Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 34


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 34




   Tung hai Sian jin tertawa bergelak, namun diam diam ia menjadi gemas sekali. Tiap kali ia menyerang, kakinya menendang batu batu kecil yang berhamburan memasuki lubang itu, makin lama makin banyak sehingga batu batu kecil itu menutupi kedua kaki Tek Hong. Pemuda ini tak dapat menggerakkan kedua kakinya, akan tetapi tetap saja pedangnya merupakan perisai yang amat kuat.

   "Trang! Trang! Trang! Pedangnya selalu dapat menangkis tiap kali tongkat kepala naga itu menyambar ke arah kepalanya yang pasti akan dapat menghancurkan kepalanya dengan sekali pukul saja.

   Tung hai Sian jin ketika melihat betapa kedua kaki pemuda itu tak dapat bergerak lagi, menjadi makin gembira dan memertawakan sebagai orang gila. Ia menendangi batu batu dan pasir makin banyak lagi sehingga kini tubuh bagian bawah dari Tek Hong telah terpendam. Kalau saja lubang itu lebih dalam lagi, tentu ia akan terkubur hidup hidup. Kinipun ia terkubur hidup hidup setengah badannya, dari kaki sampai ke punggungnya.

   Tung hai Sian jin melompat ke belakang, menghapus peluhnya yang membasahi leher dan jidatnya. Ia merasa lelah sekali karena pukulannya selalu kena ditangkis, ia heran sekali atas kekuatan dan keuletan Tek Hong, karena untuk menangkis tongkatnya dibutuhkan tenaga ratusan kati besarnya.

   Bukan main kuatnya putera Thian te Kiam ong ini dan ia tahu bahwa Eng Kiat puteranya takkan dapat menangkan pemuda ini dalam pertempuran.

   "Apakah kau masih belum mau menerima permintaanku?" tanyanya.

   Tek Hong hanya menggelengkan kepala sambil memandang dengan mata terbelalak marah. Untuk mempertahankan nama baik orang tuanya dan kehormatan adiknya,ia tidak takut menghadapi maut. Sebetulnya telapak tangan kanan Tek Hong sudah matang biru panas dan perih sekali.

   Tangkisan tangkisannya terhadap pukulan tongkat amat berat dan membuat tangannya sakit, akan tetapi ia tidak mau tunduk biarpun andaikata tangannya akan hancur lebur.

   "Aku lelah dan ingin mengaso. Sekarang aku tidak akan menyerangmu dengan tongkat lagi, melainkan mempergunakan dada dan kepalamu sebagai sasaran latihan melempar batu," kata Tung hai Sian jin gemas, ia benar saja duduk mengaso di bawah sebuah batu karang tinggi, kemudian ia mengambil batu batu karang sebesar kepala manusia dan melemparkan batu batu itu ke arah Tek Hong.

   Pemuda mi menangkis dengan pedangnya dan merasa betapa tangan sampai ke pundaknya tergetar dan sakit sekali. Ia maklum bahwa tenaga lemparan memang lebih berbahaya dan lebih kuat daripada tenaga pukulan, dan tahu bahwa kakek itu hendak menyiksanya, melempari batu sampai ia tidak kuat dan kepalanya akan pecah terpukul batu. Namun tidak sepatahpun keluhan keluar dari mulutnya. Tetap ia mempergunakan pedangnya menangkis datangnya setiap batu yang menyambarnya dengan kuat dan cepat.

   Tangannya sudah mulai gemetar dan ia dapat menangkis bahwa paling banyak ia hanya akan kuat menangkis belasan kali lemparan batu lagi.

   Benar saja, setelah ia menangkis untuk ketigabelas kalinya, tangannya menjadi kaku dan pedangnya ketika beradu dengan batu itu, terlepas dan pegangannya dan terlempar ke samping bersama batu itu yang terkena tangkisan.

   "Ha, ha, ha, kini aku hendak melihat apakah kau masih dapat menggunakan tanganmu untuk menangkis." kata Tung hai Sian jin tertawa bergelak gelak. Agaknya kakek ini gembira dan senang sekali melihat permainannya.

   Pemuda ini terpaksa mempergunakan tangan kirinya menyampok dan ia masih dapat membuat batu itu menggelinding jauh tanpa terluka. Ia dapat mempergunakan tangan kirinya menjadi perisai. Namun, baru lima kali ia menangkis, kulit lengan kirinya sudah mulai berdarah karena lecet oleh batu itu ketika ia menangkis.

   Keadaannya sudah berbahaya sekali dan ajaknya dua tiga kali lemparan lagi, ia takkan kuat menahan. Akan tetapi, ketika batu yang besar kembali melayang, tiba tiba batu itu terhenti di tengah jalan, jatuh terpental setelah bertumbuk dengan lain batu dan mengeluarkan bunga api. Ada orang lain yang melempar batu menangkis serangan itu.

   "Tua bangka kejam! Kau benar benar iblis berwajah manusia," terdengar bentakan halus dan nyaring menyusul lemparan batu yang menangkis batu Tung hai Sian jin. Sesosok bayangan merah berkelebat dan seorang gadis cantik berpakaian merah yang memegang sebatang pedang berkilau tajam berdiri di situ, menghadapi Tung hai Sian jin yang sudah bangkit berdiri dengan marah.

   Ketika melihat gadis ini, Tung hai Sian jin marah sekali, sebaliknya Tek hong memandang girang. Gadis baju merah itu bukan lain adalah gadis jelita yang galak, gadis yang dulu dikeroyok oleh tiga orang tokoh Go bi pai.

   "Kau lagi?" bentak Tung hai Sian jin sambil tersenyum mengejek, akan tetapi sepasang matanya bersinar marah sekali. "Gadis liar, kau selalu mencampuri urusanku. Pergi sebelum aku lupa bahwa kau adalah murid sahabatku dan tongkatku akan menamatkan riwayatmu di sini!"

   "Pergi dan membiarkan kau melakukan perbuatan keji terhadap orang lain? Enak saja kau bicara orang tua siluman," jawab gadis itu yang bukan lain adalah Siang Cu.

   Berkata demikian, ia lalu menghampiri Tek Hong yang masih setengah terpendam batu batu dan pasir. Tanpa berkata sesuatu dan dengan pandangan mata tak acuh, gadis ini mengulur tangan hendak menangkap tangan Tek Hong untuk ditariknya keluar.

   Akan tetapi, Tung hai Sian jin sudah melompat dan mengayun tongkat kepala naganya menyerang. "Biarlah kalian berdua mampus di sini!" serunya.

   Serangan itu hebat sekali dan karena Siang Cu sudah maklum akan kelihaian kakek ini, ia terpaksa membatalkan niatnya menarik keluar tubuh Tek Hong dan sambil menggerakkan pedang ia membalikkan tubuhnya, menangkis pukulan dahsyat itu.

   "Traang!" Bunga api berpijar ketika dua senjata itu itu bertemu. Belum lenyap gema suara senjata beradu ini, secepat kilat Siang Cu sudah membalas dengan sebuah tusukan ke arah dada lawannya. Gerakannya ganas dan cepat sekali sehingga Tung hai Sian jin terpaksa cepat cepat melompat mundur karena untuk menangkis tusukan ini sudah tidak ada waktu lagi.

   Hebat, pikir Tung hai Sian jin, murid Lam hai Lo mo ini benar benar ganas sekali ilmu pedangnya. Karena itu, ia berlaku hati hati sekali untuk menghadapi gadis ini.

   Adapun Siang Cu tidak mau berlaku lambat. Melihat lawannya melompat mundur, iapun segera mendesak dan mengirim serangan dengan amat gencar dan serunya.

   Pedangnya berkelebat kelebat merupakan gulungan sinar hijau. Cheng hong kiam merupa kan pedang pusaka simpanan istana kaisar, maka tajam dan kuat sekali. Dalam beberapa belas jurus saja, ketika ujung tongkat bertemu dengan pedang dalam benturan keras, Tung hai Sian jin merasakan getaran pada tangannya dan ketika ia melihat, ternyata bahwa lidah kepala naga dan gagang tongkatnya yang tadi dipakai untuk memukul dan ditangkis oleh Siang Cu, telah putus.

   "Gadis liar, kau berani merusak lidah nagaku? Tunggu akan kuhancurkan kepalamu yang keras!" bentak Tung hai Sian jin marah sekali dan tongkatnya diputar sedemikian rupa sehingga Siang Cu seakan akan terkurung dari empat jurusan.

   "Sebentar lagi kepalamu yang putus, bukan lidah tongkat kepala nagamu," kata Siang Cu dengan nada menyindir,iapun memutar pedangnya lebih cepat lagi, namun sebentar saja ia harus akui kelihaian kakek itu karena betapapun cepatnya ia menggerakkan pedangnya, tetap saja sinar pedangnya tertindih dan ia terkurung dan terdesak hebat oleh tongkat itu.

   Sementara itu, Tek Hong yang melihat betapa gadis baju merah itu bertempur mati mati an melawan Tung hai Sian jin yang lihai, menjadi amal khawatir akan keselamatan gadis itu. Ia menahan napas, mengumpulkan tenaga lalu berusaha keluar dan pendaman batu itu.

   Baiknya ia tidak terluka, hanya kulit lengannya saja yang lecet dan perih, maka selelah ia mengerahkan tenaga, ia berhasil juga keluar dari tumpukan batu dan pasir di dalam lubang itu. Ia segera mengambil pedangnya yang tadi terlempar oleh tumpukan batu, lalu mangatur napasnya untuk memulihkan tenaga.

   "Tung hai Sian jin, kau hanya berani menghina orang orang muda. Rasakan pembalasan ku!" seru Tek Hong yang cepat melompat dan menyerbu kakek itu, mengeroyoknya bersama gadis baju merah.

   Siang Cu melihat bantuan ini tanpa mengeluarkan kata kata, juga tidak kelihatan peruba han pada mata dan mukanya. Padahal tentu saja ia merasa lega bahwa pemuda itu pada saat yang tepat datang membantunya.

   Sebaliknya, Tung hai Sian jin menjadi makin marah dan penasaran sekali. Setelah kini Tek Hong turun tangan, ia mendapat lawan yang amat berat. Menghadapi seorang saja di antara dua orang muda itu, ia yakin pasti akan menang. Akan tetapi kalau dua orang muda ini bergabung menjadi satu, benar benar ia menghadapi lawan yang tangguh sekali.

   Ilmu pedang Tek Hong sudah bukan rahasia lagi merupakan ilmu pedang yang disebut raja ilmu pedang pada waktu itu, lihainya bukan main dan kuat sekali pertahanannya.

   Adapun ilmu pedang Siang Cu adalah ilmu pedang yang diajarkan oleh Lam hai Lo mo si iblis tua, ganas dan cepatnya mengerikan sekali.

   Lebih lebih lagi karena dua orang muda itu amat cerdik, tahu akan sifat dari permainan pedang masing masing sehingga dalam pengeroyokan ini, Tek Hong lebih banyak menggu nakan pedangnya menahan serangan Tung hai Sian jin, sebaliknya Siang Cu lebih banyak menggunakan pedangnya untuk menyerang dengan gerak tipu gerak tipu yang dahsyat dan berbahaya bagi keselamatan lawan.

   Pedang Cheng hong kiam di tangan Siang Cu merupakan pedang yang amat berbahaya sehingga Tung hai Sian jin jarang berani menangkis dengan tongkatnya kalau tidak terpaksa sekali. Hal ini membuat ia harus bergerak lebih cepat lagi dan amat melelahkan tubuhnya yang sudah tua.

   Puluhan jurus tewat dan akhirnya Tung hai Sian jin terdesak hebat. Sebuah tusukan yang cepat sekali dari Siang Cu hampir saja menembus dadanya. Biarpun kakek ini sudah cepat miringkan tubuh, tetap saja ujung pedang melanggar bajunya dan terdengar suara kain terobek ketika pedang itu melubangi bajunya.

   Tung hai Sian jin melompat ke belakang sambil memutar tongkat di depan tubuhnya, ia mengeluarkan keringat dingin dan merasa tidak sanggup bertempur lebih lama lagi. Maka tanpa mengeluarkan sepatah katapun, ia lalu melompat ke belakang dan melarikan diri.

   "Tua bangka pengecut, kau hendak lari ke mana?" teriak Siang Cu hendak mengejar.

   "Tak perlu dikejar, nona," kata Tek Hong dan biarpun pemuda ini membujuk dengan singkat, aneh sekali, Siang Cu seakan akan seekor kuda yang ditarik kendalinya dan kedua kakinya berhenti berlari.

   Adapun Tung hai Sian jin berlari cepat sambil berseru menjawab ejekan Siang Cu,

   "Kalian ini orang orang muda yang curang, mengeroyok seorang tua. Pinto (aku) tidak ada banyak waktu untuk melayani kalian."

   Tek Hong dan Siang Cu tidak memperhatikan kata kata yang terdengar dari tempat jauh itu, melainkan saling pandang tanpa berkata kata.

   Siang Cu memiliki pandangan mata yang tajam dan tabah, sama sekali tidak sungkan sungkan dan malu malu, sebaliknya Tek Hong yang tidak kuat beradu mata terlalu lama dengan gadis ini, dan yang mengalihkan pandangan ke bawah lebih dulu.

   Kemudian Tek Hong menjura sambil berkata, "Nona, kau telah menyelamatkan nyawaku. Bagaimana aku dapat menyatakan terima kasihku?"

   "Tidak ada yang menyelamatkan nyawa dan tidak ada yang diselamatkan. Tidak ada pula yang harus berterima kasih," jawab Siang Cu singkat sehingga Tek Hong menjadi makin gagap.

   "Nona, kau.... kau keras. Sedikitnya harap kau suka memberitahukan namamu agar nama itu dapat kuingat selama hidupku sebagai nama seorang gadis gagah perkasa yang telah menolongku."

   "Sobat, apa sih perlunya segala perkenalan ini? Kau dan aku adalah orang orang lain, diantara kita tidak ada hubungan sesuatu. Pertemuan kita hanya secara kebetulan saja. Sudahlah, baik sekali kau dan bisa selamat dan terlepas dari ancaman kakek yang lihai itu. Perkenankan aku pergi."

   "Nanti dulu, nona. Kata katamu tadi tak dapat kubenarkan. Sudah dua kali kita bertemu dalam keadaan yang amat ganjil. Pertama kali aku membantumu ketika kau dikeroyok oleh Go bi Sam thaisu, sekarang pada pertemuan kedua kalinya, kau yang membantu aku dari ancaman Tung hai Sian jin. Bukankah ini mempunyai arti bahwa kita memang sudah ditakdirkan untuk menjadi sahabat sahabat baik? Perkenalkanlah aku, nona, aku...."

   "Cukup." Siang Cu membentak dengan suara keras. "Aku.... aku tidak butuh dengan namamu. Kita tak usah saling memperkenalkan nama dan keadaan masing masing, cukup asal kita saling mengenal sebagai sahabat. Bukan begitu maksudmu? Nah, kalau kau benar benar menghendaki aku sebagai sahabat, aku suka menerimanya asal saja kau menerima syaratku, yakni kita tak usah saling memperkenalkan nama dan menuturkan riwayat."

   Tek Hong tertegun dan merasa heran sekali. Siapakah dara perkasa yang penuh rahasia ini dan mengapa tidak mau memperkenalkan nama? Akan tetapi melihat wajah yang bersungguh sungguh itu, ia maklum bahwa gadis ini amat keras hati dan kalau ia berkeberatan, tiada harapan baginya untuk berkenalan.

   "Baiklah," ia mengangguk angguk, "tentu saja aku suka menurut kehendakmu yang aneh itu.Kita tak usah mengenal nama dan keadaan masing masing. Akan tetapi, kiranya boleh aku mengetahui ke mana nona hendak pergi?"

   "Ke mana saja hati dan kaki membawaku."

   "Sama sekali tidak ada tujuan?" tanya Tek Hong,

   "Tidak ada, hanya mengandalkan nasib mempertemukan aku "

   "Nona mempunyai musuh besar? Boleh aku tahu siapa dia itu?"

   Siang Cu tersenyum pahit sambil menggelengkan kepala. "Dia seorang tokh besar yang kenamaan dan tersohor sebagai seorang pendekar berbudi mulia. Akan tetapi kau tak perlu tahu siapa dia."

   Memang, di sepanjang perjalanannya,Siang Cu menyelidiki keadaan musuh besarnya, sehingga ia mendengar dan setiap orang, baik orang orang kang ouw maupun Liok lim, bahwa Thian te Kiain ong Song Bun Sam adalah seorang taihiap (pendekar besar) yang budiman.

   Berita ini membuat hatinya makin sengsara dan kecewa akan keadaan suhunya, namun ia telah bersumpah untuk membalaskan dendam gurunya terhadap Thian te Kiam ong Song Bun Sam dan sekali kali ia tidak akan menarik kembali sumpahnya ini, ia telah merasa amat tertarik sehingga malu untuk mengaku sebagai murid Lam hai Lo mo, dan malu pula untuk mengaku siapa dia sebenarnya.

   Oleh karena itu, iapun merasa malu kalau harus mengaku bahwa dia memusuhi seorang pendekar besar yang mulia seperti yang dikabarkan orang atas diri Thian te Kiam ong.

   Mendengar ucapan gadis baju merah itu, Tek Hong menjadi makin tertarik dan terharu. Tentu ada rahasia yang amat hebat pada sadis ini dan ia menjadi ingin sekali mengetahui rahasianya apa gerangan yang membuat gadis jelita itu menyembunyikan diri dan berlaku begitu aneh.

   Mana ada orang yang memuji muji musuh besarnya sebagai seorang berbudi mulia dan merendahkan diri sendiri sebagai seorang yang berada di fihak salah? Seorang gadis yang berani, berkepandaian tinggi, dan amat jujur sehingga terhadap seorang asing ia berani mengaku dan memuji muji kebaikan musuh besarnya, akan tetapi di lain fihak begitu kukuh menyembunyikan keadaan diri sendiri dengan terang terangan pula.

   "Nona, benar benar kau seorang yang aneh sekali. Dahulu ketika kau bertempur menghadapi Go bi Sam thaisu, kau menyatakan kepadaku bahwa kau berada di fihak yang salah. Sekarang, kau mempunyai seorang musuh besar dan kau berkata pula bahwa dia seorang pendekar besar yang budiman. Nona, agaknya kau selalu berada di fihak yang salah dengan kau sengaja. Belum pernah selama hidupku aku mendengar tentang seorang yang sengaja menempatkan diri di fihak yang salah."

   Mendengar ini Siang Cu tersenyum penuh kedukaan, dan diam diam dia memuji kecerdikan pemuda ini yang dapat merangkan rangkaikan persoalan sehingga agaknya dengan mudah rahasianya akan terbuka olehnya.

   Ia menarik napas panjang dan berkata,

   "Memang demikianlah, sahabatku. Semenjak kecil aku berada di tempat yang keliru. Terdidik di tempat yang keliru dan selalu menghadapi perkara yang salah. Sampai kini, tak berayah tak beribu, tak berhandai taulan, tiada rumah tiada cita cita yang ada hanya permusuhan dengan orang gagah yang budiman!"

   Ia menghela napas lagi. "Apa hendak di kata? Sudah begitulah nasibku dan aku tidak peduli lagi.

   Tek Hong ikut merasa berduka mendengar ucapan gadis ini, sungguhpun ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang gagah dan sedikitpun tidak mengandung nada duka.

   Pemuda ini benar benar tertarik hatinya melihat Siang Cu,karena harus ia akui bahwa selamanya ia belum pernah melihat gadis seperti ini.

   "Nona, nasibmu benar benar mengharukan hatiku. Setelah kita menjadi sahabat, biarpun tanpa mengenal nama dan keadaan masing masing, bolehkah aku menyertaimu dalam perjalanan merantau di dunia kang ouw?"

   Siang Cu memandang tajam, dan ia mulai marah, ia mengira bahwa pemuda ini sudah tergila gila kepadanya dan mempunyai maksud yang tidak sopan. Akan tetapi ketika ia melihat sinar mata pemuda itu yang membayangkan kejujuran dan kesungguhan hati, sama sekali tidak nampak tanda tanda lain memandangnya, ia tidak jadi marah.

   Namun karena Siang Cu sudah biasa menyatakan perasaan, pikiran, dan suara hatinya melalui bibrnya, ia secara langsung bertanya,

   "Sahabat, agaknya kau mencintaiku, betulkah?"

   Wajah Tek Hong menjadi pucat pada saat mendengar pertanyaan ini, lalu berubah merah sekali ia memandang kepada Siang Cu dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Bukan main gadis ini! Pertanyaan itu merupakan penyerangan yang langsung menyerbu hati, lebih ganas dan lihai daripada serangan ujung pedang yang tajam.

   "Nah.... aku.... eh, bagaimana tiba tiba saja kau menyerangku dengan pertanyaan itu?" akhirnya Tek Hong dapat berkata dan alisnya yang tebal berkerut.

   Penasaran dan tak sedap juga hati nya, karena ia dapat menduga bahwa gadis ini tentu menganggap ia sebagai pemuda gila wanita yang ugal ugalan. Kehormatannya tersinggung oleh pertanyaan itu.

   Akan tetapi Siang Cu seakan akan tidak mengacuhkan sikapnya, bahkan menarik napas panjang sambil berkata,

   "Sudah terlalu sering dan terlalu biasa bagiku melihatlaki laki jatuh cinta melihatku. Aku bosan melihat sinar mata laki laki memandang mesra, penuh bujukan, namun penuh kepalsuan."

   "Aduh, hebat sekali gadis ini," pikir Tek Hong dan perutnya mulai terasa panas.

   "Nona, kau terlalu sekali! Kaukira aku ini orang macam apakah? Aku lebih baik mati daripada berlaku kurang ajar terhadap wanita, aku terang sopan, seorang terdidik baik oleh orang tuaku."

   Sampai di sini, Tek Hong melihat wajah gadis itu seakan akan menahan tikaman di hatinya. Teringatlah ia bahwa gadis mi tiada ayah ibu, dan sudah mengaku pula bahwa ia dididik salah dan berada di dunia yang agaknya tidak baik semenjak kecilnya, maka timbul kasihan di dalam hatinya dan suaranya menjadi halus.

   "Nona, betapapun juga, laki laki tinggal laki laki dan kuharap kau jangan terlalu salahkan mereka kalau mereka tergila gila dan cinta kepadamu. Hal itu sebenarnya adalah salahmu sendiri."

   "Salahku?" Siang Cu bertanya dan merasa geli. Baru sekarang ada orang berani menyalahkannya karena banyak laki laki tergila gila kepadanya.

   "Bagaimana aku salah dalam hal itu?"

   "Kau salah karena mengapa wajahmu cantik? Mengapa sikapmu menarik dan kepandaianmu tinggi? Kalau kau tidak cantik tidak menarik dan tidak lihai, kukira kau akan terhindar dari pada pandangan mata mesra daripada laki laki di manapun juga," kata Tek Hong.

   Siang Cu membelalakkan matanya yang bagus dan ia lalu tertawa geli. Diam diam Tek Hong memandang kagum. Pantas saja banyak orang lelaki tergila gila. Kalau tertawa, gadis ini begitu manis!

   "Tidak ada yang lebih manis merayu daripada ucapan laki laki," kata Siang Cu. " Jangankan memuji, menyalahkan juga tetap merayu! Sudahlah, sobat, akupun tidak perduli lagi tentang pandangan mata laki laid. Kau boleh memandang kepadaku sesuka caramu sendiri asalkan jangan bersikap kurang ajar seperti laki laki lain."

   Kembali kehormatan Tek Hong tersinggung dan timbul keangkuhannya.

   "Aku tidak mudah jatuh cinta!" katanya singkat, akan tetapi ketika ia memandang kepada wajah Siang Cu, kembali timbul rasa kasihan di dalam hatinya dan ia cepat menyambung kata katanya lebih halus karena ia merasa khawatir kalau kalau ucapannya itu akan menyakiti hati, "Eh, tentu sudah banyak sekali yang menyatakan cinta kepadamu, bukan?"

   "Menyatakan sih tidak berani karena pedangku mereka anggap ganas. Di antara mereka, hanya seorang saja yang kuanggap kurang ajar dan pasti menjadi korban pedangku apabila aku bertemu lagi dengan dia. Dia adalah Bong Eng Kiat putera dari Tung hai Sian jin tadi."

   Tek Hong terkejut. Adiknyapun ditawan oleh pemuda kurang ajar itu. Jadi agaknya gadis inipun pernah bentrok dengan Eng Kiat? Simpatinya terhadap gadis ini makin membesar dan ia mengambil keputusan untuk mengawani gadis ini menghadapi musuh musuhnya.

   Sebelum ia membuka mulut, Siang Cu sudah memandangnya dan bertanya tiba tiba.

   "Kau sendiri hendak pergi ke manakah? "

   " Akupun sedang merantau hendak mencari orang tuaku yang pergi dan rumah tanpa kuketahui ke mana perginya. Aku tadinya hendak pergi ke Tit le, kemudian aku akan ke kota raja lalu terus merantau ke pantai sebelah timur."

   Gadis itu nampak tertegun. "Ke Tit le? Kemudian ke pantai timur? Kaumaksudkan bahwa kau hendak pergi ke pantai Laut Po hai?"

   Sekarang Tek Hong yang terkejut,

   "Demikianlah niatku. Akan tetapi kalau kau menghendaki pergi ke lain tempat, aku bersedia mengawanimu."

   Setelah berpikir sejenak, Siang Cu tersenyum dan berkata,

   "Sudah kukatan bahwa aku tidak mempunyai tujuan, hanya mengandalkan hati dan kaki. Sekarang ada kau sebagai sahabatku, biarkan aku menurut saja ke mana kau hendak pergi. Siapa tahu kalau kalau kau yang membawa aku bertemu dengan musuh besarku itu."

   "Nona, alangkah janggalnya kalau kita tidak saling mengenal nama dan keadaan. Mengapa mesti ada segala rahasia ini?"

   Baru saja ia berkata demikian. Siang Cu menjadi marah. "Baik, kita berpisah di sini saja karena kau tidak mau memenuhi syaratku tadi!"

   Setelah berkata demikian, ia melompat jauh dan melarikan diri.

   Tek Hong cepat mengejar dan menyusul gadis itu.

   "Nona, maafkan aku banyak banyak. Aku tadi kelepasan bicara, tak dapatkah kau memaafkan seorang sahabat baru?"

   Lemah pula hati Siang Cu dan ia memandang tajam.

   "Sekali kali jangan kauulangi pertanyaanmu tadi. Aku sudah mengambil keputusan tidak akan menceritakan kepada siapa pun juga tentang keadaan diriku yang tidak baik. Nah, cukup sekian saja. Mari kita berangkut!"

   Dengan hati terheran heran, Tek Hong tidak berani banyak cakap lagi dan berjalanlah kedua orang muda ini menuju ke Tit le.

   Setelah melakukan perjalanan bersama, dengan girang Tek Hong mendapat kenyataan bahwa watak dasar dari gadis itu sebetulnya baik sekali. Bicara ramah dan periang pula. Akan tetapi aneh sekali, kadang kadang dengan tiba tiba sikap itu berobah menjadi ganas, kaku dan selalu cemberut, sungguh pun dalam pandangan Tek Hong, selagi marahpun gadis ini wajahnya menjadi makin menarik dan manis.

   Tentu saja ia tidak tahu bahwa gadis ini semenjak kecil memang mengalami nasib yang sengsara sekali, ia di culik oleh Lam hai lo mo, semenjak kecil dididik oleh guru setengah gila dan jahat itu sehingga ia memiliki watak yang aneh.

   Sering kali di dalam dadanya ketika ia masih kecil, terasa kedukaan besar sekali dan kerinduan yang menyesak kan napas, orang tuanya yang tak pernah dikenalnya karena ia tidak teringat lagi akan wajah mereka.

   Rasa sayangnya hanya tercurah kepada gurunya, maka dapat dibayangkan betapa duka dan patah hatinya ketika ia melihat kekejian gurunya yang ternyata memiliki tabiat yang jauh sekali berbeda dengan dia.

   Kalau mengingat akan perbuatan perbuatan suhunya, ia amat benci kepada suhunya, benci setengah mati dan agaknya mau ia membunuh suhunya itu! Akan tetapi kalau ia teringat kepada wajah yang menyeramkan itu, teringat akan keadaan tubuhnya yang rusak, teringat pula betapa dengan penuh kasih sayang suhunya mendidik dan merawatnya semenjak kecil, timbul hati tayang dan kasihan.

   Pertentangan di dalam hatinya ini membuat Siang Cu menjadi putus harapan dan sering kali membuat ia bingung dan berubah ubah sikapnya.

   Ia gembira dan jenaka serta peramah apabila ia tidak teringat akan gurunya, dan lupa akan orang tuanya. Akan tetapi sekali ia teringat akan nasib dirinya, ia menjadi pemarah dan tukar diajak bicara.

   Sebetulnya, ketika Tek Hong menyatakan hendak pergi ke Tit le, telah timbul dugaan di dalam hati Siang Cu yang membuat dada berdebar tidak enak. Pemula ini demikian perkasa, ilmu pedangnya amat mengagumkan, dan kini hendak pergi ke Tit le. Tak dapat salah lagi tentu ada hubungan sesuatu antara pemuda ini dengan Thian te Kiam ong, pendekar musuh besar gurunya yang rumahnya juga di Tit le dan yang sudah dibakar habis habis oleh suhunya itu!

   Ketika mereka tiba di pintu gerbang Tit le, dengan hati berdebar tak enak, Siang Cu bertanya,

   "Kau hendak mengunjungi siapakah di kota ini?"

   "Tidak mengunjungi siapa siapa, melainkan hendak pulang karena memang rumahku di sini. Akan kulihat sebentar, apakah orang tuaku telah kembali."

   "Di mana rumahmu?"

   Ditanya demikian, Tek Hong menjadi bingung.

   "Rumah....? Ah, memang tadinya kami punya rumah, akan tetapi.... orang jahat seperti iblis telah membakar rumah kami sampai habis. Mereka adalah Lam hai Lo mo dan muridnya. Oleh karena itulah ayah bundaku harus kuberi tahu karena mereka sedang keluar kota. Kalau mereka sudah kembali, sukurlah, kalau belum aku harus meninggalkan surat pemberitahuan kepada tetangga. Marilah, kalau mereka sudah kembali, akan kuperkenalkan kau kepada orang tuaku."

   Akan tetapi, wajah Siang Cu telah berubah pucat sekali dan untuk menyembunyikan ini dan Tek Hong, ia berpura pura mengusap peluh dan wajahnya dengan sehelai saputangan.

   "Tidak, aku tidak mau ikut kau ke sana. Aku hendak mencarii rumah penginapan dan ingin benistirahat sambil menunggu kau kembali," katanya.

   Tek Hong tidak membantah. "Kalau begitu, biarlah aku yang mencarikan rumah penginapan terbaik untukmu. Pemiliknya aku sudah kenal baik."

   Siang Cu tidak menjawab, hanya mengangguk saja. Ia merasa tubuhnya lemas sekali. Setelah Tek Hong mendapatkan sebuah kamar dalam rumah penginapan itu, ia segera masuk ke dalam kamar dan dari dalam kamar berkata kepada Tek Hong yang masih berdiri di luar karena pemuda mi ketika melihat sikap gadis ini yang selalu mengerutkan kening, mengira bahwa sudah datang lagi kemarahan dan gadis aneh itu.

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kau pergilah dan bereskan urusanmu, jangan memikirkan aku di sini."

   Tek Hong menghela napas. "Baiklah. Aku pergi dulu dan setelah beres urusanku, kita akan melanjutkan perjalanan ke timur."

   Pemuda ini segera menuju ke rumahnya yang kini hanya tinggal bekasnya saja. Ia menda pat kenyataan dan tetangga tetangganya bahwa ayah bundanya belum pulang, demikian pula Siauw Yang tidak ada kabarnya.

   Maka ia lalu cepat cepat membuat surat untuk ayah bundanya, menceritakan segala peristiwa yang terjadi dan menyerahkan surat itu kepada seorang tetangganya she Lie dan agar surat itu diberikan kepada ayah bundanya apabila mereka pulang.

   BIARPUN menurutkan kata hatinya, ia ingin sekali ke rumah penginapan di mana gadis baju merah itu menanti nantikan, namun demi kesopanan kepada tetangga yang dimintai tolong itu, Tek Hong terpaksa bercakap cakap lebih dulu dengan mereka sampai hari menjadi malam.

   Kemudian ia berpamit dan dengan cepat ia kembali ke rumah penginapan. Ketika ia tiba di situ, ia melihat pemilik rumah penginapan, seorang setengah tua yang gemuk, tengah berdiri di depan rumah itu sambil menggeleng geleng kepala dan mulutnya terdengar bicara seorang diri,

   "Sungguh aneh.... aneh sekali"!"

   "Eh, Tung twako, mengapa kau berdiri di sini seorang diri?" Tek Hong menegurnya.

   Pemilik rumah penginapan itu terkejut karena ia tidak mendengar kedatangan pemuda itu.

   "Kau Song kongcu? Ah, kau terlambat, baru saja kawanmu pergi dari sini!"

   "Pergi? Ke mana?" tanya Tek Hong kaget.

   "Tidak tahu! Aku tahu akan keanehan watak orang orang kang ouw dan tentu saja aku tidak berani banyak bertanya. Hanya dia bilang bahwa dia tidak jadi bermalam di sini."

   "Dia tidak meninggalkan pesan apa apa untukku?"

   Pemilik rumah penginapan itu menggeleng kepala.

   "Tidak sama sekali. Dia kelihatan marah marah dan jengkel sehingga aku tidak berani banyak bertanya. Aku tahu bahwa orang kang ouw seperti gadis itu kalau sudah marah, sekali menggaplok akan sanggup merenggut nyawaku," katanya sambil mengangguk anggukkan kepalanya, tanda bahwa dia sudah tahu betul akan watak orang-orang kang ouw karena dia sudah banyak bertemu dengan orang orang kang ouw yang bermalam di rumah penginapannya.

   "Kau tidak tahu ke mana perginya?" tanya Tek Hong dengan bingung.

   "Kaukira aku begitu bodoh, Song kongcu? Tidak percuma kau mengenal aku. Tadi ketika ia pergi, aku segera keluar dan aku melihat bayangannya cepat sekali berkelebat menuju ke timur."

   Baru saja pemilik nmah makan menutup mulutnya, ia melihat bayangan di depannya berkelebat ke timur dan tahu tahu pemuda itu sudah lenyap dari depannya, ia menjulurkan lidahnya dan menggeleng gelengkan kepalanya.

   "Aneh, seperti iblis iblis saja orang orang kang ouw itu," katanya berkali kali kepada diri sendiri.

   Tek Hong cepat sekali berlari ke timur, mempergunakan kepandaiannya dan mengerahkan seluruh ginkangnya. Matanya dipasang tajam tajam untuk mencari di mana adanya gadis baju merah yang secara rahasia telah meninggalkannya itu.

   Mengapa ia marah dan pergi, pikirnya bingung. Ah, kalau saja ia tadi tidak lama bercakap cakap dengan para tetangganya tentu ia masih dapat bertemu dengan gadis itu dan mungkin dapat menahan kepergiannya atau setidaknya dapat pergi bersama.

   Ketika ia tiba di luar kota, ia melihat bayangan hitam berlari lari cepat keluar dan kota itu. Hatinya berdebar girang dan ia mempercepat larinya sambil berseru,

   "Nona, tunggulah sebentar!"

   Bayangan itu memang benar Siang Cu adanya. Tadi ketika Tek Hong pergi meninggalkannya di rumah penginapan, ia segera menyelidiki keadaan pemuda itu. Tanpa diketahui oleh siapapun juga, ia melompat ke luar dari jendelanya dan menyusul ke tempat tinggal Thian te Kiam ong yang dulu sudah dibakar oleh suhunya.

   Di rumah tetangga Thian te Kiam ong, gadis ini melihat Tek Hong bercakap cakap dan ia segera mengintai dari atas genteng. Mendengar percakapan mereka, tahulah dia bahwa memang benar pemuda ini adalah Song Tek Hong putera dan Thian te Kiam ong musuh besarnya.

   Dengan tubuh lemas dan tindakan limbung Siang Cu segera berlari kembali ke hotelnya. Di di dalam kamar, tak terasa pula ia menangis tersedu sedu, ia tertarik kepada pemuda ini, bukan rahasia lagi baginya bahwa ia suka kepadanya.

   Pemuda itulah satu satunya orang, di samping Liem Pun Hui pemuda sasterawan yang juga menanik perhatiannya, yang menimbulkan harapannya untuk hidup terus, unmk hidup bahagia.

   Dan kini, ternyata bahwa pemuda yang dipujanya di dalam hati im bukan lain adalah putera dan Thian te Kiam ong, musuh besarnya yang hendak dibalasnya. Ia sudah bersumpah untuk membalas dendam suhunya yang sudah dirusak oleh Thian te Kiam ong.

   "Tek Hong...." keluhnya di dalam hati, "tak mungkin kita menjadi.... sahabat, tak mungkin..."

   Segera ia mengambil buntalan pakaiannya dan keluar dan kamarnya.

   Pemilik hotel yang melihat gadis ini seperti hendak pergi, segera menjura sambil bertanya,

   "Lihiap hendak pergi ke manakah?"

   Siang Cu yang masih merah mata dan pipinya memandang marah dan hampir saja ia menendang orang itu.

   "Aku pergi ke mana kau perduli apakah? ini uang kamarnya, biar aku tak jadi bermalam, kubayar juga!" Ia melemparkan sepotong perak ke arah meja dan uang itu menancap pada papan meja. Kemudian tanpa banyak cakap ia lalu melangkah ke luar.

   Hatinya diliputi kesedihan besar. Tidak bisa ia menanti Tek Hong unmk mengajak putera musuh besarnya itu bertempur karena ia tahu bahwa hatinya tidak mengijinkan ia untuk melukai pemuda itu. Ia akan cepat cepat mencari Thian te Kiam ong, memenuhi tugasnya, dan habis perkara. Inilah tujuan satu satunya dalam hidupnya kini. Habislah semua harapan dan impian manis.

   Ketika ia tiba di luar pintu gerbang kota, tiba tiba ia mendengar panggilan Tek Hong dan dengan wajah berobah merah ia menahan tindakan kakinya dan membalikkan tubuh. Di dalam keadaan yang suram muram karena cuaca hanya diterangi oleh bintang bintang di angkasa, ia melihat tubuh pemuda itu, menipakan bayangan hitam yang amat cepat lari mendekat.

   "Song Tek Hong, kau mengejarku ada apakah?" tanyanya menahan gelora hatinya agar suaranya tidak terdengar gemetar.

   Tek Hong yang sudah berdiri di depan Siang Cu, menjadi tertegun.

   "Nona...., kau Sudah tahu namaku? Bagus sekali, aku girang bahwa akhirnya kau mengenalku pula. Akan tetapi, mengapa kau meninggalkan aku, nona? Bukankah kita sudah berjanji hendak bersama mencari musuh besarmu?"

   "Tak perlu lagi," kata Siang Cu menahan gejolak hatinya yang menyesakkan dada, "aku sudah menemukan musuh besarku!"

   "Siapa dia? Di mana?"

   "Kaulah orangnya! Kau dan orang tuamu! Ketahuilah, Song Tek Hong, aku adalah Ong Siang Cu, murid dari Lam hai Lo mo! Suhu dan aku yang membakar rumahmu, dan kami sedang mencari cari ayahmu untuk membalas dendam hati suhu! Seharusnya kau pun menjadi musuh besarku, harus kuserang kalau mungkin kubunuh! Akan tetapi ah aku yang bodoh dan lemah, aku suka kepadamu. Tak kuasa tanganku menghunus pedang untuk menyerangmu. Sekali lagi aku suka kepadamu, nah dengarkah kau? Karena aku tak dapat memusuhimu, akan tetapi ayahmu, tentu akan kucari dan kutantang mengadu nyawa!"

   Tek Hong merasa seakan akan kepalanya disambal petir pada saat itu, ia limbung dan hampir saja roboh karena kedua kakinya terasa lemas. Ia menghampiri Siang Cu sambil berkata lemah,

   "Nona"."

   "Berhenti! Jangan mendekati aku! Aku musuhmu, aku orang jahat sejahat jahatnya. Akulah iblis yang membakar rumahmu. Suhu dan aku sudah mengacau di Go bi pai sehingga kami dimusuhi oleh orang orang Go bi pai. Suhu dan aku sudah membakar rumah Thian te Kiam ong ayahmu dan karenanya kau tentu akan membalas dendam. Kau mau membalas dan hendak menyerangku? Silahkan, aku tidak takut! Dengarlah, wahai Song Tek Hong, bahwa aku Ong Siang Cu karena begitu pandir dan lemah mencintaimu, tidak akan kuasa untuk menyerangmu! Akan tetapi perhatikanlah, hanya untuk saat ini saja. Sewaktu waktu kalau kita bertemu akan kututup mataku dan akan kuserang kau sebagai musuh besarku. Dan sebaliknya kalau kau menyerangku, akan kulawan mati matian! Nah, selamat tinggal dan jangan mencoba untuk mendekati atau bertemu denganku!"

   "Siang Cu".!" Tek Hong melompat mengejar gadis itu yang sudah berlari pergi. Dengan cepat pemuda itu lalu menangkap ujung baju Siang Cu yang berkibar di belakangnya sehingga gadis itu terpaksa berhenti.

   "Bodoh, tolol! Pergi!" Bentaknya dan tangan kanannya bergerak menampar pipi Tek Hong. Sebagai seorang ahli silat, Siang Cu mengerti bahwa pemuda itu dengan mudah akan dapat mengelak dan melepaskan pegangan pada ujung bajunya, akan tetapi ternyata pemuda itu sama sekali tidak mengelak.

   "Plakk!" tamparan itu keras sekali. Tek Hong merasa betapa pipinya pedas dan kepalanya pening sehingga ia jatuh berlutut di depan gadis itu, akan tetapi tangannya masih memegangi ujung baju dengan erat erat.

   "Siang Cu, pukullah aku, bunuhlah! Aku takkan melawan. Kau jangan pergi dulu sebelum mendengar omonganku. Aku kasihan padamu, aku cinta padamu, hal ini kau sudah tahu kiraku. Entah bagaimana iblis membuat kau menjadi murid Lam hai Lo mo. Kau hendak mencari ayah dan membalas dendam gurumu, akan tetapi sebaliknya sumpahku. Akupun hendak mencari gurumu, hendak kubinasakan dia, iblis tua yang jahat itu, bukan hanya itu, bukan hanya karena ia memusuhi ayah, terutama sekali karena dia telah menjerumuskan kau ke lembah kejahatan. Akan tetapi padamu, aku takkan melawan. Siang Cu, aku cinta kepadamu..... "

   Mendengar ucapan ini, bercucuran air mata dari mata gadis ini, mengalir di sepanjang pipinya dan berjatuhan ke atas wajah Tek Hong yang berlutut sambil mengangkat muka memandang.

   Gadis ini tidak dapat menjawab, tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil dan yang terdengar hanya isak tangisnya. Baru kali ini selama hidup nya ia merasai keharuan, kedukaan, dan berbareng kebahagiaan yang luar biasa mendengar ucapan pemuda ini.

   "Tek Hong...." hanya ini yang dapat di bisikkan oleh bibirnya yang gemetar.

   "Siang cu, kau.... kau menangis.....?" Tek Hong bangkit berdiri dan kepalanya masih pening, ia merasa tubuhnya seperti terputar putar, namun wajah gadis itu masih selalu berada di depan matanya.

   "Siang Cu, mengapa kau memaksa diri melawan suara hati nuranimu sendiri? Mengapa kau tidak mau membantah saja kehendak jahat dari gurumu?"

   "Tek Hong, tiada gunanya lagi..." Siang Cu makin tersedu sedu. "Aku sudah terseret ke dalam lumpur kejahatan oleh suhu"."

   "Tidak, Siang Cu! Kau bersih laksana bunga teratai yang biarpun terseret ke dalam lumpur, masih bersih dan murni."

   "Tek Hong...." Siang Cu berbisik sayu dan kaget melihat pemuda itu terhuyung hendak roboh. Ia tahu bahwa pemuda ini menderita bukan hanya karena tamparannya yang keras tadi, juga oleh tekanan batin yang berat, maka melihat pemuda itu hendak roboh, ia cepat memeluknya.

   "Siang Cu, Thian telah mempertemukan kita...... jangan kau tinggalkan aku...." kata Tek Hong yang tiba tiba merasa tubuhnya kuat kembali. Siang Cu tak dapat berkata apa apa hanya menyerah saja ketika Tek Hong memeluknya. Untuk beberapa lama ia menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu yang mendekapnya erat erat seakan akan takut kalau kalau gadis itu akan pergi lagi.

   Untuk beberapa lama keduanya tenggelam dalam suasana yang mesra ini. Terutama sekali Tek Hong yang masih pening sekali kepalanya, ia tak dapat mempergunakan pikiran dengan baik lagi, ia merasa terayun ayun seperti berada di tengah samudera luas.

   Yang ada dalam hatinya hanya cinta kasih yang dibarengi rasa kasihan yang amat besar dan mendalam. Ia setengah dapat menduga bahwa gadis ini terpaksa menjadi jahat karena pengaruh suhunya, Lam hai Lo mo si iblis tua itu, karenanya ia hendak melawan iblis itu, bukan hanya untuk membela ayahnya, terutama sekali untuk merenggut gadis ini keluar dari cengkeraman pengaruh jahat itu.

   Tiba tiba Siang Cu melepaskan diri dari pelukan Tek Hong.

   "Tidak, Tek Hong, tidak mungkin! Aku sudah bersumpah kepada suhu bahwa aku harus membalaskan dendamnya terhadap Thian te Kiam ong. Dan aku bukan pengecut. Aku haru memenuhi sumpah itu, akan kucari ayah bundamu, akan kutandingi adik perempuanmu yang kudengar amat lihai. Hanya kepadamu saja aku takkan mencabut pedang. Selamat tinggal, Tek Hong, kekasihku. Percayalah bahwa apapun juga yang terjadi, aku tetap mengenangmu sebagai seorang termulia di dunia ini tempat aku menaruh harapan dalam hidup selanjutnya."

   Siang Cu mengeluh dan melompat pergi, menghilang di dalam gelap, ia tidak memperduli kan ratapan dan panggilan pemuda itu yang terdengar menyayat nyayat hatinya, bahkan ia lalu mempergunakan jari jari tangannya untuk menutupi kedua telinganya sambil berlari keras, agar ia tidak dapat mendengar lagi suara panggilan itu. Ia tidak tahu bahwa pada saat itu, Tek Hong terhuyung huyung lalu roboh di bawah pohon dalam keadaan pingsan.

   Sebetulnya Tek Hong adalah seorang pemuda pendiam dan keras hati. Namun, adakah kekerasan hati yang cukup keras dalam menghadapi asmara? Hati sekeras bajapun akan hancur luluh!

   Tek Hong telah menderita pukulan batin yang hebat sekali, ditambah pula oleh tamparan Siang Cu yang dilakukan dengan tenaga lweekang, maka ia tak dapat menahan dan roboh pingsan. Memang, tak dapat disalahkan hati pemuda ini, atau tidak boleh mengira bahwa dia terlalu lemah iman atau tidak kuat menahan godaan wanita.

   Oleh karena, sukarlah bertemu dengan seorang gadis seperti Siang Cu. Dia adalah seorang gadis setengah liar yang semenjak kecil terasing dari dunia ramai dan hanya dididik oleh seorang manusia iblis seperti Lam hai Lo mo.

   Biarpun Siang Cu bersikap seperti orang liar yang tidak tahu akan sopan santun sehingga sebagai seorang gadis berani dengan demikian terang terangan menyatakan cinta kasihnya terhadap seorang pemuda, namun semua kejanggalan ini ia lakukan dengan wajar sekali, ia lakukan dengan penuh kejujuran dan kesederhanaan, sama sekali tidak mengandung kegenitan atau pura pura. Tek Hong dapat merasai dan memaklumi sepenuhnya akan hal ini maka ia tertarik sekali dan cinta kasihnya bercampur dengan rasa belas kasihan yang amat besar.

   Belum lama setelah Siauw Yang bersama Liem Pun Hui berhasil melarikan diri dan Kepulauan Couwsan dan mendarat di pantai Tiongkok, datanglah Tung hai Sian jin di pulau yang ditinggalkannya, ia tidak berhasil mencari Thian te Kiam ong Song Bun Sam, bahkan hampir saja ia celaka oleh keroyokan Song Tek Hong putera Thian te Kiam ong dan Ong Siang Cu murid Lam hai Lo mo. Oleh karena itu, dengan hati murung ia ke pulau itu dan hendak menyuruh puteranya mengawini puteri Thian te Kiam ong dengan jalan kekerasan dan paksaan saja.

   Alangkah marah, kecewa dan menyesalnya ketika ia mendapatkan puteranya telah memaki maki dan marah marah karena telah diakali oleh Siauw Yang sehingga gadis itu dapat melarikan diri.

   "Dasar kau yang goblok, mudah saja ditipu oleh gadis liar itu." ayahnya mengomel.
(Lanjut ke Jilid 43)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 43
"Aku sudah cukup berhati hati, tetapi dia memang cerdik sekali. Kalau ia terjatuh ke dalam tanganku, aku takkan membeni kesempatan padanya untuk tenlepas dan pelukanku. Lebih baik kuhancurkan kepalanya daripada membikin dia terlepas. Hatiku sakit sekali, ayah!"

   Tung hai Sian jin tersenyum pahit. "Apakah kau sekarang masih menghendaki dia sebagai isteri mu?"

   Eng Kiat mengerutkan kening. "Dia jahat! Lebih baik aku menikah dengan murid Lam hai Lo mo."

   "Hem, mudah berobah pendirian orang muda, akan tetapi pilihanmu selalu jatuh di tempat yang salah. Murid Lam hai Lo mo juga bukan orang baik, dia telah berani bersekongkol dengan putera Thian te kiam ong, sungguh hal yang aneh sekali. Aku akan menegur Lam hai Lo mo kalau bertemu dengan dia,"

   Pada saat itu, terdengar suara keras sekali akan tetapi terdengar dari tempat jauh, tanda bahwa orang yang mengeluarkan suara itu memiliki ilmu mengirim suara dan jauh dengan hebatnya!

   "Tung hai Sian jin iblis tua bangka dari Timur! Di mana Kau? Mengapa pula pulau ini kosong belaka?"

   Berobah muka Tung hai Sian jin. Kalau orang membicarakan setan, tahu tahu ia datang, katanya. Lalu ia mengerahkan tenaga dan menjawab dengan suara nyaring tinggi melengking,
"Lam hai Lo mo iblis tua! Apakah telingamu sudah agak tuli dan matamu sudah agak lamur maka kau tidak bisa lagi mencari aku?" Sebagai jawaban terdengar suara ketawa bergelak dan terkekeh kekeh amat menyeramkan karena yang tertawa tidak kelihatan orangnya, seakan akan iblis sendiri yang tertawa.

   "Bagus kalau kau dan puteramu masih hidup iblis timur! Kami menantimu di Sam liong to, datanglah dan aku akan gembira bertemu dengan kawan kawan sehaluan."

   Mendengar ini, Tung hai Sian jin lalu berlari ke pantai diikuti oleh Eng Kiat. Ketika mereka melihat sebuah perahu kecil panjang di tumpangi oleh delapan orang kakek, mata Tung hai Sian jin yang masih tajam penglihatannya itu mengenal Lam hai Lo mo di kepala perahu akan tetapi orang orang yang lainnya ia tidak kenal. Hanya dilihatnya dua orang hwesio gundul dan lima orang tosu yang semuanya sudah tua tua.

   "Siapakah gerangan mereka itu? Dan apa maksud Lem hai Lo mo mengundang kita ke pulaunya?" Tung hai Sian jin berkata kepada puteranya.

   "Tentu ada keperluan amat penting, ayah. Dia lihai sekali dan kalau kawan kawannya impun orang orang lihai, lebih baik kalau kita datang ke sana memperkenalkan diri. Siapa tahu kalau kalau mereka itu kelak akan dapat membantu kita."

   Tung hai Sian jin hanya mengangguk dan bersama puteranya ia memasuki perahu dan mendayungnya cepat cepat untuk menyusul perahu kecil panjang itu.

   Akan tetapi, biarpun Tung hai Sian jin terkenal sebagai seorang ahli di atas dan di dalam air, dan ia terkenal sebagai seorang nelayan pandai, namun perahunya tidak dapat mengejar dan menyusul perahu di depan.

   Ia melihat betapa delapan orang di dalam perahu itu sama sekali tidak mempergunakan dayung, hanya mempergunakan tangan saja untuk didorongkan ke air.Bahkan ada di antaranya yang memper gunakan kaki untuk menendang nendang air di belakang perahu.

   Namun perahu mereka itu meluncur dengan amat cepatnya seakan akan telah didorong oleh tenaga yang luar biasa.

   Melihat ini, diam diam Tung hai Sian jin memuji dan menjadi girang karena hal itu menyata kan bahwa penumpang penumpang perahu itu benar benar memiliki kepandaian yang amat tinggi. Sebagai seorang tokoh kang ouw kawakan tentu saja ia senang mendapat kesempatan bertemu dengan tokoh tokoh lain, baik lawan maupun kawan.

   Sementara itu, Lam hai Lo mo dengan kawan kawannya telah mendarat di Sam liong to, Sambil tertawa bergelak Lam hai Lo mo berkata,

   "Sahabat sahabat, mari mendarat. Selamat datang di Pulau Sam liong to, pulau yang akan men jadi pusat perhimpunan kita. Ha, ha, ha!" ia menggerakkan tongkatnya dan tahu tahu tubuh nya melompat ke darat dengan gerakan berjungkir bahik seperti seorang anak kecil yang ber girang hati. Namun dalam lompatan ini saja sudah dapat dilihat kehebatan ilmu gin kang dari kakek buntung ini.

   Tujuh orang kakek yang seperahu dengan Lam hai Lo mo, juga bergerak dan masing masing memperlihatkan kepandaian melompat yang kesemuanya amat mengagumkan. Biarpun berturut turut mereka melompat dari dalam perahu, namun perahu itu sedikit pun tidak bergoyang, tanda bahwa ginkang mereka memang sudah mencapai tingkat tinggi sekali.

   Siapakah tujuh orang itu? Yang dua adalah hwesio hwesio gundul dan mereka ini bukanlah orang orang baru, karena mereka adalah Sam thouw hud dan Ang tung hud, kakak beradik seperguruan dari Tibet yang lihai ilmu silatnya dan yang belum lama ini telah kena dihajar oleh Tek Hong dan Mo bin Sin kun di puncak Sian ho san.

   Sam thonw hud dan Ang tung hud meraka amat sakit hati terhadap Mo bin Sin kun. Tidak saja usaha membalas dendam mereka tak berhasil, bahkan mereka untuk kedua kalinya telah kena dibikin malu dan dikalahkan.

   Maka, ketika mereka bertemu dengan Lam hai Lo mo, tentu saja mereka dengan penuh gairah menerima ajakan Lam hai Lo mo untuk mengadakan persekutuan agar kedudukan mereka menjadi lebih kuat.

   Adapun lima orang tosu yang ikut pula di dalam perahu itu juga bukan orang orang sembara ngan saja. Mereka ini adalah tokoh tokoh dari Tibet yang setingkat kedudukannya dengan Sam thouw hud, hanya saja mereka adalah pemimpin dari golongan lain, karena mereka bukanlah penganut dan Agama Budha, melainkan lima orang tosu yang terkenal dengan aliran Cheng i pai (Aliran Jubah Hjau).

   Mereka ini memiliki kepandaian tinggi dan terkenal dengan sebutan See san Ngo sian (Lima Dewa dari Tibet). Sebetulnya ilmu silat mereka juga berasal dan Tiongkok tengah, bukan dari barat, karena mereka telah mencipta ilmu silat istimewa sendini yang berdasarkan Ilmu Silat Ngo heng kun yang mereka pelajari dari seorang tokoh persilatan di gunung Thai san.

   Akan tetapi sayang sekali, lima orang tosu ini memang dahulunya bukan orang baik baik. Mereka fanatik memeluk agama dalam cara yang keliru, sehingga mereka bahkan menyim pang daripada garis garis pelajaran Agama To yang sebenarnya dan bahkan mendekati pela jaran ilmu hitam dan ilmu ilmu gaib yang mengherankan orang.

   Mereka telah mengenal Lam hai Lo mo sebagai seorang ahli hoat sut (ilmu sihir), maka dengan iblis dari Laut Selatan ini mereka telah menjadi sahabat baik. Ketika mereka bertemu dengan Lam hai Lo mo dan dimintai tolong untuk membantunya mendirikan perhimpunan orang orang gagah sehaluan, mereka segera menerimanya dengan gembira dan ikut dengan Lam hai Lo mo ke Pulau Sam liong to.

   Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat mendayung perahu mereka cepat cepat untuk mendarat di Pulau Sam liong to.

   Di situ mereka disambut oleh Lam hai Lo mo sendiri yang tertawa bergelak dan setelah Tung hai Sian jin mendarat, kakek buntung itu lalu menggandeng tangannya dan diajak menuju ke tengah pulau di mana orang orang lain telah menanti di situ.

   "Girang sekali hatiku kau suka datang, iblis Timur!" kata Lam hai Lo mo tanpa memperdulian Eng Kiat yang menjura sebagai penghormatan kepadanya. "Kau menjadi orang penting dalam perkumpulan kita yang baru."

   "Perkumpulan apakah yang kau maksudkan, Iblis Sehatan? Aneh aneh saja kau in seperti orang muda, pakai mendirikan perkumpulan segala!" mencela Tung hai Sian jin.

   "Ha, ha, ha, ha! Kau dengarlah saja nanti, sobat," jawab Lam hai Lo mo.

   Setelah mereka tiba di tempat terbuka yang berada di depan gua tempat bertapa Lam hai Lo mo, Tung hai Sian jin menjadi terheran heran. Tempat itu kini indah sekali, entah kapan dibangunnya pendapa yang luas dengan genteng genteng baru dan lantainya dari batu putih. Di situ terdapat meja dan banyak bangku yang terukir indah sekali.

   "Eh, eh, mimpikah aku?" Tung hai Sian jin berseru dan Eng Kiat juga memandang dengan bengong. Belum lama ini tempat itu masih kosong melompong, mengapa sekarang telah didirikan pendapa yang indah?

   "Iblis Selatan, bagaimana kau bisa menyulap pendapa ini di tempat seperti mi? Siapa yang mengerjakannya dan sejak kapan kau berobah menjadi seorang yang royal dan mewah?"

   Kembali Lam hai Lo mo tertawa bergelak tanpa menjawab pertanyaan ini, sebaliknya ia lalu memperkenalkan Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat kepada tujuh orang pendeta yang telah duduk di atas bangku bangku di pendapa itu.

   "Cui wi Bengyu (Sahabat sahabat sekalian)", kata Lam hai Lo mo kepada lima orang tosu dan dua orang itu, "Sahabat kita ini adalah Tung hai Sian jin, tokoh besar pantai laut timur dan puteranya, Bong Eng Kiat."

   Hanya Sam thouw hud seorang di antara tujuh kakek pendeta itu yang tidak dapat mendengar ucapan Lam hai Lo mo, akan tetapi ia dapat mengira ngira dan melihat yang lain lain berdiri menjura kepada Tung hai Sian jin, iapun berdiri dan memberi hormat.

   Tung hai Sian jin yang dapat menduga bahwa kakek kakek itu tentulah tokoh tokoh ternama, cepat membalas penghormatan mereka sambil bertanya kepada Lam bai Lo mo,

   "Iblis Selatan, siapakah sahabat sahabat di dalam itu?"

   "Pantas saja kau belum mengenal mereka, Iblis Timur. Mereka adalah tokoh tokoh yang selalu menyembunyikan diri di Tibet. Dua orang hwesio itu adalah Sam thouw hud (Budha Berkepala Tiga) dan Ang tung hud (Budha Bertongkat Merah) dua orang pemimpin Aliran Jubah Hitam di Tibet. Adapun lima orang tosu itu adalah See san Ngo sian tokoh tokoh dan Cheng i pai yang berjuluk Pat jiu sian (Dewa Tangan Delapan), Toat beng sian (Dewa Pencabut Nyawa), Sin kun sian (Dewa Tangan Sakti).Mereka ini adalah sahabat sahabat kita yang sudah sehaluan."

   Mendengar julukan julukan yang hebat hebat itu, diam diam Tung hai Sian jin menjadi geli dan penasaran. Sampai di manakah tingginya kepandaian mereka sehingga mereka berani memper gunakan julukan julukan yang demikian hebat? Tanpa banyak cakap ia lalu duduk di atas bang ku di dekat mereka, mengelilingi sebuah meja berukir indah yang besar sekali.

   Tiba tiba terdengar suara bersuit keras dari arah pantai dan Lam hai Lo mo tertawa.

   "Benar benar gesit sekali murid keponakanku yang baik itu. Ha, ha, ha! Tentu orang orangnya telah datang."

   Semua orang menengok dan terlihatlah belasan orang turun dari sebuah perahu besar, memba wa dan memikul barang barang yang amat mahal dan arak arak wangi yang ditaruh di dalam guci guci besar.

   Seorang laki laki bertubuh pendek kecil yang gesit sekali gerakannya dan yang agaknya menge palai rombongan ini, segera menghadap Lam hai Lo mo dan berlutut sambil berkata,

   "Locianpwe, teecu Thio Kim menerima perintah Ciong Siauw ong ya menyampaikan hormat kepada locianpwe dan mengharapkan maaf karena siauw ong ya tidak dapat datang sendiri berhubung ada urusan amat penting. Oleh karena itu, hanya dapat mengirimkan hidangan untuk para locianpwe dan beberapa orang pembantu untuk melayani perjamuan ini. Adapun teecu diutus untuk mewakilinya mendengarkan apa yang perlu didengar dan apa yang penting dalam pertemuan yang locianpwe adakan."

   Lam hai Lo mo mengerutkan kening. "Ah, bagaimana Ciong Pak Sui berani mengabaikan undanganku? Urusan apakah yang begitu penting sehingga lebih ia utamakan daripada datang di sini?"

   "Teecu tidak dapat memberi penjelasan yang memastikan, locianpwe, hanya kalau tidak salah, urusan perjodohannya."

   Mendengar ini, Lam hai Lo mo tertawa bergelak. "Ha, ha, ha! Akhirnya ia mendapatkan jodoh juga, si mata keranjang itu. Baiklah kalau begitu, hayo kau duduk di sana Thio Kim dan dengarkan semua percakapan agar kau dapat melapor kepada Siauw ong ya kelak."

   Thio Kim lalu memberi perintah kepada semua pengiringnya untuk mempersiapkan hidangan setelah dihangatkan lebih dulu. Mereka juga membawa alat alat untuk masak dan ada pula dua orang tukang masaknya, pendeknya lengkap sekali untuk keperluan pesta.

   Setelah semua hidangan dipanaskan dan di keluarkan di atas meja, para pelayan disuruh keluar. Tak seorang pun di antara mereka boleh tinggal di dalam, kecuali Thio Kim yang mewakili Ciong Pak Sui atau Ciong Siauw ong ya, yakni murid Pat jiu Gam ong yang pernah kita kenal ketika ia berebut kuda dengan Siauw Yang. Rapat pertemuan itu kemudian dibuka oleh Lam hai Lo mo.

   "Saudara saudara tentu telah mendengar betapa keadaan pemerintah Goan tiauw makin terdesak mundur, agaknya tidak mampu membasmi para pemberontak yang merajalela di mana mana. Kaisar Kublai Khan kurang pandai dan lemah. Hal ini diketahui baik baik oleh Ciong Pak Sui yang juga seorang pangeran keturunan dari Jengis Khan yang besar. Maka daripada kita membantu Kublai Khan yang tak dapat menghargai tenaga dan jasa kita, marilah kita membantu Ciong Siauw ong ya yang mempunyai harapan besar."

   "Apakah yang boleh kita andalkan atas diri Ciong Siauw ong ya selain kuda kuda yang baik?" mencela Tung hai Sian jin tak puas.

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Lam hai Lo mo tertawa bergelak

   "Kau tidak tahu, Iblis Timur, Pangeran Ciong telah menda patkan peti peninggalan Jengis Khan, peti rampasan dari tanah barat yang berisi harta benda tak ternilai harganya. Dengan hartanya, Pangeran Ciong tentu kuat membentuk sebuah negara yang besar dan kuat, dapat pula menggulingkan kekuasaan Kublai Khan, asalkan kita mau membantunya. Di samping cita cita kenegaraan itu, kitapun harus akui bahwa musuh musuh besar kita seperti Thian te Kiam ong dan anak anak mereka, Sin pian Yap Thian Giok putera dari mendiang Jenderal Yap Bouw. dan gurunya, Mo bin Sin kun, merupakan lawan lawan yang tangguh. Oleh karena itu, untuk menghadapi mereka ini, kita harus bersatu dalam sebuah perhimpunan yang kokoh kuat."

   

Pedang Naga Kemala Eps 7 Pedang Naga Kemala Eps 15 Pedang Naga Kemala Eps 34

Cari Blog Ini