakin tentulah mata-mata orang Mongol, karena telah mencuri benda-benda tanda kekuasaan milik bekas kaisar Mongol, Sin Wan siap untuk menangkapnya. Jasanya akan besar sekali kalau dia dapat menangkap pemimpin gerombolan mata-mata dan menyeretnya ke depan Jenderal Shu Ta!

   Tanpa ragu lagi, dia membuka jendela dengan hati-hati, lalu meloncat ke dalam kamar itu. Suara dengkur lirih itu tidak terhenti, tanda bahwa Si Kedok Hitam itu masih tidur nyenyak. Agar tidak mencurigakan kalau-kalau ada orang lain berada di luar rumah itu. Sin Wan menutupkan kembali daun jendela dan pada saat dia hendak meloncat ke dekat pembaringan, tiba-tiba terdengar bunyi desis yang tajam.

   Sin Wan terkejut, desis itu seperti desis ular dan dia menoleh ke kiri, akan tetapi terdengar bunyi desis-desis lain dari sekelilingnya dan tiba-tiba saja kamar itu telah penuh asap yang amat keras menyengat hidung. Asap beracun! Karena tadinya dia tidak menduga, hidungnya terlanjur menyedot sedikit asap yang membuat kepalanya tiba-tiba terasa pening. Ketika dia hendak meloncat keluar lagi, dia bingung mencari-cari di mana adanya jendela tadi. Kepeningan membuat pandang matanya berkunang dan tempat itu seperti berputar.

   Pada saat itu ada angin menyambar dari belakang. Dia membalik sambil menangkis, berhasil menangkis tiga kali serangan, akan tetapi karena kepalanya pening, akhirnya sebuah totokan mengenai punggungnya dan diapun roboh dengan kedua kaki seperti lumpuh. Dia berjuang untuk menahan napas agar tidak menyedot asap yang semakin tebal, dan melihat bayangan Si Kedok Hitam meloncat keluar dari pintu kamar yang segera tertutup kembali.

   "Ha..ha..ha..ha..ha.." Si Kedok Hitam yang keluar dari kamar itu, kini tertawa bergelak-gelak tanda kegembiraan hatinya dapat menangkap seorang musuh yang tangguh sedemikian mudahnya.

   Pada saat itu, pimpinan gerombolan mata-mata Mongol ini memang sedang berada seorang diri di rumah persembunyian mereka. Ketika tadi melihat Sin Wan memasuki tempat itu, cepat dia memasang perangkap. Kamar itu memang kamar yang diperlengkapi dengan alat rahasia yang menyemprotkan asap beracun. Si Kedok Hitam yang pura-pura tidur telentang di pembaringan itu yang menekan tombolnya ketika Sin Wan melompat masuk ke kamar. Kemudian, pada saat Sin Wan terpengaruh asap beracun, dia menyerang dengan dahsyat dan berhasil merobohkan pemuda dengan totokan.

   Untuk menghindarkan asap beracun, dia lalu melompat keluar kamar dan saking gembiranya dia tertawa bergelak.

   "Ha..ha-ha..ha-ha! Mampus kau sekarang, bocah usil......... ha..ha..ha........" Tiba-tiba dia menghentikan tawanya dan melempar tubuh ke belakang, Tiga batang jarum lembut menyambar lewat dan pada saat itu, sesosok bayangan melayang turun dari atas genteng dan bagaikan seekor burung garuda, bayangan itu telah menyerang Si Kedok Hitam dengan sebatang pedang yang mengeluarkan hawa dingin sekali. Serangan itu cepat dan dahsyat bukan main, mengejutkan Si Kedok Hitam yang merupakan seorang yang sakti. Dia tidak berani memandang rendah dan cepat meloncat ke belakang. Ketika dia memandang, dia terheran-heran karena penyerangnya itupun mengenakan topeng hijau dan berpakaian serba hijau pula. Akan tetapi jelas bahwa ia seorang wanita! Seorang gadis yang masih muda, bertubuh padat langsing dan rambutnya hitam sekali.

   Kembali gadis berpakaian dan bertopeng hijau itu menyerang dan serangannya lebih dahsyat lagi. Si Kedok Hitam dapat menilai bahwa dia berhadapan dengan lawan yang amat tangguh, maka dia pun cepat menggerakkan kedua tangannya yang berlengan baju lebar. Ujung kedua lengan bajunya itulah yang dia pergunakan sebagai senjata dan mereka telah saling serang dengan dahsyat sekali dalam waktu yang singkat itu. Keduanya terkejut, maklum bahwa lawan memang hebat dan tidak boleh dipandang ringan.

   Si Kedok Hitam merasa khawatir. Tanpa dibunuhpun, pemuda yang sudah terjebak itu akan mati sendiri oleh asap heracun. Wanita berkedok hijau ini lihai bukan main. Walaupun dia tidak akan kalah, namun untuk merobohkan wanita ini bukan hal yang mudah. Dia khawatir kalau ada lawan lain yang datang. Dia bukan takut kalah, melainkan takut kalau keadaan dirinya diketahui. Dia memegang peran penting dalam jaringan mata-mata Mongol, maka tidak boleh sampai dikenal orang. Teringat akan ini, dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan kedua ujung lengan bajunya menyambar-nyambar seperti kilat, membuat lawannya meloncat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Si Kedok Hitam untuk meloncat dan lenyap melalui sebuah pintu rahasia.

   Wanita bertopeng dan berpakaian hijau itu tidak melakukan pengejaran karena iapun tahu betapa lihainya orang tadi sehingga mengejar orang selihai itu di tempat yang penuh alat rahasia ini dapat membahayakan diri sendiri. Yang terpenting adalah menolong pemuda yang tadi terperangkap, pikirnya. Ia memasuki kamar yang masih penuh dengan asap itu dan cepat menahan napas karena ia maklum bahwa asap itu berbahaya kalau sampai tersedot.

   Sementara itu, tadi Sin Wan terpaksa menutup pernapasannya karena dia tidak mampu melarikan diri dari kamar penuh asap itu. Namun, dia hanya seorang manusia biasa, maka tak mungkin dapat, menahan pernapasan terlalu lama. Jalan pernapasannya tertutup dan karena kekurangan hawa udara, diapun merasa semakin pening dan roboh pingsan. Dia tidak tahu betapa wanita bertopeng hijau memasuki kamar itu dan memondong tubuhnya ke luar dari dalam kamar yang penuh asap, membawanya keluar rumah dan merebahkannya di atas rumput di kebun samping rumah itu.

   Sunyi di situ, tidak nampak seorangpun manusia. Dan memang pada waktu itu, yang berada di rumah itu hanyalah Si Kedok Hitam yang telah melarikan diri karena khawatir kalau dirinya diketahui orang luar.

   Wanita bertopeng itu memeriksa keadaan Sin Wan dengan cepat. Sepasang matanya yang bening dan mencorong dari balik topeng meneliti keadaan pemuda itu, jari-jari tangannya meraba-raba dan menotok punggung dan pundak, membebaskannya dari totokan. Melihat Sin Wan masih pingsan dan keadaan dadanya menggembung dan keras kaku, tahulah ia bahwa ada kemacetan pada paru-parunya, tentu karena pemuda itu menutup jalan pernapasannya sebelum pingsan agar tidak kemasukan asap beracun, pikirnya.

   Hanya ada satu cara untuk menyelamatkan pemuda ini dari cengkeraman maut. Mukanya sudah mulai kehijauan karena kekurangan udara. Ia menyingkap bagian bawah topengnya sehingga nampak hidung dan mulutnya yang memiliki sepasang bibir yang merah basah karena sehat, lalu tanpa ragu-ragu ia menutup kedua lubang hidung pemuda itu dengan jari tangannya dan menempelkan mulutnya pada mulut Sin Wan yang dipaksanya membuka, lalu iapun meniup dengan kuatnya ke dalam dada Sin Wan melalui rongga mulutnya. Beberapa kali ia mengulangi dan karena tiupannya amat kuat, maka hawa yang keluar dari mulutnya dan ditiupkannya itu berhasil membuka jalan pernapasan Sin Wan, membuat dadanya kembang kempis dan paru-parunya bekerja kembali.

   Wanita itu menarik napas lega, dan tiba-tiba kedua pipinya berubah merah sekali dan ia cepat menutupkan kembali topeng kain bagian bawah sehingga mulut yang mungil dan hidung mancung itupun lenyap tertutup topeng hijau. Ia mengamati wajah Sin Wan, menghela napas lagi dan menunduk, termenung. Ia tidak melihat betapa bulu kedua mata Sin Wan bergerak-gerak, kemudian kedua mata itu terbuka perlahan-lahan. Begitu melihat seorang memakai topeng di dekatnya, duduk di atas batu dan dia sendiri rebah di atas rumput, Sin Wan segera melompat dan menyerang dengan totokan tangannya yang ampuh.

   Wanita bertopeng itu terkejut, akan tetapi tidak sempat mengelak lagi sehingga pundaknya tertotok dan iapun terkulai lemas. Sin Wan terbelalak, karena baru sekarang dia melihat bahwa yang ditotoknya roboh itu sama sekali bukanlah laki-laki tinggi besar perut gendut yang berkedok hitam. Bukan Si Kedok Hitam yang tadi menjebaknya sehingga dia roboh pingsan dalam kamar, dan tubuhnya tidak tertotok lagi! Orang ini adalah seorang wanita yang mengenakan topeng hijau dan berpakaian serba hijau.

   "Eh..... ohh..... maaf..... kukira Si Kedok Hitam! Siapa..... engkau......?" Sin Wan berkata gagap karena bingung dan ragu.

   Wanita itu tidak mampu bergerak, akan tetapi mampu melototkan matanya dan mengeluarkan suara yang nadanya marah dan mengejek.

   "Bagus, kiranya yang kuselamatkan nyawanya adalah seorang manusia tak berbudi yang membalas pertolongan orang dengan serangan yang curang!"

   Mendengar ini, teringatlah Sin Wan bahwa dia yang tadinya berada di dalam kamar dan terserang asap beracun, juga tertotok lumpuh ini telah berada di kebun dan totokannya juga sudah bebas, dan tidak ada lagi bekas keracunan asap.

   "Ah, maafkan aku.....!" katanya cepat dan diapun segera membebaskan totokannya dengan muka berubah merah karena merasa malu dan menyesal. Dia melihat wanita itu bangkit berdiri dan cepat dia merangkap kedua tangan di depan dada, lalu memberi hormat sambil membungkuk rendah, menundukkan muka dan berkata penuh penyesalan,

   "Maafkan aku...... kukira Si Kedok Hitam.........!"

   Wanita itu menjadi semakin marah.

   "Si Kedok Hitam? Yang tinggi besar dan perutnya gendut itu? Lihat, buka matamu baik-baik, apakah aku tinggi besar. Apakah perutku gendut? Lihat!"

   Akan tetapi Sin Wan tidak berani melihat, bahkan tidak berani mengangkat muka karena tadi pun dia sudah melihat bahwa orang ini adalah seorang wanita yang berkulit putih mulus, bertubuh sedang dan mungil, dan pinggangnya ramping, perutnya kempis!

   "Maafkan aku......." Saat itu, tangan si topeng hijau bergerak, cepat sekali dan di lain saat Sin Wan sudah terkulai, tertotok persis seperti yang dia lakukan kepada wanita bertopeng itu. Dia terkejut, akan tetapi juga kagum, karena tahulah dia bahwa wanita bertopeng ini sungguh lihai sekali. Tidak mengherankan kalau ia mampu menyelamatkannya.

   Mulut di balik topeng itu mengeluarkan suara tawa mengejek.

   "Heh..heh, apa kaukira hanya engkau sendiri yang mampu menotok roboh orang secara curang? Akupun bisa!"

   "Nona, aku kesalahan tangan menotokmu tanpa memberi peringatan, dan engkau kini membalas dengan perbuatan yang sama, itu namanya sudah adil dan akupun tidak menyesal. Tadi engkau telah menyelamatkan nyawaku, kalau sekarang engkau hendak membunuhku, akupun tidak akan menyesal, berarti hutangku sudah lunas."

   Mata di balik topeng itu terbelalak mendengar ucapan Sin Wan yang dilakukan dengan suara sungguh-sungguh itu.

   "Apa katamu? Engkau tidak takut mati?"

   Sin Wan tersenyum.

   "Mati adalah bagian tak terpisahkan dari hidup. Kalau sudah tiba saatnya mati, ditakutipun tidak ada gunanya, tetap akan mati. Akan tetapi kalau belum tiba saatnya mati, diancam bagaimanapun juga, tidak akan mati."

   "Hemm, kalau sekarang aku membunuhmu, siapa yang akan dapat membebaskanmu dari kematian? Nyawamu berada di tanganku!"

   "Tidak, nona. Nyawaku, juga nyawamu dan nyawa setiap orang semua berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan tidak menghendaki aku mati, engkau atau siapapun tidak akan dapat membunuhku. Buktinya, tadi dalam ancaman maut, pada saat terakhir muncul engkau yang menyelamatkanku, itu berarti bahwa Tuhan belum menghendaki aku mati."

   "Huh, sombong! Kalau sekarang aku menggerakkan tangan membunuhmu, apakah Tuhan akan menolongmu?"

   "Aku yakin, nona. Kalau Tuhan menghendaki aku hidup, engkau tidak akan berhasil membunuhku!

   Si topeng hijau itu merasa ditantang. Ia mengangkat tangan kanan ke atas, siap untuk memukul. Sin Wan maklum bahwa sekali tangan itu menyambar, dia akan tewas tanpa, dapat ditolong lagi. Akan tetapi sedikitpun dia tidak was-was, tidak takut dan bahkan tersenyum sambil memandang, berkedippun tidak! Mata di balik topeng itu berkilat, tangan itu menyambar turun, akan tetapi berhenti di tengah-tengah.

   "Kenapa tidak dilanjutkan, nona?" tanya Sin Wan, tenang saja.

   "Hemm, kalau tangan ini kulanjutkan, engkau pasti mati dan Tuhanpun tidak akan dapat menyelamatkanmu."

   Sin Wan tersenyum.

   "Nona, inilah buktinya bahwa Tuhan belum menghendaki aku mati, maka nona tidak melanjutkan pukulanmu."

   "Huh! Tapi kenapa engkau tersenyum? Aku bukan pembunuh keji yang suka membunuh orang yang tidak melawan." Tangannya menyambar, akan tetapi bukan untuk memukul, melainkan untuk membebaskan totokannya tadi. Sin Wan dapat bergerak dan diapun berdiri sambil tersenyum.

   "Nona, orang yang percaya kepada Tuhan, percaya lahir batin dan bukan hanya pengakuan dimulut saja, tentu akan bersikap pasrah dan menyerah terhadap kekuasaan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki aku mati, aku ingin mati dengan senyum di mulut, bukan dengan tangis dan ketakutan."

   Sejenak nona itu memandang penuh selidik, lalu menggeleng kepala.

   "Engkau orang aneh. Belum pernah selama hidupku bertemu dengan seorang manusia aneh macam kamu!"

   "Dan akupun belum pernah selama hidupku bertemu dengan seorang gadis yang cantik dan lihai, juga berbudi mulia sepertimu, nona."

   "Heiii! Bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu?"

   "Mengetahui apa, nona?"

   "Engkau sebut aku nona, dan engkau katakan aku cantik...."

   Sin Wan tersenyum.

   "Ah, mudah sekali, nona. Dari bentuk tubuhmu, kulit lengan, dahi dan lehermu, rambutmu, sinar matamu dari balik topeng, kemudian suaramu yang bening merdu, mudah saja aku mengetahui bahwa engkau adalah seorang gadis muda yang cantik jelita."

   "Hemm, ngawur! Engkau tidak pernah melihat wajahku, bagaimana bisa mengatakan cantik"

   "Tentu saja bisa. Dengan rambut seperti itu, kulit seperti itu, mata seperti itu, tidak mungkin nona tidak memiliki kecantikan yang luar biasa."

   "Lebih ngawur lagi! Wajahku amat jelek, penuh bekas cacar dan noda hitam, karena itu kusembunyikan di balik topeng."

   "Kecantikan bukan karena wajah halus saja, nona. Kecantikan terletak lebih mendalam lagi, engkau memiliki semua kecantikan itu. Biar wajahmu penuh cacar dan noda hitam sekalipun, bagiku engkau tetap cantik. Sayang engkau penakut, tidak berani memperlihatkan wajahmu seperti aku memperlihatkan wajahku kepadamu tanpa kusembunyikan. Engkau seperti Si Kedok Hitam saja......."

   "Lancang mulut! Aku memakai topeng bukan karena takut!"

   Berkata demikian, ia merenggut topeng kain hijau itu terlepas dari depan mukanya dan Sin Wan tertegun, terpesona. Wajah itu berkulit putih mulus, berbentuk bulat dengan alis yang amat hitam seperti digambar. Hidungnya kecil mancung dan mulut itu memiliki bibir yang menggairahkan. Sepasang mata itupun indah seperti yang sudah dapat diduganya.

   "Kenapa engkau bengong?" Gadis itu membentak.

   Sin Wan bagaikan baru sadar dari mimpi. Dia menggeleng kepala dan menghela napas panjang.

   "Engkau jauh sekali lebih dari pada yang kubayangkan, nona. Tuhan telah memberkahimu berlimpah-limpah, dengan segala kecantikan aseli, dengan suara merdu, dengan sinar mata indah mencorong seperti bintang, dan bentuk tubuhmu mungil..... kecantikanmu agak asing rasanya begitu, tidak seperti kecantikan gadis-gadis lain yang pernah kulihat."

   Biarpun Sin Wan bukan seorang laki-laki perayu yang pandai menyenangkan hati wanita dengan pujiannya, bahkan kata-katanya agak kaku, namun tetap saja gadis itu merasa. Wanita mana yang tidak senang akan pujian tentang kecantikannya, apalagi yang memuji itu seorang laki-laki yang berkenan di hatinya. Dan dalam pandangan pertama ketika Sin Wan masih pingsan, apalagi setelah ia terpaksa menghidupkan kembali pemuda itu melalui pernapasan dari mulut ke mulut, pemuda itu mendatangkan kesan yang amat mendalam di hati gadis itu.

   "Aku memang bukan seorang gadis Han aseli, aku keturunan Jepang."

   "Aih, pantas kalau begitu, tubuhmu begini mungil dan alismu begitu hitam!"

   "Sudah, simpan sisa pujianmu. Sekarang katakan, siapa engkau dan apa artinya semua peristiwa yang terjadi di rumah itu" Ia menunjuk ke arah rumah gedung yang nampak sunyi.

   "Akupun bukan orang Han, nona. Ayah ibuku berbangsa Uighur, akan tetapi sejak kecil aku dididik seperti orang Han. Namaku Sin Wan. Dan, kalau boleh aku mengetahui namamu......"

   "Namaku Ouwyang Kim," jawab gadis itu dengan singkat.

   Sin Wan memandang dengan mata terbelalak.

   "Ah, kalau begitu nona tentulah puteri dari locianpwe (orang tua gagah) Ouwyang Cin yang berjuluk Tung-hai-liong!"

   Ouwyang Kim mengerutkan alisnya dan sinar matanya menyambar tajam penuh selidik.

   "Bagaimana pula engkau dapat tahu?"

   "Mudah sekali, nona Ouwyang! Nama keturunanmu Ouwyang, ilmu silatmu dahsyat dan engkau keturunan Jepang. Siapa lagi kalau bukan puteri Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang namanya sudah kudengar di mana-mana?"

   Kembali gadis itu mengerutkan alisnya. Tak nyaman rasa hatinya mendengar pemuda itu mengenal nama ayahnya. Ia tahu bahwa di dunia persilatan, nama ayahnya tidaklah nama yang sedap, karena ayahnya adalah seorang datuk yang menguasai semua bajak laut dan para perampok di sepanjang pantai.

   "Sudahlah, ceritakan apa yang terjadi di sini dan apa maksudmu memasuki tempat ini seperti maling tadi."

   Sin Wan memandang penuh selidik dan dia ragu. Gadis ini adalah puteri seorang datuk sesat, dan Si Kedok Hitam juga memimpin mata-mata dan pencuri gudang pusaka. Mereka itu segolongan! Akan tetapi hatinya membantah. Biarpun ayah gadis ini datuk sesat, akan tetapi gadis ini jelas menentang Si Kedok Hitam dan buktinya telah menyelamatkannya. Setelah dia diselamatkan orang, apakah dia harus tidak percaya kepada penolongnya? Tidak, dia harus jujur dan berterus terang karena dari sinar matanya, bicaranya, dan sikapnya, dia tidak percaya kalau gadis seperti ini akan berpihak kepada pemberontak atau penjahat, biarpun ayahnya seorang datuk sesat.

   "Nona Ouwyang........"

   "Ah, sudahlah, sebut saja aku Akim dan ceritakan yang jelas."

   Sin Wan tersenyum. Tepat penilaiannya. Gadis ini selain lembut hati dan baik budi, juga jujur dan bersahaja.

   "Baiklah. Akim. Aku adalah seorang penyelidik yang bertugas untuk menentang jaringan mata-mata Mongol yang beraksi di kota raja."

   Akim teringat akan nasihat ibunya dan ia mengangguk-angguk.

   "Bagus, orang Mongol memang penjajah yang harus ditentang dan mereka sudah kalah. Lanjutkan ceritamu, Sin Wan."

   Mendengar ucapan itu, semakin senang dan yakinlah hati Sin Wan bahwa kepada gadis ini dia boleh mempercayainya. Dia melanjutkan,

   "Ketika terjadi pencurian benda-benda pusaka dari gudang pusaka kerajaan, aku pernah melihat Si Kedok Hitam, akan tetapi aku gagal menangkapnya karena dia memang ihai. Oleh karena itu, ketika tadi aku melihat seorang siucai yang kucurigai lenyap di lorong itu, aku menduga bahwa dia menghilang di sini dan aku mencurigai rumah ini. Maka, melihat lorong itu sepi, aku lalu meloncati pagar tembok dan masuk ke sini."

   "Hemm, saat engkau meloncat itulah aku melihatmu, maka aku cepat mengenakan topeng ini dan kubayangi engkau."

   "Setelah aku mengintai, rumah ini sunyi dan dapat kaubayangkan betapa girang hatiku ketika aku melihat Si Kedok Hitam tidur mendengkur di sebuah kamar........"

   "Kamar rahasia penuh perangkap dan engkau terjeblos!" gadis itu mencela.

   Sin Wan tersipu. Harus diakuinya bahwa dia memang agak ceroboh tadi. Dia mengangguk.

   "Aku sudah berhati-hati, sama sekali tidak mengira akan diserang dengan asap beracun karena dia sendiri tidur di situ. Pada saat aku pening, sebelum sempat menerjang keluar, si Kedok Hitam berhasil menotokku roboh. Aku hanya dapat menghentikan jalan pernapasan dan tidak ingat apa-apa lagi. Maka, ketika aku siuman di sini dan melihat seorang mengenakan topeng, tentu saja aku mengira bahwa engkau Si Kedok Hitam atau setidaknya seorang anak buahnya, karena memang dia mempunyai anak buah yang mengenakan kedok. berbagai warna, ada yang hijau."

   "Hemm, penyelidik macam apa engkau ini, begitu mudah tertawan musuh. Siapa sih yang menyuruhmu melakukan penyelidikan?"

   "Aku mendapat kekuasaan dari Kaisar sendiri dan aku bekerja sama dengan seorang panglima. Sekarang, ceritakan keadaanmu, Akim. Bagaimana engkau dapat begitu kebetulan melihat aku melompati pagar tembok dan membayangi sehingga dapat menolongku."

   "Hemm, cerita tentang diriku tidak menarik. Aku meninggalkan tempat tinggal kami di lembah Muara Huang-ho untuk melakukan perantauan. Aku berkunjung ke kota raja karena perantauanku adalah untuk menyusul ayah dan kukira ayah berada di kota raja. Aku mempersiapkan topeng dan selalu mengenakan pakaian hijau karena aku tidak ingin ayah melihatku. Dia akan marah kalau melihat aku menyusulnya. Nah, ketika aku berjalan-jalan, kebetulan aku memasuki lorong itu untuk mencari jejak ayah, dan aku melihatmu melompati pagar tembok. Aku lalu membayangimu dan ketika aku melompat ke dalam, aku kehilangan bayanganmu dan rumah itu sunyi sekali. Selagi aku mencari ke sana sini, tiba-tiba aku mendengar suara orang tertawa. Dia adalah seorang laki-laki tinggi besar berperut gendut yang memakai kedok hitam, dan dia berdiri di depan sebuah kamar dari mana mengepul asap yang dari baunya aku tahu bahwa asap itu asap beracun. Akupun dapat menduga apa yang terjadi. Tentu engkau terjebak di kamar itu, maka aku lalu menyerang Si Kedok Hitam itu. Ternyata dia lihai bukan main, akan tetapi agaknya dia tidak ingin berkelahi terus. Dia melarikan diri dan aku tidak mengejarnya, melainkan cepat memasuki kamar dan membawamu keluar ke sini."

   "Dan engkau menyelamatkan nyawaku, Akim. Entah bagaimana aku dapat membalas budimu yang besar. Engkau telah membawaku keluar dari kamar berasap itu, lalu membebaskan totokanku dan bagaimana engkau dapat mengobatiku sedemikian cepatnya?"

   Tiba-tiba saja wajah gadis itu menjadi kemerahan.

   "Aku.... aku melihat engkau pingsan, dadanya melembung besar dan keras, kaku, pernapasanmu berhenti sama sekali. Kukira engkau sudah mati........."

   "Ah, aku ingat sekarang. Sebelum pingsan, aku mengambil satu-satunya cara untuk mencegah asap beracun memasuki dadaku. Aku menghentikan jalan pernapasanku dan karena tidak tahan aku lalu tidak ingat apa-apa lagi."

   Akim mengangguk.

   "Engkau sudah kaku dan mukamu kebiruan........"

   "Engkau ahli pula dalam pengobatan agaknya."

   Akim menggeleng kepalanya. Ia seorang gadis yang jujur dan terbuka, akan tetapi sekali ini, ia seperti tenggelam dalam perasaan sungkan dan malu kalau harus menceritakan bagaimana ia tadi menyelamatkan Sin Wan.

   "Lalu bagaimana engkau dapat membuat jalan pernapasanku bekerja kembali?"

   Sin Wan ingin tahu sekali karena menurut pengetahuannya, jalan pernapasan yang sudah dihentikannya itu, dalam keadaan dia jatuh pingsan, tak mungkin dapat terbuka sendiri atau bekerja sendiri. Dia sendiripun tidak akan dapat menolong orang yang keadaannya seperti dia tadi.

   "Aku memberimu pernapasan......"

   "Eh? Memberi pernapasan? Bagaimana maksudmu, Akim?"

   "Aih, Sin Wan Kenapa engkau cerewet, sih? Bukankah yang penting aku sudah berhasil membuatmu bernapas kembali?"

   "Akim, aku berterima kasih sekali kepadamu. Bukan maksudku untuk menjadi cerewet, akan tetapi aku ingin sekali tahu agar sewaktu-waktu ada peristiwa seperti itu, aku dapat mengobati orang yang keadaannya seperti aku tadi."

   Akim termenung.

   "Sin Wan, terus terang saja, kalau bukan engkau kebetulan mendatangkan perasaan iba dan percaya kepadaku, kalau orang lain, sampai matipun aku tidak akan sudi memberi pengobatan seperti itu, dengan jalan memberi pernapasan."
"Sekali lagi terima kasih, Akim. Akan tetapi aku tidak mengerti apa maksudnya memberi pernapasan itu."

   "Ya memberi pernapasan, meniupkan napas ke dalam paru-parumu! Bodoh benar sih kau ini!"

   Gadis itu nampak jengkel dan mukanya menjadi semakin merah. Biar ia sudah berusia duapuluh tahun, namun Ouwyang Kim belum pernah bergaul dekat dengan pria, bahkan ia merasa jemu dan jengkel melihat suhengnya, Maniyoko, kelihatan begitu mencintanya. Bergaul akrab dengan priapun belum, apa lagi beradu mulut seperti yang ia lakukan ketika meniupkan kehidupan kepada Sin Wan!

   "Meniupkan napas ke dalam paru-paruku..... Tapi..... tapi.... bagaimana caranya?" Sin Wan bertanya dengan jujur, tidak dibuat-buat karena memang dia sama sekali tidak pernah membayangkan cara yang mustahil itu.

   "Tolol benar, tentu saja aku meniupkan napas ke dalam paru-parumu, melalui mulutmu dan dengan menutupi hidungmu!"

   Akim menjawab cepat, akan tetapi ia menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata Sin Wan yang terbelalak dengan mulut terbuka saking kaget dan herannya.

   Sejenak suasana menjadi hening. Akim menunduk dan Sin Wan memandang kepadanya dengan bengong, tidak berani berkata apa-apa karena apa yang dikatakan gadis itu sungguh di luar dugaannya sama sekali.

   Kini dia membayangkan betapa mulut yang indah itu tadi meniupkan napas ke dalam dadanya melalui mulutnya. Mulut mereka tadi bertemu entah berapa lama dan entah berapa kali. Walaupun jantungnya berdebar keras dan dia ingin sekali tahu berapa lama dan berapa kali, namun dia tidak memiliki keberanian untuk menanyakannya. Melihat gadis itu menunduk dan kelihatan malu sekali, dia merasa kasihan. Pantas gadis yang demikian gagah menjadi seperti seorang perawan desa yang malu-malu, kiranya dia memaksa gadis itu menceritakan adegan yang mustahil!

   "Ahhh.... maafkan aku, Akim....... semakin besar jasa dan budimu. Aku tidak akan melupakannya selama hidupku. Engkau.... engkau sungguh teramat baik kepadaku, Akim."

   "Cukup, aku bisa menjadi muak tiada hentinya engkau berterima kasih seperti itu. Aku ingin tahu, apakah engkau seorang perwira, atau seorang pejabat pemerintah yang bertugas sebagai penyelidik"

   Sin Wan menggeleng kepala.

   "Bukan sama sekali. Aku tidak akan mau mengikatkan diri dengan jabatan."

   "Bagus, aku akan membencimu kalau engkau seorang petugas bayaran. Lalu, kenapa engkau bertugas menentang jaringan mata-mata Mongol dan mendapat kekuasaan dari Kaisar sendiri?"

   "Sebetulnya, guruku yang mendapat tugas dan kekuasaan akan tetapi karena guruku merasa sudah tua, beliau mewakilkan kepadaku. Karena hendak berbakti dan mentaati guruku itulah maka sekarang aku melakukan penyelidikan."

   
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ketika engkau menotokku, gerakanmu hebat. Siapa sih gurumu itu, Sin Wan?"

   "Guruku adalah Sam-sian, sekarang hanya tinggal suhu Ciu-sian saja."

   Gadis itu mengangkat kedua tangan ke atas.

   "Wah, Sam-sian? Ayahku pernah bercerita tentang Sam-sian, dan memuji mereka. Jadi engkau murid mereka? Dan kalau engkau tidak menjadi perwira, kenapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau bekerja sama dengan seorang panglima......"

   "Celaka, aku sampai melupakan dia!" Sin Wan berseru,

   "Panglima itu, dia...... terancam bahaya maut, aku harus cepat menolongnya!" Dia bangkit berdiri.

   "Sin Wan, biarkan aku ikut. Aku akan membantumu."

   "Tapi........" dia meragu.

   Gadis itu bertolak pinggang, sikapnya menantang.

   "Baru saja engkau berterima kasih berulang-ulang sampai menjemukan, sekarang, aku hendak ikut dan membantumu saja engkau melarangku. Begitukah macamnya terima kasihmu itu?" Gadis itu cemberut, membalikkan badan dan meloncat pergi ke atas pagar tembok, terus keluar.

   Sesosok bayangan berkelebat di sampingnya dan Sin Wan telah berada di sampingnya, di lorong sempit itu. Hal ini saja membuat Akim menyadari bahwa pemuda murid Sam-sian ini memang hebat, memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar hiasa.

   "Maafkan aku, Akim. Mari kita pergi bersama."

   Seketika wajah, yang cemberut itu berubah menjadi cerah dan tersenyum yang manis mengembang.

   "Aku sedang kebingungan seorang diri di kota raja yang besar dan ramai ini, Sin Wan, dan kini mendapatkan seorang teman baik. Mari!"

   Diam-diam Sin Wan merasa kagum kepada gadis puteri datuk timur ini. Seorang gadis yang baik hati, walaupun juga aneh, mengingatkan dia kepada Lili Hanya bedanya, gadis ini agaknya tidak berhati ganas dan kejam seperti Lili yang pernah menyiksanya, hanya untuk membalas dendam ketika kecil pernah dia tampari pinggulnya. Dengan gadis seperti Akim ini di dekatnya, dia merasa mendapatkan seorang teman yang boleh diandalkan dan boleh dipercaya. Mereka berdua melakukan perjalanan cepat menuju ke rumah Bhok Cun Ki.

   Kembali Sin Wan tidak bertemu dengan Bhok Cun Ki dan seperti tadi, yang menyambutnya adalah Ci Han dan Ci Hwa. Kakak beradik ini kelihatan muram dan bingung, dan mereka berdua memandang penuh selidik dan kecurigaan ketika melihat seorang gadis cantik berpakaian serba hijau datang bersama Sin Wan. Tadinya mereka mengira bahwa gadis yang datang bersama Sin Wan itu Lili, gadis yang mengancam ayah mereka. Akan tetapi setelah Sin Wan dan Akim datang dekat, mereka meiihat bahwa gadis itu adalah seorang asing yang tidak mereka kenal.

   "Siapakah enci ini, Wan-toako?" tanya Ci Hwa dengan alis berkerut dan hati merasa tidak senang. Ia merasa kagum kepada Sin Wan bahkan mengharapkan bantuan pemuda ini untuk menyelamatkan ayahnya. Ia tertarik kepada pemuda Uighur ini, maka melihat dia datang bersama seorang gadis cantik, tentu saja hatinya merasa tidak nyaman.

   "Ini nona Ouwyang Kim, seorang sahabat. Akim, ini adalah kakak beradik Bhok Ci Han dan Bhok Ci Hwa, putera puteri panglima Bhok.

   Adik Ci Han dan Ci Hwa, di manakah ayah kalian?"

   "Ah, gawat sekali, toako," jawab Ci Han.

   "Ayah menerima surat tantangan lagi dan sekali ini dia ditantang untuk bertemu musuhnya di sebelah utara kota raja."

   "Dan ayah melarang keras kepada kami agar kami tidak menyusul ke sana. Kami merasa gelisah sekali, toako!" kata Ci Hwa dengan pandang mata penuh harapan agar Sin Wan membela ayahnya.

   Mendengar ini, Sin Wan terkejut bukan main.

   "Kalau begitu, aku harus cepat mencarinya ke sana. Mari kita pergi, Akim! Tanpa banyak keterangan lagi Sin Wan lalu pergi dengan cepat, diikuti Akim.

   Ci Hwa memandang kepada kakaknya, wajahnya semakin muram.

   "Koko, mari kita pergi menyusul ayah."

   "Hwa-moi, ayah tadi sudah memperingatkan kita dengan keras agar kita tidak menyusul ke sana. Ayah tentu akan marah sekali kalau kita melanggarnya."

   "Tapi, bagaimana mungkin kita dapat berdiam diri begini saja? Kita harus membela ayah!"

   "Sudah ada Wan-toako yang menyusul ke sana, Hwa-moi."

   "Justeru itulah yang membuat aku penasaran. Kau lihat tadi? Gadis itu adalah seorang asing sama sekali dan ia saja ikut Wan-toako menyusul ayah. Kalau seorang gadis asing boleh ke sana, kenapa kita putera puterinya tidak boleh? Kalau engkau tidak mau, biar aku sendiri yang akan menyusul ke sana."

   "Hwa-moi, ayah melarang kita karena pihak musuh amat berbahaya. Ayah tidak ingin melihat kita celaka, dan juga ayah menekankan bahwa urusan itu adalah urusan pribadi yang tidak bolen dicampuri siapapun juga."

   "Tapi gadis yang pergi bersama Wan-toako tadi? Kenapa boleh? Apa ia lebih hebat, lebih lihai daripada aku?"

   "Aih, Hwa-moi, kau....... agaknya kau...... cemburu kepadanya!"

   Wajah Ci Hwa berubah merah, akan tetapi ia tidak membantah, dan berkata,

   "Sudahlah, aku mau pergi menyusul sekarang. Kalau engkau mau ikut baik, kalau tidak, aku akan pergi sendiri. Kalau ayah marah, biar aku yang bertanggung jawab!" Setelah berkata demikian, Ci Hwa bergegas meninggalkan rumah. Tentu saja Ci Han tidak tega membiarkan adiknya menyusul seorang diri, maka diapun segera mengejarnya. Biarlah mereka berdua yang akan bertanggung-jawab kalau sampai ayah mereka marah.

   Bhok Cun Ki telah menerima surat tantangan yang ditulis oleh Cu Sui In. Hari itu dia ikut mencari Lili yang menjadi orang buruan, namun tidak berhasil. Adalah kedua orang anaknya yang mendapatkan surat itu. Sehelai surat yang tahu-tahu telah berada di daun pintu rumah mereka, tertancap di daun pintu, tertusuk sebatang pisau. Surat itu singkat saja, menantang Bhok Cun Ki untuk mengadu nyawa di hutan sebelah utara kota raja.

   Tentu saja kakak beradik itu menjadi marah sekali, akan tetapi mereka tidak tahu siapa yang menyambitkan pisau bersurat itu pada daun pintu rumah mereka. Ketika ayah mereka pulang, mereka memberitahu akan surat itu. Setelah membaca surat itu, berubahlah wajah Bhok Cun Ki karena dia masih ingat akan tulisan Cu Sui In, bekas kekasihnya! Surat itu tanpa nama pengirim, namun dia tahu bahwa sekarang yang menantangnya adalah Sui In sendiri.

   Andaikata yang menantangnya itu sumoi dari Sui In, tentu dia tidak akan memperdulikannya. Akan tetapi kini yang mengirim surat tantangan adalah Cu Sui In! Dia harus pergi menemui bekas kekasihnya itu. Dia memang merasa bersalah terhadap wanita itu, maka dia akan minta maaf, dan andaikata Sui In berkeras untuk menantangnya, dia akan mencari jalan agar wanita itu dapat memaafkan, atau kalau tidak, terpaksa dia akan menghadapinya. Bagaimanapun juga akibatnya, dia harus menemui Sui In.

   "Kalian di rumah saja, jangan sekali-kali menyusulku. Urusan ini adalah urusan pribadi yang terjadi ketika aku masih muda, dan tidak seorangpun boleh mencampuri," demikian dia berpesan kepada Ci Han dan Ci Hwa. Dia tahu bahwa kalau anak-anaknya muncul, hal itu hanya akan menambah panas dan marahnya hati Sui In saja dan dia tidak ingin melihat anak-anaknya terancam bahaya.

   Demikianlah, dengan membawa surat tantangan itu, Bhok Cun Ki meninggalkan rumah pada sore hari itu, keluar dari pintu gerbang utara dan terus menuju ke sebuah hutan yang kecil yang sudah dikenalnya. Hutan itu terletak di lereng bukit, menyimpang dan agak jauh dari jalan raya sehingga tempat itu tentu sunyi, apalagi di waktu sore seperti itu.

   Ketika tiba di tengah hutan dan mendapatkan hutan itu sunyi, Bhok Cun Ki berdiri tegak dan kedua kakinya terpentang, lalu dia menengadah dan berseru dengan lantang,

   "Cu Sui In, aku telah datang memenuhi tantanganmu. Keluarlah untuk bertemu denganku!"

   Tempat itu merupakan lapangan terbuka yang cukup luas, dikelilingi pohon-pohon rindang. Cuaca sudah mulai redup karena matahari mulai bergeser ke barat. Suara Bhok Cun Ki bergema di sekeliling tempat itu.

   "Bhok Cun Ki, bersiaplah untuk mati sekali ini!" terdengar bentakan halus dan ketika Bhok Cun Ki membalikkan tubuh, wajahnya berkerut karena kecewa. Yang muncul bukanlah Sui In yang diharapkan, melainkan Lili, gadis yang pernah memaksanya bertanding itu.

   "Hemm, engkau lagi, nona. Di mana Sui In? Suruh sucimu itu saja yang keluar dan bicara sendiri denganku. Aku tidak mempunyai urusan pribadi denganmu," katanya.

   Lili yang telah menanggalkan penyamarannya setelah tiba di hutan itu, kini menghadapi Bhok Cun Ki, matanya berkilat tajam dan mulutnya tersenyum mengejek walaupun hatinya terasa tidak enak sekali. Hidungnya kembang kempis, tanda bahwa hati gadis ini sebenarnya tegang sekali. Ia merasa terpaksa sekali harus berhadapan kembali dengan panglima ini untuk saling serang dan saling bunuh! Setelah apa yang dilakukan panglima ini kepadanya, sikapnya yang demikian baik dan ramah, sungguh menyiksa sekali ia harus menantangnya kembali! Maka, iapun tidak ingin banyak bicara lagi.

   "Bhok Cun Ki, suci mewakilkan kepadaku untuk membunuhmu. Nah, tidak perlu banyak cakap lagi. Mari kita lanjutkan pertandingan kita yang dahulu terganggu sekali, seorang di antara kita harus roboh dan mati, barulah pertandingan dihentikan! Bersiaplah engkau, Bhok Cun Ki!" Lili mencabut pedangnya, pedang yang berbentuk ular putih, memasang kuda-kuda dan wajahnya membayangkan kenekatan.

   Akan tetapi, Bhok Cun Ki seperti tidak melihatnya dan panglima ini memandang ke sekeliling, mencari-cari.

   "Bhok Cun Ki, bersiaplah dengan pedangmu!" Lili membentak.

   "Sui In, di mana engkau? Keluarlah dan jangan menyuruh sumoimu yang menghadapi aku. Aku hanya mau berurusan denganmu, bukan dengan orang lain!" Bhok Cun Ki berseru, tidak memperdulikan Lili yang menantang. Akan tetapi tidak ada jawaban, juga tidak nampak bayangan orang lain di hutan itu.

   "Bhok Cun Ki, sekali lagi, bersiaplah karena aku akan menyerangmu!" kembali Lili berseru, mukanya kemerahan karena ia marah sekali melihat panglima itu tidak memperdulikan dirinya, seolah memandang rendah atau menganggap ia anak kecil saja. Panglima itu tetap celingukan ke sekelilingnya, mencari-cari.

   "Cu Sui In, aku hanya mau menyerahkan nyawaku kepadamu! Keluarlah dan mari kita bicara baik-baik!"

   Lili menjadi marah sekali. Ia mengelebatkan pedangnya di depan muka panglima itu dan sekali bergerak, pedang itu telah menodong. Ujung pedang Pek-coa-kiam menempel pada dada panglima itu.

   "Bhok Cun Ki, kalau engkau tidak mau melawan, terpaksa aku akan membunuhmu! Apakah engkau seorang pengecut yang tidak berani melawanku? Apakah engkau ingin mati konyol seperti seekor babi?" Lili sengaja memaki untuk memanaskan hati orang itu. Biarpun ia tahu bahwa ia akan sukar sekali menang kalau bertanding melawan panglima ini, akan tetapi ia tidak sudi membunuh orang yang tidak mau melawan.

   Ketika pedang itu, menodong dadanya, seakan baru sadarlah Bhok Cun Ki bahwa di situ tidak ada Sui In, yang ada hanyalah gadis sumoi dari bekas kekasihnya yang kini siap untuk menyerangnya.

   "Nbna, sejak dulupun aku tidak ingin bertanding denganmu. Katakan kepada Sui In bahwa aku hanya mau bertanding dengannya, bukan dengan wakilnya. Pula, mengapa engkau mati-matian mewakili sucimu dan siap membunuhku atau terbunuh olehku? Kenapa tidak ia sendiri yang maju?"

   "Bhok Cun Ki! Aku datang bukan untuk mengobrol denganmu, melainkan untuk membunuhmu! Aku rela mati untuk suci. Kalau aku tidak berhasil membunuhmu, aku akan melawan terus sampai mati!" Lili menarik pedangnya dan kembali memasang kuda-kuda, siap bertanding.

   Akan tetapi Bhok Cun Ki tidak bernapsu untuk bertanding dengan Lili. Dia ingin bertemu dengan Sui In karena hanya kalau berhadapan dengan wanita itulah maka semua urusan akan dapat dibereskan dan diselesaikan. Kalau memang dia telah menghancurkan kebahagiaan Sui In, biarlah wanita itu boleh membunuhnya. Akan tetapi bukan oleh tangan orang lain!

   "Cu Sui In, keluarlah sendiri!" kembali dia berteriak lantang. Lili marah sekali, merasa tidak dipandang, merasa diremehkan.

   "Akulah Cu Sui In, anggap saja aku Cu Sui In! Nah, aku akan menyerangmu, jangan salahkan aku kalau engkau terbunuh oleh serangan ini. Sambutlah!" Pedang itu berubah menjadi sinar putih dan meluncur ke arah tenggorokan Bhok Cun Ki.

   Bhok Cun Ki memang enggan untuk bertanding lagi melawan gadis yang sama sekali tidak mempunyai urusan dengannya itu, akan tetapi tentu saja diapun tidak mau mati konyol di tangannya. Maka, melihat pedang meluncur ke tenggorokannya dalam serangan maut, dia cepat melompat ke kanan menjauh sehingga serangan itu gagal. Akan tetapi Lili menyerang terus dengan dahsyatnya. Gadis ini memang sudah nekat.

   Hanya ada dua pilihan baginya, sesuai dengan kehendak sucinya, yaitu membunuh Bhok Cun Ki atau terbunuh olehnya! Tentu saja ia memilih membunuh dari pada dibunuh dan iapun menyerang terus dengan gencar dan dahsyat. Bhok Cun Ki terpaksa mencabut pedang Ceng-kong-kiam dan nampaklah sinar hijau bergulung-gulunq, saling belit dengan gulungan sinar putih dari pedang di tangan Lili.

   Terjadilah pertandingan untuk kedua kalinya. Namun, sekali ini lain sekali keadaannya. Kalau Lili menyerang mati-matian dan mengerahkan segala daya untuk membunuh lawan, sebaliknya Bhok Cun Ki ragu-ragu dan selalu hanya mengelak atau menangkis saja, jarang sekali balas menyerang kalau tidak terpaksa untuk membendung gelombang serangan lawan yang berbahaya. Karena itu, walaupun Bhok Cun Ki lebih tinggi tingkatnya, pertandingan itu menjadi seru sekali bahkan Bhok Cun Ki mulai terdesak.

   Ketika Lili memainkan Pek-coa Kiam-sut yang membuat gerakan bagaikan seekor ular yang amat berbahaya, serangannya mengandung daya kekuatan dari bawah bagaikan seekor ular yang ganas, hanya dengan gerakan seperti seekor burung saja, Bhok Cun Ki masih mampu mempertahankan diri. Bagaimanapun juga karena dia tidak ingin mengalahkan Lili, hanya melindungi diri, dia yang selalu terdesak dan beberapa kali nyaris termakan pedang.

   Karena setiap serangan ia lakukan dengan pengerahan seluruh tenaga, maka setelah lewat lima puluh jurus, tubuh Lili sudah mandi keringat, dan napasnya agak terengah. Demikian pula dengan Bhok Cun Ki, dia sudah berpeluh dan gerakannyapun mulai mengendur karena bergerak dengan loncatan-loncatan seperti burung itu menguras banyak tenaganya.

   "Lili, sumoi, bunuh dia.......! Bunuh dia........!"

   Mendengar suara lembut yang tiba-tiba itu, Bhok Cun Ki melirik dan ketika dia melihat Cu Su In berdiri di sana, dia tertegun.

   "Sui In........!" Dia berseru dan terbelalak memandang kepada wanita bekas kekasihnya yang masih nampak cantik jelita dan anggun itu. Sekarang barulah dia menyadari bahwa selama ini dia masih mencinta wanita itu, sejak dahulu dia mencintanya, dan hanya keangkuhan saja yang memaksanya meninggalkan Sui In dan menikah dengan wanita lain.

   "Singgg...... singg......!" Sinar putih menyambar-nyambar. Biarpun Bhok Cun Ki berusaha mengelak, namun karena sebagian besar perhatiannya ditujukan kepada Sui In, maka sambaran yang ke tiga dari pedang Pek-coa-kiam itu tak dapat dihindarkan lagi telah menusuk paha kirinya dan diapun roboh terguling!

   Setelah melihat lawannya roboh dan darah bercucuran dari celana bagian paha, Lili berdiri seperti patung. Kalau ia menyusulkan serangan, pasti panglima itu tidak akan mampu melindungi diri lagi. Akan tetapi, pada dasarnya Lili memiliki watak yang gagah. Merobohkan lawan yang sejak tadi tidak pernah membalas saja sudah membuat ia merasa menyesal sekali, apalagi sekarang melihat lawan yang selalu bersikap baik kepadanya itu sudah terluka. Ia merasa jijik kepada diri sendiri kalau harus menyusulkan serangan lagi. Maka ia berdiri mematung dengan hati bimbang.

   Bhok Cun Ki tidak mengeluh, juga tidak perduli akan luka di pahanya. Dia memaksa diri bangkit duduk, memandang kepada Sui In yang melangkah mendekatinya. Sukar dilukiskan wajah wanita berusia empatpuluh tiga tahun yang masih nampak cantik seperti seorang gadis itu ketika memandang kepada laki-laki yang telah menghancurkan kebahagiaan hidupnya selama puluhan tahun ini.

   "Sui..... In-moi...... aku memang bersalah kepadamu, baru sekarang aku melihat kesalahanku itu. Dosaku terhadap dirimu amat besar, aku telah menghancurkan kebahagiaanmu, merusak kehidupanmu, aku memang layak mati di tanganmu, Karena itu, marilah..... mari kaubunuh aku agar aku dapat menebus dosaku kepadamu, agar engkau memperoleh kebahagiaan dari balas dendammu ini. Pergunakan pedangku ini, In moi......" Bhok Cun Ki dengan wajah cerah disertai senyum menjulurkan tangan kanannya yang memegang pedang Ceng-kong-kiam kepada Bi-coa Sianli Cu Sui In.

   Akan tetapi Cu Sui In hanya berdiri menatap wajah pria itu seperti orang terpesona, dan kedua matanya berubah kemerahan, kedua pipinya menjadi pucat dan kedua mata itu perlahan-lahan menjadi basah. Ia seperti tidak mampu mengalihkan pandang matanya dari wajah itu, lalu dengan paksa ia merenggut lepas pandang mata yang melekat itu, menoleh kepada sumoinya dan suaranya terdengar tidak semerdu tadi, melainkan agak parau dan lirih, namun tegas mendesak.

   "Sumoi, cepat kaubunuh dia! Cepat kataku! Bunuh dia!" Akan tetapi sekali ini Lili tidak bergerak.

   "Suci, dia sudah terluka dan tidak akan mampu melawan. Dia sudah menyerah untuk kaubunuh, kenapa suci tidak segera melaksanakannya sendiri dan memaksaku untuk membunuhnya? Suci, kalau engkau hendak membunuhnya, lakukanlah sendiri, apa susahnya?"

   "Engkau begitu sakit hati kepadaku, kenapa menyuruh sumoimu, Sui In? Kalau sumoimu yang membunuhku, dendammu tidak akan pernah padam. Sumoimu benar, kalau engkau hendak membunuhku, lakukanlah sendiri. Aku tidak akan melawan, aku akan tersenyum menyambut kematian di tanganmu, In moi." Tiba-tiba Cu Sui In seperti mendapat semangat baru. Sekali tangannya bergerak, pedang yang disodorkan Bhok Cun Ki itu sudah dirampasnya, kemudian ia mengangkat pedang itu, siap membacok leher Cun Ki yang sudah pasrah. Panglima itu menengadah memandang dengan senyum, sedikitpun tidak nampak takut, dan matanya tidak ber kedip.

   "Singgg......!!" Pedang itu menyambar, berubah menjadi sinar hijau yang menyilaukan saking kuatnya tangan yang menggerakkannya. Leher Bhok Cun Ki tentu akan terpenggal dengan mudah. Akan tetapi, ketika pedang meluncur lewat, leher itu masih tetap utuh dan pedang Ceng-kong-kiam menancap, amblas di dalam tanah di dekat tubuh panglima itu, menancap ke tanah sampai ke
(Lanjut ke Jilid 11)
Asmara Si Pedang Tumpul (Seri ke 02 - Serial Si Pedang Tumpul)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11
gagangnya! Cu Sui In menutup mukanya dengan kedua tangannya, tubuhnya gemetar, kedua pundaknya terguncang karena ia telah menangis tanpa suara, akan tetapi air matanya merembes keluar dari celah-celah jari tangannya.

   "Aku..... aku tidak bisa melakukannya.... aku selalu mencintamu.... selamanya..... aih, Cun Ki..... kenapa engkau begitu tega menyia-nyiakan diriku dan menghancurkan kebahagiaan hidupku.....

   " Ia terisak-isak menangis.

   Wajah Bhok Cun Ki menjadi pucat sekali. Pendengaran dan penglihatan ini baginya lebih menyakitkan, bagaikan ribuan pedang menusuk-nusuk jantungnya. Tak tertahankan lagi olehnya, kedua matanya menjadi basah dan air mata mengalir ke atas pipinya. Baru terbuka kesadarannya bahwa Cu Sui In amat mencintanya, dan dia sendiripun selamanya mencinta Sui In. Akan tetapi, demi menjaga namanya sebagai seorang pendekar besar, dia meninggalkan Sui In, menghancurkan cinta kasih di antara mereka. Padahal, sebagai seorang gadis, Sui In telah menyerahkan segalanya kepadanya, menyerahkan batin dan badannya.

   "In-moi..... ah, Inmoi...... sungguh aku telah bersikap kejam kepadamu. Aku...... aku....... apa yang harus kulakukan sekarang In moi? Aku tidak akan membantah, apa saja akan kulakukan demi menebus kesalahanku itu........."

   Tiba-tiba Sui In menurunkan kedua tangannya. Wajahnya nampak pucat sekali, basah air mata, mulutnya tertarik-tarik di kedua ujung bibirnya karena ia menahan tangisnya, hidungnya kemerahan dan air mata masih berderai turun ke atas kedua pipinya.

   "Lili! Perintahku yang penghabisan kepadamu. Gerakkan pedangmu dan bunuh laki-laki ini sekarang juga! Kalau engkau tidak mematuhi perintahku, mulai detik ini hubungan di antara kita putus!"

   "Suci....."

   "Cepat, kuhitung sampai tiga. Kalau belum kaulakukan, aku akan menyerangmu sebagai seorang musuh besar!" kata wanita itu.

   Wajah Lili menjadi pucat, akan tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain, apalagi ketika terdengar suara sucinya,

   "Satu.... dua....."

   Lili memejamkan matanya, lalu menerjang ke depan dan meggayun pedang Pek-coa-kiam. Bagaimanapun juga, ia berhutang segalanya kepada sucinya. Sejak kecil ia dipelihara, dididik, dan dilimpahi kasih sayang oleh Cu Sui In. Ia rela mengorbankan nyawanya sekalipun untuk sucinya, maka biarpun hatinya terasa berat, ia akan melaksanakan perintah itu.

   "Singgg........!!" Pedang Pek-coa-kiam berubah menjadi sinar putih menyambar ke arah leher Bhok Cun Ki, dipandang oleh Cu Sui In yang terbelalak.

   "Trangggg....... !!" bunga api berpijar ketika pedang Ular Putih itu yang menyambar ke arah tubuh Bhok Cun Ki, tiba-tiba tertahan dan tertangkis oleh sebatang pedang yang nampaknya buruk, Pedang Tumpul!

   Lili terkejut, membuka matanya dan memandang terbelalak kepada Sin Wan yang sudah berdiri di situ dengan pedang buruknya di tangan.

   "Sin Wan......!" teriaknya.

   "Apa yang kaulakukan ini?"

   Sin Wan memandang tajam, sikapnya tegas dan seperti orang marah.

   "Lili, akulah yang bertanya kepadamu, apa yang kaulakukan ini?"

   "Perlu apa bertanya lagi." Lili membantah,

   "Aku memenuhi perintah suciku, hendak membunuh laki-laki yang menghancurkan kehidupan suci, kenapa engkau berani menghalangiku?"

   "Kau pandanglah baik-baik laki-laki ini, Lili. Pandanglah baik-baik, apakah hatimu tidak tergetar dan membisikkan suatu rahasia kepadamu. Dia ini bukan musuhmu, dia adalah ayah kandungmu, Lili......"

   "Aihhh......!!" Lili menjerit tak percaya.

   "Dan yang menyuruhmu membunuhnya, wanita ini, adalah ibu kandungmu!"

   "Sui In......!!" Kini terdengar jerit dari mulut Bhok Cun Ki dan biarpun kakinya terluka parah, dia merangkak ke depan kaki Sui In.

   "Sui In...... benarkah ia ini anakku..... anak...... anak...... kita.......?"

   "Suci......! Apa artinya ini? Benarkah seperti yang dikatakan Sin Wan tadi? Dia ini ayahku dan suci adalah..... ibuku....?" Wajah Lili pucat seperti mayat dan matanya terbelalak liar seperti mendadak menjadi gila.

   Kini Sui In terisak dan menangis, mengeluarkan suara tangisan mengguguk dan ia mengangguk.

   "Benar......., benar......... aaaaahhh.......!"

   "Sui In........!" Bhok Cun Ki merangkul kedua kaki Sui In.

   "Ibu.....! Kau ibuku........!" Lili menubruk dan merangkul ibunya, menangis di dada wanita yang selama ini ia anggap gurunya, lalu sucinya. Tiga orang itu menangis semua.

   "Aku..... aku tak dapat menahan kenyerian.... hatiku..... aku...... aku menderita sekali Cun Ki..... ketika kau meninggalkan aku, aku telah mengandung dua bulan.... aku sengaja tidak memberitahu, aku sakit hati sekali, kudidik anak kita.... hanya untuk dapat melihat ia dan ayahnya saling serang dan saling bunuh. Itulah hukumanku kepadamu, pembalasanku kepadamu...... tapi.... tapi... ah, betapa lemah hatiku......" Ia menangis tersedu-sedu.

   Bhok Cun Ki melepaskan kedua kaki Sui In dan merangkul kaki Lili.

   "Kau..... kau anakku....... ahhh, begini gagah dan cantik, ha..ha..ha...... aku bangga, aku senang sekali.... kau anakku........!" Pendekar besar dan panglima muda yang gagah itu tertawa dan menangis sambil merangkul kaki Lili.

   Gadis itu menjerit, menjatuhkan diri dan jatuh ke dalam rangkulan pria yang baru saja dikenalnya sebagai ayahnya, pria yang dua kali bertanding mati-matian dengan dia, pria yang tadi hampir saja dibunuhnya.

   "Ayah......!!" betapa manisnya sebutan ini, sebutan pertama kali keluar dari mulutnya, sebutan yang didambakannya sejak ia masih kecil disamping sebutan ibu.

   "Lili..... Bwe Li namamu.....? Ha..ha..ha, dan siapa shemu, anakku........?"

   "Ayah, ibuku yang selama ini kukenal sebagai guru dan suci, memberi nama, Tang Bwe Li kepadaku?"

   "Tang.....?" Pria itu mengangkat muka memandang kepada Sui In yang masih berdiri sambil menangis.

   "Aduh, Sui In.... betapa selamanya engkau tak pernah dapat melupakan aku. Nama kecilku adalah Tang Cun dan kau memberi she Tang kepada anak kita....." ayah dan anak itu saling berangkulan di bawah kaki Sui In.

   Sin Wan, dengan mata basah pula karena terharu dan bahagia, mundur dan hanya menonton pertunjukan yang amat mengharukan itu dari bawah pohon. Dia terharu dan gembira bukan hanya keluarga itu dapat bertemu dalam keadaan masih hidup walaupun Bhok Cun Ki terluka pahanya, melainkan juga dia teringat kepada ayah dan ibu kandungnya sendiri. Lili menemukan ayah dan ibu kandungnya, akan tetapi dia telah kehilangan mereka!

   "Ha..ha..ha..ha. Pertunjukan lawak macam apa ini? Sungguh memalukan sekali anak dan cucuku menjadi orang-orang lemah dan cengeng. Sui In, Lili mundurlah kalian. Kalau kalian begitu lemah, biarlah aku yang mewakili kalian membunuh orang ini!"

   Muncullah See-thian Coa-ong Cu Kiat dan dengan langkah lebar menghampiri mereka.

   "Ayah, jangan......!" Tiba-tiba Cu Sui In melompat dan menghadang di depan orang tua itu.

   See-thian Coa-ong terbelalak, memandang kepada puteri tunggalnya penuh perhatian. Dia melihat betapa wajah puterinya telah berubah. Muka itu masih basah air mata, hal ini saja sudah luar biasa sekali karena selama ini belum pernah puterinya menangis. Wajah itu masih pucat akan tetapi ada kecerahan aneh, seolah setangkai bunga yang telah lama semakin layu kini mendadak dapat siraman embun pagi yang menyegarkan.

   "Apa maksudmu jangan, Sui In? Selama bertahun-tahun dengan mati-matian engkau mengingkari anak kandungmu sendiri, menganggapnya sebagai murid dan sumoi, mendidiknya dengan sungguh-sungguh agar ia dapat membunuh Bhok Cun Ki! Sekarang, setelah kalian gagal membunuhnya, aku yang akan menyempurnakan dendammu ini, engkau mengatakan jangan! Apa maksudmu?"

   "Ayah, hampir aku menjadi gila karena dendam pribadi, karena sakit hati yang kutanggung selama bertahun-tahun sehingga aku ingin sekali menghukumnya dengan mengadu antara ayah dan anak kandung. Aku tahu bahwa Lili tidak akan menang dan kalau sampai Lili tewas ditangannya, lalu aku memberitahu bahwa yang dibunuhnya itu anak kandungnya sendiri, tentu dia akan menderita selama hidupnya. Akan tetapi aku..... aku tidak tega..... aku masih mencintanya, ayah tidak pernah aku berhenti mencintanya, dan Lili adalah anakku yang kusayang. Sekarang baru aku tahu bahwa aku telah menjadi gila oleh dendam. Sudahlah, aku memaafkan dia. Lili, mari kita pergi.

   Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   

Lembah Selaksa Bunga Eps 10 Si Pedang Tumpul Eps 12 Lembah Selaksa Bunga Eps 10

Cari Blog Ini