Pedang Sinar Emas 22
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 22
"Nah, itulah dia Pulau Kura kura," kata Ouw bin cu sambil menunjuk ke arah sebuah pulau yang bentuknya memang seperti seekor kura kura besar sekali.
"Dan menurut peta, pulau ke tujuh di sebelah kanannya itulah yang disebut Sam liong to. Akan tetapi, sudah beberapa hari aku mencari cari di atas pulau itu, tidak juga bisa mendapatkan tanda tanda bahwa di sana terdapat harta terpendam."
Siauw giam ong memandang ke sebelah kanan dan melihat deretan pulau pulau kecil, di sebelah kiri Pulau Kura kura terdapat deretan pulau pulau besar yang kehijauan, tanda bahwa di atas pulau pulau itu terdapat pohon pohon yang lebat.
"Hem, mengertilah aku sekarang, Ouw bin cu," katanya sambil menahan gerakan dayung. "Tak perlu kita melanjutkan ke sebelah kanan Pulau Kura kura, sebaliknya harus membelok ke kiri."
"Mengapa begitu? Di atas peta terdapat gambar panah yang menyatakan bahwa Pulau Sam liong to berada di sebelah kanan Pulau Kura kura."
Siauw giam ong tersenyum mengejek.
"Itulah sebabnya maka kau selalu tidak berhasil, Ouw bin cu. Peta itu menyesatkan kalau kau tidak bisa membaca huruf huruf yang tertulis di situ. Ambil dan buka petamu, akan kuterangkan kepadamu sekarang karena sudah tiba waktunya."
Ouw bin cu mengeluarkan peta rahasia dari saku bajunya dan membuka peta itu, kini tidak menyembunyikan sesuatu. Siauw giam ong melihat peta yang jelas memberitahukan tempat penyembunyian harta.
Di atas peta itu tergambar pulau pulau kecil, yakni Pulau Seribu. Karena penggambaran pulau pulau itu hanya berbentuk segi empat semua, maka sukarlah untuk dikenal mana pulau yang dimaksudkan.
Dan di tengah tengah sekali tergambar seekor kura kura ini, pulau yang ke tujuh diberi tanda bahwa di situ terdapat harta itu dengan lukisan gua yang depannya menyerupai tengkorak manusia dan di atasnya terdapat pohon pohon. Tepat sekali di atas gua itu terdapat akar akar pohon yang menyerupai ular besar. Akar yang paling besar terdapat tiga batang banyaknya, berbentuk tubuh tiga ekor naga. Oleh karena inilah maka oleh pembuat peta, pulau ini disebut Sam liong to atau Pulau Tiga Naga.
"Nah, sekarang dengarlah aku menterjemahkan huruf huruf yang merupakan pesan daripada penulis atau pembuat peta ini, Ouw bin cu!" kata Siauw giam ong yang segera membaca pula huruf itu, di dengarkan dengan penuh perhatian oleh Ouw bin cu.
"Matahari mulai tenggelam
jauh di belakang Pulau Seribu,
Jauh di belakang daratan Tiongkok
yang sudah lama kurindukan!
Bahkan jauh di belakang Kun lun san
yang sudah puluhan tahun kutinggalkan,
Semua ini gara gara Sam liong to
pulau ke tujuh di kanan Pulau Kura kura."
Setelah Siauw giam ong habis membaca tulisan itu, Ouw bin cu mencela, "Ah, apa artinya itu? Tetap saja dikatakan bahwa Sam liong to berada di sebelah kanan Pulau Kura kura, yakni pulau ke tujuh seperti telah di beri tanda di atas peta ini. Terjemahannya tidak ada artinya, kawan!" Suara Ouw bin cu amat kecewa.
"Itulah kalau orang tak pernah membaca syair, kalau orang tidak suka membaca buku. Dan kau menyebut orang orang macam pinto ini sebagai kutu buku."
"Apa maksudmu Siauw giam ong! Benar benarkah ada arti lain dalam syair yang kau baca tadi?"
"Coba kau ingat kembali bunyi syair tadi, Ouw bin cu. Penulisnya menggambarkan keadaan matahari yang mulai tenggelam. Ia katakan bahwa matahari tenggelam jauh di belakang Pulau Seribu dan bahkan jauh di belakang daratan Tiongkok dan gunung Kun lun san! Coba bayangkan, orang yang menulis hal matahari tenggelam itu, kiranya berada di mana? Tentu ia berada di sebelah sana Pulau Seribu, bukan di sebelah sininya seperti kita sekarang berada! Kalau ia berada di sebelah sini, tidak nanti ia mengatakan tentang matahari tenggelam seperti itu, seakan akan daratan Tiongkok dan Kun lun san berada jauh di belakang Pulau Seribu. Nah, oleh karena penulis itu berada di sebelah kanannya Pulau Seribu, tentu saja yang ia maksudkan dengan SEBELAH KANAN Pulau Kura kura itu, bagi kita sekarang adalah pulau yang berada di sebelah KIRI dari Pulau Kura kura!"
Mendengar ini, terbukalah pikiran Ouw bin cu. Otomatis ia menengok ke arah kiri dari pulau yang berbentuk kura kura di mana terdapat banyak sekali pulau pulau besar berjajar, pulau pulau yang banyak pohonnya. Ia menepuk kepalanya dan berkata,
"Ah, besar sekali! Pantas saja aku setengah mati mencari di pulau ke tujuh sebelah kanan itu tidak melihat sesuatu tidak tahunya pulau yang kunaiki itu bukanlah Pulau Tiga Naga! Hayo kita cepat dayung perahu kita ke kiri, Siauw giam ong. Lihat, pulau ke tujuh sebelah kiri itu panjang dan penuh pohon, agaknya subur sekali."
Dengan hati berdebar penuh pengharapan, dua orang tosu itu lalu mendayung perahu menuju ke sebelah kiri pulau yang berbentuk kura kura dan setelah matahari naik tinggi, barulah mereka tiba di pantai pulau itu. Benar saja, baru di tepi pantai saja sudah nampak pohon pohon yang mengandung buah buah yang enak dimakan, dan pulau itu kelihatan subur sekali. Daun daun pohon kehijau hijauan segar melambai seakan akan mengucapkan selamat datang kepada yang baru tiba.
Dua orang itu lalu menaikkan perahu ke darat, beristirahat sebentar sambil makan buah buahan yang banyak terdapat di situ. Kemudian mereka naik ke pulau itu menuju ke tengah.
Mudah saja bagi mereka untuk mencari gua yang dimaksudkan di dalam gambar peta, karena ketika mereka mendaki bukit kecil yang di tengah pulau, mereka sudah dapat melihat gua dari jauh. Gua ini besar dan depannya atau pintunya berbentuk kepala tengkorak manusia, mulut gua merupakan mulut tengkorak dan puncak bukit kecil merupakan kepalanya.
Pohon pohon di atas puncak merupakan rambut sehingga nampak amat mengerikan, seperti tengkorak manusia yang masih ada rambutnya! Dua orang itu tidak dapat menahan gelora bati mereka dan berlari lari menghampiri. Setelah dekat, barulah mereka melihat akar pohon besar melintang di depan gua. Akar ini tiga macam, berwarna putih, kehijauan, dan kehitaman.
Karena tuanya akar ini kulitnya berbintik bintik, seperti tubuh naga atau ular besar yang merayap di bukit itu. Pantas saja pulau ini disebut Pulau Tiga Naga, kiranya dari pemandangan yang amat mengerikan inilah! Di kanan kiri gua itu terdapat jurang jurang yang amat curam, bahkan di sebelah kiri gua, jurang itu terus menuju ke laut.
Dari tempat itu, nampak air laut bergelombang dan tepi laut yang berbatu karang, amat mengerikan.
"Di sinilah tempatnya!" kata Ouw bin cu terengah engah saking menahan kegembiraan hatinya. Telah berbulan bulan, bahkan mungkin sudah ada setahun, ia menyimpan peta rahasia yang didapatkannya dengan susah payah, bahkan dengan taruhan nyawa. Dan baru sakarang akhirnya ia tiba di tempat yang dimaksudkan oleh peta ini.
Sebetulnya yang menarik sekali baginya, bukan semata harta itulah, karena di samping harta pusaka yang tak ternilai harganya, ia mengharapkan akan mendapat peninggalan senjata pusaka ataupun pelajaran ilmu silat tinggi dari pembuat peta yang tak salah lagi tentulah seorang sakti.
"Benar, inilah tempatnya. Mari kita masuk!" kata Siauw giam ong yang juga diam diam merasa girang sekali.
"Gua ini gelap, kita lebih baik membuat obor," kata si muka hitam. Keduanya lalu mencari kayu dan rumput untuk obor. Akan tetapi sebelum menyalakan obor itu, tiba tiba Siauw giam ong berseru kaget dan cepat melompat ke belakang. Dari atas mulut gua itu menyambar turun seekor ular besar yang gerakannya seakan akan seekor ular bersayap saja.
"Kurang ajar," seru Ouw bin cu yang tabah. Cepat ia mencabut pedangnya, lalu bersama Siauw giam ong. ia menyerang ular itu. Ular itu benar benar hebat. Beberapa bacokan dapat ia elakkan dan ia membalas serangan dua orang itu dengan mulut terbuka lebar dan ekor menyabet ke kanan kiri. Akan tetapi, yang ia hadapi adalah tokoh tokoh kang ouw yang berkepandaian tinggi, maka tak lama kemudian, pedang di tangan Ouw bin cu dan golok di tangan Siauw giam ong lelah membacok tubuh ular itu.
Kalau diceritakan sungguh sukar dipercaya. Ketika terkena bacokan pedang dan golok, jelas sekali kelihatan tubuh ular itu pecah pecah kulitnya, akan tetapi sedikitpun tidak mengalirkan darah. Bahkan, ketika dua orang itu mengamuk dengan bacokan bacokan mematikan, tiba tiba tubuh ular itu seperti ada yang menarik ke atas dan tahu tahu lenyap dari situ tak meninggalkan bekas.
Ouw bin cu dan Siauw giam ong saling pandang dengan senjata masih di tangan. Siauw giam ong menjadi hijau mukanya dan Ouw bin cu merasa mulutnya kering.
"Ke mana perginya?" terdengar Siauw giam ong bertanya dengan suara perlahan sekali, seakan akan takut terdengar oleh seseorang.
"Entahlah, mungkin melompat ke dalam jurang." kata Ouw bin cu dengan suara perlahan ngeri dan takut. Mereka berkepandaian tinggi, tak mungkin ular itu dapat pergi tanpa terlihat. Akan tetapi, betul betul ular itu telah "menghilang!"
"Silumankah dia....?" tanya Siauw giam ong sambil memandang ke kanan kiri.
"Sudahlah, jangan pikirkan yang bukan bukan. Lekas kita bekerja," kata Ouw bin cu. Mereka lain menyalakan obor dan masuk ke dalam gua itu yang tidak begitu dalam dan alangkah kaget tercampur girang hati mereka ketika melihat sebuah peti besar di tengah tengah gua.
"Harta itu...." bisik Siauw giam ong. Tanpa banyak kata kata lagi mereka lalu mengangkat peti itu keluar dan ternyata peti itu berat sekali. Kalau saja hati mereka tidak begitu penuh oleh rasa girang yang luar biasa, tentu mereka akan merasa aneh dan curiga mengapa peti itu diletakkan begitu saja di tengah gua, suatu cara yang aneh bagi orang yang hendak menyembunyikan harta pusakanya.
"Bukalah...." kata lagi Siauw giam ong dengan suara perlahan seperti orang berbisik.
Ouw bin cu terlalu bernafsu untuk segera melihat isi peti sehingga ia tidak mendengar betapa suara Siauw giam ong terdengar menggigil seperti bukan suaranya sendiri yang biasa lagi. Kalau saja ia menengok, tentu ia akan melihat betapa muka yang pucat itu nampak amat aneh, matanya kelihatan bersinar ganjil dan mulutnya, menyeringai buas, sedangkan tangannya meraba gagang golok di punggung.
Pada saat Ouw bin cu membuka tutup peti, tiba tiba Siauw giam ong menyerang dengan bacokan goloknya ke arah leher si muka hitam.
Ouw bin cu adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, maka sebelum golok itu mengenai lehernya, ia telah merasa sambaran angin serangan ini. Ketika itu, ia sedang membungkuk dan kedua tangannya memegang tutup peti yang agak sukar dibuka.
Maka alangkah terkejutnya ketika ia merasa sambaran angin serangan golok pada lehernya. Cepat ia melempar diri ke atas tanah sambil menggerakkan kakinya menendang ke arah penyerangnya. Namun betapapun cepat gerakannya, ia masih terlambat dan ia hanya dapat meluputkan lehernya dari bacokan yang akan dapat memutuskan leher.
Namun pundaknya masih kena disabet dan terdengar suara keras tanda bahwa tulang pundaknya telah ikut terbabat putus. Bukan main sakitnya, namun Ouw bin cu masih dapat terus menggelundung sambil menendang nendang untuk mencegah lawannya menyerang terus.
Sementara itu, menghadapi tendangan Ouw bin cu tadi, Siauw giam ong berlaku cepat. Karena goloknya telah mengenai pundak, ia tidak takut lagi dan melompat ke belakang membiarkan Ouw bin cu melompat berdiri.
Pundak yang terluka adalah pundak kiri, maka kini tangan kanan Ouw bin cu mencabut pedangnya.
"Bangsat hina dina!" makinya sambil menggigit bibir menahan rasa sakit yang menusuk nusuk jantung. "Aku harus membikin mampus orang macam kau!" Tubuh Ouw bin cu menyerang dengan gerakan cepat sekali. Ia sudah menjadi nekat dan sakit hatinya membuat ia buas sekali.
Namun Siauw giam ong berlaku hati hati dan cepat mengelak. Si muka pucat ini lebih cerdik. Ia tahu bahwa dengan pundak terluka hebat, orang muka hitam ini takkan dapat bertahan lama, maka tidak perlu baginya untuk mengadu nyawa mati matian dalam sebuah pertempuran. Kalau ia dapat mempertahankan diri saja, tak lama lagi lawannya akan roboh sendiri.
Akan tetapi pada saat Ouw bin cu sudah mulai lemah dan kepalanya pening karena terlampau banyak mengeluarkan darah dari luka di pundaknya, tiba tiba berkelebat bayangan merah dan ketika bayangan ini menyambar, tubuh Ouw bin cu dan Siauw giam ong terlempar ke belakang dalam keadaan tertotok kaku.
Ouw bin cu yang sudah payah, tak tahu lagi apa yang terjadi dengan dirinya karena ia segera roboh pingsan. Akan tetapi Siauw giam ong roboh dengan sadar dan ia membelalakkan kedua matanya tanpa dapat menggerakkan kaki tangan. Ia telah terkena totokan yang luar biasa sekaji dan kini ia rebah terlentang dengan mata terheran heran seperti melihat setan.
Atau lebih tepat lagi, ia merasa melihat seorang bidadari dari sorga tiba melayang turun dari kahyangan. Di hadapannya, berdiri seorang gadis yang paling banyak berusia enambelas tahun, berpakaian kembang kembang merah dan wajahnya bukan main cantik jelitanya. Perawakan gadis itu langsing penuh, tingginya sedang dan pinggangnya ramping sekali membuat tubuh bagian atas dan bawah nampak montok dan penuh. Rambutnya panjang dan hitam bahu, dikuncir dua dan ujungnya diikat oleh sutera hijau.
Dua kuncir itu tergantung ke depan melalui lehernya yang panjang dan berkulit putih halus. Wajahnya berbentuk bundar lonjong dengan kening rata dan dagu meruncing, manis sekali. Di atas kening yang halus itu terhias anak anak rambut berjuntai tak teratur, alisnya subur menghitam. Matanya yang bagus menunjukkan kecerdikan luar biasa.
Yang paling menarik adalah bentuk mulutnya yang melintang kecil di bawah hidung yang mancung. Mulut ini terhias bibir yang kecil penuh dan merah seperti dicat. Biarpun kulit bibir itu halus membasah, namun ditarik sedemikian rupa sehingga nampaknya keren, menandakan bahwa pemiliknya herhati teguh dan keras laksana baja.
Dara ini berpakaian baju dan celana sutera berkembang merah dengan potongan yang ringkas mencetak bentuk tubuhnya. Ikat pinggangnya putih, ujungnya tergantung sampai ke lutut. Di pinggang sebelah kiri tergantung sarung pedang yang berukir burung hong, sedangkan pada gagang nya nampak bentuk kepala naga bermata kumala. Sepatunya kecil hitam, kini kedua kaki itu berdiri tegak dan kedua tangannya bertolak pinggang. Alisnya berdiri, lebih heran dari pada marah.
"Eh, yang mana di antara kalian bernama Song Bun Sam yang berjuluk Thian te Kiam ong (Raja Pedang Langit Bumi)?"
Kemudian ia teringat bahwa dua orang itu telah kena ia totok jalan darahnya, mana bisa memberi jawaban? Dan dilihatnya pedang yang tadi terpegang oleh Ouw bin cu, maka cepat ia menghampiri si muka hitam dan menggunakan ujung sepatunya untuk menendang jalan darah tai hwe hiat di punggung Ouw bin cu agar si muka hitam ini terbebas dari totokannya tadi.
"Eh, kaukah Thian te Kiam ong?" tanyanya dengan suara mengandung keraguan.
Macam inikah Thian te Kiam ong? Demikian pikirnya tak percaya. Ketika dilihatnya si muka hitam tidak menjawab, ia memandang lebih teliti dan terlihat olehnya luka di pundak si muka hitam itu. Keraguannya membesar dan ia segera menggerakkan tubuhnya ke belakang. Bagaikan sehelai bulu ringannya, ia telah meloncat ke dekat Siauw giam ong dan seperti tadi, ia mengirim tendangan membebaskan totokan yang membuat si muka pucat itu tidak dapat bergerak.
Kini Siauw giam ong Lie Chit terbebas dari pengaruh totokan dan sebagai seorang ahli silat tinggi, ia segera dapat mengerahkan lweekang mengalirkan darahnya kembali, lalu melompat sambil memegang goloknya.
"Setan kurus! Apakah dia ini Thian te Kiam ong?" tanyanya sambil menudingkan telunjuk yang kecil runcing ke arah tubuh Ouw bin cu.
Tentu saja Siauw giam ong Lie Chit sudah kenal dan tahu siapa adanya Thian te Kiam ong Song Bun Sam Si Raja Pedang, karena siapa di antara orang kang ouw yang tidak mengenalnya atau sedikitnya mendengar nama tokah persilatan yang di juluki Raja Pedang itu. Ia mengira bahwa nona ini tentu ada hubungan dengan Thian te Kiam ong, maka ia tidak berani mendusta dan menjawab sejujurnya, "Bukan, dia adalah Ouw bin cu Tong Kwat dan pinto (aku) adalah Siauw giam ong Lie Chit."
"Siapa ingin tahu namamu?" bentak nona itu dengan ketus.
Marahlah Siauw giam ong melihat sikap dara ini. Biarpun tadi ia sudah merasakan kelihaian nona ini namun tadi la diserang dengan tiba tiba selagi menghadapi Ouw bin cu. Masa ia kalah oleh dara yang baru belasan tahun usianya? Pula, seperti telah dituturkan, Lie Chit adalah seorang mata keranjang, maka kini menghadapi seorang dara muda yang demikian cantik jelita, tentu saja hatinya menjadi tidak karuan rasanya! Ia lalu memberanikan diri dan tertawa.
"Ha, ha, nona! Mengapa kau begitu galak? Aku Siauw giam ong biarpun tidak sebesar Thian te Kiam ong namaku, namun tidak ada orang kang ouw yang tidak mengenalku. Sebaiknya kau bersikap sopan dan manis kepadaku dan mengatakan siapa sebetulnya kau ini yang hidup di dalam pulau kosong!
"Tutup mulut dan rebahlah!" bentak dara ini dan seketika itu juga tubuhnya sudah berkelebat dan jari tangannya yang runcing halus itu menyerang ke arah iga kiri Lie Chit merupakan serangan tiam hoat (ilmu menotok jalan darah) yang berbahaya.
Namun Siauw giam ong Lie Chit bukan seorang lemah. Cepat ia dapat mengelak dan membalas serangan nona itu dengan membabatkan goloknya ke arah kedua kaki nona baju merah itu dengan cepat sekali. Namun, sekali dara itu melompat ke atas, tiba tiba tubuhnya lenyap dan Lie Chit merasakan sambaran angin dari belakangnya, ia cepat mengelak dan memutar tubuh sambil mengayunkan golok membabat ke belakang.
Ternyata bahwa nona itu telah berada di belakangnya. Gerakan ginkang sehebat ini belum pernah ia lihat seumur hidupnya. Ia sendiri terkenal sebagai seorang ahli ginkang yang pandai, akan tetapi, dibandingkan dengan nona ini, ia ternyata kalah jauh.
Sebagai tokoh Go bi pai, ilmu golok dari Siauw giam ong Lie Chit cukup lihai dan kini ia memainkan ilmu golok yang paling cepat. Yang dipegangnya kini kelihatannya bukan golok lagi, karena senjata itu telah berubah menjadi sinar putih yang bulat dan menyambar nyambar seperti segulung api. Ia melihat dara baju merah itu masih saja belum mencabut pedang dan melayaninya dengan tangan kosong, maka Lie Chit merasa penasaran sekali dan juga yakin bahwa ia tentu akan menang.
Tak mungkin seorang dara demikian muda dapat melayaninya dengan tangan kosong. Jago jago di dunia kang ouw tidak ada yang sanggup menghadapi goloknya dengan tangan kosong saja.
Kalau tadi Siauw giam ong Lie Chit masih belum mau menyerang sungguh sungguh karena sayang akan kecantikan dara ini, sekarang setelah maklum bahwa ia berhadapan dengan lawan yang lihai, ia menyerang dengan sungguh sungguh dan kalau perlu akan dibunuhnya gadis ini. Namun ia kecele benar benar.
Gadis itu tidak takut sama sekali menghadapi sambaran goloknya, bahkan nampak bibirnya yang manis tersenyum senyum mengejek dan tiba tiba tubuhnya lenyap berobah menjadi bayangan merah yang luar biasa sekali gesitnya. Bayangan merah ini dengan gerakan yang mentakjubkan menyelinap di antara gulungan putih dari golok Siauw giam ong dan ke mana saja Siauw giam ong menyerang, selalu goloknya makan angin.
"Anjing berpenyakitan, lepaskan golokmu yang menjemukan!" tiba tiba gadis itu berseru dengan suara nyaring dan entah bagaimana Siauw giam ong tidak tahu, akan tetapi seketika itu juga, ia merasa pergelangan tangannya yang memegang golok sakit sekali dan goloknya terlepas dari pegangan terus terlempar jauh ke tengah udara.
Dengan bengong Siauw giam ong melihat betapa dara itu meraba pinggangnya dan tahu tahu berkelebat sinar hijau ketika gadis itu mencabut pedangnya. Pada saat goloknya yang tadi terlempar ke atas itu melayang turun, gadis itu menggerakkan pedang ke arah golok.
Terdengar suara "traang! traang....!" empat kali dan goloknya terbabat putus menjadi lima potong seakan akan terbuat daripada batang pohon bambu muda saja.
Siauw giam ong diam diam bergidik ngeri. Kalau tadi gadis itu menghadapinya dengan pedang di tangan, agaknya tubuhnyapun akan terpotong potong seperti goloknya. Ia berdiri bengong dan memandang kepada nona itu dengan kagum dan timbul rasa takutnya.
"Angkat si muka hitam itu dan ikut aku!" Gadis itu memberi perintah kepada Siauw giam ong dengan pandang mata mengancam sambil menyimpan kembali pedangnya yang mengeluarkan sinar hijau.
Siauw giam ong Lie Chit telah mati kutunya. Ia maklum bahwa ia menghadapi seorang gadis luar biasa yang memiliki kepandaian aneh dan jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Tiada lain pilihan baginya kecuali mentaati perintah ini, maka ia lalu membungkuk dan memanggul tubuh Ouw bin cu Tong Kwat yang masih pingsan di atas pundaknya.
"Hayo jalan ke sana!" Gadis baju merah itu menunjuk ke puncak bukit di sebelah belakangnya, yakni yang berhadapan dengan bukit gua tengkorak itu. Siauw giam ong menurut dan berjalan perlahan ke arah tempat yang ditunjuk, sedangkan nona ini berjalan di belakangnya.
Dengan tangannya, Siauw giam ong Lie Chit sambil berjalan, mencoba untuk membetulkan tulang pundak Ouw bin cu yang tadi terputus oleh goloknya. Ia ingin menolong bekas lawan ini, karena dalam keadaan bahaya seperti sekarang ini, jauh lebih baik mempunyai kawan senasib daripada hanya seorang diri saja menghadapi bahaya yang lebih hebat dan mengerikan.
Tak jauh mereka berjalan, sampailah Siauw giam ong di depan sebuah pondok kayu yang berdiri di puncak bukit kecil itu.
"Suhu, umpan kita bukan dapat memancing ikan hiu seperti yang kita harapkan, melainkan dua ekor tikus busuk yang datang!" Gadis baju merah itu berseru ke dalam pondok.
"Sayang...." terdengar suara dari dalam pondok dan sebelum gema suara ini lenyap, orangnya tahu tahu telah muncul di depan pintu. Ketika Sianw giam ong melihat orang ini, ia menjadi begitu kaget dan ngeri sehingga mukanya yang pucat menjadi hijau.
Orang yang disebut suhu (guru) oleh gadis yang cantik jelita itu, benar benar merupakan penglihatan yang amat mengerikan. Dia seorang kakek yang sudah tua sekali, tubuhnya panjang, tak dapat disebut tinggi karena tubuh itu bongkok sekali seakan akan patah pada bagian pinggangnya dan membungkuk ke depan sehingga lebih tepat disebut panjang daripada tinggi. Kalau dilihat, tubuhnya ini seperti seekor naga yang sebagian tubuh belakang tersembunyi di dalam tanah dan hanya kelihatan kepala dan lehernya saja.
Tubuh itu kurus sekali, nampak tulang tulangnya, tertutup oleh kain kuning yang dililitkan sampai ke leher dan di bawah ampai di lututnya. Kakinya hanya sebuah, yakni yang kiri, karena yang kanan hanya sampai di paha.
Pipi sebelah kanan lenyap dan bolong, nampak giginya yang tinggal tulang tulang itu, sungguh mengerikan. Muka ini menjadi setengah muka juga setengah tengkorak, seakan akan menjadi lambang bahwa ia berada di antara mati dan hidup. Tangan kirinya memegang tongkat bambu yang dipergunakan untuk menunjang tubuhnya yang sudah tidak sempurna lagi. Namun kedua matanya yang kecil itu masih amat tajam dan mengeluarkan sinar berpengaruh sekali.
Siauw giam ong benar benar merasa heran. Bagaimana orang setengah mayat ini bisa menjadi guru dari dara jelita yang amat lihai itu? Mungkin orang yang hampir mampus ini dapat memiliki kepandaian tinggi?
"Hayo kau berlutut!" Tiba tiba Siauw giam ong mendengar bentakan gadis itu dari belakangnya.
Kalau saja ia disuruh berlutut di depan gadis itu, agaknya Siauw giam ong akan suka menurut biarpun
(Lanjut ke Jilid 28)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 28
dengan hati merasa segan. Akan tetapi berlutut di depan manusia setengah mayat tiada guna ini? Ia merasa mendongkol sekali dan hal ini ia anggap sebagai hinaan besar.
Lie Chit, Malaikat Maut Kecil yang di dunia kang ouw sudah membuat banyak orang menjadi ketakutan, yang dihormat dan banyak orang berlutut di depannya, kini harus berlutut di depan seorang kakek yang sudah hampir mati?
Melihat keayalannya, gadis baju merah yang berdiri di belakangnya lalu menggerakkan tangan ke arah kakinya sambil membentak lagi.
"Berlutut kau!"
Siauw giam ong merasa angin menyambar belakang lututnya. Ia hendak menggerakkan kaki mengelak, namun sia sia karena ia merasa kedua lutut kakinya lemas dan tanpa dapat dicegah lagi ia lalu jatuh berlutut dan tubuh Ouw bin cu Tong Kwat yang tadi dipondongnya jatuh terlepas dan rebah di depannya.
Kini Ouw bin cu si muka hitam itu siuman dari pingsannya dan meringis kesakitan sambil bangun duduk dan memandang ke kanan kiri! Melihat Siauw giam ong di dekatnya dan si muka pucat ini berlutut di depan seorang kakek yang menakutkan dan di belakang mereka berdiri seorang gadis cantik jelita yang sikapnya amat galak, Ouw bin cu lupa akan sakit di pundaknya saking herannya.
"Eh, Siauw giam ong, di manakah kita sekarang ini? Dan siapakah locianpwe (sebutan untuk orang pandai yang lebih tua atau tinggi tingkatnya) dan nona ini?"
Kakek tua renta itu tertawa dan suara ketawanya mendirikan bulu tengkuk dua orang tosu itu. Suara ketawa ini terdengar kasar dan parau, terkekeh kekeh seperti suara burung mayat (burung gagak).
"Ha ha, kek kek kek, kak kak kak....! Cu ji (anak Cu), biarpun Thian te Kiam ong Song Bun Sam tidak datang, akan tetapi kedatangan dua orang ini cukup baik dan menguntungkan. Kita butuh pelayan dan mereka ini cukup baik untuk menjadi pelayan di Sam liong to. Siapakah nama mereka?"
"Si muka hitam itu adalah Ouw bin cu Tong Kwat dan si muka pucat ini bernama Siauw giam ong Lie Chit, demikian pengakuan si muka pucat, suhu," jawab gadis itu.
"Cukup baik, cukup baik!" kakek itu mengangguk anggukkan kepalanya yang sudah rontok semua rambutnya itu. "Cukup baik untuk menjadi pelayan kita."
Adapun Ouw bin cu Tong Kwat yang mendengar ini, menjadi marah sekali. Ia melompat berdiri dan berkata, "Siapakah kalian ini? Sampai di mana kehebatanmu maka berani sekali menghina Ouw bin cu??"
"Bangsat, kau sudah bosan hidup?" gadis itu membentak dan melangkah maju dengan tangan terkepal.
"Jangan, Cu ji, kita butuh tenaganya," kakek tua itu mencegah muridnya, kemudian sambil tertawa tawa ia menghadapi Ouw bin cu yang sedang marah. "Kau ingin mencoba kelihaian orang yang dahulu belasan tahun yang lalu disebut Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu? Nah, kaupeganglah tongkat ini!" Sambil berkata demikian, kakek tua renta ini mendekatkan ujung tongkat bambunya kepada Ouw bin cu.
Ouw bin cn Tong Kwat dan Siauw giam sng Lie Chit terkejut bukan main mendengar nama Lam hai Lo mo (Setan Tua Laut Selatan) yang belasan tahun yang lalu menjadi seorang tokoh luar biasa di samping empat orang tokoh besar yang lain. Akan tetapi, bukankah dikabarkan orang di dunia kang Ouw bahwa Lam hai Lo mo telah tewas?
Ouw bin cu yang masih penasaran dan tidak percaya, segera memegang ujung tongkat bambu itu dengan tangan kanan lalu mengerahkan tenaga untuk membetotnya. Akan tetapi baru saja ia memegang tongkat itu, ia menjerit karena terasa betapa dari telapak tangannya itu mengalir hawa yang panas dan gatal gatal yang menjalar terus melalui lengannya dan membuat seluruh tubuhnya terasa panas dan sakit sakit bukan main hebatnya. Ia berusaha untuk melepaskan tongkat itu, namun benar benar aneh dan hebat.
Telapak tangannya yang memegang ujung tongkat itu, seakan akan telah menjadi satu dengan tongkat, menempel demikian eratnya, tak mungkin dilepaskan lagi. Sementara itu, rasa sakit dan panas makin menghebat sehingga tak tertahankan lagi, Ouw bin cu berteriak teriak minta ampun. Sambil tertawa bergelak, kakek itu menarik kembali tongkatnya dan Ouw bin cu dengan tubuh lemas lalu menjatuhkan diri berlutut.
Juga Siauw giam ong kini tidak ragu ragu lagi bahwa ia berhadapan dengan seorang sakti, sungguhpun ia masih meragukan apakah benar benar kakek aneh ini adalah Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu, maka iapun berlutut mengangguk anggukkan kepalanya,
"Apakah kalian suka menjadi pelayanku?" tanya Seng Jin Siansu.
"Teecu suka sekali," jawab Ouw bin cu karena selain takut untuk membantah, juga ia mengharap untuk dapat menjadi murid dan menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari kakek sakti ini.
"Teecu bersedia kata," Siauw giam ong pula.
"Bagus! Kalian harus bekerja baik baik dan jangan khawatir, aku mengerti apa keinginan orang orang seperti kalian ini. Kalau sudah tiba masanya aku kembali ke tempat asal, kalian boleh kembali ke daratan Tiongkok, membawa banyak emas dan juga mungkin sekali sedikit kepandaian dariku. Kalian harus menjaga dan membantu kami di pulau ini, dan harus menurut segala petunjuk dari muridku Ong Siang Cu ini."
Dua orang tosu itu mengangguk angguk dan menyatakan taat. Kemudian Lam hai Lo mo lalu memberi obat kepada Ouw bin cu untuk merawat pundaknya yang terputus tulangnya. Setelah kini menjadi pelayan dari kakek sakti dan nona baju merah yang lihai itu, Ouw bin cu Tong Kwat dan Siauw giam oug Lie Chit menjadi akur dan mereka melupakan permusuhan yang timbul di antara mereka karena berebut harta pusaka di Pulau Sam liong to.
Bahkan mereka kini merasa menjadi saudara seperguruan dan menurut tingkat usia mereka Ouw bin cu menjadi suheng (kakak seperguruan) dan Siauw giam ong manjadi sute (adik seperguruan). Benar saja, mereka mendapat bimbingan dan pelajaran ilmu silat dari kakek sakti itu dan dalam beberapa bulan saja kepandaian mereka telah meningkat hebat sekali.
Namun, mereka tidak berani menyebut saudara seperguruan kepada Siang Cu, nona baju merah yang tetap saja jauh lebih lihai dari mereka. Mereka menyebut nona cantik ini dengan sebutan Siocia (nona) dan terhadap Siang Cu mereka amat menghormat.
Bahkan Siauw giam ong yang mata keranjang, kini sudah kapok dan tidak berani bersikap kurang ajar kepada Siang Cu lagi.
Siapakah sebenarnya kakek sakti itu? Dan siapa pula muridnya, gadis cantik luar biasa yang lihai itu? Dan mengapa mereka berada di atas Sam liong to, pulau kosong yang terpencil?
Kakek itu memang bernama Seng Jin Siansu dan berjuluk Lam hai Lo mo (Iblis Tua Laut Selatan), seorang tokoh persilatan yang tidak saja amat tinggi ilmunya, akan tetapi juga amat sakti dan pandai ilmu hoat sut (sihir). Ia memiliki watak yang amat jahat, pendeknya segala macam kejahatan menjadi kesukaannya.
Belasan atau puluhan tahun yang lalu, Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu terkenal sebagai seorang di antara lima tokoh besar dunia persilatan yang menjagoi di daerah persilatan. Kemudian atas kejahatannya yang dibantu oleh tokoh besar kedua yakni Pat jiu Giam ong (Raja Maut Tangan Delapan) Liem Po Coan seorang yang menjadi sute nya sendiri. Lam hai Lo mo bentrok dengan tokoh tokoh besar yang lain.
Pertempuran hebat terjadi, dan akhirnya Lam hai Lo mo dikalahkan oleh seorang pendekar muda yang bernama Song Bun Sam, murid dari tokoh tokoh besar yang lain, yang telah dapat mewarisi ilmu ilmu silat tinggi dan terutama sekali ilmu pedang sakti dari Bu tek Kiam ong ( Raja Pedang Tiada Taranya).
Dalam pertempuran mati matian di pinggir Sungai Huang ho, Lam hai Lo mo kalah dan akhirnya ia ditendang masuk ke dalam sungai oleh lawannya. Semua orang mengira bahwa ia telah mati dimakan ikan liar yang banyak terdapat di Sungai Huang ho itu, karena tubuhnya tidak muncul lagi dan air menjadi merah.
Akan tetapi, biarpun tubuhnya sudah lemah dan tendangan itu dilakukan oleh seorang yang memiliki kepandaian tinggi, agaknya akan percuma ia Seng Jin Siansu mendapat julukan Iblis Tua Laut Selatan kalau ia binasa di dalam air.
Sesuai dengan julukannya sebagai iblis laut, ia amat pandai ilmu bergerak di dalam air. Ketika tubuhnya terguling ke dalam air, ia bergulat mati matian sambil menyelam ke dasar sungai yang amat dalam.
Ikan air sebangsa ikan hiu itu mengejarnya. Dengan kepandaiannya, Lam hai Lo mo selalu dapat menghindarkan diri dari terkaman ikan.
Namun tubuhnya memang sudah lemah dan kalau ia melanjutkan pergulatan itu, tentu akhirnya ia akan kehabisan napas. Sambil mengelak terus, ia membiarkan dirinya terbawa oleh aliran air sungai, dan terus ia dikejar oleh ikan itu.
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Agaknya nasib memang sedang malang baginya, atau mungkin juga karena dosanya sudah terlalu banyak maka ia harus mengalami penderitaan sebagai hukuman.
Satelah terbawa jauh oleh aliran air Sungai Huang ho, akhirnya ia berani muncul ke permukaan air, namun tak mungkin baginya untuk mendarat karena ia masih berada di bagian sungai yang tepinya terdiri dari batu batu karang yang amat tinggi. Terpaksa ia berenang lagi mengikuti aliran air dengan ikan liar masih saja mengikutinya.
Lam hai Lo mo tidak khawatir lagi karena ia hanya menanti sampai ia terbawa pada bagian yang tepinya rendah sehingga ia dapat mendarat dengan selamat. Adapun serangan ikan liar yang hanya seekor itu masih dapat selalu dielakkannya dengan mudah.
Akan tetapi, pada waktu ia tiba di bagian sungai yang tepinya rendah dan hatinya sudah mulai girang, tiba tiba air bergelombang dan muncul beberapa ekor ikan liar lain yang memburu ke arahnya.
"Celaka...." keluhnya dan secepat tenaganya mengijinkannya, ia berenang ke pinggir. Namun ikan itu lebih cepat lagi dan sebelum Lam hai Lo mo tiba di tepi, ia telah diserbu.
Kakek ini menggerakkan kaki tangannya, memukul dan menendang. Namun gerakan ikan itu membuat air bergelombang dan menjadi keruh sehingga matanya tak dapat melihat lagi. Tiba tiba ia merasa mukanya sakit sekali karena pipinya tergigit oleh seekor ikan. Ia memukul kepala ikan itu dan cepat berenang ke pinggir.
"Aku harus memberi makan ikan ikan itu, kalau tidak aku akan tewas," pikirnya. Maka ia cepat menyambar dan Lam hai Lo mo merasa kaki kanannya sakit dan perih. Ternyata bahwa kaki kanannya sebatas paha telah putus digigit ikan.
Benar saja, setelah paha itu dapat disambar ikan, terjadilah keroyokan dan perebutan, memperebut kan kaki manusia yang gurih itu. Adapun Lam hai Lo mo sendiri tidak mau melewatkan kesempatan ini. Cepat ia berenang dengan sebelah kaki dan kedua tangan ke tepi dan akhirnya dapat mendarat dengan selamat, ia tiba di darat dan jatuh pingsan.
Dapat dibayangkan betapa hebatnya penderitaan Lam hai Lo mo. Ketika ia siuman kembali, sebelah kaki kanannya telah hilang dan pipi kanannya juga telah habis sehingga bolong dan kelihatan tulang rahang dan giginya. Ia berada dalam keadaan setengah mati, atau lebih hebat dari itu. Tujuh bagian tubuhnya telah mati dan hanya tinggal tiga bagian saja yang hidup.
Namun ia mempergunakan sisa tenaganya untuk bertahan hidup terus, ia mengerahkan tenaga untuk menotok jalan darah di pangkal pahanya agar darah berhenti mengalir keluar dan menyelamatkan nyawanya.
Kemudian, sambil menyeret kakinya, ia mencari daun obat obatan untuk mengobati luka di paha dan di pipinya. Setelah melewati puluhan hari dalam keadaan amat sengsara, terserang penyakit panas yang membuatnya pingsan berhari hari dan menderita kelaparan yang hampir merenggut nyawanya, akhirnya ia selamat dan sembuh kembali dalam keadaan bercacad.
Hatinya penuh dendam. Ia ingin mempergunakan sisa hidupnya untuk membalas dendam itu. Terutama, orang yang paling dibencinya adalah pemuda Song Bun Sam pendekar muda yang telah mengalahkannya. Ia bersumpah untuk membunuh pendekar ini dan membasmi keluarganya.
Orang ke dua yang akan dibalasnya adalah Kim Kong Taisu pertapa di Bukit Oei san, seorang di antara lima tokoh besar atau guru pertama dari pendekar muda Song Bun Sam itu. Kemudian masih ada lagi seorang yang dibencinya, yakni Mo bin Sin kun (Kepalan Sakti Muka Iblis), seorang di antara lima tokoh besar atau guru ke dua dari Song Bun Sam. Wanita sakti Mo bin Sin kun inilah yang menendangnya sehingga ia terlempar ke dalam Sungai Huang ho di mana hampir saja ia menemui maut.
Di dalam hatinya, ia bersumpah untuk membasmi orang orang ini atau murid murid mereka dan keluarga mereka tentu mereka takkan mau melepaskannya sebelum ia mati. Ia tahu bahwa kebencian mereka terhadap dia mengimbangi kebenciannya terhadap mereka. Untuk menghindarkan diri dari mereka, Lam hai Lo mo lalu membuat sebuah perahu dan kemudian berlayarlah dia menurutkan aliran Sungai Huang ho menuju ke laut.
Setelah memilih milih, akhirnya ia tiba di sebuah pulau kosong di antara pulau seribu, dan menjadikan pulau yang subur ini sebagai tempat tinggalnya. Alangkah girangnya ketika di pulau ini secara tak disengaja, ia menemukan sebuah gua di mana terdapat peti terisi emas permata dan juga pada dinding gua itu ia mendapatkan ukiran ukiran yang ternyata adalah pelajaran ilmu pedang yang lihai sekali.
Dilupakannya akan kesengsaraannya dan dengan tekun ia melatih diri dan mempelajari ilmu pedang itu. Biarpun kakinya tinggal sebelah akan tetapi setelah mempelajari ilmu pedang ini, Lam hai Lo mo bahkan lebih lihai daripada sebelum ia menjadi penderita cacad.
Kemudian ia merasa amat kesepian dan di samping ini, iapun merasa dirinya sudah terlalu tua. Timbul kegelisahan di dalam hatinya. Bagaimana ia dapat menuntut balas kepada musuh musuhnya kalau dia sudah mendekati kematian karena usia tua? Ia harus mendapatkan seorang murid yang berbakat. Sayang sekali muridnya yang bernama Gan Kui To telah mati lebih dulu sebelum dapat mewarisi semua kepandaiannya.
Setelah berpikir pikir, akhirnya ia mengambil keputusan tetap dan berlayarlah Lam hai Lo mo ke daratan Tiongkok untuk mencari murid.
Secara sembunyi sembunyi ia tiba di kota raja dan diam diam memasuki taman istana, karena kakek aneh ini hendak memilih murid seorang keturunan bangsawan tinggi. Ia tidak sudi mempunyai murid anak orang biasa saja dianggapnya terlalu rendah. Memang, biarpun sudah amat tua, sifat sombong masih saja mengeram di dalam sanubari kakek ini.
Di dalam istana itu tinggal bersama kaisar, seorang pangeran yang kini menduduki pangkat raja muda dan bernama Kian Tiong.
Raja Muda Kian Tiong orangnya tampan dan ramah tamah, pandai bun bu (ilmu sastera dan silat). Isterinya seorang puteri Bangsa Semu yang cantik jelita dan bermata biru, juga pandai memainkan senjata siang kiam (sepasang pedang).
Juga puteri yang menjadi isteri Raja Muda Kian Tiong ini amat ramah tamah dan berbudi baik, namanya puteri Luilee. Yang amat menarik hati adalah mata puteri ini yang berwarna kebiruan dan berbentuk amat indahnya.
Kebetulan sekali, pada malam hari itu Raja Muda Kian Tiong beserta isteri dan puterinya yang baru berusia lima tahun, sedang bersenang senang di dalam taman. Bulan terang sekali dan bunga bunga di taman berkembang. Para pelayan sibuk melayani keluarga bangsawan tinggi ini.
Dalam kesempatan ini, Raja Muda Kian Tiong bertukar sajak dengan Luilee isterinya yang ia cinta. Sinar bulan yang adem dan tenang membangunkan cinta kasih mereka dan tidak mengherankan apa bila suami isteri yang telah punya puteri dan telah menikah kurang lebih enam tahun lamanya ini, pada malam hari itu bertukar pandang mata penuh kemesraan, tidak kalah oleh pandang mata ketika mereka masih bertunangan dahulu. Untuk sejenak mereka lupa kepada puteri mereka yang berlari lari ke sana kemari, memetik bunga dan bermain main dengan inang pengasuhnya. Pelayan pelayan lain membunyikan tetabuhan perlahan dahan yang menambah keindahan suasana.
Kemudian, puteri mereka yang mungil dan lincah itu disuruh menari. Memang Luilee sendiri adalah seorang ahli tari yang pandai maka tentu saja ia mengajar anaknya menari. Sebagai keturunan orang orang yang suka akan kesenian, ternyata puteri cilik ini memiliki gerakan yang halus dan lemas, sehingga ketika ia menari, seakan akan ia menjadi seorang bidadari kecil.
Tak seorangpun di antara mereka mengetahui bahwa ada sepasang mata sipit yang memandang ke arah puteri cilik itu dengan penuh kegembiraan. Inilah mata dari Lam hai Lo mo yang sudah semenjak tadi mengintai dari balik batang pohon.
Setelah puteri cilik itu selesai menari bertepuk tanganlah semua orang, termasuk Raja Muda Kian Tiong dan Luilee, ayah dan ibu anak itu yang merasa amat bangga. Akan tetapi, tiba tiba tepuk tangan berhenti dan semua orang memandang ke pada kakek yang tiba tiba muncul itu dengan mata terbelalak. Terdengar jerit jerit kecil dari para pelayan yang merasa ngeri menyaksikan keadaan kakek buntung yang menyeramkan itu.
Lam hai Lo mo datang terpincang pincang dengan tongkat di tangannya, langsung menghampiri puteri cilik yang dikaguminya.
Kalau semua pelayan merasa ngeri, tidak demikian dengan puteri cilik itu. Melihat seorang kakek pincang menghampirinya, ia menyambut sambil tertawa dan bertanya,
"Orang tua, kakimu yang kanan di manakah?"
"Dimakan iblis!" Jawab Lam hai Lo mo sambil tertawa. "Anak manis, kau patut menjadi muridku. Hayo kau ikut suhumu!"
Sambil berkata demikian, ia menarik keluar sehelai saputangan putih dan sekali ia mengebutkan saputangan itu ke arah puteri cilik tadi puteri itu mencium bau harum sekali lalu tubuhnya lemas dan roboh seperti orang pingsan atau orang tidur. Lam hai Lo mo menyambar tubuh itu dan memondongnya dengan tangan kiri.
Bukan main gegernya keadaan di dalam taman. Para pelayan menjerit dan berlari ke sana ke mari. Kian Tiong lalu melompat mendekati kakek itu dan berseru marah,
"Setan kurang ajar. Kembalikan anakku!"
Juga Luilee sudah melompat dekat dan mengulur tangan untuk merampas anaknya, akan tetapi sekali saja Lam hai Lo mo menangkis, tubuh Luilee terlempar jauh.
"Bangsat, kau harus mampus!" bentak Kian Tiong yang segera menyerang dengan tangannya. Memang pada waktu itu, raja muda ini tidak memegang senjata, demikian pula Luilee.
Luilee yang jatuh, segera melompat bangun lagi dan melihat suaminya menyerang kakek itu, iapun lalu membantu.
Akan tetapi, mana bisa sepasang suami isteri bangsawan ini menghadapi Lam hai Lo mo yang berkepandaian tinggi sekali? Dalam beberapa gebrakan saja, dengan tongkatnya Lam hai Lo mo menghantam kepala Kian Tiong sehingga raja muda ini roboh dengan luka berat sekali di kepalanya, sedangkan Luilee yang nekad telah tertusuk dadanya oleh ujung tongkat sehingga tewas pada saat itu juga. Para pelayan ribut dan banyak di antara mereka menjadi korban tongkat.
MEMANG Lam hai Lo mo sengaja membunuh kedua orang tua anak yang hendak diculiknya agar di kemudian hari tidak mendapat gangguan dari mereka. Membunuh manusia bagi Lam hai Lo mo sama halnya dengan membunuh semut saja!.
Pelayan pelayan yang dapat menyelamatkan diri, segera berteriak teriak dan minta tolong. Penjaga segera datang menyerbu namun ketika mereka tiba di taman, bayangan kakek itu sudah tidak ada lagi demikian pula bayangan sang puteri cilik. Terpaksa mereka hanya bisa menolong Raja Muda Kian Tiong dan isterinya yang sudah tewas.
Raja Muda Kian Tiong meninggal dunia tak lama kemudian setelah ia berhasil memaksa diri menulis sehelai surat yang dipesannya kepada para keluarga agar diberikan kepada seorang bernama Song Bun Sam apabila orang itu kebetulan datang menjenguknya. Kalau tidak datang, surat itu supaya disimpan saja! Kemudian meninggallah dia menyusul isterinya yang tercinta.
Malapetaka yang menimpa keluarga Raja Muda Kian Tiong ini tentu saja menimbulkan kegemparan hebat. Kaisar sendiri memberi perintah agar semua pastikan di dalam negeri mencari kakek yang kejam itu. Akan tetapi hasilnya sia sia belaka karena tanpa diketahui oleh seorang pun, Lam hai Lo mo telah membawa puteri cilik itu ke atas pulaunya, pulau kosong yang ia bernama Sam liong to dan yang belum pernah didatangi oleh orang lain.
Adapun para pelayan yang menyaksikan peristiwa itu, hanya dapat memberi tahu bahwa penculik dan pembunuh itu adalah seorang kakek berkaki satu dengan wajah mengerikan seperti iblis, lain tidak!
Tidak hanya puteri cilik itu saja yang diculik oleh Lam hai Lo mo, akan tetapi juga sebatang pedang simpanan yang berada di dalam kamar Raja Muda Kian Tiong, dicurinya juga. Pedang ini adalah pedang Cheng hong kiam, pedang pusaka yang amat ampuh dan terbuat dari pada baja hijau.
Dengan kepandaian ilmu sihirnya, Lam hai Lo mo dapat membikin puteri cilik itu lupa akan asal usulnya, bahkan lupa akan namanya sendiri. Lam hai Lo mo memberi nama Ong Siang Cu kepadanya, ia mengambil she (nama keturunan) Ong yang berarti Raja, mengingat bahwa orang tua gadis cilik ini adalah bangsawan tinggi keturunan raja.
Demikianlah, puteri cilik yang sekarang bernama Siang Cu ini hanya tahu dari cerita kakek itu bahwa dia adalah seorang anak yatim piatu yang dipelihara dan diambil murid oleh Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu, maka tentu saja ia merasa berterima kasih, sayang dan taat kepada suhunya.
Alangkah girangnya hati Lam hai Lo mo ketika ia mendapat kenyataan bahwa bakat dari anak perempuan ini jauh melampaui dugaan dan harapannya.
Siang Cu benar benar memiliki bakat besar sekali dan setelah gadis ini berusia enam belas tahun, kepandaian dari suhunya telah dikurasnya habis! Bahkan di samping ilmu ilmu silat tinggi yang diajarkan oleh gurunya, ia telah pula dapat mainkan ilmu pedang yang didapatkan oleh Lam hai Lo mo di dalam gua! Ilmu pedang ini lalu diberi nama Cheng hong Kiam sut (Ilmu Pedang Burung Hong Hjau), sesuai dengan nama pedang Cheng hong kiam yang dicurinya dari kamar Raja Muda Kian Tiong dan yang kini ia berikan kepada muridnya yang tersayang.
Memang, sebagai seorang sebatangkara yang tak pernah merasai kebaktian dan kesayangan orang lain terhadapnya, biarpun wataknya buruk dan hatinya jahat, akhirnya Lam hai Lo mo jatuh hati nya oleh kebaktian Siang Cu dan ia amat sayang kepada anak ini, bukan saja sebagai murid, bahkan sebagai anak atau cucu sendiri!
Seringkali Lam hai Lo mo membawa murid nya itu mendarat di daratan Tiongkok sehingga gadis cantik ini tidak asing akan kehidupan di dunia ramai. Setelah dewasa gadis ini memiliki kecantikan seperti ibunya sehingga gurunya menjadi makin sayang kepadanya.
Diceritakannya kepada murid ini bahwa ia mempunyai musuh besar. Pertama adalah Thian te Kiam ong Song Bun Sam, kedua Kim kong Taisu, dan ke tiga Mo bin Sin kun. Ia minta kepada muridnya agar kelak murid ini suka membalaskan dendamnya.
"Lihat saja kaki dan pipiku serta punggungku, Cu ji. Semua ini adalah akibat dari perbuatan tiga orang itu yang amat keji. Oleh karena itu, kelak kalau aku sudah mati, jangan lupa untuk melakukan pembalasan, terutama sekali kepada Song Bun Sam itu dan keturunannya. Kalau kau mau melakukan itu, barulah tidak sia sia aku bersusah payah memelihara dan mendidikmu."
"Jangan khawatir, suhu. Nama nama itu sudah kucatat di dalam hati. Kalau suhu menghendaki marilah kita berangkat mencari mereka. Serahkan saja kepada teecu yang akan membasmi mereka!" kata Siang Cu bersemangat.
Mendengar ini Lam hai Lo mo tertawa terkekeh kekeh.
"Bagus, semangatmu besar, muridku. Akan tetapi, jangan kaukira bahwa mereka itu adalah orang orang lemah yang mudah dirobohkan begitu saja. Apalagi Thian te Kiam ong Song Bun Sam itu. Ilmu pedangnya hebat sekali karena ia mendapat latihan Ilmu Pedang Tee coan hok kiam hot (Ilmu Pedang Enam Lingkaran Bumi) dari mendiang Bu Tek Kiam ong. Dia ini tidak mudah di kalahkan. Oleh karena itu kau harus berhasil dan aku tidak tega untuk melepasmu menghadapinya. Kita harus menggunakan akal. Song Bun Sam mempunyai banyak kawan yang berkepandaian tinggi, kalau saja kita bisa memancing ia datang....."
Siang Cu adalah seorang gadis yang berotak cerdik sekali. Gurunya mempunyai simpanan buku buku kuno karena memang Seng Jin Siansu dahulunya suka mempelajari kesusasteraan. Dari Gurunya ini Siang Cu belajar membaca dan menulis, bahkan ia suka memperhatikan dan mempelajari tulisan tulisan kuno.
"Mengapa kita tidak memancingnya datang kesini, suhu? Kita bisa membuat peta rahasia tentang pulau ini, menyebutkan bahwa di atas pulau ini terdapat simpanan harta pusaka yang besar. Kalau kita berusaha supaya peta rahasia dengan tulisan kuno itu terjatuh ke dalam tangan Thian te Kiam ong Song Bun Sam, tentu ia akan datang ke sini!"
Lam hai Lo mo girang sekali dan memuji muji kecerdikan muridnya. Mereka berdua lalu membuat peta dan ditulisi dengan huruf huruf kuno dari jaman Hsia. Kemudian Lam hai Lo mo mengajak muridnya mendarat di Tiongkok dan dengan perantaraan seorang tokoh kang ouw yang bernama Coa Kiu, ia minta pertolongan Coa Kiu untuk menyampaikan peta itu kepada Song Bun Sam.
Coa Kiu tidak mengenal siapa adanyan Lam hai Lo mo, karena kakek ini sudah berobah sekali bentuk tubuh dan mukanya, akan tetapi setelah menerima banyak emas. Coa Kiu menyanggupi untuk menyampaikan peta itu kepada Thian te Kiam ong yang ia tahu pada waktu itu tinggal di kota Tet le.
"Kau antarkan peta ini kepada Thian te Kiam ong, katakan bahwa kau mendapatkannya dari saku baju seorang kepala rampok yang kau bunuh di dalam hutan. Berikan kepadanya sebagai tanda penghormatanmu kepada pendekar besar itu karena kau sendiri tidak sanggup mengerti isi peta. Ini sekantong uang emas untukmu dan boleh kau ambil kalau kau sudah menyampaikan tugas ini dengan baik. Akan tetapi kalau gagal, awas, aku akan datang lagi, bukan hanya untuk mengambil kembali uang emas, juga untuk mengambil kepalamu yang akan kuhancurkan seperti ini!"
Setelah berkata demikian, dengan perlahan Lam hai Lo mo menggunakan tongkat bambunya untuk memukul sebuah batu hitam besar di depan rumah Coa Kiu. Terdengar suara keras dan batu itu hancur!
Ketika Coa Kim memandang dengan muka pucat, ternyata kakek aneh itu bersama nona baju merah yang cantik seperti bidadari, telah lenyap dari depannya tanpa ia ketahui kapan perginya!
Bagaikan patung, Coa Kiu menghadapi peta, kantong uang emas, dan batu yang hancur itu, lalu ia menghela napas dan menggeleng gelengkan kepalanya.
"Celaka! Siang siang aku kedatangan seorang siluman bersama seorang bidadari kahyangan! Akan tetapi tidak apa, tugasku ringan saja dan uang emas ini dapat kupakai untuk membeli rumah dan sawah...."
Seperti juga orang orang kang ouw lainnya, Coa Kiu tentu saja tahu siapa adanya Thian te Kiam ong di Tit le yang namanya sudah menggemparkan kolong langit. Lalu bergegas pergi ke Tit le untuk menyampaikan peta yang terbungkus kain kuning itu.
Coa Kiu adalah seorang bekas piauwsu (pengawal barang ekspedisi) yang sudah banyak pengalaman. Ia dapat menduga bahwa kakek buntung itu tentulah seorang penjahat yang lihai sekali yang berusaha membikin ribut dan tentu mempunyai hubungan dengan Thian te Kiam ong, entah hubungan apa. Ia tidak takut untuk membohong kepada Thian te Kiam ong, karena Thian te Kiam ong Song Bun Sam terkenal sebagai seorang pendekar besar yang murah hati dan budiman.
Sebaliknya, ia gentar sekali menghadapi ancaman kakek buntung itu. Maka ia mengambil keputusan untuk melakukan tugas itu sebaiknya, memberikan peta kepada Thian te Kiam ong lalu pergi tidak menghiraukan urusan itu lagi.
Mari kita menengok dulu keadaan pendekar besar Thian te Kiam ong Song Bun Sam di Tit le yang hendak dianjungi oleh Coa Kiu.
Rumah pendekar besar itu adalah sebuah rumah gedung kuno yang kokoh kuat dan nampak angker sekali, sesuai dengan nama penghuninya.
Temboknya dikapur putih dan gentingnya tebal dan kuat. Pintu pintu depannya besar dan selalu terbuka daun pintunya, lambang dari tangan yang selalu terbuka dari tuan rumah.
Memang, pendekar besar dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam sudah amat terkenal akan kemurahan hati dan kedermawanannya. Siapa saja yang datang, baik orang orang yang berkepandaian tinggi maupun orang biasa saja, selalu diterima dengan ramah dan hormat oleh Song Bun Sam dan keluarganya.
Oleh karena itu semua orang menaruh hati segan dan hormat kepada keluarga Song ini, dan di sekitar daerah Tit le tidak ada penjahat berani memperlihatkan mata hidungnya, setiap orang gagah yang kebetulan lewat di daerah ini, tidak ada yang tidak memerlukan singgah untuk beramah tamah sebagai tanda penghormatan kepada Thian te Kiam ong.
Pada waktu itu, Thian te Kiam ong Song Bun Sam sudah berusia empatpuluh tahun. Namun ia masih nampak muda. Wajahnya yang tampan kini memelihara kumis yang bagus. Sepasang matanya masih bersinar sinar penuh semangat, mulutnya selalu tersenyum. Keningnya lebar dan pakaiannya sederhana, tanda bahwa dia seorang yang mempunyai pandangan luas dan mengerti akan isi kehidupan manusia. Tubuhnya sedang, padat berisi tenaga yang luar biasa, namun dari luar nampaknya lemah saja. Rambutnya diikat ke atas, diikat dengan tali warna putih sedangkan pakaiannya seringkali berwarna kuning dengan ikat pinggang biru.
Gagang pedang selalu nampak tersembul di belakang pundaknya karena sebagai seorang ahli silat yang maklum akan banyaknya orang jahat yang sewaktu waktu bisa datang menyerang, ia tak pernah terpisah dari senjatanya.
Pendekar ini amat terkenal akan kelihaian ilmu pedangnya, sungguhpun disamping ilmu pedang, iapun memiliki ilmu ilmu silat lain yang tak kurang lihainya. Hal ini dapat dimengerti kalau orang tahu bahwa dia adalah murid dari Kim Kong Taisu tokoh di Oei san, juga murid dari Mo bin Sin kun wanita perkasa yang memiliki kepandaian lweekang mengagumkan sekali, kemudian ia menjadi murid pula dari mendiang Bu Tek Kiam ong raja pedang.
Kepandain kepandaian khusus dari pendekar pendekar besar ini, disamping Tee coan liok kiam sut ilmu pedang yang disebut raja ilmu pedang ini, masih ada lagi ilmu silat Thai lek kim kong jiu yang ia dapat dari Kim Kong Taisu dan Soan hong pek lek jiu yang ia pelajari dari Mo bin Sin kun!
Di samping pendekar besar ini, istrinyapun terkenal sebagai seorang wanita yang cantik jelita dan gagah perkasa. Nyonya Song ini dahulu bernama Can Sian Hwa, menjadi murid dari tokoh besar Pat jiu Giam ong dan memiliki ilmu pedang Pat kwa Sin kiam hwat.
Nyonya yang berwajah elok dan bertubuh ramping ini amat setia dan mencinta kepada suaminya, bahkan kerukunan hidup sepangan suami isteri ini sering kali dijadikan buah tutur dan tauladan bagi orang orang tua yang menasihati para pengantin baru.
Memang jarang sekali melihat suami isteri seperti Song Bun Sam dan Can Sian Hwa, begitu rukun, saling mengindahkan, saling mencinta lahir batin sehingga nampaknya tak pernah tua.
Suami isteri pendekar ini mempunyai dua orang anak. Yang pertama seorang putera diberi nama Tek Hong, dan yang ke dua seorang puteri diberi nama Siauw Yang.
Bukan hal yang mengherankan apabila dari suami isteri seperti Song Bun Sam dan Can Sian Hwa ini lahir anak anak yang luar biasa seperti Tek Hong dan Siauw Yang. Tek Hong tampan dan gagah sekali, memiliki bentuk muka seperti ibunya, sedangkan Siauw Yang yang memiliki bentuk muka seperti ayahnya, juga merupakan seorang gadis yang berwajah ayu manis dan berpotongan badan langsing dan padat.
Hanya bedanya, kalau Tek Hong berwatak pendiam dan tenang, adalah Siauw Yang lincah dan jenaka, suka bersikap manja seperti kanak kanak. Hal ini bukan hanya karena watak dasarnya, terutama sekali karena Siauw Yang amat dimanja oleh ibunya.
Pedang Naga Kemala Eps 36 Pedang Naga Kemala Eps 1 Pemberontakan Taipeng Eps 9