Ceritasilat Novel Online

Si Pedang Tumpul 12


Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 12




   Tiba-tiba terdengar gerengan keras dan Sin Wan menengok ke kiri. Lehernya sudah dapat dia gerakkan, akan tetapi ketika dia berusaha menggerakkan tangan dan kaki, kedua pasang anggauta tubuh itu masih lemas dan tidak dapat dia gerakkan! Dan dia melihat sepasang mata mencorong di dalam cuaca yang remang-remang itu. Nampaknya bayangan itu seperti seekor anjing yang berindap-indap menghampirinya. Akan tetapi jelas gerengan ini bukan gonggong atau salak anjing, melainkan auman harimau!

   Sin Wan merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Bagaimanapun juga, nalurinya untuk mempertahankan hidup mendatangkan kecemasan ketika dia sadar bahwa di depannya hadir seekor harimau yang mengancamnya dia yang sedang tak berdaya itu. Dia benar-benar akan mati konyol! Akan tetapi, kembali kepasrahan yang mutlak menenangkan hatinya dan dia memandang ke arah harimau itu dengan tajam.

   Dia pernah mendengar bahwa harimau takut bertemu pandang mata dengan manusia, dan kalah wibawa. Bahkan ada kemungkinan binatang itu setelah bertemu pandang, akan merasa takut dan pergi tanpa mengganggunya. Akan tetapi dia lupa bahwa cuaca remang-remang dan mata manusia berbeda dengan mata harimau. Kekuasaan Tuhan adalah bijaksana dan adil, maka semua makhluk dan benda ciptaan Tuhan selalu dibekali sesuatu yang amat dibutuhkan oleh masing-masing.

   Harimau tidak berakal, tidak pandai membuat alat penerangan, hidup di dalam hutan gelap, maka memiliki mata yang penglihatannya dapat menembus gelap sehingga matanya mencorong! Manusia mampu membuat alat penerangan untuk mengatasi kegelapan malam. Maka, betapapun tajam dia memandang, binatang itu tidak menjadi undur, bahkan menggereng semakin keras dan menghampiri semakin dekat. Perlahan-lahan, dengan hati-hati, binatang itu mendekati Sin Wan dan pemuda ini merasa betapa hidung binatang itu mengendus dan menyentuh kakinya. Dia memejamkan mata, menyerah kepada Tuhan, maklum bahwa, kalau harimau itu menyerang, dia tidak akan mampu melindungi dirinya.

   Harimau itu mengaum keras, kaki depan kiri bergerak cepat ke arah paha Sin Wan.

   "Brettt ........!!" Celana Sin Wan terobek dengan mudah dan kulit pahanya terkena cakaran sehingga terobek dan berdarah! Dia berusaha mengerahkan tenaga, namun tidak berhasil, Harimau itu kini undur, bukan untuk pergi, melainkan untuk mengambil ancang-ancang. Darah yang mengalir dari paha Sin Wan yang tergores kuku itu membuat dia semakin liar. Kini binatang itu merendahkan tubuh, mengambil ancang-ancang untuk meloncat. Mati aku sekarang, pikir Sin Wan. Binatang itu meloncat ke atas, menubruk ke arah Sin Wan.

   "Cratttt ......!! Bukkk!" Tubuh binatang itu terhenti di udara ketika sebatang pedang menyambutnya dengan tusukan memasuki perutnya, kemudian sebuah tendangan kilat membuat tubuh binatang itu terlempar. Biarpun telah terluka parah dan dari perutnya bercucuran darah, harimau itu tidak roboh atau takut, bahkan menjadi semakin nekat. Kini dia menubruk ke arah orang yang menyakitinya, yang berdiri di depan Sin Wan.

   "Sratttt .......!" Tubuh harimau terpelanting dan matilah dia dengan leher hampir putus terbabat pedang!

   Lili membersihkan pedangnya dengan menggosoknya pada kulit bangkai harimau. Dalam cuaca yang remang-remang, Sin Wan terbelalak ketika mengenal bahwa yang membunuh harimau itu dan yang menyelamatkan dirinya adalah Lili. Hatinya merasa senang bukan main, bukan saja senang karena dia tidak mati konyol menjadi mangsa harimau, akan tetapi karena ternyata gadis itu tidaklah sejahat yang ingin diperlihatkannya. Ternyata gadis itu tidak meninggalkannya seperti ancamannya tadi, melainkan bersembunyi dan menjaganya, bahkan menyelamatkannya.

   "Terima kasih, Lili ......" katanya lirih.

   Lili menyisipan pedangnya, lalu membalik dan menghadap pemuda itu. Alisnya berkerut karena ucapan Sin Wan yang lembut itu, wajah pemuda itu yang tersenyum penuh syukur kepadanya, seolah menusuk jantungnya.

   "Aku telah memukulimu, menghinamu, memakimu dan menyiksamu, dan engkau tidak mendendam kepadaku?" tanyanya penasaran.

   Sin Wan sudah dapat menggoyang kepalanya.

   "Kenapa aku harus mendendam? Sebelas tahun yang lalu aku juga pernah memukuli pinggulmu, dan sekarang aku hanya membayar hutangku. Aku dahulu terlampau keras kepadamu Lili dan sudah sepatutnya engkau membalas."

   Sepasang mata itu tertegun, senyum sadis itu perlahan-lahan berubah seperti orang hendak menangis. Semua ini dapat dilihat Sin Wan karena kebetulan sinar bulan dapat menerobos celah-celah daun dan menerangi mereka. Lili memandang wajah pemuda itu, menatap ke arah pipi kiri Sin Wan yang membengkak. Ia menghampiri lebih dekat, tangan kanannya diangkat ke atas. Sin Wan tidak siap menerima tamparan lagi, akan tetapi sekali ini, tangan itu tidak menampar, melainkan mengusap dan membelai pipi yang membengkak itu.

   "Sin Wan ....

   " suara itu seperti rintihan tangis dan mulut gadis itu mendekati pipi yang bengkak, menyentuh telinga dan terdengar ia berbisik.

   "Sin Wan aku cinta padamu...... ah, aku benci padamu ......!" dan iapun menggerakkan tangan menotok, membebaskan Sin Wan dari pengaruh totokannya, tadi dan sekali berkelebat iapun lenyap dari situ.

   Sin Wan dapat menggerakkan kembali kaki tangannya. Sejenak dia diam saja, membiarkan jalan darahnya pulih kembali dan sikap Lili tadi masih membuat dia tertegun. Gadis itu cinta padanya dan juga benci padanya! Bagaimana ini? Bagaimana mungkin ada orang mencinta sekaligus membenci? Dia menggeleng kepalanya, lalu mengerahkan tenaga Sin-kang dan dengan mudah saja dia melepaskan tali pengikat kaki dan tangannya. Dia memegangi potongan kain sabuk sutera itu, mengamatinya dan menggeleng-geleng kepala lagi.

   "Lili ...., Lili ....., sungguh aku tidak mengerti." Dia lalu meninggalkan tempat itu, keluar dari hutan dan memasuki kota Lok-yang. Kakek Bu Lee Ki sudah memberitahu kepadanya bahwa kakek itu dan Kui Siang akan menyewa kamar di losmen Ho-peng yang berada di ujung barat kota itu.

   Tidak sukar untuk menemukan losmen di sebelah barat dalam kota itu dan ketika Sin Wan minta keterangan dari pelayan losmen tentang kakek Bu Lee Ki dan Kui Siang, pelayan itu ternyata telah mendapat pesan dari Bu Lee Ki dan segera mengantar pemuda itu ke kamarnya.

   "ltulah dua kamar kakek dan nona itu," kata pelayan.

   Sin Wan mengetuk pintu kamar Bu Lee Ki dan kakek itu membukakan pintu. Dia agak terkejut melihat celana Sin Wan yang robek, pahanya yang terluka goresan memanjang, langkahnya yang agak pincang dan pipi kirinya yang merah membengkak.

   "Ehh ? Apa yang terjadi?" tanyanya ketika mereka masuk kamar dan pintunya ditutupkan kembali oleh Bu Lee Ki.

   Sin Wan merasa serba salah. Kalau dia bercerita tentang Lili, tentu dia harus menceritakan segalanya dan dia merasa malu, tidak ingin peristiwa di hutan tadi diketahui siapapun. Akan tetapi kalau tidak diceritakan, bagaimana pula karena keadaannya seperti itu. Dia teringat akan harimau itu lalu berkata.

   "Locianpwe, saya tersesat ke dalam hutan dan diserang seekor harimau yang besar dan ganas. Saya berhasil membunuhnya, akan tetapi saya juga terluka, dicakar paha saya dan........ begitulah." Dia tidak banyak bicara lagi, lalu membersihkan diri di kamar mandi dan bergantl pakaian.

   "Di mana sumoi?" tanyanya setelah berganti pakaian.

   Kakek itu nampak termenung setelah mendengar ceritanya. Jelas bahwa kakek itu tidak puas, dan agaknya tahu bahwa dia menyembunyikan sesuatu dan tidak mau berterus terang. Akan tetapi kakek itu tidak mendesak dan mendengar pertanyaan itu, diapun tersenyum.

   "Kalian ini orang-orang muda memang petualang-petualang yang aneh. Tadi Kui Siang pulang dan tidak bicara apa-apa kepadaku. Ia langsung memasuki kamarnya dan aku mendengar betapa ia gelisah di kamarnya, bahkan aku seperti mendengar ia terisak menangis. Ahhh, sungguh lucu dan aneh. Dan engkau datang-datang seperti ini, baru saja berkelahi dengan harimau! Kalian orang-orang muda yang aneh?"

   Kakek itu tidak mendesak dan Sin Wan lalu merebahkan diri di pembaringan kecil di sudut kamar yang mempunyai dua buah pembaringan itu. Dan tak lama kemudian dia sudah tidur pulas karena dia memang merasa lelah, lemas dan terutama sekali pinggulnya masih berdenyut-denyut, berlumba dengan denyut jantungnya.

   Pada keesokan harinya, setelah mandi pagi dan merasa tubuhnya lebih segar walaupun rasa nyeri di pinggulnya masih terasa, Sin Wan yang tidak melihat Kui Siang bertanya kepada Bu Lee Ki di mana adanya gadis itu.

   Kakek itu mengerutkan alisnya, lalu menggeleng kepala.

   "Entah apa yang telah terjadi dengan Kui Siang. Semalam ia pulang langsung ke kamarnya, dan setelah semalam gelisah, pagi ini ia juga tidak keluar dari dalam kamar. Aku tadi sudah mengetuk daun pintu kamarnya dan bertanya. Ia membuka pintu dan mengeluh tidak enak badan, lalu rebah kembali. Pergilah engkau melihatnya. Sin Wan, aku khawatir ada apa-apa terjadi dengan sumoimu. Biasanya ia tidak seperti itu."

   Sin Wan merasa khawatir. Dia lalu menghampiri kamar sumoinya dan mengetuk daun pintu kamarnya. Beberapa kali dia mengetuk. Tidak ada jawaban.

   "Sumoi, harap buka pintu. Ini aku, Sin Wan ingin menjengukmu," katanya.

   Juga tidak ada jawaban, akan tetapi pendengarannya yang tajam dapat menangkap isak tangis tertahan. Tentu saja dia menjadi semakin khawatir dan didorongnya daun pintu itu perlahan. Ternyata tidak dikunci dari dalam dan diapun memasuki kamar itu. Dilihatnya sumoinya duduk di pembaringan sambil menutupi mukanya dan menangis menyembunyikan tangisnya di balik bantal yang ditutupkan pada mukanya.

   "Sumoi ......! Engkau kenapakah?" tanya Sin Wan dengan kaget dan dia cepat menghampiri gadis itu, berdiri di depannya dan dengan lembut tangannya menyentuh pundak gadis itu.

   Mendengar ucapan itu dan merasa pundaknya disentuh tangan Sin Wan, tangis Kui Siang semakin mengguguk dan pundaknya sampai bergoyang-goyang. Tentu saja Sin Wan menjadi semakin khawatir.

   "Sumoi, katakanlah. Apa yang telah terjadi denganmu?" Perlahan-lahan Sin Wan menurunkan bantal itu dari muka sumoinya dan dia terkejut melihat muka yang pucat dan basah air mata, sepasang mata yang menjadi merah dan agak bengkak karena terlalu banyak menangis itu.

   "Sumoi, engkau kenapakah, sumoi? Kenapa engkau berduka seperti ini?" tanya pula pemuda itu dengan suara yang penuh kegelisahan, tangan kiri masih memegang pundak, jari tangan kanan menyingkap rambut yang menutupi sebagian muka yang basah itu.

   "Suheng .......!" Kui Siang mengeluh dan iapun menjatuhkan diri ke depan, merangkui pinggang suhengnya dan menjatuhkan kepalanya di dada pemuda itu.

   Sin Wan semakin kaget. Dia merangkul sumoinya yang kini menangis di dadanya, dan sejenak dia membiarkan sumoinya menumpahkan kedukaannya, membiarkannya menangis di dadanya. Perlahan-lahan, terasa olehnya air mata yang hangat membasahi kulit dadanya, menembus bajunya.

   "Tenangkan hatimu, sumoi dan katakanlah, apa yang telah terjadi, yang membuatmu sesedih ini?"

   Setelah tangisnya terhenti, hanya tinggal sesenggukan jarang, sisa isak yang melepas sisa ganjalan di hatinya, akhirnya dengan muka masih disembunyikan di dada Sin Wan, Kui Siang berkata lirih.

   "Suheng, betapa tega hatimu menghancurkan kebahagiaanku, memusnahkan semua harapanku .........."

   "Ehh ? Apa maksudmu, sumoi? Aku tidak mengerti ......!"

   "Tidak kusangka bahwa engkau mempunyal seorang kekasih, suheng, mempunyai seorang pacar ......" Suara itu bercampur isak.

   Sin Wan membelalakkan matanya.

   "Heiiii! Apa pula ini, sumoi? Aku tidak mempunyai pacar!"

   Kui Siang mengangkat mukanya dari dada Sin Wan, sepasang matanya yang merah membendul itu mengamati wajah Sin Wan dan mulutnya cemberut.

   "Tidak ada gunanya menyangkal lagi, suheng. Semalam engkau berpacaran dengan seorang gadis cantik! Siapa gadis yang tertidur di pangkuanmu itu?"

   Sin Wan terkejut bukan main.

   "Kau ....... kau tahu itu? Bagaimana engkau bisa tahu, sumoi?" Akan tetapi dia segera menyadari bahwa pertanyaannya ini sama saja dengan pengakuan bahwa dia benar-benar berpacaran dengan seorang gadis, maka cepat disambungnya.

   "Aku tidak berpacaran, sumoi. Ia bukan kekasihku, bukan pacarku."

   Mata yang kemerahan itu mengeluarkan sinar marah.

   "Suheng, selama ini aku mengenalmu sebagai seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang tidak berwatak pengecut dan berani mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Akan tetapi sekarang kenapa engkau menyangkal? Suheng, dengan mataku sendiri aku melihat gadis cantik itu tertidur di pangkuanmu, bersandar pada dadamu dan engkau memeluknya, dan engkau masih berani menyangkal ........?"

   Mengertilah Sin Wan bahwa sumoinya semalam telah menyaksikan peristiwa yang terjadi antara dia dan Lili, dan sayangnya, sumoinya hanya melihat ketika Lili tertidur di pangkuannya, tidak melihat yang lain, tidak melihat ketika Lili menyiksanya, hampir membunuhnya.

   "Sumoi, aku tidak menyangkal semua itu, yang kusangkal adalah bahwa ia itu pacarku. Sama sekali tidak, sumoi. Dengarlah ceritaku ini. Sebelas tahun yang lalu, ketika tiga orang suhu kita mengantarkan pusaka-pusaka istana bersama aku dengan kereta menuju ke kota raja, di tengah perjalanan kami bertemu Bi-coa Sian-li dan seorang muridnya. Bi-coa Sian-li hendak merampas pusaka, akan tetapi gagal dan ia dikalahkan tiga orang guru kita. Dan anak perempuan itu, yang berusia sembilan tahun, murid Bi-coa Sian-li, berkelahi denganku dan aku menghajarnya, kuhukum seperti anak kecil dengan tamparan pada pinggulnya sampai sepuluh kali."

   Kui Siang mengerutkan alisnya.

   "Apa hubungannya cerita itu dengan kemesraan di hutan itu?" suaranya jelas mengandung kemarahan.

   Diam-diam Sin Wan merasa heran. Kenapa sumoinya kelihatan marah sekali melihat Lili tertidur di pangkuannya dan kelihatan seolah dia dan Lili bermesraan dan berpacaran? Hubungannya erat sekali, sumoi.

   "Dengarlah ceritaku selanjutnya. Sore tadi aku melihat seorang gadis dikeroyok oleh orang-orang lihai sebanyak enam orang. Gadis itu juga lihai, akan tetapi enam orang lawannya itu selain lihai juga amat licik dan gadis itu akhirnya tertawan dalam sehelai jala yang ada kaitannya beracun. Melihat gadis itu dalam ancaman bahaya, aku lalu menolongnya dan enam orang penjahat itu melarikan diri. Gadis itu keracunan, maka aku lalu mengobatinya dan mengusir racun dari tubuhnya. Mungkin karena kepayahan, gadis itu bersandar dan tertidur dan agaknya saat itulah engkau melihat kami dan menyangka bahwa kami bermesraan dan berpacaran. Pada hal tidaklah demikian. Bahkan kelanjutannya sayang sekali engkau tidak melihatnya, karena kalau engkau melihatnya, tentu akan lain sekali sikapmu."

   Sinar mata itu mulai terang dan tertarik, karena bagaimanapun juga, Kui Siang amat menghormati dan percaya kepada suhengnya itu.

   "Lanjutannya bagaimana?" tanyanya, suaranya masih parau karena tangis semalam suntuk, akan tetapi matanya tidak sesayu tadi.

   "Setelah gadis itu sembuh dan terbangun, kami bicara dan setelah aku mengaku sebagai murid Sam-sian, gadis itu terkejut dan tiba-tiba saja ia menotokku sehingga aku tidak mampu bergerak lagi. Kiranya ia adalah anak perempuan yang sebelas tahun lalu pernah kuhajar itu!"

   "Murid Bi-coa Sian-li, pembunuh kedua orang guru kita?"

   Sin Wan mengangguk.

   "Benar, ia bernama Lili dan ia lihai sekali. Aku ditotoknya dan aku menjadi lumpuh."

   "Lili ........?"

   Sin Wan teringat.

   "Eh, nama lengkapnya Tang Bwe Li."

   "Engkau sudah memanggilnya demikian akrab, suheng? Teruskanlah, bagaimana selanjutnya." Kata pula Kui Siang dan suaranya terdengar kaku.

   "Ia membalas dendamnya sebelas tahun yang lalu. Ia membalas memukuli pinggulku sampai puluhan kali. Kemudian ia mengikatku pada pohon dan meninggalkan aku agar dimakan binatang buas."

   Gadis itu membelalakkan matanya.

   "Betapa kejamnya! Gadis keparat!"

   "Setelah ia pergi dan aku belum mampu menggerakkan kaki tanganku, muncullah seekor harimau besar, sumoi. Binatang itu menghampiri aku, mengendus dan sempat mencakar robek celanaku dan melukai paha. Kemudian ia menerkam dan aku sudah pasrah karena tidak mampu bergerak melawan ......."

   "Lalu bagaimana, suheng? Lalu bagaimana?" Kini Kui Siang bangkit berdiri dan memegang kedua lengan suhengnya, nampak khawatir bukan main.

   "Pada saat harimau menerkam aku, ketika tubuhnya meloncat di udara, ia disambut tusukan pedang dan tewas seketika, sumoi. Aku telah ditolong dan diselamatkan ........"

   "Siapa yang menolongmu, suheng?" tanya Kui Siang, ingin sekali tahu siapa penolong yang telah merenggut nyawa suhengnya dari ancaman maut.

   "Gadis itu, sumoi. Lili yang menyelamatkan aku."

   "Ahhhhh .......!" Kedua tangan yang tadi memegang lengan Sin Wan dengan kuat, tiba-tiba menjadi lemas dan terlepas. Jelas bahwa Kui Siang nampak terpukul dan kecewa bukan main mendengar bahwa yang menyelamatkan suhengnya adalah gadis itu pula.

   "Aku sendiri terheran-heran, sumoi. Tadinya ia demikian kejam dan ganas, menyiksaku, hampir membunuhku, sengaja mengikatku agar dimakan binatang buas, akan tetapi ketika aku nyaris dimakan harimau, ia pula yang menolongku."

   "Itu hanya berarti ..... ah, suheng. Apakah engkau cinta padanya?" tiba-tiba gadis itu kembali menatap tajam wajah suhengnya.

   Sin Wan menggeleng kepala.

   "Tidak, sumoi. Kami baru bertemu beberapa jam saja, bagaimana aku dapat mencintanya? Apa lagi ia hampir saja membunuhku, dan ia menyiksaku, sampai sekarangpun rasa nyeri di pinggulku masih berdenyut-denyut. Tidak, aku tidak dapat cinta kepadanya, sumoi."

   Aneh sekali. Sumoinya, yang masih marah matanya, kini memandang kepadanya dengan senyum tipis!

   "Benarkah, suheng?" sumoinya bertanya.

   Sin Wan memegang kedua pundak sumoinya.

   "Aku tidak pernah bohong, sumoi. Sekarang aku ingin bertanya dan harap engkau tidak berbohong pula. Aku bersumpah bahwa aku tadi tidak berpacaran dengan Lili, akan tetapi andaikata benar demikian, lalu kenapa engkau menjadi begitu bersedih? Kenapa?"

   Wajah itu berubah merah dan sampai sejenak lamanya Kui Siang tidak mampu menjawab. Kemudian, dengan muka ditundukkan, iapun berkata lirih.

   "Suheng, aku tahu bahwa aku tidak berhak mencampuri urusan pribadimu, aku tahu bahwa tidak sepantasnya aku menjadi marah dan bersedih melihat engkau dan gadis itu di hutan ......." suaranya menjadi gemetar dan ia menangis lagi.

   "Sumoi, kenapa? Katakan, kenapa?" Sin Wan mengguncang kedua pundak sumoinya itu.

   "Karena ..... karena hatiku dibakar dan ditusuk-tusuk oleh rasa cemburu yang hebat, Suheng, maafkan aku ........"

   "Sumoi .....!" Sin Wan terkejut dan Kui Siang menangis sambil merangkul pinggang pemuda itu, menangis di dadanya seperti tadi.

   "Maafkan aku, suheng ........ karena aku tidak ingin kehilangan engkau, aku takut kehilangan engkau, aku tidak ingin berpisah darimu selama hidupku, suheng ..... aku cinta padamu ....," dan iapun menangis tersedu-sedu.

   Sin Wan tertegun dan diapun merangkul. Sejenak dia bengong. Dalam waktu semalam saja, dua orang gadis mengaku cinta padanya. Lili mengaku benci akan tetapi cinta. Kui Siang mengaku cemburu akan tetapi cinta!

   Haruskah cinta seorang wanita itu disertai cemburu dan dapat berubah menjadi benci? Apakah cinta itu mengandung cemburu dan benci? Dia merasa bingung. Akan tetapi tidak bingung kalau harus memilih di antara keduanya. Kui Siang telah bergaul dengan dia selama sepuluh tahun lebih dan ia sudah mengenal benar watak yang baik dari sumoinya ini. Kui Siang cantik, gagah perkasa, berbudi dan lembut, pasti akan menjadi seorang isteri dan seorang ibu yang baik. Lili juga sama cantiknya, sama gagah perkasanya, akan tetapi gadis itu liar dan ganas, berhati keras bahkan dapat menjadi kejam. Mudah saja memilih di antara keduanya. Tentu saja dia memilih Kui Siang! Memang jauh sebelum dia bertemu dengan Lili, dia sudah merasa amat sayang kepada sumoinya, rasa sayang merupakan tunas cinta. Kini sumoinya berterus terang menyatakan cinta kepadanya!

   "Sumoi, akupun cinta padamu," bisiknya sambil merangkul dan sejenak mereka saling peluk dengan ketatnya seolah tidak ingin melepaskan lagi.

   Suara batuk-batuk di luar kamar itu membuat mereka berdua terkejut dan cepat saling melepaskan rangkulan. Muncullah kakek itu setelah membuka daun pintu dan dia tersenyum lebar.

   "Wah, engkau sudah tersenyum lagi, Kui Siang? Ha..ha..ha, peristiwa ini patut dirayakan dengan makan enak. Mari keluarlah kalian, kita rnakan pagi yang istimewa, heh ..Heh..heh!"

   Wajah Kui Siang menjadi merah sekali. Hatinya penuh bahagia karena bukankah di telinganya tadi suara Sin Wan berbisik menyatakan cinta? la sudah menyatakan perasaan cintanya dan ternyata dibalas oleh suhengnya! Peristiwa semalam dengan Lili sudah seketika lenyap dari ingatannya.

   "Nanti dulu, locianpwe, saya ingin mandi dan bertukar pakaian lebih dulu."

   "Heh..heh, baiklah. Kita tunggu di luar, Sin Wan."

   Dua orang pria itu keluar dan Kui Siang segera mandi dan bertukar pakaian. Sekali ini, ia berdandan dan menyisir rambutnya agak lebih teliti dari pada biasanya. Ia harus selalu nampak rapi dan cantik di depan kekasihnya!

   Sementara itu, ketika mereka duduk menanti Kui Siang, kakek Bu Lee Ki berkata kepada pemuda itu.

   "Sin Wan, engkau dan Kui Siang memang cocok sekali menjadi suami isteri. Kalian berjodoh, kenapa setelah saling mencinta tidak segera menikah saja. Kulihat usia kalian sudah cukup dewasa."

   Wajah Sin Wan berubah kemerahan dan dia tersenyum.

   "Aih, locianpwe, bagaimana mungkin kami menikah! Saya seorang yatim piatu yang miskin dan tidak ada yang mewakili saya, sedangkan Kui Siang, biarpun yatim piatu pula, ia bangsawan dan kaya raya, dan masih mempunyai banyak keluarga di kota raja."

   "Hemm, apa salahnya itu? Yang penting, kalian saling mencinta. Tentang wakilmu, biar aku yang mewakilimu, mengajukan pinangan kepada keluarga Kui Siang di kota raja kelak setelah urusan pemilihan pemimpin kai-pang di sini selesai. Bagaimana pendapatmu?"

   "Terima kasih atas kebaikan hati locianpwe. Marilah nanti saja hal itu kita bicarakan karena selain urusan di sini belum beres, juga saya sendiri masih ragu-ragu untuk membangun rumah tangga. Keadaan saya masih begini, locianpwe, kehidupan diri sendiri saja masih belum menentu, tiada pekerjaan dan tiada rumah tinggal, bagaimana dapat memikirkan pernikahan?"

   "Heh..heh, justeru pernikahan yang akan memaksamu untuk mendapatkan tempat tinggal dan mata pencaharian yang tetap. Tanpa adanya kebutuhan itu, tentu akan selalu hidup bebas seperti seekor burung di udara." Kakek itu terkekeh, lalu melanjutkan.

   "Kalau kalian sudah saling mencinta, hal itu menunjukkan bahwa kalian sudah siap untuk membangun keluarga bersama, hidup bersama sebagai suami isteri. Cinta asmara merupakan tali pengikat yang paling kuat dalam hubungan itu dan kalian sudah saling mencinta. Mau tunggu apa lagi? Cinta berarti hidup bersama dalam keadaan apapun juga, dalam suka dan duka, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, suka sama dinikmati, duka sama ditanggung."

   "Tapi ...... tapi saya sendiri masih belum mengerti benar tentang cinta, locianpwe. Mohon petunjuk, apakah cinta harus disertai dengan cemburu? Apakah cinta dapat berubah menjadi benci?"

   Kakek itu tertawa.

   "Cinta adalah suatu keadaan yang mulia dan suci, Sin Wan. Cinta adalah sifat dari Tuhan Yang Maha Kasih. Akan tetapi, kita manusia merupakan mahluk yang lemah terhadap nafsu-nafsu kita sendiri. Cinta kita selalu diboncengi nafsu, dan nafsu inilah yang mendatangkan perasaan cemburu, benci dan sebagainya. Nafsu sifatnya selalu mementingkan diri sendiri, menyenangkan diri sendiri. Oleh karena cinta kita diboncengi nafsu, maka biar orang yang kita cinta, kalau melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan atau merugikan kita, maka dapat saja berubah menjadi benci dan dapat menimbulkan cemburu. Nafsu membuat kita ingin memiliki dan menguasai orang yang kita cinta seluruhnya, sehingga sekali saja terdapat kecenderungan kekasih kita kepada orang lain, timbullah cemburu. Nafsu membuat kita ingin memperalat orang yang kita cinta itu sebagai sumber kesenangan diri kita sendiri."

   "Kalau begitu, locianpwe, nafsu menjadi biang keladi sehingga cinta menjadi kotor dan buruk, dapat mendatangkan kejahatan dan malapetaka. Kalau begitu, antara suami isteri seharusnya ada cinta tanpa nafsu ........"

   "Ha..ha..ha..ha, tidak mungkin, Sin Wan. Nafsu memang berbahaya kalau ia menguasai kita, kalau ia menjadi majikan yang kejam kalau ia memperalat kita. Akan tetapi sebaliknya, tanpa nafsu kita tidak mungkin dapat hidup. Nafsu yang membonceng dalam cinta antara pria dan wanita merupakan suatu keharusan, karena nafsu yang menimbulkan daya tarik antar kelamin, nafsu pula yang memungkinkan manusia berkembang biak. Kalau pernikahan dilakukan tanpa adanya nafsu berahi, suami isteri akan hidup bersama seperti kakak beradik dan tidak akan ada anak, terlahir dan perkembangan biakan manusia akan terhenti."

   Sin Wan menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal. Dia sudah banyak membaca kitab tentang kehidupan, akan tetapi baru sekarang dia mendengar tentang hubungan antara pria dan wanita, tentang bekerjanya nafsu berahi dalam cinta kasih!

   "Lalu bagaimana baiknya, locianpwe? Nafsu amat berbahaya bagi kehidupan batin kita, akan tetapi juga teramat penting bagi kehidupan bahkan tidak mungkin dapat kita lenyapkan."

   "Segala macam nafsu yang berada pada kita merupakan anugerah pula dari Tuhan kepada kita, Sin Wan. Nafsu-nafsu itulah peserta jiwa dalam badan, untuk kepentingan kehidupan di dunia ini. Nafsu merupakan alat, merupakan pelengkap, merupakan pembantu yang teramat penting. Dalam hal perjodohan, nafsu bekerja sebagai berahi yang menimbulkan perasaan saling suka dan saling tertarik. mungkin melalui keindahan bentuk wajah dan tubuh yang menyenangkan dan cocok, mungkin melalui sikap dan prilaku yang sesuai dengan selera. Pendeknya nafsu berahi selalu ada di dalam cinta antara pria dan wanita yang ingin hidup bersama. Akan tetapi, karena nafsu mendatangkan pula cemburu yang mungkin menimbulkan kebencian, maka kita harus ingat bahwa sekali nafsu berahi yang menjadi majikan, yang menguasai kita, keutuhan perjodohan terancam retak. Nafsu berahi juga mendatangkan bosan."

   "Lalu bagaimana kita dapat menguasai nafsu kita sendiri, locianpwe? Dapatkah dikuasai dengan samadhi, dengan latihan pernapasan, dengan bertapa?"

   Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Semua usaha itu juga masih berada dalam lingkungan atau ruang pekerjaan akal budi, pada hal akal budi kita sudah dicengkeram nafsu. Usaha itu juga terbimbing oleh nafsu. Karena kita melihat kerugian yang diakibatkan oleh pengaruh nafsu, maka kita ingin menguasai nafsu. Siapa yang rugi? Kita si akal budi, dan siapa yang ingin menguasai nafsu. Juga kita sendiri, si akal budi yang sudah bergelimang nafsu. Jadi, nafsu menguasai nafsu, menguasai hasilnya tentu masih nafsu pula, hanya berbeda nama, akan tetapi pada hakekatnya sama, yaitu nafsu yang ingin menyenangkan diri sendiri, ingin menjauhkan diri dari kesusahan, ingin ini dan ingin itu yang pamrihnya pementingan diri. Usaha itu hanya akan mendatangkan hal yang nampaknya berhasil, namun pada luarnya saja. Kalau sekali waktu kebutuhan mendesak, nafsu yang nampaknya dapat "ditidurkan" melalui semua usaha itu, akan bangun kembali bahkan lebih kuat dari pada yang sudah!

   Satu-satunya kekuasaan yang akan mampu mengatur nafsu dan mendudukkan kembali nafsu di tempat yang sebenarnya sebagai abdi-abdi jiwa dalam kehidupan manusia, hanyalah kekuasaan Sang Pencipta, yang menciptakan nafsu itu. Karena itu, kita hanya dapat menyerahkan diri kepada Tuhan Maha Kasih, penyerahan total yang penuh kesabaran, ketawakalan dan keikhlasan. Kekuasaan Tuhan yang akan bekerja dalam diri kita. Nafsu-nafsu, termasuk nafsu berahi, akan tetap bekerja, namun sebagai pembantu yang setia, bukan sebagai majikan yang kejam."

   Sin Wan mengangguk-angguk.

   "Kalau sudah begitu, maka perjodohan akan menjadi indah dan penuh kebahagiaan, locianpwe?"

   Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ho..ho..heh..heh, nanti dulu, orang muda! Perjodohan adalah suatu segi kehidupan yang paling rumit! Bercampurnya dua orang manusia yang berbeda watak dan selera, berbeda keturunan, untuk hidup bersama selamanya, dalam sebuah pernikahan, dimaksudkan untuk bersama-sama membangun keluarga, terutama sekali bersama-sama merawat dan mendidik anak-anak yang lahir dari pernikahan itu. Dan mempertahankan kebersamaan selama puluhan tahun antara kedua orang manusia ini membutuhkan kepribadian yang luhur dan kesadaran serta kebijaksanaan yang tinggi. Apakah cukup dengan cinta kasih saja? Memang itulah dasarnya, akan tetapi tidak cukup dengan itu, Sin Wan. Di samping kasih sayang, harus pula terdapat kebijaksanaan, kesetiaan, bertanggung jawab dan memenuhi kewajiban masing-masing. Kewajiban sebagai seorang suami atau isteri kemudian kewajiban sebagai seorang ayah atau ibu. Dan semua itu baru akan berjalan mulus kalau didasari penyerahan kepada Tuhan sehingga kekuasaan Tuhan yang akan menjadi penuntun dan pembimbing."

   Percakapan terhenti karena munculnya Kui Siang. Gadis itu nampak segar walaupun kedua matanya masih kemerahan. Wajahnya tidak pucat lagi dan bibirnya tersenyum manis, wajahnya cerah. Gadis itu membelalakkan mata terkejut gembira melihat meja penuh hidangan yang masih panas.

   "Aih, benar-benar locianpwe mengadakan pesta!" serunya sambil duduk di sebelah Sin Wan seperti biasanya menghadapi meja makan.

   "Tentu saja! Peristiwa menggembirakan harus disambut dan dirayakan!"

   "Peristiwa menggembirakan yang manakah locianpwe?"

   "Heh..heh, Kui Siang, masih pura-purakah engkau? Tentu saja peristiwa menggembirakan antara kalian, pertunangan kalian!"

   Wajah gadis itu berubah merah sekali dan ia menundukkan muka sambil mengerling ke arah Sin Wan.

   "Sumoi, locianpwe telah mengetahui apa yang terjadi antara kita. Beliau seperti guru kita sendiri, tidak perlu lagi kita bersungkan kepadanya."

   "Heh-heh, benar sekali itu, Kui Siang. Bahkan aku kelak ingin mewakili Sin Wan mengajukan pinangan atas dirimu kepada keluargamu di kota raja."

   Kui Siang bangkit dan memberi hormat kepada kakek itu.

   "Terima kasih atas kebaikan budimu, locianpwe. Akan tetapi, sebaiknya hal itu tidak usah kita bicarakan sekarang."

   Gadis yang bijaksana, pikir Sin Wan bangga.

   "Ha, engkau benar. Mari kita makan minum dan bergembira."

   Mereka makan minum dan saling memberi selamat melalui cawan arak.

   Setelah selesai makan, mereka bercakap-cakap dan Sin Wan berkata.

   "Locianpwe, saya kira pertemuan yang akan diadakan untuk memilih pimpinan kai-pang ini akan menjadi ramai. Apakah locianpwe sudah mendapatkan keterangan tentang tempat dan waktunya?" tanya Sin Wan.

   "Sudah, akan diadakan nanti lewat tengah hari, dan tempatnya di gedung milik pemerintah, yaitu di gedung pertemuan bagian dari bangunan gedung kepala daerah Lok-yang."

   Sin Wan memandang heran.

   "Di gedung pemerintah?"

   "Tentu saja, dan aku girang sekali dengan itu, Sin Wan. Agaknya pemerintah mencampuri dan pemerintah benar-benar ingin melihat para kai-pang menggalang persatuan. Hal ini membangkitkan semangatku, karena dengan bantuan dan kerja sama dengan pemerintah, maka persatuan itu akan lebih mudah dipulihkan seperti jaman perjuangan melawan penjajah Mongol."

   "Akan tetapi, saya kira tidak akan semudah itu, locianpwe," kata Sin Wan.

   "Saya kira Bi-coa Sian-li akan hadir, dan saya melihat pula seorang muda, mungkin berkebangsaan Jepang, yang memiliki kepandaian lihai sekali. Anak buahnya pandai menggunakan jala sebagai senjata."

   "Ahhh? Bi-coa Sian-li muncul, mungkin ia mewakili ayahnya, yaitu See-thian Coa-ong, dan kalau muncul pemuda Jepang lihai dan orang-orang yang pandai menggunakan jala, tentu mereka itu mewakli golongan bajak yang dikepalai oleh datuk timur Tung-hai-liong! Wah, akan ramai kalau datuk barat dan datuk timur itu muncul. Kita harus bersiap-siap dan mari engkau matangkan latihan ilmu-ilmu yang sudah kuajarkan kepadamu, Sin Wan."

   Memang selama ini, hampir setiap kesempatan dipergunakan oleh kakek Bu Lee Ki untuk mengajarkan ilmu-ilmu simpanannya kepada pemuda yang sudah lihai itu.

   Ruangan yang luas itu telah penuh orang yang pakaiannya aneh-aneh. Demikian banyaknya orang yang hadir, tidak kurang dari limapuluh orang, dan mereka semua memakai pakaian yang pasti ada tambalannya! Ada pakaian kembang-kembang, ada pakaian warna-warni yang kainnya masih baru, akan tetapi tetap saja ada tambalan pada pakaian itu. Inilah tandanya bahwa mereka itu adalah orang-orang kai-pang (perkumpulan pengemis).

   Tentu saja yang hadir hanyalah para pimpinan, maka mereka yang berada di ruangan itu adalah orang-orang yang lihai. Di antara semua kai-pang yang diwakili pimpinan masing-masing, yang menonjol penampilannya hanya empat rombongan, yaitu rombongan Ang-kin Kai-pang yang menjadi pimpinan seluruh kai-pang di daerah utara dan dipimpin oleh Thio Sam Ki dan Ciok An, Lam-kiang Kai-pang perkumpulan terbesar dari selatan yang dipimpin oleh ketuanya yang bernama Kwee Cin, lalu perkumpulan terbesar di timur Hwa I Kai-pang yang dipimpin oleh ketuanya yang bernama Siok Cu yang diikuti beberapa orang, di antaranya seorang pemuda Jepang yang pakaiannya menyolok karena berbeda dengan pakaian para pimpinan kai-pang, kemudian dari barat Hek I Kai-pang yang dipimpin ketuanya, Souw Kiat yang ditemani pula oleh dua orang wanita yang tentu saja amat menarik perhatian semua orang karena dua orang wanita itu selain cantik jelita, juga pakaian mereka sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka adalah golongan pengemis!

   Selain para pimpinan empat kai-pang itu, semua adalah pimpinan para kai-pang yang lebih kecil dan yang dalam banyak hal mengekor saja kepada empat kai-pang besar itu.

   Karena rapat besar itu diadakan di Lok-yang, di mana yang berkuasa adalah Hwa I Kai-pang, maka perkumpulan inilah yang bertindak sebagai tuan rumah, bahkan kepala daerah Lok-yang meminjamkan gedung pertemuan itupun kepada Hwa I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang).

   Siok-Pangcu (Ketua Siok) yang bertubuh pendek gemuk, yaitu Siok Cu ketua Hwa I Kai-pang, duduk di bagian tuan rumah, ditemani lima orang pembantu ketua dan pemuda Jepang yang menjadi tamu kehormatan. Pemuda itu bukan lain adalah Maniyoko, murid Tung-hai-liong yang mewakili gurunya untuk merebut pimpinan para kai-pang agar kelak dalam pemilihan Beng-cu (pemimpin rakyat) Tung-hai-liong Ouwyang Cin memperoleh dukungan dari para kai-pang. Menghadapi datuk timur itu, Siok Cu dan para pimpinan Hwa I Kai-pang tidak mampu melawan dan terpaksa diapun menyerah, walau dalam hati para pimpinan kai-pang tentu saja tidak suka melihat para kai-pang dipimpin oleh seorang yang bukan golongan pengemis, apa lagi seorang Jepang! Mereka setuju setelah mendengar bahwa Tung-hai-liong dan muridnya sama sekali tidak menginginkan pimpinan kai-pang, melainkan hanya membutuhkan dukungan kai-pang agar kelak dapat menjadi calon beng-cu yang memimpin seluruh dunia persilatan seperti dikehendaki pemerintah. Kalau kedudukan beng-cu sudah diperoleh, tentu saja Tung-hai-liong dan muridnya tidak suka menjadi pemimpin para pengemis!

   Siok Cu sebagai tuan rumah bangkit berdiri dan dia memperkenalkan dua orang yang berpakaian perwira tinggi dan yang duduk di tempat kehormatan dekat rombongannya.

   "Kedua orang ciang-kun ini adalah wakil dari pemerintah, dikirim oleh kepala daerah untuk menyaksikan pemilihan pimpinan para kai-pang agar berjalan dengan tertib. Sekarang kami harap saudara sekalian suka mengajukan calon masing-masing, setelah semua calon diajukan, baru kita akan mengadakan pemilihan dan pemungutan suara."

   Souw Kiat, ketua Hek I Kai-pang yang mewakili para kai-pang dari daerah barat bangkit berdiri.

   "Kami mengajukan usul agar pemilihan seorang pemimpin besar kai-pang bukan hanya berdasarkan banyaknya suara pemilih karena hal itu dapat saja diatur lebih dahulu. Yang penting, seorang pemimpin baru dapat kita hormati dan taati kalau dia berwibawa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka dia harus lebih lihai dari para calon lainnya. Jadi, harus diadakan adu kepandaian untuk menentukan pemenangnya!"

   Siok Cu yang sudah mendapat perintah dari Maniyoko, bangkit dan menyatakan persetujuan.

   "Kami dari Hwa I Kai-pang dan para kai-pang di daerah timur setuju dengan usul dari Hek I Kai-pang. Bagaimana dengan para saudara dari selatan dan utara?"

   Kwee Cin, ketua Lam-kiang Kai-pang dari selatan, bangkit.

   "Sebelum dilakukan pemilihan, kami ingin bertanya, mengapa diadakan pemilihan lagi kalau kita dahulu sudah mempunyai seorang pimpinan? Bukankah semua kai-pang sudah mempunyai pimpinan, yaitu locianpwe Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki? Bukankah beliau yang dahulu memimpin kita semua membantu perjuangan mengenyahkan penjajah Mongol? Biarpun sudah bertahun-tahun beliau tidak aktip, akan tetapi beliau belum berhenti atau diperhentikan sebagai pimpinan, kenapa sekarang kita melakukan pemilihan pimpinan baru?"

   Mendengar ini, Thio Sam Ki bangkit berdiri pula dan mengacungkan tangan.

   "Kami dari utara juga setuju dengan pendapat ketua Lam-kiang Kai-pang tadi. Kami mempertahankan locianpwe Pek-sim Lo-kai sebagal pimpinan para kai-pang!"

   Ucapan kedua orang ketua itu disambut meriah dan ternyata sebagian besar para pangcu yang hadir menyetujui pendapat itu. Souw Kiat yang sudah ditekan oleh Bi-coa Sian-li, membantah.

   "Sudah bertahun-tahun sejak penjajah kalah, Pek-sim Lo-kai menghilang. Kita tidak tahu apakah beliau masih hidup ataukah sudah mati. Bagaimana kita dapat bersatu tanpa pimpinan? Kita harus mengadakan pemilihan pimpinan baru."

   "Kami setuju! Andaikata Pek-sim Lo-kai masih hiduppun, jelas dia telah meninggalkan kewajibannya, telah mengacuhkan kita semua. Tidak pantas dia dipertahankan," kata Siok Cu dari Hwa I Kai-pang yang sudah terpengaruh oleh Maniyoko.

   Diam-diam Thio Sam Ki dan wakilnya, Ciok An, memandang ke sekeliling dengan gelisah. Kenapa orang yang mereka tunggu-tunggu tidak muncul? Bagaimana mungkin mereka dapat mempertahankan dan menjagoi Pek-sim Lo-kai kalau orangnya tidak hadir? Akan tetapi, ketika semua pangcu dipersilakan mengajukan nama calon masing-masing, Ang-kin Kai-pang tetap mengajukan nama Pek-sim Lo-kai sebagai calon. Juga Kwee Cin ketua Lam-kiang Kai-pang berkeras menjagoi dan mempertahankan Pek-sim Lo-kai.

   Siok Cu sebagai tuan rumah dan penyelenggara rapat, lalu mengumumkan dengan suara lantang bahwa yang diajukan oleh para peserta rapat ada enam calon. Pertama adalah Pek-sim Lo-kai yang tidak hadir akan tetapi ketika nama ini diumumkan, lebih dari separuh jumlah yang hadir menyambut dengan tepuk tangan. Calon kedua adalah Maniyoko murid dari Tung-hai-liong Ouwyang Cin, datuk timur yang namanya sudah dikenal semua orang."

   "Kami tidak setuju!" seru Thio Sam Ki.

   "Bukan kami memandang remeh kepada locianpwe Tung-hai-liong Ouwyang Cin, akan tetapi beliau dan muridnya bukan golongan pengemis, bagaimana mungkin menjadi pemimpin kita?"

   "Thio-pangcu, pengemis atau bukan hanya ditandai oleh pakaiannya, apa sukarnya bagi calon kami untuk mengenakan pakaian pengemis? Yang penting bukan pakaiannya, akan tetapi kepandaiannya dan kemampuannya! Kami melanjutkan dengan calon-calon yang lain," kata Siok Cu dengan lantang.

   "Calon ke tiga adalah Bi-coa Sian-li Cu Sui In puteri dari locianpwe See-thian Coa-ong Cu Kiat."

   "Wah, kami keberatan! kini Kwee Cin ketua Lam-kiang Kai-pang.

   "Bagaimana mungkin kita akan dipimpin seorang wanita? Kami semua sudah mengenal nama Bi-coa Sian-li, apalagi See-thian Coa-ong, akan tetapi mereka adalah golongan lain, tidak ada sangkut-pautnya dengan para kai-pang!"

   Souw Kiat bangkit dan membela calonnya, tentu saja karena dia ditekan oleh Sui In.

   "Seperti juga calon kedua tadi, calon ketiga pun pantas menjadi pemimpin karena kemampuannya. Untuk apa dipimpin seorang berpakaian pengemis kalau dia tidak mampu? Siok Pangcu, lanjutkan dengan nama para calon lainnya!"

   Ada tiga orang calon lainnya yang diajukan oleh para kai-pang. Mereka adalah tiga orang pengemis berusia enampuluhan tahun yang merupakan tokoh-tokoh dalam dunia pengemis, dihormati karena mereka adalah orang-orang yang gagah walaupun mereka tidak pernah mau menjabat kedudukan ketua.

   Mereka adalah orang-orang yang hanya dikenal julukan mereka saja di dunia para pengemis, yaitu Koai-tung Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Aneh), Hek-bin Lo-kai (Pengemis Tua Muka Hitam) dan Ta-kau Sin-kai (Pengemis Sakti Pemukul Anjing). Mereka adalah pengemis-pengemis petualang yang tidak tergabung dalam salah satu kai-pang, nama mereka dikenal dan dihormati semua pengemis. Para calon dipersilakan naik ke panggung yang sudah dipersiapkan diruangan itu dan begitu mereka berdiri berjajar, nampaklah perbedaan yang menyolok.

   Tiga orang calon yang berpakaian butut adalak kakek-kakek tua yang nampak buruk sekali diapit dua orang muda yang elok. Maniyoko yang berdiri di ujung kiri nampak tampan walaupun agak pendek, dan gagah dengan cambang tebal sampai dagu dan pedang samurai tergantung di belakang punggung. Sedangkan di ujung kanan berdiri seorang gadis yang amat cantik, yang bukan lain adalah Lili! Begitu maju, ia tadi berkata dengan suara lantang kepada semua yang hadir.

   "Aku Tang Bwe Li mewakili suci (kakak seperguruan) Cu Sui In untuk mengalahkan semua calon!" Sambil berkata demikian, ia memandang kepada Maniyoko dengan sinar mata mencorong penuh kebencian, dan sinar mata itu jelas menyatakan betapa Lili ingin membalas dendam karena ia pernah dicurangi, dikeroyok dan ditangkap oleh pemuda Jepang itu! Pemuda itu tersenyum saja, senyum tenang mengejek karena dia sama sekali tidak gentar menghadapi gadis cantik itu.

   Melihat ini, Thio Sam Ki segera bangkit dan berteriak.

   "Ini sudah menyalahi peraturan! Calonnya sendiri yang harus maju, tidak boleh diwakili orang lain!"

   Lili memandang kepada ketua Ang-kin Kai-pang itu dan tersenyum manis, lalu berkata lantang.

   "Pangcu, engkau sendiri mengajukan Pek-sim Lo-kai sebagai calon, mana orangnya? Suci terlalu tangguh untuk dihadapi calon-calon ini. Akupun sudah cukup. Nanti kalau Pek-sim Lo-kai sendiri muncul, barulah ada harganya untuk menandingi suciku!"

   Siok-Pangcu menengahi dan mengijinkan Lili mewakill sucinya, dengan catatan bahwa kalau Lili kalah, berarti sucinya dinyatakan gagal. Kemudian dia membuat undian dan memang sudah diaturnya, yang keluar sebagai orang-orang yang harus bertanding pertama kali adalah Maniyoko melawan Koai-tung Lo-kai.

   Sebelum pertandingan pertama dimulai, dia mengumumkan.

   "Karena seorang calon tidak hadir, maka namanya dicoret dari daftar calon terpilih!"

   "Nanti dulu, kami tidak setuju!" teriak Thio Sam Ki.

   "Kami yang menanggung bahwa Pek-sim Lo-kal pasti akan hadir. Kalau pertandingan ini selesai dan beliau belum hadir, boleh saja beliau dinyatakan gagal!"

   Para pendukung Pek-sim Lo-kai memberikan suara setuju mereka dan terpaksa Siok Cu mengalah dan menerima usul itu.

   Pertandingan antara Maniyoko dan Koai-tung Lo-kai segera dimulai dan para calon lain kembali ke tempat duduk masing-masing. Maniyoko bertangan kosong saja menghadapi Koai-tung Lo-kai yang mempergunakan tongkatnya. Sebetulnya, Koai-tung Lo-kai, seperti dua orang kakek pengemis lainnya, tidak berambisi untuk menjadi pimpinan kai-pang. Akan tetapi orang yang mereka pandang dan harapkan, yaitu Pek-sim Lo-kai, tidak hadir. Terpaksa mereka maju, bukan saja untuk memenuhi pilihan para kai-pang, juga untuk mencegah agar dua orang muda itu tidak sampai merebut kedudukan pemimpin kai-pang!

   Akan tetapi ternyata tingkat kepandaian Koai-tung Lo-kai yang hanya lebih sedikit dibandingkan tingkat para ketua kai-pang, bukan lawan Maniyoko yang lihai itu. Dalam waktu kurang dari duapuluh jurus saja, tongkat di tangan Koai-tung Lo-kai telah dapat dirampas Maniyoko dan sebuah tendangan kilat membuat kakek itu terlempar turun panggung! Maniyoko tertawa dan melemparkan tongkat itu ke bawah panggung, di mana Koai-tung Lo-kai dibantu bangkit oleh para pengemis yang mencalonkannya.

   "Ha..ha..ha, hanya sebegitu saja kepandaian seorang calon yang hendak memimpin para kai-pang di seluruh negeri? Sungguh lucu! Orang begitu lemah bagaimana akan mampu memimpin seluruh kai-pang? Hayo, silakan calon lain maju karena pertandingan yang tadi sama sekali tidak membuat aku berkeringat!" kata Maniyoko dengan nada dan lagak sombong.

   Hek-bin Lo-kai yang menjadi sahabat baik Koai-tung Lo-kai dan yang memiliki watak keras, mendengar ucapan Maniyoko menjadi marah dan diapun meloncat ke atas panggung.

   "Engkau ini orang Jepang berani mencampuri urusan kai-pang dan berlagak sombong! Aku yang akan menghadapimu, keparat!"

   Kalau saja tidak ingat bahwa di situ hadir dua orang panglima dari pemerintah dan disitu berkumpul pula seluruh pimpinan kai-pang, tentu Maniyoko sudah menjadi marah dan membunuh kakek bermuka hitam di depannya. Akan tetapi dia sudah mendapat pesan gurunya agar tidak menimbulkan kekacauan, maka dia tersenyum menghadapi kakek bermuka hitam itu.

   "Hek-bin Lo-kai, orang lain boleh merasa gentar melihat mukamu yang hitam menakutkan, akan tetapi aku tidak. Majulah dan perlihatkan kepandaianmu!" Maniyoko menantang.

   Hek-bin Lo-kai mengeluarkan bentakan nyaring dan diapun sudah menyerang dengan tangan kosong. Dia terkenal sebagai seorang kakek yang memiliki tenaga besar.

   Namun, Maniyoko menyambut dengan gerakannya yang amat ringan dan gesit sehingga semua terkaman, hantaman dan tendangan kakek bermuka hitam itu tak pernah menyentuh tubuhnya.

   Kembali belasan jurus lewat dan ketika Hek-bin Lo-kai kembali memukul ke arah kepala lawan, Maniyoko merendahkan tubuhnya dan begitu tangan kakek itu meluncur lewat di atas kepalanya, dia menangkap pergelangan tangan kanan kakek itu dan sekali dia membuat gerakan merendah, membalik dan membanting, tubuh kakek itu terlempar keluar panggung dan jatuh terbanting ke atas lantai di bawah panggung!

   Terdengar sorak sorai dari para pimpinan Hwa I Kai-pang dan para kai-pang pengikutnya di daerah timur yang menjagoi Maniyoko.

   Maniyoko tertawa.

   "Masih ada lagikah?" teriaknya dengan lagak semakin sombong.

   "Orang Jepang, akulah lawanmu!" terdengar bentakan dari Ta-kau Sin-kai, kakek pengemis ketiga, meloncat naik ke atas panggung sambil memutar tongkatnya. Akan tetapi dari lain jurusan, nampak berkelebat bayangan lain dan tahu-tahu di situ telah berdiri Lili!

   "Nona, biarkan aku menghajar orang Jepang sombong ini!" teriak Ta-kau Sin-kai.

   Lili tersenyum.

   "Kakek pengemis, engkau berjuluk Ta-kau Sin-kai (Pengemis Sakti Pemukul Anjing). Memang dia ini seperti anjing yang layak dipukul, akan tetapi engkau tidak akan menang dan engkau bahkan akan digigit olehnya. Dia ini anjing gila, kalau menggigit berbahaya. Biarlah aku yang akan menghajarnya!"

   "Tidak, nona!" kata Ta-kau Sin-kai yang merasa penasaran melihat dua orang rekannya tadi dikalahkan, dan dia sudah memutar tongkatnya menyerang Maniyoko. Akan tetapi, Lili menghadangnya sehingga kini di atas panggung terdapat tiga orang dan suasana menjadi agak kacau. Kakek itu ingin menyerang Maniyoko, akan tetapi gadis itu selalu menghalanginya.

   Tiba-tiba terdengar seruan lantang dari seorang panglima yang hadir di situ.

   "Tidak boleh seperti itu! Calon dari daerah timur harap turun karena sudah dua kali bertanding dan biarkan calon dari barat, nona itu bertanding melawan Ta-kau Sin-kai!"

   Mendengar ini Maniyoko tertawa dan diapun kembali ke tempat duduknya sehingga Lili berhadapan dengan Ta-kau Sin-kai. Gadis itu cemberut memandang kepada kakek pengemis itu.

   "Kek, engkau hanya menghalangi aku untuk menghajar manusia sombong tadi. Kenapa engkau tidak cepat kembali saja ke tempatmu semula dan mengaku kalah!"

   Kalau tadi Ta-kau Sin-kai marah kepada Maniyoko, kini menghadapi Lili dia tersenyum.

   "Nona, aku biarpun tua telah dipilih oleh beberapa pimpinan kai-pang, bagaimanapun juga, aku harus menghargai mereka dan berusaha untuk memenangkan pemilihan ini. Nah, marilah kita menguji kepandaian masing-masing nona."

   "Hemm, engkau mencari penyakit. Lihat seranganku!" kata Lili dan tubuhnya sudah bergerak cepat, bagaikan seekor ular saja tangan kirinya sudah meluncur ke depan, tangannya membentuk kepala ular dan tangan itu menyambar ke arah muka Ta-kau Sin-kai. Kakek itu mengelak dengan kaget, akan tetapi tangan kanan gadis itu menyusul dan serangannya bertubi-tubi, seperti dua ekor ular yang menyerang bergantian, semua serangan ditujukan ke arah jalan darah, merupakan totokan yang amat cepat. Saking cepatnya gerakan kdua tangan Lili, kakek itu sama sekali tidak mampu membalas, hanya mengelak dan akhirnya terpaksa dia menangkis dengan tongkatnya. Tidak mungkin dia menggunakan ilmunya memukul anjing karena yang dihadapinya adalah lawan yang gerakannya seperti ular! Dan ketika dia menangkis, itulah kesalahannya karena memang Lili menghendaki lawan menangkis.

   "Plakkk!" tongkat bertemu tangan yang membentuk kepala ular dan seperti seekor ular, pergelangan tangan gadis itu memutar dan tahu-tahu tongkat itu telah terbelit pergelangan dan tangan, lalu tangan kirinya menotok ke depan.

   Ta-kau Sin-kai terkejut karena tahu-tahu tubuhnya menjadi kaku tak mampu bergerak, sedangkan tongkatnya berpindah tangan! Dia menjadi pucat, maklum bahwa dia akan menderita malu, akan tetapi gadis itu berseru.

   "Terimalah kembali tongkatmu!" dan tongkat itu bergerak cepat memulihkan totokannya dan telah berada di tangannya kembali!

   Tentu saja dia menjadi kagum dan maklum bahwa tingkat kepandaian gadis ini luar biasa tingginya, dan sama sekali bukan lawannya. Dengan muka merah dia lalu memberi hormat.

   "Aku mengaku kalah!" Diapun melompat turun dari panggung dengan hati bersyukur karena gadis itu telah menghindarkan ia dari malu. Kalau bukan orang yang berniat baik, tentu dia telah dibunuh atau setidaknya dilukai, demikian pikir Ta-kau Sin-kai.

   Pada saat Lili hendak menantang Maniyoko sebagai lawan tunggal, tiba-tiba suasana menjadi kacau dan semua orang berdiri memandang ke arah tiga orang yang baru masuk.

   "Pek-sim Lo-kai telah tiba!"

   "Hidup Thai-pangcu ( Ketua Besar)!"

   "Pimpinan kita telah kembali!"

   Teriakan-teriakan penuh kegembiraan menyambut munculnya Bu Lee Ki yang diiringkan Sin Wan dan Kui Siang.

   Ketika Lili melihat munculnya Sin Wan, wajahnya berubah merah. Tadi ia sudah menyatakan bahwa ia mewakili sucinya yang hanya pantas keluar turun tangan sendiri kalau Pek-sim Lo-kai muncul, maka kini ia menjadi bingung dan ia segera meloncat mendekati sucinya yang juga memandang tajam ke arah kakek yang memasuki ruangan itu sambil tersenyum-senyum penuh keharuan. Memang hati Bu Lee Ki terharu melihat penyambutan itu, tanda bahwa dia masih dihargai dan diharapkan kepimpinannya.

   Sementara itu, melihat munculnya orang yang tidak disangka-sangkanya itu. Maniyoko sudah meloncat ke tengah panggung.

   "Tadi Pek-sim Lo-kai dicalonkan menjadi pemimpin baru, sekarang aku menantangnya untuk tampil ke depan mengadu kepandaian!"

   Teriakan ini disambut oleh para pendukungnya. Para pendukung adalah mereka yang merasa telah melakukan penyelewengan sehingga mereka khawatir bahwa kalau Pek-sim Lo-kai yang terkenal keras berdisiplin menduduki jabatannya kembali, tentu mereka akan dihukum atau setidaknya, tidak akan bebas melakukan apa yang mereka suka.

   Melihat pemuda Jepang yang pernah dihadapinya untuk menolong Lili yang tertawan, Sin Wan berbisik kepada Bu Lee Ki. Kakek itu mengangkat muka memandang dan dia mengangguk. Dengan tenang Sin Wan lalu menghampiri panggung dan melompat ke atasnya, berhadapan dengan Maniyoko.

   Sin Wan menghadap ke arah rombongan tuan rumah, lalu memberi hormat ke sekeliling. Dia bersama sumoinya dan kakek Bu Lee Ki sejak tadi mengintai dan sudah mendengar dan melihat apa yang terjadi, dan baru muncul setelah kakek itu memberi isarat.

   "Cu-wi (anda sekalian) hendaknya mengenal saya sebagai wakil locianpwe Pek-sim Lo-kai menghadapi pemuda Jepang ini! Beliau terlalu tinggi kedudukannya untuk melayani segala macam pengacau seperti ini."

   Mendengar ini, Maniyoko menjadi marah sekali.

   "Singgg ......!!" nampak sinar menyilaukan mata ketika pedang samurai di punggung itu dicabutnya.

   "Keparat sombong, keluarkan Senjatamu!" bentak Maniyoko sambil mengelebatkan pedangnya yang amat tajam menyeramkan itu.

   Sin Wan yang sudah tahu akan kedahsyatan ilmu pedang lawan, mencabut pedangnya dan semua orang tertegun. Sebatang pedang yang buruk dan tumpul.

   Melihat ini, para pendukung Maniyoko tertawa dan ada yang berteriak mengejek.

   "Pedang Tumpul! Pedang Tumpul yang buruk!"

   Kakek Bu Lee Ki yang sudah disambut dengan hormat oleh Thio Sam Ki dan Kwee Cin ketua Lam-kiang Kai-pang, dipersilakan duduk, kini berseru dari tempat duduknya.

   "Ha..ha, memang dia itu Pendekar Pedang Tumpul, dan jangan pandang rendah pedangnya itu heh..heh!"

   

Pedang Sinar Emas Eps 46 Pedang Sinar Emas Eps 25 Pedang Sinar Emas Eps 15

Cari Blog Ini