Ceritasilat Novel Online

Asmara Si Pedang Tumpul 11


Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 11




   "

   "Ibu.....!" Lili merangkul ibunya dengan air mata bercucuran.

   "Tidak, ibu, aku tidak ingin berpisah dari ayah......"

   Sui In mengerutkan alisnya, lalu menghela napas panjang.

   "Engkau benar kalau memilih ayahmu. Dia seorang pendekar, seorang panglima besar yang berkedudukan mulia, yang mempunyai kehormatan dan nama bersih, mana bisa disamakan dengan ibumu, seorang wanita sesat, seorang wanita jahat yang namanya tersohor hitam dan kotor?"

   Seluruh kepahitan hatinya karena ditinggalkan kekasihnya tersalur lewat ucapan itu.

   "Tidak, ibu, akupun tidak ingin berpisah darimu. Aku ingin berkumpul dengan ayah dan ibu!" kata Lili dengan suara mengandung getaran penuh kesedihan dan kerinduan. Betapa rindunya untuk dapat berkumpul dengan dua orang yang menjadi ayah ibunya. Seolah-olah diciptakan menjadi manusia baru yang tadinya merasa yatim piatu kini tiba-tiba menemukan kembali ayah dan ibu kandungnya!

   "Sui In, aku mengaku bersalah, aku telah berdosa, aku terlalu sombong dan bodoh, aku sudah menyerah dan rela kau bunuh. Kalau engkau tidak mau membunuhku, aku bersumpah untuk memperbaiki kesalahanku. Belum terlambat bagiku untuk membahagiakan engkau dan anak kita Lili. Marilah, Sui In, marilah kita hidup bersama anak kita dan tidak saling berpisah lagi........."

   Sui In memandang bekas kekasihnya itu. dengan sinar mata berkilat, mulutnya mencibir.

   "Huh, dan aku merampasmu dari isteri dan anak-anakmu? Engkau akan mencampakkan mereka begitu saja? Laki-laki macam apa engkau ini?"

   "Tidak, Sui In. Jangan salah mengerti. Aku tidak akan mengulang perbuatanku yang jahat. Maksudku, kita tinggal bersama menjadi keluarga besar. Marilah, engkau dan Lili ikut bersamaku, tinggal bersama kami menjadi anggauta keluargaku."

   "Dan setiap hari menghadapi kebencian isterimu dan anak-anakmu?"

   "Tidak! Percayalah, Sui In. Isteriku adalah seorang bijaksana dan selama ini aku tidak pernah mempunyai isteri lain atau selir. Ia pasti akan menerimamu, apalagi kalau aku berterus terang tentang masa lalu. Kedua orang anakku juga anak-anak yang berbakti dan baik."

   "Aku tidak percaya! Aku tidak sudi dari keadaan menderita karena rindu dan kesepian, kini pindah ke dalam keadaan menderita karena dimusuhi keluargamu."

   Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita, lemah lemhut dan halus.

   "Bhok Cun Ki berkata benar, enci. Kami sudah mendengar semuanya dan aku merasa iba kepadamu dan kepada anakmu. Kalau kalian berdua suka, datanglah dan tinggallah bersama kami. Kami menerima kalian dengan hati dan tangan terbuka......., bahkan aku rela menjadi isteri kedua karena sesungguhnya, engkau yang lebih dahulu menjadi isterinya."

   Cu Sui In dan Lili menengok, juga Bhok Cun Ki. Kiranya yang bicara itu adalah nyonya Bhok, isteri panglima itu bersama kedua orang anaknya, Ci Han dan Ci Hwa! Karena merasa khawatir terhadap ayah mereka, kedua orang kakak beradik ini lalu memberitahu kepada ibu mereka dan isteri panglima inipun khawatir sekali, maka ia mengajak kedua orang anaknya untuk menyusul cepat menggunakan kereta. Mereka turun dari kereta, memasuki hutan dan sempat mendengar dan melihat pertemuan yang mengharukan antara Bhok Cun Ki dan bekas kekasihnya dan anak mereka. Nyonya Bhok adalah seorang wanita yang berperasaan peka dan halus, dan ia merasa, terharu sekali, iba terhadap Cu Sui In dan Lili.

   Melihat seorang wanita yang lembut dan halus gerak geriknya, seorang wanita bangsawan sejati, Cu Sui In merasa canggung. Ia melangkah menghampiri, dan sejenak kedua orang wanita itu saling pandang.

   "Nyonya, sesungguhnyakah kata-katamu tadi, atau hanya sekedar basa-basi dan karena engkau takut kepada suamimu saja?" tanya Sui In.

   Wanita itu tersenyum lembut dan dari seri wajah dan senyum itu saja Sui In maklum bahwa biarpun bertubuh lemah, wanita ini memiliki kepribadian yang kuat dan tidak mungkin ia takut terhadap suaminya.

   "Demi Tuhan, aku bicara dari hati yang tulus, enci. Pula, harap jangan menyebutku nyonya. Aku adalah adikmu, madumu yang lebih muda dan marilah kita bersama hidup sebagai sebuah keluarga besar."

   Sui In merasa demikian terpukul dan terharu sehingga ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Sementara itu, Ci Hwa menghampiri Lili dan memegang tangan gadis itu.

   "Aih, aku girang sekali mendapatkan seorang cici seperti engkau. Kau harus mengajarkan aku ilmu silatmu yang hebat itu, enci Lili!"

   Seperti ibunya, Lili juga merasa tertegun. Tak disangkanya sama sekali bahwa isteri dan anak-anak ayah kandungnya bersikap seperti itu! Ci Han juga tidak mau kalah, maju mendekat.

   "Enci Lili, jangan lupa mengajarkan silat kepadaku pula. Kalau hanya Ci Hwa yang kau ajari dan ia lebih menang dariku, tentu ia akan sewenang-wenang terhadap aku!"

   "Ihh, Han-ko, engkau ini hanya ikut-ikutan saja!" adiknya menegur. Mau tidak mau Lili tersenyum, kagum dan juga bangga. Adik-adik tirinya ini mengagumkan!

   Terdengar suara tawa bergelak. See-thian Coa-ong yang tertawa, lalu berkata dengan suara lantang.

   "Ha..ha..ha..ha, seperti adegan wayang panggung saja! Heii, Bhok Cun Ki, kalau sekali ini engkau tidak benar-benar membahagiakan anak dan cucuku, aku pasti akan datang untuk mematahkan batang lehermu dan seluruh keluargamu!"

   "Locianpwe adalah ayah mertua saya, saya persilakan locianpwe untuk tinggal sementara di rumah kami agar locianpwe dapat menyaksikan sendiri apakah saya benar-benar hendak membahagiakan Sui In dan Lili ataukah sebaliknya."

   Kembali kakek itu tertawa. Dalam hatinya, dia merasa gembira sekali melihat puterinya agaknya akan mendapatkan kembali kebahagiaannya setelah selama duapuluh tahun lebih menyiksa diri dan tenggelam dalam duka dan dendam. Juga cucunya akan mendapatkan seorang ayah kandung dan rumah tangga yang pantas. Sebagai puteri seorang panglima, tentu saja Lili akan dihormati orang dan derajatnya naik.

   "Ha..ha..ha, tidak perlu aku tinggal di rumahmu. Akan tetapi sewaktu-waktu aku akan singgah untuk menengok keadaan anak dan cucuku."

   Lili teringat akan Sin Wan dan ia melepaskan diri dari pelukan Ci Hwa dan lari menghampiri pemuda yang berdiri agak menjauh itu.

   "Hei, Sin Wan, kenapa engkau diam saja di sana?" teriaknya dan setelah tiba di depan pemuda itu, Lili memegang kedua tangannya dengan sikap mesra.

   "Sin Wan, aku sungguh, berterima kasih kepadamu! Kalau tidak ada engkau yang membuka rahasia, entah bagaimana jadinya. Sin Wan, agaknya kebahagiaan akan selalu menyertaiku kalau engkau berada di dekatku!" Lili memang seoranq gadis yang polos, maka ia tidak menyembunyikan perasaan hatinya dan semua orang dapat menduga dengan mudah bahwa gadis lincah dan lihai ini jatuh hati kepada pemuda Uighur itu.

   Sin Wan juga merasakan keterus terangan Lili yang membuat mukanya berubah merah. Akan tetapi dia tersenyum dan ketika dia hendak menarik kedua tangannya, Lili mempertahankannya sehingga bagi penglihatan orang-orang di situ, kedua orang muda ini saling berpegang tangan dengan mesra dan enggan melepaskan.

   "Lili, jangan berkata demikian. Engkau adalah sahabatku yang pernah menolongku, dan Bhok-ciangkun juga sahabatku yang kuhormati. Aku hanya ingin mencegah terjadinya malapetaka kalau anak dan ayah saling serang dan saling bunuh. Aku ikut bergembira bahwa urusan berakhir dengan baik seperti ini. Kuucapkan selamat kepada keluarga ini dan kepadamu Lili."

   Bhok Cun Ki merasa berbahagia sekali melihat betapa Sui In dan isterinya nampak saling menyukai, dan kini mereka berdua menghampirinya, dan Sui In tanpa berkata apa-apa sudah memeriksa pahanya yang terluka dan memberi obat. Obat dari Sui In amat manjur karena rasa nyeri berkurang banyak, dan dia sudah mampu bangkit berdiri.

   "Sebaiknya kalau bersama pulang dan bicara di rumah. Tidak baik bicara di tengah hutan seperti ini. Bagaimana pendapatmu, Sui In?"

   Sui In menatap wajah pria yang tak pernah dilupakannya itu. Wajahnya menjadi kemerahan dan sinar matanya lembut, malu-malu akan tetapi mulutnya tersenyum manis.

   "Aku hanya menurut saja....." katanya sambil melirik ke arah Nyonya Bhok.

   "Ha..ha..ha, memang sebaiknya begitu. Kalian semua pulanglah, aku masih ingin melihat-lihat kota raja sebelum pergi mempersiapkan pemilihan bengcu di Thai-san. Sewaktu-waktu akan singgah di rumah kalian. Nah, aku pergi dulu!" Kakek itu membalikkan tubuhnya dan berkelebat lenyap ke dalam hutan.

   "Lili, kau ajaklah kedua ibumu dan adik-adikmu pulang.....

   " kata Bhok Cun Ki, enak saja menyebut kedua ibumu seolah-olah memang sejak dahulu Sui In mejadi isteri dan anggauta keluarganya.

   "Aku datang membawa kereta. Mari, enci Sui In, kita naik kereta bersama. Juga kalian, Lili dan Ci Hwa......"

   "Tidak, ayah sedang terluka. Biar ayah yang naik kereta bersama ibu berdua," kata Lili. Gadis ini juga merasa tidak canggung menyebut ibu berdua. Sikapnya sungguh membuat semua orang merasa enak dan senang.

   "Aku dan kedua adik Ci Han dan Ci Hwa akan berjalan kaki saja, dan engkau juga, Sin Wan. Engkau ikut dengan kami, bukan?"

   Sin Wan meragu, akan tetapi Bhok Cun Ki berkata,

   "Lili benar, Sin Wan. Kita pulang dulu dan kita bicarakan tentang kepergian Lili dari istana, tentang semua keributan yang terjadi."

   "Baiklah, paman. Aku juga jngin melaporkan beberapa peristiwa yang baru saja kualami bersama..... eh, ke mana ia?" Sin Wan teringat akan Ouwyang Kim dan diapun melompat ke tempat persembunyian mereka tadi sebelum dia mencegah Lili membunuh ayah kandungnya. Akan tetapi, Akim yang tadi mengintai di balik pohon, tidak nampak lagi bayangannya, Gadis itu telah pergi tanpa pamit!

   Tanpa diketahui siapapun, ketika Lili dan Sin Wan saling berpegang kedua tangan tadi, yang dilihat oleh orang lain seperti suatu kemesraan, ada dua orang yang merasa jantungnya seperti ditusuk. Orang pertama adalah Ci Hwa. Gadis ini telah tertarik kepada Sin Wan, mengaguminya dan ingin bergaul lebih akrab. Ketika melihat adegan itu, Ci Hwa menggigit bibir dan menundukkan muka agar tidak nampak oleh orang lain.

   Orang ke dua yang merasa tertusuk hatinya melihat adegan itu adalah Akim! Gadis ini sudah berusia duapuluh tahun, dan biarpun ia belum banyak bergaul dengan pria, namun ia dapat menqetahui isi hatinya. Ia tahu bahwa sejak ia meniupkan pernapasan ke dalam dada Sin Wan melalui mulut dengan mulut, ia telah jatuh cinta! Maka, hatinya merintih melihat kemesraan antara Sin Wan dan Lili, lalu diam-diam iapun pergi meninggalkan tempat itu.

   "Engkau mencari siapa, Sin Wan?" tanya Lili.

   Ci Hwa yang merasa cemburu, mendapat kesempatan untuk melampiaskan cemburunya.

   "Wan-toako yang kaucari tentulah enci Akim yang cantik jelita itu, bukan?"

   Sin Wan adalah seorang yang berwatak jujur dan tidak mempunyai prasangka, maka pertanyaan Ci Hwa itupun dianggapnya biasa saja karena memang dia meninggalkan rumah keluarga Bhok bersama Akim yang sudah dia perkenalkan kepada kakak beradik itu.

   "Benar, tadi ia menanti di sini."

   "Siapa sih Akim yang cantik jelita itu, Sin Wan?" Pancingan Ci Hwa berhasil dan Lili bertanya kepada Sin Wan dengan sinar mata penuh selidik. Sin Wan mengerutkan alisnya. Pandang mata Ci Hwa dan Lili membuat dia merasa tidak enak. Kedua orang gadis itu memandang kepadanya seperti menuduhkan sesuatu yang tidak baik.

   "Sudahlah, ia sudah pergi tanpa pamit. Mari kita berangkat," katanya sambil membantu Cin Han yang memapah Bhok Cun Ki keluar dari hutan itu, menuju ke kereta yang tadi ditumpangi Nyonya Bhok dan kedua orang anaknya. Kusir dan lima orang pengawal masih menanti di situ. Mereka merasa heran melihat majikan mereka dalam keadaan terpincang dan luka di paha yang sudah dibalut, akan tetapi mereka tidak berani bertanya.

   Bhok Cun Ki bersama dua orang wanita yang kini menjadi isterinya, duduk dalam kereta. Ci Han lalu minta empat ekor kuda dari para pengawal untuk dia, Ci Hwa, Lili dan Sin Wan. Mereka berempat menunggang kuda mengawal kereta, dan para pengawal yang kehilangan kuda itu terpaksa harus berjalan kaki pulang ke kota raja.

   Di sepanjang perjalanan itu, Bhok Cun Ki yang duduk sekereta dengan kedua isterinya, menceritakan masa lalunya bersama Sui In kepada Nyonya Bhok yang mendengarkan dengan penuh kesabaran. Mendengar betapa suaminya dahulu kekasih Sui In dan suaminya itu meninggalkan Sui In yang tidak diketahuinya dalam keadaan mengandung, membuat Sui In menderita selama duapuluh tahun lebih, Nyonya Bhok menegur suaminya.

   "Kalau dahulu aku tahu, tentu aku tidak mau menerima pinanganmu, kecuali kalau engkau juga menarik enci Sui In menjadi isterimu. Akan tetapi, sudahlah, semua ini sudah takdir, tidak perlu disesalkan lagi asalkan di kemudian hari engkau dapat menebus kesalahan itu terhadap enci Sui In," demikian isteri yang berbudi luhur ini menasihati suaminya.

   "Memang aku sudah merasa bersalah, hanya sesungguhnya aku sama sekali tidak pernah menduga bahwa Sui In telah mengandung ketika kutinggalkan," kata sang suami.

   "Sudahlah," kata Sui In menghibur.

   "Benar seperti dikatakan adik tadi, semua sudah terjadi dan sudah takdir. Kalau saja tidak ada Lili, aku pun tentu akan merasa malu untuk mengganggu ketenteraman rumah tangga kalian."

   "Aih, enci Sui In harap jangan berkata demikian. Demi Tuhan, kami sama sekali tidak merasa terganggu, bahkan merasa berbahagia sekali," kata Nyonya Bhok.

   Sui In memandang tajam penuh selidik, sukar untuk percaya ada seorang wanita yang sebaik ini.

   "Engkau mendapatkan seorang madu yang tidak disangka-sangka, bagaimana engkau dapat merasa berbahagia sekali?"

   Nyonya Bhok tersenyum dan melirik suaminya. Banyak keuntungan yang membuat aku merasa berbahagia. Pertama, suamiku tidak lagi terancam musuh yang amat berbahaya, bahkan mengubah musuh itu menjadi orang terdekat. Ke dua, suamiku akan selalu merasa berdosa dan tertekan batinnya, akan tetapi kini dia mendapat kesempatan untuk menebus dosa, bukankah itu melegakan hati sekali? Ke tiga, aku sendiri akan merasa kecewa sekali kalau melihat suamiku menghancurkan kehidupan seorang wanita, dan kalau dia tidak mau menerima enci dan Lili, kiranya aku tidak mungkin mau mendekatinya lagi. Ke empat, dengan adanya enci dan Lili yang demikian lihai, tentu berkurang bahaya ancaman orang-orang jahat yang selalu memusuhi suami kita dan ke lima......."

   "Cukup, cukup........" Sui In tersenyum dan memegang tangan madunya.

   "Sungguh beruntung sekali aku dapat bertemu dan bersaudara dengan seorang sepertimu."

   Setelah mereka semua tiba di rumah, disambut dengan heran oleh para pengawal dan pelayan, mereka segera berkumpul di ruangan dalam, mengelilingi meja besar dengan sikap gembira dan suasana berbahagia, Sin Wan yang tadinya dengan sopan hendak mengundurkan diri ke kamarnya karena merasa tidak berhak hadir dalam pertemuan kekeluargaan yang berbahagia itu terpaksa hadir juga karena ditahan oleh Bhok Cun Ki.

   "Sin Wan, pertemuan ini terutama sekali hendak membicarakan peristiwa yang ada hubungannya dengan tugas kita. Pula, bukankah engkau hendak menceritakan pengalamanmu yang penting?" demikian Bhok Cun Ki menahannya.

   "Benar kata ayah, Sin Wan. Pula, kalau engkau tidak hadir, rasanya kurang lengkap!" kata Lili dan kembali Ci Hwa menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.

   Demikianlah, mereka duduk mengelilingi meja, Bhok Cun Ki di kepala meja, diapit oleh kedua isterinya di kanan kiri. Lili duduk di sebelah kiri ibu tirinya, didampingi Ci Hwa, dan Ci Han duduk bersebelahan dengan Sin Wan.

   "Nah, sekarang engkau ceritakan lebih dahulu tentang pengalamanmu di istana Pangeran Mahkota, Lili. Kami hanya mendengar bahwa engkau melarikan diri dari sana dan menjadi orang buruan. Nanti aku akan menghubungi Jenderal Shu Ta untuk membebaskanmu dari buruan, setelah aku mendengar ceritamu," kata Bhok-ciangkun kepada puterinya yang baru saja tadi hampir membunuhnya.

   "Akupun ingin sekali mendengar bagaimana engkau tiba-tiba saja dapat berada di istana pangeran, kemudian bahkan menjadi buronan. Aku belum mendengar sejelasnya," kata pula Cu Sui In kepada puterinya.

   Lili tersenyum. Senang bahwa ia menjadi pusat perhatian, dan merasa lucu bahwa kalau baru tadi ia masih menjadi musuh Bhok Cun Ki dan menjadi sumoi Cu Sui In, kini ia menghadapi mereka sebagai ayah dan ibu kandung. Seperti dalam mimpi saja!

   Ia lalu menceritakan dengan terus terang akan semua pengalamannya sejak meninggalkan Bukit Ular sampai ia yang mencari Bhok Cun Ki ke kota raja, dalam perjalanan bertemu dengan Yauw Lu Ta yang dikenalnya sebagal Yauw Kongcu. Kemudian, betapa atas bantuan Yauw Kongcu ia diterima menjadi pengawal pribadi Pangeran Mahkota, sedangkan Yauw Kongcu menjadi penasihat dan guru sastra Pangeran kecil Chu Hong, putera Pangeran Mahkota Chu Hui San.

   "Ketika Sin Wan menghadap Pangeran Mahkota, masih belum terjadi sesuatu sehingga aku masih menganggap Pangeran Mahkota itu baik dan aku setia kepadanya. Eh, tidak tahunya, setelah Sin Wan pergi, pangeran laknat itu memanggilku ke kamarnya dan dia hendak berbuat kurang ajar! Kalau aku tidak ingat dia itu putera kaisar, pangeran yang menjadi putera mahkota, tentu sudah kucekik mampus dia! Aku marah dan meninggalkannya tanpa menyerangnya. Eh, tidak tahunya pangeran gila itu berteriak memanggil pasukan pengawal sehingga aku menjadi buronan. Untung di depan istana aku bertemu dengan suci eh, dengan ibu dan kong-kong (kakek) sehingga dapat lolos dari kepungan pasukan keamanan."

   Ia lalu menceritakan betapa ia, ibunya dan kakeknya yang sedang melarikan diri, ditolong oleh Yauw Kongcu atau Yauw Siucai, bersembunyi dan berhasil keluar dari kota raja dengan menyamar, sampai terjadi peristiwa tadi di dalam hutan.

   Semua orang kagum mendengar pengalaman yang hebat dari Lili itu.

   "Wah, enci Lili sungguh seorang pemberani!" puji Ci Han kagum. Betapa dia tidak akan kagum mendengar seorang gadis muda seperti kakak tirinya ini sempat membikin geger istana pangeran mahkota dengan perbuatannya yang gagah berani menentang seorang pangeran mahkota calon kaisar? Sungguh membuat dia sebagai adiknya merasa bangga!

   Bhok Cun Ki mengerutkan alisnya.

   "Hemm, aku sudah mendengar akan watak yang kurang baik dari putera mahkota. Akan tetapi dia memiliki kekuasaan besar sekali. Kalau dia mendengar bahwa engkau adalah anakku, mungkin dia akan mempergunakan kekuasaannya untuk menuntut agar engkau kuserahkan kepadanya."

   "Huh, kalau begitu, biar kubunuh saja pangeran keparat itu, ayah!" Lili berseru.

   "Lili, ingat bahwa kita sekarang bukan lagi menjadi penghuni Bukit Ular yang bebas liar dan boleh berbuat sesuka hati kita. Ingat bahwa engkau adalah puteri ayahmu yang menjabat pangkat panglima! Serahkan saja urusan ini kepada ayahmu, tentu dia akan mengetahui apa yang terbaik untukmu," kata Sui In.

   Kalau orang yang sudah lama mengenalnya mendengar ucapan ini, tentu akan merasa heran bukan main. Dalam sekejap mata saja wanita yang tadinya terkenal liar dan ganas ini tiba-tiba berubah menjadi seorang ibu yang baik, yang taat dan patuh kepada suami!

   "Ibumu benar, kata Bhok Cun Ki, wajahnya berseri ketika dia memandang kepada Sui In.

   "Akan tetapi jangan khawatir. Selain pangeran mahkota, yang dapat megatasai pangeran itu adalah atasanku, yaitu Jenderal Shu Ta. Jenderal Shu tentu akan mampu membebaskanmu dari pengejaran dan dia yang berani menegur pangeran mata keranjang dan lemah itu. Sekarang harap engkau suka menceritakan pengalamanmu yang penting itu, Sin Wan."

   Sin Wan lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Yauw Siucai di jalan, dan dia melihat sastrawan itu memasuki lorong tergesa-gesa, maka dia cepat membayangi dan melihat sastrawan itu hilang di lorong itu. Lalu dia menceritakan betapa dia terjebak oleh Si Kedok Hitam yang pernah dijumpainya di rumah peristirahatan Pangeran Mahkota!

   "Saya tentu telah tewas oleh Si Kedok Hitam yang licik dan lihai paman, kalau saja tidak tertolong oleh Akim." Dia lalu menceritakan tentang pertolongan gadis perkasa itu sehingga dia dapat lolos, akan tetapi tidak berhasil menemukan Si Kedok Hitam.

   Setelah dia selesai bercerita, Lili cepat bertanya,

   "Apakah Akim itu gadis yang kata adik Ci Hwa cantik jelita dan yang kaucari di hutan itu, Sin Wan? Kalau benar, siapa sih ia yang begitu lihai?"

   Pertanyaan yang begitu jujur dan kembali membayangkan kecemburuan! Sin Wan mengerutkan alisnya dan menjawab,

   "Memang benar, panggilannya Akim, dan namanya yang sebenarnya adalah Ouwyang Kim,"

   "Ouwyang..........??" Cu Sui In berseru.

   "Ada hubungannya dengan Tung-hai-liong Ouwyang Cin?"

   Sin Wan mengangguk.

   "Memang ia puteri Tung-hai-liong Ouwyang Cin. Akan tetapi melihat sepak terjangnya, ia tidak dapat dimasukkan golongan sesat. Lili, aku sungguh curiga melihat Yauw Siucai itu. Menurut ceritamu tadi, selain dia ahli sastra, juga dia pandai silat?"

   Lili mengacungkan jempul kanannya.

   "Dia lihai bukan main! Ilmu silatnya tinggi, mungkin tidak kalah olehmu, Sin Wan." Tentu saja ini hanya bual kosong, mungkin hanya untuk membalas kisah Sin Wan tentang Akim, karena sebetulnya, Lili belum pernah menguji ilmu kepandaian Yauw Siucai. Ia memang dapat menduga bahwa sastrawan itu lihai ketika Yauw Siucai menghukum mati dua orang anak buahnya dengan sekali pancung dan pedangnya tidak bernoda darah sedikitpun.

   Mendengar ini, Sin Wan mengerutkan alisnya "Kalau begitu, sungguh mencurigakan. Tahukah engkau akan asal usulnya, Lili?"

   Lili menggeleng kepala,

   "Kami bertemu, berkenalan akan tetapi tidak pernah aku bertanya tentang riwayatnya, akan tetapi aku yakin bahwa dia bukan golongan sesat." Kembali ucapan khusus ditujukan untuk membalas pujian Sin Wan tentang Akim tadi.

   Bhok Cun Ki juga mengerutkan alisnya.

   "Memang mencurigakan. Asal-usulnya tidak jelas, pandai silat akan tetapi tahu-tahu menjadi guru sastra putera Pangeran Mahkota. Dan setelah itu, Sin Wan melihat Si Kedok Hitam di rumah peristirahatan Pangeran Mahkota, kemudian melihat Yauw Kongcu di lorong itu yang kemudian mempertemukan Sin Wan dengan Si Kedok Hitam lagi. Apakah ada hubungan antara dia dan Si Kedok Hitam? Lili, apakah engkau pernah melihat Yauw Siucai itu mengadakan hubungan dengan orang berkedok hitam?"

   Lili mengerutkan alisnya, mulutnya cemberut dan menggeleng kepala.

   "Ayah, kalau perlu, dapat kutemui dia dan dapat kutanyakan dia apakah mempunyai hubungan dengan Si Kedok Hitam."

   "Jangan, Lili. Hal itu akan berbahaya sekali bagimu. Bahaya datangnya bukan saja dari Si Kedok Hitam, akan tetapi terutama sekali dari Pangeran Mahkota sendiri. Dia merupakan putera mahkota yang besar kekuasaannya, sehingga menyelidiki keadaannya saja sudah dapat diangqap sebagai pemberontak. Aku akan berunding dengan Jenderal Shu Ta bagaimana untuk menghadapi pangeran itu. Setidaknya hanya Jenderal Shu yang akan mampu membebaskan dari pada pengejaran pasukan keamanan."

   "Paman Bhok, bagaimanapun juga, rumah di lorong itu amat mencurigakan dan aku yakin bahwa rumah itu pasti menjadi sarang dari jaringan mata-mata yang beraksi di kota raja. Karena itu, bagaimana pendapat paman kalau saya memimpin pasukan untuk melakukan penggeledahan?"

   "Itu baik sekali, Sin Wan. Kalau aku tidak terluka, tentu akan kupimpin sendiri. Nah, sekarang juga akan kusuruh kepala pengawal mempersiapkan pasukan!" Panglima itu memanggil kepala pengawal dan segera memerintahkan untuk menyiapkan dua losin perajurit untuk dipimpin Sin Wan melakukan penggeledahan dan pembersihan.

   Setelah Sin Wan pergi melaksanakan tugas itu, keluarga itu masih berkumpul dan bercakap-cakap saling menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing, dan sebuah pesta keluarga yang meriah diadakan untuk menyambut masuknya anggauta keluarga baru itu. Cu Sui In merasa berbahagia sekali karena sekarang ia dapat membuktikan sendiri betapa besar cinta kasih Bhok Cun Ki kepada dirinya, dan terutama sekali sikap yang amat baik dari madunya dan anak-anak tirinya.

   Lili juga merasa berbahagia sekali. Nyonya Bhok memang seorang wanita bijaksana. Tanpa segan dan dengan rela hati ia mengumumkan kepada semua pelayan di dalam keluarganya bahwa nyonya yang baru itu adalah Toa-hujin (Nyonya Pertama) sedangkan ia sendiri adalah Nyonya Kedua. Hal ini ia lakukan dengan penuh kesadaran bahwa memang Sui In lebih dahulu menjadi isteri suaminya, dan Lili adalah anak sulung.

   Biarpun merasa heran karena belum pernah mendengar majikan mereka menikah dengan nyonya baru yang telah mempunyai seorang anak yang sudah dewasa itu, para pelayan tidak ada yang berani bertanya atau membicarakan, dan menerima Sui In dan Lili sebagai Toa-hujin dan Nona Lili.

   Sementara itu, Sin Wan memimpin dua losin perajurit, memasuki lorong dan menyerbu rumah besar di mana dia terjebak siang tadi. Para perajurit membawa obor dan rumah itu dikepung lalu diserbu. Mereka bersikap hati-hati sekali dan mentaati semua petunjuk Sin Wan yang tidak ingin melihat pasukan itu menjadi korban perangkap yang di pasang di rumah itu. Namun segera mereka mendapatkan rumah itu kosong, tanpa seorangpun penghuni. Tidak ditemui tanda-tanda tentang adanya jaringan mata-mata di situ, hanya terdapat perabot rumah biasa. Bahkan semua alat perangkap juga tidak bekerja karena sudah dirusak. Agaknya, penghuni rumah itu sudah lebih dahulu menghilangkan semua jejak kemudian melarikan diri meninggalkan sarang itu.

   Bhok Cun Ki sendiri, setelah dapat berjalan dan luka di pahanya hampir sembuh, mengunjungi Jenderal Shu Ta yang mendengarkan dengan penuh perhatian semua laporannya. Jenderal itu menghela napas panjang dan berkata,

   "Sebelum engkau melaporkan, kami sendiri sudah menyuruh seorang penyelidik untuk menyelidiki Yauw Siucai yang tiba-tiba saja muncul dan bergaul dengan akrab sekali mendekati pangeran mahkota, bahkan lalu diangkat menjadi guru sastra bagi pangeran kecil Chu Hong. Ternyata pangeran bertemu dengan sastrawan itu di sebuah rumah pelesir, ketika pangeran itu menggoda seorang wanita dan suaminya marah-marah. Hampir saja pangeran mahkota celaka, akan tetapi muncul Yauw Siucai yang menolongnya. Semenjak itulah, pangeran lalu mengajak Yauw Siucai ke istananya dan mengangkatnya menjadi guru sastra puteranya. Agaknya tidak ada yang mencurigakan pada diri Yauw Siucai, apalagi pangeran mahkota demikian percaya kepadanya."

   Bhok Cun Ki yang menjadi orang kepercayaan Jenderal Shu Ta itu, terus terang menceritakan tentang Lili, puterinya yang baru saja dia temukan.

   "Bwe Li secara kebetulan bertemu dan berkenalan dengan Yauw Siucai, dan sastrawan itulah yang mengusulkan kepada pangeran mahkota agar puteriku diberi berkedudukan sebagai pengawal pribadi. Semua berjalan dengan baik, akan tetapi pada suatu waktu, puteriku hendak dipaksa menjadi selir pangeran. Ia tidak mau dan melarikan diri dari istana, dan sejak itulah ia dijadikan orang buruan, dikejar-kejar seperti penjahat. Saya mohon bantuan Goanswe (jenderal) agar pengejaran terhadap puteri saya itu dihentikan karena Bwe Li sama sekali tidak bersalah."

   Jenderal Shu Ta menggeleng-geleng kepalanya.

   "Sungguh mengecewakan sekali kalau diingat bahwa pangeran mahkota adalah calon kaisar yang baru kalau tiba saatnya nanti. Bagaimana mungkin pemerintahan dipimpin oleh seorang yang kini hanya mengutamakan kesenangan dan pemuasan nafsu-nafsunya belaka. Bermain perempuan, tidak segan mengganggu anak isteri orang, pelesir di rumah-rumah pelesir, bermabok-mabokan, bahkan terakhir ini para penyelidik kami melaporkan bahwa beliau mulai menghisap candu. Baiklah, akan kubujuk sang pangeran agar menghentikan pengejaran terhadap puterimu, akan tetapi berhati-hatilah, ciangkun, jangan sampai menyinggungnya secara langsung karena kalau sampai terjadi dia menuntut seseorang dengan bukti, aku sendiripun tidak akan mampu mencegahnya. Kita amati saja keadaannya dari jauh dengan waspada, terutama sekali kita awasi gerak-gerik Yauw Siucai. Walaupun belum ada bukti bahwa dia mempunyai hubungan dengan jaringan mata-mata, namun kita harus waspada."

   Demikianlah, dengan bantuan Jenderal Shu Ta, Pangeran Chu Hui San membebaskan Lili dan tidak lagi ada pengejaran terhadap gadis itu. Dan karena semenjak itu, tidak nampak Yauw Siucai mengadakan aksi apapun yang mencurigakan, melainkan dengan tekun dia mendidik pangeran kecil Chu Hong, maka Bhok Cun Ki juga tidak mempunyai alasan untuk mencurigainya, apa lagi menindaknya.

   "Hwa-moi, mengapa selama ini engkau bermuram durja saja seperti orang yang berduka dan kecewa? Siauw-moi (adik kecil), bukankah kehadiran ibu tiri dan kakak tiri di rumah ini menambah kecerahan kehidupan keluarga kita? Lihat, setelah ibu tiri berkumpul dengannya, ayah selalu nampak riang gembira dan wajahnya selalu cerah, seolah dia menjadi muda kembali. Juga ibu selalu nampak gembira, dan pergaulannya akrab sekali dengan ibu tiri kita. Bahkan selama satu bulan ini, kita sendiri seringkali menerima petunjuk dalam ilmu silat darinya dan dapat berlatih silat di bawah bimbingan enci Lili. Kenapa engkau kelihatan bersedih, adikku manis?" Ci Han membujuk dan bertanya kepada adiknya ketika pada sore hari itu mereka berdua selesai berlatih silat di taman bunga. Sekali itu, Lili tidak berada bersama mereka. Setelah tadi memberi petunjuk, Lili meninggalkan kedua orang adik tirinya itu sehingga terbuka kesempatan bagi Ci Han untuk menanyai adiknya.

   Mendengar ucapan kakakmya itu, Ci Hwa menundukkan mukanya dan diam saja. Akan tetapi, kakaknya melihat betapa beberapa titik air mata berjatuhan ke atas kedua pipi adiknya. Dia terkejut. Tak disangkanya keadaan hati adiknya sudah separah itu, kesedihannya agaknya bersungguh-sungguh.

   Ci Han duduk di atas bangku dekat adiknya, memegang tangan Ci Hwa.

   "Adikku yang baik, selama ini tidak ada rahasia di antara kita, Katakanlah, apa yang menyusahkan hatimu, adikku? Aku pasti akan membantumu. Katakanlah kepadaku!"

   Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Koko......" Akhirnya Ci Hwa berkata lirih dan menghela napas panjang, lalu menggunakan punggung tangannya untuk menghapus air mata yang membasahi pipinya.

   "Han-koko, hanya kepadamulah aku tidak akan merahasiakan sesuatu. Engkau tentu tahu bagaimana perasaan hatiku terhadap Wan-toako........" Gadis itu menundukkan mukanya dan kedua pipinya kemerahan.

   Ci Han terbelalak. Hampir ia lupa bahwa adiknya ini sekarang bukan anak kecil lagi! Adiknya ini sudah merupakan seorang gadis dewasa, berusia delapanbelas tahun lebih! Tadinya, dia mengira bahwa adiknya, seperti juga dia sendiri, hanya merasa kagum kepada Sin Wan yang lihai dan yang berjasa besar mempersatukan kembali keluarga ayah mereka. Baru sekarang matanya seperti dibuka sehingga dia dapat melihat bahwa perasaan adiknya terhadap Sin Wan lebih jauh lagi, perasaan seorang gadis dewasa terhadap seorang pria yang dikaguminya.

   "Hwa-moi, kau...... kau cinta kepada Wan-toako?"

   Wajah itu semakin merah dan semakin menunduk, akan tetapi Ci Hwa masih mengangguk. Ci Han memegang kedua tangan adiknya dan tersenyum lebar.

   "Aihh, adikku yang manis. Kalau engkau cinta kepadanya, kenapa engkau bersedih? Aku yang akan mendekati Wan-toako dan menceritakan tentang cintamu......."

   "Jangan, koko!" Kini Ci Hwa mengangkat muka seperti orang terkejut.

   "Berjanjilah, jangan kau ceritakan kepadanya atau kepada siapapun juga. Berjanjilah!"

   Ci Han menggerakkan pundaknya.

   "Baiklah, baiklah. Akan tetapi katakan, kenapa cintamu itu membuat engkau bersedih?"

   Sampai beberapa saat lamanya Ci Hwa hanya menundukkan mukanya, seolah jawaban pertanyaan itu amat sukar keluar dari mulutnya. Beberapa kali kakaknya mendesak dan akhirnya ia menjawab.

   "Koko, lupakah engkau akan sikap enci Lili terhadap Wan-twako?"

   "Enci Lili.... ?" Ci Han mengerutkan alisnya dan diapun teringat. Tentu saja dia ingat akan sikap itu dan sekarang mengertilah dia mengapa adiknya ini bersedih.
"Mereka...... mereka saling mencinta....... ah, koko......!" Dan tak dapat ditahannya lagi Ci Hwa menangis lirih. Ci Han, pemuda berusia duapuluh tahun yang juga belum berpengalaman dalam urusan cinta, hanya duduk diam dengan alis berkerut, merasa kasihan kepada adiknya akan tetapi tidak tahu harus berkata atau berbuat apa.

   Cemburu! Itulah yang menggoda hati Ci Hwa. Sudah menjadi pendapat umum bahwa cemburu merupakan hal yang wajar bagi orang yang sedang jatuh cinta. Bahkan ada yang begitu yakin berpendapat bahwa cemburu adalah kembangnya cinta, bahwa cemburu merupakan pertanda adanya cinta! Kalau pendapat ini dibenarkan, berarti bahwa di dalam cinta terkandung cemburu, atau cemburu sama dengan cinta!

   Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan, akan nampaklah bahwa apa vang dinamakan cinta itu, kalau disamakan dengan cemburu, maka cinta itu bukanlah cinta! Cemburu timbul karena nafsu karena cemburu mendatangkan kemarahan, kebencian, kekecewaan yang berakhir dengan penderitaan. Bukanlah cinta kalau mendatangkan kesengsaraan atau penderitaan. Hanya ulah nafsu yang menyeret kita ke dalam jurang penderitaan.

   Cemburu pasti timbul kalau terdapat ikatan. Apakah ikatan itu membelenggu kita kepada benda, kepercayaan, kepada cita-cita, gagasan, ataukah kepada seseorang. Ikatan membuat kita merasa berarti, membuat kita merasa memiliki. Kita tidak ingin kehilangan yang kita miliki itu, yang telah mengikat kuat dalam hati kita.

   Kalau kita merasa mencinta seseorang kita terikat kepada orang itu dan kita tidak ingin kehilangan. Kita akan merasa sedih, merasa khawatir kalau-kalau orang yang kita miliki itu direnggut lepas dari diri kita, membuat kita tidak berarti karena tidak memiliki apa-apa lagi. Kekhawatiran inilah yang menimbulkan cemburu! Khawatir akan kehilangan orang yang membuat dirinya berarti. Yang beginikah yang dianggap sama dengan cinta?

   Kalau cinta itu bersifat memiliki, menguasai, ikatan lalu mendatangkan kekhawatiran kalau kehilangan, maka cinta seperti itu bukan lain adalah cinta nafsu belaka. Kalau cinta nafsu, tentu saja tiada bedanya dengan buah nafsu lainnya seperti ketakutan, kemarahan, kebencian, keinginan untuk senang sendiri, termasuk pula cemburu.

   Kalau cinta kasih, bukan nafsu, bagaikan cahaya terang, maka cemburu adalah kegelapan. Kalau ada cahaya terang, maka tidak ada kegelapan. Kalau ada cinta kasih, tidak ada cemburu. Kalau ada cemburu, jelas nafsu yang memegang peran, walaupun nafsu itu diberi pakaian indah yang disebut cinta!

   "Hwa-moi, sikap mereka yang akrab belum menjadi bukti bahwa mereka saling mencinta. Enci Lili memang memiliki watak terbuka dan ramah terhadap siapa saja. Aku belum yakin. Siapa tahu Wan-twako diam-diam juga membalas cintamu."

   Mendengar ini, seolah timbul harapan baru dalam hati Ci Hwa dan iapun menyusut air matanya.

   "Mudah-mudahan begitu, koko. Akan tetapi kuminta kepadamu jangan beritahukan siapapun, terutama jangan sampai enci Lili mengetahui bahwa aku........"

   Ci Han mengangguk-angguk.

   "Aku tahu, adikku, dan jangan khawatir."

   Akan tetapi tentu saja diam-diam Ci Han merasa prihatin melihat keadaan adiknya dan sebagai kakak yang menyayangnya, tentu-saja dia ingin membela adiknya. Beberapa hari kemudian, pada suatu malam terang bulan yang cerah, ketika dia melihat Ci Hwa seorang diri berada di taman bunga, dia cepat menemui Sin Wan.

   "Wan-twako, aku sungguh mengharapkan bantuanmu......" begitu bertemu dengan pemuda itu di dalam kamarnya, Ci Han berkata dengan sikap serius.

   "Hemm, tentu saja setiap saat aku siap untuk membantumu, Han-te (adik Han). Apakah yang dapat kulakukan untuk membantumu?" Dengan sikapnya yang tenang Sin Wan bertanya dan mempersilakan pemuda itu duduk.

   "Bukan aku yang membutuhkan bantuanmu, toako, melainkan Ci Hwa."

   "Ehh? Apakah yang terjadi dengannya?"

   "Selama beberapa hari ini, adikku itu selalu bersedih. Aku sudah berusaha untuk menghiburnya, namun sia-sia. Ia tenggelam ke dalam kesedihan dan aku khawatir, kalau berlarut-larut, ia dapat jatuh sakit."

   "Ah, pantas saja wajah Hwa-moi selalu tidak gembira. Kenapa ia bersedih Han-te? Apakah yang terjadi?"

   "Aku sudah berkali-kali membujuk dan bertanya, akan tetapi ia hanya menggeleng kepala dan sekali pernah ia berkata lirih bahwa Wan-twako membencinya."

   Sepasang mata Sin Wan terbelalak dan mulutnya tersenyum tak percaya dan heran.

   "Aku....? Membenci Hwa-moi.......?"

   "Aku juga merasa heran mendengarnya, Wan-twako. Mungkin ia merasa bahwa twako kurang memperhatikannya. Ci Hwa memang kadang masih seperti anak kecil. Tolonglah, twako, hiburlah ia dan katakan bahwa twako sayang kepadanya. Ia sekarang, seperti sudah beberapa malam ini, duduk termenung seorang diri di taman, tenggelam dalam kesedihannya. Maukah twako menolongnya?"

   Sin Wan tersenyum dan mengangguk.

   "Tentu saja, Han-te. Aku akan segera menemuinya dan menghiburnya."

   Dengan hati girang Ci Han mengucapkan terima kasih lalu dia kembali ke dalam kamarnya sendiri. Dia telah melaksanakan tugasnya sebagai seorang kakak, dan dia hanya dapat mengharapkan agar adiknya tidak hanya bertepuk tangan sebelah dalam cintanya. Dia sendiri setuju sepenuhnya kalau Ci Hwa dapat berjodoh dengan Sin Wan yang dikagumi.

   Dengan hati merasa heran dan penasaran mengapa Ci Hwa menganggap dia membencinya, Sin Wan memasuki taman bunga keluarga itu. Malam itu bulan purnama dan cahayanya yang lembut mendatangkan suasana yang romantis. Pergaulannya dengan keluarga itu sudah sedemikian akrabnya sehingga dia tidak merasa canggung untuk menemui Ci Hwa pada malam hari itu di taman bunga. Dia merasa bahwa Ci Hwa seperti adiknya sendiri. Hanya terhadap Lili sajalah dia merasa canggung dan tidak enak karena gadis itu bersikap jatuh cinta kepadanya.

   Taman bunga keluarga Bhok itu indah karena terawat, apalagi karena Ci Hwa memang suka sekali memperhatikan keadaan taman bunga itu, sering memberi petunjuk kepada tukang kebun bagaimana sebaiknya mengatur taman itu. Malam itu indah dan sunyi di situ, dan udara sejuk dan segar oleh keharuman bunga-bunga yang beraneka warna.

   Sin Wan menghampiri Ci Hwa yang sedang duduk melamun seorang diri di atas bangku panjang dekat kolam ikan. Banyak ikan emas di kolam itu dan Sin Wan melihat gadis itu duduk seorang diri memandang bulan yang berada di dalam air kolam. Gadis itu seolah berada di dunia lain dalam lamunannya sehingga tidak tahu bahwa Sin Wan telah menghampiri dan berdiri di belakangnya. Sin Wan maju melangkah lagi dan memandang wajah itu dari belakang kanan. Dari samping, wajah gadis itu nampak cantik jelita, apa lagi tertimpa cahaya bulan keemasan, membuat wajah itu seperti bercahaya pula.

   "Hwa-moi.....!" Sin Wan memanggil lirih agar tidak mengejutkan gadis itu.

   Ci Hwa terkejut mendengar panggilan ini. Bagaikan baru sadar dari mimpi, ia bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya. Ternyata Sin Wan telah berdiri di situ, kini mereka berdiri berhadapan.

   "Ah, Wan-twako......." kata Ci Hwa lirih pula dan mukanya berubah kemerahan.

   Mereka saling pandang. Sin Wan tersenyum lalu melangkah maju, mendekati.

   "Hwa-moi, kenapa malam-malam begini engkau berada di taman seorang diri?"

   Ci Hwa sudah dapat menguasai dirinya dan ia menjawab,

   "Aku sedang mencari hawa sejuk dan menikmati keindahan bulan purnama di taman ini, twako."

   Sin Wan memperhatikan dan melihat bahwa memang ada perubahan pada diri Ci Hwa. Biasanya, Ci Hwa adalah seorang gadis yang lincah jenaka, akan tetapi kini sikapnya pendiam dan bahkan lebih banyak menundukkan muka.

   "Ci Hwa, kulihat selama beberapa hari ini kalau aku bertemu denganmu, engkau nampak seperti orang yang bersedih. Kenapakah, Hwa-moi?"

   Mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan suara lembut itu, keluar dari mulut orang yang menjadi sebab kedukaannya, Ci Hwa merasa hatinya seperti diremas. Ia berusaha untuk menahan diri, akan tetapi rasa iba diri membuat ia bersedih dan lemas. Ia menjatuhkan diri di atas bangku dan menutupi wajahnya untuk menyembunyikan tangisnya.

   Sin Wan terkejut. Benar seperti yang dikatakan Ci Han, gadis ini sedang menderita sedih. Diapun lalu duduk di atas bangku di sebelah gadis itu, maklum bahwa biarpun gadis itu menahan diri tidak mengeluarkan suara tangis dan menyembunyikan muka di balik kedua tangannya, namun sesungguhnya ia menangis. Kedua pundaknya terguncang dan air mata mengalir keluar dari celah jari-jari tangannya.

   "Hwa-moi, kenapa engkau menangis? Apa yang membuat hatimu merasa sedih?" tanya Sin Wan dengan hati-hati.

   Akan tetapi gadis itu tidak menjawab, hanya menggeleng kepala berkali-kali tanpa menurunkan kedua tangan dari depan mukanya. Karena beberapa kali ditanya tetap tidak mau menjawab, Sin Wan teringat akan keterangan Ci Han bahwa gadis yang sedang menangis sedih di depannya ini mempunyai perasaan bahwa dia membencinya.

   Bahkan Ci Han minta kepadanya agar dia menghibur Ci Hwa dan mengatakan bahwa dia sayang kepada gadis ini. Pengakuan seperti itu tidaklah sukar baginya, karena memang dia sayang kepada Ci Hwa, gadis yang biasanya lincah jenaka dan baik budi ini.

   "Hwa-moi, kalau ada hal-hal yang menyusahkan hatimu, kalau ada persoalan yang mengganggumu, katakanlah kepadaku. Aku pasti akan membantumu, Hwa-moi. Aku sayang kepadamu, Hwa-moi, dan tidak ingin melihat engkau berduka........"

   Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Ci Hwa membiarkan tangisnya pecah, tidak lagi membendungnya dan iapun terisak-isak. Sin Wan menyentuh pundaknya untuk menghiburnya dan sentuhan ini semakin mengharukan hati Ci Hwa sehingga iapun tersedu dan merangkul, menyandarkan mukanya di dada Sin Wan sambil sesenggukan.

   "Twa-ko...... hu..hu..huuhh, twako........." tangisnya. Sin Wan menahan senyumnya, hatinya lega karena gadis itu sudah mau bicara.

   "Bicaralah, Hwa-moi, tidak baik menekan kesedihan di dalam hati. Katakanlah apa yang menyusahkan hatimu, sayang."

   Gadis itu mengangkat muka memandang. Wajah yang cantik itu basah air mata, dan suaranya gemetar,

   "Wan-twako,..... benarkah kata-katamu tadi.......?"

   Sin Wan mengelus rambut kepala gadis itu, merasa seolah dia menghibur hati seorang adik sendiri yang sedang rewel.

   "Kata-kataku yang mana?"
(Lanjut ke Jilid 12)
Asmara Si Pedang Tumpul (Seri ke 02 - Serial Si Pedang Tumpul)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12
"Bahwa engkau.... sayang padaku.........?"

   Kini baru Sin Wan percaya kepada keterangan Ci Han yang tadinya dia anggap berlebihan. Gadis ini bersedih karena mengira dia membencinya, atau setidaknya tidak suka kepadanya.

   "Tentu saja, Hwa-moi!" katanya dengan suara tegas.

   "Tentu saja aku sayang padamu, sejak kita berjumpa, aku sudah sayang padamu dan akan tetap sayang padamu."

   Apa sukarnya mengobral pernyataan sayang kepada seorang gadis seperti Ci Hwa! Bersumpahpun dia mau bahwa dia sayang kepada Ci Hwa. Siapa yang tidak akan merasa sayang kepada seorang gadis yang begini cantik, lincah jenaka dan berbudi mulia?

   Wajah yang masih basah air mata itu kini berseri, mulut itu tersenyum dan mata yang bening itu kini bersinar-sinar walaupun masih agak merah oleh tangis tadi. Ci Hwa membenamkan mukanya ke dada itu, kedua lengannya merangkul pinggang dan terdengar ia berbisik-bisik.

   "Terima kasih, Wan-twako....... terima kasih.... akupun sangat sayang padamu, aku...... sangat cinta padamu......"

   Sin Wan terbelalak dan hampir saja dia merenggut lepas dirinya yang dipeluk gadis itu. Akan tetapi dia masih menyadari keadaan. Jelaslah sekarang baginya. Ci Hwa mencintanya! Gadis ini, dengan caranya sendiri, seperti Lili, telah jatuh cinta kepadanya.

   Gadis ini salah paham, mengira bahwa sayangnya terhadap gadis ini sama dengan cinta seorang pria terhadap seorang wanita. Padahal, dia menyayang Ci Hwa seperti seorang kakak menyayangi adiknya karena dia merasa iba. Terpaksa dia mendiamkan saja, karena dia maklum bahwa kalau saat itu dia melepaskan diri dan mengaku bahwa dia tidak mencinta Ci Hwa tentu gadis ini akan merasa terpukul sekali, akan merasa malu dan mungkin akan putus asa.

   Setelah sejenak membiarkan gadis itu tenggelam ke dalam kemesraan, dengan hati-hati dan perlahan-lahan Sin Wan melepaskan dirinya dan berkata dengan lembut.

   "Hwa-moi, jangan begini. Kalau terlihat orang lain tentu tidak baik. Marilah kita bicara dengan tenang."

   Mendengar ini dan merasakan gerakan Sin Wan yang hendak melepaskan diri, Ci Hwa melepaskan rangkulan kedua lengannya dan kini ia duduk menghadapi Sin Wan, kedua pipinya kemerahan bagaikan setangkai bunga mawar yang baru saja bermandikan embun pagi yang sejuk segar.

   "Wan-ko, aku tidak akan perduli andaikata ada orang lain yang melihatnya. Yang penting, kita berdua saling mencinta......."

   Sin Wan merasa betapa kepalanya pening. Celaka, pikirnya, ini kesalahpahaman yang berbahaya sekali! Maju salah mundur salah! Dia tidak mencinta gadis ini seperti yang dimaksudkan Ci Hwa. Kesayangannya adalah perasaan sayang seorang kakak terhadap adiknya, atau kesayangan seorang sahabat, bukan cinta kasih seorang pria terhadap wanita yang mengharapkannya menjadi jodohnya. Menerimanya berarti menjerumuskan diri sendiri ke dalam perjodohan yang pincang, apa lagi dia sama sekali belum mempunyai niat untuk mengikatkan diri dengan perjodohan. Kalau dia menolak dan berterus terang menyatakan bahwa dia tidak mencinta gadis itu, berarti dia akan menghancurkan perasaan Ci Hwa. Sungguh serba salah.

   Kembali dengan mesra kedua tangan Ci Hwa sudah menggenggam kedua tangannya. Sin Wan terpaksa menarik ke dua tangannya itu dan mulutnya tidak berani mewakili hatinya, hanya mengeluarkan kata-kata,

   ".... tapi..... tetapi......"

   Tiba-tiba nampak sesosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Lili! Gadis ini berdiri memandang kepada mereka seperti sebuah patung, tidak mengeluarkan suara dan hanya memandang dengan alis berkerut.

   "Bagus sekali!"

   Seruan ini membuat Ci Hwa terkejut, menengok dan terbelalak ketika melihat Lili berdiri di situ. Wajahnya berubah pucat dan ia bangkit berdiri, lalu berkata, suaranya gemetar,

   "Enci, maafkan aku.... kami...... kami saling mencinta, enci...." Jelas nampak betapa Ci Hwa takut kalau enci tirinya itu marah karena ia tahu bahwa encinya ini mencinta Sin Wan pula.

   "Ci Hwa, tidak ada yang perlu kumaafkan. Engkau tidak bersalah apapun."

   "Lili, aku...... aku.... kami....." Sin Wan yang juga terkejut bukan main melihat kemunculan Lili yang tiba-tiba itu, menjadi gugup dan biarpun hatinya ingin sekali menjelaskan keadaan yang sebenarnya, namun mulutnya tidak mampu mengeluarkan pernyataan yang akan menghancurkan hati Ci Hwa itu.

   Lili tersenyum. Senyum yang tulus walaupun matanya memandang penuh keheranan.

   "Aku tahu, Sin Wan. Engkau mencinta Ci Hwa! Ingatkah engkau ketika engkau mengobati lukaku dahulu? Ketika itu aku sudah menduga bahwa engkau mencinta Ci Hwa."

   "Lili, engkau keliru, dan Ci Hwa salah paham. Aku..... aku menyayang Ci Hwa seperti adikku sendiri, tidak mencinta seperti yang dimaksudkan......."

   "Wan-koko.......!!" Ci Hwa terbelalak dan menjerit, memandang kepada pemuda itu seperti melihat setan.

   Sepasang alis Lili berkerut semakin dalam dan sinar matanya mencorong marah.
"Sin Wan, apakah engkau hendak mengecewakan hatiku dan menjadi seorang pangecut yang tidak bertanggung jawab? Mataku sendiri menyaksikan adegan mesra tadi dan sekarang engkau berani mengatakan bahwa engkau tidak mencinta adikku Ci Hwa? Hemm, Sin Wan. Kalau engkau tidak membalas cintaku, hal itu masih kuanggap ringan karena aku memang seorang gadis liar dan buruk. Akan tetapi, engkau hendak menolak Ci Hwa, gadis cantik jelita dan berbudi? Kau gila! Lalu apa artinya engkau tadi saling rangkul dan bermesraan dengan adikku? Apakah engkau hanya hendak mempermainkannya?"

   "Lili, tenanglah dan jangan terburu nafsu. Aku sayang kepada Ci Hwa, sayang seorang kakak kepada adiknya, bukan cinta seperti yang kalian maksudkan."

   "Wan-koko....." kembali Ci Hwa menjerit dan sekali ini ia menjatuhkan diri di atas bangku dan menangis.

   Lili marah sekali dan mukanya menjadi merah.

   "Sin Wan, aku pernah jatuh cinta kepadamu dan engkau tidak menghiraukan aku. Hal itu masih dapat kumaafkan. Akan tetapi kalau engkau mempermainkan adikku Ci Hwa, aku akan membunuhmu!"

   "Lili, ini hanya suatu kesalahpahaman saja. Sungguh, aku tidak mempermainkan adik Ci Hwa. Aku melihat ia berduka, aku hanya ingin menghiburnya dan aku tidak pernah mengaku cinta kepadanya."

   "Wan-ko....," seru Ci Hwa di antara isaknya.

   ".... kenapa engkau bersikap seperti ini....? Tadi..... tadi engkau begitu menyayangku..... kurasakan itu dalam rangkulanmu..... koko, kenapa begini......?"

   Ingin rasanya Sin Wan menampar kepalanya sendiri. Karena iba, dan karena hendak menghibur hati Ci Hwa, dia tadi memperlihatkan kasih sayangnya dan kenapa dia tidak menolak ketika Ci Hwa merangkul dan menangis di dadanya? Tadipun dia sudah menyadari bahwa adegan itu berbahaya dan tidak benar, akan tetapi kenapa dia tidak tega untuk menolaknya? Dan sekarang dia harus menghadapi akibatnya.

   "Tadi aku menyatakan suka dan sayangku kepadamu sebagai seorang sahabat, sebagai seorang saudara, sama sekali tidak terbayangkan olehku perasaan cinta seorang pria terhadap wanita seperti yang kaumaksudkan."

   Mendengar ucapan ini, Ci Hwa hanya mampu menangis dengan hati yang perih seperti ditusuk-tusuk rasanya.

   "Sin Wan, engkau sudah keterlaluan! Engkau mempermainkan adikku! Aku tidak bisa membiarkannya saja. Akan kubunuh kau!" Lili mencabut pedang Ular Putih dan hendak menyerang Sin Wan dengan kemarahan berkobar.

   "Enci......!" Ci Hwa sudah menubruk dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kaki Lili.

   "Enci Lili jangan.... jangan bunuh dia. Bunuh saja aku, enci....." dan dengan hati sedih sekali Ci Hwa menangis tersedu-sedu di depan kaki Lili.

   Pada saat itu terdengar suara banyak orang dan muncullah Bhok Cun Ki, Cu Sui In, Bhok Ci Han dan Nyonya Bhok.

   "Heii, apa yang terjadi ini? Lili, apa yang telah terjadi?" tanya Sui In sambil meloncat ke dekat puterinya.

   "Ci Hwa, apa yang telah terjadi?" seru Nyonya Bhok kepada puterinya, melihat puterinya menangis di depan kaki Lili yang berdiri marah dengan pedang terhunus di tangan. Ci Hwa bangkit lalu berlari menubruk ibunya sambil menangis.

   "lbuu......!" Nyonya Bhok merangkul puterinya yang terisak-isak dan tidak mampu bicara itu.

   "Ibu, aku akan membunuh Sin Wan!" teriak Lili marah.

   "Laki-laki tak tahu diri ini berani mempermainkan adik Ci Hwa. Kulihat sendiri mereka saling bermesraan di sini, akan tetapi dia tidak mau mengaku cinta, dia mengingkari cintanya terhadap adik Ci Hwa!"

   "Apa?" Sui In berseru marah.

   "Pemuda ini berani menghina anakku Ci Hwa? Kalau begitu, biar aku sendiri yang akan memberi hajaran kepadanya!"

   Wanita ini sekali menggerakkan tubuhnya sudah melayang ke depan Sin Wan dan mengirim tamparan bertubi-tubi, gerakannya cepat dan amat kuat.

   Sin Wan yang tidak diberi kesempatan untuk bicara melihat datangnya serangan yang amat berbahaya, setiap tamparan merupakan cengkeraman maut, cepat bergerak mengelak dan menangkis. Sampai tujuh kali berturut-turut kedua tangan Cu Sui In menyambar-nyambar, namun selalu dapat dihindarkan oleh Sin Wan.

   "In-moi, tahan dulu.....!" Bhok Cun Ki berseru dan meloncat ke depan, melerai dan memegang lengan kiri isterinya.

   "Harap jangan tergesa dan terburu nafsu. Kalau ada persoalan, kita bicarakan dulu dengan tenang." Karena dicegah suaminya, Cu Sui In terpaksa menurut ketika ditarik mundur ke belakang.

   Bhok Cun Ki yang melihat gawatnya persoalan, segera mengambil alih pimpinan dan dia bertanya kepada puterinya.

   "Ci Hwa, katakan, apa yang telah terjadi di sini antara engkau dan Sin Wan."

   Akan tetapi Ci Hwa tidak mampu menjawab, hanya menangis dalam pelukan ibunya. Melihat betapa Ci Hwa hanya menggeleng kepala sambil sesenggukan, Sui In lalu bertanya kepada Lili,

   "Lili, karena adikmu tidak mampu menjawab, engkaulah yang harus menceritakan kepada ayahmu, apa yang telah terjadi!"

   Bhok Cun Ki mengangguk ketika Lili memandang kepadanya. Tidak mungkin memaksa Ci Hwa bicara kalau sedang menangis seperti itu.

   "Ceritakanlah, Lili," katanya.

   "Begini, ayah, ibu. Tadi secara kebetulan aku memasuki taman dan melihat Sin Wan dan adik Ci Hwa sedang duduk di bangku ini, bermesraan, saling berpelukan. Kedatanganku membuat mereka terkejut dan adik Ci Hwa ketakutan. Akan tetapi aku mengatakan bahwa aku bahkan bergembira kalau mereka saling mencinta. Eh, ternyata dia ini, laki-laki tidak bertanggung jawab ini, dia menyangkal bahwa dia mencinta Ci Hwa! Nah, hati siapa tidak menjadi panas melihat adiknya dipermainkan orang!"

   
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mendengar keterangan ini, Bhok Cun Ki yang biasanya berpikiran panjang dan dapat menahan perasaannya, mau tidak mau mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah. Sebagai seorang ayah, tentu saja dia tidak senang mendengar laporan itu, walaupun dia masih meragukan kebenaran laporan itu karena selama ini dia mengenal Sin Wan sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan berkelakuan sopan.

   Bhok-ciangkun kini menatap wajah Sin Wan. Bulan sedang terang-terangnya sehingga cuaca menjadi cerah.

   "Sin Wan, kami harap engkau bersikap sebagai seorang gagah dan suka menceritakan semuanya dengan jujur. Nah, benarkah apa yang diceritakan Lili tadi?"

   Sin Wan menghela napas panjang. Keadaan sudah sedemikian rupa sehingga jalan satu-satunya hanya berterus-terang dan tidak lagi merahasiakan sesuatu walau dengan resiko menyinggung hati Ci Hwa atau siapapun saja. Kalau tidak, maka tentu suasana akan menjadi semakin gawat.

   "Baiklah, paman Bhok. Memang seharusnya saya berterus terang. Karena ketidak terus-terangan sayalah yang menyebabkan semua ini terjadi. Laporan Lili tadi tidak dapat saya salahkan, karena memang kelihatannya benar seperti yang ia terangkan. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian, paman. Biarlah akan saya ceritakan dari awal. Mula-mula, adik Ci Han yang datang menemui saya di kamar saya dan dia menceritakan kepada saya bahwa adik Ci Hwa sedang bersedih. Menurut keterangan adik Ci Han, adik Ci Hwa bersedih karena mengira bahwa saya membencinya. Tentu saja saya merasa heran dan terkejut, maka ketika adik Ci Han minta tolong kepada saya untuk menghibur dan mengaku sayang kepada adik Ci Hwa yang sedang berada di taman, tanpa ragu lagi saya lalu menemuinya di dalam taman ini."

   "Benarkah semua keterangannya itu, Ci Han?" tanya Bhok Cun Ki kepada puteranya yang sejak tadi hanya mendengarkan saja dengan wajah tegang.

   

Pedang Sinar Emas Eps 34 Pedang Sinar Emas Eps 32 Lembah Selaksa Bunga Eps 6

Cari Blog Ini