Ceritasilat Novel Online

Si Pedang Tumpul 11


Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 11




   "Keparat!" serunya marah.

   "Di mana gadis sombong itu sekarang?"

   "Ia tadi pergi ke sana, pangcu," kata anak buahnya sambil menunjuk ke barat.

   "Aku harus mengejarnya!"

   Akan tetapi sebelum Siok-pangcu lari mengejar, tujuh orang yang tadi datang bersamanya sudah berada di dekatnya dan seorang pemuda berusia duapuluh enam tahun yang bertubuh pendek, berlengan panjang, pakaiannya mewah dan pesolek, tampan dan tersenyum-senyum, segera menyentuh lengannya.

   "Pangcu, ada aku di sini, kenapa pangcu hendak bersusah payah sendiri? Tinggallah saja di sini bersama suhu, aku yang akan menangkapkan gadis itu untukmu."

   Kakek yang datang bersama mereka, yang tubuhnya besar perutnya gendut sekali dan kepalanya botak, terkekeh.

   "Heh-heh, pangcu, apa yang dikatakan Maniyoko benar. Biarlah dia memperlihatkan jasanya yang pertama!"

   Kakek ini adalah seorang datuk yang amat terkenal di sepanjang pantai timur, bahkan di Lautan Pohai, karena dia adalah Tung-hai-liong (Naga Laut Timur) Ouwyang Cin. Kakek ini menjadi datuk para bajak laut dan semua golongan hitam di daerah pantai timur, bahkan terkenal sekali di kepulauan Jepang karena dia adalah seorang peranakan Jepang.

   Adapun pemuda tampan itu adalah Maniyoko, seorang pemuda Jepang yang menjadi muridnya. Senang hati Siok Cu mendengar kesanggupan tamunya itu. Setelah Maniyoko mendengar keterangan para anggauta Hwa I Kai-pang tentang ciri-ciri gadis pengacau itu, dia lalu mengajak lima orang anak buah ayahnya untuk melakukan pengejaran dengan cepat menuju ke barat.

   Lili sudah keluar dari pintu gerbang kota Lok-yang sebelah barat. Ia merasa puas. Besok pagi-pagi ia akan kembali ke Hwa I Kai-pang dan akan memaksa ketuanya agar menakluk kepada sucinya dan kelak memberi suara kepada sucinya untuk menjadi pemimpin besar para kai-pang! Akan jauh lebih mudah begitu, pikirnya bangga. Ia kini tiba di jalan raya dekat hutan yang sunyi, menuju ke perkumpulan Hek I Kai-pang yang berada di luar kota.

   Tiba-tiba ia mendengar seruan dari sebelah kiri, dari hutan di tepi jalan raya itu. Mula-mula ia tidak perduli, akan tetapi setelah ia dapat menangkap kata-kata yang diteriakkan suara itu, alisnya berkerut dan iapun menahan langkahnya.

   "Heii, perempuan sombong! Kalau memang engkau berani, masuklah ke sini agar kita dapat bertanding sampai seribu jurus tanpa ada orang lain yang mengganggunya! Kalau engkau takut, cepat berlutut dan menyerah untuk kubawa sebagai tawanan ke Hwa I Kai-pang!"

   "Jahanam busuk!" Lili sudah menjadi marah sekali, dan tanpa memperdulikan peraturan kehidupan dunia kang-ouw bahwa tantangan dari dalam hutan seperti itu dapat merupakan jebakan dan amat berbahaya dan tidak sepatutnya dilayani, ia sudah melompat ke kiri dan memasuki hutan itu.

   "Siapa takut kepadamu? Keparat, jangan lari kau!" teriaknya lagi.

   Ketika ia tiba di tempat terbuka, di situ telah menanti enam orang laki-laki, dipimpin oleh seorang pemuda yang tubuhnya pendek tegap dan wajah yang tampan itu tersenyum-senyum secara kurang ajar. Bentuk muka pemuda ini bundar seperti bulan, putih dan halus tanpa kumis jenggot, akan tetapi cambangnya tebal dan panjang, dari dekat telinga sampai ke dagu, kepala bagian depan sengaja dicukur botak sehingga nampak aneh, seperti seekor kepala burung yang ajaib.

   "Engkaukah yang bernama Tang Bwe Li, nona?" tanya pemuda itu, sedangkan lima orang lainnya yang bertubuh tegap berdiri diam saja di samping, namun sikap merekapum dalam keadaan siap siaga dan menanti perintah.

   "Kalau benar mengapa? Engkaukah yang berteriak-terlak menantangku tadi?"

   Pemuda itu tertawa.

   "Aku memang sengaja memancingmu masuk ke sini, nona. Kalau engkau takut, engkau boleh keluar lagi."

   Maniyoko memang seorang pemuda Jepang yang sudah banyak pengalamannya dan amat cerdik. Dia segera tahu apa kelemahan gadis jelita yang berdiri dengan gagahnya di depannya itu. Gadis ini memiliki kelemahan, yaitu tinggi hati sehingga kalau gadis ini ditantang dan dikatakan takut, biar dipancing dengan ancaman bahaya bagaimana besarpun tentu akan nekat!

   Sepasang mata Lili berapi-api.

   "Tutup mulut busukmu. Siapa takut!"

   "Heh..heh, memang aku tahu bahwa engkau tidak mengenal takut, nona. Karena itu, aku ingin sekali berkenalan. Namaku Maniyoko dan aku........"

   "Persetan dengan namamu! Kalau engkau yang menantangku tadi, bersiaplah untuk mampus. Aku tidak sudi berkenalan denganmu!" kata Lili dan iapun sudah mencabut pedangnya karena sekali ini ia marah sekali dan ia harus membunuh orang yang tadi menghina, dan menantangnya.

   Begitu mencabut pedangnya, Lili berseru.

   "Cepat keluarkan senjatamu dan bersiaplah untuk mati!"

   Pemuda Jepang itu terkejut melihat pedang yang mengeluarkan sinar putih, berwarna putih seperti perak, akan tetapi begitu tercabut mengeluarkan bau harum yang amat aneh itu. Sebagai orang yang sudah banyak pengalaman dan lama berkecimpung dalam dunia persilatan, pemuda Jepang ini dapat menduga bahwa pedang itu tentu ampuh sekali dan mengandung racun. Maka, diapun memberi isyarat kepada lima orang anak buah ayahnya dan dia sendiri lalu mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya. Sebatang pedang panjang melengkung, pedang samurai yang amat tajam dan yang bergagang panjang sehingga gagang itu dapat dipegang dengan kedua tangannya.

   Sebetulnya, dengan kepandaiannya yang tinggi, Maniyoko memandang rendah kepada gadis itu. Akan tetapi melihat pedang di tangan Lili, dia terpaksa mencabut pedangnya karena maklum bahwa pedang beracun itu cukup berbahaya.

   "Nona manis, aku sudah siap. Mari kita bertaruh dalam pertandingan ini. Kalau engkau kalah, engkau akan menjadi mllikku dan harus menurut segala kehendakku, harus melayani aku dengan manis, heh-heh!"

   "Jahanam kau! Kalau engkau yang kalah, lehermu akan kupenggal!" teriak Lili dan iapun sudah menyerang dengan dahsyatnya. Pedangnya menjadi sinar putih menyambar dan mengeluarkan suara berdesing.

   Maniyoko terkejut den cepat menangkis dengan samurainya.

   "Traaggg ....!" Bunga api berpijar dan keduanya merasa betapa tangan mereka tergetar hebat. Keduanya cepat meloncat ke belakang dan memeriksa senjata masing-masing. Akan tetapi baik pedang maupun samurai itu tidak rusak dan keduanya saling pandang. Maniyoko baru tahu bahwa gadis itu benar-benar amat lihai, memiliki tenaga yang mampu menandinginya! Pada hal tadi dia menangkis dengan pengerahan tenaga untuk membuat pedang lawan patah atau terlepas. Siapa kira, tangannya sendiri tergetar hebat.

   Sebaliknya, Lili juga maklum bahwa lawannya tidak boleh disamakan dengan orang-orang Hwa I Kai-pang tadi. Ia menjadi semakin marah dan penasaran, lalu memutar pedangnya dan menyerang dengan ganasnya. Berbeda dengan sucinya yang mempunyai Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam), ia diberi Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih) oleh gurunya dan juga ilmu pedang yang amat dahsyat dan ganas. Seperti juga pedang sucinya, pedang di tangannya itu walaupun nampaknya putih bersih seperti perak, namun pedang itu telah direndam racun ular yang amat berbahaya. Sedikit saja tergores pedang itu, orang yang terluka sukar ditolong lagi nyawanya.

   Akan tetapi lawannya, Maniyoko adalah murid tersayang dari Tung-hai-liong Ouwyang Cin, seorang datuk yang kedudukannya setingkat dengan kedudukan datuk See-thian Coa-ong Cu Kiat. Tentu saja tingkat kepandaian pemuda Jepang itu juga sudah tinggi dan dia mampu mengimbangi permainan pedang Lili, bahkan membalas dengan tak kalah ganasnya dengan permainan samurainya yang aneh. Permainan samurai yang kadang-kadang dipegang kedua tangan itu bagaikan gelombang samudera, susul menyusul dan selalu menyambar lagi kalau serangan pertama gagal dan dielakkan lawan.

   Akan tetapi, Lili merasa girang bahwa pemuda Jepang itu dapat ia desak mundur sampai ke bawah pohon. Ia sama sekali tidak mengira bahwa pemuda itu memang sengaja memancingnya ke bawah pohon besar itu, dan pada saat Lili menyerang dengan dahsyat, tiba-tiba pemuda Jepang itu melempar tubuh ke belakang dan bergulingan.

   Pada saat itu, dari atas pohon meluncur sehelai jala yang lebar dan sebelum Lili maklum apa yang terjadi, tubuhnya telah ditimpa jala itu. Ia terkejut dan menggunakan pedangnya untuk membabat tali-temali jala yang melibat dirinya.

   Akan tetapi pada saat itu, Maniyoko telah melompat ke belakangnya dan sekali pemuda itu menggerakkan tubuh, Lili tidak mampu bertahan lagi dan roboh terkulai lemas. Hal ini dapat terjadi karena ia tadi sibuk meronta untuk melepaskan diri dari jala dengan sia-sia, karena ke empat ujung jala dipegang oleh anak buah Maniyoko. Mereka adalah bajak-bajak laut yang lihai dan ahli mempergunakan senjata jala itu.

   "Ha-ha-ha, nona manis. Engkau kalah dan engkau akan menjadi milikku!" kata pemuda Jepang itu dengan girang sambil menyolek dagu gadis itu dari luar jala. Lili hanya mampu memandang dengan mata penuh kebencian karena ia tidak mampu bergerak. Sambil tertawa gembira pemuda Jepang itu berkata kepada kawan-kawannya.

   "Biarkan ikan jelita ini di dalam jala dan kita bawa ke Hwa I Kai-pang. Siok-pangcu tentu akan girang sekali dan kalian akan menerima hadiah besar."

   Karena tadi ia meronta, pangkal lengan kiri dan punggungnya terkena besi kaitan yang dipasang di dalam jala sehingga kini terasa nyeri. Akan tetapi Lili menahan diri dan sama sekali tidak mau memperlihatkan penderitaan itu.

   Lima orang anak buah itu lain melibatkan jala di sekitar tubuhnya, membuat Lili sama sekali tidak mampu bergerak lagi. Andaikata totokan pada tubuhnya sudah lenyap pengaruhnyapun, sukar baginya untuk membebaskan diri dari jala yang melibat dirinya dengan kuatnya itu.

   Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat.

   "Enam orang laki-laki menghina seorang wanita, sungguh jahat sekali!"

   Lima orang anak buah Maniyoko segera menyerang bayangan itu yang ternyata seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap. Akan tetapi begitu pemuda itu menggerakkan kaki tangannya, lima orang itu terlempar ke belakang seperti disambar angin badai! Pemuda itu cepat membuka libatan jala, akan tetapi sebelum sempat membebaskan Lili dari totokan, Maniyoko telah menyerangnya dengan samurainya.

   "Singgg.......!!" Samurai itu meluncur dan mendesing nyaring ketika dielakkan oleh pemuda itu. Samurai yang luput dari sasaran itu membuat gerakan melengkung dan membalik, kini menyambar lagi sebagai serangan susulan yang lebih dahsyat dari pada yang pertama tadi.

   Kembali pemuda itu mengelak dengan gerakan cepat, lalu dari samping dia mendorong dengan kedua tangannya. Dari kedua telapak tangan itu mengepul uap putih dan angin yang dahsyat membuat Maniyoko hampir terjengkang! Pemuda Jepang ini mengeluarkan seruan kaget, meloncat ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan oleh si pemuda jangkung untuk menyambar tubuh Lili yang masih berada dalam jala berikut pedangnya, memanggul tubuh itu dan melarikan diri ke dalam hutan!

   Lima orang anak buahnya hendak mengejar akan tetapi Maniyoko segera menahan mereka.

   "Jangan kejar! Mari kita lapor kepada suhu!" katanya dengan hati gentar. Dari serangan kedua tangan yang mengeluarkan uap putlh itu saja dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang amat tangguh dan mengejar lawan selihai itu di dalam hutan sungguh amat berbahaya.

   Setelah berlari cepat bagaikan burung terbang saja sampai ke tengah hutan dan melihat bahwa tidak ada yang mengejarnya, pemuda itu berhenti berlari dan menurunkan tubuh yang dipanggulnya itu dengan hati-hati ke atas tanah berumput tebal. Dia lalu mengulurkan tangan menekan punggung dan pundak gadis itu dan seketika Lili merasa dirinya terbebas dari totokan. Ia marah sekali dan karena jala itu tidak ada yang memeganginya lagi, juga libatannya telah melonggar, ia menggerakkan pedang mengamuk dan jala itupun dicabik-cabiknya.

   "Auhhh ......!" ketika ia merenggut jala itu, besi kaitan mengait punggungnya dan menimbulkan rasa nyeri, menambah kenyerian luka di punggung dan pundaknya.

   "Engkau terluka, nona.......?" Pemuda itu bertanya dan menghampiri gadis yang kini jatuh terduduk itu.

   "Kaitan sialan ini mengait di punggung ..... aduhh .....!" Lili mengomel.

   "Diamlah dan jangan bergerak, nona. Biar kucabut kaitan itu Pemuda itu berlutut di belakang Lili. Akan tetapi setelah dia memeriksanya, ternyata besi kaitan itu menancap menembus pakaian dan kulit dan sukar mencabutnya karena tidak nampak. Dia lalu merobek baju di punggung itu agar dapat melihat besi kaitannya.

   "Breettt .......!"

   "Ihh! Apa yang kaulakukan itu, jahanam!" Lili membentak, hendak meloncat, akan tetapi terduduk kembali karena kaitan itu tidak memungkinkan ia untuk banyak bergerak.

   "Tenanglah, nona. Aku hanya ingin mengeluarkan besi kaitan itu dan tanpa merobek baju, sukar melakukannya karena kaitan itu tidak kelihatan." Pemuda itu mengerutkan alisnya. Betapa galaknya gadis ini, pikirnya.

   Dengan hati-hati dia lalu mengeluarkan besi kaitan itu dari daging dan kulit yang ditembusinya. Darah mengucur keluar dan pemuda itu melihat bahwa punggung itu menderita dua luka, sedangkan dipundak kiripun terluka.

   "Diam dulu, nona. Pundak dan punggungmu terluka. Tiga buah luka yang cukup dalam dan kalau tidak segera diobati, bisa berbahaya. Siapa tahu besi kaitan itu mengandung racun." Pemuda itu mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya, membukanya dan menaburkan bubuk putih pada tiga luka itu.

   Lili merasa betapa jari-jari tangan pemuda itu menyentuh kulitnya di punggung dan pundak dengan lembut dan mengingat betapa selama hidupnya belum pernah ada tangan pria yang menyentuh kulitnya, bulu tengkuknya meremang. Akan tetapi luka-luka yang tadi menimbulkan perasaan panas dan perih, kini terasa dingin dan nyerinya menghilang.

   Setelah pemuda itu selesai mengobati lukanya, Lili meloncat berdiri dan pemuda itupun bangkit berdiri. Pemuda itu kecelik kalau dia mengharapkan ucapan manis dan terima kasih dari Lili. Sebaliknya malah, gadis itu memandang kepadanya dengan alis berkerut, muka marah dan mata melotot, bahkan tangan yang memegang pedang itu gemetar, siap untuk membacok atau menusuk!

   "Kenapa engkau menyentuh pundak dan punggungku? Kenapa? Hayo katakan, kenapa engkau menyentuh pundak dan punggungku, keparat?"

   Pemuda itu tertegun, bengong dan sampai lama tidak mampu menjawab.

   "Hayo jawab, kenapa malah bengong seperti patung!" bentak Lili bertambah marah.

   "Ehh? Aku .....eh, aku .... hanya ingin menolongmu, nona ......." akhirnya dia berkata gagap dan bingung karena selama hidupnya baru sekarang dia berhadapan dengan seorang gadis yang begini galak.

   "Menolongku? Kenapa? Hayo jawab!" kembali Lili membentak marah.

   Kini pemuda itu sudah dapat mengatasi kekagetan dan keheranannya. Entah siapa orang tua dan guru gadis ini, pikirnya. Kenapa tidak mampu mendidik anak ini sehingga menjadi seperti itu, manis, galak, sesat, seenak perutnya sendiri, dan tidak tahu sopan santun ditambah tidak mengenal budi? Baru saja diselamatkan nyawanya, eh, bukannya berterima kasih bahkan memaki-maki dan membentak-bentak penolongnya!

   "Nona, engkau ..... engkau ini seorang manusiakah?"

   Lili terbelalak. Pertanyaan itu datangnya begitu mengejutkan, seperti serangan tusukan pedang yang tiba-tiba dan tidak disangka-sangkanya, membuat ia sejenak kehilangan keseimbangan dan salah tingkah. Kalau tadi ia memegang pedang dengan sikap mengancam, kini ia terlupa dan pedangnya ia pergunakan untuk bersandar seperti tongkat dengan ujungnya menekan tanah!

   "Apa .....? Apa maksudmu .....?" Ia berbalik tanya, bingung.

   "Kalau nona ini seorang manusia, kenapa begini aneh, baru saja diselamatkan orang, malah berbalik memaki-maki penolongnya? Kalau nona bukan manusia, tidak anehlah, hanya sungguh sayang. Nona begini muda dan cantik dan gagah, kelihatan baik budi, sayang kalau bukan manusia ........"

   Tiba-tiba wajah yang tadinya bengis itu berubah sama sekali. Kini nampak cerah, bahkan nampak gembira dan kalau tadi mulutnya mengandung senyum sinis mengejek, kini berubah menjadi senyum yang amat manis, membuat wajah itu seperti wajah kanak-kanak yang berhati bersih.

   "Benarkah ucapanmu itu? Benarkah aku cantik dan gagah? Benarkah.....?"

   Dalam ucapan ini terkandung harapan bahkan permohonan seperti seorang anak kecil yang mengharapkan sesuatu yang amat diinginkannya. Hal ini tidaklah mengherankan kalau diingat bahwa sejak kecil Lili telah hidup bersama orang-orang yang wataknya aneh, bahkan keras dan dapat dikata sesat seperti Bi-coa Sian-li Cu Sui In, kemudian ia menjadi murid pula dari seorang datuk aneh dan sesat seperti See-thian Coa-ong Cu Kiat. Dari kedua orang ini, tidak pernah ia merasakan cinta kasih yang sewajarnya, yang keluar dari hati dan perasaan yang murni. Bahkan lebih sering ia mendengar caci maki dan celaan yang menyakitkan hati.

   Kemudian, setelah ia remaja dan dewasa, kalau ada orang memuji kecantikannya, maka pujian itu selalu mengandung rayuan dan penjilatan, pujian penuh nafsu yang dapat ia rasakan dan yang membuat ia merasa jijik dan benci. Kini, untuk pertama kalinya selama hidupnya, ia bertemu seorang pemuda yang memuji atau mengatakan bahwa ia cantik dan gagah dengan cara yang lain sama sekali, bukan rayuan, bahkan bukan pujian sehingga terasa olehnya bahwa ucapan itu mengandung ketulusan hati. lnilah yang selama ini ia idam-idamkan, yaitu perhatian yang tulus dari seseorang!

   Pemuda itu kembali tertegun. Akan tetapi dia seorang yang jujur dan diapun mengangguk.

   "Tentu saja! Semua orangpun dapat melihat bahwa engkau seorang gadis yang masih muda, cantik dan gagah, memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tepat dan serasi sekali kalau semua keindahan itu dilengkapi dengan watak yang baik. Nona, aku tadi melihat engkau ditangkap secara curang oleh enam orang laki-laki itu yang tidak kukenal. Karena aku menganggap perbuatan mereka itu jahat, maka aku membantumu. Akan tetapi mereka itu ternyata lihai, apa lagi pemuda pendek itu. Maka, aku mengambil keputusan untuk membawamu lari agar kita dapat menyelamatkan diri dari pengeroyokan mereka. Akan tetapi, siapa, sangka, di sini engkau membalas perbuatanku untuk menolongmu itu dengan caci maki!"

   Sejenak Lili tidak menjawab, akan tetapi sinar matanya mencorong dan mengamati wajah pemuda itu penuh selidik. Sinar matanya yang tajam seolah-olah hendak menembus ke dalam dan menjenguk isi hati pemuda itu!

   Akan tetapi pemuda itu menentang pandang matanya dengan tenang.

   "Aku masih belum tahu apakah engkau memang seorang yang benar-benar jujur dan pantas menjadi sahabatku, apakah engkau tadi benar-benar menolongku tanpa pamrih, ataukah engkau hanya ingin pamer kepandaian untuk menarlk perhatianku agar aku suka kepadamu?"

   Ia berhenti sebentar, kemudian mengangkat pedangnya dan memegang pedang itu melintang di depan dada.

   "Kalau engkau palsu, keluarkan senjatamu karena aku ingin mengujimu sampai berapa tinggi kepandaianmu maka engkau memamerkan kepandaianmu kepadaku! Akan tetapi kalau engkau memang jujur, kau ...... kau maafkan sajalah sikapku tadi. Aku bukan tidak mengenal budi, hanya ..... ah belum pernah aku bertemu dengan orang yang tidak palsu hatinya, maka sukar bagiku untuk percaya kepada siapapun juga di dunia ini."

   Pemuda itu menarik napas panjang dan nampak terharu karena ucapan dan sikap gadis itu agaknya amat mengena pada perasaannya.

   "Engkau memang benar, nona. Dunia ini penuh kepalsuan sehingga aku sendiri hampir tidak pernah melihat kebenaran yang sejati. Mungkin aku sendiripun sama palsunya dengan yang lain. Kita sudah terseret kedalam pusaran kepalsuan dalam kehidupan manusia di dunia. Sudahlah, nona. Lebih baik aku pergi saja. Aku tidak mempunyai pamrih lain ketika membantumu, akan tetapi akupun tidak berani mengaku bahwa aku bukan orang yang palsu seperti orang-orang lain. Selamat tinggal!!"

   Pemuda itu membalikkan tubuh melangkah pergi. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu gadis itu telah meloncat dan melewatinya, menghadang di depannya dan tanpa banyak cakap lagi Lili sudah menyerangnya dengan pukulan ke arah dada. Cepat dan kuat sekali serangan itu!

   Pemuda itu mengelak dengan gesit, lalu meloncat ke belakang.

   "Heiiii ...! Kenapa pula engkau menyerangku?"

   Lili tertawa.

   "Hi..hik, aku hanya ingin mengajak engkau berlatih silat, sobat. Sambutlah ....!" Tanpa memberi waktu lagi kepada si pemuda untuk menjawab Lili sudah menyerang kalang kabut dengan kedua kaki tangannya, cepat dan aneh gerakannya karena ia yang ingin menguji kepandaian pemuda yang menarik hatinya itu telah mengeluarkan jurus-jurus simpanannya!

   Pemuda itu terheran-heran, akan tetapi juga timbul kegembiraannya. Dia seorang yang berilmu tinggi dan tentu saja merasa senang kalau mendapatkan kesempatan untuk berlatih dengan lawan yang pandai seperti gadis aneh itu. Maka, sambil mengelak atau menangkis, diapun membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya!

   Lili telah terluka. Biarpun luka-luka di punggung dan pundak itu telah diobati, akan tetapi begitu dipakai bergerak, terasa nyeri lagi, bahkan ia tidak mampu mengerahkan seluruh tenaganya, terhalang oleh perasaan nyeri. Akan tetapi Lili adalah seorang gadis yang keras hati dan yang tidak pernah mau memperlihatkan kelemahannya. Biarpun rasa nyeri menusuk-nusuk, ia tidak mau mengaku dan masih tetap mengerahkan seluruh tenaganya sambil menahan nyeri sampai seluruh tubuhnya berkeringat dan napasnya mulai memburu!

   Pemuda itu maklum akan hal ini dan tiba-tiba saja dia bergerak terlalu lambat ketika tangan kiri Lili mencengkeram ke arah dadanya. Akan tetapi begitu jari tangan gadis itu menyentuh dadanya, tangan itu tidak jadi mencengkeram, bahkan dibuka dan hanya telapak tangannya yang membentur dada pemuda itu.

   "Plakk .......!" Pemuda itu terhuyung kebelakang.

   "Nona lihai sekali, aku mengaku kalah," katanya.

   Tentu saja Lili bukan seorang gadis bodoh. Dalam hal ilmu silat, kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi sehingga ia dapat membedakan gerakan kalah atau mengalah. Dan ia tahu benar bahwa pemuda jangkung ini sengaja mengalah kepadanya, pada hal ia sudah hampir kehabisan napas!

   Ia tersenyum girang dan lega. Kalau pemuda itu tidak mengalah, tentu ia akan kalah dan hal ini akan menyakitkan perasaannya. Kekalahan merupakan hal yang ia anggap amat menyakitkan dan bahkan merendahkan! Dengan napas terengah Lili mengusap keringat dari leher dan dahinya, menggunakan sehelai saputangan merah muda, dan ia menatap wajah pemuda itu dengan senyum. Diam-diam ia merasa kagum.

   "Engkau lihai, aku suka padamu. Siapakah namamu?" tanyanya dengan terus terang dan sikap ini kembali membuat pemuda itu tertegun, akan tetapi juga kagum. Gadis ini amat terbuka dan jujur, tidak banyak dipengaruhi tata cara sopan santun yang biasanya hanya sebagai bedak penutup isi hati yang sebenarnya saja. Gadis seperti ini tidak akan menyimpan perasaannya sebagai rahasia, apa yang tercermin dalam sikap dan pada wajahnya menunjukkan keadaan perasaan hati yang sebenarnya. Tidak seperti orang awam yang demi sopan santun palsu, suka memperlihatkan sikap yang menjadi kebalikan dari keadaan hatinya.

   "Namaku Sin Wan, nona. Dan siapakah engkau?"

   Pemuda itu memang Sin Wan. Seperti kita ketahui, bersama Kui Siang dan kakek Bu Lee Ki, juga ketua dan wakil ketua Ang-kin Kai-pang, dia pergi ke Lok-yang untuk menemani Bu Lee Ki dalam usaha kakek itu untuk mempersatukan dan memimpin kembali para kai-pang.

   Setelah tiba di luar kota Lok-yang mereka berpencar seperti sudah direncanakan semula oleh kakek Bu Lee Ki. Dua orang pimpinan Ang-kin Kai-pang berpisah karena mereka akan langsung berkunjung kepada Hwa I Kai-pang dan menjadi tamu perkumpulan pengemis itu. Kakek Bu Lee Ki sendiri bersama Kui Siang memasuki kota Lok-yang sebagai tamu pesiar. Sin Wan sendiri diberi tugas oleh Bu Lee Ki untuk memasuki Lok-yang melalui pintu gerbang barat untuk melakukan penyelidikan terhadap Hek I Kai-pang.

   Demikianlah, ketika dia tiba di jalan raya dekat hutan yang sunyi, dia mendengar suara orang bertempur di dalam hutan. Perkelahian itu, tidak nampak dari jalan raya, akan tetapi karena dia memiliki pendengaran yang tajam terlatih, dia dapat menangkap suara mereka dan karena tertarik, dia lalu memasuki hutan itu dan melihat betapa seorang gadis sedang dalam bahaya, ditawan oleh enam orang menggunakan jala dan dia segera turun tangan menolongnya.

   "Nama Sin Wan tidak dikenal oleh Lili walau sebelas tahun yang lalu mereka sebagai anak-anak berusia sepuluh dan sembilan tahun, pernah berkelahi. Juga wajah dan keadaan mereka sudah berubah sama sekali, dari kanak-kanak menjadi dewasa, maka tentu lain tidak saling mengenal. Maka, dengan wajah masih dihias senyum manis Lili menjawab.

   "Namaku Tang Hwe Li, akan tetapi engkau boleh memanggil aku Lili saja, seperti semua orang yang akrab denganku."

   "Lili? Nama yang bagus."

   "Hemm, dan namamu amat jelek."

   "Hemm ...." Sin Wan tersenyum walaupun dia merasa heran akan kekasaran gadis ini.

   "Akan tetapi biar namamu jelek, engkau seorang yang amat baik dan aku suka padamu, Sin Wan. Aku belum pernah mempunyai seorang kawan yang baik, dan aku senang sekali mendapatkan seorang kawan seperti engkau. Aku ...... ahhh ........."

   Melihat gadis itu terkulai dan jatuh berduduk di atas rumput sambil menekan kepalanya dengan tangan kiri, Sin Wan terkejut dan diapun cepat berlutut di dekatnya.

   "Lili, kau kenapakah .......?" tanyanya khawatir.

   "Tidak apa-apa ........" Lili yang tidak pernah mau kelihatan lemah itu mengerahkan tenaganya dan ia mencoba untuk bangkit berdiri. Akan tetapi begitu ia berdiri, tubuhnya terkulai dan ia tentu sudah roboh kalau saja tidak cepat dirangkul Sin Wan.

   "Lili, engkau kenapa? Tubuhmu panas sekali ....!" Sin Wan yang merangkulnya terkejut karena gadis itu nampak pucat dan menderita nyeri, dan tubuhnya panas seperti terbakar. Dan Sin Wan merasa betapa tangan dan lengannya yang merangkul menjadi basah oleh keringat gadis itu.

   "Sin Wan, aku ...... aku ..... ahhhh.......

   " Gadis itu terkulai dan pingsan dalam rangkulan Sin Wan!

   "Lili, ah, kenapa kau?"

   Sin Wan cepat memondong tubuh itu dan membawanya ke tempat yang kering, di mana tanahnya tertutup daun-daun yang kering dan dengan hati-hati dia lalu merebahkan gadis itu di atas tanah. Setelah itu, dia melepaskan kancing dekat leher untuk melonggarkan dada gadis itu karena dia melihat napasnya terengah.

   Setelah itu, mulailah dia memeriksa denyut jantung melalui nadi dan pernapasannya. Pemuda ini telah mewarisi ilmu pengobatan mendiang Pek-mau-sian Thio Ki, seorang di antara Sam-sian. Setelah melakukan pemeriksaan sejenak, dia terkejut karena mendapat kenyataan bahwa gadis itu telah keracunan! Tahulah dia bahwa racun itu tentu masuk melalui tiga buah luka di punggung dan pundaknya tadi, Ternyata obatnya tidak cukup kuat untuk melawan racun itu dan kini ada hawa beracun menguasai gadis itu.

   Terpaksa dia mendorong tubuh gadis itu miring, merobek baju di punggung untuk memeriksa luka-lukanya. Dan benar saja, luka-luka itu nampak membiru, baik yang di pundak kiri maupun yang di punggung. Nampak betapa dua buah luka kecil di punggung itu nampak buruk sekali di permukaan punggung yang berkulit halus dan putih mulus. Dia tahu bahwa tanpa mengeluarkan racun itu dari luka-lukanya akan sukar mengobati Lili.

   Dia mendorong tubuh itu menelungkup dengan muka miring, merobek baju di punggung itu semakin lebar sehingga nampak semua permukaan punggung dan pundak, kemudian tanpa ragu-ragu lagi diapun membungkuk dan menempelkan mulutnya pada luka pertama! Dia mengerahkan sin-kang dan mulai mengisap, perlahan-lahan dan mengatur tenaga isapannya sampai mulutnya merasakan darah. Dia meludahkan darah yang diisapnya, dan seperti dugaannya, darah itu berwarna kehitaman!

   Setelah tiga kali mengisap, barulah yang terisap ke mulutnya darah merah dan dia menghentikannya, lalu menaburkan bubuk putih lagi kepada luka yang sudah bersih dari racun. Dilakukan isapan pada luka ke dua seperti tadi, kemudian pada luka di pundak sampai ke tiga luka itu bebas dari racun.

   Pernapasan gadis itu tidak seperti tadi walaupun tubuhnya masih terasa panas. Baru saja dia selesai mengisap luka dipundak, tiba-tiba gadis itu merintih dan bergerak. Sin Wan melepaskan mulutnya dan pada saat itu, Lili sudah bangkit duduk. Mata gadis itu mencorong dan kedua tangannya meraba punggung dan pundak yang terbuka karena baju di bagian punggung terbuka lebar.

   "Jahanam kau, Sin Wan! Kau ...... kau ...... berani ......." Tangan kiri Lili menyambar ke arah kepala Sin Wan dengan cengkeraman maut. Akan tetapi Sin Wan menangkap pergelangan tangan itu, lalu meludahkan darah terakhir tadi baru berkata.

   "Tenanglah, Lili. Aku mengobatimu, aku menyedot racun dari luka-luka, dan untuk itu, terpaksa aku membuka bajumu di punggung. Maaf, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawamu. Lihat itu ......." Sin Wan menunjuk ke tanah di mana nampak darah hitam yang diludahkannya tadi.

   Lili terbelalak dan kebingungan.

   "Jadi aku ...... keracunan .........?"

   Sin Wan mengangguk.

   "Benar. Racun itu jahat sekali sehingga pengobatanku pertama tadi gagal. Akan tetapi aku telah mengisap keluar semua racun dari tiga luka itu, dan kini hanya hawa beracun di tubuhmu yang harus kita bersihkan. Percayalah kepadaku, Lili. Aku hanya ingin menolongmu, bukan berniat kotor dan tidak sopan. Nah, duduklah bersila, aku akan membantumu mengusir hawa beracun dari tubuhmu."

   Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Lili mengangguk, tidak bicara lagi dan iapun duduk bersila, bahkan membiarkan saja punggung dan pundaknya yang terbuka. Sin Wan dengan hati-hati menaburkan obat bubuk putih di luka terakhir, yaitu di pundak, kemudian dia menutup kembali punggung dan pundak yang terbuka dengan mengikatkan ujung kedua baju yang tadi dia robek. Setelah itu, diapun duduk bersila di belakang gadis itu dan menempelkan kedua telapak tangannya di punggung yang kini sudah tertutup kembali, perlahan-lahan dia mengerahkan tenaganya, disalurkan dari pusar melalui kedua lengannya, membuat telapak tangan yang menampung tenaga itu tergetar.

   Lili duduk bersila dengan hati yang tidak karuan rasanya. Ada marah, ada malu, ada pula rasa girang, ada terharu sehingga kedua matanya menjadi basah! Sejak menjadi murid Bi-coa Sian-li sampai sekarang, ia tidak pernah menangis. Tangis merupakan pantangan baginya. Akan tetapi saat ini ingin ia menjerit-jerit menangis. Ketika perasaan itu ditahannya, matanya menjadi panas dan basah dan perlahan-lahan, beberapa tetes air mata jatuh ke atas kedua pipinya. Ia merasa betapa dari kedua telapak tangan pemuda yang menempel di punggungnya itu, keluar hawa yang hangat bergelombang memasuki dirinya.

   Ia tidak melawan dan pasrah saja, akan tetapi perlahan-lahan, ia merasa betapa hawa panas yang membakar di dalam dadanya, berangsur mengurang. Uap mengepul dari kepalanya dan tidak sampai sejam lamanya, kesehatannya telah pulih kembali, hawa panas itu menghilang dan ia merasa tubuhnya demikian nyaman, akan tetapi juga amat lemah.

   "Nah, engkau sudah sembuh sekarang, Lili," kata Sin Wan lirih sambil melepaskan kedua tangan yang menempel di punggung gadis itu. Akan tetapi karena lemah, dengan lemas Lili terkulai dan jatuh bersandar pada dada Sin Wan yang cepat merangkulnya

   "Eh, kenapa, Lili?"

   "Lemas sekali ..... Sin Wan, biarkan aku bersandar begini ...... biarkan ......." kata Lili dengan suara yang lemah dan lirih.

   Tentu saja Sin Wan membiarkan gadis itu duduk bersandar pada dadanya dan diapun merangkul dengan kedua lengan agar gadis itu tidak sampai terguling ke samping. Dia tahu bahwa akibat racun tadi, Lili yang sudah sembuh itu tinggal merasa lemas saja.

   Dan sekarang, setelah bahaya yang mengancam gadis itu lewat, baru dia merasa betapa lembut dan hangat tubuh yang bersandar di dadanya itu. Betapa halus dan harum rambut kepala itu, dan betapa cantik raut wajah yang kini bersandar miring di dadanya. Betapa indah dan lembut lengan yang dipeluknya.

   Sin Wan adalah seorang pemuda dewasa yang normal, maka wajarlah kalau dia merasa jantungnya berdebar penuh gairah. Namun, dengan kekuatan batinnya yang kokoh dia menekan perasaan yang timbul ini, perasaan alami seorang pria dengan keyakinan bahwa menuruti dorongan perasaan mesra itu amatlah berbahaya dan tidak baik, dan dapat membuatnya lupa dan melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya dia lakukan. Diapun memejamkan kedua matanya.

   Dia baru sadar dengan kaget ketika merasa betapa tubuh yang bersandar di dadanya itu terguncang perlahan dan ketika dia membuka mata dan menundukkan muka memandang, dia melihat betapa gadis itu menangis lirih! Tangis tanpa bunyi, akan tetapi jelas bahwa gadis itu menangis karena kedua pipinya basah dan pundaknya terguncang perlahan.

   "Lili, kau .... kau ...... menangis, ........?" tanyanya lirih, khawatir, dengan berbisik saja di dekat telinga gadis itu.

   "Siapa menangis?" jawaban itu mengandung bantahan dan cepat, akan tetapi segera disusul ucapan lirih dan lemas.

   "Biarkan aku .... Sin Wan, biarkan aku begini sebentar ......"

   Sin Wan diam saja dan gadis itu bersandar miring. Makin lama, pernapasan gadis itu makin halus dan panjang, dan akhirnya tahulah Sin Wan bahwa Lili telah tertidur di atas dadanya! Diapun merasa kasihan dan tidak ingin mengganggu, hanya merangkul agar gadis itu tidak terguling jatuh. Diam-diam dia merasa iba sekali. Gadis ini pasti mengalami kepahitan hidup, agaknya haus akan kelembutan, haus akan kasih sayang. Kasihan sekali gadis secantik ini, pikirnya dan diapun duduk bersila dengan kokoh seperti dalam samadhi, membiarkan dirinya kokoh kuat sebagai sandaran gadis yang pulas itu, sambil mendengarkan pernapasan yang panjang dan lembut.

   Sementara itu, matahari telah mulai condong ke barat, senja menjelang tiba. Sesosok bayangan yang gerakannya amat ringan memasuki hutan itu dan menyelinap di antara pohon dan semak. Akhirnya, bayangan itu berhenti di belakang pohon, mengintai ke arah Sin Wan yang duduk diam disandari gadis yang tidur pulas di dadanya. Ikatan rambut Lili terlepas dan rambutnya yang hitam panjang itu menyelimuti dada dan perut Sin Wan.

   Bayangan itu adalah Lim Kui Siang! Karena sampai lama Sin Wan tidak muncul di kota Lok-yang, ia menyatakan kekhawatirannya dan memberi tahu kakek Bu Lee Ki bahwa ia hendak mencari dan menjemput suhengnya itu melalui pintu gerbang barat. Bu Lee Ki yang maklum akan perasaan gadis itu terhadap Sin Wan, menyetujui dan memesan agar gadis itu pulang sebelum malam tiba.

   Kui Siang keluar dari pintu gerbang barat, akan tetapi tidak bertemu dengan Sin Wan. Hatinya merasa khawatir, apa lagi matahari mulai condong ke barat dan jalan raya itu sunyi. Ketika ia melihat sebuah hutan di kiri jalan, ia mengerutkan alisnya. Apakah yang telah terjadi dengan suhengnya? Ia merasa khawatir dan iapun melangkah memasuki hutan. Siapa tahu, suhengnya sedang menyelidiki sesuatu dan berada di dalam hutan ini.

   Akhirnya, setelah tiba di tengah hutan, ia melihat Sin Wan duduk bersila di atas tanah yang ditilami daun-daun kering, dan di depan pemuda itu nampak seorang gadis cantik sedang tidur pulas di atas pangkuan Sin Wan, dengan kepala miring bersandar di dada suhengnya. Mesra bukan main!

   Seketika Kui Siang merasa betapa seluruh tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil dan dadanya seperti akan meledak! Benarkah itu suhengnya? Akan tetapi kenapa? Siapa gadis itu? Bagaimana mungkin suhengnya melakukan hal seperti itu, bermesraan dan berpacaran dengan seorang gadis asing di tengah hutan?

   Setahunya, suhengnya bukankah pria macam itu! Bahkan terhadap dirinya sendiri sebagai su-moipun, suhengnya tak pernah bersikap terlalu mesra, tak pernah menyentuh sedikitpun, selalu menjaga jarak dan kesopanan. Akan tetapi sekarang, di tempat sepi ini, tahu-tahu suhengnya merangkul seorang gadis yang tidur pulas di atas pangkuannya, dengan kepala bersandar mesra di dadanya! Entah mengapa, Kui Siang ingin menjerit, ingin mengamuk, ingin membunuh gadis itu dan memaki suhengnya, ingin menangis! Sebelum ia tidak kuat lagi menahan semua dorongan amarah itu Ia cepat pergi dari situ, setelah sekali lagi memperhatikan dan yakin bahwa pemuda itu adalah Sin Wan, suhengnya!

   Kui Siang berlari cepat meninggalkan tengah hutan itu, akan tetapi setelah tiba di tepi hutan, tak jauh dari jalan raya akan tetapi tidak nampak dari sana, ia tidak dapat menahan lagi guncangan hatinya dan iapun menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon dan menangis sejadi-jadinya! Setelah banyak air mata mengalir keluar, baru agak ringan rasa hatinya, seolah semua beban yang menyesak dada tadi mendapatkan jalan keluar. Dengan mata masih merah dan muka basah, Kui Siang termenung. Kesadarannya menimbulkan pertanyaan yang membuat ia sendiri merasa sungkan dan heran. Kenapa ia menangis?

   Kenapa ia harus marah-marah dan merasa bersedih seperti itu? Sin Wan bermesraan dengan seorang gadis, walaupun hal itu baru baginya dan aneh, akan tetapi wajar sekali. Sin Wan seorang pemuda dewasa dan gadis itu cantik! Kenapa ia harus marah-marah dan bersedih?

   Kui Siang termangu-mangu. Biar pikirannya merasa heran dan penasaran mengapa ulah dirinya seperti ini, namun hatinya berbisik lirih, jelas sekali.

   "Aku cinta padanya ..... aku mencinta suheng, aku tidak ingin dia dimiliki wanita lain!"

   Menyadari kenyataan yang dibisikkan hatinya ini, Kui Siang bangkit dan mukanya menjadi kemerahan. Nampak jelas kini, ia sejak dahulu jatuh cinta kepada suhengnya. Bukan cinta seorang sumoi terhadap suhengnya, bukan cinta kanak-kanak karena sejak berusia sembilan tahun ia bergaul dengan Sin Wan, bukan pula cinta saudara, melainkan cinta seorang gadis dewasa terhadap seorang pemuda. Cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Dan ia dilanda cemburu!

   "Ihhh ......!" Ia mencela diri sendiri. Cemburu? Sin Wan hanya suhengnya, bukan apa-apanya, bukan pula kekasihnya. Inilah salahnya! Kalau saja mereka saling mengaku bahwa mereka saling mencinta, kalau Sin Wan tahu bahwa ia mencintainya, kiranya belum tentu Sin Wan mau bermesraan dengan gadis lain.

   Ada pendapat dan perbantahan dalam hati dan kepalanya ini membuat Kui Siang merasa pening dan iapun perlahan-lahan melangkah keluar menuju ke jalan raya. Kemudian seperti orang yang kehilangan semangat, iapun kembali ke rumah penginapan di mana ia dan Bu Lee Ki menyewa dua buah kamar. Dengan hati-hati agar tidak terdengar oleh Bu Lee Ki, ia memasuki kamarnya dan melempar tubuh ke atas pembaringan, menelungkup dan membenamkan mukanya pada bantal agar isaknya tidak sampai terdengar orang!

   Cuaca sudah mulai remang-remang. Sin Wan, mulai khawatir. Tidak mungkin dia mendiamkan saja Lili pulas di atas dadanya sampai cuaca menjadi gelap. Dia harus melaanjutkan perjalanan memasuki kota Lok-yang, mencari kakek Bu Lee Ki dan Kui Siang. Sudah cukup lama Lili tertidur, lebih dari satu jam. Perlahan dan lembut ia memegang pundak kanan gadis itu, pundak yang tidak terluka, mengguncangnya dan berbisik lirih.

   "Lili .....! Lili ..........., bangunlah ........."

   PERNAPASAN yang lembut itu berubah dan tubuh yang lembut hangat itu menggeliat perlahan. Lili membuka matanya dan agaknya ia terheran melihat dirinya duduk tertidur di dalam hutan yang cuacanya mulai remang. Ia melihat ke atas. Ketika ia melihat wajah Sin Wan yang menunduk dan memandang kepadanya, iapun teringat akan semua yang telah terjadi dan ia tersenyum! Ia tidak bangkit, bahkan membalikkan mukanya, dibenamkan ke dada yang bidang itu dan belum pernah selama hldupnya ia merasa begitu tenang tenteram penuh damai seperti seekor anak ayam berilndung di bawah selimutan sayap induknya!

   "Aihh ...., Sin Wan ...... aku ..... sudah lamakah aku tertidur?" bisiknya.

   "Ada sejam lebih. Malam hampir tiba dan kita harus segera keluar dari hutan ini, aku harus melanjutkan perjalanan ....." kata Sin Wan tanpa nada mengusir.

   "Sin Wan, aku tidak mau pergi ......" Lili malah merangkul leher.

   "Sin Wan, aku tidak sudi berpisah darimu, aku ingin kita terus berdampingan, tak terpisah lagi, ....... seperti ini ....."

   Sin Wan mengerutkan alisnya. Ini sudah keterlaluan namanya. Dia merasa kasihan sekali kepada Lili, akan tetapi kemanjaan yang berlebihan ini juga amat mengganggunya. Rasa iba membuat dia mengelus rambut kepala yang hitam panjang itu, seperti seorang kakak menghibur adiknya.

   "Lili, tidak mungkin begitu. Kenapa engkau seaneh ini?" Suaranya lembut tidak bernada teguran.

   Lili bangkit duduk, membalik dan kini mereka duduk berhadapan. Gadis itu memandang dengan sinar mata tajam dan nampak penasaran.

   "Kenapa aneh? Aku cinta padamu, Sin Wan! Ya, aku jatuh cinta padamu dan aku tidak ingin berpisah darimu!"

   Sin Wan terkejut bukan main, matanya membelalak. Bukan main gadis ini! Begitu saja menyatakan cinta, begitu terbuka, begitu jujur, begitu berani! Dia sendiri menjadi salah tingkah, mukanya menjadi merah sekali dan jantungnya berdebar.

   Lili menjulurkan kedua tangannya dan menangkap tangan pemuda itu. Jari-jarl tangan mereka saling genggam.

   "Sin Wan, aku cinta padamu dan engkaupun cinta padaku, bukan? Engkau telah menyelamatkan aku, engkau telah begitu baik kepadaku, engkau telah melihat punggung dan pundakku yang telanjang. Bahkan engkau telah mengalahkan aku dalam latihan tadi ........"

   "Aku yang kalah, Lili ........" kata Sin Wan karena tidak tahu harus berkata apa.

   "Tidak, engkau mengalah, kaukira aku tidak tahu? Engkau amat baik kepadaku, itu tandanya engkaupun cinta padaku!" Kedua tangan Lili menggenggam kuat-kuat.

   Sin Wan menghela napas panjang, tidak berusaha melepaskan kedua tangannya walaupun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia memang amat kagum kepada gadis ini, juga merasa kasihan, akan tetapi dua macam perasaan itu belum menjadi tanda bahwa dia jatuh cinta! Bagaimana mungkin cinta dapat ditentukan sedemikian cepatnya?

   "Lili, kita tidak boleh begini. Kita baru saja bertemu dan berkenalan, bagaimana mungkin kita bicara tentang cinta? Pula, aku harus menyelesaikan tugasku lebih dulu, dan aku melakukan perjalanan bersama locianpwe Pek-sim Lo-kai. Dia menantiku di dalam kota, aku harus cepat pergi ke sana."

   Sepasang mata yang indah itu melebar, penuh kagum.

   "Ah, Jadi engkau murid Pek-sim Lo-kai yang kabarnya amat lihai itu, Sin Wan? Pantas saja kepandaianmu hebat. Aku makin cinta padamu!"

   "Bukan, Lili. Locianpwe itu bukan guruku!" jawab Sin Wan cepat, semakin bingung karena gadis itu tiada hentinya mengaku cinta.

   "Bukan muridnya? Lalu, siapa gurumu Sin Wan?"

   Kalau saja Sin Wan tidak menjadi panik dan bingung, merasa disudutkan oleh pengakuan cinta yang bertubi dari gadis itu, tentu dia akan berhati-hati dan tidak sembarangan saja memperkenalkan nama guru-gurunya. Akan tetapi, dia sedang panik, apalagi kedua tangan gadis itu, terasa demikian hangat dan, penuh getaran aneh, membuat jantungnya semakin berdebar.

   "Guruku adalah Sam Sian ....." jawaban ini keluar begitu saja.

   Dia merasa betapa jari-jari tangan itu makin kuat menggenggam kedua tangannya, dan karena salah tingkah dia tidak berani menatap wajah Lili sehingga tidak melihat perubahan yang terjadi pada wajah gadis itu.

   "Tiga Dewa? Engkau murid Tiga Dewa ....?" Dan kini teringatlah Lili akan anak laki-laki yang pernah menghinanya sebelas tahun yang lalu! Bahkan setahun yang lalu, ketika ia dan sucinya menyerbu Pek-In-kok dan sucinya berhasil menewaskan dua di antara Tiga Dewa walaupun sucinya sendiri terluka, ia tidak berhasil mencari anak laki-laki yang dulu menghinanya itu. Dan kini teringatlah ia bahwa Dewa Arak pernah menyebutkan nama muridnya, Sin Wan? Mungkin, ia sudah lupa lagi.

   "Kau ..... kau ..... murid Sam Sian .....?" Bibirnya komat-kamit dan suaranya tidak jelas. Perasaannya terguncang, penuh kebimbangan, penuh penasaran dan kemarahan.

   "Lili, kau kenapa ......?" Sin Wan dengan khawatir memegang kedua pundak gadis itu karena tubuh itu menggigil. Akan tetapi pada saat itu, kedua tangan Lili bergerak dan sebelum Sin Wan tahu apa yang terjadi, dia sudah tertotok dan roboh terkulai, tak mampu bergerak lagi karena tubuhnya menjadi lemas!

   "Lili, kau .....?" Sin Wan berkata lemah, lebih heran dari pada penasaran. Gadis yang tadi mati-matian mengaku cinta, yang begitu lembut dan hangat membenamkan muka di dadanya, tiba-tiba menyerang dan merobohkannya dengan totokan!

   "Sin Wan, katakan, sejak kapan engkau menjadi murid Sam-sian?" Lili bertanya dan kini suaranya terdengar galak, lenyap semua kemanisan dan kemesraan dalam suaranya itu.

   "Kenapa? Sejak kecil ........"

   "Sebelas tahun yang lalu?"

   "Ya begitulah, kurang lebih."

   "Ketika Sam-sian mengantarkan pusaka-pusaka istana yang hilang, menggunakan sebuah kereta, engkau juga berada di kereta itu?"

   "Ya ...... ya ....." Sin Wan semakin heran. Bagaimana gadis ini mengetahui soal itu?

   "Bagus! Engkau kiranya kuda-sapi-kerbau-anjing itu?"

   Sin Wan terbelalak. Kata-kata dan sikap yang galak ini menggugah ingatannya. Seorang anak perempuan yang galak sekali, seperti setan! Anak perempuan yang mengambil pakaian dan merobek-robek pakaiannya ketika dia sedang mandi. Kemudian anak perempuan yang bersama gurunya hendak merampas pusaka istana dan berkelahi dengan dia, kemudian dia berhasil menangkapnya dan memukuli pinggulnya seperti seorang ayah menghajar anaknya yang nakal.

   "Lili, kau ....... kau ......."

   "Engkau seorang manusia yang kejam, jahat dan, kurang ajar!" Kini Lili memaki-maki dengan marah sekali.

   "Engkau pernah menghinaku habis-habisan, tahukah engkau? Dahulu pernah aku bersumpah untuk membalas penghinaan itu, ingatkah? Engkau memukuli pinggulku! Sampai sekarangpun masih terasa olehku! Hemm, engkau harus membayar berikut bunganya!"

   Sin Wan tidak bicara lagi. Dia tahu bahwa dia terjatuh ke tangan seorang gadis yang seperti iblis. Murid Bi-coa Sian-li yang telah menewaskan dua di antara tiga orang gurunya. Dia sudah tidak berdaya. Kematian di depan mata tanpa dia mampu melakukan perlawanan.

   Dan dia tidak mau membuka mulut karena dia tidak ingin mendengar suaranya sendiri minta dikasihani dan diampuni. Tidak, dia bukan seorang pengecut. Kalau memang Tuhan menghendaki dia mati di tangan gadis ini, tiada kekuatan atau kekuasaan di dunia ini mampu menyelamatkannya. Sebaliknya, kalau memang Tuhan tidak menghendaki dia mati sekarang, biarpun dia sudah berada di ambang maut, pasti akan terdapat jalan baginya untuk terhindar dari maut. Kalaupun dia harus mati, dia harus mati sebagai seekor harimau yang tidak pernah memperlihatkan kelemahan sedikitpun juga sampai mati, bukan seperti matinya seekor babi yang akan disembelih dan merengek-rengek minta hidup. Tuhan Maha Besar, Tuhan Maha Kuasa, dia hanya menyerahkan jiwa raganya kepada kekuasaan Tuhan.

   Kaki gadis itu mendorong dan tubuh Sin Wan terguling menelungkup. Kemudian terdengar gadis itu menghardik.

   "Engkau pernah memukuli pinggulku sampai sepuluh kali! Sekarang rasakan pembalasanku dengan pukulan seratus kali!" Setelah berkata demikian, tangan kiri Lili terayun dan sambil berjongkok ia menamparkan tangan kirinya ke arah pinggul Sin Wan bertubi-tubi.

   "Plak..plak..plak..plak....!!" Ia menampari sambil menghitung dengan tangan kirinya. Akan tetapi karena ia tidak bermaksud membunuh, hanya untuk menghajar dan membalas penghinaan melalui pemukulan pada pinggul, ia mengatur tenaga, tidak mempergunakan tenaga sakti, melainkan tenaga otot biasa. Karena itu, Sin Wan tidak menderita luka dalam, tulangnya tidak patah bahkan kulitnya tidak pecah. Namun karena dia sendiri tertotok dan tidak mampu mengerahkan tenaga, maka tamparan-tamparan itu terasa nyeri, panas dan perih.

   "Plak..plak..plak....!!" Belum sampai limapuluh kali, tangan kiri Lili sudah terasa panas dan lelah sekali sehingga pukulannya makin lama semakin lemah, ia menggantikannya dengan tangan kanan dan kembali tamparannya menjadi kuat.

   Tentu saja Sin Wan menderita nyeri. Panas dan pedih rasa kedua pinggulnya, akan tetapi, dia menerimanya dengan bibir terkatup kuat, tidak pernah dia mengeluh atau merintih.

   Hal inilah yang membuat Lili merasa penasaran. Kalau pemuda itu mengeluh, tentu hatinya akan terasa puas sekali. Akan tetapi, pemuda itu sama sekali tidak merintih seolah-olah semua pukulannya itu tidak terasa sama sekali. Pada hal kedua tangannya sudah panas dan lelah karena ia hanya mempergunakan tenaga otot. Belum sampai seratus kali, paling banyak baru tujuhpuluh kali, ia sudah menghentikan tamparannya!

   "Hemm, engkau bandel, ya? Engkau tidak minta ampun, tidak mengeluh, engkau merasa gagah, ya? Pembalasanku belum lunas, pukulanku belum ada seratus kali, sisanya akan ku lakukan dengan cara lain!" Ia melolos sabuknya yang panjang, membikin putus sebagian, kemudian ia menyeret tubuh Sin Wan ke sebatang pohon, memaksanya bangkit berdiri dengan menariknya, lalu ia mengikat Sin Wan pada batang pohon itu. Diikatnya kaki dan tangan pemuda itu ke belakang, bersandar pohon. Setelah selesai, ia memandang kepada Sin Wan dengan senyumnya yang khas, senyum sinis mengejek. Kemarahannya memuncak ketika ia melihat wajah pemuda itu tenang-tenang saja, bahkan pemuda itupun tersenyum, seperti seorang dewasa merasa geli melihat ulah yang nakal seorang kanak-kanak!

   "Aku akan meninggalkanmu di sini, biar engkau dimakan binatang buas di hutan ini! Nah, apa yang akan kaukatakan?"

   Sin Wan merasa nyeri sekali di pinggulnya piut-miut rasanya berdenyut-denyut seperti mau pecah, panas dan pedih menusuk jantung, dan tubuhnya masih lemas tak mampu bergerak karena totokan. Akan tetapi wajahnya tidak membayangkan semua penderitaan itu, dan dia bahkan tersenyum, senyum yang oleh Lili dianggap menantang dan menyakitkan hati. Kemudian, Sin Wan berkata dengan suara lirih dan lembut tanpa kemarahan.

   "Aku hanya ingin berkata bahwa sayang sekali engkau yang begini cantik dan gagah, yang berkepandaian tinggi, telah dibikin gila oleh dendam sehingga menjadi kejam seperti setan."

   Sepasang mata itu terbelalak dan tangan kanannya melayang.

   "Plakk !!" keras sekali telapak tangan itu menghantam pipi kiri Sin Wan sehingga kepala pemuda itu terdorong ke kanan dan seketika pipi itu menjadi merah membiru dan membengkak.

   "Kau maki aku seperti setan? Engkaulah yang setan, iblis, siluman! Kau .... kau ....., huh, aku benci padamu. Benciiii...!" Dan gadis itu mengeluarkan suara aneh, seperti tawa akan tetapi juga mirip tangis, atau suara antara keduanya itu.

   "Biar kau dimakan binatang buas!" Dan sekali melompat, gadis itu menghilang di antara pohon-pohon dalam cuaca yang mulai gelap itu.

   Sin Wan termenung, pipinya berdenyut deyut keras, nyerinya bisa mengalahkan rasa nyeri di pinggul. Betapa galaknya gadis itu dan dia membayangkan Lili. Aneh, yang terbayang olehnya bukan prilaku yang menyiksanya tadi. Terbayang olehnya ketika gadis itu tertidur pulas di dadanya! Yang terngiang di telinganya bukan caci makinya, melainkan ucapan gadis itu yang mengaku cinta padanya.

   Malam tiba. Sinar bulan yang menggantikan matahari tidak cukup kuat mengusir kegelapan malam, akan tetapi setidaknya mendatangkan cahaya menembus daun-daun pohon sehingga cuacanya tidak gelap benar, melainkan remang-remang. Dia belum mampu menggerakkan tubuhnya. Totokan Lili ternyata lihai sekali. Agaknya dia harus menanti satu dua jam lagi agar pengaruh totokan itu membuyar dan baru dia akan dapat mengerahkan tenaga untuk membikin putus tali sabuk yang mengikat kaki dan tangannya pada pohon. Sebelum dia mampu mengerahkan tenaga, dia tidak berdaya.

   Terdengar suara gerengan di sana-sini.

   "Harimau," pikir Sin Wan, atau sebangsa itu, binatang hutan yang liar! Kalau dia belum mampu menggunakan tenaga dan ada binatang buas datang, dia akan mati konyol! Dia akan menjadi mangsa binatang buas, kulit dagingnya akan digerogoti, dia akan dimakan hidup-hidup! Bukan main ngeri rasa hatinya membayangkan semua itu, akan tetapi perasaan ngeri dan takut itu segera lenyap seketika setelah dia teringat akan keyakinan hatinya terhadap kekuasaan Tuhan!

   Dia sebagai manusia hanya sekedar alat. Hidup dan matinya milik Tuhan! Kenapa harus takut? Dia menyerah penuh kesabaran, penuh ketawakalan, penuh keikhlasan! Kalau Tuhan menghendaki dia mati, setiap saatpun dia siap dengan hati yang rela dan ikhlas. Bukan berarti-putus asa! Penyerahan dengan ikhlas tidak berarti putus asa. Saat itu dia hidup dan selama dia masih hidup, dia akan menggunakan segala daya kemampuannya untuk bertahan hidup, untuk menjaga dan mempertahankan kehidupannya. Akan tetapi kalau Tuhan menghendaki dia mati, dia tidak akan menyesal karena penyerahan seikhlasnya berarti ikhlas untuk hidup dan ikhlas untuk mati, menyerah kepada kekuasaan Tuhan!

   Keyakinan dan penyerahannya ini mengusir semua rasa takut, bahwa Sin Wan dapat menghadapi keadaannya saat itu dengam senyum di bibir. Betapa amat menarik kehidupan dengan segala liku-likunya ini, dan dia sudah siap untuk menjadi saksi, mengikuti setiap pengalaman hidup sampai akhlr.

   

Pedang Sinar Emas Eps 25 Pedang Sinar Emas Eps 13 Pedang Sinar Emas Eps 36

Cari Blog Ini