Ceritasilat Novel Online

Asmara Si Pedang Tumpul 12


Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 12




   "Benar, ayah. Memang aku yang menceritakan tentang keadaan Hwa-moi kepada Wan-toako dan minta bantuannya agar dia menghibur Hwa-moi dan mengatakan bahwa dia tidak membencinya, melainkan menyayangnya."

   "Hemm, Sin Wan, lanjutkan keteranganmu," kata Bhok Cun Ki kepada Sin Wan.

   "Setelah tiba di taman, saya melihat adik Ci Hwa duduk seorang diri dan memang kelihatan berduka sekali. Saya lalu mendekatinya, duduk di bangku dan mengatakan bahwa saya sayang kepadanya dan agar ia tidak berduka. Mendengar pengakuan saya itu, adik Ci Hwa menangis dan merangkul saya, menangis di dada saya dan mengatakan bahwa ia mencinta saya. Pada saat itu saya sudah menyadari akan adanya kesalah-pahaman, paman. Akan tetapi apa yang harus saya lakukan? Terus terang mengatakan bahwa saya tidak mencintanya? Tentu hal itu akan merupakan pukulan hebat kepadanya dan saya tidak tega melakukannya. Saya menyayangnya sebagai seorang kakak terhadap adiknya, paman. Dan pada saat itu Lili muncul! Karena keadaan menjadi gawat, maka saya lalu berterus terang bahwa saya tidak mencinta adik Ci Hwa seperti yang mereka sangka, tidak mencinta sebagai seorang pria kepada seorang wanita melainkan, hanya kesayangan seorang kakak kepada adiknya. Lili marah dan selanjutnya, paman melihat dan mendengar sendiri. Saya memang bersalah tidak berani berterus terang sehingga terjadi kesalahpahaman yang menyakiti hati adik Ci Hwa. Maafkan saya."

   Melihat gawatnya persoalan itu, Bhok Cun Ki menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, hal ini menyangkut kebahagiaan dan kehormatan diri puterinya, maka dia lalu berkata,

   "Mari kita semua masuk ke rumah dan membicarakan urusan penting ini di dalam saja."

   Kedua orang isterinya juga maklum akan pentingnya urusan itu, maka mereka mengangguk dan semua orang meninggalkan taman, memasuki rumah tanpa mengeluarkan suara, hanya masih terdengar isak tertahan dari Ci Hwa yang dirangkul dan digandeng ibunya memasuki rumah. Sin Wan yang berjalan paling belakang, merasa seperti seorang pesakitan masuk ke dalam ruangan sidang pengadilan yang akan mengadilinya.

   Mereka duduk di ruangan dalam dan tidak ada seorangpun pelayan yang diperbolehkan masuk. Sin Wan duduk di sudut, dihadapi oleh seluruh keluarga itu. Dia bersikap tenang, dengan keyakinan bahwa dia tidak melakukan suatu kesalahan, tidak mempunyai niat untuk mengganggu siapa saja, dan urusan yang dihadapinya ini adalah suatu kesalahpahaman belaka.

   Begitu mereka duduk, Lili yang sejak tadi menahan perasaannya, perasaan bermacam-macam, ada kecewa, ada pula kemarahan, bukan karena ia melihat kenyataan pahit bahwa pemuda yang dicintanya ternyata mencinta gadis lain, akan tetapi juga karena kemudian pemuda itu menyatakan tidak menerima cinta kasih Ci Hwa.

   "Ayah, adik Ci Hwa mencinta Sin Wan dan diapun tidak pernah menolak cintanya. Oleh karena itu, aku menuntut agar mereka menjadi suami isteri. Kalau Sin Wan menolak, dia akan kuanggap sebagi musuhku!"

   "Aku sendiripun tidak akan menerima begitu saja kalau anakku Ci Hwa diperhina orang!" kata pula Cu Sui In.

   Ibu dan anak ini memandang kepada Sin Wan dengan sinar mata mencorong.

   Bhok Cun Ki mengangkat kedua tangan sebagai isyarat agar isteri dan puterinya itu berdiam diri. Kemudian dia memandang kepada Sin Wan dan suaranya terdengar tenang namun tegas.

   "Sin Wan, kami menyadari sepenuhnya bahwa peristiwa ini terjadi karena kesalah-pahaman di pihak anak kami Ci Hwa. Akan tetapi, engkaupun tidak bebas dari pada kesalahan karena sikapmu yang tidak berterus terang. Andaikata pada saat itu engkau berterus terang menyatakan isi hatimu yang sebenarnya kepada Ci Hwa, tentu tidak akan berlarut-larut kesalah-pahaman itu. Sekarang, semua telah terjadi dan engkaupun tentu maklum betapa akan kecewa dan malu hati kami semua kalau Ci Hwa tidak berjodoh denganmu. Oleh karena itu, kami harap kebijaksanaanmu agar suka menyetujui ikatan perjodohan antara engkau dan Ci Hwa."

   Sin Wan mengerutkan alisnya. Bayangan Lim Kui Siang, sumoinya itu, berkelebat di depan matanya. Selama hidupnya dia hanya mencinta seorang saja, yaitu Kui Siang dan sampai saat ini, walaupun Kui Siang telah berubah menjadi benci kepadanya, dia tidak mampu melupakan gadis itu. Memang dia tidak lagi mengharapkan untuk dapat berjodoh dengan Kui Siang mengingat betapa Kui Siang sudah memandangnya sebagai musuh, namun bagaimana mungkin dia dapat berjodoh dengan gadis lain kalau hal ini bertentangan dengan perasaan hatinya? Dia memang suka dan sayang kepada Ci Hwa, iba kepadanya, akan tetapi tidak ada perasaan cinta di dalam hatinya seperti perasaan cintanya terhadap Kui Siang.

   Dengan tulus Sin Wan kini memandang kepada mereka semua, seorang demi seorang, lalu berkata dengan suara lembut namun tegas dan sejujurnya.

   "Paman Bhok, bibi berdua, adik Ci Hwa, Ci Han dan Lili, saya mengerti bahwa terkadang pengakuan sejujurnya mendatangkan kepahitan dan ketidak-senangan. Akan tetapi sayapun yakin bahwa kebohongan, walaupun kadang menyenangkan, akan mendatangkan akibat yang jauh lebih buruk lagi. Apa yang baru saja terjadi antara saya dengan adik Ci Hwa, hanya merupakan suatu kesalah-pahaman belaka. Saya menyayang adik Ci Hwa sebagai seorang kakak terhadap adiknya, atau sebagai seorang sahabat yang ikut prihatin melihat sahabatnya berduka dan ingin menghiburnya, akan tetapi adik Ci Hwa salah sangka, mengira saya mencintainya sebagai seorang pria mencinta wanita. Setelah sekarang semua itu kita mengerti, dan saya sudah minta maaf kepada adik Ci Hwa dan kepada semua keluarga, mengapa ikatan perjodohan ini akan dipaksakan dan dilaksanakan juga? Kalau perjodohan seperti ini kelak mengalami kegagalan, bukankah kita semua pula yang akan menanggung derita? Paman, saya tidak ingin kelak mengecewakan dan menghancurkan perasaan hati adik Ci Hwa. Karena itu, dari pada kelak terpaksa mengkhianati cintanya dan menyusahkan hatinya, sebaiknya kalau dari sekarang saya menjauhkan diri. Saya terpaksa tidak dapat memenuhi permintaan paman untuk berjodoh dengan adik Ci Hwa."

   Mendengar ucapan ini, Ci Hwa terisak, lalu melepaskan rangkulan ibunya, dan iapun lari ke kamarnya sambil menangis. ibunya bangkit dan menyusulnya.

   "Bagus, kalau begitu, engkau harus menebus penghinaan ini dengan nyawamu!" bentak Lili dan iapun sudah menyerang Sin Wan dengan dahsyat.

   Sin Wan yang maklum bahwa kemarahan keluarga itu mungkin saja membuat mereka ingin membunuhnya, sudah siap waspada sejak tadi dan begitu Lili menyerangnya, diapun sudah meloncat ke belakang dan menghindarkan diri dari totokan maut yang dilakukan gadis itu.

   "Biar aku yang menghajarnya!" bentak Bi-coa Sianli Cu Sui ln. Nampak sinar hitam berkelebat ketika wanita itu mencabut Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam) dan menyerang Sin Wan. Juga Lili sudah mencabut Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih) dan siap mengeroyok Sin Wan.

   "Tahan! teriak Bhok Cun Ki yang sudah melompat ke depan menghadang isteri dan puterinya.

   "Simpan pedang kalian dan jangan serang dia. Kita tidak begitu rendah untuk memaksa seseorang yang tidak mau menjadi anggauta keluarga kita."

   Biarpun dengan alis berkerut, Cu Sui In menyimpan kembali pedangnya dan mengomel,

   "Akan tetapi dia telah menghina anak kita Ci Hwa!"

   Lili juga menyimpan pedangnya dan berkata tak puas,

   "Dia telah menghancurkan hati adik Ci Hwa dan membuatnya berduka."

   Bhok Cun Ki menghela napas panjang.

   "Semua itu kesalahan Ci Hwa sendiri. Siapa menyuruh ia mencinta seorang pria yang tidak membalas cintanya? Sudahlah, mungkin seorang pendekar besar yang memiliki kepandaian tinggi seperti dia, merasa terlalu tinggi untuk berjodoh dengan seorang gadis bodoh seperti Ci Hwa. Akan tetapi, aku tidak akan sudi memaksanya."

   Mendengar ucapan keluarga itu, dan melihat Ci Han duduk saja dengan muka pucat, Sin Wan menghela napas panjang dan memberi hormat kepada mereka, kemudian berkata kepada Bhok Cun Ki.

   "Paman Bhok, saya mengerti bahwa semua ucapan tadi hanya timbul dari hati yang kecewa. Saya telah mengecewakan keluarga paman, dan menyusahkan hati adik Ci Hwa. Karena itu, saya berpamit, paman. Sekarang juga saya akan meninggalkan rumah ini, dan banyak terima kasih saya ucapkan atas semua kebaikan paman dan keluarga paman yang telah melimpahkan kepada saya. Selamat tinggal."

   Sin Wan pergi ke kamarnya, mengemasi pakaiannya lalu pergi meninggalkan rumah itu.

   Ci Han, yang sejak tadi diam saja, diam-diam merasa menyesal sekali. Dialah yang menjadi biang-keladi, keluhnya dalam hati. Dia yang menyuruh Sin Wan menghibur adiknya, tidak disangkanya akan berakibat begini. Dia pun meninggalkan ruangan itu, disusul Lili yang juga pergi dari situ.

   Tinggal Bhok Cun Ki yang masih duduk dan berulang kali menghela napas panjang, ditemani Cu Sui ln.

   "Aihh, mengapa cinta selalu mendatangkan duka kepada manusia? Kita berdua menderita banyak kesengsaraan, terutama engkau, karena cinta. Sekarang anak kita, gadis yang masih bersih dari pada noda, terpaksa harus menderita pula karena cinta."

   "Akan tetapi, biar dahulu menderita, sekarang aku menemui kebahagiaan. Akan tetapi bagaimana dengan anak kita Ci Hwa? Hemm, kalau tidak kau larang, sudah kubunuh pemuda yang berani menolak cintanya itu!"

   Bhok Cun Ki tersenyum. Wanita yang sejak dahulu dicintanya ini, biarpun hidup sebagai puteri datuk dan selalu terbiasa dengan kekerasan, namun pada hakekatnya memiliki watak yang baik. Ia menganggap Ci Hwa sebagai puterinya sendiri.

   "Hemmmm, cinta......., apa sih sebenarnya cinta itu? Cinta membuat orang hari ini tertawa senang, besoknya menangis susah. Cinta mendatangkan cemburu, kemarahan, bahkan kebencian. Cinta, siapakah sebenarnya kamu dan apa sebenarnya perasaan yang selalu mempermainkan hati setiap orang manusia ini? Tidak perduli pria atau wanita, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, semua menjadi permainan cinta dan setiap orang pernah atau akan menderita karena cinta!"

   Ucapan Bhok Cun Ki yang seperti ditujukan kepada dirinya sendiri itu, membuat isterinya, Cu Sui In, ikut pula duduk termenung. Keduanya tenggelam ke dalam renungannya sendiri tentang cinta yang kalau diukur lebih dalam dari pada samudera dan lebih tinggi dari pada langit itu.

   Renungan tentang cinta dilakukan orang sepanjang masa, sejak jaman nenek moyang kita dahulu sampai kini. Namun, adakah manusia yang pernah menemukan jawabnya yang tepat. Banyak memang pendapat orang tentang cinta, akan tetapi apakah pendapat itu sudah dapat membuat kita mengenal cinta? Kalau mendatangkan cemburu yang disusul kebencian dan permusuhan, apakah itu cinta? Kalau mendatangkan kesenangan disusul kesusahan, apakah itu cinta? Ingin memiliki dan dimiliki sendiri, itukah cinta? Menjadi pembangkit, penyalur dan pemuasan berahi, itukah cinta? Membela dengan mempertaruhkan nyawa, membunuh atau dibunuh seperti dalam perang membela tanah air, itukah cinta? Mengorbankan diri untuk anak cucu, itukah cinta? Ataukah cinta mencakup kesemuanya? Apakah cinta merupakan kebalikan dari benci? Apakah benar bahwa cemburu menjadi kembangnya cinta?

   Kalau dilanjutkan, masih ada satu macam pertanyaan yang tak terjawab mengenai cinta. Bagaimana mungkin hati yang tidak pernah mengenal cinta, dapat mencari apa sebenarnya cinta itu? Hati akal pikiran ini hanya mampu menemukan sesuatu yang pernah dikenalnya, pernah dialaminya, dapat menemukan hal yang telah lalu.

   Yang mendatangkan cemburu, mendatangkan suka dan duka, mendatangkan kebencian dan permusuhan, yang memuaskan berahi, yang membelenggu dalam ikatan, jelas bukanlah CINTA, melainkan nafsu. Nafsu selalu menimbulkan keinginan untuk mendapatkan kesenangan dan menjauhi ketidak-senangan. Nafsu selalu mempermainkan manusia, mengombang-ambingkan manusia antara suka dan duka, puas dan kecewa.

   Nafsu membuat kita mencinta seseorang karena daya tarik yang khas, yang sesuai dengan keinginan nafsu. Kita mencinta orang karena kecantikannya atau ketampanannya, karena kekayaannya, kedudukannya, kepintarannya dan sebagainya. Kalau yang menjadi daya tarik itu sudah luntur, maka cinta kitapun ikut luntur karena ikatan itu mengendur. Cinta yang didorong nafsu membuat kita ingin memiliki sendiri yang kita cinta, baik itu berupa benda, binatang peliharaan, tanaman, atau orang. Kalau ini dilanggar, kita cemburu, kita marah, kita benci. Kalau kita berhasil memiliki, timbullah rangkaian yang mendatangkan penderitaan pula.

   Memiliki berarti menjaga dan kehilangan! Memiliki dapat menimbulkan kebosanan. Cantik dan indah hanya terasa sebelum didapatkan, atau paling banyak terasa untuk jangka waktu yang pendek saja. Sesudah itu, cantik dan indah mulai luntur kalau tidak membosankan malah. Betapa banyaknya pasangan yang cantik dan tampan cekcok atau bercerai. Betapa banyaknya pasangan yang kaya raya, tidak cocok dan menderita.

   Cinta yang kita puja-puja pada umumnya hanyalah permainan nafsu belaka. Cinta kita berpamrih seperti menjadi sifat nafsu, dan permainan nafsu tak dapat tiada menyeret kita ke dalam permainan suka duka, yang lebih banyak dukanya dari pada sukanya. Kita mencinta untuk mendapatkan sesuatu. Cinta kita merupakan cinta jual-beli dan setiap jual-beli selalu mendambakan keuntungan.

   Selama nafsu pamrih masih ada, cinta tidak akan ada. Kalau nafsu dan pamrih sudah tidak ada, apakah cinta akan ada? Tak dapat kita mengharapkan cinta, tidak dapat kita mengundang cinta. Cinta akan datang menghampiri kita seperti air suci mengisi cawan yang sudah kosong dan bersih!

   Di lembah Sungai Huang-ho, di luar kota Cin-an, nampak meriah. Suasananya seperti dalam pesta besar. Memang terdapat pesta besar di tempat itu. Bangunan mewah di tepi sungai yang menjadi tempat peristirahatan kaum bangsawan, dihias meriah. Apa yang terjadi di pagi hari itu? Pertemuan keluarga besar diadakan di tempat itu.

   Pangeran Chu Hui San, yaitu putera mahkota, mengundang adiknya, yaitu Raja Muda Yung Lo di Peking, untuk mengadakan pertemuan di tempat itu. Hal ini dilakukan Pangeran Mahkota Chu Hui San untuk menghormati adiknya yang sudah menjadi raja muda di Peking. Kota Cin-an terletak di antara kota raja Nan-king dan Peking. Agar tidak nampak saling merendahkan, maka tempat itu dipilih oleh Pangeran Chu Hui San untuk mengadakan pertemuan dengan Raja Muda Yung Lo. Untuk berkunjung ke kota itu, keduanya harus melakukan perjalanan yang hampir sama jauhnya. Raja Muda Yung Lo harus menyeberangi Huang-ho sebelum tiba di Cin-an, dan Pangeran Mahkota harus menyeberangi sungai Yang-ce ketika keluar dari kota raja menuju ke utara.

   Dengan alasan rindu dan ingin mengajak adiknya itu bercakap-cakap tentang kenegaraan, Pangeran Mahkota Chu Hui San mengundang Raja Muda Yung Lo. Dia melakukan hal ini atas bujukan dan nasihat Yauw Siaucai yang telah menjadi guru sastra puteranya, juga menjadi penasihatnya.

   "Hamba mendengar bahwa kekuasaan Raja Muda Yung Lo di Peking semakin besar dan kuat. Karena paduka yang diangkat menjadi pangeran mahkota maka kekuasaan Raja Muda Yung Lo itu kelak dapat merupakan ancaman bagi kedudukan paduka kalau paduka sudah menjadi kaisar. Oleh karena itu, perlu sekali paduka mendekatinya dan berbaik dengannya. Juga untuk sekedar menguji kesetiaannya dan mengukur kekuatannya." Demikian antara lain Yauw Siucai membujuk.

   "Akan tetapi, perjalanan itu amat jauh dan berbahaya," Pangeran Mahkota membantah.

   "Paduka dapat mengerahkan pasukan keamanan untuk mengawal. Bukankah terdapat jenderal-jenderal besar yang boleh dipercaya seperti jenderal besar Shu Ta atau kalau beliau sibuk dengan tugasnya, dapat paduka mengutus Jenderal Yauw Ti dengan pasukan pengawalnya yang kuat. Tentu saja paduka harus mendapatkan persetujuan Sribaginda Kaisar dan karena niat itu baik sekali, tentu beliau tidak akan keberatan."

   Akhirnya Pangeran Chu Hui San menurut dan seperti yang telah dikemukakan oleh Yauw Siucai, Kaisar memberi restu, dan penjagaan keamanan dan pengawalan diserahkan kepada Jenderal Yauw Ti yang sudah dipercaya sebagai wakil Jenderal Shu Ta yang sibuk dengan tugasnya.

   Demikianlah, pada pagi hari itu, rombongan Pangeran Mahkota tiba di Cin-an dan pada siang harinya, baru rombongan Raja Muda Yung Lo datang dari utara. Rombongan Raja Muda Yung Lo tidak besar, hanya dikawal pasukan yang tiga losin orang banyaknya. Akan tetapi dia ditemani seorang pengawal pribadi wanita yang cantik dan gagah perkasa, yang bukan lain adalah Lim Kui Siang!

   Seperti telah kita ketahui, Raja Muda Yung Lo yang merasa amat kagum dan berhutang budi kepada Lim Kui Siang, telah jatuh hati kepada gadis perkasa itu. Raja Muda Yung Lo yang berwatak keras dan jujur itu, dengan terang-terangan menyatakan cintanya dan ingin memperisteri Kui Siang. Melihat gadis itu bimbang mendengar pinangannya, dia memberi waktu sebulan kepadanya untuk memberi jawaban.

   Dalam waktu sebulan itu Kui Siang merasa tersiksa hatinya. Usianya sudah duapuluh tiga tahun dan bagi seorang gadis pada masa itu, usianya sudah lebih dari pada dewasa. Yang meminangnya adalah seorang raja muda yang hebat, yang ia kagumi.

   Andaikata tidak ada bayangan Sin Wan selalu menggodanya, kiranya tidak akan sukar untuk menerima pinangan Raja Muda Yung Lo itu, bahkan akan diterimanya dengan hati bersyukur dan berbahagia. Akan tetapi, di sana ada Sin Wan. Ia tidak dapat melupakan pemuda itu yang masih tetap dicintanya. Ia sudah berusaha melupakan Sin Wan, berusaha meyakinkan dirinya bahwa Sin Wan adalah anak tiri dan murid musuh besarnya.

   Mendiang Se Jit Kong, ayah tiri Sin Wan, telah menghancurkan keluarganya dengan membunuh ayahnya. Bagaimana mungkin ia berjodoh dengan anak tiri dan murid musuh itu? Namun, semua usahanya untuk melupakan Sin Wan sia-sia belaka dan akhirnya, setelah masa sebulan lewat, dengan terus terang Kui Siang menjawab kepada Raja Muda Yung Lo bahwa ia tidak, dapat menerima pinangannya karena ia sudah mencinta orang lain.

   Biarpun hatinya merasa kecewa sekali, namun dengan sikap yang tenang dan hati yang besar Raja Muda Yung Lo menerima kenyataan itu. Dia adalah seorang yang bijaksana, dan menomor duakan urusan pribadi di bawah urusan negara. Biarpun dia kecewa atas penolakan Kui Siang, namun dia tidak ingin kehilangan gadis perkasa ini sebagai pengawal pribadinya yang boleh diandalkan dan dapat dipercaya pula.

   "Aku dapat menghargai kejujuranmu, Kui Siang, dan penolakanmu ini bahkan membuat aku semakin kagum padamu. Engkau seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, dan tidak tertarik akan kemuliaan dan kedudukan. Engkau hebat sekali dan aku dapat menduga siapa pria yang telah menempati hatimu. Dia tentu Sin Wan, bukan?"

   Kui Siang menundukkan mukanya yang berubah kemerahan, akan tetapi ia membuat gerakan mengangguk. Setelah ketegangan hatinya mereda oleh sikap bijaksana raja muda itu, iapun berkata dengan hati terharu.

   "Yang Mulia, andaikata di dunia ini tidak ada dia dan hati hamba tidak lebih dahulu terikat oleh dia, maka pinangan paduka akan merupakan anugerah yang hamba terima dengan penuh kehormatan dan kebahagiaan. Harap paduka suka memaafkan hamba."

   "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kui Siang. Engkau memang telah melakukan pilihan hati yang amat tepat. Sin Wan adalah seorang pendekar yang budiman dan gagah perkasa. Akan tetapi di mana dia sekarang? Kenapa tidak menerima tawaranku yang kuberikan kepadanya agar bekerja di sini sehingga tidak berjauhan darimu?"

   Wajah Kui Siang berubah muram dan ini, Raja Muda Yung Lo yang berpengalaman itu dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang meretakkan hubungan antara gadis ini dengan kekasihnya.

   "Kui Siang, karena engkau tidak dapat menerima pinanganku, tidak dapat menjadi isteriku, biarlah engkau menjadi saudaraku atau sahabat baikku. Nah, ceritakanlah apa yang terjadi dan aku berjanji akan membantumu untuk memecahkan kesulitanmu."

   "Terima kasih, Yang Mulia. Memang kami berpisah,..... bukan kesalahannya, akan tetapi......."

   Melihat keraguan Kui Siang, Raja Muda Yung Lo semakin tertarik. Dia harus menolong Kui Siang dan Sin Wan, pikirnya, untuk membalas budi mereka.

   "Katakanlah, Kui Siang, apa yang telah terjadi dan mengapa kalian saling berpisah?"

   "Dia...... dia seorang Uighur......" Kui Siang berhenti lagi karena masih merasa ragu apakah ia akan menceritakan persoalan pribadinya kepada raja muda itu.

   Raja Muda Yung Lo tertawa.

   "Ha..ha..ha, kami sudah tahu akan hal itu, Kui Siang dan apa salahnya! Bangsa kita memiliki tanah air yang amat luas di mana tinggal ratusan juta orang dari ratusan macam suku bangsa. Kalau kita masih membeda-bedakan antara suku bangsa, ada yang merasa lebih tinggi derajatnya ada pula yang merasa lebih rendah, lalu bagaimana kita dapat menjadi suatu bangsa yang besar? Perbedaan antara suku hanya mendatangkan perpecahan dan tanpa adanya kesatuan dari seluruh rakyat dari pelbagai suku itu bagaimana mungkin negara kita akan menjadi besar dan kuat? Membedakan antara suku merupakan suatu kepicikan karena pada hakekatnya, semua manusia itu sama, dilahirkan sebagai bangsa apapun merupakan kehendak Tuan."

   "Bukan itu yang menjadi persoalan, Yang Mulia. Hamba sendiripun tidak membeda-bedakan keturunan atau suku. Akan tetapi..... ah, bagaimana mungkin hamba berjodoh dengan anak tiri dan murid seorang...... musuh besar yang membunuh ayah hamba?"

   Kini raja muda itu tertegun. Sungguh keterangan yang sama sekali tidak pernah dia duga.

   "Siapakah ayah tiri dan gurunya itu?"

   "Namanya Se Jit Kong........"

   "Ahh! Apakah Hwe-ciang-kwi (Iblis Tangan Api)?"

   "Benar, Yang Mulia."

   "Akan tetapi, bukankah katanya Sin Wan murid dari Sam-sian (Tiga Dewa) dan menjadi suhengmu (kakak seperguruanmu)?"

   "Itupun benar, Yang Mulia. Akan tetapi sejak kecil dia menjadi anak tiri Se Jit Kong dan baru-baru saja, setelah kami berada di sini, hamba tahu bahwa dia anak tiri dan murid musuh besar hamba. Oleh karena itu, hamba mengusirnya dan tidak mau lagi bertemu dengannya." Kui Siang menunduk dan wajahnya menjadi sedih.

   "Hemm, kurasa engkau keliru, Kui Siang. Dia hanya anak tiri, dan kejahatan yang dilakukan ayah tirinya itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Bukankah Sin Wan itu murid Sam-sian dan tidak pernah berbuat jahat seperti ayah tirinya?"

   "Hamba menyadari hal itu, akan tetapi....... ketika hamba mengetahui bahwa dia anak tiri mendiang Se Jit Kong, hamba merasa kecewa dan marah sehingga hamba mengusirnya dan memutuskan hubungan dengannya. Sekarang hamba menyadari bahwa hamba telah bersikap tidak adil kepadanya..........."

   "Jangan khawatir, Kui Siang. Tenang-tenang sajalah. Aku akan rnenyuruh orang mencari Sin Wan dan aku yang akan menjelaskan kepadanya dan mendamaikan kalian berdua. Aneh, dalam hati mencinta, akan tetapi diluarnya menyatakan benci dan bermusuhan."

   Demikianlah, Kui Siang tidak lagi didesak oleh Raja Muda Yung Lo yang sudah melepaskan keinginannya mempersunting gadis itu, bahkan menjanjikan untuk mendamaikan antara ia dan Sin Wan. Ketika Raja Muda Yung Lo menerima undangan dari Putera Mahkota yang menjadi kakaknya, tentu saja dia tidak dapat menolak. Bagaimanapun juga, kakaknya itu adalah putera mahkota, calon pengganti kaisar ayah mereka yang berarti calon junjungannya. Kalau pangeran Mahkota sudah mengalah dan datang ke Cin-an, berarti itu menaruh hormat. kepadanya.

   Ketika Kui Siang menyatakan kekhawatirannya, Raja Muda Yung Lo tersenyum.

   "Kami menerima undangan dari kakanda Pangeran Mahkota untuk mengadakan pertemuan di Cin-an. Kenapa engkau merasa khawatir, Kui Siang? Apakah engkau mencurigai Pangeran Mahkota?"

   "Tentu saja sama sekali tidak, Yang Mulia. Akan tetapi, kita mengetahui bahwa pihak Mongol selalu berdaya untuk merampas kembali kekuasaannya, maka mereka akan melakukan segala cara untuk mencelakakan keluarga Sribaginda Kaisar. Perjalanan ke Cin-an tidak dekat, maka hamba khawatir kalau-kalau kesempatan ini dipergunakan oleh pihak musuh untuk menghadang dan mencelakai paduka atau Pangeran Mahkota."

   "Jangan khawatir, Kui Siang. Aku bukan seorang yang mudah dijebak begitu saja oleh siapapun. Kita berangkat dengan pasukan pengawal dan engkau menjadi pengawal pribadiku. Kalau ada engkau di dekatku, siapa yang akan mampu menggangguku!" kata Raja Muda Yung Lo setengah berkelakar.

   Hati Kui Siang selalu penuh kekhawatiran dan ia melakukan penjagaan ketat, teliti dan waspada di sepanjang perjalanan karena ia menganggap bahwa pasukan pengawal tiga losin orang itu jauh dari pada cukup untuk menjamin keselamatan seorang raja muda, seperti Yung Lo.

   Akan tetapi ternyata tidak ada gangguan di sepanjang perjalanan, bahkan para pembesar setempat yang mendengar akan datangnya Raja Muda Yung Lo yang melakukan perjalanan ke selatan, mengadakan penyambutan di setiap kota dengan penuh penghormatan.

   Ketika rombongan Raja Muda Yung Lo tiba di luar kota Cin-an, di tempat peristirahatan dekat sungai Kuning itu, mereka disambut oleh Putera Mahkota sendiri dan Raja Muda Yung Lo saling berpelukan dengan kakaknya. Kemudian, dua orang bangsawan ini memasuki gedung yang disediakan untuk pertemuan itu. Raja Muda Yung Lo ditemani Kui Siang yang memimpin enam orang pengawal wanita sebagai anak buahnya. Tujuh orang gadis yang rata-rata cantik ini nampak gagah dan berwibawa sehingga Pangeran Mahkota Chu Hui San memandang dengan senyum menyeringai lalu berkata kepada adiknya.

   "Adinda Yung Lo, pasukan pengawal pribadimu sungguh hebat, cantik dan gagah!"

   Raja Muda Yung Lo hanya tersenyum saja dan diapun memperhatikan orang-orang yang mengawal kakaknya. Dia melihat Jenderal Yauw Ti yang tadi sudah cepat memberi hormat kepadanya secara militer. Tentu saja dia mengenal jenderal besar ini, yang merupakan orang kepercayaan dari ayahnya Sribaginda Kaisar dan merupakan orang yang berjasa dan menjadi pembantu Jenderal Shu Ta. Melihat hadirnya jenderal itu, hati Raja muda Yung Lo menjadi semakin tenang. Jenderal ini tentu membawa pasukan besar dan tentu saja keadaan menjadi aman.

   Di samping Jenderal Yauw Ti, yang menemani Pangeran Mahkota hanya ada seorang lagi saja, seorang pria muda berusia tigapuluh lima tahun yang tampan dan bersikap sopan dan halus gerak-geriknya, berpakaian seperti seorang sastrawan, bermata tajam dan nampaknya cerdik sekali. Raja Muda Yung Lo tidak mengenal pria itu, hanya dia merasa heran mengapa kakaknya tidak diiringkan pengawal pribadi melainkan seorang sastrawan!

   "Kakanda Pangeran, siapakah sastrawan ini?" tanyanya heran.

   "Ahh, engkau belum pernah mengenalnya? Dia memang belum lama menjadi penasihatku dan diapun menjadi guru keponakanmu Chu Hong. Dia kami sebut Yauw Siucai."

   Yauw Siucai cepat memberi hormat dengan menekuk sebelah lutut kepada Raja Muda Yung Lo, yang diterima dengan sikap anggun oleh bangsawan itu. Akan tetapi selanjutnya, Raja Muda Yung Lo tidak lagi menaruh perhatian kepada sastrawan itu. Sebaliknya, sejak mengikuti raja muda itu dan melihat sastrawan itu, diam-diam Kui Siang amat memperhatikannya. Biarpun pakaiannya seperti sastrawan, namun ada sesuatu dalam sikap orang itu, terutama kilatan pandang matanya, yang membuat dia patut diawasi karena jelas bahwa, sastrawan ini bukan sembarang orang.

   Pertemuan dua orang saudara keluarga Kaisar ini berlangsung meriah dan ketika mereka berdua bercakap-cakap di ruangan paling dalam, mereka tidak ingin dihadiri orang lain. Bahkan Kui Siang sendiri terpaksa harus berjaga di luar ruangan itu di mana ia melihat sastrawan yang disebut Yauw Siaucai itu berjalan mondar-mandir dengan tenang dan mengipasi tubuhnya dengan kipas putih yang besar. Juga Jenderal Yauw Ti hanya mengatur anak buahnya melakukan penjagaan ketat di luar gedung dan di sekitar tempat pertemuan itu.

   Dua orang pangeran yang bercakap-cakap itu saling menceritakan keadaan masing-masing, juga keadaan di utara dan di selatan. Dengan sejujurnya Raja Muda Yung Lo mendukung kakaknya yang menjadi pangeran mahkota itu, dan menyatakan bahwa kelak kalau kakaknya menjadi kaisar, dia akan mendukung kekuasaan kakaknya itu di wilayah utara. Akan tetapi dengan jujur pula dia mengatakan bahwa dia mendengar desas-desus tentang pangeran mahkota itu yang dikabarkan hanya mengejar kesenangan. Mendengar teguran halus adiknya ini, Putera Mahkota tertawa.

   "Ha..ha..ha, berita yang kaudengar itu berlebihan, adinda Yung Lo. Selagi kita muda, apa salahnya kalau kita bersenang-senang? Sudah menjadi hak setiap orang, apalagi kita para pangeran, untuk bersenang dan menikmati hidup, bukan?"

   "Memang benar, kakanda pangeran. Akan tetapi, kakanda adalah seorang pangeran mahkota yang kelak akan menggantikan ayahanda Kaisar, menjadi kaisar yang mempunyai tugas berat memimpin seluruh rakyat dan negara. Sudah semestinya kalau mulai sekarang kakanda pangeran memperhatikan dan mempelajari soal pemerintahan agar kelak kalau tiba saatnya, kakanda akan dapat mengemudikan pemerintahan dengan sebaik mungkin."

   "Hemm, adinda Yung Lo. Tidak usah kaunasihatipun, aku sudah mengerti. Kalau seorang kaisar harus pusing sendiri memikirkan semua tugas itu, lalu apa gunanya kaisar memiliki penasihat dalam segala urusan? Sekarangpun, aku telah memiliki seorang penasihat yang bijaksana dan pandai. Kelak, kalau aku sudah menjadi kaisar, tentu akan kumiliki penasihat-penasihat yang pandai, baik dalam urusan pemerintahan urusan keamanan dan sebagainya. Jangan khawatir, adinda. Bukankah engkau sendiri juga sudah merupakan seorang di antara para calon penasihatku kalau kelak aku sudah menjadi kaisar?"

   Biarpun di dalam hatinya merasa tidak puas dengan sikap kakaknya itu, namun Raja Muda Yung Lo tidak berani mendesak atau menegur terlalu keras, karena bagaimanapun juga, kakaknya itu adalah seorang atasan baginya.

   Setelah bercakap-cakap, maka seperti telah direncanakan, Pangeran Mahkota mengadakan pesta perjamuan yang meriah untuk adiknya dan dengan royal Pangeran itu makan minum sambil menonton para penyanyi pilihan dan penari yang cantik-cantik menghibur mereka.

   Raja Muda Yung Lo yang tidak begitu suka berpesta pora dan bersenang-senang, sekali ini terpaksa menuruti kehendak kakaknya. Dalam perjamuan ini, Lim Kui Siang diperbolehkan ikut serta, disamping Yauw Siucai. Namun Jenderal Yauw Ti menolak hadir dengan alasan bahwa dia harus mengatur penjagaan keamanan di luar dan di dalam gedung.

   Di luar gedung itu, ketika dua orang bangsawan itu sedang pesta pora, terjadi hal lain yang amat menarik hati. Sesosok bayangan berkelebat dan melakukan pengintaian dan penyelidikan, menyusup di antara penonton dan dengan hati-hati dia meneliti keadaan. Bayangan ini bukan lain adalah Sin Wan! Bagaimana pemuda ini dapat berada di tempat itu?

   Seperti kita ketahui, Sin Wan meninggalkan rumah keluarga Bhok. Karena kini tidak mungkin lagi baginya untuk bekerja sama dengan Bhok Cun Ki setelah peristiwa dengan Bhok Ci Hwa, dia lalu bermalam di rumah penginapan dan baru pada keesokan harinya dia pergi menghadap Jenderal Shu Ta. Jenderal itu menerimanya dengan ramah dan ketika dia bertanya kepada Sin Wan akan maksud kunjungannya, pemuda itu mengatakan bahwa dia ingin bekerja sendiri, terlepas dari Bhok-ciangkun.

   "Bekerja sama dengan Bhok-ciangkun membuat saya tidak leluasa bergerak, karena pihak musuh tentu akan dapat mengikuti gerak gerik saya sebagai pembantu Bhok-ciangkun. Akan tetapi, dengan bekerja sendiri, saya merasa lebih bebas dan dapat bergerak lebih leluasa. Saya ingin sekali dapat membongkar rahasia Si Kedok Hitam yang amat lihai itu, karena saya yakin bahwa dialah pemimpin jaringan mata-mata Mongol yang bergerak di kota raja, thai-ciangkun."

   Jenderal Shu Ta mengangguk-angguk dan dapat menerima alasan itu.

   "Akan tetapi sebelum engkau melanjutkan penyelidikanmu di kota raja, kini kami ingin menyerahkan sebuah tugas yang teramat penting, tai-hiap."

   Jenderal besar itu lalu bercerita tentang undangan yang dilakukan Pangeran Mahkota untuk mengadakan pertemuan ramah tamah dengan Raja Muda Yung Lo yang akan diadakan di luar kota Cin-an. Dia menambahkan,

   "Biarpun Pangeran Mahkota sudah dikawal oleh Jenderal Yauw Ti atas permintaan beliau, dan Jenderal Yauw tentu saja memimpin pasukan pengawal yang cukup kuat, namun hatiku merasa tidak enak. Peristiwa ini terjadi diluar tahu Sribaginda Kaisar, dan kami ingin sekali mengetahui apa yang menjadi latar belakang pertemuan tingkat tinggi yang agaknya dirahasiakan itu. Nah, kami beri tugas kepadamu untuk pergi ke Cin-an dan melakukan penyelidikan rahasia ini, tai-hiap. Syukur kalau engkau dapat mengetahui apa yang dibicarakan dua orang putera Sribaginda Kaisar yang keduanya memiliki kedudukan penting itu, dan setidaknya, harap engkau ikut menjaga agar keselamatan kedua orang pangeran itu terjamin."

   Sin Wan menerima tugas itu dan dan maklum betapa pentingnya tugas yang diserahkan kepadanya, walaupun di anggapnya tidak terlalu gawat, karena bukankah Pangeran Mahkota telah dikawal oleh Jenderal Yauw Ti bersama pasukan pengawalnya yang kuat? Dan tentang Raja Muda Yung Lo..... tiba-tiba dia teringat dan menundukkan muka agar tidak nampak perubahan pada wajahnya oleh Jenderal Shu Ta.

   Begitu teringat kepada Raja Muda Yung Lo, tiba-tiba saja diapun teringat bahwa Lim Kui Siang tentu telah menjadi pengawal pribadi raja muda itu! Tentu pertemuan penting yang membuat raja muda itu melakukan perjalanan jauh ke selatan, akan disertai pula oleh Kui Siang! Besar kemungkinannya di Cin-an dia akan bertemu dengan Kui Siang!

   Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Ada perasaan gembira karena dia merasa amat rindu kepada sumoinya yang dia cinta itu, ada pula perasaan tegang dan khawatir akan sikap sumoinya terhadap dirinya ketika mereka akan saling berpisah. Sumoinya itu sudah membencinya dan menganggap dia sebagai musuh. Perasaan gembira kini bercampur perasaan sedih.

   Demikianlah, pada sore itu, ketika dua orang pangeran sedang mengadakan pesta dan cuaca di luar gedung sudah mulai remang-remang, Sin Wan yang baru tiba di Cin-an siang hari itu, segera mengadakan penelitian dan penyelidikan. Dia melihat betapa di sekitar kota Cin-an penuh dengan perajurit anak buah pasukan Jenderal Yauw Ti. Demikian pula di tempat pertemuan di luar kota, dekat sungai Kuning, berkeliaran perajurit pengawal, baik yang berpakaian seragam rnaupun yang berpakaian preman.

   Melihat penjagaan ini, tentu saja Sin Wan merasa lega dan dia boleh bersantai saja karena siapa yang akan berani mengganggu keselamatan kedua orang pangeran yang terjaga ketat itu? Kini tugasnya adalah menyelidiki apa gerangan arti pertemuan itu, dan terselip pula keinginan pribadinya untuk melihat apakah Kui Siang ikut pula mengawal Raja Muda Yung Lo. Kalau sumoinya itu benar berada di situ, ingin dia bertemu dengannya, atau setidaknya dapat melihatnya.

   Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Sin Wan untuk menyelinap tanpa menimbulkan kecurigaan sehingga dia dapat mendekati gedung di mana kedua orang pangeran itu mengadakan pesta atas pertemuan mereka. Dari luar gedung terdengar suara musik dan nyanyian. Bahkan bau arak yang keras dan anggur yang harum tercium dari luar. Sin Wan menghela napas panjang. Dua orang kakak beradik bangsawan itu sedang berpesta pora, bergembira atas pertemuan di antara mereka.
Dan untuk pesta itu, begitu banyak perajurit pasukan keamanan dikerahkan untuk menjaga keamanan mereka. Bahkan dia sendiri mendapat tugas khusus dari Jenderal Shu Ta untuk menyelidiki, juga ikut menjamin keselamatan mereka. Nampaknya sungguh ganjil. Siapa sih yang begitu gila untuk berani mencoba melakukan gangguan terhadap kedua orang pangeran itu?

   Tiba-tiba Sin Wan bergerak cepat, menyusup ke bawah pohon dan bersembunyi di balik semak yang tumbuh di belakang gedung itu karena dia melihat bayangan berkelebat cepat dari arah kiri. Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa bayangan itu adalah tokoh yang selama ini menjadi perhatiannya dan di cari-carinya. Si Kedok Hitam!

   Mudah dikenal karena selain pakaian dan kedok hitamnya, juga tubuhnya yang tinggi besar dengan perut yang besar menggendut. Namun gerakannya amat ringan dan beberapa kali loncatan saja membuat tubuh yang tinggi besar itu berkelebatan dan lenyap ke arah barat, yaitu ke arah tepi sungai di mana terdapat sebuah hutan kecil. Sin Wan tadi sudah melakukan penyelidikan dan tahu bahwa di dalam hutan kecil itu terdapat pondok-pondok darurat yang dijadikan markas pasukan pengawal Pangeran Mahkota yang besar jumlahnya. Maka, diapun melakukan pengejaran.

   Dia melihat bayangan Si Kedok Hitam, sebaliknya, begitu dia tiba di hutan itu, dia dihadang oleh belasan orang perajurit keamanan dari kota raja. Mereka mengepungnya dengan senjata tajam di tangan, siap menyerangnya.

   "Tangkap mata-mata!"

   "Tangkap penjahat!"

   Teriakan-teriakan ini membuat Sin Wan maklum bahwa dia dalam bahaya, maka diapun cepat memperkenalkan diri.

   "Sobat sekalian, harap jangan salah sangka. Aku adalah Sin Wan, seorang penyelidik dari kota raja yang diutus oleh Jenderal Shu Ta!"

   Seorang perajurit berkumis tebal yang menjadi pemimpin mereka maju dan mencoba untuk mengamati wajah Sin Wan dalam cuaca yang mulai remang-remang.

   "Hemm, apa buktinya bahwa engkau utusan Jenderal Shu Ta?"

   
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sin Wan hanya membawa leng-ki, yaitu bendera kecil tanda sebagai utusan kaisar. Akan tetapi dia menganggap bahwa tidak sepantasnya kalau berhadapan dengan pasukan penjaga ini dia harus memperlihatkan benda berharga itu.

   "Jenderal Yauw Ti mengenalku, kalau kalian tidak percaya, boleh laporkan aku kepada beliau."

   Dia memang harus menghadap jenderal itu untuk memperingatkan bahwa dia melihat Kedok Hitam di tempat ini, yang berarti bahwa ada mata-mata musuh yang amat berbahaya hadir pula di tempat pertemuan antara kedua orang pangeran itu dan berarti bahaya mungkin mengancam diri mereka.

   Belasan orang perajurit itu ketika mendengar bahwa Sin Wan mengenal atasan mereka, tidak berani bersikap bengis lagi akan tetapi mereka tetap curiga dan mengawal pemuda itu dengan kepungan ketat untuk menghadapkannya kepada Jenderal Yauw Ti.

   Melihat banyaknya perajurit di hutan itu, diam-diam Sin Wan merasa heran. Untuk mengawal Putera Mahkota, kenapa dikerahkan pasukan yang sedikitnya ada seratus orang banyaknya? Bukankah di Cin-an sendiri juga terdapat pasukan keamanan? Sungguh Jenderal Yauw Ti agak berlebih-lebihan, pikirnya. Atau memang jenderal itu sudah mencium adanya niat jahat dari jaringan mata-mata? Sebetulnya, dia segan untuk bertemu dengan Jenderal Yauw Ti. Biarpun jenderal itu adalah wakil Jenderal Shu Ta dan merupakan orang kepercayaan kaisar, namun dalam dua kali pertemuan, jenderal itu selalu memperlihatkan sikap memusuhinya.

   Pertama, ketika dia memperkenalkan diri, Jenderal Yauw Ti sudah menghinanya sebagai seorang suku Uighur yang amat dibenci oleh jenderal itu karena dahulu pernah tertawan dan dimusuhi orang-orang Uighur. Kemudian dalam pertemuan kedua, jenderal itu bahkan menuduhnya menghina Putera Mahkota dan hendak menangkapnya. Dan kini terpaksa dia harus bertemu lagi dengan jenderal yang galak dan jujur itu. Benar saja seperti yang dia khawatirkan, begitu dia berhadapan dengan jenderal itu, Jenderal Yauw Ti memandang kepadanya dengan alis berkerut. Alisnya yang tebal bergerak naik turun, wajahnya yang galak itu nampak kemerahan dan tangannya yang berjari besar itu terkepal. Dia nampak marah sekali mendengar laporan kepala jaga bahwa pemuda ini nampak berkeliaran di dalam hutan dan mereka menangkapnya dan membawanya ke depan sang jenderal.

   "Hemm, sejak dahulu sudah kuduga. Engkau pastilah anggauta kelompok mata-mata musuh! Kalau tidak demikian, mau apa engkau berkeliaran di sini dan memata-matai pasukan kami?"

   "Maaf, tai-ciangkun. Saya bukan memata-matai pasukan pemerintah, sebaliknya saya membantu pemerintah karena saya berada di sini atas perintah Jenderal Shu Ta. Beliau yang mengutus saya untuk ikut membantu dan menjaga keamanan kedua orang pangeran yang sedang mengadakan pertemuan di sini."

   "Tidak mungkin! Aku sendiri yang memimpin pasukan Pangeran Mahkota, masa Jenderal Shu Ta masih mengutus engkau untuk menjaga keamanan beliau? Kami tidak percaya! Sin Wan, engkau seorang Uighur, kami tidak percaya dan tetap curiga kepadamu. Engkau harus kami tahan dulu, dan kelak akan kami hadapkan kepada Sribaginda Kaisar untuk membuktikan apakah benar engkau mendapat kepercayaan Beliau atau leng-ki yang kaubawa itu hanya palsu. Tangkap dia dan jebloskan ke dalam kamar tahanan!"

   "Jenderal Yauw Ti, apakah engkau akan menangkap seorang utusan Kaisar?" Sin Wan berseru sambil mengeluarkan leng-ki. Akan tetapi jenderal yang tinggi besar dan galak itu kini tidak
(Lanjut ke Jilid 13)
Asmara Si Pedang Tumpul (Seri ke 02 - Serial Si Pedang Tumpul)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
memperdulikannya.

   "Kami masih menghargaimu dan tidak langsung membunuhmu. Akan tetapi kalau engkau banyak tingkah, terpaksa kami akan membunuhmu. Masukkan dia ke dalam kamar tahanan, perlakukan sebagai tamu akan tetapi jaga ketat jangan sampai dia melarikan diri!"

   Sin Wan tidak diberi kesempatan untuk membantah lagi karena para perajurit sudah memegang kedua lengan dan pundaknya dari belakang dan mendorongnya keluar dari situ. Dia tidak memberontak, maklum bahwa kalau dia menggunakan kekerasan, dia akan berhadapan dengan puluhan orang perajurit dan tentu saja dia tidak ingin berkelahi melawan pasukan pemerintah. Hanya dia diam-diam merasa heran mengapa jenderal ini demikian membencinya. Apakah hanya karena dia seorang berbangsa Uighur, atau ada sebab lain?

   Untuk sementara ini, sebaiknya dia mengalah sambil melihat perkembangan selanjutnya. Dia hanya merasa penasaran karena tadi dia benar-benar melihat Si Kedok Hitam yang gendut itu memasuki hutan. Kenapa si gendut itu tidak tertangkap oleh penjaga, sebaliknya malah dia yang ditangkap? Apakah ada hubungan antara Si Kedok hitam dengan......? Ah, tidak mungkin sama sekali? Biarpun galak, keras dan mau menang sendiri, Jenderal Yauw Ti adalah wakil Jenderal Shu Ta dan dia merupakan seorang yang banyak jasanya bagi pemerintah, dan dipercaya pula oleh kaisar.

   Sin Wan didorong masuk ke dalam sebuah kamar yang kokoh. Agaknya markas darurat ini dibangun dengan lengkap, berikut tempat tahanan pula! Di luar kamar tahanan itu, selosin orang perajurit melakukan penjagaan ketat. Sin Wan tak mampu berbuat apa-apa, hanya duduk di atas lantai penjara itu.

   Kalau dia menggunakan kekerasan, sebetulnya tidaklah sukar untuk meloloskan diri sebelum terkepung, akan tetapi hal itu akan membuat dia menjadi pelarian dan dimusuhi pasukan pemerintah, bahkan tentu Jenderal Yauw Ti akan menjadi semakin curiga dan menganggap dia benar-benar mata-mata musuh! Untuk melarikan diri dan melapor kepada Jenderal Shu Ta, jarak dari situ ke Kota raja terlampau jauh. Tidak, dia harus bersabar dan mencari kesempatan melarikan diri tanpa menimbulkan perkelahian. Masih baik baginya bahwa pedangnya, yang dia sembunyikan di balik bajunya tidak dirampas, dan tak lama kemudian, seorang penjaga memasukkan makanan dan minuman melalui lubang di bahwa jendela beruji besi.

   Sin Wan makan dan minum sampai kenyang untuk menjaga kesegaran dan kekuatan tubuhnya karena dia menghadapi keadaan yang gawat, lalu duduk bersila di sudut kamar. Dia mengambil keputusan untuk keluar dari situ dan melarikan diri tanpa menimbulkan keributan.

   Tiba-tiba terdengar suara berdebukan di luar kamar tahanan itu. Dia cepat bangkit dan menghampiri jendela beruji untuk melihat keluar. Di bawah sinar penerangan lampu yang tergantung di luar, Sin Wan melihat betapa selosin orang yang tadinya berjaga di luar, kini telah roboh malang melintang. Agaknya mereka telah dirobohkan orang tanpa menimbulkan suara, entah dengan cara bagaimana. Selagi matanya mencari-cari, dia melihat bayangan berkelebat di luar kamar tahanan itu berdiri seorang yang mengenakan pakaian dan kedok serba hijau.

   "Akim!" Sin Wan berkata lirih.

   "Hemm, engkau masih ingat kepadaku?" Gadis berkedok itu berkata lirih seperti orang menegor atau mengejek.

   "Bagaimana mungkin melupakan engkau, Akim? Engkau telah menolongku, dua kali malah dengan sekarang!"

   "Sudah, jangan banyak cakap sekarang, mari kita lari!" kata gadis itu dan ia agaknya sudah merampas kunci dari kepala jaga, maka dengan mudah ia membuka pintu kamar tahanan tanpa harus menjebol dan menimbulkan banyak suara berisik. Inilah yang dikehendaki Sln Wan. Melarikan diri tanpa ribut-ribut agar dia tidak berkelahi dengan pasukan pemerintah.

   Bagaikan dua ekor kucing saja, Sin Wan dan gadis berkedok yang bukan lain adalah Akim, menyelinap keluar dari tempat tahanan itu, meloncat ke atas membuka atap genteng dan lolos melalui atap tanpa diketahui oleh para penjaga lain yang berada di luar tempat tahanan itu.

   Malam telah tiba dan cuaca di luar gelap sekali, hanya diterangi cahaya bintang yang lemah. Akan tetapi agaknya Akim sudah mengenal jalan.

   "Mari kau ikuti aku, kita pergi dari hutan ini," bisiknya.

   "Tapi, Akim......."

   "Ssshh..., bukan waktunya bicara. Nanti saja," bisik lagi gadis itu dan iapun menyelinap di antara pondok-pondok dan pohon-pohon, lalu keluar dari dalam hutan kecil itu diikuti oleh Sin Wan yang merasa kagum kepada gadis ini. Puteri datuk besar di pantai Lautan Timur ini memang hebat, pikirnya.

   Mirip Lili, akan tetapi biarpun sama anehnya, sama-sama penuh rahasia, kalau Lili wataknya keras dan galak, sebaliknya puteri datuk dari timur ini lebih halus.

   Ternyata Akim mengajak Sin Wan ke tepi Huang-ho dan tak lama kemudian mereka duduk di balik semak belukar yang penuh duri, duduk di atas rumput tebal di tepi sungai, terlindung dan tidak nampak dari daratan. Dari situ hanya nampak sungai yang amat luas itu seperti lautan.

   "Nah, Sekarang engkau boleh bicara, sambil menanti datangnya fajar, kata Akim yang sudah menanggalkan kedok hijaunya, kedok kain yang kini tergantung di lehernya. Ia duduk bersandar batu besar dan mereka saling pandang dalam cuaca remang-remang, hanya nampak garis bentuk wajah mereka saja.

   "Akan tetapi, aku yang akan bicara dan bertanya lebih dahulu. Kenapa kalau kita bertemu, engkau menjadi tawanan melulu?"

   Sin Wan tersenyum.

   "Aku selalu menjadi tawanan yang tak berdaya dan engkau yang menjadi bintang penolongku. Memang aneh, agaknya memang engkau ditakdirkan untuk selalu menjadi penolongku, menjadi dewi penyelamatku."

   "Hemm, jangan main-main, Sin Wan. Aku melihat perbedaan yang besar antara kedua peristiwa itu. Dahulu engkau dijebak dan ditawan orang berkedok hitam yang amat lihai itu, sedangkan sekarang ini, engkau ditawan seorang jenderal besar tanpa engkau melakukan perlawanan. Apa artinya semua ini? Kenapa engkau berada di sini dan kenapa pula engkau ditawan?"

   Sin Wan tidak dapat mengelak dan memang dia merasa tidak perlu berbohong kepada gadis ini. Baru dua kali dia bertemu dan berkenalan dengan AKim, akan tetapi puteri datuk timur ini agaknya memang dapat dipercaya sepenuhnya. Oleh karena itu, dengan berbisik diapun menceritakan dengan terus terang betapa dia menerima tugas dari Jenderal Shu Ta untuk menyelidiki pertemuan antara kedua pangeran itu dan juga membantu agar keamanan kedua orang pangeran penting itu terjamin.

   "Dan kautahu siapa yang kujumpai sore tadi?" Dia menutup ceritanya.

   "Aku melihat Si Kedok Hitam!"

   "Ehhh? Di sini?" Akim berseru heran.

   "Ya, di tempat pertemuan itu, aku membayanginya dan dia lenyap ketika menuju ke hutan itu. Karena aku mengira dia memasuki hutan, aku lalu mengejar ke dalam hutan dan aku bertemu dengan para perajurit anak buah Jenderal Yauw Ti yang menangkapku dan menghadapkan kepada jenderal itu. Jenderal Yauw Ti marah dan mencurigaiku, maka dia lalu menyuruh anak buahnya menahanku."

   "Dan engkau tidak melawan sama sekali?"

   "Tentu saja tidak mungkin aku memusuhi perajurit keamanan kerajaan. Sudah kuberitahukan kepadanya bahwa aku diutus Jenderal Shu Ta, akan tetapi dia tidak percaya dan memang dia membenciku."

   "Kenapa?"

   "Pernah dahulu dia ditawan oleh suku yang memusuhinya, yaitu suku Uighur, maka dia membenci suku bangsa itu, dan karena aku adalah orang, maka dia agaknya juga membenciku."

   "Hemm, kiranya engkau berbangsa Uighur?" tanya Akim.

   Sin Wan merasa perutnya panas, karena dia teringat akan sikap Kui Siang dan Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki yang menjauhinya karena dia seorang peranakan Uighur dan putera tiri Se Jit Kong.

   "Aku memang seorang peranakan Uighur, bukan pribumi asli. Lalu kenapa?"

   Mendengar ucapan yang nadanya ketus itu, Akim terbelalak, akan tetapi Sin Wan tidak dapat melihat mata yang terbelalak itu. Dia menunduk dan bersungut, siap mendengar yang paling buruk, mendengar bahwa gadis inipun akan berubah sikapnya mendengar dia seorang peranakan Uighur.

   Akan tetapi Akim tertawa, merdu akan tetapi lembut dan ditahan karena gadis inipun menjaga diri agar suaranya tidak terlalu nyaring sehingga akan terdengar orang lain.

   "Hi-hik, kenapa engkau marah-marah, Sin Wan? Engkau tidak senang menjadi seorang peranakan Uighur?"

   "Memang tidak enak, bukan tidak senang. Semua orang mencibirkan bibir dan menaikkan hidung mendengar aku seorang peranakan Uighur, bukan penduduk asli bangsa Han. Nah, kalau engkau tidak senang kepadaku, katakan saja, aku sudah terbiasa mendengar itu."

   Mendengar suara merajuk itu, Akim semakin geli.

   "Hi-hik, engkau lucu. Siapa yang tidak suka mendengar engkau peranakan asing? Aku sendiripun peranakan Jepang! Apa sih jeleknya peranakan? Apa sih salahnya? Kita dahulu tidak minta kepada Tuhan untuk dilahirkan sebagai peranakan, sebagai keturunan bangsa ini atau itu!"

   "Bagus, kalau engkau juga peranakan dan tidak membenciku, berarti aku mempunyai orang senasib. Tentu saja tidak semua orang membenci golongan seperti kita ini, akan tetapi ada saja yang beranggapan bahwa orang-orang seperti kita ini tidak asli, dan yang tidak asli itu apa lagi kalau bukan palsu?"

   "Aih, aihh...".. jangan merendahkan diri seperti itu, Sin Wan. Kukira hanya perasaanmu sendiri saja demikian, dan kalaupun benar ada yang mempunyai anggapan seperti yang kaukatakan itu, maka anggapan itu berada dalam pikiran orang-orang yang belum mengerti."

   "Sudahlah, tidak perlu kita bicara tentang hal-hal yang tidak mengenakkan hati kita itu. Apapun anggapan orang terhadap diriku, akan kubuktikan bahwa aku adalah orang yang berguna bagi negara dan bangsa Han karena aku dibesarkan sebagai orang Han, bahkan merasa asing dengan bangsa Uighur yang menurunkan diriku. Nah, sekarang engkau mendapat giliran menceritakan mengapa engkau juga berkeliaran di tempat ini, Akim? Dan..."".. haiiiii, baru aku ingat. Mengapa kalau aku bertemu Si Kedok Hitam, selalu muncul engkau Si Kedok Hijau?"

   "Apa? Ihh, sialan! Kaukira aku ini ekor Si Kedok Hitam?"

   "Maaf, Akim, aku hanya berkelakar. Nah, ceritakan bagaimana engkau dapat mengetahui aku berada dalam tahanan dan dapat membebaskan aku."

   "Jangan mengejek. Kalau engkau menghendaki, tentu engkau dapat nembebaskan diri dari sana. Sebetulnya, aku tidak mempunyai urusan denganmu, juga tidak mempunyai urusan dengan Pangeran Mahkota atau Raja Muda Yung Lo, atau dengan Si Kedok Hitam sekalipun. Aku tidak perduli semua itu. Aku kebetulan saja berada di sini, bahkan kebetulan saja ketika berada di kota raja. Aku membayangi dan mencari ayahku."

   "Hemm, dan engkau menemukan jejak ayahmu menuju ke sini?" Sin Wan bertanya dan merasa tertarik sekali.

   Akim menghela napas panjang.

   "Karena engkau sudah bicara jujur kepadaku, akupun akan bersikap jujur. Sebetulnya, aku membayangi ayahku karena khawatir kalau dia sampai terpikat oleh orang-orang Mongol. Ketahuilah, utusan orang-orang Mongol mendatangi ayah dan menawarkan kerja-sama dengan janji-janji muluk sehingga ayah tertarik. Dia pergi memenuhi undangan mereka bersama suhengku, Maniyoko."

   "Maniyoko......! Hemm, pernah aku bertemu dengan dia, bahkan bertanding melawan dia ketika terjadi perebutan kedudukan pemimpin besar para kai-pang. Dia lihai akan tetapi..." hemm...". curang dan kejam."

   "Aku tidak marah. Memang dia curang dan kejam, dan akupun tidak suka kepada suhengku itu. Nah, ayah bersama Maniyoko pergi memenuhi undangan orang-orang Mongol, maka aku atas desakan ibuku yang menentang sikap ayah itu menyusul untuk membujuk ayah dan bahkan menghalangi dia menjadi kaki tangan orang Mongol. Jejaknya menuju ke kota raja, bahkan menuju ke Cin-an, maka akupun mengejar ke sini. Ketika mendengar akan pertemuan antara kedua orang pangeran, aku merasa khawatir sekali.

   Siapa tahu orang-orang Mongol akan mencelakai kedua orang bangsawan itu, dan ibu sama sekali tidak ingin melihat ayah membantu pemberontakan, apa lagi pemberontakan itu dilakukan oleh bangsa Mongol yang hendak mendirikan kembali pemerintah penjajah. Aku lalu melakukan penyelidikan dan kebetulan melihat engkau dimasukkan tempat tahanan itu, maka aku lalu membebaskanmu."

   "Akan tetapi, bagaimana engkau dapat merobohkan belasan orang penjaga itu tanpa menimbulkan suara ribut sama sekali?"

   Gadis itu tersenyum dan menepuk-nepuk saku di balik bajunya.

   "Aku melihat mereka sedang minum arak. Aku berhasil menaburkan sedikit bubuk pembius dan begitu mereka minum lagi arak mereka, seorang demi seorang roboh tanpa mengeluarkan suara."

   Sin Wan tersenyum kagum dan merasa lega bahwa gadis itu tidak ganas, tidak melakukan pembunuhan semena-mena.

   "Engkau hebat, Akim, cerdik bukan main. Ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu. Ketika kita berdua menyaksikan pertandingan antara panglima Bhok Cun Ki dengan ibu dan anak itu, kenapa engkau tahu-tahu menghilang, pergi meninggalkan aku tanpa pamit?"

   Yang ditanya menundukkan mukanya dan sampai beberapa lama ia tidak menjawab.

   "Kenapa, Akim?" Sin Wan mengulang, penasaran.

   Didesak pertanyaan ulang itu, Akim mengangkat muka memandang, lalu menjawab dengan pertanyaan lain.

   "Sin Wan, apakah gadis yang hampir membunuh ayah kandungnya itu, yang menggunakan pedang sinar putih itu, apakah ia itu kekasihmu, tunangan atau calon isterimu?"

   

Pedang Sinar Emas Eps 29 Pedang Sinar Emas Eps 29 Si Pedang Tumpul Eps 11

Cari Blog Ini