Asmara Si Pedang Tumpul 16
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
"Sing..sing..sing.....!" Golok gergaji di tangan Ang-bin Moko mulai menyerang bertubi-tubi, menyambar-nyambar bagaikan seekor burung elang mencari mangsa. Namun, Bhok Cun Ki pernah dijuluki Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti), maka diapun mengelebatkan pedangnya, sambil mengelak pedangnya membabat ke arah pergelangan tangan yang memegang golok sehingga terpaksa lawannya menarik kembali serangannya dan mulai menyerang dengan jurus baru.
Sementara itu, bagaikan seekor ular yang hidup, sabuk ular di tangan Pek-bin Moli sudah menyambar-nyambar dan tercium bau amis ketika sabuk itu menyambar lewat dekat kepala Bhok Cun Ki. Seperti juga tadi, Bhok Cun Ki mengelak dan membalas dengan serangan ke arah lengan lawan.
"Syuuuuuuttt..."..!" Angin yang aneh menyambar dan cepat Bhok Cun Ki melempar tubuh ke samping, maklum bahwa yang menyambarnya adalah hawa pukulan beracun yang amat jahat. Itulah Toat-beng-tok-ciang, pukulan beracun jarak jauh yang amat berbahaya. Dan kini, sepasang iblis itu sambil menggerakkan senjata menyerang, juga menyelingi dengan pukulan tangan beracun jarak jauh, juga jari tangan kiri mereka kadang-kadang menyerang dengan totokan Touw-kut-ci (Jari Penembus Tulang).
Diam-diam Bhok Cun Ki terkejut. Pukulan beracun dan totokan jari itu tidak kalah bahayanya dibanding golok gergaji dan sabuk ular. Diapun memutar pedangnya sehingga terbentuklah gulungan sinar yang melingkar-lingkar melindungi tubuhnya dan kadang-kadang saja dari gulungan sinar itu mencuat ujung pedangnya untuk membalas. Namun, dia hanya mendapatkan kesempatan sedikit saja untuk dapat membalas hujan serangan lawan.
Sementara itu, Akim dan Ci Han terdesak hebat oleh Maniyoko dan enam orang anak buah sepasang iblis yang juga memiliki ilmu kepandaian yang cukup kuat. Akim sebetulnya lebih lihai dibanding suhengnya dan andaikata Maniyoko maju seorang diri, dia pasti akan kalah oleh sumoinya itu. Akan tetapi, Maniyoko dibantu dua orang yang cukup lihai, sedahgkan Ci Han dikeroyok empat orang yang membuat dia, terdesak pula.
Biarpun dirinya terdesak oleh suhengnya dan dua orang pengeroyok, namun Akim selalu memperhatikan keadaan Ci Han. Ketika ia melihat Ci Han terdesak hebat dan pemuda itu hanya dapat memutar pedang melindungi tubuhnya dari hujan senjata yang digerakkan empat orang pengeroyoknya, Akim merasa khawatir sekali dan beberapa kali ia menengok. Perhatiannya terpecah sehingga ketika sebatang pedang pengeroyoknya menyambar leher, ia terlambat mengelak sehingga ujung pedang itu masih melukai pundak kirinya. Ia terkejut, akan tetapi bukan karena pundaknya terluka, melainkan melihat Ci Han terkena tendangan sehingga tubuh pemuda itu terpelanting. Tanpa memperdulikan keadaan diri sendiri, Akim meloncat dan pedangnya bergerak cepat menerjang empat orang yang sudah hendak mengirim serangan susulan yang akan mematikan Ci Han.
"Trang-trang..."!"" Seorang pengeroyok terjungkal dengan dada terluka pedang Gwat-im-kiam. Ci Han yang sudah mengeluarkan keringat dingin karena tadi nyawanya terancam, kini meloncat lagi.
"Terima kasih..."..!" Ci Han berkata dan Akim merasa terharu. Ia sekarang melihat bahwa ia telah tertipu oleh Maniyoko yang bersekongkol dengan mata-mata Mongol. Tahulah ia bahwa ketika ia ditawan, lalu ditolong Maniyoko dan pengakuan para penculiknya bahwa mereka disuruh oleh Bhok Cun Ki, semua itu bohong belaka. Semua itu merupakan siasat yang sudah diatur Maniyoko dengan sekutunya sehingga ia kena dikelabui dan ia memusuhi keluarga Bhok. Ia bahkan telah bersama suhengnya itu menculik Ci Han! Dan pemuda itu agaknya sama sekali tidak, mendendam kepadanya!
"Cepat ke sini, kita saling melindungi!" katanya kepada Ci Han. Pemuda itu mengerti dan dia khawatir melihat pundak kiri gadis itu terluka. Bajunya telah berlumuran darah! Cepat dia meloncat dan berdiri saling membelakangi dengan Akim, dengan demikian, mereka dapat saling melindungi dan tidak dapat dibokong dari belakang. Mereka berdiri sambil memasang kuda-kuda, sedangkan Maniyoko bersama sisa anak buah sepasang iblis, yaitu tinggal lima orang karena yang seorang telah roboh oleh Akim, mengepung sambil bergerak perlahan mengitari dua orang muda itu.
"Bunuh pemuda ini, tangkap gadisnya," kata pula Maniyoko yang membuat Akim marah bukan main. Sejak kecil suhengnya ini dipelihara ayahnya, dididik dan disayang. Kiranya sekarang telah menjadi pengkhianat yang berniat buruk terhadap dirinya.
"Maniyoko, engkau manusia berhati binatang, tak mengenal budi!" bentak Akim akan tetapi segera ia bersama Ci Han harus memutar senjata untuk melindungi diri dan menangkis sambaran senjata enam orang pengeroyok itu.
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan serangkum hawa menyambar ke arah enam orang pengeroyok. Lima orang anak buah itu terjengkang, sedangkan Maniyoko sendiri terhuyung kebelakang. Bukan main kagetnya ketika pemuda Jepang ini melihat bahwa yang muncul dan menyerang dengan dorongan jarak jauh itu bukan lain adalah gurunya sendiri, Tung-hai-liong Ouwyang Cin!
Sebaliknya, Akim girang bukan main melihat ayahnya. Tak disangkanya bahwa ayahnya akan muncul, dan tahulah ia bahwa diam-diam ayahnya agaknya merasa tidak enak dan menyusulnya ke kota raja. Iapun teringat akan keadaan Bhok Cun Ki yang kini didesak hebat oleh kakek dan nenek mengerikan itu.
"Ayah, Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli itu hampir saja berhasil menyiksa dan membunuhku. Ayah, aku telah dihina mereka, balaskan, ayah. Mereka bahkan menghina dan mencemooh ayah, menganggap ayah takut kepadanya. Dan Maniyoko binatang tak mengenal budi ini bersekongkol dengan mereka!"
Mendengar ucapan puterinya itu, merah wajah kakek gendut itu. Takut merupakan pantangan baginya dan dikatakan takut merupakan penghinaan yang paling besar. Maka, mendengar ucapan Akim, mukanya merah dan seluruh tubuhnya gemetar, tanda bahwa ia sedang mengerahkan tenaga sin-kang, siap untuk bertempur. Kemudian, setelah mengeluarkan pekik seperti para pendekar samurai Jepang kalau berlagak, Tung-hai-liong Ouwyang Cin menyerbu ke dalam pertempuran antara Bhok Cun Ki yang dikeroyok dua.
"Ouwyang Cin, bajak Jepang rendah, jangan banyak lagak di sini!" bentak Ang-bin Moko yang cepat menyambut kakek gendut itu. Pada saat itu, Ouwyang Cin menyambar dengan pukulan tamparan yang amat kuat, dan Ang-bin Moko cepat mengerahkan Toat-beng-tok-ciang untuk menyambut.
"Dessss...".!!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, tubuh Ang-bin Moko terdorong mundur sampai tujuh langkah. Ouwyang Cin sendiri terkejut karena biarpun dia lebih kuat dan tubuhnya tetap tegak, namun telapak tangannya yang tadi bertemu dengan telapak tangan Ang-bin Moko terasa panas dan gatal! Tahulah dia bahwa lawan menggunakan pukulan beracun yang amat berbahaya sehingga telapak tangannya yang sudah kebal terhadap senjata tajam dan terhadap racun itu kini tetap saja tertembus.
Setelah mengerahkan sin-kang untuk menahan pengaruh hawa beracun yang menyusup ke telapak tangan kanannya itu. Tung-hai-liong Ouwyang Cin mencabut pedangnya dan nampak sinar yang menyilaukan mata. Pedang Jit-ong-kiam (Raja Matahari) telah tercabut dan pedang ini memang mengkilat dengan cahaya yang berkilauan. Akan tetapi Ang-bin Moko juga sudah memegang golok gergajinya, maka tanpa banyak cakap lagi, kedua orang datuk ini sudah saling terjang dengan ganasnya.
Karena kini Ang-bin Moko mendapat lawan tangguh, Bhok Cun Ki terbebas dari pengeroyokan dan pertandingan antara dia dan Pek-bin Moli berjalan dengan seru dan seimbang. Sabuk ular di tangan Pek-bin Moli menyambar-nyambar, namun dapat diimbangi gulungan sinar pedang di tangan Bhok Cun Ki. Tingkat kepandaian mereka memang seimbang maka masing-masing harus mengerahkan seluruh tenaga dan menguras semua kepandaian untuk dapat mengalahkan lawan.
Yang paling hebat adalah perkelahian antara Tung-hai-liong Ouwyang Cin melawan Ang-bin Moko. Keduanya mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh dan keduanya bernafsu besar untuk saling membunuh. Karena maklum bahwa lawan amat berbahaya, maka keduanya ingin saling mendahului.
Berkali-kali Jit-kong-kiam beradu dengan golok gergaji. Demikian kerasnya pertemuan kedua senjata ini sehingga nampak bunga api berpijar dan berhamburan, disertai suara nyaring yang menusuk telinga. Namun, kedua senjata itu tidak menjadi rusak. Agaknya kedua senjata itu memang merupakan senjata ampuh yang kuat dan keras.
"Singgg..."..!" Kembali kedua senjata itu menyambar dengan gerakan amat kuat, didorong tenaga sin-kang yang memenuhi kedua tangan yang memegangnya. Di udara, kedua senjata itu bertemu lagi untuk ke sekian puluh kalinya.
"Trakkkk!!" Sekali ini, pertemuan kedua senjata itu sedemikian kuatnya seolah terjadi ledakan kilat dan keduanya terkejut karena melihat betapa senjata andalan masing-masing telah patah-patah! Dua buah senjata itu akhirnya tidak kuat menahan hantaman yang dilandasi tenaga sin-kang itu dan patah.
Keduanya terkejut dan marah bukan main.
"Keparat!" bentak Tung-hai Liong Ouwyang Cin.
"Jahanam!" Ang-bin Moko juga membentak dan keduanya lalu menggerakkan kaki maju dan saling terjang dengan nekat.
"Plakk...""!!" Kedua telapak tangan mereka saling bertemu dengan kuatnya dan seperti melekat! Kini mereka, dua orang datuk itu, mengadu tenaga dengan nekat, cara bertanding yang hanya diakhiri dengan salah seorang di antara mereka putus nyawa! Mereka saling serang melalui penyaluran tenaga lewat tangan mereka, saling dorong. Keduanya saling tatap dengan mata mendelik, seluruh tenaga dari pusar mendorong lawan melalui kedua telapak tangan. Demikian hebat mereka mengerahkan tenaga sampai uap perlahan mengepul keluar dari kepala mereka!
Setelah kini mengadu sin-kang, Ouwyang Cin kembali merasa betapa hawa beracun yang amat kuat menyerangnya melalui telapak tangan. Dia tahu akan bahayanya hal ini, namun kini dia tidak dapat mundur lagi. Siapa mundur tentu akan binasa!
Dalam keadaan seperti itu, tidak ada seorangpun yang akan mampu memisahkan mereka tanpa menghadapi bahaya maut bagi dirinya sendiri. Maka, tidak ada jalan lain kecuali mengerahkan lagi seluruh tenaganya untuk merobohkan lawan sebelum hawa beracun itu menyusup semakin dalam ke tubuhnya.
Dia melihat betapa kedua tangannya, sampai ke pergelangan, mulai berubah menghitam. Itu tandanya bahwa dia telah keracunan secara hebat! Dan hawa beracun yang menimbulkan panas dan gatal itu dengan kuatnya hendak menyusup terus ke dalam. Hanya dengan sinkangnya yang kuat saja maka hawa beracun itu dapat tertahan.
Sementara itu, Ang-bin Moko juga terkejut bukan main. Tak disangkanya ada orang di dunia ini yang sanggup menerima Toat-beng-tok-ciang, ilmunya yang mengandung racun mematikan itu. Bahkan dia mulai terdorong dan ketika dia mempertahankan, perlahan-lahan, senti demi senti, kedua kakinya amblas ke dalam tanah yang diinjaknya. Demikian kuatnya tenaga lawan mendorongnya! Dia mencoba untuk mempertahankan, namun dia kalah kuat.
Uap putih semakin tebal mengepul di atas kepalanya, napasnya mulai memburu dan matanya mendelik, mukanya yang biasanya berwarna merah itu kini mulai berkurang merahnya, berubah pucat. Dia berusaha mengerahkan lagi tenaganya, akan tetapi seperti bendungan pecah, dia muntahkan darah segar dan kedua kakinya kini amblas sampai sebatas lututnya. Akhirnya, dia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya seperti terjengkang, roboh telentang di atas tanah dengan kedua kaki terjepit tanah sampai di lutut. Akan tetapi, ketika dua pasang telapak tangan itu terlepas, tubuh Ouwyang Cin juga terhuyung ke belakang dan hampir saja dia roboh.
Dia masih mampu bertahan, dan memandang kepada kedua lengannya yang sudah menghitam sampai ke atas siku! Sebagai seorang datuk yang berilmu tinggi, maklumlah Ouwyang Cin bahwa maut sudah berada di ambang pintu. Maka, diapun menguatkan dirinya, lalu memandang ke arah puterinya yang bersama seorang pemuda yang gagah dikeroyok oleh Maniyoko dan lima orang lain. Pemuda yang saling melindungi dengan puterinya itu cukup indah gerakan pedangnya, ilmu pedang Butong-pai, akan tetapi masih kalah jauh dibandingkan Maniyoko sehingga keadaan puterinya terancam.
"Maniyoko, keparat engkau!" Ouwyang Cin melompat dan sekali menggerakkan kedua tangan yang menghitam itu, Maniyoko terhuyung dan dua orang pengeroyok roboh dan tewas!
"Suhu, aku hanya melanjutkan cita-cita suhu! Aku ingin menjadi raja muda kelak!" Maniyoko membantah ketika melihat suhunya melangkah menghampirinya, sedangkan tiga orang sisa pembantunya masih mengeroyok Akim dan Ci Han.
"Setan kau! Kenapa engkau mengeroyok Akim?"
"Bukankah suhu sudah memberikan ia untukku? Bukankah suhu sudah setuju kalau ia menjadi jodohku?" kembali Maniyoko membantah.
"Setuju berjodoh denganmu bukan berarti setuju engkau mempermainkannya! Apalagi engkau bersekongkol dengan iblis itu untuk mencelakainya. Engkau tidak berhak hidup lagi!" Setelah berkata demikian, Ouwyang Cin yang sudah mulai lemah itu bergerak menyerang muridnya sendiri.
"Suhu! Suhu ingin membunuh murid sendiri, bangsa sendiri? Suhu tidak melihat senjata pusaka bangsa kita ini?" Maniyoko memperlihatkan pedang samurai di tangannya dan sejenak Ouwyang Cin tertegun memandang kepada senjata yang merupakan senjata mustika yang dihormati dan dikeramatkan bangsa Jepang itu. Pada saat dia tertegun dan terpukau di depan muridnya memandang pedang samurai, tiba-tiba dengan kedua tangannya, Maniyoko menyerang dengan menusukkan pedang samurai itu sekuat tenaga ke perut gurunya.
Serangan itu terlalu cepat datangnya, terlalu dekat dan pada saat itu tubuh Ouwyang Cin memang sudah lemah oleh hawa beracun, maka tanpa dapat dihindarkan lagi, pedang samurai itu menusuk perut Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan tembus sampai ke punggung! Ouwyang Cin terbelalak, kedua lengannya menyambar dari kanan kiri dan sepuluh buah jarinya mencengkeram kedua pundak Maniyoko dekat leher.
Pemuda Jepang itu terbelalak, tidak mampu bergerak karena seluruh tubuhnya terasa kaku dan nyeri seperti ditusuki seribu batang jarum. Lehernya berubah menghitam yang menjalar terus ke mukanya dan diapun terkulai, roboh bersama gurunya yang masih mencengkeram kedua pundaknya. Guru dan murid itu tewas dalam waktu yang bersamaan.
Karena kini hanya menghadapi tiga orang pengeroyok, dan melihat betapa ayahnya tadi terluka ketika melawan Ang-bin Moko, Akim menjadi khawatir sekali. Bersama Ci Han, ia mengamuk dan dalam waktu singkat saja ia merobohkan dua orang penyeroyok, sedangkan orang ke tiga roboh oleh tusukan pedang Ci Han.
Pada saat itu, perkelahian antara Bhok Cun Ki dan Pek-bin Moli masih berlangsung seru karena memang tingkat kedua orang ini seimbang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
"Siluman betina, jangan menjual lagak di sini!"
Bentakan itu keluar dari mulut Bi-coa Sianli Cu Sui In! Wanita ini juga mencari jejak para penculik putera tirinya dan berpencar dari suaminya. Karena ia mencari ke lain jurusan, maka sampai semalam itu ia tidak dapat menemukan Ci Han, bahkan tidak bertemu dengan suaminya.
Akhirnya, menjelang pagi ia mengubah arah pencariannya sambil menyusul suaminya dan pada pagi hari itu, ia melihat suaminya sedang bertanding mati-matian melawan seorang wanita tua yang masih cantik, yang berpakaian serba putih dan bermuka pucat seperti mayat. Sebagai bekas tokoh kangouw, tentu saja ia segera mengenal bahwa wanita itu adalah Pek-bin Moli (Iblis Betina Muka Putih) yang merupakan seorang datuk sesat, maka ia membentak dan segera terjun membantu suaminya.
Gulungan sinar hitam menyambar dan Pek-bin Moli terkejut bukan main. Iapun mengenal Si Dewi Ular Cantik dengan pedang yang bersinar hitam itu, dan mukanya yang sudah pucat menjadi semakin pucat. Melawan Bhok Cun Ki saja sudah amat sukar mencapai kemenangan, kini muncul tokoh wanita dari Bukit Ular yang lebih lihai lagi ini. Ia mencoba untuk melawan dengan sabuk ularnya, namun karena hatinya sudah gentar, dalam beberapa jurus saja sabuk ularnya putus menjadi tiga potong oleh Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam) di tangan Cu Sui In.
Apalagi Bhok Cun Ki juga mengurung dengan sinar pedangnya yang indah dan ampuh, maka kini Pek-bin Moli terdesak hebat. Ia masih mencoba untuk menggunakan pukulan beracunnya, yaitu Toat-beng-tok-ciang dan juga totokan Touw-kut-ci, namun kedua orang lawannya terlalu kuat dan sudah menduga bahwa pukulannya itu mengandung racun yang berbahaya. Mereka menghindar sambil menghujankan serangan, dan akhirnya, pedang Hek-coa-kiam menyambar dahsyat dan membabat leher Pek-bin Moli sehingga iblis betina itu roboh dengan leher hampir putus, tewas seketika.
Suami isteri itu cepat menghampiri Ci Han yang berdiri seperti patung memandang Akim yang berlutut dan menangis di dekat mayat ayahnya dan suhengnya. Guru dan murid itu tewas dalam keadaan yang mengerikan. Kedua tangan Ouwyang Cin yang menghitam sampai ke pundak, masih mencengkeram kedua pundak Maniyoko yang tewas dengan mata mendelik dan dari pundak ke kepala berubah menghitam. Sebatang pedang samurai menembus perut Ouwyang Cin, seperti gambaran seorang pendekar samurai yang tewas membunuh diri.
Melihat wajah Tung-hai-liong Ouw yang Cin, berkerut sepasang alis Cu Sui In, ia segera mengenal datuk itu.
"Bukankah dia datuk bajak laut dari timur Ouwyang Cin?"
Bhok Cun Ki mengangguk sambil menghela napas. Peristiwa yang baru terjadi terlalu hebat, dan dia merasa beruntung sekali bahwa puteranya tidak sampai tewas atau cedera dalam peristiwa itu.
"Dan siapa pemuda yang dicekiknya itu?" tanya pula Cu Sui In.
Kini Ci Han yang menjawab.
"Dia bernama Maniyoko muridnya, ibu."
"Hemm, jadi yang menculikmu adalah keluarga bajak laut ini, Ci Han?" tanya pula Cu Sui In.
Akim yang masih bercucuran air mata itu tiba-tiba bangkit berdiri. Bajunya berdarah dari luka di pundak kirinya.
"Akulah yang menculik Bhok Ci Han. Aku dan mendiang suheng Maniyoko. Aku siap menerima hukuman!"
Sikapnya tegas dan tabah, akan tetapi suaranya gemetar dan tubuhnya lemas karena ia memang telah banyak darah mengalir keluar dari lukanya dan iapun lelah sekali menghadapi pengeroyokan tadi.
"Siapa gadis ini?" tanya Cu Sui ln, suaranya dingin dan marah.
"Ia bernama Ouwyang Kim, puterinya, ibu."
"Bagus, kalau begitu memang sepantasnya dibunuh sekali agar tidak mengotori dunia!" Cu Sui In mengangkat pedangnya, akan tetapi sebelum pedang itu menyambar, Ci Han melompat ke depan Akim yang berdiri tegak dan tidak berkedip menanti datangnya serangan.
"Ibu, jangan..."!!" teriak Ci Han.
Cu Sui In mengerutkan lagi alisnya dan memandang heran. Juga Bhok Cun Ki memandang puteranya, akan tetapi dia lalu berkata lirih kepada isterinya.
"Sui In, tenang dulu, biar aku yang mengurusnya."
Sui In mengangguk, dan kini Bhok Cun Ki memandang kepada puteranya yang bersikap melindungi Akim, juga kepada gadis itu yang dengan gagahnya siap menerima hukuman!
"Ci Han, kenapa engkau membela puteri Ouwyang Cin? Bukankah ia dan suhengnya yang menculikmu?"
"Ayah, nona Ouwyang Kim adalah seorang gadis yang baik, seorang gadis yang gagah perkasa dan kalau tidak ada ia yang melindungiku, tentu sudah lama aku tewas di tangan Maniyoko itu. Bagaimanapun juga, aku tidak membolehkan siapapun mengganggunya, apa lagi membunuhnya. Biarlah aku yang dibunuh dulu kalau ibu hendak membunuhnya!"
Melihat sikap ini, Bhok Cun Ki saling pandang penuh arti dengan isterinya. Diapun masih hendak menyelami perasaan puteranya,
"Kami tidak akan membunuhnya. Akan tetapi, aku harus melaporkannya karena agaknya keluarganya bersekutu dengan gerombolan pemberontak dan mata-mata Mongol."
"Tidak, ayah! Harap ayah jangan tangkap Ouwyang Kim. Aku yang menanggung bahwa ia tidak bersalah......"
Tiba tiba terdengar rintihan Akim dan Ci Han cepat membalik dan merangkul gadis itu yang terkulai dan roboh.
"Nona.... engkau..." kenapakah? Engkau.... tidak apa-apakah engkau......?" tanyanya sambil mengguncang tubuh gadis yang telah memejamkan matanya dan nampak pucat itu.
"Aku..... Ci Han.... biarkan..... mereka menghukumku..... biar aku menebus dosa ayah dan suheng...".."
"Tidak, Akim. Tidak! Aku yang akan melindungimu!" teriak Ci Han dan gadis itu mengeluh lalu pingsan dalam rangkulan Ci Han.
"Jangan khawatir, Ci Han. Ia hanya pingsan karena kelelahan dan mungkin terlalu banyak darah keluar dari lukanya. Mari kita bawa ia pulang dan kita rawat di rumah."
Ci Han memandang ayahnya, lalu ibu tirinya.
"Ayah dan ibu..... tidak..." tidak akan membunuh atau menawannya...".? Tidak, bukan...".?"
Bhok Cun Ki tersenyum. Kini dia merasa yakin bahwa puteranya telah jatuh cinta kepada penculiknya sendiri. Juga Cu Sui In tersenyum karena ia maklum bagaimana rasanya orang jatuh cinta dan tersiksa oleh perasaan cinta itu.
Pada saat itu, beberapa orang perajurit anak buah Bhok Cun Ki yang tadi ikut pula mencari, datang dan Bhok-ciangkun segera memberi pesan kepada mereka agar mereka mengurus semua jenazah baik-baik, bahkan memberi peti mati yang selayaknya kepada dua jenazah Ouwyang Cin dan Maniyoko dan menyediakan meja sembahyang untuk jenazah guru dan murid itu, di dalam pondok yang terdapat di situ.
Enam mayat yang lain dapat segera dikubur tanpa diadakan upacara sembahyang karena tidak diketahui siapa keluarga mereka. Kemudian, dia, Sui In dan Ci Han membawa Akim yang pingsan dan lemah itu masuk ke kota raja, ke rumah keluarga Bhok.
Bhok Cun Ki dan Cu Sui In memeriksa Akim dan mendapat kenyataan bahwa seperti yang mereka duga, gadis itu pingsan karena lemah, juga karena tekanan batin melihat kematian ayahnya. Setelah memberi obat dan gadis itu jatuh pulas, mereka tidak mengganggunya, membiarkannya tidur dan memulihkan tenaga, kemudian di kamar itu juga, mereka mendengarkan keterangan Ci Han. Ci Hwa juga berada di situ dan ikut mendengarkan, bersama ibunya.
Ci Han lalu menceritakan betapa dia diculik oleh Akim dan Maniyoko dan betapa Akim hendak membalas dendam karena gadis itu kemarin dulu ditawan oleh Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli bersama enam orang yang menyamar perajurit dan mengaku disuruh oleh Bhok-ciangkun. Baru kemudian Akim mengetahui bahwa yang melakukan sandiwara untuk melakukan fitnah terhadap Bhok-ciangkun itu bukan lain adalah Maniyoko sendiri yang telah bersekongkol dengan sepasang iblis bersama enam orang anak buahnya itu. Betapa Akim mati-matian membela dan melindunginya ketika dia akan dibunuh Maniyoko.
"Setelah tahu bahwa ia dikelabui suhengnya sendiri, Akim lalu memihak ayah dan aku, melawan Maniyoko dan orang-orangnya, sedangkan ayah dikeroyok sepasang iblis itu. Lalu muncul ayah Akim yang segera membantu puterinya, kemudian bertanding melawan Ang-bin Moko yang dapat dibunuhnya, akan tetapi agaknya dia keracunan dan tewas ditusuk samurai oleh Maniyoko yang juga dapat dibunuhnya.
"Nah, bukankah Akim sama sekali tidak bersalah, ayah? Juga Tung-hai-liong Ouwyang Cin itu datang-datang memihak kita dan menyerang Ang-bin Moko. Tidak sepatutnya kalau kita sekarang membikin susah Akim yang sudah kehilangan ayah dan suheng. Yang bersalah adalah Maniyoko, akan tetapi suhengnya itu telah menebus dosa dan tewas di tangan gurunya sendiri."
Semua orang mengangguk-angguk dan bahkan Cu Sui In tidak lagi menyalahkan Akim yang tadinya menculik Ci Han.
"Tidak, kami memang bersalah.... keluarga kami memang tidak benar...".."
Semua orang menengok dan yang bicara adalah Akim. Ci Han segera menghampiri dan duduk di tepi pembaringan. Dari sikapnya yang tidak sungkan lagi ini saja mudah diketahui bahwa pemuda ini memang jatuh cinta kepada Akim. Sikapnya yang lembut dan tidak sungkan sama dengan pengakuannya terhadap semua keluarganya bahwa dia telah menemukan pilihan hatinya.
"Akim, engkau masih lemah, tidak perlu banyak bicara. Beristirahatlah dulu..."." Ci Han membujuk.
Akim tersenyum penuh keharuan. Ia sendiri dapat melihat dengan jelas sinar mata pemuda itu ketika memandang kepadanya, dapat merasakan getaran dalam suara itu dan ia terharu. Bagaimana mungkin seorang pemuda seperti ini dapat jatuh cinta kepada seorang gadis liar seperti dirinya?
"Aku harus memperkenalkan diriku agar semua tahu siapa aku sebenarnya. Kalau tidak, aku akan selalu merasa sungkan dan tidak enak. Dan pengakuan ini akan saya berikan kepada Paman Bhok....... eh, maksudku Panglima Bhok......."
"Engkau boleh menyebutku paman, Akim, aku lebih senang dengan sebutan itu," kata Bhok Cun Ki dengan lembut dan Akim mengangguk dengan pandang mata berterima kasih.
"Begini, Paman Bhok. Belum lama ini, ayah kedatangan Bu-tek Kiam-ong, seorang di antara Bu-tek Cap-sha-kwi yang membawa barang-barang berharga hadiah dari yang dia sebut Yang Mulia, yaitu pimpinan orang-orang Mongol yang hendak memberontak dan membangun kembali Kerajaan Mongol. Ayah diajak bekerja sama dan dijanjikan kelak kalau berhasil akan dijadikan raja muda. Ayah kena terbujuk dan bersedia memenuhi panggilan pimpinan mata-mata, berangkat bersama mendiang suheng, yaitu Maniyoko."
Ia berhenti sebentar, menghela napas. Mendengar ini, hati Ci Han merasa tidak enak sekali. Tidak senang dia mendengar gadis yang dicintanya menceritakan keburukan keluarganya sendiri. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak senang dalam hati orang tuanya!
"Akim perlukah engkau ceritakan semua itu? Ayahmu dan suhengmu telah meninggal dunia, tidak perlu diceritakan lagi.....
" kata Ci Han.
"Biarlah, Ci Han. Biar semua orang mengetahui dan mengenal siapa diriku," kata Akim berkeras, lalu melanjutkan,
"Ibu dan aku sendiri tidak senang mendengar ayah dapat terbujuk oleh orang-orang Mongol. lalu mengutus aku untuk menyusul ayah dan Maniyoko yang sudah berangkat ke kota raja, dan ibu minta agar aku berkeras membujuk ayah jangan sampai melibatkan diri dengan orang-orang Mongol. Maka berangkatlah aku. Aku selalu menentang para pemberontak yang dipimpin orang yang disebut Yang Mulia, yang selalu mengenakan kedok hitam."
Ia lalu menceritakan semua pengalamannya ketika ia menolong Sin Wan yang hampir terbunuh oleh Si Kedok Hitam, kemudian tentang penawanan atas dirinya yang dilakukan Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli yang ternyata bekerja sama dengan suhengnya sendiri, Maniyoko yang menggantikan gurunya bersekutu dengan orang-orang Mongol. Betapa ia pernah ditawan pula oleh gerombolan mata-mata itu dan dijadikan sandera untuk memaksa ayahnya dan suhengnya untuk membunuh Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota yang sedang mengadakan pesta di perahu dekat Cin-an.
"Mulai saat itu juga, ayah sudah berbalik sikap, tidak sudi bekerja sama dengan orang-orang Mongol,
(Lanjut ke Jilid 17)
Asmara Si Pedang Tumpul (Seri ke 02 - Serial Si Pedang Tumpul)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
bahkan menentang mereka. Biarpun demikian, terus terang kuakui bahwa tadinya ayahku memang terkena bujukan orang Mongol. Ayah bercita-cita besar dan akhirnya..."." Akim memejamkan kedua matanya dan beberapa titik air mata menetes turun ke atas kedua pipinya.
"Sudahlah, Akim. Semua itu sudah berlalu, kami sekeluarga tidak ada yang menyalahkanmu atau mendiang ayahmu," kata Ci Han menghibur.
"Dan mulai sekarang, engkau dapat hidup tenang dan damai di sini, di sampingku........"
Akim terbelalak, memandang pemuda itu, lalu menoleh dan memandang kepada Bhok-ciangkun dan kedua isterinya, juga kepada Ci Hwa yang sejak tadi hanya ikut mendengarkan saja. Ia melihat betapa semua wajah itu tersenyum cerah, bahkan Sui In mengangguk kepadanya.
"Ci Han, apa.... apa artinya ucapanmu itu...".?"
Ci Han yang sudah jatuh cinta itu, dengan jujur dan tanpa sungkan lagi mengaku,
"Artinya, Akim, bahwa aku cinta padamu dan aku akan minta kepada orang tuaku untuk meminangmu."
"Aihhh..."!" Akim benar-benar terkejut dan juga kagum melihat kejujuran pemuda bangsawan ini. Iapun harus bersikap jujur, kalau tidak, kelak hal yang disembunyikannya itu hanya akan menjadi gangguan bagi batinnya.
"Bagaimana mungkin..."."
"Kenapa tidak mungkin, Akim?" Sui In berkata dengan lembut.
"Kalau kalian saling mencinta, dan pihak keluarga menyetujui, mengapa tidak mungkin? Ci Han mencintamu dan kami sekeluarga juga menyetujui, tinggal terserah apakah engkau juga mencintanya dan apakah ibumu akan menyetujuinya."
Mendengar ini, Bhok Cun Ki dan isterinya juga mengangguk. Seperti biasa, Cu Sui In memang lancang dan terus-terang, akan tetapi juga cerdik sehingga sebelum bicara, ia sudah merasa yakin bahwa suaminya dan madunya akan cukup bijaksana untuk menyetujui pilihan hati Ci Han.
"Aku..."? Aku kagum dan suka kepada Ci Han. Akan tetapi, aku merasa tidak pantas menjadi jodohnya. Bahkan aku pernah jatuh cinta kepada seseorang dan dia menolak cintaku. Terus terang saja, Ci Han, aku pernah jatuh cinta kepada Sin Wan."
Semua orang mengerutkan alisnya, dan Ci Hwa yang ikut mendengarkan menjadi merah sekali mukanya.
"Dan sekarang engkau masih cinta padanya?" tanya Ci Hwa karena ia ingin tahu sekali. Biarpun dia tidak ikut bertanya, namun pandang mata Ci Han kepada Akim juga menuntut penjelasan.
Akim tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Kurasa tidak. Aku memang mengaku cinta padanya, akan tetapi dia juga berterus terang bahwa dia tidak dapat mencinta gadis lain kecuali sumoinya. Aku lalu sadar. Cinta tidak mungkin dipaksakan. Perjodohan tidak mungkin ditunjang cinta sepihak. Aku bahkan kagum kepadanya Sin Wan seorang yang setia kepada kekasihnya."
Keluarga itu kecuali Nyonya Bhok, adalah keluarga orang gagah yang menghargai kejujuran. Sikap Akim yang terus terang itu mengagumkan hati mereka. Bahkan kini Ci Hwa memandang kepada Akim dengan wajah berseri dan tiba-tiba iapun merangkul Akim.
"Engkau hebat, enci Akim, aku suka sekali mempunyai kakak ipar sepertimu ini!"
Semua orang tersenyum, juga Ci Han tersenyum karena mereka semua tahu dengan hati lega bahwa mendengar ucapan Akim tadi, Ci Hwa menyadari perasaan hatinya yang lemah dan tidak benar. Ia mencinta Sin Wan, akan tetapi kalau Sin Wan mencinta gadis lain, perlu apa ia harus menyesali diri? Cinta tidak dapat dipaksakan, dan perjodohan tidak mungkin ditunjang cinta sepihak, seperti sebuah bangku tidak mungkin hanya berkaki sebelah. Seketika Ci Hwa menyadari bahwa perasaan masgul dan duka yang dirasakannya selama ini karena penolakan Sin Wan adalah suatu kebodohan dan kelemahan!
"Eh, kalian tidak membenciku karena itu? Ci Han, engkau tidak marah karena aku pernah mencinta pemuda lain?"
"Kenapa marah? Kenapa menyesal, Akim? Cinta adalah suatu perasaan hati yang amat pribadi. Jatuh cinta berarti tertarik kepada seseorang. Kalau kita mau jujur, aku sendiri mungkin sudah puluhan kali jatuh cinta, tertarik kepada seorang wanita, akan tetapi semua itu hanya menjadi rahasia hatiku sendiri. Itulah bedanya antara engkau dan aku, kalau aku hanya merahasiakan perasaan hatiku, engkau berterus terang. Engkau jujur dan terbuka, Akim. Yang penting, sekarang kita saling tertarik dan saling jatuh cinta. Benarkah dugaanku bahwa engkaupun cinta padaku?"
Akim tersenyum dan mengangguk.
"Kalau begitu, engkau setuju kalau kami mengajukan pinangan kepada ibumu?" kini Bhok-ciangkun bertanya.
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja aku setuju, paman. Akan tetapi, sebelum itu, aku harus membalaskan kematian ayah lebih dulu!" Akim mengepal tinju.
"Hemm, pembunuh ayahmu adalah Ang-bin Moko dan suhengmu Maniyoko. Kedua orang itu sudah tewas, kenapa engkau masih ingin membalas dendam? Kepada siapa?" tanya Bhok Cun Ki.
"Tidak, paman. Yang menjadi biang keladinya adalah Si Kedok Hitam. Aku harus mencarinya dan membunuhnya!" Akim berkata gemas.
"Ah, kalau begitu engkau dapat membantu kami, Akim. Kamipun sedang berusaha keras untuk membasmi jarinqan mata-mata Mongol yang dipimpin oleh Si Kedok Hitam itu. Dia amat lihai jaringannya amat kuat. Berbahaya sekali kalau kita bekerja sendiri-sendiri."
Panglima itu teringat akan ancaman Kaisar yang akan menghukum mati seluruh keluarganya kalau dalam waktu sebulan, dia tidak mampu membasmi jaringan mata-mata Mongol itu!
"Ketahuilah kalian semua bahwa aku diharuskan Sribaginda Kaisar untuk membasmi jaringan mata-mata itu dalam waktu sebulan. Nah, kita harus mengerahkan seluruh tenaga untuk menemukan Si Kedok Hitam. Sayang Lili tidak segera pulang, karena tenaganya amat kita butuhkan, juga Sin Wan......"
Pada saat itu, seorang pengawal masuk dan melaporkan kedatangan Sin Wan dan Kui Siang.
Bhok Cun Ki girang sekali. Tadinya dia mengira bahwa pemuda itu sudah tidak akan mau dan berani lagi datang ke rumahnya, dan dia sekeluarga mulai merasa menyesal telah pernah memaksa pemuda itu untuk mengawini Ci Hwa. Mereka hendak memaksakan sebuah pernikahan dengan cinta sepihak! Biarpun mukanya berubah merah, namun sekali ini Ci Hwa tidak lari bersembunyi, melainkan bersama Akim dan yang lain keluar menyambut kunjungan Sin Wan.
Sin Wan dan Kui Siang berdiri memberi hormat kepada keluarga tuan rumah dan diam-diam dia terkejut melihat Akim berada di situ, bergandeng tangan dengan Ci Hwa. Kalau tadinya Sin Wan merasa tegang hatinya dan juga amat sungkan untuk datang ke rumah ini dan bertemu dengan keluarga yang marah kepadanya itu, kini dia merasa heran dan lega hatinya. Bukan saja Ci Hwa memandang kepadanya dengan sinar mata biasa dan senyum di bibir, juga Cu Sui In sendiri yang begitu marah kepadanya, kini menyambutnya dengan senyum di bibir!
Bahkan Akim, yang pernah marah dan merasa terhina karena dia tidak dapat membalas cintanya, kini memandang kepadanya tanpa perasaan marah dan benci.
"Paman Bhok, harap maafkan kami kalau kedatangan kami ini mengganggu paman sekeluarga," kata Sin Wan setelah bersama Kui Siang memberi hormat.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan dan engkau sama sekali tidak mengganggu, Sin Wan. Bahkan kebetulan sekali engkau datang karena kami memang memerlukan kehadiranmu untuk membicarakan tentang jaringan mata-mata Mongol," Kata Bhok-ciangkun.
"Dan nona ini, siapakah ia?"
"Ini adalah sumoiku Liem Kui Siang, paman. Ia adalah puteri mendiang bangsawan Liem Cun, pengurus gudang pusaka istana...".."
"Ahhhh! Aku adalah sahabat baik mendiang ayahmu, nona Liem!" kata Bhok Cun Ki dengan gembira.
"Mari, silakan masuk, kita bicara di dalam."
Mereka semua masuk dan duduk di ruangan dalam. Setelah duduk mengelilingi, sebuah meja besar, Akim yang kebetulan saling pandang dengan Sin Wan lalu bertanya,
"Sin Wan, inikah sumoimu yang menjadi calon jodohmu itu?"
Semua orang tidak kaget lagi mendengar pertanyaan yang demikian jujur dan terbuka dari Akim karena sudah mengenal wataknya. Betapapun juga, pandang mata mereka yang ditujukan kepada Sin Wan nampak rikuh.
Sin Wan tersenyum dan mengangguk "Benar sekali, Akim. Dan engkau sendiri, bagaimana dapat berada di antara keluarga Paman Bhok?"
"Twako, Akim adalah tunanganku. Kami saling mencinta dan akan menikah!" kata Ci Han.
Sin Wan terkejut akan tetapi juga merasa gembira bukan main. Cepat dia berdiri, diikuti Kui Siang dan memberi selamat kepada mereka. Dengan gembira Ci Han membalas ucapan selamat dengan berterima kasih, akan tetapi Akim duduk dan nampak berduka. Sin Wan yang mengenal benar watak gadis itu, tanpa ragu bertanya,
"Akim, kenapa engkau kelihatan berduka, padahal sepatutnya engkau bergembira seperti tunanganmu?"
Akim cemberut.
"Engkau tidak tahu, Sin Wan. Baru saja ayahku tewas..."."
"Ahhh....? Apa yang telah terjadi? Paman Bhok, apa yang terjadi di sini?" Sin Wan bertanya dan sikapnya kini serius, tidak berani bergurau mengingat bahwa Akim sedang berkabung.
Bhok Cun Ki lalu menceritakan semua yang terjadi, tentang kematian Ouwyang Cin, juga tentang kematian Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli dua orang pembantu utama Si Kedok Hitam, juga kematian Maniyoko yang bersekutu dengan para jagoan Mongol.
"Dengan kegagalan mereka di Cin-an, kemudian disusul tewasnya Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, maka kekuatan jaringan mata-mata semakin kecil. Sribaginda Kaisar memanggilku dan memberi waktu satu bulan agar aku dapat membasmi jaringan mata-mata itu. Sekarang di sini terdapat Ouwyang Kim yang membantu, juga engkau dan nona Lim datang sehingga kedudukan kita semakin kuat. Sayang Lili belum juga pulang. Apakah engkau bertemu dengannya di utara, Sin Wan?" Bhok-ciangkun menutup ceritanya.
"Kunjungan kami memang ada hubungannya dengan Lili, paman."
"Wan-twako, kenapa enci Lili tidak pulang bersama-sama dengan engkau dan enci Kui Siang?" Ci Hwa bertanya dan melihat sikap gadis itu yang sudah biasa terhadap dirinya, seolah-olah tidak ada bekas apa-apa di antara mereka, Sin Wan merasa heran akan tetapi juga girang sekali. Juga keluarga gadis itu merasa lega dan girang. Kiranya kemunculan Akim membawa perubahan kepada Ci Hwa, mendatangkan kesadaran kepada gadis itu.
"Lili tinggal di utara dan ia menitipkan salam kepada seluruh anggauta keluarga Bhok. Ia selamat dan sehat saja, dan sementara ini ia tidak akan pulang ke selatan karena, ia ikut dengan Raja Muda Yung Lo ke Peking."
"Ehhh? Apa artinya ini, Sin Wan? Cu Sui In bertanya sambil mengerutkan alisnya mendengar bahwa puterinya pergi mengikuti Raja Muda Yung Lo Ke Peking.
"Lili menggantikan kedudukan sumoi Liem Kui Siang, menjadi pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo karena Kui Siang akan membantuku di sini menghadapi jaringan mata-mata Mongol. Mengenai diri Lili, Raja Muda Yung Lo menitipkan surat kepada kami untuk dihaturkan kepada Paman Bhok."
Sin Wan mengeluarkan surat dari Raja Muda Yung Lo dan menyerahkannya kepada Bhok Cun Ki. Ketika dia membaca surat itu, kedua isterinya menghampiri dan ikut membaca dari belakang kedua pundaknya.
Wajah ketiganya penuh ketegangan, akan tetapi berubah cerah setelah mereka membaca habis surat. Kiranya Raja Muda Yung Lo mengagumi kegagahan Lili, dan karena raja muda itu merasa kehilangan karena Kui Siang harus membantu calon suaminya membasmi jaringan mata-mata Mongol di kota raja, maka raja muda itu mohon persetujuan keluarga Bhok agar Lili, yang juga sudah setuju, untuk menjadi pengawal pribadinya.
"Nona Liem, selama engkau menjadi pengawal pribadi Raja Muda Yung Lo atau Pangeran Yen, bagaimana sikap dan wataknya? Apakah dia seorang penguasa yang baik, jujur dan adil?" Pertanyaan Bhok-ciangkun ini mewakili pertanyaan seluruh keluarganya.
Liem Kui Siang memejamkan matanya sejenak, membayangkan kejantanan dan kegagahan Raja Muda Yung Lo, juga betapa raja muda itu jatuh hati kepadanya dan pernah menawarkan untuk menarik ia menjadi isteri raja muda itu. Kemudian dengan suara bersungguh-sungguh ia berkata,
"Paman Bhok, kalau aku boleh mengatakan, di dunia ini, kecuali koko Sin Wan, dialah pria yang paling hebat, paling bijaksana, keras dan adil, akan tetapi juga bersusila dan berbudi mulia. Harap paman jangan khawatir. Adik Lili berada di tangan yang baik dan boleh dipercaya sepenuhnya."
Sin Wan tersenyum mendengar jawaban kekasihnya itu, maklum apa yang dipikirkan kekasihnya tentang raja muda itu. Juga dia mengerti akan kekhawatiran hati keluarga itu mendengar Lili menjadi pengawal pribadi raja muda di Peking itu.
"Apa yang diterangkan Siang-moi memang benar sekali. Sudah lama aku mengenal raja muda itu dan mengagumi kegagahannya. Harap paman sekalian tidak merasa khawatir. Raja Muda Yung Lo tidak dapat disamakan dengan Pangeran Mahkota, di sana Lili tidak akan mengalami hal-hal yang buruk seperti ketika menjadi pengawal Pangeran Mahkota."
"Syukurlah, lega hati kami setelah mendengar penjelasan kalian. Sekarang kita bicara tentang tugas kita. Bagaimana menurut pendapatmu, Sin Wan? Dari mana kita akan memulai penyelidikan kita dan siapa kiranya orang yang dapat dicurigai dan tahu di mana Si Kedok Hitam bersembunyi?"
"Aku sudah membicarakan urusan ini dengan Lili dan kami sependapat bahwa kita harus mencurigai Yauw Siucai, sastrawan yang kini menjadi penasihat dan tangan kanan Pangeran Mahkota," kata Sin Wan.
Bhok Cun Ki mengangguk-angguk.
"Aku sudah menyebar penyelidik dan memang orang itu patut dicurigai. Kemunculannya di istana Pangeran Mahkota itu mendatangkan perubahan besar pada diri sang pangeran. Kalau dulu, pangeran mahkota sudah terkenal sebagai seorang yang selalu mengejar kesenangan, sekarang, setelah ada sastrawan itu, keadaannya menjadi lebih parah lagi. Bukan saja dia selalu berfoya-foya, bahkan suka mengganggu anak isteri orang, dan selain suka mabok-mabokan, juga dia kini suka menghisap candu!"
"Memang mencurigakan," kata Cu Sui In membenarkan suaminya.
"Menurut cerita kemunculan sastrawan itu di istana pangeran juga cukup mencurigakan. Lili bertemu dengan orang she Yauw itu dalam perjalanan, dan sikap sastrawan itu mencurigakan sekali. Lili sama sekali tidak mengenal asal usulnya, dan biarpun penampilannya seperti sastrawan dan bekerja sebagai guru sastra untuk putera Pahgeran Mahkota, namun menurut Lili, sastrawan itu memiliki ilmu silat yang tinggi."
"Memang dia patut dicurigai, akan tetapi bagaimana mungkin dapat membuat dia membuka kedoknya dan bagaimana kita dapat menyelidiki siapa sebetulnya dia? Dia kini dekat sekali dengan Pangeran Mahkota, menjadi orang kepercayaannya maka sukarlah bagi kita untuk mendesaknya," kata Bhok Cun Ki,
"Yang ke dua adalah Si Kedok Hitam. Kalau saja kita mampu menemukan orang itu, kiranya semua rahasia jaringan mata-mata akan dapat terbongkar. Akan tetapi ke mana kita mencari orang tinggl besar yang berperut gendut itu? Ilmu silatnya juga tinggi sekali."
"Nanti dulu..."!!" tiba-tiba Akim berseru nyaring sehingga mengejutkan Ci Han yang duduk di sampingnya karena pemuda itu mengira bahwa kekasihnya itu diserang rasa nyeri pada pundak yang terluka. Ternyata tidak demikian. Luka di pundak Akim itu sudah sembuh berkat obat yang mujarab dari Cu Sui In.
"Aku teringat sesuatu ketika paman Bhok menyebut Si Kedok Hitam yang berperut gendut. Perut gendut.......? Perut gendut""".??"
Tentu saja semua orang merasa heran, bahkan merasa geli mendengar gadis itu berulang kali menyebut perut gendut. Tiba-tiba Akim menoleh dan memandang kepada Sin Wan.
"Eh, Sin Wan, masih ingatkah engkau ketika kita berdua menyerang Si Kedok Hitam, kemudian datang anak buahnya sehingga aku tertawan olehnya?"
Sin Wan mengangguk dan memejamkan mata untuk membayangkan kembali peristiwa itu.
"Ya, aku ingat. Dia lihai sekali, akan tetapi kalau tidak datang kawan-kawannya pada waktu itu, agaknya kita berdua akan dapat merobohkannya."
"Bukan itu, Sin Wan, akan tetapi perut gendutnya!" kata pula Akim dan kini ia nampak tegang. Semua orang tertegun heran karena kembali Akim menyebut tentang perut gendut.
"Memang Si Kedok Hitam itu berperut gendut, Akim, lalu kenapa?"
"Sin Wan, kita sungguh bodoh sekali mengapa baru sekarang sadar akan itu. Lupakah engkau ketika kita menyerangnya? Ketika itu, pedangmu yang tumpul tapi ampuh itu membuat dia terkejut dan pedang di tangannya rusak oleh pedang tumpulmu. Dan pedangku ini"....." Tiba-tiba Akim mencabut pedangnya yang tak pernah terpisah darinya dan semua orang terkejut melihat sinar pedang yang mengandung hawa dingin itu.
"Paman Bhok, pedang pemberian mendiang ayah ini adalah pedang pusaka. Coba paman lihat keampuhannya!" Gadis itu lalu meloncat ke sudut ruangan itu di mana terdapat sebuah rak besi dan sekali pedangnya menyambar, ujung rak besi itu putus seperti terbuat dari kayu lunak saja!
Ketika semua orang memandang masih kaget dan heran, Akim sudah menghampiri Bhok Cun Ki dan menyerahkan pedangnya.
"Maaf kalau aku merusak rak itu, paman, akan tetapi coba paman periksa, apakah kiranya di dunia ini ada ahli silat yang kebal terhadap pedangku ini?"
Biarpun dia sendiri, juga kaget dan heran, Bhok Cun Ki menerima pedang itu dan memeriksanya. Dia menggeleng kepalanya.
"Pedangmu ini merupakan pusaka ampuh, Akim. Senjata besi biasa saja tidak akan mampu bertahan kalau bertemu pedang ini, apalagi kulit daging manusia. Betapapun kebalnya, sukarlah untuk dapat menahan kekebalan kulit terhadap pedangmu ini."
"Nah, sekarang tentu engkau ingat, Sin Wan?"
Sin Wan tiba-tiba berseru sambil bangkit berdiri.
"Benar! Perut gendutnya! Perut gendutnya!"
Tentu saja semua orang semakin heran dan juga geli. Seolah-olah Sin Wan ketularan penyakit Akim dan menyebut-nyebut perut gendut! Akan tetapi dia melanjutkan,
"Ketika kami mengeroyoknya, dan Si Kedok Hitam terkejut karena pedangnya rusak oleh pedangku, saat itu Akim menyerangnya dengan tusukan pedangnya. Serangan Akim itu cepat sekali dan dilakukan pada detik si Kedok Hitam tertegun sehingga pedangnya tepat memasuki perut gendutnya. Aku melihat dengan jelas, akan tetapi Si Kedok Hitam tidak roboh, bahkan tidak ada darah keluar dari perutnya yang tertusuk pedang!"
Mendengar ini, Bhok Cun Ki memukul meja di depannya.
"Brakk!" Dan dia pun bangkit berdiri, matanya berkilat-kilat.
"Ah, kalau begitu, perut gendutnya adalah palsu!"
"Benar sekali, Paman Bhok. Akim telah menemukan rahasia yang amat penting bagi kita! Kini tidak dapat diragukan lagi, Si Kedok Hitam yang disebut Yang Mulia oleh anak buahnya, pemimpin jaringan mata-mata Mongol, adalah seorang pria yang sama sekali tidak gendut perutnya, melainkan tinggi besar dan amat lihai."
Mereka duduk kembali dan nampak betapa Bhok Cun Ki dan Sin Wan saling pandang. Seolah keduanya dapat saling menjenguk isi hati masing-masing dan akhirnya Bhok Cun Ki berkata,
"Sin Wan apakah engkau juga menduga seperti yang menjadi dugaanku?"
Pemuda itu mengangguk.
"Sikapnya selama ini selalu menentang dan memusuhi aku, paman, seolah-olah secara tidak langsung dia memihak kepada para mata-mata Mongol. Biarpun kita belum dapat memastikannya, akan tetapi dia patut sekali dicurigai, paman, di samping Yauw Siucai itu."
Bhok Cun Ki mengangguk-angguk.
"Ih, kalian berdua bicara seperti dalam rahasia saja! Siapa sih orangnya yang kalian sangka menjadi Si Kedok Hitam itu?" tanya Cu Sui In tak sabar.
Suaminya menghela napas panjang.
"Hal ini kalau diketahui orang luar, tentu akan menimbulkan kegemparan. Berbahaya sekali kalau dugaan kita itu keliru, dan berbahaya pula kalau sebelum kita menemukan buktinya, dia telah mendengar akan dugaan kita."
"Akan tetapi, siapakah dia?" Sui In mendesak.
Bhok Cun Ki menengok ke kiri kanan. Ruangan itu tertutup dan tidak nampak seorangpun pembantu keluarga, juga tidak terdengar ada orang di luar ruangan itu. Namun, tetap saja dia berkata dengan bisik-bisik,
"Jenderal Besar Yauw Ti."
"Ihh..."".!!" Nyonya Bhok menahan jeritnya dengan menutupi mulutnya.
"Bagaimana mungkin? Dia seorang jenderal besar yang amat besar jasanya kepada kerajaan!"
Suaminya memberi tanda agar isterinya itu tetap tenang.
"Kalian semua tahu bahwa dugaan ini harus kita rahasiakan. Aku, dibantu Sin Wan, Akim engkau sendiri, Sui In dan nona Liem Kui Siang, akan cari bukti-buktinya.
Bahkan secara rahasia aku akan bicara dengan Jenderal Shu Ta, karena hanya Jenderal Shu Ta yang akan mampu mengendalikan dan mengatasi kalau-kalau benar dia orangnya dan hendak mempergunakan kekuatan pasukannya."
"Wah, kalau terjadi demikian, tentu akan geger dan terjadi perang saudara yang hebat!" seru Ci Han penuh kekhawatiran.
Memang dapat dibayangkan betapa akan hebatnya kalau yang menjadi pemberontak itu seorang jenderal besar seperti Jenderal Yauw Ti yang mengepalai ratusan ribu orang pasukan!
"Karena itulah kita harus bekerja secara rahasia. Jangan sampai dia mengetahui lebih dahulu bahwa dia dicurigai karena hal itu akan membahayakan sekali," kata Bhok Cun Ki.
"Dan aku memiliki pula sebuah bukti yang akan membongkar rahasia pimpinan mata-mata itu."
Dia memasuki kamarnya dan kembali ke ruangan itu, membawa sebuah benda kecil yang dibungkus dengan kain. Setelah bungkusan itu dibuka, ternyata isinya sebatang paku menghitam.
"Inilah paku yang dahulu melukai pundak Lili ketika ia bertanding denganku. Paku ini dilepas seseorang dengan maksud membantu Lili dan membunuhku, akan tetapi paku ini dapat tertangkis pedangku. Paku-paku runtuh dan sebuah di antaranya, yaitu yang ini, mengenai pundak Lili."
"Paku itu beracun," Cu Sui In membantu suaminya karena ia sudah mendengar kisah itu dan melihat senjata rahasia itu dengan teliti,
"Akan tetapi tidak ada tanda-tanda siapa pemiliknya."
"Kalau kita dapat menyelidiki tempat tinggal orang-orang yang kita curigai dan kita mendapatkan senjata rahasia yang serupa dengan ini, berarti dia yang melepas senjata beracun itu, membuktikan bahwa dia terlibat dalam jaringan mata-mata musuh."
Mereka mengadakan perundingan sampai lama dan pada malam hari itu, Sin Wan dan Kui Siang diterima sebagai tamu agung, bahkan sebagai anggauta keluarga sendiri. Kui Siang segera akrab dengan Akim dan Ci Hwa, dan malam itu mereka bertiga tinggal sekamar. Akim yang memiliki watak jujur terbuka itu tanpa malu-malu lagi menceritakan tentang hubungannya dengan Sin Wan, dan dalam kesempatan ini pula, Ci Hwa yang ketularan sikap terbuka itu, mengaku kepada Kui Siang tentang urusannya dengan Sin Wan, betapa ia pernah mencinta Sin Wan namun tidak dibalas oleh pemuda itu.
Mendengar pengakuan dua orang gadis yang pernah mencinta Sin Wan ini, Kui Siang bukan merasa cemburu atau panas hatinya, bahkan ia merasa bersyukur sekali karena terbukti bahwa suhengnya itu amat mencintanya dan tidak dapat membalas cinta gadis-gadis lain, padahal Akim dan Ci Hwa adalah dua orang gadis yang cantik jelita, bahkan Akim memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, mungkin lebih tinggi dibandingkan ia sendiri. Namun, suhengnya itu tetap setia kepadanya, walaupun ia sendiri pernah marah kepada suhengnya, menyatakan benci dan tidak ingin bertemu lagi!
Panglima Bhok Cun Ki yang cerdik itu diam-diam telah menghubungi Jenderal Shu Ta. Tentu saja Jenderal Besar ini terkejut setengah mati mendengar laporan pembantunya. Hampir dia marah-marah karena tidak percaya bahwa pembantunya yang berjasa besar, Jenderal Yauw Ti, dicurigai sebagai pemimpin jaringan mata-mata Mongol. Mustahil, katanya. Akan tetapi, dengan tenang dan sabar Bhok-ciangkun memberi penjelasan secara terperinci, mengumpulkan semua hasil penyelidikan anak buahnya dan hasil penyelidikan Sin Wan, Lili dan juga Akim.
Mendengar keterangan terperinci itu, Jenderal Shu Ta berdiam diri, termenung dengan alis berkerut. Akan tetapi, dia harus yakin pikirnya. Menuduh Jenderal Yauw Ti sebagai pemimpin mata-mata Mongol, tanpa adanya bukti-bukti yang meyakinkan, amat berbahaya. Jenderal Yauw Ti memiliki kekuasaan yang cukup besar, bahkan Kaisar amat percaya kepada jenderal yang tinggi besar itu. Pendeknya, Jenderal Yauw Ti merupakan orang kedua sesudah dia yang dekat dan dipercaya Kaisar. Dia sendiri adalah sute (adik seperguruan) Kaisar, tentu saja hubungannya amat dekat. Akan tetapi Jenderal Yauw Ti juga telah melakukan banyak jasa dan selama ini membuktikan dirinya sebagai seorang jenderal yang cakap dan setia.
"Bhok-ciangkun, dugaanmu ini berbahaya sekali. Engkau harus mampu memperlihatkan bukti, barulah aku berani turun tangan dan berani melapor kepada Sribaginda," akhirnya dia berkata.
"Tentu saja, Shu-goanswe (Jenderal Shu). Saya hanya mohon bantuan paduka, karena tanpa bantuan paduka, bagaimana mungkin saya berani menyelidiki ke dalam rumah dan kantor Jenderal Yauw? Sribaginda telah memberi waktu kepada saya, dan kalau dalam sebulan saya tidak mampu membongkar jaringan mata-mata ini, seluruh keluarga saya akan menerima hukuman. Saya mohon bantuan paduka."
Jenderal Shu Ta menghela napas panjang. Seringkali dia menghela napas panjang melihat perubahan yang terjadi pada diri suhengnya yang kini menjadi Kaisar itu. Sekarang, Kaisar berubah menjadi seorang yang teramat kejam. Bahkan seorang pembantu terbaik dan paling setia sekalipun, dengan mudah akan dijatuhi hukuman mati karena melakukan kesalahan sedikit saja! Kaisar begitu dipenuhi kecurigaan dan kebencian.
"Baik, aku akan membantumu, ciangkun," kata Jenderal Shu Ta dan mereka lalu bicara dengan sikap serius mengatur langkah-langkah untuk membongkar rahasia yang amat membahayakan negara itu.
Sebagai hasil dari rencana siasat mereka itu, pada suatu hari, Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti dipanggil menghadap Kaisar bersama para panglima tinggi lainnya untuk membicarakan tentang keamanan negara. Kaisar melakukan panggilan ini tentu saja sebagai hasil dorongan Jenderal Shu Ta yang bermaksud agar Jenderal Yauw dapat mengemukakan pendapat-pendapatnya tentang jaringan mata-mata Mongol yang membahayakan negara, dan terutama sekali untuk memancing jenderal itu keluar agar Bhok Cun Ki dan para pembantunya mendapatkan kesempatan untuk melakukan penyelidikan ke tempat tinggal dan kantor jenderal yang dicurigai itu. Kaisar tidak mencurigai bujukan Jenderal Shu Ta ini karena memang Kaisar ingin membicarakan tentang penyerangan terhadap kedua orang puteranya, yaitu Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Chu Hui San.
Kesempatan itu dipergunakan dengan baik oleh Bhok Cun Ki yang segera menugaskan kepada Sin Wan dan Kui Siang untuk melakukan penyelidikan ke rumah keluarga Jenderal Yauw Ti.
Bagi orang biasa, tentu tidak akan mudah memasuki gedung keluarga Jenderal Yauw Ti tanpa ijin. Namun, Sin Wan dan Kui Siang mempergunakan ilmu kepandaian mereka dan berhasil melompati pagar tembok di bagian belakang ketika pasukan pengawal yang melakukan perondaan siang malam itu lewat dan mereka berdua sudah menyelinap ke dalam taman bunga milik keluarga itu.
Sebelumnya, mereka berdua sudah mendapat penggambaran yang jelas tentang keadaan gedung itu dan juga tentang keadaan keluarga Yauw Ti, jenderal yang mereka curigai. Jendral itu mempunyai seorang isteri dan tiga orang selir di gedung itu, dan hanya mempunyai dua orang anak dari para selirnya, dua orang anak laki-laki yang masih kecil, belum sepuluh tahun usianya.
Sin Wan dan Kui Siang menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak, mendekati bangunan besar. Dua orang tukang taman yang sedang bekerja, tidak melihat gerakan mereka dan akhirnya dua orang pendekar itu berhasil meloncat ke atas atap dapur bangunan itu, bersembunyi di balik wuwungan dan bergerak bagaikan dua ekor kucing tanpa mengeluarkan suara apapun.
Lembah Selaksa Bunga Eps 6 Lembah Selaksa Bunga Eps 12 Pedang Sinar Emas Eps 22