Ceritasilat Novel Online

Pedang Sinar Emas 28


Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 28




   Mereka berdua maklum bahwa tingkat kepandaian puteri Thian te Kiam ong ini benar benar tinggi sekali dan andaikata mereka berdua diharuskan membantu suhu mereka, agaknya mereka tidak tahu harus bergerak bagaimana.

   Melihat betapa sinar kuning emas itu amat kuat gerakannya, Bu beng Sin kai mulai merasa khawatir. Hanya Leng Li yang tingkat kepandaiannya dalam ilmu pedang sudah cukup tinggi dan agaknya hanya puteri suhunya itulah yang akan dapat membantu. Teringat akan hal ini, Bu beng Sin kai diam diam lalu berlari memasuki rumah untuk memberi tahu kepada Leng Li yang sampai demikian jauh belum juga muncul.

   Akan tetapi, tidak lama kemudian Bu beng Sin kai berlari keluar kembali dengan wajah berubah seperti orang gelisah.
"Suhu, celaka...... nona Leng Li telah lari pergi....!"

   Pada saat itu, Sin tung Lo kai tengah menyerang Siauw Yang dengan bernafsu, dan gerakan tongkatnya makin lama makin nekad. Agaknya orang tua ini merasa malu dan penasaran sekali karena sudah hampir seratus jurus, belum juga ia dapat mendesak nona muda ini, apalagi mengalahkannya!

   Akan tetapi, ketika ia mendengar ucapan muridnya itu, tiba tiba ia melompat mundur dan menancapkan tongkatnya di atas tanah. Tongkat itu amblas sehingga tongkat ular itu kini hanya kelihatan kepalanya saja, seperti seekor ular yang bersembunyi di dalam tanah dan menjenguk keluar dari dalam lubangnya.

   Siauw Yang juga tidak mau menyerang, dan menarik kembali pedangnya.

   Napas nona ini agak terengah engah dan wajahnya yang merah itu basah oleh peluh. Pertempuran tadi benar benar melelahkan dan baginya merupakan pengalaman dan latihan yang amat berguna.

   Kini ia memandang kepada Sin tung Lo kai yang mukanya berobah menjadi pucat sekali.

   "Apa yang dibawanya?" tanyanya dengan suara parau tanpa menoleh kepada Bu beng Sin kai.

   "Semua pakaian dan tongkatnya," jawab murid ini dengan perlahan, dan ia agak jerih menyaksikan suhunya demikian pucat.

   "Dan apa yang ditinggalkannya?"

   "Hanya sepotong surat ini, suhu," jawab Bu beng kai sambil mengeluarkan sehelai kertas dari saku bajunya.

   "Baca!"

   Bu beng Sin kai merasa ragu ragu dan memandang kepada Pun Hui dan Siauw Yang. Di depan orang orang luar bagaimana ia harus membaca surat itu?

   Menyaksikan keraguan muridnya, Sin tung Lo kai yang sekarang menoleh kepadanya menjadi marah.

   "Baca, kataku. Yang keras!"

   Terpaksa Bu beng Sin kai membaca surat itu.

   Ayah yang tercinta,

   Anak terpaksa pergi karena tidak kuat menanggung rasa malu yang diakibatkan oleh tindakan ayah sendiri. Liem kongcu tidak bersalah, dia berhak menentukan jodohnya sendiri. Akan tetapi ayah telah menawarkan diriku terlalu murah dengan jalan memaksa maksa orang menjadi suamiku.

   Selamat tinggal, ayah, jaga dirimu baik baik.

   Anakmu yang puthauw (tidak berbakti),
Thio Leng Li.

   Setelah Bu beng Sio kai berhenti membaca, Sin tung Lo kai lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah, memukul kepala sendiri sambil berkata berkali kali.

   "Ya, ya.... aku yang salah! Aku yang salah...!"

   Kemudian ia menjambak jambak rambutnya dan menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya!

   Pun Hui memang memiliki semangat besar dan ketabahan yang mengagumkan, akan tetapi sebagai seorang sasterawan, ia memiliki perasaan yang amat halus dan mudah tersinggung. Melihat keadaan kakek itu, ia menjadi terharu sekali dan ia lalu menghampiri Siu tung Lo kai dan berlutut di dekatnya.

   "Lo enghiong, maafkan siauwte.... sesungguhnya siauwtelah yang bersalah sehingga menimbulkan peristiwa ini."

   Tiba tiba kakek itu melepaskan kedua tangan nya dari depan mukanya dan berkata keras sekali,

   "Pergi kau! Pergi....!"

   Pun Hui terkejut sekali dan segera bangkit berdiri, lalu menjura dan berjalan pergi. Sin tung Lo kai memandang ke arah Siauw Yang yang masih berdiri dan berkata.

   "Puteri Thian the Kiam ong, aku tadi dikuasai nafsu, maafkanlah. Kau terlalu lihai untukku."

   Lenyap kemarahan Siauw Yang setelah melihat keadaan kakek ini dan kini mendengar pula kata kata merendah ini. Memang Siauw Yang jarang sekali marah dan kalau sekali ia marahpun mudah saja kemarahannya itu lenyap, ia memiliki watak gembira dan jenaka.

   "Tidak apa, lo enghiong. Dan tentang kepandaian, kau menang beberapa kali lipat dari padaku. Terima kasih atas pelajaran tadi dan selamat tinggal!" Gadis inipun pergi dan berlari cepat menyusul Pun Hui!

   "Liem siucai, perlahan dulu......!"

   Mendengar suara panggilan yang nyaring ini, tiba tiba Liem Pun Hui menahan tindakan kakinya. Tidak hanya kakinya yang tertahan untuk beberapa detik, ia mengenal baik suara itu, suara yang baru saja dikenalnya beberapa jam, akan tetapi yang selalu bergema di dalam telinganya seperti suara orang yang sudah amat lama dikenalnya. Itulah suara Siauw Yang Puteri Thian te Kiam ong yang secara mati matian telah melindunginya dari kemarahan Sin tung Lo kai!.

   Dugaannya memang tidak salah. Ketika ia membalikkan tubuhnya, gadis itu telah berdiri di depannya, cantik dan gagah dengan wajah riang dan senyum manis yang membuat segala sesuatu campak berseri.

   "Nona Song," katanya sambil menjura dengan hormatnya, alangkah senangnya hatiku melihat kau selamat dan terbebas dari orang tua yang galak itu.

   Siauw Yang tersenyum.

   "Sin tung Lo kai galak luar saja, padahal di dalam hatinya dia seorang berbudi tinggi. Setiap orang mempunyai kelemahannya sendiri dan bagi Sin tung Lo kai, kelemahannya adalah sikapnya terhadap pulennya. Eh, Liem siucai, kulihat nona Leng Li itu gagah perkasa dan cantik jelita, mengapa kau.... menolak dia?"

   Wajah Pun Hui menjadi merah dan untuk beberapa lama ia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Akan tetapi pandang mata dara itu menghendaki jawaban dan gadis dengan mata seperti ini tak mungkin pertanyaannya tidak terjawab.

   "Sebab sebabnya banyak, nona. Pertama karena aku belum ada keinginan untuk berumah tangga, ke dua, karena aku tidak mau dipaksa begitu saja, dan ke tiga, karena.... agaknya karena aku tidak merasa cocok dengan nona Leng Li."

   "Kau tinggi hati!"

   "Bukan begitu, Song siocia (nona Song)," jawab Pun Hui sungguh sungguh."Aku adalah seorang yang hidup miskin, sebatang kara dan hanya merupakan sisa dari keluargaku yang terbasmi habis oleh kekejaman orang orang jahat. Kalau aku menerima saja orang memaksaku untuk menikah dengan siapa saja yang dikehendaki oleh orang lain, aku akan menjadi seorang yang tidak ada artinya sama sekali, yang tidak berhak hidup pula. seperti sebuah boneka saja. Manusia harus bercita cita, nona."

   Senyum Siauw Yang melebar. Memang pemuda ini pandai sekali bicara dan pandai menyusun kata kata yang indah indah.

   "Agaknya kau memiliki cita cita yang tinggi dan hebat, saudara Liem. Bolehkah aku mengetahuinya?"

   Liem Pun Hui mengerutkan keningnya.

   "Semenjak kecil aku belajar ilmu bun (kesusasteraan) dengan susah payah. Akan tetapi sekarang teraya ia jelas olehku bahwa dalam keadaan negara kalut dan dikuasai oleh pemerintah lalim, ilmu kepandaian bun tidak ada artinya sama sekali. Orang tua dan keluargaku dibunuh, orang orang jahat merajalela di dunia, dan apakah yang dapat dilakukan oleh seorang lemah seperti aku dengan pensilku? Aku harus mencari dari mempelajari ilmu bu (ilmu silat) sehingga seperti juga kau nona dan lain lain orang gagah, darat berbuat banyak bagi or m waktu sebulan di dalam hutan itu, ma h, harus me ke ndingan? Kepandaian Sin tung Lo kai sudah tinggi sek enar heran dan terkejut sehingga senyumnya lenyap, matanya terbelalak lebar ang lain atau bagi rakyat, membela mereka yang tertindas."

   Makin berseri muka Siauw Yang yang manis.

   "Jadi kau ingin belajar silat?"

   "Bahkan aku sudah mempunyai seorang guru yang pandai, akan tetapi sayang sekali sampai sekarang guruku itu belum juga datang. Suhu berjanji akan datang menjemputku dalam waktu sebulan di dalam hutan itu sekarang aku hendak ke dalam hutan menanti datangnya suhu."

   Siauw Yang tertarik sekali dan diam diam ia memuji pemuda ini yang berkemauan keras.

   "Mempelajari ilmu silat tidak mudah, harus mendapatkan seorang guru yang benar benar pandai. Lihaikah ilmu silat gurumu itu, saudara Liem?"

   Pun Hui memandang bangga.

   "Suhu memiliki kepandaian yang luar biasa lihainya, agaknya tidak akan Kalah oleh kepandaian Sin tung Lo kai!" katanya gembira.

   Siauw Yang tersenyum. Mana bisa pemuda yang belum mengerti tentang ilmu silat tinggi ini mengadakan perbandingan? Kepandaian Sin tung Lo kai sudah tinggi sekali dan jarang ada orang yang dapat disamakan dengan dia.

   "Hebat!" katanya dengan senyum."Siapakah suhumu yang hebat dan lihai itu?"

   "Suhuku dijuluki Sin pian (Ruyung Sakti) dan bernama Yap Thian Giok tokoh Sian hoa san."

   Kali ini Siauw Yang benar benar heran memandang kepada pemuda itu.

   "Apa katamu? Kau diambil murid oleh Sin pian Yap Thian Giok, tokoh Sian hoa san? Ketahuilah, dia itu adalah supekku (uwa guru). Yap supek adalah murid Mo bin Sin kun, dan ayahku pernah pula menjadi murid Mo bin Sin kun. Selain ada hubungan perguruan ini, juga antara ayah dan Yap supek terdapat hubungan persahabatan yang melebihi persaudaraan eratnya!"

   Bersinar gembira wajah Pun Hui mendengar ini.

   "Kalau begitu...." katanya.

   "Kalau begitu....?" Siauw Yang menyambung.

   Keduanya saling pandang, dan jelas nampak bahwa keduanya merasa amat gembira dengan adanya pertalian hubuugan antara mereka ini.

   "Kalau begitu masih ada pertalian dekat antara kita!" kata Pun Hui.

   "Memang betul. Kau murid supek, jadi boleh dibilang adalah suhengku (kakak seperguruan ku)."

   "Dan kau adalah sumoiku (adik seperguruanku)!" Keduanya tersenyum, lalu tertawa. Pun Hui tertawa lebar lalu berkata,

   "Suheng macam apakah aku ini? Kau sebagai sumoinya memiliki kepandaian begitu tinggi dan lihai sedangkan aku yang disebut suhengmu, menangkap lalatpun tidak becus!"

   "Jangan bilang begitu, suheng. Hal ini tidak aneh karena kau memang belum mempelajari ilmu silat. Pula, kepandaian manusia tidak bisa diukur melihat keistimewaan masing masing saja. Biarpun dalam ilmu silat mungkin sekali aku jauh lebih pandai dari padamu, akan tetapi dalam ilmu kesusasteraan, kalau diadakan perbandingan, kepandaianmu setinggi langit dan kebisaanku hanya serendah bumi! Sekarang harap kau ceritakan kepadaku bagaimana kau sampai bertemu dengan Yap supek dan bagaimana pula sampai bisa diambil sebagai murid."

   Keduanya lalu duduk di atas batu karang di bawah pohon dan mulailah Liem Pun Hui mencernakan semua pengalamanya di kota raja.

   Betapa semua keluarganya dan keluarga pamannya habis dibunuh, dan betapa ia dengan nekad menulis sajak mencela kaisar dan orang orang besar yang mengandalkan pangkatnya melakukan perbuatan jahat.

   Kemudian betapa ia ditolong oleh Yap Thian Giok dan akhirnya diambil murid.

   Siauw Yang terharu sekali mendengar nasib pemuda yang menarik hatinya ini. Ia makin kagum. Pemuda ini benar benar memiliki semangat dan keberanian yang besar. Orang dengan kepandaian silat tinggi belum tentu berani melakukan penghinaan kepada kaisar di depan umum seperti yang dilakukan oleh Pun Hui ini.

   "Kau patut menjadi murid Yap supek," katanya.

   "Sumoi, aku benar benar girang sekali mendengar bahwa kau yang kuanggap sebagai seorang pendekar wanita yang sakti, ternyata terhitung sumoiku sendiri. Sekarang kau hendak ke manakah dan mengapa kau tadi mengejar ku?"

   "Terus terang saja, suheng. Tadi sebelum aku tahu bahwa antara kita masih ada hubungan persaudaraan seperguruan, aku hendak memaksamu supaya ikut dengan aku sebagai penunjuk jalan ke Pulau Sam Liong To, karena kau pernah berada di dekat pulau itu ketika dibawa oleh bajak laut sebagaimana tadi kauceritakan di rumah Sin tung

   Lo kai. Akan tetapi sekarang setelah mengetahui bahwa kau masih terhitung suheng sendiri, niatku lebih kuat lagi. Aku minta kau meninggalkan tempat ini dan harap kau suka membawaku ke Pulau Sam Liong to, suheng."

   Pun Hui tertegun. "Memang aku sudah tahu di mana adanya pulau bajak itu, sumoi. Akan tetapi sungguhpun di dekat situ pasti ada Pulau Sam liong to tempat tinggal nona Siang Cu, bagaimana aku bisa pergi dan sini? Kalau suhu datang.... dan aku tidak ada di sini...."

   "Soal supek, jangan khawatir. Kalau supek tahu bahwa kau pergi dengan aku, supek takkan marah. Adapun tentang pelajaran ilmu silat, sebagai dasar dasar pertama, kau dapat belajar dariku, suheng. Kalau ada kemarahan dari supek, aku yang bertanggung jawab. Yang terpenting bukanlah ini saja, akan tetapi andaikata kau tidak pergi dengan aku, tetap saja kau harus meninggalkan tempat ini. Kau tahu bahwa tempat ini masih termasuk daerah yang dikuasai oleh perkumpulan pengemis yang dipimpin oleh Sin tung Lo kai. Setelah itu apa yang terjadi antara kau dengan mereka, kurasa tidak baik dan tidak aman bagimu untuk tinggal di daerah ini."

   Pun Hui mengangguk angguk. Memang kata lata dan nona ini tepat dan beralasan sekali, bukan ini saja. Yang terutama sekali karena Pun Hui memang jauh lebih suka melakukan perjalanan bersama gadis ini daripada menunggu suhunya di dalam hutan. Keberatan satu satunya bagi dia hanya kalau suhunya marah. Akan tetapi kini Siauw Yang berani bertanggung jawab, mau apa lagi?

   "Baiklah, sumoi. Aku ikut pergi denganmu untuk menunjukkan di mana adanya pulau bajak laut itu. Akan tetapi kau harus berhati hati. Di atas pulau bajak laut itu tinggal dua orang yang lihai sekali, yakni Tung hai Sian jin dan puteranya. Aku pernah melihat mereka ketika nona Siang Cu datang menolongku dahulu."

   Siauw Yang tersenyum. "Aku sudah pernah mendengar namanya dari ayah. Akan tetapi, aku ke sana bukan untuk berurusan dengan Tung hai Sian jin, melainkan untuk mencari kakek buntung Lam hai Lo mo, musuh besar ayahku!"

   Demikianlah, dua orang muda ini lalu berangkat meninggalkan hutan itu, menuju ke utara. Perasaan keduanya amat gembira, namun hanya dirasa di dalam hati saja karena tentu saja mereka tidak mengutarakan perasaan gembira ini di luar.

   Tanpa disadarinya, Siauw Yang merasa amat suka dan tertarik kepada pemuda yang tampan dan halus ini. Sebaliknya, setelah dekat dengan Siauw Yang, Pun Hui mendanai kenyataan bahwa gadis ini benar benar mencocoki hatinya, dan ia kagum sekali melihat watak yang polos, jujur, dan lincah ini.

   Pun Hui amat menghormati kegagahan, tidak saja kegagahan jasmani, terutama sekali kegagahan watak yang tidak berpura pura dan yang benar benar perkasa lahir batin. Dan gadis ini memiliki semua syarat bagi seorang gagah perkasa. Namun Pun Hui tahu diri Dan merasa betapa dia tidak memiliki kepandaian silat tinggi, dan merasa pula betapa dia adalah seorang yatim piatu yang miskin.

   Sedangkan gadis ini, yang mengaku sebagai sumoi nya, adalah puteri dan Thian te Kiam ong Song Bun Sam, seorang tokoh besar yang demikian dipuji puji dan disebut sebut oleh orang orang pandai, bahkan Sin tung Lo kai sendiripun menyebut nyebut dan memuji mujinya.

   Kalau melakukan perjalanan seorang diri, tentu perjalanan itu akan jauh lebih cepat lagi. Akan tetapi bersama seorang pemuda lemah seperti Pun Hui, bagaimana ia bisa melakukan perjalanan cepat?

   Oleh karena itu, ketika pada suatu hari mereka tiba di sebuah kota, di sebelah utara Peking, Siauw Yang membeli seekor kuda. Semenjak kecilnya, Siauw Yang sudah suka sekali naik kuda dan ia mempunyai pengertian luas tentang kuda yang baik.

   Kalau menurut penglihatannya, di antara kuda kuda yang diperdagangkan di situ, tiada seekorpun yang memuaskan hatinya. Akan tetapi ia hendak membeli kuda bukan untuk dia sendiri, melainkan untuk Pun Hui. Pertama agar perjalanan dapat dilakukan lebih cepat, ke dua karena ia merasa kasihan melihat pemuda ini yang kelihatannya demikian lelah melakukan perjalanan jauh. Maka ia memilih kuda yang diangapnya paling kuat di antara semua kuda di situ. sungguhpun masih jauh untuk dapat memuaskan hatinya.

   "Nah, suheng. Ini kudamu, naiklah!"

   "Eh, mengapa begitu? Kau yang membelinya dan kau pula yang pantas menaikinya. Kau naiklah, sumoi, biar aku yang menuntunnya di depan." Pun Hui membantah.

   Hampir saja Siauw Yang tertawa terpingkal pingkal mendengar ini, akan tetap ia masih dapat menahannya dan hanya tertawa lebar dengan muka geli.

   "Suheng, kau bagaimana sih? Membeli kuda untuk ditunggangi agar perjalanan cepat, bukan sekedar ditunggangi agar dapat duduk enak saja. Masa ada orang naik kuda pakai dituntun segala? Sudah, kau naiklah, di antara kita masa mesti pakai sheji sheji (sungkan sungkan) lagi?"

   "Mana ada aturan begitu, sumoi? Kau yang membelinya, ini saja sudah merupakan alasan kuat bahwa kau yang berhak menungganginya. Kemudian masih ada lagi. Kau wanita dan aku laki laki, masa aku yang harus menunggang kuda dan kau yang harus berjalan kaki? Ini terbalik namanya. Akulah yang harus berjalan kaki dan kau yang menunggang kuda, ini baru benar!"

   "Tidak, suheng. Kau naiklah, biar aku yang berjalan. Dengan demikian, perjalanan akan lebih cepat daripada kemarin."
(Lanjut ke Jilid 35)
Pedang Sinar Emas/Kim Kong Kiam (Serial Pedang Sinar Emas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 35
"Tidak, kau yang menunggang kuda, sumoi" "Kau saja, suheng."

   "Tidak mau, kau yang menunggang kuda!" kata Pun Hui berkeras. "Apa kata orang lain nanti kalau melihat aku tak mengalah?"

   Tiba tiba Siauw Yang tertawa geli. Pun Hui yang tidak mengerti mengapa gadis itu tertawa, ikut pula tersenyum, akan tetapi senyumnya masam, karena merasa bahwa dia yang ditertawai.

   "Mengapa tertawa, sumoi?" tanyanya ketika gadis itu masih saja tertawa terus.

   "Aku tertawa karena geli teringat akan sebuah cerita yang lucu. Cerita itu sama benar dengan keadaan kita sekarang ini."

   "Cerita? Bagaimanakah cerita itu, sumoi?"

   "Begini, suheng. Di jaman dahulu ada dua orang kakak beradik. Kakaknya seorang wanita dewasa dan adiknya seorang laki laki berusia belasan tahun. Mereka melakukan perjalanan dan hanya mempunyai seekor kuda. Si adik mendesak kakaknya agar supaya menung gangi kuda itu dan dia sendiri rela berjalan kaki. Menurutlah si kakak dan ia menunggang kuda, dituntun oleh si adik. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan orang lain yang mencela si kakak,mengatakan bahwa sebagai orang yang lebih besar harus mengalah kepada adiknya. Maka turunlah kakak itu dan si adik kini menggantikannya. Maka turunlah kakak itu dan si adik kini menggantikannya naik kuda. Akan tetapi, belum lama, bertemu pulalah mereka dengan orang lain yang mencela adik itu, mengapa tidak mau mengalah kepada kakaknya seorang wanita. Kedua kakak beradik kebingungan, lalu keduanya menunggangi kuda itu!"

   Pun Hui tertawa."Kalau begitu, kuapun bisa menunggangi kuda itu berdua."

   Merahlah wajah Siauw Yang mendengar ini.

   "Cih, suheng! Apa kau tidak malu bicara begitu?"

   Pun Hui teringat bahwa kelakarnya tadi tentu menimbulkan rasa malu kepada Siauw Yang, maka katanya, "Maaf sumoi. Kau teruskanlah ceritamu tadi. Bagaimana selanjutnya? Setelah naik kuda berdua, tentu tidak ada orang lain yang mencela mereka lagi, bukan?"

   "Keliru dugaanmu!" kata Siauw Yang yang kini menjadi gembira lagi, wajahnya berseri, matanya bersinar sinar dan mulutnya tersenyum. Pun Hui memandang seperti terkena pesona.

   Demikian cantiknya gadis remaja itu ketika bercerita. Kuda itu kurus kering dan kebetulan sekali kakak beradik itu orangnya gemuk gemuk dan tubuhnya amat berat.

   Oleh karena itu, punggung kuda itu menjadi melengkung seperti batang pikulan keberatan muatan. Belum lama kuda itu berjalan perlahan, seorang lain yang bertemu dengan mereka di jalan mencela, menyatakan bahwa dua orang itu tidak mengenal kasihan, menyiksa kuda seperti itu.

   "Lalu bagaimana?" tanya Pun Hui tertarik sekali.

   "Dua orang kakak beradik itu tentu bingung sekali sekarang. Tidak ada jalan lain untuk memecahkan persoalan itu."

   "Demikianlah karena kaupun berpendirian sama dengar kedua orang kakak beradik itu. Seperti mereka, kau terlalu takut akan celaan dan usul lain orang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya denganmu. Mendengar celaan orang ke tiga ini. kakak dan adik itu buru buru turun dari kuda dan mereka lalu berunding. Tidak ada jalan lain, mereka lalu mencari bambu, mengikat empat kaki kuda itu laluumemikulnya bersama."
Setelah menyelesaikan ceritanya, dara itu tertawa geli.

   Pun Hui tak dapat menahan gelak tertawa membayangkan keadaan kakak beradik itu memikul kuda. Benar benar lucu sekali.

   "Ha, ha, ha! Lucu sekali ceritamu itu, sumoi. Lalu bagaimana? Setelah mereka memikul kuda itu, jadi dibalikkan sekarang, kuda menunggangi manusia, apakah tidak ada celaan lagi?"

   "Siapa bilang? Kini bahkan setiap orang yang bertemu dengan mereka di jalan, baik wanita maupun laki laki, baik kakek kakek maupun anak anak, mencela mereka dan menganggap mereka itu gila. Di sepanjang jalan banyak anak yang mengikuti mereka, mentertawakan. Akan tetapi, kakak beradik itu sekarang tidak perduli lagi. Mereka sudah kehabisan akal dan menulikan telinga, membutakan mata terhadap setiap celaan orang lain. Namun sayang sekali, sikap mereka yang tepat ini dilakukan setelah terlambat. Kalau tadi mereka tidak memperdulikan ocehan orang lain, tentu tidak terjadi hal seperti itu, tentu mereka tak usah memikul kuda. Nah, bukankah cerita ini cocok sekali dengan keadaan kita, suheng? Kalau kita berebut, tidak mau mengalah dan saling memaksa untuk menunggang kuda, akhirnya kita pun bisa seperti mereka itu, yakni memikul kuda ini."

   Pun Hui tertawa makin geli. Ia dapat membayangkan betapa lucunya kalau dia dan Siauw Yang memikul kuda itu di sepanjang jalan, disoraki oleh anak anak dan dianggap gila oleh orang orang lain Akan tetapi di dalam kegeliannya ini, ia sadar bahwa cerita lucu itu sebenarnya mengandung nasehat yang amat baik, yakni bahwa di dalam melakukan sesuatu usaha, orang tidak usah mendengarkan terlalu sungguh sungguh akan celaan dan kritik orang lain yang biasanya hanya suka mencela karena iri belaka.

   "Nah, kalau begitu, untuk apa kita berebut? Kau naiklah, sumoi dan aku yang berjalan. Kutanggung takkan ada orang mencela. Andaikata ada, kita akan menulikan telinga membutakan mata saja."

   Mendengar betapa pemuda yang cerdik ini bahkan menggunakan cerita itu untuk mencuri kemenangan, yakni memaksanya menunggang kuda, Siauw Yang menjadi gemas.

   "Suheng, kau terlalu sekali. Mempergunakan senjataku untuk mengalahkan aku sendiri. Ketahuilah, dalam hal kita ini lain lagi soalnya. Aku memiliki kepandaian dan kaularikan kuda itu sekuatmu, aku pasti akan dapat menyusul dan mendahuluimu. Kalau aku yang menunggang kuda, tentu kau takkan dapat menyusul dan perjalanan akan menjadi lebih lambat. Ingat, perjalanan kita ini jauh sekali, suheng. Akan memakan waktu amat lama."

   "Bagiku lebih baik lagi kalau lama, sumoi. Melakukan perjalanan bersamamu, makin lama makin baik."

   Kembali wajah Siauw Yang merah sekali dan ia melirik dengan mulut cemberut.

   "Suheng, aku tidak main main. Kau naiklah, kalau tidak, aku bisa marah kepadamu!"

   Melihat gadis itu mau marah. Pun Hui tersenyum dan mengangguk angguk.

   "Baiklah, baiklah.... jangan marah, sumoi."

   
Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia lalu menunggangi kuda itu lalu berkata, "Betapapun juga, aku akan merasa lebih senang kalau kau juga naik kuda lain sehingga kita bisa melakukan perjalanan berbareng di atas kuda."

   "Tentu, suheng. Akan tetapi aku lebih suka berjalan kaki daripada naik kuda yang tidak mencocoki hatiku. Kalau kita bertemu dengan penjual kuda yang mempunyai kuda baik dan mencocoki hatiku, tentu aku akan membeli seekor lagi untukku."

   Barulah puas hati Pun Hui, namun ia lalu minta buntalan pakaian gadis itu agar ditaruh di atas kuda.

   "Kau yang berjalan kaki jangan membawa apa apa, biarlah semua barang barangmu aku yang membawanya. Ini baru adil namanya."

   Sambil tersenyum manis Siauw Yang memberikan buntalannya dan diam diam ia makin suka kepada pemuda yang berwatak baik ini.

   Pun Hui mula mula tidak berani melarikan kudanya cepat cepat, khawatir kalau kalau akan membikin gadis itu lelah sekali untuk mengejarnya. Hal ini membuat Siauw Yang tidak sabar lagi.

   "Suheng, kau berpegang baik baik pada kendali kuda!" katanya dan ia segera menepuk punggung belakang kuda itu. Sambil meringkik, kuda itu melompat maju dan berlari cepat sekali.

   "Eh, sumoi. kau akan tertinggal jauh!" Pun Hui berseru sambil menoleh ke belakang Akan tetapi, segera ia menjadi terheran heran dan kagum sekali karena terlihat olehnya tubuh dara itu bagaikan bayangan saja meluncur cepat sekali dan tahu tahu telah berada di depan kuda, berlari mendahului kuda.

   "Siapa yang ketinggalan?" tanya Siauw Yang sambil tertawa tawa dan Pun Hui segera membedal kudanya, kini dialah yang berusaha mengejar gadis luar biasa itu.

   Kini perjalanan dapat dilakukan lebih cepat lagi. Namun masih kurang cepat bagi Siauw Yang, oleh karena setiap kali Pun Hui memaksa gadis itu untuk beristirahat. Dia sendiri tidak lelah, akan tetapi pemuda ini khawatir kalau kalau gadis itu terlalu lelah. Biarpun berkali kali Siauw Yang menyatakan bahwa dia tidak lelah, namun Pun Hui tetap saja memaksa agar supaya mereka beristirahat dulu.

   Dua hari kemudian mereka tiba di kota Kwan cin di dekat perbatasan Tiongkok utara. Kota ini kecil saja, namun di situ banyak terdapat pedagang pedagang dari selatan, juga banyak orang menjual kuda kuda Mongol. Kembali Pun Hui memaksa kepada Siauw Yang untuk memilih seekor kuda yang terbaik dan untuk membelinya. Akan tetapi alangkah kecewanya ketika gadis itu menyatakan bahwa di antara semua kuda itu tidak ada yang mencocoki hatinya.

   "Masa kuda ratusan ini tidak ada seekorpun yang baik?" tanya Pun Hui kecewa.

   Siauw Yang tersenyum.

   "Suheng, kalau kau melihat kuda ayah di rumah yang bernama Pek hong ma, kau akan kagum sekali. Kuda itu dapat melakukan perjalanan ratusan li setiap hari tanpa merasa lelah dan tenaganya kuat sekali. Aku tidak rewel dan tentu saja tidak ingin mencari kuda seperti Pek hong ma, asal baik dan kuat saja sudah cukup bagiku. Kiranya di dunia ini tidak akan ada kuda sebaik Pek hong ma kepunyaan ayahku...."

   Tiba tiba gadis itu menoleh ke arah barat dan memegang tangan Pun Hui tanpa disadarinya.

   "Tunggu dulu....! Lihat kuda itu.... mari kita mengejarnya, suheng!" Sambil berkata demikian, gadis ini lalu berjalan cepat sekali sehingga Pun Hui terpaksa membalapkan kudanya untuk mengejar.

   Ketika Pun Hui tiba di tempat gadis itu, ia melihat Siauw Yang tengah bercakap cakap dengan seorang laki laki pendek kurus yang menuntun seekor kuda. Kuda ini berbulu kemerah merahan dengan keempat kaki putih di bagian bawah.

   Bukan main tingginya kuda ini sehingga penuntunnya hanya sampai di dadanya, akan tetapi kuda ini buruk sekali dan kurus bukan main sehingga seperti kerangka kuda terbungkus kulit saja. Juga baunya apek dan tidak enak sekali, agaknya sudah berbulan bulan tidak pernah tersentuh sikat dan air. Pun Hui melompat turun dari kudanya dan dengan kendali kuda di tangan ia menghampiri gadis itu.

   Kuda tunggangan Pun Hui ketika dekat kuda bulu merah itu, nampak pendek sekali akan tetapi lebih gemuk, dan juga dalam pandangan pemuda itu, kudanya jauh lebih baik dan bersih. Apakah benar benar gadis itu hendak membeli kuda ini? Pun Hui benar benar tidak mengerti.

   "Tak bisa kurang setahilpun lagi, nona!" Pun Hui mendengar pedagang kuda itu berkata. Pedagang kuda inipun menarik perhatian. Orangnya kurus kecil dan pendek, akan tetapi sepasang matanya bersinar sinar dan pakaiannya bukan seperti pedagang kuda, lebih pantas seb agai seorang guru silat. Bahkan gagang goloknya kelihatan dari balik punggungnya..

   "Aku tidak membawa demikian banyak uang tunai," kata Siauw Yang dengan suara menyatakan penyesalannya, seperti suara orang yang ingin sekali membeli barang namun terlampau mahal untuknya.

   "Berapa sih dia mau menjual kuda buruk ini?" Pun Hui bertanya dan mendengar orang menyebut kudanya buruk, orang itu menyandang kepada Pun Hui dengan mata marah.

   "Limaratus tail," jawab Siauw Yang, "dan uangku bekal hanya ada tigaratus tail saja."

   Pun Hui membuka lebar matanya dan mulutnya celangap.

   "Limaratus tail perak?? Gila sekali, sumoi, apakah kau sudah mabok? Kuda yang kutunggangi ini jauh lebih baik, lebih bersih dan lebih gemuk daripada tengkorak ini dan dibelinya hanya untuk limapuluh tail perak! Gila betul, hati hati sumoi, orang ini mau menipumu!"

   Orang kecil pendek itu marah sekali.

   "Kongcu, kaulah yang harus berhati hati dengan ucapanmu, karena dengan ucapan ucapan seperti itu kau takkan dapat mencapai perjalanan jauh! Ketahuilah, kuda ini yang disebut Ang in ma ( Kuda Awan Merah), termasuk paling baik di antara kuda kuda pilihan di dunia ini. Di selatan dengan mudah aku akan menerima seribu tail untuk kuda ini, akan tetapi karena aku tidak ingin pergi ke Selatan, maka hendak ku jual untuk limaratus tail tidak boleh kurang setailpun."

   "Gila betul...." Pun Hui hendak ribut ribut lagi, akan tetapi sambil tersenyum Siauw Yang berkat.

   "Suheng, mengapa harus ribut ribut? Dalam hal jual beli, hanya berani atau tidak yang menjadi soal. Pemilik barang berhak menawarkan milik nya untuk berapa saja, dan si pembeli hanya tinggal berani atau tidak."

   "Akan tetapi harganya gila gilaan...."

   "Namun aku berari membeli limaratus tail perak." Siauw Yan memotong kata katanya.

   "Sayangnya uangku tidak cukup." Ia lalu berpaling kepada tukang kuda itu dan berkata.

   "Sahabat, bagaimana kalau kubayar tigaratus lail dan kutambah dengan perhiasan ini?"

   Sambil berkata demikian ia mengeluarkan sebuah tusuk konde emas yang dihias dengan mata batu batu kumala indah sekali. Tusuk konde ini dahulu kubeli dengan harga tiga ratu limapuluh tail."

   Setelah menerima dan melihat tusuk konde itu, penjual kuda berkata sambil mengangguk angguk.

   "Tusuk konde tiada artinya bagiku, akan tetapi biarlah. Aku lebih menghargai pandangan nona yang tajam sehingga dapat mengenal kuda baik!"

   Siauw Yang lalu menyerahkan kantong uangnya yang segera dibuka dan dihitung baik baik penjual kuda itu, kemudian ia lalu menyerahkan, kendali kuda kepada Siauw Yang.

   "Jual beli sudah jadi," katanya sederhana.

   "Ya, sudah jadi, kuda ini milikku dan uang serta tusuk konde itu menjadi milikmu," jawab Siauw Yang sambil mengelus elus kepala kuda.

   Tanpa menghaturkan terima kasih, akan tetapi setelah satu kali melirik ke arah Pun Hui dengan pandang mata membenci, penjual kuda itu lalu pergi dan situ dengan tindakan kaki cepat.

   "Gila betul! Dia telah menipumu, sumoi. Bagiku, ditukar saja dengan kuda yang kutunggangi ini, aku tidak sudi! Untuk apa kuda tinggal kulit dan kerangka itu? Ditunggangi belum sepuluh li saja, dia akan roboh dan mampus!"

   Melihat Pun Hui marah marah itu, Siauw Yang hanya mentertawakannya.

   "Suheng, kau tidah tahu. Kuda ini malahan lebih bagas daripada kuda Pek hong ma milik ayah! Ah, kalau ayah melihat kuda ini, tentu ia akan girang sekali. Agaknya kalau ayah tahu, membeli duaribu tail pun ia akan berani."

   Pun Hui tertegun. Ia makin tidak mengerti kepada gadis ini dan mengira bahwa Siauw Yang berkelakar. Akan tetapi, kuda itu kini diperiksa baik baik oleh Siauw Yang. Dibuka mulutnya seakan akan gadis itu hendak menghitung giginya diraba raba tulang tulang yang menonjol itu, dan diperiksa telapak kakinya satu demi satu.

   Yang aneh, kalau kuda lain seringkah mengangguk angguk kepala dan menjulurkan kepalanya ke bawah, adalah kuda buruk itu selalu mengangkat kepala tinggi tinggi dengan tegaknya.

   "Kaulihat, suheng, ia memenuhi semua syarat bagi seekor kuda yang sempurna. Giginya masih kuat, belum ada yang rusak. Ujung hidungnya tajam dan tipis, kepalanya panjang dan agak membentuk segi tiga. Matanya penuh perasaan dan tidak berair. Lehernya panjang dan kuat lurus tidak bengkok. Dadanya menggembung, tanda napasnya kuat sekali. Perutnya kecil dan tubuh belakangnya tinggi dengan ekor yang kuat dan bulu ekornya tak mudah dicabut. Pahanya penuh otot dan kakinya mengecil ke bawah, tidak dibebani daging dan lemak, akan tetapi tulang tulangnya besar dan sambungan sambungan tulangnya sempurna. Tulang tulangnya berisi, tidak keropos. Inilah tanda tanda kuda sempurna."

   Pun Hui menggeleng gelengkan kepala.

   "Aku tidak mengerti. Yang kulihat hanyalah kuda ini buruk sekali bulunya kotor dan baunya tidak enak. Terlalu kurus seperti kurang makan."

   "Memang harus diakui bahwa dia tidak terurus baik, Suheng, Akan tetapi, kaulihat saja sebentar lagi."

   Setelah berkata demikian. Siauw Yang lalu menuntun kudanya itu, diikuti oleh Pun Hui. Nona itu memasuki sebuah hutau kecil di mana terdapat air sungai kecil, di situ Siauw Yang menggulung lengan bajunya dan mencari batu karang yang tajam untuk memandikan kudanya. Digosoknya semua tubuh kuda itu dan pekerjaan ini memakan waktu lama sehingga Pun Hui yang tidak sabar dan tidak mengerti mengapa nona cantik itu mau melakukan pekerjaan seperti itu hanya untuk seekor kuda buruk, lalu duduk di bawah pohon dan mengantuk.

   Tak lama kemudian, ia dikejutkan oleh suara Siauw Yang yang terdengar bangga dan girang.

   "Suheng, jangan tidur, lihat kudaku ini!"

   Pun Hui membuka matanya dan menengok. Hampir ia tidak percaya bahwa kuda yang dituntun oleh Siauw Yang adalah kuda buruk tadi, kini tubuh kuda itu telah bersih. Kulit dan bulunya mengkilat, berwarna merah bertotol totol kuning, amat indahnya.

   Nampak urat urat menggembung pada pangkal paha dan leher, nampaknya kuat sekali.

   "Sekarang kaulihat larinya, suheng!"

   Dengan gerakan yang amat cekatan sehingga membuat Pun Hui melongo keheranan, gadis itu tahu tahu telah berada di atas kuda dan sekali ia menggeprak kuda itu, binatang ini meringkik nyaring sehingga mengagetkan kuda tunggangan Pun Hui yang diikat pada sebatang pohon, kemudian kuda merah itu melompat jauh ke depan dan berlari bagaikan angin saja cepatnya!

   Sebentar saja kuda itu hanya kelihatan sebagai titik merah yang jauh dan tak lama kemudian lenyap dari pemandangan mata.

   Selagi Pun Hui masih bengong, tiba tiba nampak pula titik merah yang makin lama makin membesar. Ternyata itu adalah kuda merah tadi yang ditunggangi oleh Siauw Yang dan yang kini membalap datang.

   Setelah dekat nampaklah keindahan kuda ini. Keempat kakinya seperti tak menginjak tanah, dan bulu tengkuknya yang panjang itu beriapan ke atas tertiup angin. Juga ekornya menjulang ke atas seperti tiang dengan bendera merahnya.

   "Hebat!" kata Pun Hui dengan amat kagum."Dia seperti nyala api merah yang terbang cepat sekali!"

   "Api merah? Bagus, suheng, kau telah memberi nama yang bagus dan tepat sekali untuk kuda ini. Dia mulai sekarang bernama Kuda Api Merah (Ang ho ma)."

   Kemudian kedua orang muda ini melanjutkan perjalanan dan sehari itu mereka mencapai jarak yang jauh. Kini barulah Pun Hui percaya penuh, karena kalau kudanya sudah berpeluh dan jalannya tak dapat cepat lagi setelah menempuh jarak beberapa puluh li, adalah Ang ho ma nampaknya masih ayem saja dan tidak lelah sama sekali.

   Juga kalau ia membedal kudanya cepat cepat, Ang ho ma dengan gerakan lambat saja sudah dapat menyusulnya. Benar benar kuda pilihan! Makin kagumlah pemuda ini terhadap Siauw Yang.

   Setelah hari mulai gelap, sampailah mereka di sebuah dusun dan kebetulan sekali di situ terdapat sebuah penginapan yang cukup bersih. Di daerah utara ini, karena banyaknya pedagang pedagang keliling dari selatan, restoran restoran dan hotel hotel hidup subur dan selalu tidak kekurangan langganan, maka biarpun di dusun yang tidak berapa besar, selalu ada sebuah dua buah hotel dan restoran.

   Mereka menyewa dua buah kamar dan menyerahkan kuda mereka kepada pelayan untuk diurus.

   Akan tetapi Siauw Yang sengaja memilihkan makanan yang cocok untuk kudanya, dan sampai lama ia memberi petunjuk kepada pelayan bagaimana harus memelihara kudanya. Gadis ini bahkan memberikan sehelai mantelnya kepada pelayan untuk dipergunakan sebagai selimut kudanya. Melihat ini. Pun Hui menggeleng geleng kepala! Mana ada orang memberikan mantelnya yang terbuat dari bulu yang indah itu untuk dipakai menyelimuti tubuh kuda di waktu malam? Akan tetapi kini pemuda itu tidak berapa heran, karena ia sendiri sudah menyaksikan bahwa Ang ho ma memang benar benar seekor kuda yang luar biasa sekali.

   Dalam perjalanan yang baru beberapa hari ini, perhubungan antara dua orang muda ini sudah erat sekali.

   Pun Hui mengajar gadis itu tentang membuat sajak sajak yang indah,dan juga mengajarnya bermain catur. Sebaliknya, Siauw Yang mulai membentangkan dan membuka rahasia dasar dasar ilmu silat yang diperhatikan dan dipelajari baik baik oleh Pun Hui.

   Malam itu, sehabis makan, mereka duduk menghadapi meja di ruang tengah dan bermain catur. Tentu saja dalam permainan ini, kalau Pun Hui menghendaki, dalam waktu singkat ia akan dapat menghabiskan biji catur Siauw Yang dan dengan mudah akan dapat mengalahkan lawannya. Akan tetapi, hatinya yang baik tidak mengijinkan hal ini. Ia sengaja bermain lambat dan banyak melewati kesempatan untuk memperoleh kemenangan.

   Bahkan ia sengaja memberi "makanan" kepada biji biji catur Siauw Yang. Dengan demikian, gadis itu tidak menjadi jemu dan dapat bermain dengan gembira, sungguhpun gadis yang cerdik ini bukan tidak tahu bahwa pemuda itu telah banyak mengalah.

   Makin lama, Siauw Yang makin tertarik dan suka kepada pemuda ini, karena dalam pandangannya, pemuda ini benar benar seorang yang dapat menguasai keadaan dan dapat menyesuaikan diri sehingga menjadi kawan yang menyenangkan hati.

   "Sayang, ia tidak pandai silat," diam diam Siauw Yang berkata kepada hatinya sendiri, "akan tetapi kalau ia sudah menjadi murid Yap supek, tentu kelak ia akan maju. Kalau sudah berhasil mendapat kan Sam liong to untuk memuaskan hatiku, aku akan segera mencari Yap supek agar dia cepat menerima latihan latihan. Atau dapat juga... aku melatih dia...."

   Demikianlah, dalam bermain catur, Siauw Yang banyak melamun sehingga beberapa kali Pun Hui harus memberi peringatan karena ia menjalankan biji catur secara ngawur!

   "Eh, sumoi, masa kuda jalannya begitu? Ini kuda biji catur, bukan Ang ho ma! Bagaimana sih?"

   Setelah mendapat teguran barulah Siauw Yang sadar dan dengan muka merah ia membetulkan gerakan biji caturnya sambil tersenyum senyum dan mengerling. Pun Hui merasa bahwa tentu di dalam hati gadis ini "ada apa apa" karena sikapnya berbeda dari biasanya dan pendiam pula, akan tetapi ia tidak tahu apakah yang menjadi isi hati Siauw Yang di saat itu.

   Pada malam hari itu, di ruang tengah dari rumah penginapan. Pun Hui dan Siauw Yang asyik bermain catur. Siauw Yang yang baru saja bisa bermain catur, amat tertarik dan ia mencurahkan seluruh perhatiannya pada papan dan biji biji catur, lupa akan waktu dan segala di sekitarnya.

   Adapun Pun Hui, perhatiannya sebagian besar terbang ke arah wajah Siauw Yang.

   Tiada bosannya ia memandang kepada wajah itu, yang hanya beberapa dim jauhnya dari dia sehingga ia dapat melihat nyata rambut yang menghias jidat yang halus putih itu.

   Melihat dengan nyata bulu bulu alis mata yang hitam kecil dan melengkung rata. Kulit halus di antara mata itu berkerut, tanda bahwa dara itu tengah memeras otak menjalankan pikiran untuk mencari gerakan yang baik dan menguntungkan bagi biji biji caturnya.

   Sepasang mata yang bentuknya indah itu jarang berkedip, memandang ke arah papan catur.

   Kedua tangannya terletak di atas meja dan Pun Hui tiada habisnya mengagumi sepasang tangan dengan jari jari tangan yang berkulit halus dan putih kemerahan ini, yang nampaknya lemah sekali, mengandung tenaga hebat dan dapat mainkan pedang secara lihai sekali?

   Sinar mata Pun Hui melayang layang dan meraba raba jidat yang halus, hidung yang mancung, bulu mata yang lentik dan mulut yang luar biasa manis itu. Tak puas matanya menjelajah, menikmati kecantikan Siauw Yang dan di dalam hatinya ia jatuh bertekuk lutut!

   Kedua orang muda itu tidak bergerak seperti patung. Keduanya mengerahkan seluruh perhatian, sungguhpun berbeda sasaran.

   Tiba tiba terdengar sesuatu yang memecah kesunyian malam dan yang menyadarkan keduanya dan dunia lamunan dan pengerahan tenaga otak. Suara itu keras sekali, terdengar seperti suara iblis malam sendiri keluar dari neraka. Begitu menyeramkan sehingga Pun Hui menjadi pucat.

   Akan tetapi, Siauw Yang segera melompat bangun dari bangkunya.

   "Celaka, itu suara Ang ho ma....!"

   Setelah berkata demikian, Siauw Yang lalu melompat keluar dan ia lupa bahwa tangan kirinya masih memegang tiga buah biji catur, yakni biji catur hitam yang tadi "dimakan" oleh biji caturnya.

   "Suara Ang ho ma....?"

   Pun Hui berkata heran karena menurut dia, suara tadi bukanlah suara kuda. Akan tetapi karena Siauw Yang sudah berlari keluar melalui pintu belakang rumah penginapan itu, iapun lalu mengejar ke belakang.

   Ketika Pun Hui tiba di belakang, ia mendengar derap kaki kuda menjauh dan disusul oleh suara Siauw Yang.

   "Maling kuda, lepaskan kudaku!"

   Tubuh gadis ini berkelebat cepat mengejar, namun keempat kaki Ang ho ma memang betul betul cepat sekali sehingga Siauw Yang yang telah memiliki ilmu lari cepat itupun tertinggal jauh.

   Dengan gemas sekali dara ini lalu mengayun tangan kirinya yang tadi memegang tiga buah biji catur.

   Terdengar jerit kesakitan di sebelah depan akan tetapi suara kuda makin menjauh lalu lenyap.

   "Kurang ajar! Kalau aku dapat memegangmu, akan kupatahkan batang lehermu!" terdengar Siauw Yang menyumpah nyumpah.

   Sementara itu, Pun Hui melihat tubuh seorang laki laki menggeletak di depan kandang kuda. Ia mengenal tubuh orang ini bukan lain adalah pelayan yang sore tadi berkewajiban mengurus kuda dan melihat ia menggeletak miring tak bergerak ia segera berseru,

   "Sumoi, lihat ada orang mati!"

   Siauw Yang melompat menghampiri dan ia pun melihat bahwa orang itu adalah pelayan yang mengurus kuda.

   "Dia tidak mati, hanya berada dalam pengaruh totokan yang lihai," katanya setelah memeriksa orang itu. Kemudian dengan dua kali menotok punggung dan pundak orang itu, pelayan tadi mengeluh dan dapat bergerak lagi.

   "Aduh, siauw ong ya (raja muda) benar benar keterlaluan...." ia mengeluh, akan tetapi begitu melihat Pun Hui dan Siauw Yang, ia menjadi pucat dan berlutut.

   "Kongcu". nona....celaka kuda itu dicuri orang," katanya gagap.

   "Aku sudah tahu." jawab Siauw Yang. "Hayo lekas ceriterakan bagaimana terjadinya pencurian itu!"

   "Saya sendiri tidak tahu dengan jelas. nona. Ketika saya sedang menutup pintu kandang hendak beristirahat, tiba tiba dari atas genteng melayang turun bayangan orang yang langsung menyerang saya. Saya mencoba melawan, akan tetapi entah bagaimana, tahu tahu saya merasa pundak saya sakit lagi dan selanjutnya saya rebah tak dapat bergerak dan tidak dapat berteriak. Hanya dapat saya melihat penyerang itu melepaskan ikatan kuda merah dan membawanya pergi."

   "Bohong!" Pun Hui membentak.

   "Kau sudah mengenal pencuri itu. Hayo katakan siapa dia!"

   "Tidak, kongcu... saja tidak mengenalnya...."

   Siauw Yang yang sependapat dengan Pun Hui bahwa pelayan ini tentu sudah mengenal pencuri kuda, segera mengetuk pundak orang itu. Penjaga itu mengeluh kesakitan dan merasa betapa seluruh tubuhnya sakit sakit.

   "Hayo lekas mengaku saja. Siapa pencuri itu dan siapa pula orangnya yang tadi kau sebut siauw ong ya!" kata Siauw Yang.

   "Sungguh mati, nona. Saja tidak tahu siapa pencuri itu. Di dalam gelap mana saja dapat mengenalnya? Adapun yang saya sebut siauw ong ya....dia....dia itu adalah pangeran muda yang mempunyai banyak sekali kuda bagus bagus seperti kuda nona yang hilang itu dan.... dan...."

   "Hayo ceritakan yang benar, kalau tidak kupatahkan batang lehermu!" bentak Siauw Yang yang sudah tak sabar lagi.

   "Biasanya di daerah ini, setiap kali terjadi keributan tentang kuda, dapat dipastikan bahwa tentu siauw ong ya campur tangan. Maka ketika terjadi pencurian malam ini, tanpa saya sadari saya teringat kepada siauw ong ya dan menyebut namanya....."

   "Di mana tempat tinggal pangeran itu?" tanya Siauw Yang. Ia percaya akan keterangan ini, karena maklum bahwa pada waktu itu, pengaruh para bangsawan amat besar dan bukan tidak mungkin apabila kudanya dicuri oleh kaki tangan pangeran itu.

   "Dia tinggal di kota Ceng te, tak jauh dari sini, nona."

   Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa mengejek. Siauw Yang marah sekali, mencabut pedang dan hendak melompat mengejar ke arah suara itu. Akan tetapi tiba tiba sesosok bayangan hitam melayang turun dan menyambarnya.

   Siauw Yang menggerakkan pedangnya ke arah bayangan itu dan "breet!!" pedangnya telah menembus sehelai kain yang terobek.

   Ketika ia merenggut kain itu ternyata bahwa bayangan tadi adalah mantelnya sendiri yang tadinya di pergunakan untuk menyelimuti kuda Ang ho ma. Rupanya orang yang memiliki tenaga lweekang cukup besar telah melontarkan mantel itu kepadanya.

   Dengan marah Siauw Yang membentak. "Maling jahanam, jangan lari!" Tubuhnya melesat ke atas genteng, akan tetapi setelah ia tiba di atas genteng, keadaan di situ sunyi saja dan gelap pula. Sukar mengejar atau mencari orang yang melarikan diri di dalam gelap, pikirnya dengan jengkel sekali maka ia lalu melayang turun lagi.

   "Lihat, sumoi! Mantelmu ditulisi orang!"

   Siauw Yang segera menghampiri Pun Hu yang memeriksa mantel itu di bawah sinar lampu di depan kandang kuda. Benar saja, di atas mantelnya yang berwarna merah jambu itu, kini terdapat coretan coretan hitam yang merupakan pesanan atau lebih tepat tantangan.

   "Kalau hendak mencari kuda

   Besok pagi ditunggu di pintu utara

   Ahli catur boleh perlihatkan kepandaian

   Kuda merah menjadi taruhan."

   "Kurang ajar! Sekarang juga aku akan menyusulmu ke sana, bangsat jahanan!" teriak Siauw Yang gemas sekali.

   "Nanti dulu, sumoi. Kurang sempurna kalau kau berlaku secara sembrono" Pun Hui mencegah, kemudian pemuda ini bertanya kepada pelayan yang masih meringis ringis.

   "Sekarang kauceriakan sejelasnya, siapakah sebetulnya siauw ong ya itu? Ceritakan yang jelas dan kalau memang kau tidak bersalah, kami tidak akan mengganggumu lebih lama lagi."

   Pedang Sinar Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mendengar ini, dengan suara gemetar dan kadang kadang memandang ke kanan kiri seakan akan ia khawatir kalau kalau ada orang yang mendengar penuturannya, pelayan itu bercerita.

   Di kota Ceng te, termasuk dalam Propinsi Hopei, di sebelah utara, di lembah sebuah sungai yang lebar, tinggal seorang pangeran dari Kerajaan Goan Tiauw. Pangeran ini amat berkuasa dan biarpun pada waktu itu ia tidak menduduki sesuatu pangkat, namun pengaruhnya besar sekali, tidak saja ia disegani oleh karena kaya raya namun terutama sekali karena pangeran ini memiliki kepandaian yang amat tinggi.

   Dikabarkan orang bahwa pangeran ini pernah mendapat latihan ilmu silat tinggi dari Pat Jiu Giam ong Liem Po Coan sendiri, yakni seorang tokoh besar yang bergelar Pat jiu Giam ong atau Iblis Maut Tangan Delapan yang masih menjadi sute dan Lam hai Lo mo, Seng Jin Siansu sendiri.

   Di samping kekayaannya yang luar biasa dan kepandaiannya yang amat tinggi,pangeran ini pun mempunyai banyak kaki tangan yang rata rata memiliki kepandaian silat tinggi. Semua orang yang dianggap jagoan di daerah utara, sebagian besar menjadi kaki tangannya atau setidaknya amat tunduk kepadanya, karena pangeran ini amat royal membagi bagi hadiah kepada mereka yang mau membantunya.

   Pangeran ini bernama Ciong Pak Sui, usianya sudah kurang lebih empatpuluh tahun, namun tubuhnya masih nampak kuat sekali dan karena selain berpakaian indah dan kesehatannya terawat, maka ia nampaknya masih muda. Ia tidak mempunyai isteri akan tetapi di dalam gedungnya terdapat banyak selir yang muda lagi cantik, yakni gadis yang didatangkan dari beberapa daerah, terutama dari selatan, karena wanita Tiongkok di daerah selatan terkenal lebih cantik daripada wanita daerah utara.

   Kegemaran khusus dari Ciong Pak Sui atau lebih terkenal dengan sebutan Ciong siauw ong (Raja Muda Ciong) adalah binatang peliharaan kuda yang bagus bagus. Entah sudah berapa banyak ia mengeluarkan uang untuk membeli ratusan ekor kuda kuda yang baik di daerah ini.

   Seringkali Pangeran Ciong mengadakan perlombaan kuda dan selalu kuda kudanya memperoleh kemenangan.

   Namun, dasar ia memiliki watak yang tidak mau kalah dan selalu keinginan hatinya harus dipenuhi, tiap kali ia menghendaki seekor kuda siapaun juga yang mempunyainya, ia harus mendapatkan kuda itu. Baik dengan jalan membelinya dengan harga amat tinggi ataupun dengan jalan kekerasan! Siapakah orangnya yang berani melawan kehendaknya? Kalau kiranya tidak takut akan pengaruhnya yang besar, tentu segan pula menghadapi kekerasan kaki tangannya yang amat banyak jumlahnya.

   Dan kalaupun orang tidak takut menghadapi kaki tangannya, tentu takut menghadapi kelihaian pangeran ini yang memiliki kepandaian tinggi. Sebegitu jauh belum pernah ada orang yang berani melawannya tanpa menderita kekalahan hebat. Sekali ada orang melawannya, tentu orang itu akan kehilangan kuda dan masih untung kalau ia tidak kehilangan nyawanya.

   "Demikianlah, kongcu. Siapa lagi orangnya di daerah ini yang begitu berani mencuri kuda seorang tamu di penginapan? Biarpun hanya dugaan saja, namun kiranya kalau bukan kaki tangannya, tidak akan adaorang yang begitu berani mati mencuri kuda, karena kejahatan yang terbesar di daerah ini ialah mencuri kuda. Orang berani mencuri harta kekayaan orang lain, akan tetapi mencuri kuda? Akan dianggap kejahatan yang paling hebat dan orang itu takkan diampuni oleh orang banyak. Akan tetapi kalau pencurian itu dilakukan atas perintah Ciong siauw ong ya.... yah siapa berani menghalanginya?"

   Mendengar keterangan ini, merah muka Siauw Yang dan gadis ini marah bukan main.

   "Raja muda bangsat! Kiranya dia berani main gila kepadaku? Lihat saja, sekarang juga akan kudatangi dia dan kalau dia tidak mengembalikan kudaku dan minta maaf sambil berlutut, pasti kepalanya akan kubikin bakso!!"

   Mendengar ini, pelayan itu menjadi pucat dan berkata dengan ketakutan.

   "Nona.... lihiap.... harap jangan bicara seperti itu apalagi.... di depanku....!"

   "Pergi kau, pengecut!" bentak Pun Hui dan pelayan itu seperti mendapat ampun saja, dengan muka girang ia lalu berlari pergi, terus pulang ke rumahnya dan bersembunyi di dalam kamarnya. Agaknya sampai tiga empat hari orang ini takkan berani keluar dari kamarnya!

   "Sumoi, kau bersabarlah. Jangan bertindak malam ini. Bukankah orang itu telah menantangmu untuk bertemu besok pagi di pintu gerbang sebelah utara? Kalau orang sudah menantang, kitapun harus menghadapinya dengan aturan, apa pula, andaikata kau nekat mendalangi gedung pangeran itu, bagaimana kalau ternyata kemudian bahwa pencurian ini dilakukan bukan atas perintahnya? Juga misalnya dia yang mencuri, tentu tempatnya terjaga amat kuat dan mendatangi tempatnya di malam hari merupakan tindakan yang amat sembrono dan berbahaya."

   Mendengar ucapan in Siauw Yang tak dapat membantah. Memang, biarpun dia tidak takut akan penjagaan yang kuat, akan tetapi, bagaimanakah andai kata benar benar bukan pangeran itu yang menyuruh mencuri kudanya? Bukankah berarti bahwa ia telah berlaku lancang dan mengganggu orang yang tidak berdosa? Bukankah itu hanya akan menimbulkan permusuhan dan kekacauan dengan dia berada di fihak salah? Ayahnya tentu akan marah kalau mendengar betapa dia mengacaukan rumah seorang pangeran hanya dengan tuduhan mencuri kuda!

   "Baiklah, suheng. Aku akan menahan sabar dan mari kita lihat orang macam apa yang akan kita temui besok pagi," akhirnya ia berkata.

   Pada keesokan harinya, pagi pagi sekali Siauw Yang dan Pun Hui berjalan menuju ke pintu gerbang bagian utara. Kuda tunggangan Pun Hui dititipkan kepada pelayan rumah untuk diurus. Sepasang orang muda ini berjalan dengan tenang dan Siauw Yang menyembunyikan pedangnya di bawah baju luarnya.

   Wajah gadis ini berseri dan mulutnya tetap tersenyum gembira, namun sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi api, karena sesungguhnya ia marah sekali dan semenjak malam tadi ia menahan nahan gelora batinnya hendak cepat cepat bertemu dengan pencuri kudanya.

   Pintu gerbang sebelah utara merupakan jalan besar yang menuju ke kota lain di sebelah utara, bahkan beberapa puluh li di sebelah utaranya terdapat tapal batas antara Tiongkok dengan daerah Mongol. Pada saat kedua orang muda itu tiba di pintu gerbang, di situ masih sunyi dan tidak kelihatan orangpun. Pintu gerbang sudah dibuka dan para penjaga pintu gerbang sedang meronda, agak jauh dari situ.

   Pun Hui dan Siauw Yang melewati pintu gerbang, akan tetapi mereka tidak melihat ada orang lain, Siauw Yang sudah mulai merasa mendongkol, mengira bahwa pemuda penulis surat di atas mantelnya itu sengaja mempermainkannya. Selagi ia hendak membuka mulut menyatakan k mendongkolannya, tiba tiba dari jurusan utara terdengar bunyi derap kaki kuda dan debu mengebul.

   "Ada penunggang kuda datang," kata Pun Hui dan biarpun pemuda ini tabah sekali, namun ia masih berdebar menghadapi orang yang begitu berani, telah mencuri kuda masih menantang pula. Namun Siauw Yang berdiri dengan tegak, kedua kakinya berdiri terpentang, kedua tangan bertolak pinggang dan kepalanya dikedikkan ke belakang. Sepasang matanya memandang tajam ke depan dan seluruh urat urat di tubuhnya siap sedia menghadapi pertempuran besar.

   Setelah rombongan itu datang dekat, ternyata bahwa yang datang adalah dua orang, seorang wanita dan seorang laki laki. Mereka ini sudah setengah tua agaknya empatputuh lahun lebih usianya.Masing masing menunggang kuda sambil menuntun seekor kuda lain di belakang dan mereka membalapkan kuda dengan cepat sekali. Ketika mereka tiba di depan Pun Hui dan Siauw Yang, kedua orang itu menahan kendali kuda dan kuda kuda yang mereka tunggangi itu tiba tiba berhenti seperti tertahan oleh tenaga yang kuat.

   "Bagus, penunggang penunggang kuda yang pandai dan kuda kuda yang baik," kata Siauw Yang memuji. Memang, tidak mudah untuk menghentikan kuda secara begitu tiba tiba setelah kuda itu tadinya berlari cepat sekali. Juga kuda kuda yang ditunggangi oleh dua orang itu, demikian pula yang dituntun, adalah kuda kuda yang tinggi besar dan baik, nampaknya kuat dan liar. Terutama sekali dua ekor kuda yang mereka tuntun, jelas sekali bahwa dua ekor kuda ini masih amat liar, karena mereka selalu meronta ronta dan meringkik ringkik, namun ketika berlari tadi, mereka dapat lari amat cepatnya.

   "Bukankah ji wi ini ahli ahli catur yang hendak memenuhi undangan?" tanya pendatang yang wanita sambil memandang tajam kepada Siauw Yang.

   "Kami datang untuk bertemu dengan pencuri kuda dan mengambil kuda kami kembali!" jawab Siauw Yang yang sengaja bicara keras, sikapnya galak dan sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut.

   "Jangan sembarang bicara tentang pencuri!" tiba tiba orang laki laki itu berkata. "Kami diutus untuk datang mengundang ahli ahli catur."

   Mendengar ini, Siauw Yang marah sekali dan kedua tangannya sudah gatal gatal hendak menyerang dua orang ini. Akan tetapi Pun Hui mencegahnya dengan kata kata yang ditujukan kepada laki laki itu.

   

Pedang Naga Kemala Eps 18 Pedang Naga Kemala Eps 40 Pemberontakan Taipeng Eps 8

Cari Blog Ini