Ceritasilat Novel Online

Asmara Si Pedang Tumpul 2


Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 2




   "Teecu mengerti, suhu. Akan tetapi, teecu tidak dapat membohongi diri sendiri. Hati teecu memang terasa nyeri dan perih, bagaimana teecu dapat melenyapkannya? Apakah teecu narus memaksa diri untuk menghilangkan duka ini yang amat menyiksa? Harus menekan perasaan dan melupakan semua kenangan lama?"

   "Sin Wan, tidak ada hubungannya sama sekali antara peristiwa yang terjadi di luar diri dengan keadaan batin yang berduka. Peristiwa itu suatu kenyataan, suatu kejadian yang wajar saja sebagai akibat dari suatu sebab tertentu. Adapun duka di hati itu adalah karena ulah nafsu dalam pikiran sendiri. Suatu peristiwa terjadi. Titik. Apakah hal itu menimbulkan duka atau tidak, tergantung dari cara engkau menerima dan menghadapinya! Kalau engkau kini hendak berusaha melenyapkan duka itu, coba renungkan, siapakah engkau yang kini hendak menghilangkan duka? Bukankah itu juga engkau yang berduka sekarang ini? Keinginan untuk tidak berduka sama saja dengan si duka itu sendiri. Setelah melihat bahwa duka mendatangKan kesengsaraan, maka pikiran kini mencari jalan untuk melepaskan diri dari ketidak senangan itu, tentu saja agar menjadi senang! Engkau terseret dalam lingkaran setan kalau begitu, Sin Wan."

   Pemuda itu tertegun. Bingung.

   "Lalu, apa yang harus teecu lakukan untuk menghilangkan duka ini, suhu?"
(Lanjut ke Jilid 02)

   Asmara Si Pedang Tumpul (Seri ke 02 - Serial Si Pedang Tumpul)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02
"Kalau engkau masih ingin mengubah keadaan, berarti engKau masih terseret dalam lingkungan itu. Yang ingin mengubah itu adalah si keadaan itu sendiri, masih dalam satu ruangan yang dikuasai nafsu. Kalau aku menjawab bahwa engkau jangan melakukan apa-apa, maka jangan melakukan apa-apa inipun masih sama saja, masih satu usaha untuk mengubah keadaan."

   "Wah, teecu menjadi bingung, Suhu."

   Kakek itu tertawa lagi, dan meneguk arak dari guci araknya. Setelah tiga kali tegukan, barulah dia bicara.

   "Sin Wan, dahulu ketika ibumu meninggal dunia, engkau mengucapkan sebaris kalimat dari agama ibumu yang sampai sekarang masih teringat olehku. Kalimat itu berbunyi: Dari Allah kembali kepada Allah. Nah, kenapa engkau lupakan itu? Kenapa engkau tidak mengembalikan dan menyerahkan saja kepada Tuhan? Serahkan segalanya dengan penuh kepasrahan, penuh keikhlasan, penuh kesabaran. Dengan bekal penyerahan total dan mutlak ini, amatilah dirimu sendiri, amatilah duka dalam dirimu itu tanpa ingin mengubah, tanpa ingin menghilangkannya. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan menertibkan semua bentuk nafsu yang menguasai dirimu."

   Wajah Sin Wan berseri.

   "Terima kasih, suhu! Ya Allah. ya Tuhan, dengan adanya Tangan Tuhan yang membimbing, kenapa hamba melupakan ini dan menjadi lemah, cengeng dan putus asa? Terima kasih, suhu!"

   Melihat betapa muridnya seketika dapat terbebas dari cengkeraman duka, Dewa Arak tertawa lagi dengan senangnya.

   "Ha..ha..ha, itu baru benar! Sin Wan, tadi aku melihat ketika engkau menghadapi sepasang iblis. Kepandaianmu sudah maju pesat dan engkau pasti akan mampu mengalahkan mereka kalau saja Sam-sian Sin-ciang sudah kau kuasai dengan sempurna. Sayang engkau belum matang. Biarlah kita menggunakan waktu beberapa bulan di sini untuk mematangkan ilmu yang kau kuasai itu, karena ada tugas penting yang akan kuserahkan kepadamu!"

   "Tugas apakah, suhu?" tanya Sin Wan penuh semangat. Dan pada saat itu, tidak ada sedikitpun bekas kedukaannya yang tadi. Memang, duka hanyalah sebuah kenangan belaka. Kalau tidak dikenang, tidak diingat, dukapun tidak ada!

   "Sin Wan, baru-baru ini aku berkunjung ke kota raja dan sempat bertemu dengan Sribaginda Kaisar. Beliau merasa khawatir melihat keadaan di dalam negeri. Kerajaan Beng yang baru ini masih menghadapi banyak ancaman, terutama sekali dari bangsa Mongol yang selalu berusaha keras untuk merebut kembali kekuasaan di selatan, dan para bajak laut Jepang yang merupakan gangguan di sepanjang pantai timur. Beliau khawatir sekali kalau-kalau pengaruh Mongol yang mungkin akan mengirim orang pandai, akan membuat beberapa orang pejabat berkhianat. Pasukan keamanan tidak dapat berbuat banyak menghadapi penyusupan mata-mata Mongol yang pandai. Selain itu, juga berita tentang akan diadakannya pemilihan bengcu (pemimpin) bagi dunia persilatan, cukup menimbulkan kekhawatiran kaisar karena pertandingan antara datuk-datuk besar di dunia persilatan dapat saja mendatangkan pertempuran besar dan kekacauan."

   "Lalu apa yang dapat teecu lakukan, suhu?" tanya Sin Wan, merasa dirinya kecil menghadapi permasalahan negara yang demikian gawat dan besar.

   "Kaisar minta bantuanku untuk melakukan penyelidikan terhadap semua itu, terutama sekali terhadap gerakan mata-mata Mongol, juga aku diminta untuk mengadakan pendekatan kepada semua calon bengcu dan membujuk agar mereka melakukan pemilihan bengcu dengan cara yang damai, tidak sampai menimbulkan pertempuran. Aku tidak berani dan tidak tega menolak permintaan Sribaginda, akan tetapi akupun menyadari bahwa aku sudah tua dan tidak ada kegairahan lagi dalam hatiku untuk bertualang. Oleh karena itu, aku teringat kepadamu dan aku datang ke sini dengan harapan akan menantimu tahu engkau sewaktu-waktu akan datang. Eh, tidak tahunya kedatangan kita di sini bersamaan waktunya. Ini namanya jodoh. Sin Wan. Agaknya Tuhan menghendaki bahwa engkaulah yang akan menunaikan tugas itu, mewakili aku."

   Sin Wan mengerutkan alisnya, diam-diam merasa gentar.

   "Akan tetapi, bagaimana mungkin teecu dapat melakukan tugas itu, suhu? Teecu hanya seorang berkebangsaan Uighur yang yatim piatu dan miskin, mana mungkin teecu memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas yang demikian besar dan penting? Bahkan teecu hanya anak tiri seorang penjahat besar........."

   "Ha..ha..ha, memang baik sekali untuk berendah hati Sin Wan, akan tetapi jangan sekali-kali berendah diri! Engkau memiliki kemampuan itu, aku percaya, asal engkau sudah mematangkan semua ilmumu. Nah, aku akan membantumu mematangkan ilmumu. Dan tentang nama yang berlepotan dosa Se Jit Kong, justeru inilah kesempatan baik bagimu untuk mencuci bersih noda yang mencemarkan namamu. Nah, sanggupkah engkau?"

   Tergugah semangat Sin Wan.

   "Teecu mentaati semua perintah dan petunjuk suhu!"

   Kakek itu tertawa girang dan mulailah dia membuka rahasia ilmu-ilmu yang telah dipelajari Sin Wan, memberi petunjuk sehingga dalam waktu singkat, pemuda yang tingkat kepandaiannya memang sudah menyamai guru-gurunya itu, memperoleh kemajuan pesat sekali. Setelah dia menguasai benar Sam-sian Sin-ciang dengan sempurna, baru dia menyadari bahwa dengan ilmu itu, apalagi ditambah bantuan Pedang Tumpul, dia akan sanggup menghadapi dan mengatasi lawan-lawan seperti sepasang iblis tempo hari.

   Rombongan berkuda itu terdiri dari duabelas orang berpakaian seragam yang mengawal seorang pemuda dan seorang setengah tua yang dari pakaiannya dapat diduga bahwa mereka berdua adalah bangsawan-bangsawan kerajaan Bhutan. Juga selosin perajurit itu adalah perajurit Bhutan dengan baju perang yang berkilauan. Pemuda itu sendiri bertubuh jangkung, wajahnya tampan seperti wanita, juga gerak-geriknya lembut, tidak jantan.

   Dia adalah seorang pangeran Bhutan dari selir, bernama Pangeran Ramamurti, berusia duapuluh lima tahun. Sedangkan laki-laki setengah tua itu adalah pamannya dari ibu, bernama Balkan. Rombongan kuda itu nampak lelah, tanda bahwa mereka telah melakukan perjalanan jauh. Mereka memang datang dari Kerajaan Bhutan dan kini mereka mendaki Bukit Ular, sebuah di antara bukit-bukit di pegunungan Himalaya.

   Matahari sudah naik tinggi dan hari itu cerah. Namun, tidak ada orang nampak di lereng bukit itu, bahkan dusun hanya terdapat di kaki bukit. Bukit Ular ini memang merupakan bukit yang terkenal di daerah itu, tidak ada orang berani mendaki bukit itu tanpa ijin dari penghuni. Siapakah penghuni bukit itu yang amat ditakuti orang?

   Di puncak Bukit Ular terdapat sebuah bangunan besar seperti istana. Di situ tinggal See-thian Coa-ong (Raja Dunia Barat) Cu Kiat, seorang di antara para datuk besar dunia persilatan di waktu itu. Raja Ular itu berusia sekitar enampuluh delapan tahun, tubuhnya tinggi kurus, matanya tajam seperti mata harimau, alisnya tebal dan matanya sipit seperti mata orang Mongol aseli, sipit dengan kedua ujungnya menurun. Kumis dan jenggotnya tebal dan mulutnya selalu dihias senyum mengejek.

   Biarpun See-thian Coa-ong Cu Kiat mempunyai banyak isteri, namun dia hanya mempunyai seorang anak saja, seorang wanita bernama Cu Sui In yarig kini telah berusia empatpuluh tiga tahun dan tidak menikah. Seperti juga ayahnya, Cu Sui In yang merupakan anak tunggal ini memiiiki ilmu kepandaian yang hebat, bahkan ia telah membuat nama besar di dunia kangouw dan mendapat julukan Bi-Coa Sianli (Dewi Ular Cantik).

   Biarpun usianya sudah empatpuluh tiga tahun, akan tetapi ia cantik dan kelihatan jauh lebih muda, seperti baru tigapuluh tahun saja. Pakaiannya selalu mewah dan pesolek, alisnya melengkung hitam dan matanya tajam seperti mata ayahnya. Wajahnya cantik, hidung mancung dan mulutnya menggairahkan. Tubuhnya padat ramping penuh daya tarik.

   Selain ayah dan anak yang ditakuti orang di dunia kangouw itu, masih ada seorang gadis lagi yang menjadi penghuni gedung itu. Ia seorang gadis berusia duapuluh dua tahun, wajahnya manis, dengan lesung pipit menghias mulutnya yang selalu dihias senyum. Mukanya bulat dan kulitnya putih kemerahan, hidungnya lucu dapat kembang kempis.

   Gadis ini bernama Tang Bwe Li dan biasa dipanggil Lili di rumah itu, tentu saja dengan sebutan nona kalau yang memanggil para pelayan. Ia tadinya merupakan murid dari Bi-Coa Sianli Cu Sui In, akan tetapi akhirnya karena ia diambil murid pula oleh See-thian Coa-ong, ia lalu memanggll Suci (kakak seperguruan) kepada Cu Sui In, hal yang menyenangkan hati Dewi Ular itu.

   Selain mereka bertiga ditambah belasan orang selir See-thian Coa-ong, di puncak itu tinggal pula tigapuluh orang laki-laki yang menjadi anak buah dan pelayan See-thian Coa-ong. Puncak itu ditakuti orang bukan hanya karena penghuninya akan tetapi juga karena di daerah puncak itu terdapat banyak ular-ular berbisa. Ular-ular ini memang sengaja dikumpulkan dan dibiarkan hidup di situ oleh See-thian Coa-ong yang merupakan pawang ular yang lihai sehingga tepatlah kalau puncak itu disebut Puncak Bukit Ular, sesuai pula dengan penghuninya yang berjuluk Raja Ular dan puterinya, Dewi Ular.

   Rombongan berkuda itu berhenti di lereng dekat puncak, di depan sebuah pintu gerbang yang merupakan batas tempat tinggal dan wilayah kekuasaan See-thian Coa-ong.

   "Kenapa berhenti di sini, paman?" tanya Pangeran Ramamurti kepada pamannya.

   "Penghuni puncak adalah seorang datuk besar, dan nama bukit ini Bukit Ular, kita harus berhati-hati. Pula, sebagai tamu kita harus sopan karena di gapura ini tidak nampak penjaga." Balkan yang berpengalaman itu lalu memerintahkan pasukan untuk menyembunyikan terompet yang terbuat dari pada tanduk. Segera terdengar bunyi sasangkala memecah kesunyian tempat itu.

   Pada saat itu, See-thian Coa-ong sedang menghadapi meja makan, sedang makan siang ditemani puterinya, Bi-coa Sianli, dan dilayani para selirnya yang masih muda-muda dan cantik-cantik. Tang Bwe Li atau Lili tidak nampak karena gadis itu memang selalu ingin makan sendiri, tidak beramai-ramai bersama sucinya dan gurunya. Bi-coa Sianli Cu Sui In yang telah selesai makan, ketika mendengar bunyi sasangkala ltu, segera bangkit berdiri.

   "Kurasa mereka sudah datang, ayah. Aku akan menyambut mereka dulu di ruang tamu. Nanti setelah segalanya beres, akan kuhadapkan mereka kepada ayah."

   See-thian Coa-ong hanya mengangguk saja tanpa menjawab, agaknya hatinya tidak tertarik dan dia lebih mencurahkan perhatian kepada masakan di atas meja.

   Cu Sui In lalu meninggalkan ruangan makan dan menyuruh anak buah di situ pergi menyambut para tamu dan membawa mereka ke ruangan tamu, sedangkan ia sendiri mencari Lili. Gadis itu berada di kamarnya, sedang membaca kitab sejarah.
"Lili, cepat engkau berdandan," kata Cu Sui In.

   Lili melepaskan bukunya dan memandang kepada wanita cantik itu dengan mata dilebarkan. Wanita ini dahulu gurunya sejak ia masih kecil, kemudian menjadi sucinya. Hubungan antara mereka akrab sekali dan Lili merasa amat sayang kepada gurunya atau sucinya itu.

   "Suci, kenapa aku harus berdandan?" tanyanya heran.

   "Kita akan menyambut tamu agung dan aku ingin engkau kelihatan cantik."

   "Aih, siapa sih tamu agung itu, suci? Aku jadi ingin sekali tahu."

   "Dia seorang pangeran. Hayo cepatlah, akupun mau bertukar pakaian baru," kata Sui In yang meninggalkan sumoinya, memasuki kamarnya sendiri untuk berganti pakaian.

   Lili bersungut-sungut setelah Sui In pergi. Ia seorang gadis yang wataknya jujur dan galak, wajar dan tidak pesolek seperti sucinya. Ia paling tidak suka untuk mencari muka, dan sekarang pun, mendengar bahwa ia harus bersolek karena akan menyambut tamu agung, seorang pangeran, hatinya memberontak.

   Akan tetapi, iapun segan dan tidak berani membangkang terhadap perintah sucinya yang juga gurunya itu, maka dengan uring-uringan iapun berganti pakaian. Akan tetapi ia membiarkan wajahnya tanpa bedak dan gincu, hal yang sebetuInya juga tidak ada gunanya karena kulit mukanya sudah putih kemerahan tanpa bedak, dan bibirnya sudah terlalu merah basah tanpa gincu. Rambutnya yang sedikit kusut itu bahkan menambah kemanisan wajahnya.

   Rombongan Pangeran Ramamurti sudah disambut oleh anak buah See-thian Coa-ong dan diajak naik ke puncak. Kemudian, pangeran itu bersama pamannya dipersilakan menunggu di ruangan tamu, sedangkan duabelas orang pengawal mereka dijamu oleh anak buah Bukit Ular dengan ramah dan hormat seperti diperintahkan Dewi Ular.

   Ramamurti dan Balkan menanti di ruangan tamu yang luas itu dengan hati berdebar. Kedatangan mereka memang telah dijanjikan dua bulan yang lalu mereka bertemu dengan Bi-coa Sianli Cu Sui In yang sedang berkunjung ke daerah Bhutan. Bahkan wanita cantik yang lihai ini menyelamatkan Pangeran Ramamurti dan Balkan yang sedang berburu binatang dan dikepung oleh belasan orang pemberontak yang menjadi pelarian. Cu Sui In yang menjadi penolong, itu diundang ke istana dan dijamu dengan hormat.
Kemudian, ketika mendengar bahwa Cu Sui In mempunyai seorang sumoi yang masih gadis. Balkan mengusulkan agar sumoinya itu dijodohkan dengan Pangeran Ramamurti yang juga belum menikah. Tentu saja usul ini sudah dipertimbangkan masak-masak oleh Balkan dan disetujui oleh sang pangeran.

   Dan usul inipun mengandung pamrih tertentu, yaitu mereka mengharapkan bahwa dengan adanya dukungan seorang isteri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka kedudukan Pangeran Ramamurti akan menjadi semakin kuat. Pada waktu itu memang terjadi semacam persaingan di antara para pangeran Bhutan yang hendak hendak memperebutkan kekuasaan.

   Dan Sui In juga menyatakan persetujuannya! Tentu saja Sui In menerima usul itupun tidak sembarangan saja, melainkan sudah dipertimbangkannya baik-baik. Dia melihat kedudukan pemuda itu cukup kuat, sebagai seorang pangeran Kerajaan Bhutan dan siapa tahu, kelak dapat dengan bantuan Lili menjadi raja di Bhutan! Itulah sebabnya ia menyatakan persetujuannya, dan minta agar mereka datang mengajukan pinangan secara sah pada hari itu.

   Ketika Sui In memberitahukan ayahnya tentang usul perjodohan dengan pangeran Bhutan, See-thian Coa-ong menanggapinya dengan acuh saja. Sui In juga belum memberitahu kepada Lili. Biasanya, gadis itu selalu taat kepadanya, maka sekali inipun ia merasa yakin bahwa Lili akan mentaatinya. Apalagi, Pangeran Ramamurti bukan seorang pemuda yang buruk rupa. Dia cuKup tampan, terpelajar, kaya raya, berkedudukan tinggi masih muda. Mau apalagi?

   Ketika dari pintu sebelah dalam muncul dua orang wanita cantik, Balkan dan Ramamurti cepat bangkit berdiri dan membungkuk dengan hormat sambil merangkap kedua tangan di depan dada sebagai salam.

   "Cu-lihiap (pendekar wanita Cu)!" kata mereka sambil memberi hormat dan pandang mata Ramamurti melekat kepada gadis yang berdiri di sebelah kiri Cu Sui In. Betapa cantik jelita dan manisnya gadis itu, pikirnya dengan hati berdebar girang. Gadis secantik bidadari ini yang diusulkan menjadi isterinya? Seribu kali dia setuju!

   "Saudara Balkan, dan Pangeran Ramamurti, selamat datang dan silakan duduk. Perkenalkan, ini adalah sumoiku bernama Tang Bwe Li atau yang biasa kami panggil Lili."

   "Tang-siocia (nona Tang)!" kata Balkan memberi hormat yang segera dibalas sambil lalu oleh Lili.

   "Nona Lili? Ah, kiranya nona adalah seorang puteri yang cantik jelita seperti bidadari......" kata Pangeran Ramamurti. Lili tersenyum geli karena merasa lucu. Sikap pangeran itu mengingatkan ia akan pertunjukan sandiwara di panggung yang pernah ditontonnya ketika ia bersama Sui In merantau ke daerah timur yang ramai.
"Apakah engkau ini seorang pangeran sungguhan? Seorang pangeran aseli?" ia bertanya.

   "Lili!" bentak sucinya.

   "Jangan main-main di depan pangeran!"

   "Aih, suci, aku tidak main-main. Aku hanya bertanya karena dia mengingatkan aku akan pangeran yang kita lihat bermain di panggung sandiwara itu. Betul tidak, suci?"

   Mau tidak mau Sui In tersenyum geli. Lili memang gadis lincah jenaka yang jujur dan tak pernah mengenal takut.

   "Hushh, jangan sembarangan saja. Dia ini adalah seorang pangeran sejati, Pangeran Ramamurti dari Kerajaan Bhutan."

   "Ah, kiranya begitu? Maaf, karena yang membedakan antara orang biasa dan pangeran hanya pakaiannya, dan yang dipanggung itupun memakai pakaian seperti itu. Selamat datang pangeran dan silakan duduk," kata Lili dengan sikap wajar sehingga Pangeran Ramamurti tidak tersinggung, bahkan merasa gembira sekali. Saking girangnya, dia menoleh kepada pamannya dan berkata dalam bahasanya sendiri, bahasa Bhutan,

   "Paman, aku mau, Paman, mau sekali..... aku setuju......!"

   Tiba-tiba Lili bertanya,

   "Engkau mau apa, pangeran? Mau sekali apa? Dan apa yang kau setujui tadi?"

   Pangeran Ramamurti menjadi kaget setengah mati. Mukanya berubah kemerahan. Tak disangkanya bahwa Lili mengerti bahasa Bhutan! Gadis ini memang seorang kutu buku, suka mempelajari bahasa-bahasa. Bukan saja bahasa Bhutan, Nepal, juga bahasa Tibet dan bahasa daerah lainnya ia pelajari.

   "Eh..... ah.... mau anu...... mau duduk, aku...... aku setuju untuk duduk dan bicara......." jawab pangeran itu gagap. Lili mengerutkan alis dan tertawa geli karena ia sendiri sama sekali tidak tahu apa maksud kunjungan ini, sama sekali tidak mengira bahwa yang dimaksudkan pangeran itu adalah mau dan setuju sekali menikah dengannya!

   Akan tetapi di dalam kagetnya, pangeran itu menjadi semakin kagum dan suka mendengar gadis itu pandai pula berbahasa Bhutan. Sungguh sukar dicari keduanya gadis seperti ini. Cantik jelita, pandai ilmu silat dan tentu boleh diandalkan sebagai sumoi dari Cu Sui In yang telah dia lihat sendlri kelihaiannya, ditambah pandai berbahasa Bhutan pula.

   "Pangeran Ramamurti, dan saudara Balkan, sebelum kita membicarakan urusan mari kupersilakan menghadap ayahku dulu, kemudian menerima sambutan kami dengan jamuan makan. Setelah itu; baru kita bicara."

   Tentu saja pihak tamu, pangeran dan pamannya itu hanya dapat menerima, apalagi perjalanan jauh membuat mereka lelah, haus dan lapar. Sambutan dengan jamuan makan, tentu saja akan menyenangkan sekali. Mereka lalu diantar memasuki ruangan dalam di mana See-thian Coa-ong telah menanti dengan sikap acuh.

   Lili yang belum mengetahui bahwa kunjungan itu bermaksud melamar dirinya, mengikuti dari belakang sambil tersenyum-senyum. Ia masih merasa lucu melihat betapa sucinya demikian menghormati seorang pangeran yang dianggapnya terlalu banyak lagak itu. Apakah Sucinya yang sejak kecil diketahuinya sebagai seorang wanita yang memandang rendah kaum pria itu kini tiba-tiba tertarik dan jatuh cinta kepada pangeran ini? Hampir ia terkekeh dan menahan tawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan. Betapa lucunya kalau sucinya jatuh cinta kepada pangeran yang dianggapnya masih kekanak-kanakan ini!

   Dewi Ular yang mengajak dua orang tamunya masuk, segera memperkenalkan mereka kepada ayahnya. See-thian Coa-ong duduk di kursinya dengan sikap angkuh berwibawa. Jelas bahwa datuk ini tidak mau memperlihatkan kerendahan diri terhadap pangeran itu.

   "Ayah, inilah Pangeran Ramamurti dan pamannya, saudara Balkan seperti yang pernah kuceritakan itu," kata Bi-coa Sianli dengan nada suara bangga.

   "Locianpwe, terimalah hormat kami," kata Balkan dan pangeran itupun memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, agak membungkuk akan tetapi tidak berkata apapun.

   "Hemm, duduklah!" kata See-thian Coa-ong, mempersilakan dua orang itu duduk seperti mempersilakan dua orang tamu biasa saja. Jelas terbayang pada wajah dua orang tamu itu betapa mereka menjadi salah tingkah, bingung oleh sikap acuh kakek itu. Lili tidak mampu menahan tawanya.

   "Suhu, dia itu adalah seorang pangeran tulen, pangeran dari negara Bhutan. Hebat, bukan?" katanya.

   "Apanya yang hebat?" See-thian Coa-ong bertanya sambil menoleh kepada muridnya itu, alisnya berkerut.

   "Haiii, tidak banggakah suhu menerima tamu seorang pangeran? Ingat, suhu tidak setiap hari ada pangeran datang berkunjung. Pangeran itu putera raja, suhu, masih panas-panas keluar dari istana kerajaan!" Lili yang semakin geli melihat sikap suhunya, menambahkan.

   "Hem, apa anehnya raja dan pangeran? Sudah sering aku dijamu raja-raja di istana mereka. Raja-raja juga manusia biasa seperti kita, apa bedanya?

   "Bagaimana bisa sama, suhu? Dalam sebuah negara, raja hanya ada seorang saja, dan pangeran juga hanya beberapa orang. Tentu berbeda dengan orang-orang biasa seperti kita."

   Pangeran Ramamurti tidak begitu pandai berbahasa Han, akan tetapi dia paham apa yang dibicarakan. Dia merasa gembira bukan main mendengar gadis yang dicalonkan menjadi jodohnya dan yang sekaligus telah membuatnya jatuh bangun dalam cinta itu, membuatnya tergila-gila, memuji-mujinya dan berkeras mengatakan bahwa pangeran adalah manusia luar biasa, lain dari pada yang lain. Ini saja sudah merupakan lampu hijau baginya. Diapun kurang enak mendengar kakek itu agaknya memandang rendah pangeran, akan tetapi untuk memperlihatkan bahwa dia cukup rendah hati, diapun berkata sambil tersenyum ramah.

   "Aih, nona Lili. Apa yang diucapkan locianpwe ini benar sekali. Biarpun aku seorang pangeran yang mungkin kelak menjadi raja, akan tetapi aku adalah manusia biasa yang tidak ada bedanya dengan orang lain. Lihat, hidungku satu, mata dan telingaku dua, mulutku satu, jari tanganku masing-masing lima. Sama, bukan?" Pangeran itu menunjuk hidung, telinga, mata dan mulut, lalu membuka sepuluh jari tangannya, memperlihatkannya kepada Lili. Gadis ini tidak dapat menahan tawanya sampai terpingkal-pingkal.

   "Lili, bersikaplah yang pantas di depan tamu!" Cu Sui In menegur sumoinya.

   Lili adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng oleh tokoh-tokoh seperti Dewi Ular kemudian Raja Ular yang merupakan orang-orang aneh di dunia kangouw. Ia sendiripun ketularan watak aneh mereka yang tidak sudi dikekang oleh peraturan apapun juga. Oleh karena itu, ketika tertawa tadi, Lili juga tidak menahan diri dan tertawa lepas-lepas dengan mulut ternganga, hal yang bagi wanita Han pada umumnya dianggap tidak bersusila!

   "Ehh, mengapa, suci? Apakah aku bersikap tidak pantas? Apanya yang tidak pantas?" Lili membantah. Jangankan sekarang wanita itu telah menjadi kakak seperguruannya, ketika masih disebut subo (ibu guru) sekalipun, ia suka membantah kalau memang dianggap ia yang benar. Ia memang taat dan segan, akan tetapi tidak membuta.

   "Engkau tertawa tanpa terkendali!" tegur sucinya.

   "Ahh? Aku merasa senang dan geli, ingin tertawa lalu aku tertawa, kenapa tidak pantas? Kalau aku ingin tertawa lalu kutahan dan kusembunyikan, barulah tidak pantas. Bukankah begitu, pangeran? Tolong katakan, apakah aku tadi bersikap tidak pantas di depan pangeran?" Lili mendekatkan mukanya, dicondongkan ke depan, ke arah pangeran itu.

   Pangeran Ramamurti menggosok-gosok hidungnya, nampak senang sekali.

   "Aih, tidak, sama sekali......."

   "Maksudmu tidak pantas?"

   "Pantas....... pantas.......!!" jawab pangeran itu berulang-ulang sehingga Lili menjadi semakin geli dan.tertawa lagi.

   Cu Sui In sudah tahu akan watak nakal dan lincah suka menggoda orang dari sumoinya, dan pada saat itu, kebetulan pelayan datang melapor bahwa hidangan untuk menjamu tamu sudah tersedia di meja ruangan makan.

   "Silakan, Pangeran Ramamurti dan Saudara Balkan. Mari silakan makan minum dulu, baru kita nanti bicara." Cu Sui In mempersilakan.

   "Mari kita temani tamu-tamu kita, Lili."

   "Akan tetapi aku sudah makan, suci."

   "Biarlah, kita minum-minum saja sekedar menemani mereka. Akupun sudah makan tadi."

   See-thian Coa-ong yang bersikap acuh, hanya mengangguk ketika dua orang tamu itu permisi. Mereka pergi ke ruangan makan dan untuk mencegah agar sumoinya yang nakal itu tidak menggoda lagi tarrunya, Cu Sui In sendiri yang melayani mereka dengan suguhan arak, anggur dan masakan-masakan yang lezat, dibantu oleh para pelayan wanita.

   "Sambil makan minum, kami hendak memperlihatkan tarian yang khas dari tempat tinggal Pangeran," kata Cu Sui In dan sang pangeran mengangguk-angguk girang. Sui In memberi isyarat kepada para pelayan dan terdengarlah suara dua buah yang-kim (kecapi) ditabuh dengan suara melengking merdu, lalu disusul suara suling. Sehelai tirai sutera diangkat perlahan-lahan dan nampaklah tiga orang wanita cantik yang bermain suling dan dua yang-kim itu.

   Kemudian, dari kamar bagian dalam, muncul lima orang gadis. Mereka berlari-lari kecil di atas jari-jari kaki mereka seolah meluncur saja, dan kelima orang gadis itu muda-muda dan cantik-cantik, mengenakan pakaian serba tipis yang menggairahkan. Kemudian, setelah mereka memberi hormat ke arah tamu, mulailah mereka menari mengikuti suara yang-kim dan suling.

   Dan Pangeran Ramamurti terpesona. Di negerinya juga banyak terdapat penari yang pandai menari perut, akan tetapi gerakan lima orang penari ini lain sekali. Tubuh mereka yang ramping berlenggang-lenggok seperti tubuh ular!

   Lengking suling itu makin meninggi dan tiba-tiba saja Lili bangkit, dari tempat duduknya dan diapun menari dengan gerakan yang berlenggang lenggok seperti ular pula. Lima orang penari itu tersenyum dan mereka menari-nari mengelilingi Lili, merupakan paduan yang serasi.

   Pangeran Ramamurti semakin terpesona dan tiada hentinya mulutnya mengeluarkan suara pujian. Lili memang suka sekali menari. Setiap kali melihat tarian, apalagi mendengar suara yang-kim dan suling memainkan lagu yang amat dikenalnya itu, lagu ular, ia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak ikut menari!

   Para pemain musik dan penari itu sudah tahu akan kesukaan Lili, maka mereka tersenyum dan tiba-tiba peniup suling itu memainkan lagu lain. Sulingnya melengking-lengking dan mengandung getaran aneh. Lili juga mengubah gerakan tarinya dan lima orang penari itu kini duduk mengellingi dan bersimpuh, bertepuk tangan mengiringi musik dan tarian.

   "Ular...... ular......!!" seru Ramamurti dan Balkan sambil mengangkat kaki tinggi-tinggi ke atas kursi ketika mereka melihat puluhan ular memasuki ruangan itu dari segala penjuru.

   "Harap kalian tenang, tidak apa-apa," Cu Sui In sambil tersenyum.

   Dua orang tamu itu lupa makan. Kini mereka terbelalak dengan heran, kagum bercampur khawatir melihat betapa lima orang penari itu sudah bangkit lagi menari di sekeliling Lili dan seperti juga Lili yang memainkan dua ekor ular putih yang nampak ganas, lima orang penari itu menari dengan ular-ular bergantungan di tubuh.

   Ini baru benar-benar tari ular, pikir pangeran itu dengan kagum. Di negerinya juga ada tari ular, ada pula pawang ular. Akan tetapi biasanya, dalam tarian, ular itu, si penari menggunakan ular-ular yang sudah dijinakkan dan tidak dapat menyerang atau menggigit lagi. Akan tetapi enam orang penari ini mempermainkan ular-ular liar yang agaknya tadi tertarik dan berdatangan setelah mendengar tiupan suling istimewa itu.

   Setelah suara suling mengusir pergi ular-ular itu dan tarian dihentikan, Pangeran Ramamurti dan Balkan bertepuk tangan memuji. Kemudian, setelah dua orang tamu itu selesai makan, mereka diajak menghadap lagi ke ruangan dalam di mana See-thian Coa-ong masih duduk.

   "Nah, sekarang harap ji-wi (kalian berdua) beritahukan maksud kunjungan ji-wi kepada kami," kata Cu Sui In kepada dua orang tamunya, Para pelayan sudah disuruh keluar dari ruangan itu dan disitu hanya ada dua orang tamu itu dan di pihak tuan rumah tiga orang. Sikap See-thian Coa-Ong masih acuh saja. Kalau Sui In merasa setuju dan bangga sekali menyambut usul perjodohan antara Lili dan Pangeran Bhutan, ayahnya tidak demikian. See-thian Coa-ong tidak menolak, akan tetapi jaga tidak gembira dan acun saja, menyerahkan urusan itu kepada puterinya dan kepada Lili sendiri.

   "Locianpwe dan Cu-lihiap, kunjungan kami ini bermaksud untuk menyambung persesuaian pendapat di antara kami dan Cu-lihiap ketika lihiap berkunjung ke negeri kami dua bulan yang lalu, yaitu kami datang untuk meminang nona Tang Bwe Li agar menjadi jodoh Pangeran Ramamurti....."

   "Gila......! Lancang.....!!" Tiba-tiba Lili meloncat bangun dari kursinya, mukanya merah, matanya mencorong memandang ke arah dua orang tamu itu membuat mereka terkejut.

   Lili, hentikan itu!" Cu Sui In membentak, juga marah.

   "Sikapnya tidak patut dan memalukan!"

   "Tapi....... tapi, suci..... mereka ini kurang ajar kepadaku!" bantah Lili.

   "Engkau yang kurang ajar! Sudah jamaknya gadis dewasa seperti engkau dilamar orang, dan tidak seperti itu sikap seorang gadis yang menerima lamaran. Kau diamlah, ini urusan orang-orang tua!"

   "Tidak suci. Aku tidak mau! Aku tidak sudi berjodoh dengan dia!"

   "Lili, ini sudah keterlaluan!" Cu Sui In juga bangkit dan mukanya berubah merah karena marah dan malu.

   "Suci katakan aku keterlaluan? Suci sendiri sampai sekarang tidak mau menikah dan malah hendak memaksaku menikah, itu baru namanya keterlaluan! Kenapa tidak suci saja yang berjodoh dengan pangeran ini?" Setelah berkata demikian, Lili mengepal tinju hendak menyerang kedua orang tamu itu, membuat Pangeran Ramamurti menjadi pucat ketakutan.

   "Lili, mundur kau!" bentak See-thian Coa-ong dan mendengar bentakan gurunya ini, Lili mengendur, matanya menjadi merah dan basah. Ia membanting kakinya dan lari keluar dari ruangan itu, ke kamarnya.

   Setelah gadis itu pergi, sejenak dalam ruangan itu sunyi. Sunyi yang menegangkan hati. Kemudian terdengar Pangeran Ramamurti berkata dalam bahasanya sendiri kepada Balkan.

   "Paman, mari kita, pulang saja. Kalau lamaran kita ditolak, untuk apa kita lama di sini?"

   Mendengar ini, Sui In cepat berkata.

   "Harap ji-wi memaafkan sumoiku. Ia memang keras hati dan tentu saja ia merasa malu. Kami harap ji-wi suka bersabar. Aku yang akan membujuknya. Sekarang ini kami belum dapat mengambil keputusan mengenai pinangan ji-wi. Baiklah, nanti bulan depan saja kami akan mengirim berita keputusan kami. Sekali lagi, harap maafkan."

   Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ucapan itu merupakan permintaan maaf dan juga pengusiran secara halus. Memang Sui In yang merasa tidak enak sekali oleh sikap Lili tadi, merasa bahwa lebih baik kalau dua orang tamunya itu, pergi saja dulu.

   Balkan dan pangeran itu lalu berpamit. Lebih dulu mereka berpamit kepada See-thian Coa-ong dan kakek ini yang sejak tadi diam saja dan acuh, tiba-tiba bertanya kepada Pangeran Ramamurti,

   "Engkau ini seorang pangeran, kenapa tidak mencari jodoh seorang puteri bangsawan? Orang seperti engkau ini bagaimana mungkin kelak dapat mengendalikan seorang isteri seperti Lili?" Dia tertawa bergelak dan seperti biasa, senyum dan tawa kakek ini selalu mengandung ejekan dan memandang rendah orang lain.

   Pangeran Ramamurti tidak menjawab. Dia dan pamannya lalu berpamit kepada Sui In dan meninggalkan puncak Bukit Ular, diikuti pasukan kecil pengawal mereka.

   "Berhenti......" Lili yang berdiri di tengah jalan itu mengangkat tangan kanan ke atas, memberi isyarat kepada pasukan berkuda itu untuk berhenti. Pangeran Ramamurti dan Balkan menahan kendali kuda mereka, demikian pula duabelas orang pengawal mereka.

   Melihat bahwa yang menghentikan mereka adalah Lili yang nampak demikian gagah dan cantik, berdiri tegak di tengah jalan, kedua kaki terpentang, tangan kiri di pinggang dan tangan kanan diangkat ke atas, wajah Pangeran Ramamurti yang tadinya murung itu menjadi gembira sekali. Dia meloncat turun dari atas kudanya, wajahnya yang tampan tersenyum.

   "Aih, kiranya nona Lili! Nona, apakah engkau menghadang di sini untuk mengucapkan selamat jalan kepadaku?" Dalam suaranya terkandung penuh harapan.

   "Pangeran Ramamurti, engkau telah menghinaku dan sekarang masih mengharapkan aku untuk mengucapkan selamat jalan kepadamu? Aku menghadang untuk memberi hajaran kepada kalian yang telah menghinaku!"

   Melihat sikap gadis itu dan mendengar ucapannya, wajah pangeran itu menjadi pucat dan dia melangkah mundur. Pamannya, Balkan, sudah melompat turun pula dari atas kudanya dan dia menghadapi gadis itu dengan sikap tenang.

   "Maaf, nona Tang Bwe Li, kami sungguh tidak mengerti kenapa nona marah kepada kami? Kami datang dengan baik-baik dan dengan sikap hormat untuk meminang diri nona. Bagaimana nona dapat mengatakan bahwa kami telah menghinamu?"

   "Tidak menghinaku, ya? Bagus! Kalian datang melamarku begitu saja, tanpa lebih dulu memberi tahu aku, tidak menyelidiki dulu apakah aku suka atau tidak. Memangnya aku ini sebuah boneka yang tidak mempunyai pikiran sendiri? Atau aku ini seekor kuda saja yang boleh kalian tawar dan hendak membeliku dengan kedudukan dan hartamu? Kalian telah membikin aku malu!"

   Balkan adalah seorang dari golongan rakyat biasa, akan tetapi karena kakaknya perempuan menjadi isteri raja Bhutan, maka dia merasa dirinya besar dan telah menjadi seorang bangsawan tinggi paman dari Pangeran Ramamurti. Kini, melihat sikap Lili yang sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada keponakannya dan kepadanya, timbullah kemarahannya. Gadis ini terlalu menghina, pikirnya.

   "Nona Tang Bwe Li, ingatlah bahwa yang meminangmu adalah seorang pangeran kerajaan Bhutan! Biasanya, di Bhutan, kalau pangeran menghendaki seorang wanita, cukup dengan melambaikan tangan saja dan setiap orang wanita akan datang menyerahkan diri dengan bangga, karena mengingat bahwa nona adalah bangsa lain, maka kami mempergunakan cara yang sopan dan lajim, melakukan pinangan dengan resmi. Bahkan sebelum kami datang meminang, kami telah membicarakannya dengan lihiap Cu Sui In dan ia telah menyetujuinya. Sepatutnya nona merasa terhormat dan bangga, bukan merasa terhina. Ini sungguh tidak adil sekali!"

   Mendapat jawaban seperti ini, kemarahan Lili bagaikan api disiram minyak, makin berkobar.

   "Bagus! Kalian sudah menghinaku, masih menyalahkan aku. Kalian harus dihajar agar tidak berani muncul lagi ke sini, tidak lagi menyinggung urusan perjodohan!"

   Balkan juga marah. Gadis ini terlalu menghina, sepantasnya kalau ditawan dan dibawa ke Bhutan, dipaksa menikah dengan Pangeran Ramamurti! Dia memberi isyarat kepada pasukan pengawal.

   "Tangkap nona yang lancang mulut ini!"

   Duabelas orang pengawal itu sudah berloncatan turun dari atas kuda dan seperti segerombolan anjing pemburu mengeroyok seekor kelinci, mereka sudah menerjang ke arah Lili dengan tangan terjulur panjang. Melihat kecantikan gadis itu, mereka bergairah dan seolah berlumba untuk memperebutkan gadis itu, agar mereka dapat lebih dulu menerkam, memeluk dan menangkapnya. Mereka berlumba untuk dapat meraba tubuh yang padat itu, atau setidaknya bersentuhan lengan.

   Akan tetapi, mereka itu bukan seperti segerombolan anjing pemburu memperebutkan seekor kelinci, melainkan segerombolan anjing pemburu bertemu dengan seekor harimau betina yang galak dan kuat! Lili menyambut mereka dengan terjangan kaki tangannya. Gerakannya demikian tangkas, cepat dan Kuat sekali sehingga duabelas orang pengawal yang merupakan pengawal pilihan itu terpelanting ke kanan kiri! Mereka terbanting dan mengaduh-aduh, mengalami patah tulang, babak belur dan benjol-benjol.

   Dan bagaikan seekor burung walet, tubuh Lili sudah menyambar ke arah Balkan dan Pangeran Ramamurti. Dua orang bangsawan ini terkejut dan hendak melarikan diri, akan tetapi sebuah tendangan membuat Balkan tersungkur dan sekali Lili menjulurkan tangan, ia telah mencengkeram pundak pangeran itu.

   "Nona, apa kesalahanku, lepaskan!" kata pangeran itu meronta-ronta.

   "Engkau lancang berani meminangku, ya?" Lili membentak dan tangannya menampar beberapa kali. Kedua pipi pangeran itu menjadi merah membengkak. Lili mendorongnya dan diapun terjengkang.

   "Engkau harus dihajar agar jangan berani lagi, datang ke sini!" kakinya menendang dan pangeran yang sedang merangkak bangun itu terlempar lagi.

   "Lili, tahan!" terdengar bentakan nyaring dan Lili yang sudah hendak menggerakkan kakinya, menahan tendangannya. Ia menoleh dan ternyata Sui In telah berdiri di situ dengan sikap marah. Sementara itu, Balkan yang sudah bangkit, menolorg Pangeran Ramamurti, memapahnya dan bersama anak buah mereka yang sudah bangkit pula, mereka mencari kuda mereka, menunggang kuda dan rombongan itu pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit.

   "Lili, engkau sungguh keterlaluan sekali! Apakah engkau sudah mulai berani menentang aku? Katakan, apakah engkau hendak menantang aku?" Cu Sui In marah sekali, matanya mencorong dan kedua tangannya bertolak pinggang.

   Melihat ini, Lili menjatuhkan diri berlutut menghadap wanita yang pernah menjadi gurunya dan kini menjadi sucinya ini. Ia berlutut dan kedua matanya basah, akan tetapi ia mengeraskan hatinya sehingga tidak sampai menangis. Ia bukan takut walaupun ia tahu bahwa ia tidak akan mampu menandingi sucinya, akan tetapi ia berduka sekali melihat sucinya demikian marah kepadanya dan sorot matanya seperti membencinya.

   "Suci, sejak aku dapat mengingat, sejak kecil sekali suci memeliharaku, merawat dan mendidik aku. Suci sayang kepadaku dan akupun amat sayang kepadamu. Bagaimana mungkin aku tidak akan mentaatimu? Suci, apapun yang suci perintahkan, akan kutaati, dan aku akan membela suci dengan taruhan nyawa sekalipun. Akan tetapi,........ mengenai perjodohanku...... bagaimana aku dapat melempar diriku ke dalam nasib yang akan menentukan selama hidupku? Suci, kalau aku menikah, berarti aku berpisah dari suci, dan hidup selamanya di samping seorang laki-laki yang tidak kucinta. Bagaimana mungkin ini? Suci, kalau aku bersalah dan suci hendak menghukumku, silakan. Biar dihukum matipun aku rela, dan aku tetap tidak akan mau dijodohkan dengan laki-laki yang tidak kucinta."

   Sui In tersenyum mengejek.

   "Huh, cinta? Mana ada cinta dalam hati kaum pria? Kalau sudah melampiaskan nafsu mereka, mereka akan bosan dan tidak memperdulikan kita lagi. Cinta? Cinta laki laki adalah palsu, rayuan kosong hanya untuK memikat. Laki-laki seperti laba-laba yang memikat kupu-kupu terperangkap di sarangnya, kalau sudah dihisap sampai kering, bangkai kupu-kupu akan di campakkan begitu saja. Aku menjodohkan engkau dengan seorang pangeran, itu berarti hidupmu akan terjamin, mulia, terhormat, kecukupan sampai semua keturunanmu kelak. Namamu terjunjung tinggi, namaku dan nama ayahku ikut terangkat. Seorang pangeran, apalagi kalau kelak menjadi raja, tidak akan mencampakkan isterinya begitu saja. Paling banyak dia menambah selir, akan tetapi isterinya akan tetap dimuliakan orang. Aku menyetujui perjodohan itu demi kebaikanmu, kenapa engkau menolak?"

   "Maaf, suci. Bagaimanapun juga, hati ini tidak merelakan kalau badan ini kuserahkan kepada orang yang tidak kucintai. Aku siap menerima hukuman asal suci jangan marah lagi kepadaku."

   Sui In tersenyum, lalu menarik napas panjang.

   "Kalau aku marah, sejak tadi sudah kubunuh engkau! boleh saja engkau menolak lamaran, akan tetapi tidak perlu bersikap kasar, apalagi menyakiti rombongan pangeran itu. Sudahlah, apa engkau sudah mempunyai pilihan hati, seorang pria yang kaucinta dan kauharapkan menjadi jodohmu?"

   Karena besar dalam lingkungan orang aneh, Lili juga menjadi seorang gadis yang berwatak aneh. Yang oleh wanita pada umumnya dianggap sebagai hal yang memalukan, mungkin baginya sama sekali tidak memalukan, dan sebaliknya. Ia menjunjung kegagahan, wajar dan jujur, walaupun seringkali mengandalkan kekuatan dan kekerasan.

   "Sudah, suci," jawabnya tegas.

   Sui In mengerutkan alisnya, merasa penasaran dan heran mengapa ia tidak tahu bahwa Lili mempunyai seorang pacar! "Siapa dia? Pemuda dekat sini?"

   "Dia orang jauh dan suci juga sudah mengenalnya."

   "Kau amat cinta padanya?"

   "Aku cinta padanya, kagum, dan juga penasaran dan benci."

   "Ehh? Siapa pria aneh itu?"

   "Dia Sin Wan, suci."

   "Sin Wan......? Seperti pernah kudengar nama itu."

   "Tentu saja. Dia murid dan putera mendiang Tangan Api Se Jit Kong."

   "Aih, benar. Dia murid pula dari Sam-sian, bukan? Aihh, dia yang pernah memukuli pantatmu ketika engkau kecil itu?"

   "Benar, akan tetapi aku sudah membalas memukuli pantatnya berikut bunganya. Aku.... aku hanya mau berjodoh dengan dia, suci."

   "Sudahlah. Engkau bilang selalu taat kepadaku. Sekarang aku akan memberimu sebuah tugas, maukah engkau melakukannya untuk aku?"

   "Katakan apa tugas itu, suci. Akan kulakukan walau dengan pengorbanan nyawa sekalipun."

   "Mungkin saja engkau akan berkorban nyawa, karena orang yang kuingin agar kau bunuh ini memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali."

   "Suci ingin aku membunuh orang? Boleh saja, akan tetapi aku harus tahu lebih dulu apa kesalahannya dan mengapa pula suci hendak membunuhnya."

   "Dia seorang pendekar yang perkasa, seorang tokoh Butong-pai yang sukar dicari tandingannya, terutama sekali ilmu pedangnya amat ditakuti orang. Akan tetapi, aku yakin engkau akan mampu menandinginya dan mengalahkannya. Namanya Bhok Cun Ki berjuluk Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti), usianya sekitar empatpuluh lima tahun. Dia seorang pendekar perantau, tidak tentu tempat tinggalnya. Akan tetapi kalau engkau pergi ke Butong-pai dan mencari keterangan di markas Butong-pai, tentu engkau akan dapat memperoleh keterangan di mana adanya Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki."

   "Hal itu mudah dilakukan, suci. Akan tetapi suci belum mengatakan mengapa suci hendak membunuhnya dan apa pula kesalahannya."

   "Hemm, engkau bilang selalu taat kepadaku, kenapa sekarang kuberi tugas engkau ribut-ribut mendesak aku agar menceritakan sebab-sebabnya."

   "Suci, aku tidak melupakan nasihat suhu. Kita tidak perlu berpihak kepada golongan manapun, akan tetapi kita harus bertanggung-jawab atas semua perbuatan kita. Itu namanya baru gagah. Setiap perbuatan kita harus dilandasi alasan kuat sehingga kita tidak ragu-ragu melaksanakannya. Nah, karena itu, aku ingin agar aku mengetahui apa alasannya maka aku harus membunuh Sin-kiam-eng Bhok Cun Ki itu."

   Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In biasanya berwatak keras, galak dan tidak sabar terhadap orang lain. Akan tetapi terhadap Lili ia tak pernah memperlihatkan sikap kerasnya itu. Ia terlalu sayang kepada muridnya yang kini menjadi sumoinya itu dan kini mendengar ucapannya Lili, ia bahkan tersenyum.

   Lili sendiri terpesona kalau melihat sucinya tersenyum. Senyum sucinya itu belum tentu ia lihat seminggu sekali! Kalau sucinya, yang biasanya berwajah dingin itu tersenyum, ia benar-benar pantas disebut dewi karena nampak cantik jelita dan anggun. Betapa senyum seseorang dapat membuat wajahnya menjadi hidup dan cerah, bagaikan matahari muncul dari balik awan hitam.

   "Lili, engkau ingin tahu sebabnya? Sebabnya adalah karena Bhok Cun Ki itu adalah kekasihku......."

   Lili memandang sucinya dengan mata dibelalakkan lebar-lebar, dan kini Cu Sui In yang terpesona penuh kagum. Sumoinya ini memang cantik jelita, akan tetapi kalau matanya dibelalakkan seperti itu, sepasang mata itu menjadi besar dan bercahaya seperti bintang, sehingga wajah itu manis bukan main.

   "Aihhn, suci. Ini namanya puncak keanehan! Kalau dia itu kekasih suci, kenapa harus dibunuh?"

   "Duapuluh tiga tahun yang lalu, ketika aku berusia duapuluh tahun dan dia berusia duapuluh dua tahun, kami saling mencinta dan kami saling bersumpah untuk sehidup semati. Aku bahkan telah menyerahkan segala-galanya yang ada padaku kepadanya, menyerahkan jiwa ragaku kepadanya, akan tetapi..... setelah dia mengetahui bahwa aku adalah puteri See-thian Coa-ong, dia yang menganggap dirinya seorang pendekar Butong-pai lalu mundur dan meninggalkan aku, memutuskan hubungan. Padahal, aku telah menyerahkan segalanya. Dia telah mengkhianatiku dan kemudian menikah dengan seorang puteri bangsawan."

   Wajah Lili berubah merah karena marah.

   "Suci! Kenapa sekian lamanya suci diam saja? Laki-laki pengkhianat seperti itu sudah selayaKnya dibunuh. Kenapa dahulu suci tidak mencarinya dan membunuhnya? Dia tidak pantas hidup!"

   Cu Sui In menggeleng kepala dengan wajah sedih dan beberapa kali ia mengnela napas, panjang.

   "Sudah kucoba untuk mengeraskan hati, namun sia-sia, Lili. Aku,..... aku tidak tega membununnya, aku tetap mencintanya, sampai sekarang. Karena itu aku minta bantuanmu......."

   "Suci, engkau membikin aku bingung. Kalau suci sampai sekarang tetap mencintanya, kenapa suci melepaskannya begitu saja? Kenapa suci tidak bunuh saja perempuan yang merampasnya dan paksa dia menjadi suami suci?"

   Sepasang mata Dewi ular Cantik itu mencorong marah.

   "Tidak! Aku tidak sudi mengemis cintanya! Tidak usah banyak komentar. Mau atau tidak engkau melaksanakan tugas yang kuberikan padamu?"

   "Tentu saja, suci. Aku siap melaksanakannya aku siap membelamu biar harus mempertaruhkan nyawaku."

   "Lili....... Sui In merangkul dan mencium kedua pipi gadis itu.

   "Engkau memang anak baik, engkau sumoi yang baik. Pergilah, Lili, cari dia sampai dapat, kemudian bunuh dia, bunuh isterinya, bunuh anak mereka kalau ada. Lakukan itu untuk aku yang menderita selama duapuluh tiga tahun ini."

   "Baik, suci. Jangan khawatir. Aku akan mencarinya, aku akan membunuhnya berikut anak isterinya. Pengorbanan suci yang selama duapuluh tiga tahun ini harus ditebus dengan nyawa mereka. Suci selama puluhan tahun menderita, tidak mau berdekatan dengan pria, semua itu demi cinta suci kepadanya. Akan tetapi dia malah meninggalkan suci dan menikah dengan perempuan lain!" Lili mengepal tinju.

   "Nah, berangkatlah, Lili. Dengan ilmu pedangmu Pek-coa Kiam-sut, aku yakin engkau akan mampu mengalahkan ilmu pedangnya dari Butong-pai."

   Ketika Lili berpamit kepada gurunya, dan menceritakan tugas yang diberikan Cu Sui In kepadanya, See-thian Coa-ong menggeleng-gelengkan kepala.

   "Manusia bisa gila karena cinta. Sui In mengubur dendam selama duapuluh tahun lebih dalam hatinya dan sekarang menghendaki engkau yang mewakilinya. Bahkan ketika aku hendak turun tangan, ia selalu melarang. Sekarang aku tahu, kiranya ia menanti sampai engkau dewasa dan memiliki kemampuan untuk mewakilinya. Kiranya selama ini ia menanam dendamnya karena ia sendiri tidak tega meiakukannya, ha..ha..ha!"

   Setelah Lili hendak berangkat, Cu Sui In mengantarnya sampai ke bawah puncak. Lili, kalau sudah selesai tugasmu, jangan pulang ke sini. Tahun depan aku dan ayah akan pergi ke Thai-san, di mana akan diadakan pemilihan bengcu sebagai pemimpin seluruh dunia persilatan dan merupakan jago nomor satu. Nah, di sanalah kita bertemu, tahun depan sebulan sesudah Perayaan Musim Semi atau Sin-cia. Kalau engkau kembali ke sini, aku khawatir kita tidak akan dapat saling bertemu. Kalau kita bertemu di sana, engkau dapat memperkuat rombongan ayah."

   "Baik, suci." Mereka berangkulan dan saling berciuman, lalu Lili menggunakan ilmu berlari cepat menuruni Puncak Bukit Ular, diikuti pandang mata Cu Sui In yang kini nampak tersenyum, akan tetapi kedua matanya basah air mata!

   Malam itu gelap sekali. Di langit tidak ada bulan, tidak ada bintang karena semua bintang tertutup oleh awan hitam. Gelap gulita dan hawa udara amat dinginnya. Musim salju mendekati akhir, namun justeru hawa udara dingin sampai menusuk tulang. Semua air membeku dan gerimis salju hampir tidak pernah berhenti.

   Karena malam demikian gelap dan dingin, maka kota Peking, walaupun merupakan ibu kota ke dua setelah Nan-king, malam itu sunyi sekali. Orang-orang lebih suka berada di dalam rumah yang dihangatkan perapian. Kalaupun terpaksa keluar rumah karena keperluan penting, mereka mengenakan pakaian kapas atau bulu yang tebal, menutupi kepala dan muka. Namun, tetap saja hawa dingin menyusup ke dalam badan, bibir pecah-pecah dan pernapasan terasa sesak.

   Di dalam istana Raja Muda Yung-Lo sendiri nampak sunyi. Para penjaga mengaman dan menyamankan diri di dalam gardu-gardu penjagaan yang dihangatkan dengan perapian. Yang terpaksa melakukan perondaan, berpakaian tebal dan melakukan perondaan cepat-cepat agar dapat segera kembali ke gardu yang hangat. Pula, dalam udara sedingin itu, malam segelap itu, siapa sih orang yang usil dan mencari penyakit melakukan kejahatan di dalam istana yang terjaga ketat?

   Para petugas jaga itu agaknya lupa bahwa orang-orang Mongol tidak pernah melepaskan segala kesempatan baik. Mereka adalah orang-orang yang selalu masih merasa penasaran ketika Kerajaan Mongol runtuh demikian mudahnya setelah bangsa Mongol menguasai Cina hampir seabad lamanya (1170- 1260).

   Para Pangeran Mongol yang berhasil menyelamatkan diri ke utara segera membentuk suatu jaringan dalam usaha mereka menegakkan kembali kerajaan Mongol untuk menguasai Cina. Mereka menyusun jaringan mata-mata, mengirim banyak orang pandai yang menyusup ke sebelah selatan Tembok Besar. Bahkan ada pangeran yang mengirim rombongan mata-mata yang pandai, melakukan penyusupan tidak melalui Tembok Besar di utara yang terjaga ketat, melainkan mengambil jalan memutar dari arah barat.

   Malam yang sunyi dan dingin itu, yang membuat para penjaga dan pengawal di istana Raja Muda Yung Lo menjadi lengah dan malas, tidak lepas dari pengamatan para mata-mata Mongol. Dalam kegelapan malam itu, di waktu sebagian besar penduduk kota sudah meringkuk di dalam kamar masing-masing berselimut tebal, nampak tiga sosok bayangan berkelebatan di atas pagar tembok istana dan melayang turun di sebelah dalam! Dengan gerakan ringan dan cepat, mereka menyelinap dalam taman, menghampiri bangunan istana yang megah dengan hati-hati sekali.

   Gerakan mereka yang tanpa ragu-ragu itu, dan dalam menghindar gardu-gardu penjagaan, membuktikan bahwa mereka bertiga itu mengenal baik sekali keadaan di situ dan semua gerakan mereka penuh dengan perhitungan yang matang.

   Sementara itu, di sebelah dalam istana, seorang wanita cantik berpakaian ringkas. Sebatang pedang menempel di punggungnya, dan di ikat pinggangnya terselip sebatang suling perak. Wanita ini berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing. Di dagu kanannya terdapat hiasan bawaan lahir, yaitu setitik tahi lalat yang membuat wajahnya nampak semakin manis. Matanya lembut akan tetapi kadang-kadang mencorong penuh wibawa. Bibirnya merah segar dengan bentuk menggairahkan. Pembawaannya tenang dan anggun, namun langkah kakinya menunjukkan bahwa ia memiliki tenaga dan kegesitan.

   Ketika wanita melewati gardu penjagaan di dekat kolam ikan, di bagian paling dalam dari istana itu, di taman bunga kecil yang berada paling dalam, tempat bermain para wanita istana, ia menghampiri gardu. Melihat tiga orang perajurit pengawal wanita melenggut hampir pulas di bangku panjang, ia mengerutkan alisnya dan jari tangannya mengetuk dinding gardu.

   "Tok-tok-tokk!" Tiga orang penjaga itu terkejut dan berloncatan bangun sambil menyambar pedang mereka. Mereka terbelalaK ketika melihat bahwa yang mengejutkan mereka itu adalah atasan mereka.

   Dengan alis berkerut wanita itu menegur.

   "Beginikah caranya melakukan penjagaan? Kalian telah lengah! Seorang petugas yang baik tidak gentar menghadapi hawa dingin dan kesukaran apapun!"

   "Maafkan kami, Lim-lihiap (pendekar wanita Lim)," kata seorang di antara mereka sambil berdiri tegak dan memberi hormat.

   "Baiklah, untung tidak terjadi apa-apa. Dalam keadaan yang dingin dan sunyi seperti ini, ketika para penjaga dalam keadaan lengah dan mengantuk, para penjahat dapat mempergunakan kesempatan untuk bergerak. Lakukan penjagaan dengan ketat dan waspada!" Setelah berkata demikian, wanita itu meninggalkan mereka untuk melakukan perondaan dan pemeriksaan terhadap anak buahnya yang bertugas jaga di lingkungan istana itu.

   Wanita muda yang perkasa ini adalah Lim Kui Siang yang kini oleh raja muda Yung Lo dipercaya untuk menjadi kepaia pengawal keluarga Raja Muda itu. Gadis perkasa ini memiliki ilmu kepandaian tinggi karena ia adalah murid Sam-sian pula. Ia adalan sumoi dari Sin Wan. Sebetulnya, antara Lim Kui Siang dan Sin Wan yang saudara seperguruan itu terjalin hubungan cinta kasih yang mendalam.
(Lanjut ke Jilid 03)

   Asmara Si Pedang Tumpul (Seri ke 02 - Serial Si Pedang Tumpul)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03
Bahkan guru-guru mereka pernah mengusulkan agar kedua orang murid yang saling mencinta itu menjadi suami isteri. Keduanya menerima dengan baik dan Kui Siang memang sejak kecil kagum kepada Sin Wan. Biarpun Sin wan seorang yang berbangsa Uighur, bukan pribumi, dan ia sendiri puteri bangsawan karena mendiang ayahnya keturunan atau kebangsawanan.

   Ketika Sin Wan melamarnya kepada para paman dan bibinya sebagai wakil ayah bunda yang telah tiada, mereka menolak dan tidak menyetujui perjodohan itu. Bahkan mereka menghina Sin Wan yang dikatakan keturunan bangsa biadab! Kui Siang marah dan mengusir para paman dan bibinya yang hanya mendekatinya karena menginginkan harta peninggalan ayahnya. Kemudian dengan sepenuh hati ia hendak menghibur Sin Wan dan nekat melangsungkan perjodohan dengan suhengnya itu.

   Akan tetapi, pada saat terakhir ia mendapatkan kenyataan yang amat pahit baginya, yaitu bahwa Sin Wan adalah anak tiri dari mendiang Se Jit Kong, yaitu Iblis Tangan Api yang telah membunuh ayahnya! Biarpun Sin Wan hanya anak tiri, namun kenyataan ini membuat Kui Siang terpukul. Hancur rasa hatinya dan ia tidak mau mendekati suhengnya lagi, ia meninggaikan suhengnya itu dengan perasaan hancur. Ia amat mencinta suhengnya, akan tetapi bagaimana mungkin ia berjodoh dengan anak angkat orang yang telah membunuh ayahnya dan menghancurkan keluarga ayahnya? la akan merasa durhaka terhadap orang tuanya.

   

Lembah Selaksa Bunga Eps 6 Lembah Selaksa Bunga Eps 14 Pedang Sinar Emas Eps 27

Cari Blog Ini