Ceritasilat Novel Online

Lembah Selaksa Bunga 14


Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Bagian 14




   "Kakek A-kui, siapakah sebenarnya engkau dan mengapa engkau menculik Sribaginda Kaisar?"

   "Heh-heh-heh, mau tahu aku siapa? Aku adalah Cui-beng Kui-ong, datuk dari Pek-lian-kauw! Aku memang diselundupkan menjadi pelayanmu untuk bertindak kalau-kalau pemberontakanmu gagal. Siapa kira, engkau malah mengkhianati perjuangan sendiri sehingga suteku Hwa Hwa Hoat-su terjebak dan tertawan. Kalian semua akan kubunuh, kucincang agar dendam kami Pek-lian-kauw terbalas......" Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring memasuki ruangan bawah tanah itu.

   "Cui-beng Kui-ong......!" Suara itu terdengar jelas sekali, menandakan bahwa suara itu diteriakkan orang yang menggunakan tenaga khi-kang sehingga mengandung getaran yang amat kuat, dapat terdengar dari jauh.

   "Rumah ini sudah terkepung ratusan perajurit! Engkau menyerahlah dan bebaskan Sribaginda Kaisar!!" Kakek itu terkejut dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah meluncur seperti terbang keluar dari ruangan bawah tanah, kemudian dari dalam kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong dia menjawab dengan suara yang sama nyaringnya karena dia juga mengerahkan tenaga dari dalam pusarnya.

   "Hai kalian yang berada di luar! Bebaskan dulu Hwa Hwa Hoat-su dan semua kawan kami yang tertawan, baru kami akan membebaskan kaisar!" Beberapa saat lamanya tidak terdengar jawaban karena Bu-beng-cu yang tadi mengeluarkan teriakan itu berunding dengan Panglima Chang Ku Cing lebih dulu sebelum menjawab. Kemudian dia mengerahkan khi-kang dan menjawab dengan suara melengking.

   "Cui-beng Kui-ong, dengar baik-baik! Kalau engkau sekarang membebaskan Sribaginda Kaisar dan mempersilakan beliau keluar menemui kami, maka kami berjanji akan membebaskan Hwa Hwa Hoat-su dan teman-temannya yang kami tawan."

   "Tidak? Harus kalian yang lebih dulu membebaskan Hwa Hwa Hoat-su dan teman-temannya, baru Kaisar akan kubebaskan!" terdengar jawaban kakek itu.

   "Dengar, Cui-beng Kui-ong! Syarat kami tidak dapat ditawar lagi! Kalau engkau mengganggu Sribaginda Kaisar apalagi sampai membunuhnya, kami akan menyiksa semua temanmu di penjara sampai mati dan engkau juga akan kami hukum mati dan kepalamu akan kami gantung di depan pintu gerbang agar semua orang dapat melihat dan menghinamu!"

   "Ha-ha-ha? Kalian kira aku takut akan ancaman itu? Aku akan membawa Kaisar keluar dan siapa berani menentangku dan tidak mau membebaskan kawan-kawanku, aku akan membunuh Kaisar di depan hidung kalian!!"

   Setelah berkata demikian, Cui-beng Kui-ong lalu memasuki pintu rahasia dengan niat membawa Kaisar keluar sebagai sandera. Dia percaya bahwa kalau dia mengancam nyawa kaisar di depan semua panglima itu, pasti tidak ada yang berani menyerangnya dan dia dapat memaksa mereka membebaskan semua tawanan. Akan tetapi begitu dia menuruni anak tangga untuk membawa kaisar keluar, Pangeran Bouw Ji Kong sudah menghadangnya dengan pedang Lui-kong-kiam di tangannya! Siang Lan masih dalam keadaan tertotok dan ia merasa lemah sekali. Gadis perkasa ini maklum bahwa ia telah keracunan berat oleh uap merah dan juga totokan yang dilakukan kakek itu bukan totokan biasa, melainkan sejenis pukulan yang membuat ia terluka oleh hawa beracun yang amat berbahaya.

   "Hemm, Pangeran Bouw, aku hendak membawa Kaisar keluar. Engkau berani mencegah aku?" seru Cui-beng Kui-ong dengan marah dan juga heran akan sikap pangeran ini. Seorang yang tadinya hendak memberontak, hendak membunuh kaisar dan merampas tahta kerajaan, kini berbalik malah hendak melindungi kaisar!

   "Jangan engkau berani menyentuh Sribaginda Kaisar! Aku siap membelanya dengan taruhan nyawaku untuk menebus dosa-dosaku!" kata Pangeran Bouw Ji Kong dengan sikap tegas. Siang Lan hanya dapat memandang dengan hati panas dan khawatir, akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya.

   "Heh-heh-heh, pangeran tolol, memang engkau akan mampus lebih dulu!"

   "Hyaaatt!!" Pangeran Bouw Ji Kong menyerang dengan pedang Lui-kong-kiam sambil mengerahkan seluruh tenaganya dan menggunakan jurus paling ampuh.

   Begitu menyerang, dia menggunakan ilmu silat pedang simpanannya, yaitu Kan-seng-sin-kiam-hoat (Ilmu Pedang Sakti mengejar Bintang). Namun, tingkat ilmu pedangnya masih jauh di bawah tingkat kepandaian kakek itu. Cui-beng Kui-ong hanya mengelak dan menangkis dengan tangan dari samping sambil berusaha menangkap pedang dan merampasnya. Akan tetapi dia tahu bahwa pedang Lui-kong-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh, maka dia juga berhati-hati agar tangannya jangan sampai terluka. Hal ini membuat Pangeran Bouw dapat bertahan sampai belasan jurus.

   Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan tasbehnya dan melontarkan ke atas. Tasbeh itu bagaikan hidup
(Lanjut ke Jilid 14)
Lembah Selaksa Bunga (Seri ke 02 " Serial Iblis dan Bidadari)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14
berputar-putar dan melayang di udara, mengeluarkan suara berkeritikan dan menyambar ke arah kepala Pangeran Bouw. Pangeran ini berusaha membacok dengan pedangnya, akan tetapi tasbeh itu seperti seekor burung hidup, dapat mengelak dan menyambar-nyambar, membuat Pangeran Bouw mencurahkan perhatiannya ke atas untuk menangkis serangan tasbeh. Pada saat itu, Cui-beng Kui-ong mengeluarkan sabuk merahnya dan sekali sabuk itu meluncur seperti sinar merah, leher Pangeran Bouw tepat tertotok oleh ujung sabuk. Pangeran itu roboh seketika, pedangnya terlepas dari tangannya dan dia tewas karena totokan ujung kain merah itu selain dahsyat sekali mengenai tenggorokannya, juga dari ujungnya keluar hawa atau uap beracun.

   Kaisar yang juga melihat perkelahian itu duduk dengan sikap tenang di atas lantai sambil bersila. Agaknya dia memang pantas menjadi seorang kaisar, sama sekali tidak tampak takut biarpun dia tahu bahwa kini dirinya tidak mempunyai pelindung lagi. Sementara itu, Siang Lan sudah hampir tidak dapat menahan rasa nyeri di dadanya dan pernapasannya juga sesak terengah-engah. Ia menyadari bahwa semakin ia berusaha untuk mengerahkan sin-kang (tenaga sakti), rasa nyeri dalam dadanya makin menghebat. Maka kini ia hanya diam menahan diri menenangkan hatinya namun ia masih dapat melihat sikap kaisar dan diam-diam ia merasa kagum dan juga terharu.

   "Hayo, engkau ikut denganku keluar dan perintahkan mereka untuk membebaskan semua temanku yang ditawan!" kata Cui-beng Kui-ong sambil melangkah menghampiri kaisar. Siang Lan memaksa diri berseru.

   "Keparat busuk, jangan ganggu Sribaginda!"

   "Heh-heh, engkau iblis betina Hwe-thian Mo-li! Engkau juga harus mati untuk menebus dosamu membunuhi banyak orang Pek-lian-kauw. Terimalah ini!" Kakek itu melemparkan tasbehya yang berputar dan melayang ke arah kepala Siang Lan.

   "Wirrr...... pyarrrr......!!" Tiba-tiba sebuah benda sebesar kepala orang menyambar ke arah tasbeh dan begitu bertemu dengan tasbeh, benda itu pecah berkeping-keping, akan tetapi tasbeh itu sendiri juga putus untaiannya dan biji-biji tasbeh jatuh berhamburan di atas lantai.

   "Paman......!" Sian Lan berseru gembira akan tetapi segera terkulai pingsan lagi. Ia tadi menggunakan terlalu banyak tenaga sehingga lukanya di dalam dada semakin parah. Sementara itu, Cui-beng Kui-ong marah dan terkejut bukan main melihat tasbehnya putus berhamburan. Dia melihat bahwa benda yang dilontarkan orang menangkis tasbehnya adalah arca singa di dalam kamar tidur Pangeran Bouw yang kalau diputar menjadi pembuka pintu rahasia ruangan bawah tanah itu. Cepat dia memutar tubuhnya dan berhadapan dengan Bu-beng-cu.

   "Keparat, siapa engkau?" Cui-beng Kui-ong bertanya dengan suara galak karena dia marah sekali telah kehilangan tasbehnya.

   "Cui-beng Kui-ong, engkau tidak perlu tahu aku siapa. Yang jelas aku adalah orang yang menentang perbuatanmu yang kejam dan jahat! Karena itu, engkau lebih baik menyerah agar diadili, daripada engkau mati konyol. Engkau tidak mungkin dapat melarikan diri keluar dari gedung ini!"

   Diam-diam Bu-beng-cu menjadi terkejut dan merasa khawatir sekali ketika dia melihat Siang Lan rebah di atas lantai, dekat tubuh Pangeran Bouw Ji Kong yang biarpun tidak kelihatan terluka namun melihat keadaan wajahnya jelas sudah tewas. Dia melihat Siang Lan masih bernapas, akan tetapi pernapasannya tersendat-sendat dan wajahnya pucat sekali. Bu-beng-cu yang sudah lama dapat menguasai nafsu-nafsunya itu, melihat keadaan Siang Lan, tidak dapat menahan kemarahannya.

   "Jahanam busuk engkau, Cui-beng Kui-ong!" bentaknya dan bagaikan seekor naga mengamuk, Bu-beng-cu menerjang dengan pukulan tangan kanannya. Angin menyambar seperti badai ke arah Cui-beng Kui-ong, membuat kakek itu terkejut bukan main karena dari pukulan ini saja maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang yang lihai bukan main, yang memiliki pukulan seperti halilintar menyambar dan mengandung tenaga yang amat kuat. Dia tidak berani menyambut pukulan dahsyat ini dan cepat melompat ke belakang mengelak.

   "Blarrr......!" Dinding di belakangnya yang disambar angin pukulan itu tergetar hebat dan kalau tidak dilapisi baja, tentu akan jebol. Demikian hebatnya pukulan yang dilontarkan Bu-beng-cu!

   Karena ruangan bawah tanah itu kurang luas, Cui-beng Kui-ong yang mulai merasa gentar, cepat melompat ke anak tangga dan melesat keluar, ke dalam kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong yang lebih luas. Niatnya kalau ada kesempatan, dia akan meloloskan diri. Akan tetapi begitu tiba di dalam kamar, dari daun pintu dan jendela yang telah terbuka, dia melihat ratusan orang perajurit dipimpin belasan orang perwira tinggi sudah mengepung kamar itu. Tidak mungkin dapat melewati barisan yang demikian banyak. Maka dia menjadi nekat. Ketika mendengar gerakan Bu-beng-cu yang sudah mengejarnya, dia membalik dan sinar merah meluncur dari tangannya ketika dia menggerakkan kain merah yang ujungnya sudah terbabat putus oleh pedang Siang Lan tadi.

   Bu-beng-cu dapat menduga bahwa seorang datuk besar golongan sesat seperti Cui-beng Kui-ong pasti tidak menggunakan senjata sembarangan seperti sehelai kain merah biasa. Tentu kain itu mengandung racun. Akan tetapi dia tidak merasa gentar dan dia bahkan menyambut serangan itu dengan menggerakkan tangannya secepat kilat dan tahu-tahu kain merah itu telah dapat dia cengkeram! Bu-beng-cu mempertahankan ketika Cui-beng Kui-ong berusaha menarik lepas kain itu. Terjadi tarik menarik dan adu tenaga sakti melalui kain merah yang panjangnya tinggal sekitar lima kaki itu.

   "Prettt......!!" Tiba-tiba kain merah itu putus bagian tengahnya dan uap merah mengepul. Akan tetapi Bu-beng-cu yang sudah waspada meniup dengan mulutnya sehingga uap merah itu menyambar ke arah muka Cui-beng Kui-ong sendiri! Akan tetapi tentu saja Raja Iblis ini sudah menggunakan obat anti racun sehingga uap merah yang mengenai mukanya tidak mempengaruhinya. Dia semakin marah. Kedua senjatanya telah rusak.

   Setelah membuang potongan kain merah itu, dia lalu menerjang ke arah lawan dengan kedua tangan kosong. Bu-beng-cu menyambut dan kini kedua orang yang sama-sama lihainya itu bertanding dengan tangan kosong. Seru dan hebat bukan main perkelahian di antara mereka. Para perwira tinggi yang nonton dari luar, termasuk Panglima besar Chang Ku Cing yang datang kemudian, terbelalak menyaksikan perkelahian tingkat tinggi yang membuat gedung itu seolah tergetar hebat. Biarpun kedua orang itu memiliki tingkat kepandaian yang sama, Cui-beng Kui-ong memiliki kelemahan dibandingkan dengan lawannya. Dia sudah berusia hampir tujuhpuluh tahun sedangkan lawannya baru berusia empatpuluh dua tahun, dan selama ini, Cui-beng Kui-ong hidup lebih banyak menuruti hawa nafsunya, berbeda dengan Bu-beng-cu yang hidup bersih mengendalikan nafsunya sehingga keadaan jiwanya lebih bersih daripada Cui-beng Kui-ong.

   Hal ini didukung oleh tenaga saktinya yang murni dan datang dari kekuasaan Tuhan, tidak seperti Cui-beng Kui-ong yang telah banyak mengandalkan tenaga sihir atau ilmu hitam yang datang dari kekuasaan setan atau daya-daya rendah yang memperhambanya. Kekejaman dan pembunuhan yang sering dia lakukan membuat jiwanya semakin bergelimang kekotoran. Maka, setelah mereka bertanding sekitar limapuluh jurus, Cui-beng Kui-ong semakin panik. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya, maka timbul akalnya yang memang selalu siap untuk bertindak curang dan licik.

   "Tahan dulu, aku mau bicara!" Cui-beng Kui-ong berseru.

   Mendengar ini, untuk tidak melanggar etika dunia persilatan, Bu-beng-cu menahan gerakannya, siap mendengarkan. Akan tetapi tiba-tiba, begitu dia menghentikan gerakan dan menahan tenaga saktinya, tanpa diduganya, Cui-beng Kui-ong menerjang dengan amat cepat dan kuat! Bu-beng-cu terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi sebuah pukulan telapak tangan kiri Cui-beng Kui-ong tetap mengenai pundaknya sehingga tubuhnya terjengkang. Dia masih dapat mencegah tubuhnya terbanting, dengan berjungkir balik dan dia dapat berdiri, walaupun terhuyung ke belakang. Cui-beng Kui-ong tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Lawannya sudah terluka, maka dia pun menubruk maju sambil mendorongkan kedua telapak tangannya.

   "Mampus kau!" Bu-beng-cu menyambut dengan kedua telapak tangannya dan kini kedua telapak tangan mereka bertemu dan melekat.

   Mereka saling dorong dan saling serang melalui kedua tangan mereka dengan mengerahkan tenaga sakti mereka. Kalau dilihat begitu, seolah-olah dua orang itu sedang main-main. Mereka berdiri dengan kedua lutut agak ditekuk, kedua tangan dijulurkan ke depan dan dua pasang telapak tangan itu saling menempel, mata mereka mencorong saling pandang dan tubuh mereka sama sekali tidak bergerak. Dua orang perwira tinggi yang berdiri paling dekat di ambang pintu, melihat keadaan demikian itu, segera melompat maju dan menyerang Cui-beng Kui-ong dari belakang. Seorang menusukkan pedangnya ke punggung dan seorang lagi membacokkan pedangnya ke tengkuk kakek itu.

   "Trak-trakkk!" Pedang-pedang itu seperti bertemu baja yang amat kuat dan bukan hanya dua batang pedang itu patah, akan tetapi dua orang perwira itu terpental ke belakang dan roboh pingsan!

   Kiranya pada saat itu, Cui-beng Kui-ong sedang mengerahkan seluruh tenaga sin-kang (tenaga sakti) sehingga ketika dua orang perwira itu menyerangnya, tenaga dua orang perwira itu membalik dan selain pedang mereka patah, juga tenaga mereka yang membalik itu menghantam diri mereka sendiri sebelah dalam, membuat mereka roboh pingsan. Masih baik bahwa mereka memiliki tenaga yang tidak begitu besar karena semakin besar tenaga serangan itu, semakin parah pula kalau tenaga itu membalik dan menghantam diri sendiri! Akan tetapi, gangguan ini membuat perhatian Cui-beng Kui-ong terbagi dan pada saat yang bersamaan, Bu-beng-cu mengerahkan seluruh tenaga dan serangannya.

   "Wuuuttt...... desss......!!" Tubuh Cui-beng Kui-ong terdorong ke belakang seperti disambar angin badai, menabrak dinding kamar itu yang menjadi jebol dan dia pun roboh dan tewas! Tanpa mempedulikan orang lain Bu-beng-cu segera melompat masuk ke pintu rahasia, menuruni tangga dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi sambil memondong tubuh Siang Lan yang pingsan. Dia tidak lupa membawa pedang Lui-kong-kiam milik gadis itu.

   "Bu-beng-cu Tai-hiap (Pendekar Besar), kenapa Siang Lan itu dan hendak kaubawa ke mana?" Panglima Chang Ku Cing bertanya dengan khawatir melihat keadaan Siang Lan terkulai lemas dengan muka sepucat muka mayat.

   "Thai-ciangkun, ia terluka parah dan akan saya bawa untuk saya obati. Maafkan saya!" Dia melompat sambil memondong tubuh gadis itu dan cepat menghilang.

   Panglima Chang diikuti para perwira tinggi lalu memasuki ruangan bawah tanah dan menemukan kaisar dalam keadaan selamat dan sehat. Dengan girang mereka lalu memberi hormat dan mengantarkan kaisar kembali ke istana. Tinggal keluarga Pangeran Bouw Ji Kong yang setelah tahu bahwa sang pangeran itu tewas dalam ruangan bawah tanah, menangis sedih dan berkabung. Siang Lan membuka kedua matanya. Ia agak bingung melihat betapa ia rebah di atas sebuah pembaringan, dalam sebuah kamar yang tidak dikenalnya. Ia hendak bangkit walaupun tubuhnya terasa lemas.

   "Jangan bangkit dulu, engkau masih lemah, Siang Lan." terdengar suara yang amat dikenalnya. Ia menoleh dan melihat Bu-beng-cu duduk bersila di atas lantai, yang ditilami tikar. Ada bantal pula di situ, menunjukkan bahwa gurunya itu agaknya tidur di situ karena pembaringannya ia pakai tidur.

   "Paman...... di mana aku? Apa yang telah terjadi......?" Ia bertanya, masih bingung.

   "Tenanglah, Siang Lan. Bahaya maut yang mengancam dirimu telah lewat. Hawa beracun dalam tubuhmu telah lenyap, hanya engkau masih lemah. Engkau berada dalam kamar penginapan Hok An yang kusewa, ingat?" Siang Lan teringat. Ia pernah berkunjung ke kamar ini.

   "Akan tetapi, apa yang terjadi, Paman? Seingatku, aku rebah tertotok oleh A-kui, kakek setan yang lihai itu, dalam ruangan bawah tanah gedung Pangeran Bouw Ji Kong. Ahh, kasihan Pangeran Bouw! Dia telah mengorbankan nyawa demi membela Sribaginda Kaisar......"

   "Benar, Siang Lan. Engkau terluka yang mengandung hawa beracun dan engkau pingsan ketika kubawa ke sini. Tiga hari engkau tidak sadarkan diri di sini dan baru pagi ini engkau sadar."

   "Tiga hari? Aih, setelah aku pingsan di ruangan bawah tanah itu, lalu apa yang terjadi, Paman? Bagaimana engkau dapat menemukan aku di sana dan membawaku ke sini? Ceritakanlah, Paman!"

   "Baiklah, aku akan bercerita lebih dulu, nanti giliranmu menceritakan pengalamanmu. Tiga hari yang lalu, kita berpencar. Engkau menyelidiki gedung Pangeran Bouw Ji Kong dan aku akan menemui Hwa Hwa Hoat-su di penjara membawa surat perintah Panglima Chang yang kau dapatkan untukku. Nah, aku menemui Hwa Hwa Hoat-su dan aku berhasil memaksanya untuk mengaku siapa yang telah menculik Sribaginda Kaisar. Dia tidak tahu pasti akan tetapi dapat memastikan bahwa yang dapat melakukannya tentu Cui-beng Kui-ong, datuk paling terkenal di antara para tokoh Pek-lian-kauw. Akan tetapi dia tidak tahu di mana Cui-beng Kui-ong bersembunyi dan di mana pula Sribaginda disembunyikan. Aku lalu cepat pergi menjelang pagi itu ke gedung Panglima Chang dan membicarakan hasil penyelidikanku. Selagi kami berdua bicara, datang Nyonya Bouw yang menceritakan bahwa yang menculik Sribaginda Kaisar adalah pelayannya yang bernama A-kui dan bahwa suaminya, Pangeran Bouw, juga ditawannya. Ia menceritakan bahwa engkau datang pula hendak menolong Sribaginda. Mendengar itu, aku segera menyusulmu ke sini karena aku tahu bahwa yang disebut A-kui itu tentu Cui-beng Kui-ong yang amat lihai dan aku mengkhawatirkan dirimu."

   "Hemm, jadi setan tua yang mengaku A-kui itu adalah Cui-beng Kui-ong?" kata Siang Lan.

   "Benar, dengan cerdiknya orang-orang Pek-lian-kauw dapat menyelundupkan dia ke kota raja, bukan itu saja, bahkan berhasil membuat dia diterima sebagai seorang pelayan yang kelihatan setia kepada Pangeran Bouw Ji Kong. Ketika aku tiba di sana, aku melihat dia hendak membunuhmu dengan senjata tasbehnya......"

   "Ah, aku ingat sekarang! Seperti dalam mimpi saja! Aku melihatmu datang, Paman, aku memanggilmu dan...... selanjutnya entah aku tidak ingat lagi."

   "Agaknya engkau jatuh pingsan, Siang Lan. Lukamu parah karena mengandung hawa beracun yang amat jahat. Aku lalu berkelahi dengan Cui-beng Kui-ong. Dia lari keluar dari ruangan bawah tanah, kukejar dan kami berkelahi di kamar Pangeran Bouw. Akhirnya dengan susah payah aku berhasil merobohkannya. Dia tewas terkena pukulannya sendiri yang membalik.

   "Aku lalu memasuki ruangan bawah tanah dan membawamu ke sini. Kudorong keluar hawa beracun dari dalam dadamu dengan pengerahan sin-kang dan setelah dua hari dua malam, barulah aku berhasil membersihkan hawa beracun dari dalam tubuhmu. Begitulah ceritanya, Siang Lan." Dengan hati terharu Siang Lan memegang kedua tangan Bu-beng-cu yang menghampiri pembaringan ketika ia memberi isyarat agar laki-laki itu mendekat.

   "Paman, berulang kali engkau menyelamatkan nyawaku. Kalau tidak ada engkau, sudah lama Nyo Siang Lan tidak berada di dunia ini lagi."

   "Hushh, jangan bicara begitu, Siang Lan. Mati hidupnya setiap orang berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan tidak menghendaki seseorang itu mati, siapa dan apa pun tidak mungkin dapat membunuhnya. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang mati, siapa dan apa pun tidak akan mampu mencegahnya! Jadi kalau kebetulan aku datang menolongmu, itu adalah kehendak Tuhan."

   "Bukan kebetulan, Paman. Akan tetapi memang engkau selalu membela dan melindungi aku. Aih, budimu sudah bertumpuk-tumpuk, Paman. Entah bagaimana aku akan dapat membalas budi kebaikanmu itu." Wajah Bu-beng-cu menjadi merah.

   "Sudahlah, sekarang ceritakan pengalamanmu ketika menyelidiki gedung Pangeran Bouw." Siang Lan lalu menceritakan apa yang dialaminya di gedung itu sampai ia melihat sikap A-kui terhadap Nyonya Bouw sehingga akhirnya Nyonya Bouw memberitahu kepadanya bahwa A-kui telah menawan Sribaginda Kaisar dan Pangeran Bouw di dalam ruangan bawah tanah. Ia menceritakan betapa ia bertanding melawan A-kui dan roboh terkena hawa beracun dan totokan kakek yang amat lihai itu.

   "A-kui melihat sendiri betapa Pangeran Bouw membela Sribaginda dengan mati-matian. Dia bukan lawan kakek itu akan tetapi aku tidak dapat bergerak. Aku melihat dia terbunuh."

   "Ah, sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Bagaimanapun juga, Pangeran Bouw telah menerima hukuman dari pengkhianatan dan pemberontakannya dan perbuatannya yang terakhir itu sedikit banyak telah menebus dosanya terhadap Sribaginda Kaisar. Aku yakin bahwa setelah peristiwa itu, Sribaginda akan mengampuni keluarganya dan mereka akan dibebaskan dari hukuman akibat pemberontakan Pangeran Bouw."

   "Kuharap begitu, Paman." Siang Lan hendak bangkit duduk, akan tetapi kembali Bu-beng-cu mencegahnya.

   "Jangan bangkit dulu, Siang Lan. Engkau sudah sembuh, akan tetapi badanmu masih lemah. Engkau perlu minum obat penguat badan. Tinggallah di sini dulu, aku akan membelikan obat itu di toko obat." Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu keluar dari kamar itu dan menutupkan daun pintu kamar dari luar. Siang Lan rebah telentang dan termenung memikirkan Bu-beng-cu. Laki-laki itu terlalu baik kepadanya dan kini ia semakin yakin bahwa ia mencintai Bu-beng-cu. Dan melihat semua perlindungan dan pembelaan yang diberikan pria itu kepadanya, juga pemberian latihan ilmu silat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, ia hampir yakin bahwa sebenarnya Bu-beng-cu juga mencintanya.

   Akan tetapi gambar wanita yang selalu dibawa-bawa Bu-beng-cu itu! Siapakah itu? Pria itu mengakui bahwa itu adalah gambar seorang wanita yang teramat penting baginya. Walaupun dia tidak mengaku bahwa dia mencinta wanita dalam gambar itu, namun Siang Lan sudah dapat menduganya. Bu-beng-cu tidak pernah menikah, jadi gambar itu bukanlah gambar isterinya. Apakah itu gambar seorang kekasihnya dan dia merasa malu untuk mengaku? Timbul keinginan yang besar sekali dalam hatinya untuk melihat gambar wanita itu. Ia menenangkan jantungnya yang berdebar, lalu menguatkan hati dan badannya, bangkit dan biarpun dengan lemah, ia menghampiri almari yang berada di sudut kamar. Dibukanya almari itu. Tidak banyak benda yang berada di dalamnya. Hanya buntalan pakaian dan...... gulungan gambar itu!

   Dengan jari-jari tangan gemetar karena merasa bahwa ia mencuri, Siang Lan mengambil gambar itu lalu membuka gulungannya. Ia memandang gambar seorang wanita dan sepasang matanya terbelalak, kedua tangan yang memegang gambar menggigil sehingga gambar itu terlepas dari tangannya, bergulung kembali dan menggelinding ke bawah meja. Ia menjatuhkan diri duduk di atas kursi, jantungnya berdebar penuh kejutan dan perasaan bahagia memenuhi hatinya. Kemudian, setelah ia dapat menenangkan jantungnya yang berdebar, ia memungut lagi gulungan gambar itu dan dibentangkannya, dipandangnya dengan teliti seolah ia belum percaya akan penglihatannya sendiri. Gambar itu adalah lukisan seorang wanita, lukisan dirinya!

   "Paman Bu-beng-cu!" Bibirnya berbisik dan senyum penuh kebahagiaan mengembang di bibirnya. Tidak salah dugaannya. Bu-beng-cu mencinta dirinya!

   Ia adalah wanita yang amat penting itu, wanita yang gambarnya selalu dibawa ke mana pun Bu-beng-cu pergi! Bu-beng-cu mencintanya! Pengetahuan ini membuat cintanya terhadap pria itu semakin mendalam. Ia lalu teringat bahwa Bu-beng-cu hendak menyembunyikan rahasia hatinya itu. Maka ia segera mengembalikan gulungan gambar itu ke dalam almari, lalu ia merebahkan diri lagi, telentang di atas pembaringan dengan perasaan yang demikian bahagianya sehingga ia lupa akan semua perasaan lemahnya dan ingin rasanya ia menari dan bernyanyi! Tak lama kemudian Bu-beng-cu membuka daun pintu kamar dari luar dan masuk. Dia melihat Siang Lan merintih lirih, mengaduh sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya.

   "Aduh...... aduh......!" gadis itu mengerang kesakitan. Bu-beng-cu melompat dekat pembaringan, duduk di tepi pembaringan dengan wajah kaget dan khawatir.

   "Kenapa Siang Lan?"

   "Kepalaku...... ah, kepalaku...... sakit sekali......" Bu-beng-cu cepat memeriksa kepala gadis itu dengan kedua tangannya, meraba seluruh kepala, merasakan denyutnya dengan ujung jari-jarinya dan terheran-heran karena dia tidak menemukan sesuatu yang tidak beres.

   "Bagaimana rasanya? Di bagian mana yang nyeri?" Bu-beng-cu bertanya penuh perhatian, sambil memijit-mijit kepala itu dengan sentuhan lembut.

   "Ah...... semua sakit...... akan tetapi sekarang mendingan, terasa enak kalau dipijit-pijit......" kata Siang Lan manja, namun suaranya masih terdengar seperti merintih. Mendengar ini, Bu-beng-cu lalu memijati kepala Siang Lan dengan kedua tangannya, membuat gadis itu membuka dan memejamkan matanya karena nikmat.

   "Aduhh...... aduh......" Siang Lan mengerang dan kini ia menggerak-gerakkan kaki kirinya seolah kaki itu kesakitan.

   "Ah, apanya lagi yang nyeri?" Bu-beng-cu bertanya heran.

   "Kakiku yang kiri...... aduh...... kakiku sakit sekali......" gadis itu merintih. Bu-beng-cu cepat mengalihkan kedua tangannya, dari kepala kini pindah ke kaki kiri Siang Lan, memeriksa dengan teliti. Akan tetapi, dia tidak menemukan sesuatu yang tidak wajar.

   "Maaf, harus kuperiksa dengan teliti!" katanya dan dia menggulung celana kiri itu ke atas sampai lutut. Jari-jari tangannya memijat dan mengurut, merasakan betapa lembut dan putih mulus betis kaki itu. Akan tetapi lagi-lagi dia tidak menemukan apa-apa yang tidak beres. Dia memijat-mijat dan mengurut dengan lembut dan perlahan-lahan Siang Lan berhenti mengeluh.

   "Apa sekarang sudah tidak nyeri lagi?" Dia bertanya.

   "Sekarang sudah sembuh karena kau pijit dan urut, Paman. Terima kasih......" kata Siang Lan menyembunyikan kegirangannya.

   Tentu saja ia tadi hanya berpura-pura untuk melihat bagaimana reaksi pria itu kalau ia merintih kesakitan. Ternyata Bu-beng-cu memperhatikan dengan penuh kekhawatiran dan ini membuatnya bahagia sekali. Ingin rasanya ia bangkit dan merangkul pria itu yang tidak ia ragukan lagi cintanya. Akan tetapi ia tidak mau melakukannya. Pertama, ia tidak mau membuat Bu-beng-cu menjadi malu karena rahasianya ketahuan olehnya dan kedua, ia masih mempunyai ganjalan dalam hatinya, yaitu belum dapat membunuh musuh besarnya, yaitu Thian-te Mo-ong. Kalau ia sudah dapat membunuh jahanam itu, baru ia akan mencurahkan seluruh perhatiannya akan hubungan cintanya dengan Bu-beng-cu!

   Bu-beng-cu menurunkan lagi gulungan celana Siang Lan itu dan karena dia merasa penasaran, sekali lagi dia memeriksa keadaan tubuh Siang Lan akan tetapi dia mendapat kenyataan bahwa kesehatan tubuh gadis itu sudah pulih dan tidak ada lagi gangguan apa pun kecuali masih lemah. Bu-beng-cu merasa aneh akan tetapi sedikit pun dia tidak menaruh curiga atau menduga gadis itu berpura-pura. Biarpun terkadang Siang Lan memperlihatkan perhatian kepadanya dan terkadang ada terpancar dalam matanya kekaguman dan rasa suka, dia tetap tidak percaya dan tidak dapat menerima dalam akalnya bahwa gadis itu dapat jatuh cinta kepadanya.

   "Tunggu, aku masakkan obat ini untukmu, Siang Lan," kata Bu-beng-cu, lalu dia pergi ke dapur rumah penginapan itu untuk minta kepada pelayan memasakkan obat yang dibelinya dari toko obat. Setelah dia meninggalkan kamar, Siang Lan rebah telentang sambil tersenyum bahagia. Pria itu sungguh amat sayang kepadanya, begitu penuh perhatian dan tampak khawatir sekali ketika ia beraksi pura-pura merasa sakit di kepalanya dan di kakinya.

   Pijatan dan belaiannya masih terasa olehnya, begitu lembut dan hangat! Ketika Bu-beng-cu memasuki kamar membawa semangkok obat, dengan taat Siang Lan meminumnya sampai habis. Selama dua hari Siang Lan tinggal di kamar itu memulihkan tenaganya. Kalau malam Bu-beng-cu tidur di atas lantai bertilam tikar sehingga Siang Lan merasa tidak enak sekali. Diam-diam ia semakin kagum karena Bu-beng-cu sedikit pun tidak memperlihatkan sikap kurang sopan terhadap dirinya. Padahal ia sudah tidur sekamar selama lima malam! Pada keesokan harinya setelah selama dua hari minum obat penguat dan merasa kekuatannya pulih kembali, Bu-beng-cu tahu-tahu tidak berada dalam kamarnya.

   Sepucuk suratnya berada di atas meja dengan pemberitahuan bahwa dia hendak pulang lebih dulu karena Siang Lan sudah sembuh dan tidak ada urusan lagi baginya di kota raja. Siang Lan termenung duduk di atas kursi sambil memegangi surat itu. Tiba-tiba saja ia merasa begitu kesepian sehingga rasanya ingin ia berteriak dan menangis! Segala sesuatu tampak demikian hambar dan tidak menyenangkan setelah Bu-beng-cu tidak berada didekatnya! Ia pun mengambil keputusan tegas. Hari itu juga ia harus pulang agar dapat berada di tempat yang dekat dengan Bu-beng-cu. Apalagi Bu-beng-cu sudah berjanji akan menurunkan ilmunya yang terakhir, memperkuat tenaga sakti dan mengajarkan pukulan Thai-lek-sin-ciang (Tenaga Sakti Tenaga besar).

   Menurut keterangan Bu-beng-cu, kalau ia sudah menguasainya, besar kemungkinan ia akan mampu mengalahkan musuh besarnya, yaitu Thian-te Mo-ong. Ia harus segera pulang ke Ban-hwa-kok, Lembah Selaksa Bunga yang menjadi tempat tinggalnya itu dan mempelajari ilmu yang dijanjikan Bu-beng-cu kepadanya. Setelah berkemas dan mendapat penjelasan pelayan rumah penginapan bahwa sewa kamar telah dibayar oleh Bu-beng-cu, Siang Lan lalu pergi ke rumah gedung Pangeran Sim Liok Ong, ayah Sim Tek Kun. Ia berpamit kepada Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong yang merasa gembira melihat gadis itu dalam keadaan sehat dan selamat. Setelah berpamit, Siang Lan lalu berangkat pulang, meninggalkan kota raja menuju ke Lembah Selaksa Bunga.

   Akan tetapi, di tengah perjalanan sebelum meninggalkan kota raja, Panglima besar Chang Ku Cing menghadangnya dan menyampaikan perintah kaisar yang mengundang Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan agar datang menghadap Sribaginda Kaisar! Biarpun tidak ingin menghadap, terpaksa Siang Lan tidak berani menolak dan ia ditemani panglima Chang menuju ke istana menghadap Sribaginda Kaisar Wan Li. Kaisar menerimanya dengan ramah dan memuji-muji kegagahan Siang Lan yang begitu berani berusaha menyelamatkan Sribaginda dari sekapan Cui-beng Kui-ong sehingga mengorbankan diri sendiri roboh dan terluka oleh kakek iblis itu. Juga Kaisar berterima kasih dan hendak memberi hadiah yang boleh dipilih sendiri oleh Siang Lan, yaitu pangkat tinggi atau harta benda.

   Siang Lan yang cerdik tidak menginginkan hadiah pangkat tinggi atau harta benda. Ia hanya mohon kepada Kaisar agar diberi hak memiliki Bukit Ban-hwa-san di daerah Pegunungan Lu-liang-san. Kaisar memenuhi permintaannya dan memerintahkan Menteri Urusan Tanah untuk membuatkan pernyataan hal milik itu kepada Siang Lan. Di samping itu, juga Kaisar memberi sekantung emas yang tidak dapat ditolak oleh Siang Lan. Setelah meninggalkan istana, Panglima Chang Ku Cing minta kepada Siang Lan untuk singgah di gedungnya dan di sini panglima Chang bersama isterinya secara langsung meminang Siang Lan untuk dijodohkan dengan keponakan panglima itu, ialah Chang Hong Bu.

   "Keponakan kami itu, Chang Hong Bu. sudah berusia duapuluh lima tahun dan sudah cukup dewasa untuk berumah tangga. Kami lihat engkau juga sudah cukup dewasa dan engkau sudah mengenal baik keponakan kami itu. Hong Bu juga dengan terus terang mengaku kepada kami bahwa dia mencintamu, Siang Lan. Karena itu, dalam kesempatan ini kami berani mengajukan usul perjodohan ini kepadamu, sekiranya engkau belum......"

   "Thai-ciangkun, saya sudah mempunyai seorang calon suami!" Siang Lan memotong singkat.

   "Ah......?" Suami isteri itu terkejut dan kecewa.

   "Mengapa Hong Bu tidak menceritakan kepada kami?"

   "Dia memang tidak mengetahui, Paman."

   "Hemm, kalau boleh kami mengetahui, siapakah calon suamimu yang berbahagia itu?"

   "Dia...... dia adalah Bu-beng-cu." Siang Lan berkata demikian bukan hanya karena memang benar ia dan Bu-beng-cu saling mencinta, akan tetapi terutama sekali agar panglima dan isterinya tidak bicara lagi tentang perjodohan yang mereka usulkan itu. Panglima Chang Ku Cing dan isterinya tampak kecewa sekali, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani lagi menyinggung urusan pinangan mereka yang otomatis tidak mungkin dilanjutkan.

   Setelah meninggalkan kota raja, Siang Lan melakukan perjalanan cepat. Dalam perjalanan itu ia melamun. Ia memang sudah tahu bahwa Chang Hong Bu jatuh cinta kepadanya. Sebetulnya, memiliki calon suami seperti Chang Hong Bu amatlah menyenangkan dan membanggakan. Pemuda itu tampan gagah dan berbudi baik, seorang pendekar sejati. Selain itu, juga dia keponakan Panglima Chang Ku Cing yang terkenal bijaksana. Gadis mana yang tidak akan bangga mempunyai suami seperti Chang Hong Bu? Akan tetapi kalau ia mengingat keadaan dirinya yang sudah bukan perawan lagi, ia merasa ngeri membayangkan Hong Bu menolaknya setelah mengetahui keadaan dirinya!

   Dan penolakan itu akan membuat ia merasa terhina dan mungkin ia akan membunuh Hong Bu kalau pemuda itu menolaknya karena ia bukan perawan lagi! Lebih baik dari sekarang menolak pinangan itu daripada kelak ada kemungkinan terjadi hal itu. Sebaliknya, Bu-beng-cu telah tahu bahwa ia bukan perawan lagi. Ia telah menceritakan kepadanya, namun biarpun sudah mengetahui keadaan dirinya, tetap saja Bu-beng-cu mencintainya. Dia melindunginya, membelanya, mengajarkan ilmu-ilmunya kepadanya, bahkan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ia tidak meragukan lagi cinta Bu-beng-cu kepadanya, bukan hanya terbukti dari sikapnya, melainkan juga dari gambarnya yang dibawa ke mana pun dia pergi!

   "Paman Bu-beng-cu......!" Ia berbisik, sama sekali tidak merasa janggal bahwa ia jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang jauh lebih tua daripadanya sehingga ia menyebutnya paman.

   Ia segera mempercepat larinya agar dapat segera tiba di Ban-hwa-san atau lebih tepat lagi, agar dapat segera bertemu dengan Bu-beng-cu. Kui Li Ai duduk seorang diri di antara ratusan bunga di taman yang diatur dan dipeliharanya sendiri di bagian belakang rumah induk di perkampungan Ban-hwa-kok. Biasanya, kalau ia duduk seorang diri sambil menikmati keindahan bunga-bunga itu, ia merasa berbahagia sekali. Akan tetapi pagi hari ini ia tampak tidak gembira, bahkan sejak tadi termenung.

   Ia teringat akan keadaan dirinya dan merasa betapa kesialan menimpa dirinya secara bertubi-tubi. Gadis yang usianya baru kurang dari duapuluh tahun itu, yang tubuhnya tinggi ramping, dengan kulit putih mulus, wajahnya manis sekali dengan bentuk bulat dan sepasang matanya lebar bersinar seperti sepasang bintang, kini tampak agak murung. Betapa ia tidak akan sedih kalau mengingat masa lalunya. Ayahnya membunuh diri untuk menebus kesalahan telah membebaskan orang-orang Pek-lian-kauw yang ditawan pemerintah. Baru saja ayahnya membunuh diri karena kesalahan yang terpaksa dilakukan untuk membebaskan dirinya yang ditawan orang-orang Pek-lian-kauw, ia sendiri diperkosa oleh dua orang Pek-lian-kauw.

   Peristiwa kedua ini saja sudah membuat ia putus asa dan tentu ia telah membunuh diri kalau tidak dicegah oleh Hwe-thian Mo-li yang menolongnya dan yang membunuh dua orang Pek-lian-kauw yang memperkosanya. Kemudian, dua peristiwa yang menghancurkan hatinya ini disambung dengan sikap ibu tirinya yang menghina dan menyalahkannya, dikatakan bahwa ia penyebab kematian ayahnya. Sikap ibu tirinya ini yang kemudian dihajar oleh Hwe-thian Mo-li membuat ia tidak mungkin dapat tinggal di rumah ayahnya yang kini dikuasai oleh ibu tirinya. Ia lalu ikut Hwe-thian Mo-li dan tinggal di Ban-hwa-kok. Kemudian menyusul lagi peristiwa yang menyakitkan hatinya. Bong Kongcu atau nama lengkapnya Bong Kim, pemuda hartawan di kota raja, yang sejak dulu tampak mencintanya, oleh Hwe-thian Mo-li didesak untuk melamarnya.

   Biarpun ia tidak bisa mengatakan cinta kepada pemuda itu, hanya rasa suka karena pemuda itu amat memperhatikannya, bersedia menerima lamarannya. Ketika Bong Kim datang melamar dan ia mengaku bahwa dirinya telah diperkosa orang, pemuda itu berbalik menghinanya dan hanya akan mengambilnya sebagai selir. Hwe-thian Mo-li menghajar pemuda itu dan kembali Li Ai menderita tekanan batin yang hebat. Berturut-turut dan bertubi-tubi kesialan hidup menimpa dirinya. Sekarang ia merasa terhibur dan senang hidup di Ban-hwa-san bersama Hwe-thian Mo-li dan anak buah Ban-hwa-pang. Akan tetapi muncul Bouw Cu An, putera seorang pangeran yang jatuh cinta kepadanya. Dan, baru sekali ini selama hidupnya Li Ai juga jatuh cinta kepada seorang pemuda.

   Ia mencinta Bouw Cu An dan mereka berdua sudah saling mengetahui bahwa mereka saling mencinta. Bahkan ketika Bouw Cu An hendak meninggalkan Lembah Selaksa Bunga, mereka sudah saling menukar tanda mata. Bouw Cu An memberi sebuah kantung bersulam kupu-kupu yang indah, sedangkan pemuda itu memilih tusuk sanggul rambutnya berupa bunga teratai sebagai tanda mata. Biarpun tidak terucapkan, pemberian tanda mata itu bagi mereka mempunyai arti yang khusus, yaitu bahwa mereka saling mencinta dan secara batiniah saling terikat satu sama lain! Li Ai menghela napas panjang dan membelai kantung bersulam kupu-kupu indah yang sejak tadi dipegangnya, Bagaimana mungkin ia dapat berjodoh dengan putera pangeran itu?

   Ia sudah ternoda. Kalau kelak Bouw Cu An mendengar bahwa ia bukan perawan lagi, apakah pemuda itu dapat menerimanya? Apakah dia tidak akan memandangnya rendah dan menghinanya seperti yang pernah dilakukan Bong Kim, pemuda hartawan dari kota raja itu? Penghinaan dari Bong Kim itu hanya membuatnya marah, akan tetapi kalau sampai Bouw Cu An menolak dan menghinanya, ia tidak akan sanggup menerimanya. Hatinya akan hancur dan hidup tidak ada artinya lagi baginya karena ia sungguh mencinta pemuda itu! Tidak, lebih baik hubungan itu diputuskan sekarang yang hanya mengakibatkan kecewa dan duka. Kalau putus karena pemuda itu mengetahui keadaannya, menolak dan menghinanya, akibatnya akan terlalu berat dan hebat baginya.

   "Tidak ini tidak boleh terjadi. Tidaaakk......!" Ucapan "tidak" yang terakhir itu keluar sebagai jeritan hati yang terucapkan oleh mulutnya.

   "Heii, apanya yang tidak, Moi-moi?" tiba-tiba terdengar suara laki-laki. Li Ai terkejut dan cepat menoleh ke belakang dan...... ia melihat Bouw Cu An melangkah menghampirinya! Cepat ia menyelipkan kantung bersulam itu ke ikat pinggangnya dan bangkit berdiri, menyongsong kedatangan pemuda itu.

   "Koko!" Li Ai berseru dan girang bukan main.

   "Eh, bagaimana engkau dapat tiba-tiba muncul di sini? Bagaimana dapat melalui jebakan-jebakan rahasia kami?" Cu An tersenyum.

   "Untung sekali di bawah sana aku bertemu dengan seorang anggauta Ban-hwa-pang yang telah mengenal aku maka ia mau menjadi penunjuk jalan sehingga aku dapat naik ke sini, Ai-moi."

   "Mari kita masuk dan bicara di dalam rumah, An-ko."

   "Tidak, Moi-moi. Keadaan di sini sungguh indah dan hawanya begini sejuk dan cerah. Aku ingin bicara denganmu di sini saja."

   "Duduklah, An-ko." Li Ai mempersilakan pemuda itu duduk di atas bangku panjang dan ia duduk di sebelahnya, agak jauh.

   "Ada apakah, An-ko? Aku melihat ada sesuatu yang membuatmu seperti orang bersedih." Memang gadis itu melihat biarpun mulut pemuda itu tersenyum namun pandang matanya seperti orang sedang berduka, sinar mata itu sayu. Cu An menghela napas panjang. Dia lalu dengan terus terang menceritakan tentang pemberontakan ayahnya sampai akhirnya ayahnya berhasil dibujuknya dan berbalik menjebak para sekutunya sehingga pemberontakan itu dapat dihancurkan.

   "Aku merasa malu sekali, Moi-moi, mengapa Ayahku sampai melakukan pengkhianatan dan pemberontakan, padahal dia sudah mendapatkan kedudukan tinggi sebagai penasihat Kaisar dalam hubungan pemerintah dengan suku-suku asing dan luar negeri." Suasana menjadi hening setelah Cu An menceritakan keadaan ayahnya dengan panjang lebar. Ketika Li Ai memandang wajah pemuda itu yang kini tampak sedih sekali, ia merasa terharu dan berkata menghibur.

   "An-ko, sudahlah jangan terlalu bersedih. Setidaknya ayahmu telah menyesal dan menyadari kesalahannya, bahkan memperlihatkan penyesalannya dengan membantu pemerintah menjebak para sekutu pemberontak sehingga dapat dihancurkan. Hal itu merupakan hiburan besar bagimu, Koko."

   "Benar memang, Moi-moi. Akan tetapi apa artinya perbuatan Ayahku itu kalau dibandingkan dengan dosa-dosanya? Dialah yang mendalangi terbunuhnya enam orang pembesar yang baik dan setia kepada Sribaginda Kaisar. Ah, aku malu sekali, Moi-moi.''

   "Sudahlah, An-ko. Setelah Ayahmu berhasil membantu pemerintah menumpas pemberontak dan seperti kauceritakan tadi, engkau dan gurumu Ouw-yang Sian-jin membantu pula, mengapa sekarang engkau meninggalkan kota raja dan datang ke sini? Bukan aku tidak senang engkau datang berkunjung, akan tetapi kenapa Enci Siang Lan belum pulang?"

   "Hwe-thian Mo-li tentu masih banyak urusan di sana dan aku sengaja datang ke sini untuk menemuimu, Ai-moi. Aku ingin menceritakan semua ini kepadamu dan sekalian mengucapkan selamat tinggal dan selamat berpisah untuk selamanya......" suaranya gemetar. Mendengar ini, saking kagetnya, wajah Li Ai menjadi pucat dan tanpa disadarinya ia memegang lengan pemuda itu erat-erat sambil menatap wajahnya.

   "Koko, mengapa engkau mengucapkan selamat tinggal? Apa maksudmu......?" Gadis itu memandang dengan khawatir sekali. Bouw Cu An diam sejenak, agaknya seperti mengumpulkan kekuatannya karena dia tenggelam dalam kesedihan. Kemudian dengan suara lirih dan gemetar dia berkata.

   "Moi-moi...... aku...... aku sungguh malu sekali kepadamu. Engkau puteri seorang pahlawan yang patriotik sedangkan aku...... aku hanya anak seorang pengkhianat, seorang pemberontak......" Cu An bangkit berdiri dan memutar tubuhnya untuk menyembunyikan air matanya yang menitik turun ke atas pipinya.

   "Aku...... aku...... tidak pantas berdekatan denganmu, tidak pantas menjadi sahabatmu...... apalagi ...... menjadi...... ah, aku tidak boleh mencintaimu......" Li Ai merasa terharu sekali. Ia maklum bahwa pemuda itu menangis dan hendak menyembunyikan tangisnya. Hal dapat ia ketahui dari suaranya dan pemuda itu mengangkat tangan ke muka, tentu untuk menghapus air matanya. Li Ai merasa terharu dan tanpa terasa lagi ia pun mencucurkan air mata.

   "Tidak, Koko...... mendiang Ayahku juga melakukan kesalahan! Ayahku juga pernah membebaskan tawanan......"

   "Akan tetapi beliau melakukannya untuk menyelamatkanmu dan telah ditebusnya dengan nyawanya. Sedangkan Ayahku...... dia memberontak untuk mencari kedudukan, untuk dirinya sendiri......"

   "Akan tetapi Ayahmu juga sudah insaf dan membantu pemerintah membasmi para pemberontak."

   "Jangan membela Ayahku, Moi-moi, aku...... aku merasa rendah dan hina sebagai anak pengkhianat yang akan selalu dikutuk. Aku tidak berhak dan tidak boleh mendekatimu...... engkau akan ikut tercemar...... aku tidak layak menjadi...... menjadi......" Cu An tidak dapat melanjutkan, lalu menjatuhkan diri duduk di atas bangku dengan tubuh lemas dan dia menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya. Li Ai tidak dapat menahan keharuan dan kesedihannya mendengar ucapan itu. Ia memegang lengan pemuda itu dan memaksanya berputar sehingga mereka saling berhadapan. Dengan air mata membasahi sepasang matanya dan mengalir menuruni sepasang pipinya yang agak pucat, Li Ai berkata.

   "Koko, jangan berkata begitu. Aku tetap menghormatimu karena engkau memang layak dihormati. Jangan bilang engkau tidak pantas. Akulah yang tidak pantas mendekati. Akulah gadis yang hina......"

   Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Moi-moi!" Cu An berseru kaget.

   "Benar, Koko...... dengarlah baik-baik, akulah yang tidak layak mendapat cintamu, tidak pantas mencintamu...... aku sama sekali tidak berharga untuk menjadi sisihanmu...... aku adalah seorang gadis yang sudah ternoda, aku...... aku bukan perawan lagi...... aku telah diperkosa orang......" Tiba-tiba Cu An bangkit berdiri, mukanya merah karena marah sehingga Li Ai merasa hancur hatinya karena ia mengira bahwa seperti juga Bong Kim dahulu, pemuda itu pun akan memandang rendah dan menghinanya, maka ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu.

   "Siapa dia? Katakan, Ai-moi, siapa laki-laki yang melakukan perbuatan biadab itu? Cepat katakan, sekarang juga akan kuhancurkan kepalanya si jahanam terkutuk itu!!" Mendengar betapa pemuda itu marah kepada si pemerkosa dan tidak memandang rendah atau menghinanya, Li Ai menahan tangisnya dan berani memandang muka pemuda itu dengan muka pucat yang basah air mata, lalu berkata lirih diseling isak.

   "Mereka...... adalah dua orang...... Pek-lian-kauw...... akan tetapi mereka...... sudah dibunuh oleh Enci Siang Lan......" Cu An menarik napas panjang, tampak lega mendengar ini.

   "Aah, kalau begitu, dendam sakit hatimu telah terbalas impas, Ai-moi. Mengapa engkau masih juga bersedih?"

   "...... akan tetapi...... aku...... aku sudah ternoda...... terlalu hina untukmu, An-ko......"

   "Uhh, siapa bilang? Engkau sama sekali tidak bersalah. Engkau dipaksa dan engkau sama sekali tidak hina bagiku!"

   "Tapi...... tapi...... aku...... bukan perawan lagi......" Li Ai menangis. Cu An bergerak maju dan merangkul gadis itu. Meledaklah tangis gadis itu sehingga terisak-isak dan ia tidak mampu bicara lagi. Cu An mendekap muka gadis itu ke dadanya sehingga air mata Li Ai membasahi dada bajunya, menembus baju bahkan seolah menembus kulit dadanya dan menyejukan hatinya.

   "Li Ai, kaukira aku ini laki-laki macam apa? Aku bukan hanya mencintai keperawananmu. Aku sayang kamu, aku cinta kamu lahir batin, bukan hanya mencinta badanmu melainkan engkau seluruhnya. Engkau sama sekali tidak hina bagiku, engkau tetap bersih, tetap murni dan aku bahkan semakin mencintamu. Li Ai, jawablah, maukah engkau menjadi teman hidupku selamanya, menjadi isteriku, isteri seorang anak pangeran pemberontak?"

   "Koko Bouw Cu An......!" Saking bahagia dan terharunya mendengar ucapan itu, Li Ai tiba-tiba terkulai dan cepat ia merangkul pinggang pemuda itu. Kalau Cu An tidak memeluknya erat, mungkin ia akan jatuh terguling. Ia hampir pingsan dan menjadi lemas dalam pelukan Cu An.

   "Moi-moi, jangan khawatir, aku akan melindungimu dan menyayangmu selamanya," bisik Cu An sambil mendekap kepala itu erat-erat seolah hendak memasukan gadis itu ke dalam dirinya sehingga mereka tidak akan dapat saling berpisah lagi. Cinta sejati memang indah karena cinta seperti ini merupakan kasih sayang yang murni, sebagai pijar dari api kasih yang datang dari Tuhan. Cinta kasih seperti ini bebas dari keinginan untuk menyenangkan diri sendiri.

   Semua diperuntukkan orang yang dikasihi, demi kebahagiaan orang yang dikasihi, dan cinta seperti ini baru dapat dirasakan kalau diri sendiri tidak diperbudak oleh nafsu dan pementingan diri sendiri. Sebaliknya, cinta yang sepenuhnya didorong oleh nafsu hanya mementingkan diri sendiri, hanya bertujuan untuk menyenangkan diri sendiri. Kalau diri sendiri tidak lagi mendapat kesenangan dari orang yang dicintai, maka cinta itu akan berubah, lenyap atau bahkan berbalik menjadi benci. Bukan berarti bahwa cinta sejati tidak mengenal nafsu berahi. Seperti juga nafsu-nafsu lain, nafsu berahi sudah ada pada setiap orang manusia yang sehat dan wajar. Hanya bedanya, dalam cinta kasih sejati itu nafsu berahi menjadi pelayan kita. Sebaliknya dalam cinta nafsu, nafsu berahi menjadi majikan kita.

   Cinta kasih yang berada dalam diri Bouw Cu An dan Kui Li Ai adalah contoh cinta sejati. Cinta seperti ini adanya hanya keinginan untuk saling membahagiakan. Sampai lama mereka saling rangkul dengan ketat seolah telah menjadi satu, lupa tempat dan waktu, bahkan lupa akan diri sendiri. Tiba-tiba terdengar suara batuk seorang wanita. Suara ini cukup untuk menarik kedua orang yang sedang asyik-masyuk itu ke dalam sadar. Mereka menengok dan melihat bahwa di situ telah berdiri seorang wanita dengan sikap hormat dan ragu. Wanita itu adalah Bwe Kiok Hwa, kepala pembantu dan murid tertua di Ban-hwa-kok yang usianya sudah tigapuluh satu tahun. Melihat Bwe Kiok Hwa, kedua orang muda itu saling melepaskan rangkulan dan wajah keduanya berubah kemerahan.

   "Eh, Enci Bwe Kiok Hwa......" kata Li Ai. Bwe Kiok Hwa tampak ragu dan sungkan.

   "Nona Kui Li Ai...... saya kira engkau sudah tahu akan peraturannya......" Li Ai mengangguk.

   "Aku tahu dan mengerti, Enci kiok Hwa. Jangan khawatir, aku yang akan laporkan kepada Enci Nyo Siang Lan kalau ia pulang." Bwe Kiok Hwa mengangguk.

   "Maaf, bukan maksud saya untuk mengganggu." Setelah memberi hormat kepada sepasang orang muda itu, ia lalu pergi.

   "Ai-moi, apa sih artinya ucapanmu kepadanya tadi?" tanya Bouw Cu An.

   "Begini, An-ko. Setelah Enci Siang Lan menjadi pemimpin Ban-hwa-pang yang anggautanya semua wanita, yang tidak menikah, ia mengadakan peraturan bahwa siapa yang menikah harus keluar dari Ban-hwa-kok. Setiap orang anggauta Ban-hwa-kok tidak boleh bergaul dengan pria kalau tidak akan menjadi suami isteri, dan kalau ada pria yang berani mempermainkan anggauta Ban-hwa-pang, akan dibunuh. Maka setelah tadi Enci Bwe Kiok Hwa melihat kita, ia peringatkan padaku tentang peraturan itu. Akan tetapi, kita tidak perlu khawatir, bukan, An-ko?" Cu An tersenyum dan memegang kedua tangan kekasihnya.

   "Tentu saja tidak, Moi-moi. Kita berdua tidak main-main, dan aku akan memberitahu orang tuaku agar mengajukan pinangan secara resmi. Akan tetapi, karena...... Ayah dan Ibu kandungmu telah tiada, kepada siapakah orang tuaku harus mengajukan lamaran? Menurut ceritamu, tentu engkau tidak ingin orang tuaku melamar kepada ibu tirimu, bukan?"

   "Aih, jangan! Aku tidak sudi dinikahkan oleh wanita berengsek itu! Kalau orang tuamu datang melamar, kuminta agar melamar kepada Enci Nyo Siang Lan, karena ialah yang kini menjadi waliku, kakak angkatku, juga guruku."

   "Bagus, kalau begitu, aku akan menanti di sini sampai ia datang. Bolehkah aku bermalam di sini, Ai-moi?"

   "Tentu saja boleh, An-ko, akan tetapi di kamar tersendiri, kamar tamu."

   "Tentu saja! Aku belum gila untuk minta sekamar denganmu, Moi-moi!"

   "Aih, bukan begitu maksudku." Li Ai tertawa senang karena kelakar itu menunjukkan penghormatan dan penghargaan yang tersembunyi.

   "Akan tetapi sebetulnya ini melanggar peraturan, akan tetapi......"

   "Kalau begitu, biar aku bermalam di kaki bukit saja, Ai-moi. Jangan sampai engkau mendapat marah dari Hwe-thian Mo-li!"

   "Tidak, An-ko. Kalau aku membiarkanmu bermalam di kaki bukit, di tempat terbuka, aku malah pasti akan ditegur Enci Siang Lan. Engkau boleh bermalam di sini atas tanggunganku, hanya saja, engkau tidak boleh keluar dari rumah induk, paling jauh engkau hanya boleh memasuki tempat ini." Cu An tersenyum.

   "Baiklah, aku akan menaati peraturan Ban-hwa-pang. Tidak apa dikeram dalam rumah asal setiap hari dapat melihatmu!"

   Demikianlah, dengan hati berbunga-bunga sepasang kekasih itu lalu memasuki rumah induk dan Li Ai lalu mempersiapkan kamar tamu yang berada di bagian belakang untuk Bouw Cu An. Kepada Bwe Kiok Hwa dan para anggauta Ban-hwa-pang lainnya Li Ai mengaku terus terang bahwa pemuda itu adalah tunangannya calon suaminya yang menanti kembalinya ketua mereka dan akan sementara tinggal di situ sampai Hwe-thian Mo-li pulang. Ia yang akan bertanggung jawab kalau ketua mereka marah. Karena baik Li Ai maupun Cu An bersikap wajar dan sopan, menjaga sikap mereka satu sama lain tetap sopan dan tidak memperlihatkan cinta mereka secara mencolok, maka para anggauta Ban-hwa-pang merasa tenang dan tetap menghormati sepasang kekasih ini.

   Kasih yang mendasari satu saja keinginan yaitu membahagiakan orang yang dikasihi sungguh mendatangkan perasaan yang luar biasa. Melihat kebahagiaan terpancar pada sinar mata dan senyum di wajah kekasihnya membuat mereka merasa luar biasa senang dan bahagianya. Karena itu, dengan hanya saling pandang tanpa ungkapan dengan sentuhan atau kata-kata cinta karena hendak menjaga kesopanan dalam pandangan para anggauta Ban-hwa-pang, bagi mereka berdua lebih dari cukup. Senyum di bibir sang kekasih seolah menambah keindahan segala sesuatu yang tampak, menambah hangat dan cerahnya sinar matahari, menambah indah dan harum bunga-bunga di taman dan hati mereka diliputi kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

   Dua minggu kemudian Siang Lan pulang. Ketika para anggauta Ban-hwa-pang menyambut di lereng bukit, tak seorang pun dari mereka berani memberitahu akan kehadiran Cu An yang sudah dua minggu menjadi tamu di rumah induk yang menjadi tempat tinggal Ketua Ban-hwa-pang itu. Ketika Siang Lan tiba di rumah dan disambut oleh Li Ai dan Cu An, ia agak terkejut dan merasa heran karena ia mengenal pemuda itu yang telah menjadi murid Ouw-yang Sianjin. Ia pun tahu bahwa pemuda itu adalah putera Pangeran Bouw Ji Kong.

   

Pedang Sinar Emas Eps 28 Pedang Sinar Emas Eps 23 Pedang Sinar Emas Eps 27

Cari Blog Ini