Ceritasilat Novel Online

Asmara Si Pedang Tumpul 13


Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 13




   Tentu saja Sin Wan tertegun heran, sama sekali tidak mengira akan mendapat pertanyaan seperti itu. Dia menggeleng kepala dan menjawab singkat.

   "Bukan!"

   "Apakah engkau mencinta gadis itu?"

   Sin Wan semakin heran dan kembali menggeleng kepala.

   "Tidak, kenapa engkau bertanya demikian dan apa hubungannya dengan pertanyaanku kepadamu tadi?"

   "Dekat sekali hubungannya. Aku ketika itu melarikan diri tanpa pamit karena aku cemburu!"

   Sin Wan terbelalak, dan mulutnya ternganga saking kaget dan herannya.

   "Kau...".. cemburu? Kenapa cemburu..."...?"

   "Gadis itu bersikap demikian mesra kepadamu. Jelas sekali nampak bahwa ia mencintamu, Sin Wan. Aku.... aku mengira bahwa engkaupun cinta padanya.

   Sin Wan menjadi semakin heran. Sepasang matanya sampai menjadi bulat karena terbelalak.

   "Apa artinya ini? Aku menjadi bingung. Aku memang tidak mencinta Lili, akan tetapi andai kata aku mencinta juga, apa hubungannya denganmu? Dan kenapa pula engkau cemburu?"

   Gadis itu mengeluarkan suara dengus ejekan.

   "Huh, engkau ini laki-laki tolol. Aku tentu saja cemburu melihat sikap gadis itu begitu mesra kepadamu karena aku cinta padamu, Sin Wan!"

   Ini merupakan pukulan yang membuat Sin Wan seperti berubah menjadi patung. Dia duduk tegak, matanya terbelalak memandang gadis itu, sedikitpun tidak bergerak dan ketika hendak bicara, tidak ada kata-kata keluar dari mulutnya. Bukan main! Dahulu, ketika Lili dengan cara yang jujur dan terbuka menyatakan cinta kepadanya, dia mengira bahwa di dunia ini hanya ada seorang saja gadis seperti Lili. Akan tetapi sekarang, ada gadis lain yang mengaku cinta padanya dengan cara yang sama, begitu terus terang, terbuka dan tanpa pura-pura lagi.

   "Sin Wan, kenapa kau diam saja? Aku cinta padamu, dan bagaimana pendapatmu tentang ini?"

   "Aku...". aku..."" tapi...""""

   "Sin Wan, apakah engkau tidak suka kepadaku? Katakan terus terang, apakah engkau tidak suka padaku?"

   "Tentu saja, Akim. Aku kagum kepadamu, aku suka padamu tapi..."""

   "Sin Wan, itupun sudah cukup!" Akim berseru gembira dan gadis itu sudah mendekat lalu merangkul leher Sin Wan dan merebahkan mukanya di dada pemuda itu.

   "Asal engkau tidak membenciku, asal engkau suka kepadaku, maka cintaku tidak sia-sia dan....."

   "Akim, bagaimana sih engkau ini? Bagaimana begitu mudahnya engkau mengaku cinta, pada hal baru dua kali kita saling jumpa?"

   "Sin Wan, dalam perjumpaan kita yang pertama, sejak aku meniupkan napas ke dalam dadamu melalui mulutmu, sejak saat itulah aku telah jatuh cinta padamu. Karena itu, melihat Lili bersikap demikian mesra kepadamu, tentu saja aku merasa cemburu dan sakit hati, lalu aku pergi meninggalkanmu. Biarpun aku mencintamu, aku belum begitu rendah untuk merebut pacar orang. Maka aku tadi bertanya apakah engkau mencintanya, karena kalau engkau mencinta gadis lain, tentu aku tidak akan sudi mengganggumu. Engkau ternyata tidak mencinta Lili, ah, betapa lega dan gembira rasa hatiku sekarang!"

   Gadis itu merangkul semakin ketat dan seolah hendak membenamkan mukanya ke dada Sin Wan. Pemuda itu tentu saja menjadi bingung dan salah tingkah. Ingin dia menolak, akan tetapi hatinya merasa tidak tega. Dia maklum bahwa dia akan menghancurkan hati gadis ini kalau menolak begitu saja secara langsung. Tidak, dia harus bicara perlahan menyadarkan Akim bahwa cintanya itu tidak dapat dilanjutkan karena dia tidak dapat membalasnya. Akan tetapi karena merasa tidak tega, diapun membiarkan saja sejenak gadis itu melepaskan dan mencurahkan perasaannya melalui dekapan ketat itu.

   Kemudian, dengan lembut, dia melepaskan kedua lengan Akim yang merangkul lehernya, dan berbisik lirih,

   "Akim, tenanglah dan mari kita bicara dengan baik-baik. Jangan terlalu menuruti perasaan hatimu, Akim."

   Akan tetapi, betapa heran rasa hatinya ketika merasa betapa tubuh gadis itu lemas lunglai dan terkulai ketika dia melepaskan rangkulan kedua lengannya. Dengan hati-hati dia merangkul dan ternyata gadis itu telah tertidur! Entah apa yang terjadi dia tidak tahu. Mungkin gadis itu terlalu lelah dan karena pelepasan perasaannya, gadis itupun terkulai dan tertidur, mungkin dengan mimpi yang indah! Sin Wan tersenyum geli, lalu perlahan-lahan dia merebahkan gadis itu di atas rumput, kemudian dia melepaskan jubahnya dan menyelimuti tubuh yang rebah telentang dan tidur pulas itu.

   Bulan sepotong muncul dan kini cuaca tidaklah segelap tadi. Seberkas cahaya lembut bulan sepotong membantu cahaya bintang menimpa wajah Akim. Sin Wan yang duduk di dekatnya, dapat melihat wajah itu dengan cukup jelas. Wajah yang cantik memang. Kecantikan yang berlainan dengan kecantikan wajah Lili, atau wajah Bhok Ci Hwa. Akan tetapi tidak kalah manis dan menariknya. Wajah yang bentuknya bundar dengan kulit muka yang putih mulus sehingga nampak alis dan rambutnya yang hitam. Bibir yang mungil itu tersenyum, agak terbuka sehingga nampak kilatan gigi putih. Ouwyang Kim memang seorang gadis yang cantik menarik. Dan lebih dari itu, seperti juga Lili dan Ci Hwa, gadis ini mencintanya!

   Sin Wan menghela napas panjang karena perlahan-lahan, wajah Akim seperti berubah dan nampaklah wajah yang selalu terbayang baik dalam tidur maupun sadar, yaitu wajah Liem Kui Siang!

   "Sumoi...".!" Sin Wan menghela napas panjang. Cintanya hanya pada Kui Siang seorang. Andaikata di sana tidak ada Kui Siang yang telah menguasai seluruh ruang dalam dadanya, betapa akan mudahnya untuk membalas cinta gadis-gadis seperti Lili, Ci Hwa atau Akim ini!

   Sin Wan membiarkan bayangan Kui Siang memenuhi kepala dan dadanya, lalu diapun duduk bersamadhi untuk menenangkan hati dan memulihkan tenaga karena dia tahu bahwa mereka berdua masih belum bebas benar dari ancaman pengejaran pasukan keamanan. Apalagi dia masih harus menyelidiki tentang Si Kedok Hitam yang dilihatnya berkeliaran di sekitar Cin-an.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Akim sudah terbangun. Begitu ia membuka mulut, ia memanggil,

   "Sin Wan..."." walaupun matanya masih terpejam. Agaknya gadis itu semalam suntuk bermimpi tentang Sin Wan!

   "Selamat pagi, Akim," kata Sin Wan dan gadis itu membuka kedua matanya, memandang kepada pemuda itu dan tersenyum manis.

   "Aih, Sin Wan, lamakah aku tertidur? Wah, sudah pagi!" Gadis itu biarpun baru bangun tidur, nampak segar seperti setangkai bunga pagi yang bermandikan embun.

   "Di sana ada sumber air yang jernih, aku ke sana dulu!" Gadis itu menyelinap keluar dari balik semak belukar, tidak lupa membawa pedangnya dan topeng hijau masih tergantung di lehernya. Ia menoleh dan tersenyum manis.

   "Sin Wan, kau tunggu di sini sebentar, ya? Nanti setelah aku selesai, baru engkau ke sana membersihkan dan menyegarkan badan."

   "Kenapa kita tidak pergi bersama saja, Akim?" kata Sin Wan yang merasa khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan gadis itu.

   Kini wajah itu berubah kemerahan dan sepasang mata yang indah itu mengerling tajam, senyumnya dikulum.

   "Ihh! Tidak malukah engkau berkata demikian? Bagaimana mungkin kita mandi berbareng? Kita belum menikah!" Setelah berkata demikian, sambil tertawa terkekeh gadis itupun menyelinap pergi, tidak memberi kesempatan kepada Sin Wan untuk menjawab.

   Tidak nyaman rasa hati Sin Wan menanti seorang diri di balik semak belukar itu. Akhirnya, setelah menanti agak lama dan menurut perkiraannya tentu Akim sudah selesai mandi, diapun keluar dari balik semak belukar dengan hati-hati. Dia tadi melihat Akim pergi ke arah kanan, maka diapun pergi ke sana.

   Belum jauh dia berjalan, tiba-tiba dia mendengar suara senjata tajam beradu di sebelah depan. Sin Wan segera meloncat dan berlari cepat ke arah suara itu dan ketika dia tiba di balik rumpun tebal, dia melihat Akim yang kini sudah mengenakan topeng hijaunya sedang bertanding pedang melawan seorang laki-laki tinggi besar berperut gendut yang mengenakan kedok pula. Si Kedok Hitam!

   Sin Wan terkejut, akan tetapi juga girang karena kini dapat menemukan tokoh yang selalu menghilang dengan rahasia itu, tokoh yang memang dia cari-cari. Dia maklum akan kelihaian Si Kedok Hitam itu dan kini Akim juga sudah mulai terdesak walaupun puteri datuk timur itupun bukan seorang lawan yang lemah. Pedang yang berada di tangan gadis itu berubah menjadi gulungan sinar yang berkilauan lembut dan mengandung hawa dingin.

   Akan tetapi, Si Kedok Hitam yang memegang sebatang pedang pendek, hanya menggunakan pedangnya untuk menangkis sambaran sinar dari gulungan pedang Akim, sedangkan tangan kirinya melakukan totokan-totokan yang membuat Akim terdesak karena totokan itu amat berbahaya. Jari tangan kiri Si Kedok Hitam yang menotok itu mengeluarkan bunyi bercuitan, seolah jari telunjuk yang menotok itu menjadi sebatang senjata runcing yang amat dahsyat.

   Maklum bahwa Akim terancam bahaya, Sin Wan mengeluarkan bentakan nyaring dan diapun sudah melompat ke depan sambil menggerakkan pedangnya, pedang yang tumpul dan buruk, akan tetapi begitu pedang itu bertemu dengan pedang pendek di tangan Si Kedok Hitam, orang tinggi besar gendut itu terpental ke belakang. Dia mengeluarkan suara gerengan marah, apalagi ketika mengenal Sin Wan sebagai pemuda yang beberapa kali telah menggagalkan pekerjaannya bahkan merupakan halangan besar.

   "Bagus, kau datang mengantar nyawa!" bentak Si Kedok Hitam dan agaknya mulutnya menggigit sesuatu sehingga suaranya menjadi aneh, bukan seperti suara manusia biasa. Setelah mengeluarkan gerengan, Si Kedok Hitam sudah menyerang dengan pedang pendeknya, tubuhnya berpusing amat cepatnya sehingga mengejutkan Sin Wan.

   "Wut..wut..wutt.... cinggg " berulang kali pedang pendek itu menyambar, mencuat dari gulungan sinar gulungan sinar pedang, namun Sin Wan dapat mengelak atau menangkis, lalu membalas dengan gerakan pedangnya yang amat tangguh.

   "Cring..cring..tranggg.....!!" Bunga api berpijar-pijar dan Si Kedok Hitam mengeluarkan gerengan marah ketika melihat betapa mata pedang pendeknya patah ketika beberapa kali bertemu pedang tumpul di tangan Sin Wan.

   Kini putaran tubuhnya semakin hebat sehingga sukar dilihat bentuk tubuhnya, seperti benda berpusing dan menerjang ke arah Sin Wan.

   Menghadapi serangan yang amat dahsyat dan aneh ini, Sin Wan segera memainkan Sam-sian Sin-ciang, ilmu andalannya yang merupakan gabungan dari semua ilmu ketiga orang gurunya. Karena ilmu ini mengandung daya tahan yang kokoh kuat, maka dia mampu menahan terjangan lawan sehingga terjadilah saling serang yang amat hebat. Kilatan kedua pedang mereka menyambar-nyambar ganas dan lengah sedikit saja cukup untuk kehilangan nyawa.

   "Cuinggg.....!" Sinar pedang Si Kedok Hitam mencuat dan meluncur ke arah leher Sin Wan. Pemuda ini meloncat ke samping untuk mengelak. Tubuh Si Kedok Hitam sudah berputar beberapa kali dan pedangnya klni menyambar dengan bacokan ke arah pundak kanan Sin Wan.

   Kembali Sin Wan mengelak ke samping, akan tetapi dengan membentuk sinar bergulung, pedang pendek yang kehilangan sasaran itu melayang dengan gerakan melengkung dan kini membacok dari atas ke arah kepala Sin Wan. Pemuda ini merasa kewalahan juga menghadapi serangan bertubi yang membuat dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas. Kini melihat pedang lawan membacok dari atas, meluncur ke bawah agaknya hendak membelah kepalanya menjadi dua, diapun cepat menggerakkan pedang tumpul dan mengerahkan sin-kang.

   "Trakkk!" Dua batang pedang bertemu di udara dan pedang tumpul itu seperti memiliki tenaga magnit yang amat kuat, menempel pedang pendek sehingga pedang itu tidak dapat terlepas. Si Kedok Hitam marah dan penasaran, mengerahkan tenaga untuk melepaskan pedangnya dan pada saat itu, nampak sinar lembut berkelebat menyambar dan ternyata Ouwyang Kim sudah membantu Sin Wan dan menusuk ke arah perut yang gendut itu!

   Pada saat itu, Si Kedok Hitam sedang mengadu tenaga dengan Sin Wan sehingga seluruh tubuhnya digetarkan oleh tenaga dahsyat. Kalau orang biasa yang menusuknya, maka terkena getaran tenaga itu, si penusuk tentu akan celaka sendiri. Akan tetapi, yang melakukan tusukan adalah Ouwyang Kim, puteri Tung-hai-liong (Naga Lautan Timur) Ouwyang Cin, maka tentu saja ia bukan lawan biasa, melainkan seorang gadis yang amat lihai dan telah memiliki tenaga sin-kang yang hebat pula. Tusukannya itu amat cepat, tidak mungkin dapat dielakkan lagi oleh Si Kedok Hitam yang seolah-olah sedang melekat kepada Sin Wan melalui pedang mereka.

   "Crottt!!" Sebagian dari ujung pedang di tangan Akim menusuk dan terbenam ke dalam perut gendut Si Kedok Hitam! Melihat ini, Sin Wan melepaskan lekatan pedangnya dan melompat ke belakang karena dia melihat betapa Si Kedok Hitam tidak nampak terkejut, bahkan tersenyum mengejek!

   Akim juga terkejut dan cepat menarik kembali pedangnya. Si Kedok Hitam sama sekali tidak mengeluh, juga dari perut gendut yang tertutup baju itu tidak kelihatan darah, agaknya dia tidak merasa sakit sama sekali, bahkan kini tubuhnya berpusing lagi menyerang ke arah Akim, pedangnya bergulung-gulung dengan dahsyatnya, membuat Akim yang masih terkejut dan gentar melihat lawan itu sama sekali tidak terluka apalagi roboh terkena tusukan pedangnya, kini menjadi terdesak hebat dan terpaksa ia memutar Goat-im-kiam (Pedang Tenaga Bulan) untuk menjadi perisai melindungi dirinya. Namun ia terdesak dan mundur.

   Sin Wan hendak maju membantu Akim, akan tetapi pada saat itu muncul lima orang, kesemuanya berkedok beraneka warna, menggunakan senjata mereka mengeroyok Sin Wan. Rata-rata lima orang itu memiliki kepandaian yang tinggi sehingga Sin Wan harus mencurahkan perhatiannya terhadap pengeroyokan mereka dan tidak dapat membantu Akim yang terus didesak oleh Si Kedok Hitam.

   Sebetulnya, tingkat kepandaian Ouwyang Kim sudah cukup tinggi sehingga walaupun ia masih belum mampu mengatasi kepandaian Si Kedok Hitam, akan tekapi agaknya tidak terlalu mudah bagi Si Kedok Hitam untuk merobohkannya. Akan tetapi, hati gadis ini masih terkejut dan agak gentar melihat kehebatan lawan. Ia mengenal banyak ilmu, bahkan ia sendiri pernah mempelajari ilmu kebal. Kalau tubuh Si Kedok Hitam mampu melawan tusukan senjata tajam biasa, ia tidak akan merasa heran.

   Akan tetapi, lawan ini mampu menerima tusukan Goat-Im-kiam! Dan bukan merupakan kekebalan biasa yang membuat kulitnya tidak dapat ditembus melainkan kekebalan yang aneh. Pedangnya sudah memasuki perut, akan tetapi orang itu tidak terluka, bahkan tidak mengeluarkan darah. Inilah yang membuat hatinya menjadi kecil dan gerakannya kacau, apalagi Si Kedok Hitam menyerangnya sambil berpusing seperti gasing.

   "Trang-trang...".!!" Untuk ke sekian kalinya, pedang Goat-im-kiam di tangan Akim hanya mampu menangkis, akan tetapi tiba-tiba dari pusingan tubuh gendut itu, jari tangan kiri Si Kedok Hitam mencuat dan tiba-tiba saja Akim terkulai karena ia sudah terkena totokan yang amat lihai, dari ilmu It-tok-ci (Jari Tunggal Beracun). Pedang Goat-im-kiam terlepas dari tangannya dan dilain saat tubuh Akim sudah disambar dan dipanggul oleh Si Kedok Hitam.

   Sin Wan terkejut sekali dan marah. Dia mengeluarkan seruan panjang dan pedang tumpul di tangannya membuat sinar melengkung. Dua di antara lima orang pengeroyoknya terpaksa melepaskan senjata mereka dan dua orang lagi terpelanting ke kanan kiri. Sin Wan meninggalkan mereka untuk mengejar, akan tetapi dia melihat Si Kedok Hitam itu lari ke tepi sungai sambil memondong tubuh Akim, lalu tiba-tiba orang itu meloncat ke bawah! Sin Wan terkejut dan cepat meloncat ke tepi sungai. Kiranya Si Kedok Hitam yang menawan Akim itu meloncat ke sebuah perahu kecil yang agaknya memang sudah dipersiapkan di sana. Kini, Si Kedok Hitam melepaskan tubuh Akim yang rebah miring ke dalam perahu sedangkan dia sendiri cepat mendayung perahu ke tengah.

   Sin Wan yang termangu dan pada detik itu dia teringat akan lima orang pengeroyoknya tadi. Dia harus dapat menangkap seorang di antara mereka untuk memaksanya memberitahu siapa adanya Si Kedok Hitam dan di mana sarangnya agar dia dapat menolong Akim yang tertawan. Akan tetapi ketika dia menengok, dia melihat lima orang itu lari menghampiri tepi sungai. Dia mengejar akan tetapi mereka berloncatan ke bawah. Terdengar suara berdeburnya air dan ketika dia menjenguk ke bawah, lima orang itu bagaikan ikan-ikan saja, berenang dengan cepatnya menuju ke tengah sungai di mana sudah terdapat sebuah perahu lain yang menanti, didayung seorang yang berkedok pula. Mereka naik ke perahu itu dan segera mendayung perahu ke tengah. Mereka lenyap, seperti juga Si Kedok Hitam yang menawan Akim!

   Sin Wan mengepal tinju, lalu dia memungut pedang Goat-im-kiam milik Akim, lalu menyimpannya. Bagaimanapun juga, dia harus dapat menolong Akim! Sin Wan lalu menyusuri tepi sungai untuk menyewa perahu, agar dia dapat mulai mencari. Akim yang dilarikan orang dengan perahu ke tengah sungai.

   "Yang Mulia Pangeran, bagaimanapun juga, hamba merasa curiga sekali terhadap semua ini dan hamba mengharapkan kewaspadaan paduka agar jangan sampai terjadi sesuatu yang hanya mendatangkan penyesalan yang sudah terlambat." Demikian antara lain Liem Kui Siang membujuk Raja Muda Yung Lo ketika akhirnya mereka dapat bicara empat mata saja setelah pesta malam itu usai.

   Kalau tadinya Raja Muda Yung Lo hanya tersenyum saja dan menganggap kekhawatiran pengawal pribadinya itu kekanak-kanakan, kini pandang matanya berubah dan sikapnya bersungguh-sungguh.

   "Benarkah engkau mencurigai kakakku, Pangeran Mahkota yang mengundangku ke sini, Kui Siang?"

   "Pangeran, kecurigaan hamba bukan hanya ngawur belaka, melainkan berdasarkan pemikiran yang mendalam melihat keadaan yang tidak wajar. Pertama, kalau Pangeran Mahkota mengundang paduka, kenapa tidak di kota raja? Ke dua, kenapa pula pertemuan diadakan di tempat yang sepi ini? Ke tiga, Pangeran Mahkota membawa pasukan yang dipimpin sendiri oleh Jenderal Besar Yauw Ti, seolah-olah hendak perang atau pamer kekuatan. Lalu ke empat, selama pertemuan antara paduka dengan Pangeran Mahkota, menurut pengamatan hamba, tidak pernah terjadi percakapan yang penting, hanya basa-basi biasa saja sehingga pertemuan itu sungguh tidak sepadan dengan perjalanan yang demikian jauhnya. Juga hamba mencurigai sastrawan yang tak pernah terpisah dari Pangeran Mahkota itu, Pangeran. Pandang matanya bukan pandang mata orang biasa dan dia dapat menjadi lawan yang berbahaya."

   Raja Muda Yung Lo mengangguk-angguk.

   "Bagus, engkau sungguh mengagumkan sekali, Kui Siang. Tidak keliru pilihanku dan menjadikan engkau sebagai pengawal pribadi. Engkau waspada dan wawasanmu jauh dan tepat. Kecurigaanmu berdasar dan tidak ngawur, atas dasar nalurimu yang tajam. Lalu menurut pendapatmu, bagaimana baiknya?" Pandang mata pangeran yang menjadi raja muda itu bersinar, penuh rasa bangga dan gembira. Sayang, katanya dalam hati, gadis ini tidak membalas cintanya!

   "Maaf, Pangeran. Kalau menurut pendapat hamba, sebaiknya paduka menolak undangan untuk berpesta di atas perahu besok pagi, dan lebih baik segera kembali saja ke utara."

   Raja Muda Yung Lo mengelus jenggotnya yang terpelihara rapi sambil tersenyum dan berkata,

   "Bagaimana mungkin, Kui Siang? Kalau aku melakukan seperti apa yang kau usulkan, tentu kakanda Pangeran Mahkota akan tersinggung dan kalau dia melapor kepada ayahanda Kaisar, tentu aku akan mendapat teguran. Apakah yang kau khawatirkan? Tidak mungkin kakanda Pangeran hendak mencelakakan aku."

   "Yang hamba khawatirkan bukan dari Yang Mulia Pangeran Mahkota, melainkan dari pihak ketiga yang mempergunakan kesempatan ini untuk mencelakai paduka. Lupakah paduka akan penyerangan terhadap diri paduka di istana yang di lakukan oleh orang-orang Mongol? Menurut hamba, kesempatan ini amat baik bagi orang-orang Mongol yang hendak mencelakakan paduka atau Pangeran Mahkota. Paduka hanya membawa sedikit pasukan pengawal, bagaimana kalau terjadi penyerangan besar-besaran di sini? Walaupun hamba akan membela paduka dengan taruhan nyawapun, apa artinya kalau pihak musuh terlalu kuat dan semua perlawanan kita akan gagal?"

   Tiba-tiba Raja Muda Yung Lo tertawa bergelak sehingga mengherankan hati Kui Siang.

   "Ha..ha..ha..ha, Kui Siang. Agaknya engkau terlalu memandang rendah kepadaku. Ingat, aku adalah seorang panglima perang yang sudah banyak pengalaman, dan tidak akan mudah dikelabui dan ditipu musuh begitu saja, ha..ha..ha!"

   "Apa maksud paduka, Pangeran?" Kui Siang memandang heran.

   "Ha..ha, kaulihat sendiri saja dan kau akan mengerti!" Setelah berkata demikian, Raja Muda Yung Lo menuju ke pintu, membuka daun pintu dan memberi isyarat kepada seorang di antara perajurit pengawalnya lalu membisikkan sesuatu setelah perajurit itu mendekat. Tak lama kemudian, daun pintu diketuk orang dari luar.

   "Gan-ciangkun, masuklah," kata Raja Muda Yung Lo.

   Daun pintu terbuka dan masuklah laki-laki berusia limapuluhan tahun dan biarpun tubuhnya tinggi kurus, namun sikapnya tegak dan berwibawa, juga gagah. Melihat orang ini, Kui Siang memandang heran. Dia tahu bahwa orang ini adalah Panglima Gan, seorang di antara para panglima kepercayaan Raja Muda Yung Lo. Setahunya, panglima ini tidak ikut dalam pasukan pengawal, bagaimana sekarang tiba-tiba dapat dipanggil masuk?

   Setelah panglima itu memberi hormat dan dipersilakan duduk, Raja Muda Yung Lo berkata,

   "Bagaimana, ciangkun. Apakah pasukanmu sudah siap dan berapa jumlahnya yang kau kerahkan?"

   "Semua sudah siap tinggal menanti perintah paduka. Hamba sudah mempersiapkan tigaratus orang perajurit yang memasang barisan pendam di luar kota Cin-an."

   "Bagus! Nah, malam ini juga kau kerahkan pasukanmu untuk mengepung bagian sungai yang besok pagi akan dijadikan tempat pesta. Siapkan pengepungan di tepi dan juga perahu-perahunya. Begitu ada gejala tidak beres, kalau ada kelompok orang hendak mengacaukan pesta, serbu saja dan tangkap. Engkau sudah mengerti jelas apa yang kumaksudkan, Gan-ciangkun?"

   Panglima tinggi kurus itu bangkit berdiri dan memberi hormat.

   "Hamba mengerti dan siap melaksanakan perintah paduka!"

   "Nah, kerjakan sekarang juga."

   Setelah panglima Gan pergi, barulah Kui Siang dapat bicara dengan suara yang gembira dan penuh kagum.

   "Aih, maafkan hamba, Pangeran. Bukan sekali-kali hamba memandang ringan kepada paduka, hanya hamba sama sekali tidak pernah menduga bahwa paduka telah mempersiapkan segala-galanya, bahkan sebelum kita berangkat! Kalau begitu, semua kecurigaan hamba tidak ada artinya, karena hamba jauh kalah dulu oleh paduka!"

   Raja Muda Yung Lo tersenyum.

   "Bukan begitu, Kui Siang. Kalau aku mempersiapkan pasukan, hal itu hanya demi penjagaan keselamatan belaka, sebaliknya kecurigaanmu itu berdasarkan alasan yang kuat, sebagai hasil dari pengamatanmu yang waspada. Nah, sekarang perasaanmu sudah merasa tenteram, bukan?"

   Kui Siang mengangguk.

   "Berkat kebijaksanaan paduka! Hamba ingin sekali melihat perkembangan selanjutnya dari peristiwa yang penuh rahasia ini. Mudah-mudahan paduka akan dapat membongkarnya kalau terdapat kecurangan dan campur tangan pihak ke tiga untuk mengacaukan keadaan dan mengancam keselamatan paduka dan Pangeran Mahkota."

   Sementara itu, di bagian lain dari gedung-gedung peristirahatan itu, yang menjadi tempat bermalam Pangeran Mahkota, pangeran inipun berbincang-bincang berdua saja dengan penasihatnya, yaitu Yauw Siucai. Para pengawal pribadi hanya berjaga-jaga di luar gedung, di sekitar gedung dan di luar ruangan di mana pangeran itu sedang bercakap-cakap dengan penasihatnya.

   "Ah, Yauw Siucai, kurasa perjalanan jauh dan melelahkan ini tidak banyak gunanya. Betapa sukarnya menyenangkan hati adinda Pangeran Yung Lo. Dia tidak begitu suka dengan pesta dan kesenangan, yang dia bicarakan bahkan urusan ketatanegaraan yang membuat kepalaku menjadi pening. Bagaimana kalau kita hentikan saja pesta pertemuan ini dan kembali ke kota raja?" Pangeran Mahkota Chu Hui San mengeluh kepada penasihatnya.

   "Hamba kira tidak bijaksana kalau paduka menghentikan pesta sebelum selesai, Pangeran. Biarpun Pangeran Yung Lo tidak begitu menyukai pesta, setidaknya beliau akan terkesan oleh keramahan dan itikad baik paduka, dan hal ini akan menambah perasaan kesetiaannya kelak kalau paduka menjadi kaisar. Menurut rencana, hanya tinggal besok melaksanakan pesta air di perahu yang telah dipersiapkan, maka hamba mohon paduka bersabar, demi kekuatan dan kebaikan kedudukan paduka sendiri kelak."

   "Hemm, kalau begitu baiklah. Akan tetapi jangan lupa, datangkan penari-penari dan para penyanyi yang muda dan cantik. Tampilkan seluruh gadis-gadis penari tercantik dari Cin-an dan daerahnya, agar hati kami dapat merasa gembira."

   "Tentu saja, Yang Mulia. Akan tetapi sebaiknya kalau dalam bersenang-senang, paduka tidak mengurangi kewaspadaan. Kita tidak tahu apa yang dipikirkan Pangeran Yung Lo, maka sebaiknya kalau paduka memerintahkan Jenderal Yauw Ti untuk melakukan penjagaan besok pagi. Sebaiknya kalau dia mengepung tempat pesta dan tidak membolehkan siapapun mendekat, baik itu anak buah Pangeran Yung Lo atau orang-orang lain. Dengan demikian, keamanan paduka dan Pangeran Yung Lo dapat terjamin karena terkepung oleh pasukan Jenderal Yauw Ti."

   "Bagus, sebaiknya begitu. Nah, panggil sekarang juga Jenderal Yauw Ti datang menghadap," perintah pangeran itu yang selalu menuruti nasihat Yauw Siucai.
Ketika Jenderal Yauw Ti yang tinggi besar dan gagah perkasa itu datang menghadap, Pangeran Mahkota Chu Hui San segera memberi perintah seperti yang dikemukakan penasihatnya tadi. Jenderal yang tidak banyak cakap itu memberi hormat, menyatakan kesiap-siagaannya melaksanakan perintah, lalu dipersilakan keluar lagi.

   Seperti biasa, malam itu tidak dilewatkan sia-sia begitu saja oleh Pa geran Chu Hui San. Dan kebutuhan bangsawan yang sudah menjadi budak nafsunya sendiri ini selalu dipenuhi, bahkan diberi semangat oleh Yauw Siucai yang diam-diam telah mempersiapkan dua orang gadis panggilan yang tercantik untuk menemani sang pangeran tidur pada malam hari itu. Setelah dua orang gadis itu memasuki kamar, Yauw Siucai meninggalkan kamar itu untuk mengaso dalam kamarnya sendiri dengan pesan kepada para petugas pengawal di luar kamar untuk melakukan penjagaan ketat.

   Malam itu, di luar gedung pesanggrahan yang berada dalam suasana pesta dan dijaga ketat itu, terjadi pula hal yang aneh. Sebuah perahu kecil meluncur cepat menuju ke sebuah perahu besar yang berada di dekat seberang, dan perahu besar itu berhenti, tidak terbawa arus air yang lambat di bagian itu, karena tertahan jangkar yang dilepas. Ketika perahu kecil tiba di dekat perahu besar, penumpang perahu kecil melemparkan kaitan ke arah perahu besar. Besi kaitan itu tiba di dek, mengait tiang dan diperkuat dengan cepat oleh dua orang anak buah perahu besar. Kemudian, bagaikan seekor burung saja, penumpang perahu kecil meloncat ke atas perahu besar dan ternyata dia adalah Si Kedok Hitam yang bertubuh tinggi besar dan berperut gendut.

   Perahu besar itu sama sekali tidak terguncang ketika dia melompat ke sana, dan empat orang anak buah perahu besar menyambutnya dengan sikap hormat, bahkan mereka berlutut dengan kaki kiri.

   "Apakah kedua orang tamu yang kami undang itu belum tiba?" tanya Si Kedok Hitam kepada mereka.

   "Belum, Yang Mulia. Akan tetapi sudah ada yang menjemput dan mungkin sebentar lagi mereka datang," jawab seorang di antara anak buah itu.

   "Begaimana dengan tawanan kita? Tidak banyak tingkah, bukan?"

   "Mula-mula ia meronta dan mengamuk, akan tetapi belenggu kaki tangannya diperkuat dan penjagaan diperketat sehingga ia tidak lagi dapat membuat ribut."

   Si Kedok hitam mengangguk, lalu melangkah memasuki lorong di perahu besar itu menuju ke sebuah kamar di sudut yang terjaga oleh enam orang anak buahnya. Dia membuka daun pintu dan menjenguk ke dalam. Ouwyang Kim nampak telentang di atas dipan dengan kaki tangan terbelenggu erat pada dipan itu, topengnya sudah terbuka dan wajah yang cantik itu nampak marah sekali. Akan tetapi ia tidak lagi meronta dan ketika melihat Si Kedok Hitam menjenguk dari luar pintu, iapun berkata lantang,

   "Si Kedok Hitam pengecut besar! Lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita mampus!"

   Namun, dari balik kedok hitam itu hanya terdengar suara tawa aneh dan diapun menutupkan kembali daun pintu kamar tawanan itu lalu pergi ke ruangan tengah dan duduk menanti. Tak lama kemudian, bermunculan belasan orang yang semua memakai topeng yang beraneka warna. Begitu mereka tiba di ruangan itu, mereka memberi hormat kepada Si Kedok Hitam dan mengambil tempat duduk, membentuk setengah lingkaran menghadap Si Kedok Hitam yang duduk dengan kedua kaki terpentang, sikapnya gagah dan berwibawa walaupun perutnya gendut sekali seperti tergantung ke bawah.

   "Kalian sudah hadir selengkapnya?" tanya Si Kedok Hitam dan belasan orang itupuh menyatakan bahwa mereka sudah lengkap.

   "Sebaiknya kita cepat membuat rencana sebelum Ouwyang Cin dan muridnya tiba. Mereka belum dapat dipercaya sepenuhnya karena mereka masih nampak ragu-ragu. Malam ini merupakan penentuan untuk menguji mereka dan membuktikan apakah mereka itu boleh ditarik sebagai kawan. Untung bahwa tanpa disengaja, kami dapat menawan puterinya. Nah, sekarang dengarkan baik-baik rencana yang sudah kita atur. lni merupakan pengulangan saja agar semua dapat dilaksanakan dengan baik."

   Tiba-tiba Si Kedok Hitam menghentikan bicaranya ketika daun pintu ruangan itu diketuk orang. Dengan nada suara yang masih aneh dan parau namun kini ditambah nada suara marah, dia menoleh ke pintu dan membentak,

   "Siapa berani mengganggu tanpa dipanggil?"

   Seorang penjaga muncul dengan sikap takut-takut.

   "Ampun, Yang Mulia. Saya terpaksa menghadap untuk menyampaikan berita yang amat buruk dan mencelakakan.

   "Cepat bicara, apa yang terjadi!" Si Kedok Hitam membentak tak sabar.

   "Yang Mulia, kami baru saja mendengar laporan penyelidik bahwa di luar penjagaan pasukan dari kota raja, terdapat pasukan besar Raja Muda Yung Lo yang membuat gerakan seolah mengepung daerah ini. Mereka itu dalam keadaan siap seperti hendak bertempur, dan jumlah mereka menurut taksiran para penyelidik, tidak kurang dari tigaratus orang."

   Hening sejenak dan tubuh yang tinggi besar berperut gendut itu sejenak tidak bergerak seperti patung. Kemudian terdengar suaranya yang parau aneh,

   "Sudah yakin benarkah hasil penyelidikan itu, dan siapa pemimpin pasukan?"

   "Kalau belum yakin, tentu para penyelidik tidak berani membuat laporan, Yang Mulia. Pemimpin pasukan besar dari utara itu adalah Gan-ciangkun."

   "Hemm, sudah. Keluarlah dan jaga baik-baik tawanan itu," katanya. Pelapor itu keluar dan daun pintu ditutup kembali. Setelah itu, Si Kedok Hitam mengangkat muka dan sepasang matanya yang tajam mencorong itu dari balik kedoknya menyapu belasan orang yang menghadap padanya.

   "Telah terjadi berubahan besar, akan tetapi hal ini bahkan lebih baik lagi, menyempurnakan gerakan kita," katanya.

   "Maaf, Yang Mulia. Bagi kami, berita itu merupakan malapetaka. Bagaimana paduka mengatakan hal itu menyempurnakan gerakan kita? Mohon penjelasan!" kata seorang di antara mereka dan kawan-kawannya mengangguk menyetujui.

   "Siasat kita ditambah sedikit, yaitu mengusahakan agar terjadi saling mencurigai antara pasukan utara dan pasukan selatan. Sebarkan berita di antara para perwira pasukan dari kota raja bahwa pasukan dari utara telah melakukan pengepungan dan akan melucuti dan menyerbu pasukan selatan. Kita harus berusaha agar mereka saling mencurigai dan sedapat mungkin saling serang dengan mendahuluinya melakukan seranganserangan kecil di antara mereka. Kalau mereka sudah saling serang, kita mempunyai peluang yang amat baik untuk bergerak. Sebelah dalam, menghabisi kedua pangeran, atau setidaknya membuat mereka saling bermusuhan. Kalian semua sudah tahu apa yang harus kalian lakukan, dan sekali lagi kutekankan agar kalian menjaga baik-baik sehingga nama baik Pangeran Yaluta tidak terbawa-bawa dan kedudukan beliau di dekat Pangeran Mahkota tidak sampai terganggu, terutama apabila gerakan kita ini gagal. Nah, sekarang, seorang di antara kalian yang menjadi penghubung, cepat beritahukan Pangeran Yaluta tentang perubahan atau penambahan rencana kita ini."

   Setelah perundingan selesai, terdengar laporan bahwa Ouwyang Cin dan Maniyoko telah tiba. Sebuah perahu kecil meluncur cepat di tengah malam itu menuju ke perahu besar tadi dan dari dalam perahu berloncatan dua orang yang bukan lain adalah Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan Maniyoko, muridnya.

   Seperti kita ketahui, guru dan murid ini terbujuk oleh si Kedok Hitam yang mengutus Bu-tek Kiam-mo untuk menghubungi Ouwyang Cin dan mengirim banyak barang hadiah yang berharga. Bersama muridnya Maniyoko, Ouwyang Cin berangkat ke kota raja memenuhi undangan Yang Mulia, yaitu nama yang dikenal sebagai pemimpin jaringan mata-mata itu, tanpa memperdulikan teguran dan cegahan isterinya.

   Setelah tiba di kota raja, guru dan murid ini disambut oleh Si Kedok Hitam secara rahasia. Kemudian Si Kedok Hitam bahkan mengajak mereka untuk pergi ke Cin-an agar mereka membantu dalam suatu urusan penting yang belum diberitahukan kepada mereka.

   
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Biarpun menjadi tamu dari Si Kedok Hitam, namun Ouwyang Cin dan Maniyoko masih asing dengan gerakan mereka karena agaknya Si Kedok Hitam masih belum percaya benar kepada mereka. Semua hal dirahasiakan, hanya kalau Si Kedok Hitam ingin bicara dengan mereka, muncul seorang utusan yang mengundang mereka datang di suatu tempat. Malam ini pun, mereka berdua dijemput dan diantar dengan sebuah perahu kecil menuju ke perahu besar itu karena Yang Mulia mengundang mereka.

   Setelah Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan Maniyoko dipersilakan masuk ke dalam ruangan besar di perahu itu, mereka disambut oleh Si Kedok Hitam yang sudah duduk di situ, dan di situ hadir pula belasan orang yang kesemuanya bertopeng dengan berbagai warna. Melihat ini, Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang selalu bersikap angkuh dan tidak mau tunduk itu tertawa bergelak.

   "Ha..ha..ha, aku merasa seperti berada di atas panggung wayang, menghadapi orang-orang berkedok! Yang Mulia, aku sudah mengalah dan memanggilmu dengan sebutan Yang Mulia, akan tetapi kiranya sudah tiba saatnya engkau memperkenalkan diri siapa engkau dan siapa pula anak buahmu ini. Bagaimana mungkin aku dapat bekerja sama dengan orang-orang berkedok yang tidak kukenal?" Si Kedok Hitam tidak menjadi marah. Dia sudah mengenal watak para datuk dan tidak mengherankan kalau Ouwyang Cin bersikap angkuh. Dia adalah datuk di daerah timur yang kekuasaannya seperti seorang raja muda saja! Si Kedok Hitam tertawa di balik kedoknya.

   "Tung-hai-liong dan Maniyoko, silakan duduk. Ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang rahasia yang bekerja cara rahasia, oleh karena itu, wajah kami hanya dapat kami perlihatkan kepada kawan-kawan seperjuangan yang telah kami percajai sepenuhnya saja." Berkerut sepasang alis dari datuk yang berkepala botak dan berperut gendut itu.

   "Bagus! Kalau kalian belum percaya kepada kami berdua, mengapa kami diundang untuk bekerja sama?" kata Tung-hai-liong Ouwyang Cin suaranya dingin.

   "Pekerjaan kami, adalah pekerjaan besar, sebuah perjuangan yang teramat penting. Untuk dapat mempercaya seorang yang bersekutu-dengan kami, haruslah kami uji dahulu agar cita-cita kami tidak akan gagal. Malam inilah saat penentuan, dan besok pagi-pagi engkau harus dapat membuktikan kesetiaanmu ke pada kami, baru kami akan memperkenalkan diri kepadamu, Tung-hai-liong."

   Kalau saja yang bicara seperti itu bukan Si Kedok Hitam yang memimpin suatu persekutuan besar yang kuat, tentu Ouwyang Cin sudah marah dan menyerangnya. Dia memandang dengan mata melotot, seperti hendak menembusi kedok itu dengan pandang-matanya, kemudian dia bertanya, suaranya masih kaku dan dingin,

   "Hemm, bukti kesetiaan macam apa yang harus kulakukan, Yang Mulia?"

   "Engkau dan muridmu pada hari esok harus mampu membunuh Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota, atau seorang di antara mereka!"

   Ouwyang Cin meloncat bangkit dari kursinya, diikuti oleh Maniyoko.

   "Gila! Ini sama saja dengan menyuruh kami berdua memasuki lautan, api! Tidak, kami tidak sudi!"

   "Kami akan melindungimu, Tung-hai-liong," bujuk Si Kedok Hitam.

   "Tidak, sekali lagi tidak! Kami mau bekerja sama, akan tetapi aku bukan pembunuh bayaran, apa lagi membunuh pangeran! Aku mau bertempur, memimpin pasukan dan anak buahku, bukan menyelinap seperti maling untuk melakukan pembunuhan gelap."

   "Tung-hai-liong, kalau engkau ingin bekerja sama dengan kami, kalau kelak ingin menjadi raja muda, haruslah taat kepada kami dan membuktikan kesetiaanmu."

   "Hemm, sejak kecil aku tidak pernah mentaati perintah siapapun juga! Aku hanya mau bekerja sama, bukan menghambakan diri kepadamu. Sudahlah, agaknya di antara kita tidak ada kecocokkan, lebih baik kami pergi saja. Maniyoko, mari kita pergi!" Datuk itu sudah marah sekali.

   "Tunggu dulu, Tung-hai-liong! Kami kira kalian tidak akan pergi begitu saja, karena mau tidak mau, kalian harus melaksanakan perintah kami! Kalian tidak dapat menolak lagi."

   "Hemm, Kedok Hitam, apa maksud ucapanmu itu?" Ouwyang Cin membentak, kini tidak mau lagi menyebut Yang Mulia.

   "Lihatlah sendiri!!" Si Kedok Hitam bangkit, diikuti belasan orang pembantunya dan memberi isyarat kepada Ouwyang Cin dan Maniyoko untuk mengikuti mereka. Setelah tiba di depan kamar perahu paling ujung, Si Kedok Hitam memberi isyarat kepada penjaga untuk membuka daun pintunya.

   "Lihatlah, Tung-hai-liong, kalau engkau dan muridmu menolak permintaan kami, aku akan menyuruh orang-orangku menghina dan menyiksa puterimu sampai mati di depan matamu!"

   Ouwyang Cin dan Maniyoko terbelalak melihat Ouwyang Kim rebah telentang dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan terikat tubuhnya pada sebuah dipan.

   "Ayah, suheng, jangan perdulikan mereka! Serang saja, aku tidak takut mati. Lebih baik mati dari pada menyerah!" Ouwyang Kim berteriak-teriak, akan tetapi tidak dapat meronta, hanya mampu menoleh ke arah ayahnya karena tubuhnya lemas tertotok dan terbelanggu kuat-kuat.
(Lanjut ke Jilid 14)

   Asmara Si Pedang Tumpul (Seri ke 02 - Serial Si Pedang Tumpul)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14
Tung-ha-liong Ouwyang Cin marah bukan main. Sungguh tidak pernah disangkanya dia akan melihat puterinya tertawan gerombolan ini, puterinya yang disangkanya berada di rumah bersama ibunya.

   "Kedok Hitam, bebaskan puteriku!" bentaknya dengan suara menggereng seperti seekor binatang liar.

   "Ha..ha..ha, Tung-hai-liong, lebih baik engkau memenuhi permintaan kami dan kita menjadi sekutu, puterimu akan kubebaskan."

   Pada saat itu terdengar suara keras, perahu terguncang dan nampak api bernyala di ujung belakang perahu besar itu. Kiranya sebuah balok besar yang agaknya diikat kain yang basah dengan minyak bakar, telah melayang dan jatuh ke sana, lalu ada yang membakarnya sehingga tempat itu berkobar api yang besar.

   Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan saat itu dipergunakan oleh Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan Maniyoko untuk mencabut senjata dan mengamuk. Si Kedok Hitam sudah menggunakan pedang pendeknya menghadapi Tung-hai-liong yang juga sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar berkilauan menyilaukan mata.

   "Jaga tawanan!" Si Kedok Hitam masih sempat berteriak sebelum dia sibuk menghadapi datuk timur yang lihai sekali itu. Dua orang tokoh besar ini bertanding dan keduanya memang sama hebatnya, sedangkan Maniyoko agak repot dikeroyok banyak anak buah Si Kedok Hitam. Bahkan Ouwyang Cin juga dikeroyok, sehingga datuk ini tidak sempat untuk menolong puterinya yang terbelenggu di atas dipan dalam kamar itu.

   Sesosok bayangan berkelebat dan merobohkan empat orang penjaga yang menghadang di depan pintu kamar tahanan itu. Entah bagaimana, tahu-tahu empat orang itu terpelanting ke kanan kiri dan bayangan itu menerobos masuk ke dalam kamar.

   "Sin Wan"""..!" Gadis itu berseru girang.

   "Akim, cepat bantu ayahmu," kata Sin Wan yang menggunakan pedang tumpulnya membabat putus semua belenggu dan membebaskan totokan pada tubuh Akim yang segera dapat bergerak kembali.

   "Nih, pedangmu!"

   Melihat pemuda yang dicintanya itu membebaskannya dan bahkan mengembalikan pedangnya, dan ia maklum bahwa Sin Wan pula yang menimbulkan kebakaran pada perahu. Akim merangkul dan menciumnya, membuat Sin Wan gelagapan.

   "Sekarang engkau yang menyelamatkan aku dan ayah," bisik Akim yang segera melepaskan rangkulannya dan tubuhnya sudah berkelebat keluar, lalu iapun menyerang Si kedok Hitam membantu ayahnya.

   Sin Wan juga keluar dan dia segera dikepung, dan dikeroyok. Akan tetapi Sin Wan merobohkan empat orang lagi lalu berteriak,

   "Akim, ajak ayah dan suhengmu lari, perahu ini segera akan terbakar habis dan tenggelam!"

   MENDENGAR ini, Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan puterinya memutar pedang, membuat para pengeroyok mundur, lalu mereka meneriaki Maniyoko untuk melarikan diri pula. Mereka bertiga segera meloncat keluar dari perahu yang masih terbakar hebat karena usaha pemadaman dari anak buah Si Kedok Hitam tidak berhasil sama sekali. Tung-hai-liong dan puterinya, juga muridnya, adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu renang. Mereka memang tinggal di dekat lautan dan sebagai datuk para bajak laut, tentu saja Ouwyang Cin menguasai ilmu dalam air yang diajarkannya pula kepada puterinya dan muridnya. Maka, begitu tubuh mereka jatuh ke air, mereka menyelam dan lenyap.

   Si Kedok Hitam juga tidak mau tinggal lebih lama di atas perahu yang terbakar itu.

   "Bunuh jahanam busuk itu!" teriaknya berulang-ulang melihat Sin Wan dikeroyok anak buahnya. Dia sendiri lalu meloncat keluar dari perahu besar, tiba di atas perahu kecil yang sudah dipersiapkan anak buahnya dan perahu itupun didayung cepat meninggalkan perahu besar yang masih berkobar.

   Sin Wan terpaksa berloncatan ke sana-sini menghadapi pengeroyokan belasan orang dan amukan api. Dia tidak dapat meniru apa yang dilakukan Akim dan ayahnya. Kepandaiannya di air hanya sekadar dapat mencegah tubuhnya tenggelam saja. Itu di air yang tenang. Membayangkan terjun ke air sungai yang arusnya kuat dan amat dalam itu, dia sudah merasa ngeri, apalagi harus meloncat ke sana!

   Bagaimanapun juga, hatinya sudah merasa lega karena dia dapat menyelamatkan Akim. Dengan susah payah malam itu dia mencari-cari Akim, menyewa sebuah perahu dan mencari di sepanjang kedua tepi sungai. Akhirnya, ketika melihat perahu besar itu berlabuh di tempat sunyi timbul kecurigaannya dan dia membayar tukang perahu yang ketakutan, meninggalkan perahu dan bergantung pada rantai jangkar perahu besar, merayap ke atas. Dan dia memang sudah mempersiapkan segalanya ketika menyewa perahu. Sebuah balok besar yang tadinya dia sediakan untuk menolongnya kalau-kalau harus meloncat ke air, kini dia pergunakan untuk membakar perahu dengan bantuan kain dan minyak bakar yang didapatnya dari tukang perahu.

   "Trang-trang-trangg..."..!" Tiga batang golok para pengeroyoknya yang menyambar kepadanya dari tiga penjuru dapat ditangkisnya sehingga patah-patah. Akan tetapi, belasan orang itu agaknya taat sekali atas perintah Si Kedok Hitam, yaitu agar mereka membunuh Sin Wan, maka mereka mengeroyok lebih ketat lagi.
Tiba-tiba, dua orang roboh ketika ditampar oleh tangan Akim yang basah. Gadis itu muncul secara tiba-tiba mengamuk dan menghampiri Sin Wan lalu berteriak,

   "Sin Wan, apa kau ingin menjadi sate bakar? Hayo pergi!"

   Akan tetapi tentu saja Sin Wan tidak berani.

   "Aku.... aku tidak pandai renang..."" katanya. Akim tidak perduli, menyambar lengannya dan menarik tubuh pemuda itu, diajaknya melompat ke air.

   Sin Wan cepat menyimpan pedangnya dan menutup kedua matanya ketika tubuhnya melayang dari atas perahu.

   "Byuurrr...".." Dia gelagapan, kedua kakinya menendang-nendang dan tubuhnya dapat timbul. Sebuah tangan yang kuat menangkap punggung bajunya dan iapun diseret di atas permukaan air. Kiranya yang mencengkeram dan menariknya adalah Akim dan Sin Wan kagum bukan main melihat dalam keremangan cuaca betapa gadis itu berenang seperti ikan saja, sama sekali tidak nampak kesulitan biarpun sebelah tangannya mencengkeram baju di punggungnya.

   Akhirnya Akim dapat menangkap pinggiran sebuah perahu kecil yang terapung lepas, dan membantu Sin Wan naik ke atas perahu kecil. Perahu itu hanyut terbawa air dan keduanya bersimpuh di perahu, terengah-engah dan basah kuyup. Akan tetapi ketika mereka saling pandang di bawah sinar bulan sepotong, mereka saling tatap dan keduanya tertawa melihat betapa muka dan pakaian mereka basah kuyup, tertawa lepas mungkin karena perasaan lega dan berbahagia telah dapat terlepas dari bahaya maut! Dan Akim menubruk, merangkul dan menciumi muka Sin Wan yang basah kuyup, membuat untuk ke dua kalinya pemuda itu gelagapan seperti dibenamkan ke dalam air.

   "Sin Wan, engkau telah menyelamatkan aku, ayah dan suheng. Aih, aku cinta padamu, Sin Wan, aku cinta padamu dan aku berbahagia...".." Dengan suara mengandung isak seperti menangis Akim merapatkan tubuhnya dan mendekap, sehingga mukanya merapat di dada Sin Wan.

   Celaka, pikir Sin Wan yang teringat akan pengalamannya dengan Lili dan dengan Ci Hwa. Apakah aku harus selalu mengalami kesalah-pahaman cinta seperti ini yang akhirnya hanya akan menyiksa? Dalam keadaan seperti inilah timbulnya salah paham antara dia dan Lili, antara dia dan Ci Hwa. Memang membutuhkan kekerasan hati untuk menyangkal balasan cinta terhadap seorang gadis seperti Akim, atau seperti Lili dan Ci Hwa. Akan tetapi dia tidak menghendaki terulangnya kembali peristiwa salah-paham karena cinta itu, tidak ingin melihat kesalah-pahaman Akim berlarut-larut.

   Dengan lembut namun kuat dia mendorong kedua pundak gadis itu, dan menahannya sejauh kedua lengannya dilempangkan. Merasa gerakan ini, Akim mengangkat muka memandang penuh perhatian. Kebetulan udara jernih dan bulan sepotong menyinari muka mereka berdua.

   "Akim, maafkan aku. Sebaiknya kalau sekarang juga aku membuat pengakuan agar engkau menyadari kesalah-pahaman ini. Kesalah-pahaman tentang perasaan kita berdua...""."

   "Sin Wan, apa maksudmu? Aku cinta padamu, dan engkaupun cinta padaku, bukan? Kesalah-pahaman apa lagi?"

   "Akim, ingat. Belum pernah aku menyatakan cintaku kepadamu."

   "Aihh..."..? Bukankah engkau cinta padaku, Sin Wan. Engkau bilang bahwa engkau kagum dan suka kepadaku, bukan?"

   "Memang, sampai sekarang aku kagum dan suka kepadamu, akan tetapi itu bukan cinta, Akim. Aku suka kepadamu sebagai seorang sahabat, dan terus terang saja, agar tidak sampai, berlarut kesalah-pahaman ini, kuakui bahwa aku telah mencinta seorang gadis lain, Akim."

   Wajah yang masih basah itu berubah pucat sekali, lalu merah dan sampai lama Akim tidak mampu mengeluarkan suara. Akhirnya, suaranya terdengar lirih,

   "Lili..."? Tapi kau bilang tidak mencintanya...""."

   "Memang bukan Lili. Aku suka kepada Lili sebagai seorang sahabat, seperti aku suka kepadamu, akan tetapi aku telah mencinta seorang gadis lain, jauh sebelum aku mengenalmu...".."

   "Siapakah gadis itu?"

   "Dia sumoiku sendiri. Maaf, Akim, bukan maksudku untuk menyinggung dan mengecewakan hatimu," kata Sin Wan melihat betapa wajah yang tadinya cantik manis itu kini berubah muram.

   Akan tetapi Akim sudah bangkit berdiri.

   "Kau.... kau..... siapa kecewa? Persetan denganmu, Sin Wan!" Dan gadis itupun mendorong Sin Wan yang sama sekali tidak menduga, membuat pemuda itu terdorong dan terjengkang keluar dari dalam perahu kecil.

   "Byuurrr...".!!" Sin Wan jatuh ke air dan ketika dia menggunakan tangan dan kaki untuk timbul, dia melihat perahu itu sudah didayung cepat oleh Akim menggunakan tangannya karena memang perahu itu tidak mempunyai dayung.

   "Akim, tunggu..."..!" Dia berteriak akan tetapi gadis itu tidak menghiraukannya. Sin Wan gelagapan terseret arus air dan dia berusaha sekuat tenaga untuk melawan arus, agar tidak tenggelam. Ketika dia melihat sepotong kayu sebesar pahanya dan cukup panjang, diapun menyambar kayu itu dan bergantung pada kayu, terpaksa membiarkan dirinya hanyut.

   Ketika matahari telah muncul dipermukaan air sungai sebelah timur, Sin Wan masih hanyut perlahan-lahan. Dia tidak berani melepaskan kayu, karena dia berada di tengah sungai, jauh dari daratan. Perlahan-lahan dia menggunakan tangan untuk mendayung kayu itu ke tepi, akan tetapi selalu disambut arus sungai dan kembali ke tengah.

   Ketika tiba di sebuah tikungan, arus menyeretnya ke tepi, akan tetapi di bagian yang amat dalam dan yang airnya hanya berputar-putar, dan pada saat itu, muncul dua buah perahu yang didayung oleh masing-masing tiga orang laki-laki. Ketika dekat, Sin Wan terkejut melihat betapa mereka itu semua mengenakan topeng beraneka warna. Anak buah Si Kedok Hitam! Dia hanya dapat memandang dengan hati khawatir, mencari akal bagaimana dia akan mampu melawan mereka di air, di mana dia sudah tidak berdaya, kedinginan dan kele lahan.

   Kini dua buah perahu itu mengelilinginya.

   "Heii, lihat, dia memang pemuda yang dimaksudkan Yang Mulia. Hayo tangkap dia!"

   "Kita bunuh dia! Dia sudah hampir mati lemas!"

   Sin Wan sudah merasa girang. Harapan satu-satunya adalah agar perahu-perahu itu, atau sebuah di antara mereka, mendekat dan kalau dia berhasil naik ke atas perahu, dia pasti akan dapat mengatasi enam orang itu.

   "Heii, tahan, jangan kalian mendekat!" teriak seorang di antara enam orang itu.

   "Jauhkan perahu, jangan sampai dia dapat mencapai perahu kita. Akan berbahaya kalau begitu. Kita serang dia selagi dia tak berdaya di air!" Kini, empat orang berloncatan ke air dan menyelam, sedangkan dua buah perahu itu dikendalikan dua orang di antara mereka.

   Sin Wan terkejut bukan main. Matanya liar memandang ke kanan kiri karena dia tidak melihat adanya empat orang yang meloncat ke dalam air tadi. Tiba-tiba dia merasa betapa kedua kakinya dipegang tangan-tangan dari bawah permukaan air. Dia cepat menggerakkan kedua kakinya untuk melepaskan kedua kaki itu dari cengkeraman. Akan tetapi, di dalam air gerakannya lemah dan tenaganya seperti hilang. Biarpun dia meronta-ronta, tetap saja kedua kakinya dipegang banyak tangan dan kini tubuhnya ditarik ke bawah! Mati-matian Sin Wan menggunakan lengan kanan memeluk kayu pengapung, dan tangan kirinya berusaha meraih ke bawah untuk menangkap atau memukul para pengeroyok, namun tangannya tidak sampai ke bawah. Dia hanya dapat meronta-ronta dan menggerak-gerakkan kedua kaki.

   Tarikan dari bawah itu terlalu kuat, dilakukan empat orang yang sudah berpengalaman dan ahli bermain di air, maka akhirnya tubuh Sin Wan tertarik ke dalam air bersama kayu yang masih dirangkulnya. Dia gelagapan dan berhasil mendorongkan kedua kakinya sekuat tenaga ke bawah sehingga tubuhnya kini dapat dapat timbul kembali. Dia megap-megap dan meronta-ronta karena kembali para musuh di bawah menarik-narik kedua kakinya. Dia maklum bahwa dia berada dalam ancaman bahaya. Dia tentu akan tertawan atau terbunuh, tanpa berdaya untuk membela diri sebaiknya.

   Sudah empat kali Sin Wan terseret ke bawah permukaan air sampai gelagapan dan minum banyak air Dia sudah lemas ketika berhasil timbul kembali setelah meronta sekuat tenaga di dalam air. Pada saat yang amat gawat itu, tiba-tiba sebuah perahu kecil meluncur datang dan sebatang bambu panjang yang dipergunakan orang dalam perahu itu untuk menggerakkan perahunya, dua kali menyambar dan dua orang yang menunggang perahu-perahu pertama, berteriak dan terpelanting ke dalam air.

   Kemudian, si penunggang perahu itu meloncat keluar dari perahunya dan bagaikan seekor ikan hiu, iapun menyelam. Sin Wan hanya melihat betapa penunggang perahu itu merobohkan dua orang dengan sebatang bambu, dan melihat orang itu meloncat ke air. Dia tidak melihat jelas siapa orang itu dan apa maunya, karena dia sendiri sudah lemas dan hampir seluruh perhatiannya dia curahnya ke bawah, ke arah empat orang musuh yang masih memegangi kedua kakinya dan berusaha menenggelamkannya.

   Tiba-tiba Sin Wan merasa betapa terjadi gerakan-gerakan kuat di bawah, dan tangan-tangan yang tadi memegang kedua kakinya menjadi kacau. Kemudian, satu demi satu, delapan buah tangan itu melepaskan kedua kakinya. Dia bebas! Kemudian muncul orang tadi dan dia melihat tubuh enam orang itu terseret air. Orang yang telah menolongnya itu, tanpa mengeluarkan suara, sudah mencengkeram punggung bajunya dan menariknya ke perahu yang masih terapung dan berputar di situ. Dalam keadaan setengah pingsan, dengan perut membesar penuh air, Sin Wan diangkat dan dilempar ke dalam perahu.

   Orang itu lalu naik ke perahu, menelungkupkan tubuh Sin Wan di perahu itu, lalu menduduki punggung Sin Wan dan menghimpit-himpit perutnya sehingga air dari dalam perut Sin Wan keluar dari mulutnya seperti dituangkan!

   Setelah perut Sin Wan mengempis, pemuda ini mengeluh dan karena orang itu sudah melepaskan punggungnya yang tadi diduduki, diapun merangkak dan bangkit duduk. Ketika dia menoleh dan memandang, kiranya dia berhadapan dengan Akim!

   "Kau..."..?" katanya lemah dan mengguncang kepalanya karena kepala itu masih berdenyut-denyut pening.

   "Ya, aku! Engkau mau berkata apa sekarang?" kata Akim dengan sikap menantang dan gadis ini mendayung perahu ke arah selatan, ke tepi dari mana tadi mereka datang.

   Sin Wan menarik napas panjang dan menghimpun hawa murni untuk menyehatkan kembali tubuhnya. Peningnya lenyap dan tenaganya mulai pulih.

   "Apa yang dapat kukatakan, Akim? Engkau yang medorong aku ke dalam air dan aku hampir mati karenanya, kemudian engkau pula yang menyelamatkan aku dari tangan mereka. Aku tidak mengerti akan sikapmu ini, Akim."

   "Huh, engkau memang laki-laki yang tolol, bagaimana dapat mengerti?"

   Gadis itu kelihatan marah-marah dan mendayung perahu sekuat tenaga. Perahu meluncur cepat sekali dan melihat gadis itu marah-marah, Sin Wan tidak berani mengeluarkan kata-kata, khawatir membuat gadis itu menjadi semakin marah. Diapun mengambil dayung yang terdapat di dalam perahu dan membantu gadis itu mendayung perahu. Dan ketika dia teringat akan enam orang tadi, dia pun memberanikan diri bertanya, suaranya halus dan tidak mengandung teguran karena dia tidak ingin menyinggung lagi hati gadis itu.

   

Pedang Sinar Emas Eps 34 Pedang Sinar Emas Eps 32 Iblis Dan Bidadari Eps 1

Cari Blog Ini