Ceritasilat Novel Online

Sepasang Naga Lembah Iblis 7


Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 7




   "Bibi, sahabatku ini seorang gadis yang menyamar pria karena itu harap bibi tidak khawatir. Ia pingsan dan aku akan pergi sebentar mencarikan obat untuknya. Kalau sebentar ia siuman dan menanyakan aku, katakana bahwa aku akan mencari obat."

   Pada saat itu muncul seorang gadis dari dalam.

   "ini Giok Hwa, puteriku," wanita itu memperkenalkan.

   "Kebetulan sekali, biarkan puterimu menemani sahabatku. Nah, aku pergi dulu, bibi." Dan Akauw lalu cepat berlari keluar untuk mencarikan daun-daun obat di dalam hutan. Dia teringat akan kebiasaannya ketika masih hidup sebagai kera dan dia tahu betul mana daun obat yang dapat memunahkan racun seperti racun gigitan ular, dan mana getah pohon yang dapat mengeringkan luka.

   Ketika dia kembali ke rumah itu, ternyata Ji Goat sudah sadar dan ketika gadis itu memandang kepadanya, wajahnya berubah kemerahan.

   "Kauw-ko, engkau...""." Ia tidak melanjutkan ucapannya karena di situ duduk Giok Hwa, gadis puteri nyonya rumah. Tadi Giok Hwa sudah bercakap-cakap dengan Ji Goat, menceritakan bahwa ibunya sudah menjadi janda dan mereka hanya hidup berdua saja di rumah itu.

   Giok Hwa agaknya tahu diri, maka ia lalu meninggalkan mereka berdua.

   "Aku membawa daun obat untukmu "kata Kauw cu dengan suara agak gemetar. Ji Goat memandang ke arah pipi pemuda itu dan pipi yang tadi di tamparinya itu masih kemerahan bekas tangannya. Ia tersipu.

   "Kauw-ko, engkau..... tadi aku menamparmu....."

   "Ah, engkau masih ingat itu? Maafkan aku, karena melihat engkau terluka dan lukamu itu penuh racun menghitam, sedangkan engkau masih pingsan sehingga tidak dapat ku mintai ijin, aku terpaksa mengisap keluar racun itu dari lukamu. Maafkan....."

   Kauw-ko, engkau.... Engkau sudah tahu... eh, keadaanku?." Ia teringat akan bajunya yang sudah terlepas kancingnya dan tentu dadanya nampak oleh pemuda itu.

   Akauw tidak berani mengangkat mukanya, akan tetapi dia mengangguk.

   "Maafkan, aku... aku tidak sengaja... aku tidak tahu engkau seorang wanita....."

   "Engkau tidak salah, Kauw-ko. Dan memang agaknya sudah tiba waktunya bagiku untuk mengakui terus terang."

   "Nanti dulu, biar aku obati dulu lukamu. Aku khawatir masih ada sisa racun di dalamnya. Ini aku membawa obat daun pemunah racun ular, ku rasa cocok untuk mengobati lukamu dan ini getah untuk mengeringkan luka."

   Melihat pemuda itu ragu-ragu untuk mengobati pundaknya, Ji Goat miringkan mukanya dan menyerahkan pundaknya.

   "Silahkan, kauw-ko."

   Barulah Akauw berani menaruh daun pengisap racun pada luka itu. Setelah itu dia duduk di atas kursi dekat pembaringan.

   "Sekali lagi kau maafkanlah kelakuanku tadi, karena aku sama sekali tidak dapat menduga bahwa engkau seorang wanita."

   "Kauw-ko, engkau sungguh jujur dan bodoh sekali. Kita pernah bertemu, maksudku aku sebagai wanita pernah bertemu denganmu, bahkan aku pernah menguji kepandaian silatmu."

   Akauw terbelalak. Teringat dia akan Ji Goat, puteri Perdana Menteri Ji yang pernah menguji ilmu silatnya. Hampir saja dia melompat dari atas kursinya karena kaget. Dia bangkit berdiri dan mukanya berubah merah.

   "Jadi.... Engkau... Nona Ji Goat, puteri Perdana Menteri Ji.....? Ah, kini aku ingat. Pantas saja aku merasa seperti pernah melihatmu ketika untuk pertama kalinya kita bertemu di rumah Perdana Menteri Ji."

   "Ssstttt, jangan keras-keras, Kauw-ko....

   "Akan tetapi peringatan itu tidak ada gunanya karena tadi Akauw bicara keras sekali sehingga terdengar oleh janda dan puterinya itu, yang berada diluar kamar.

   "Tapi... tapi kenapa engkau memakai pakaian seperti ini, Ji-siocia?"

   "Aih, Kauw-ko, apakah engkau sudah tidak mau menganggap aku sebagai sahabatmu lagi? Kalau masih kau anggap sahabat, jangan sebut aku Ji-Siocia!".

   "Habis, aku harus menyebut apa? Tidak mungkin menyebut Soan-te....."

   "Kalau aku menyamar sebagai pria engkau tetap menyebut aku adik Bi Soan, kalau aku berpakaian wanita barulah engkau menyebut.....

   "

   "Ji-siocia "

   "Bukan, aku tidak senang kalau engkau menyebutku begitu. Apakah engkau akan senang kalau aku menyebutmu Cian-ciangkun atau Cian-kongcu? Nah, sebut saja namaku. namaku Ji Goat, engkau boleh menyebutku Goat-moi kalau engkau suka."

   "Kalau aku suka? Aih, Goat-moi tentu saja aku suka sekali, terima kasih!" Kata Akauw dengan gembira sekali. Entah mengapa, dia sendiri tidak tahu mengapa kini dia merasa begitu gembira setelah mendapat kenyataan bahwa sahabat yang di sayangnya itu adalah Ji Goat!.

   "Akan tetapi sekarang aku masih menyamar, sebaiknya engkau menyebut aku Soan-te seperti biasa"

   "Akan tetapi janda itu dan puterinya sudah mengetahui bahwa engkau wanita "

   "Tidak mengapa. Mereka tidak berbahaya." Ji Goat lalu bangkit duduk.

   "Mari kita keluar, perutku terasa lapar dan tadi enci Giok Hwa sudah berjanji akan memasakkan sayur untukku."

   Mereka lalu keluar dan janda itu bersama puterinya girang melihat bahwa Ji Goat sudah dapat turun dan ternyata tidak sakit parah seperti yang mereka khawatirkan.

   "Nona, engkau terluka oleh senjata? Tentu prajurit-prajurit biadab itu yang melukaimu, bukan?", Tanya nyonya janda itu.

   "Prajurit-prajurit biadab? Maksudmu siapa, bibi?" Tanya Ji Goat.

   "Siapa lagi kalau bukan pasukan bangsa liar itu. Bangsa Toba adalah bangsa liar dan mereka selalu menindas kita. Memang sebaiknya kalau engkau menyamar sebagai laki-laki karena mereka itu tidak pernah mau melepaskan wanita cantik."

   Ji Goat menjadi tertarik sekali.

   "Bibi, apakah prajurit itu pernah mengganggu dusun ini?".

   "Sudah tak terhitung banyaknya. Kambing dan ayam kita selalu di rampas. Dan kalau Giok Hwa ini ketahuan mereka, celakalah kita. Selama ini Giok Hwa ku titipkan pada pamannya di kota, dan baru beberapa hari ini pulang karena kami saling merindukan. Mudah-mudahan saja perampok-perampok berpakaian prajurit itu tidak akan datang malam ini."

   Biarpun luka yang di derita oleh Ji Goat sudah tidak berbahaya lagi, akan tetapi karena gadis itu perlu beristirahat, Akauw menganjurkan untuk mereka bermalam satu malam di rumah itu dan baru pada keesokan paginya melanjutkan perjalanan ke Lok-yang.

   Malam itu Ji Goat tidur bersama Giok Hwa dan Akauw tidur di ruangan depan dan dia mendapat kesempatan untuk bicara dengan nyonya janda itu.

   "Sudah lamakah suami bibi meninggal?" Tanya Akauw.

   Wanita itu mengela napas.

   "Baru setahun yang lalu. Suamiku tewas karena mempertahankan tanahnya yang hendak di beli oleh tuan tanah. Dia rebut dengan para tukang pukul dan di pukuli. Dia menderita sakit karena itu dan meninggal sepekan kemudian. Kami orang dusun sungguh tersiksa hidup kami. Bukan saja dari parapemeras, akan tetapi juga dari pemerintah kami di kenakan pajak besar. Belum lagi kerja paksa yang membawa banyak pemuda dusun ini untuk di suruh bekerja membangun Tembok Besar. Masih ada lagi gangguan para pasukan Bangsa Toba yang ganas itu. Aihhh kehidupan sungguh merupakan serentetan kesengsaraan yang tiada henti-hentinya. Kami tadinya hendak pindah saja ke dekat Lok-yang karena di sana keadaan lebih aman. Akan tetapi belum sempat lagi."

   "Kenapa di dekat Lok-yang lebih aman, bibi?".

   "Karena Gubernur Lok-yang seorang yang amat bijaksana. Dia memerintah dengan adil dan pasukan Lok-yang juga merupakan pasukan yang tidak pernah bertindak liar dan buas seperti pasukan Toba.

   Bahkan Gubernur di Lok-yang amat baik kepada rakyat kecil. Ketika musim panas yang berkepanjangan tahun lalu, beliau yang membagikan ransom kepada rakyat, bahkan juga uang untuk modal menanam pada musim hujan berikutnya. Ah, benar. Kalau saja yang memegang pemerintah itu Gubernur Yen di Lok-yang, kehidupan tentu akan lebih tenteram."

   Akauw menjadi tertatik sekali.

   "Akan tetapi aku mendengar bahwa Gubernur Lok-yang hendak memberontak kepada Kerajaan, Bibi. benarkah berita itu?".

   "Aku tidak tahu. Akan tetapi kalau benar begitu, tentu kami semua mendukungnya! Rakyat sudah bosan dengan pemerintah penjajah yang menindas dan menyengsarakan ini. Biarpun aku seorang wanita kalau bisa aku akan membantunya pula, untuk menebus kematian suamiku."

   Sekarang jelaslah bagi Akauw. Pemerintah Toba itu di benci rakyat, dan kalau Gubernur Yen hendak memberontak, tentu akan mendapat dukungan rakyat jelata. Dia mulai menjadi bingung. Kalau dia kini membantu yang lalim yang di benci oleh rakyat, benarkah perbuatannya? Apakah suhengnya tidak akan menyalahkannya? Akan tetapi Ji Goat adalah puteri Perdana Menteri. bagaimanapun juga dia harus berpihak kepada Ji Goat! Tidak peduli dengan yang lain-lain, akan tetapi dia sudah yakin bahwa Ji Goat adalah seorang yang baik dan benar. Dan karenanya, dia akan membelanya, kalau perlu dengan taruhan nyawanya! Dia sudah jatuh cinta kepada Ji Goat sejak lama, sejak dia belum tahu bahwa Bi Soan adalah Ji Goat, seorang wanita. Dia sudah jatuh cinta sejak Ji Goat di anggapnya pemuda remaja.

   Tiba-tiba terdengar canang di pukul bertubi-tubi, dan janda itu melompat berdiri, wajahnya berubah pucat dan tubuhnya gemetaran.

   "Celaka...".! Mereka datang...""!"

   Pada saat itu, pintu kamar terbuka dan dua orang gadis itu muncul pula.

   "Apa yang terjadi?"

   Sementara itu, giok Hwa sudah saling rangkul dengan ibunya dan menangis.

   "Apa yang terjadi?" Ji Goat dan Akauw bertanya kepada mereka.

   "Mereka, perampok-perampok itu datang..."..!" Giok Hwa dengan suara menggigil.

   Ji Goat dan Akauw saling pandang.

   "Mari, Kauw-ko!" Ji Goat dan ia sudah lari memasuki kamarnya untuk mengambil sepasang pedangnya dan Akauw segera mengikutinya pergi keluar.

   Terjadi perubahan hebat di dusun yang tadinya sunyi dan tentram itu. Dimana-mana terdengar jeritan wanita dan teriakan-teriakan orang yang di pukuli.

   Nampak seorang laki-laki menyeret seorang gadis keluar dari rumah, dan dari rumah lain dua orang laki-laki menuntun kambing dan membawa ayam. Mereka itu adalah orang-orang berpakaian prajurit dan agaknya mereka itu mabok atau setengah mabok, merampoki ayam dan kambing sambil tertawa-tawa.

   Ji Goat sudah tidak dapat menahan sabar lagi. Sekali loncat ia sudah mendekati prajurit yang menyeret-nyeret gadis yang menjerit-jerit ketakutan itu. Tangannya melayang dan menampar.

   "Plaakkk!" Laki-laki itu berseru kesakitan dan terpelanting. Akan tetapi dia cukup kuat karena sudah dapat meloncat bangun kembali dan ketika melihat bahwa yang menamparnya adalah seorang pemuda remaja, dia lalu mencabut goloknya dan membacok dengan cepat dan kuat. Kemarahan membuat dia ingin sekali membunuh pemuda yang menghalanginya membawa gadis itu. Gadis itupun lari sambil menangis, kembali ke rumahnya.

   Di bacok dengan golok itu, Ji Goat menghindar cepat. namun penyerangnya terus mengejar dengan golok. Ji Goat lalu menggerakkan sepasang pedangnya yang kiri menangkis yang kanan menusuk dan orang itupun roboh mandi darah, sambil mengeluarkan teriakan keras.

   Kini bermunculan banyak prajurit. Tidak kurang dari dua puluh orang banyaknya. Ada yang memondong tubuh seorang wanita, ada pula yang membawa barang atau menuntun hewan ternak. Akauw juga sudah mengamuk dan kini dia sudah dikeroyok banyak prajurit yang menggunakan golok. Akauw mengamuk dengan pedangnya dan sebentar saja sudah ada enam orang yang roboh oleh pedangnya.

   Ji Goat juga membantunya dan lebih banyak lagi pengeroyok roboh. Akan tetapi yang di serang oleh Ji Goat hanya mereka yang memondong wanita dan setiap penculik wanita itu pasti di bunuhnya tanpa ampun lagi. Tiba-tiba terdengar jeritan dari rumah dimana mereka bermalam. Mendengar ini Ji Goat meninggalkan Akauw dan lari ke arah rumah itu. Ketika masuk, ia mendengar pergumulan dikamar dan terdengar jeritan Giok Hwa. Cepat di tendangnya daun pintu kamar terbuka dan mukanya berubah merah saking marahnya melihat seorang prajurit tinggi besar bermuka hitam yang sedang berusaha memperkosa Giok Hwa.

   "Jahanam busuk!" Ji Goat berseru dan karena tidak mau membunuh orang dalam kamar itu, ia menjambak rambut si prajurit dan menariknya keluar. Prajurit itu kaget dan hendak meronta, akan tetapi dia tidak dapat melepaskan jambakan itu. Tubuhnya terseret keluar dan ketika tiba di luar rumah baru dia di lepaskan.

   "Kurang ajar!" bentaknya sambil mencabut goloknya. Ternyata dia berpakaian opsir, mungkin dia pemimpin gerombolan itu. Goloknya menyambar-nyambar dengan cepatnya dan ilmu silatnya lebih baik daripada yang lain. Akan tetapi dia berhadapan dengan murid Toat-beng Giam-ong, Koksu dari Kerajaan Toba! Biarpun dia sudah mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga, tetap saja dalam waktu belasan jurus, dia roboh dengan leher hamper putus terbabat pedang di tangan Ji Goat yang sudah marah sekali!.

   Para prajurit yang melihat betapa opsirnya tewas, juga setengah jumlah mereka sudah roboh, segera melarikan diri di tengan malam itu, meninggalkan semua barang rampokannya. Orang-orang dusun keluar dari rumah mereka dan semua orang menjadi ketakutan. Kepala dusun itu segera menjatuhkan diri berlutut di dapan Akauw dan Ji Goat.

   Taihiap, bagaimana dengan kami ini? Mereka tentu akan datang dengan jumlah lebih banyak dan kami yang akan menerima hukuman karena banyak tentara tewas di dusun kami," katanya dengan suara hamper menangis. Orang-orang dusun lainnya juga menjatuhkan diri berlutut.

   "Kalian bangkitlah dan jangan khawatir. Kami berdua akan tinggal di sini dan kami yang akan bertanggung jawab. Kami akan menanti sampai mereka datang dan sementara itu, kalian urus jenazah semua perampok ini, kuburkan baik-baik. Ini untuk biayanya," Ji Goat mengeluarkan beberapa potong uang emas untuk biaya penguburan.

   Setelah Ji Goat berkata demikian, barulah kepala dusun merasa agak lega dan beramai-ramai mereka mengurus mayat sembilan orang prajurit itu. Yang belum mati sudah lebih dulu melarikan diri sedapatnya dari tempat itu.

   Pada keesokan harinya tengah hari, penduduk dusun itu kembali menjadi panic karena benar seperti mereka khawatirkan, datang pasukan yang sedikitnya seratus orang ke dusun itu. Pasukan ini di pimpin oleh seorang perwira gendut yang nampak bengis sekali dan begitu tiba di luar rumah kepala dusun, pasukan itu berhenti dan si perwira membentak dengan suara nyaring.

   "Dimana pemberontak yang semalam membunuh prajurit-prajurit kami? keluarlah kalau tidak kami akan membakar semua rumah di dusun ini untuk memaksa kalian keluar!".

   Ketika semua orang gemetaran dan tidak berani keluar, terdengar suara nyaring menjawab.

   "Akulah yang membunuh mereka!" dan Akauw sudah berdiri dengan tegak di depan perwira itu.

   "Dan aku juga!" terdengar bentakan lain dan munculah seorang gadis cantik yang berdiri di dekat Akauw.

   Perwira itu memandang dan dia begitu terkejut dan heran sehingga hamper dia terjatuh dari kudanya. Cepat dia melompat turun dan menghampiri Akauw dan Ji Goat.

   "Ahhh, bukankah engkau Cian-ciangkun dan Ji-Siocia?".

   "Benar dan kamilah yang telah membunuh perampok-perampok itu. Jadi mereka itu adalah anak buahmu kau suruh merampoki penduduk dusun, merampok hewan ternak mereka dan memperkosa dan menculik anak gadis mereka? Begitukah?".

   Pertanyaan yang di ajukan oleh Ji Goat ini membuat perwira itu kelihatan bingung dan gugup.

   "Ah, sama sekali tidak, Ji-Siocia. Mereka itu hanya iseng dan maklumlah, karena tugas mereka berat maka sekali waktu mereka ingin bersenang-senang."

   "Bersenang-senang dengan menculik dan memperkosa gadis-gadis orang dusun? Dan berpesta pora menyembelih hewan ternak penduduk?" Ji Goat mendesak dengan kata-katanya dan perwira itu menjadi kehabisan akal untuk menjawab.

   Akan tetapi pada saat itu terdengar suara orang tertawa.

   "Akauw, engkau sungguh mengecewakan gurumu!" dan muncullah Thian-te Ciu-kwi di antara para pasukan itu. Melihat gurunya, Akauw terkejut dan berkata sambil memberi hormat.

   "Suhu....!"

   "Bagus, beginikah engkau melaksanakan tugasmu? Hayo kau ikut pulang ke kota raja."

   "Lo-cian-pwe, Kauw-ko sama sekali tidak bersalah. Dia melaksanakan tugas dengan baik. Ketahuilah, aku telah terluka oleh gerombolan pengacau, dan Kauw-ko membawaku ke sini untuk berobat. Kami telah menumpang tinggal di dusun ini kemudian malam tadi, dusun ini di serbu perampok yang merampas kambing dan ayam, bahkan menculik dan memperkosa wanita. Kami berdua turun tangan dan akibatnya beberapa orang perampok tewas. Sama sekali kami tidak menduga bahwa perampok itu adalah tentara anak buah perwira ini. Salahkah kami? Harap kau jangan menyalahkan muridmu."

   "Ji-siocia, tunggu sampai aku melaporkan kepada gurumu dan ayahmu. Akauw, mari kita pulang ke kota raja dan engkau harus membuat laporan kepada Sri Baginda."

   Akauw tidak berani membantah perintah gurunya.

   "Baiklah, suhu."

   Pada hari itu juga, Akauw dan Ji Goat pulang bersama pasukan itu. Mereka mendapatkanmasing-masing seekor kuda dan dengan cepat mereka kembali ke kota raja.

   Akauw lalu di bawa oleh gurunya dan oleh Koksu menghadap Sri baginda Kaisar untuk membuat laporan. Dengan terus terang dia melaporkan tentang apa yang di dengarnya dari janda itu.

   "yang Mulia, menurut apa yang hamba dengar, Gubernur Yen akan di dukung oleh seluruh rakyat dan melihat betapa orang-orang Hek I Kaipang menyerang hamba, jelaslah bahwa Hek I Kaipang mendukung Gubernur Yen."

   "Hemmm, kalau begitu, Koksu. Kerahkan pasukan dan cepat serbu Lok-yang sebelum mereka sempat memberontak. Ganti semua panglimanya dan tangkap seluruh keluarga Gubernur Yen, hukum mati semuanya, tidak boleh seorangpun lolos! "

   Persidangan itu di bubarkan dan Akauw segera di omeli gurunya.

   "Akauw, apa yang kau lakukan di dusun itu suatu kesalahan besar. mana ada panglima membunuhi anak buahnya sendiri? "

   "Akan tetapi suhu, mereka adalah orang-orang jahat yang melakukan perbuatan keji. Sudah sepatutnya kalau mereka di basmi!".

   "Huushh, enak saja engkau bicara. Engkau adalah atasan mereka, kalau mereka melakukan kesalahan, berarti engkau yang paling bersalah di antara mereka. Sebaiknya engkau melaporkan kalau melihat mereka melakukan pelanggaran, agar mereka di hokum, bukannya engkau turun tangan sendiri membunuhi mereka. Pula, apa yang mereka lakukan itu tidak dapat terlalu di salahkan. Mengambili ayam dan kambing rakyat sudah semestinya, mereka berjaga dengan keras demi keamanan rakyat, apa salahnya kalau rakyat menyumbang mereka dengan sedikit makanan?".

   "Tapi mereka juga menculik dan memperkosa wanita!".

   "Ha-ha-ha itu sudah biasa. Mereka jauh dari keluarga. Mereka sudah lama di jauhkan dari wanita, maka sekali-sekali boleh saja mereka bersenang-senang, ha-ha-ha!".

   Akauw merasa muak sekali mendengar pendapat gurunya ini. Pelajaran tentang susila yang di dapat dari kakekk Yang Kok It, terutama dari suhengnya, masih membekas di hatinya dan apa yang di ucapkan gurunya ini benar-benar membuatnya merasa penasaran dan muak.

   "Suhu, sekarang juga aku keluar dari pekerjaanku sebagai panglima!".

   Thian-te Ciu-kwi yang sedang tertawa itu tiba-tiba menghentikan tawanya dan dia menoleh ke kanan kiri. Mereka berada di taman ruang gedung koksu dan tidak ada yang mendengar ucapan muridnya itu.

   "Akauw, apakah engkau sudah gila? Engkau mendapatkan kedudukan terhormat di sini, dan engkau
hendak keluar?".

   "Benar, suhu. Sebetulnya sejak lama aku hendak keluar. Aku berada di sini hanya mengikuti suhu dan pernah aku mengatakan kepada suhu bahwa aku mau bekerja asalkan tidak di suruh melakukan perbuatan jahat. Aku telah melaksanakan tugas dengan baik. Akan tetapi sekarang suhu membenarkan perbuatan yang amat jahat, dan aku tidak ingin terlibat."

   "Lalu engkau hendak pergi kemana?" sepasang mata itu memandang penuh selidik dan kecurigaan.

   "Aku hendak melanjutkan perantauan ku dan aku tidak mau lagi kut suhu."

   "Hemm, engkau murid murtad! Kalau engkau pergi, serahkan Hek-liong Po-kiam kepadaku!".

   "Tidak suhu. Ini adalah pedangku sendiri, aku tidak mendapatkannya dari siapapun juga. Tidak akan ku berikan kepada siapapun."

   "Akauw, engkau tidak menaati perintahku! Berikan pedang itu kepadaku dan aku akan mengampunimu, dan membiarkan engkau pergi. Semestinya aku menghukum mu karena engkau tidak taat, akan tetapi kalau kau berikan pedang itu, ku ijinkan engkau pergi."

   "Tidak, suhu. Pedang ini bukan pemberian suhu, tidak akan kuberikan kepadamu."

   "Eh, berani engkau membantah perintahku? Berikan, atau aku hendak menggunakan kekerasan untuk mendapatkannya!".

   Setelah berkata demikian, Thian-te Ciu-kwi mencabut pedangnya dengan sikap mengancam.

   "Suhu, terlalu mendesak. Apa boleh buat, kalau suhu hendak merampas Hek-liong Po-kiam, aku akan mempertahankan!" kata Akauw yang kini yakin benar bahwa dia telah keliru memilih guru, dia mengambil keputusan untuk melawan. Selama ini dia memang memperoleh petunjuk untuk memperdalam ilmu silatnya dari Thian-te Ciu-kwi, akan tetapi sebaliknya gurunya itu juga mempelajari ilmu silat yang di latihnya dari lukisan-lukisan dinding dalam guha. Hanya suhunya tidak dapat melatih ilmu itu karena setiap kali suhunya mencoba untuk berlatih, selalu suhunya merasa tenaganya membalik. Melihat betapa suhunya hendak memaksanya menyerahkan Hek-liong po-kiam, dia bertekad untuk mempertahankannya.

   "Singggg..."..! "Diapun mencabut pedang itu dari sarungnya dan bersiap siaga untuk melawan gurunya.

   Pada saat itu terdengar suara tawa yang aneh, akan tetapi suara tawa itu mengandung getaran hebat sekali sehingga Akauw merasa jantungnya berdebar dan tubuhnya gemetar! Dan nampak bayangan hitam berkelebat menerjangnya. Karena dia masih terpengaruh suara ketawa tadi, gerakan Akauw kurang cepat dan tiba-tiba dia merasa lengannya yang memegang pedang menjadi lemas dan pedang itu tahu-tahu sudah berpindah tangan! Dia terkejut sekali dan memandang.

   Seorang kakek raksasa yang berkulit hitam telah memegang pedangnya dan mengamati pedang itu sambil tertawa bergelak.

   "Bagus! Bagus sekali! Inilah pedang yang tepat untuk aku, ha-ha-ha-ha!"

   Ketika Thian-te Ciu-kwi melihat orang hitam itu, dia pun terbelalak. Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam).....!".

   
Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ha-ha-ha, Ciu-kwi engkau masih mengenal aku? Bagus, bagus, ini membuktikan bahwa ingatanmu masih kuat. Belasan tahun telah lewat dan engkau masih ingat kepadaku!".

   "Hek-liong-ong, engkau tidak boleh mengambil pedang itu!" kata Thian-te Ciu-kwi, akan tetapi ucapannya bernada lemah seolah dia takut kepada kakek raksasa hitam itu.

   "Hemmm, pedang inipun bukan milikmu, melainkan milik orang muda ini. Engkau berani menghalangi aku! Boleh kau coba untuk merebutnya dari tanganku kalau berani!".

   "Hek-liong-ong, pemuda ini adalah muridku. Lihatlah mukaku dan kembalikan pedang ini kepadanya".

   "Ha-ha-ha, untuk kemudian engkau rampas darinya? Tidak, Ciu-kwi, tidak ada orang yang dapat mengambil pedang ini dariku!" kembali dia mengamati pedang itu dan melihat gambar ukiran naga di pedang hitam itu dan huruf-huruf kecil yang mengukir nama pedang.

   "Hek-liong Po-kiam! Hek-liong Po-kiam menjadi milik Hek-liong-ong, sudah tepat sekali, bukan? Ha-ha-ha!".

   "Kembalikan pedangku!" Bentak Akauw dan dengan nekad dia menubruk maju, menggunakan jurus dari Bu-tek Cin-keng, tangan kanan membuat gerakan mendorong, tangan kiri membuat gerakan menarik ke arah pedang.

   Kakek hitam itu terkejut bukan main. Dia dapat merasakan tenaga yang berlawanan itu, dan membuatnya terpaksa melangkah ke depan. Akan tetapi sebelum Akauw dapat merampas pedangnya, dia menggerakkan tangan kiri dan hawa pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Akauw, sehingga serangan Akauw dengan sendirinya gagal, kakek raksasa hitam itu memandang heran kepada Akauw dan dengan terkejut pula dia melirik ke arah Thian-te Ciu-kwi. Kalau muridnya memiliki pukulan yang begini aneh dan ampuh, apalagi gurunya. Agaknya pukulan Akauw tadi membuatnya jerih terhadap Thian-te Ciu-kwi, maka diapun lalu melompat jauh meninggalkan tempat itu.

   "Jangan lari..."..!" Akauw melompat, mengejar akan tetapi kakek itu telah lenyap dari situ.

   Terpaksa Akauw kembali kepada gurunya.

   "Suhu, aku harus merebut kembali pedangku itu. Siapakah kakek itu dan dimana tinggalnya?".

   Thian-te Ciu-kwi mengenal kesaktian Hek-liong-ong dan dia merasa tidak sanggup menandinginya. Apalagi dia, bahkan Toat-beng Giam-ong sendiri pernah tunduk kepada raksasa hitam itu, maka setelah kini Hek-liong Po-kiam terampas, biarlah Akauw yang berusaha mendapatkan kembali. Kalau sudah di tangan pemuda ini, mudah baginya untuk merampasnya kelak.

   "Dia berjuluk Hek-liong-ong dan tempat tinggalnya di Pulau Naga di Laut Timur."

   "Selamat tinggal, suhu. Aku akan pergi mencarinya! Harap pamitkan kepada keluarga Ji, terutama sekali nona Ji Goat.

   "Setelah berkata demikian. Akauw segera lari meninggalkan gurunya, menuju ke timur untuk mengejar kakek yang telah merampas Hek-liong Po-kiam.

   "Apa kau bilang.....?" Perdana Menteri Ji membentak putrinya.

   "Ayah, aku melihat dengan mata kepala sendiri. Rakyat amat membenci pemerintah penjajah Mongol. Kalau kita orang han mengabdi kepada pemerintah penjajah, rakyatpun akan membenci kita. Apakah ayah suka kalau rakyat mengatakan bahwa kita adalah pengkhianat bangsa yang membantu orang asing menjajah dan menyengsarakan mereka, bangsa kita sendiri?".

   "Anak bodoh, mendengar ucapan rakyat yang bodoh pula! Kau kira untuk siapa aku ini bekerja kepada kerajaan ini sampai memperoleh kedudukan tinggi dan mulia? Justeru aku bekerja ini untuk rakyat. Dengan kedudukanku, aku dapat mengendalikan pemerintahan agar jangan sampai menyengsarakan rakyat jelata. Dan kau berani mengatakan bahwa aku membantu pemerintah yang menyengsarakan rakyat?".

   "Akan tetapi buktinya, ayah. Sudah banyak aku melihat betapa para pembesar melakukan korup, menindas rakyat bahkan para serdadu biasa saja berani merampok dan membunuh semena-mena. Nama keluarga kita akan ikut di kutuk rakyat, ayah."

   "Hemmm, kalau para pejabat korupsi, salahkukah itu? Dan kalau ada tentara yang berbuat jahat, salahkah itu? Itu semua hanya pelanggaran dan di jaman apa pun kejahatan selalu ada. Akan tetapi pemerintah tidak menyuruh anak buahnya bertindak begitu."

   "Ayah, ini berarti bahwa pemerintahnya buruk. Dan ayah sebagai seorang yang duduk di atas, kenapa tidak mampu mencegah semua perbuatan itu? Karena kaisar juga tidak bertindak apa-apa.

   Selama ini ku lihat kaisar hanya bersenang-senang, sama sekali tidak memperdulikan rakyat. bahkan sekarang aku menyangsikan Gubernur Yen. Gubernur itu di cinta rakyat, ayah dan kalau dia memberontak, tentu akan di dukung oleh seluruh rakyat. Oleh karena itu, sebelum terlambat, sebaiknya kalau ayah mengundurkan diri......"

   "Plaakkk!" Perdana Menteri Ji menampar muka anaknya dan Ji Goat tidak mengelak maupun menangkis. Pipinya menjadi merah oleh tamparan itu.

   "Apakah engkau sudah menjadi gila? Dengan susah payah selama bertahun-tahun, sejak engkau belum lahir, aku merangkak sampai akhirnya mencapai kedudukan ini dan engkau, anakku yang durhaka, malah minta aku untuk mengundurkan diri? Aih, ini tentu gara-gara engkau bergaul dengan murid Thian-te Ciu-kwi itu maka pikiranmu menjadi kotor. Mulai sekarang, engkau tidak boleh bergaul dengan pemuda kasar itu dan tahun depan kita rayakan pernikahanmu dengan Lai Seng, suhengmu itu yang sekarang mulai memegang jabatan."

   Ji Goat mengerutkan alisnya. Ayahnya pernah membicarakan urusan perjodohannya dengan Lai Seng, murid gurunya atau suhengya yang jarang di temuinya itu karena Lai Seng selama ini tidak tinggal di kota raja. Akan tetapi dia tidak suka kepada suhengnya itu. Biarpun wajahnya tampan dan sikapnya halus seperti sastrawan, juga ilmu silatnya tinggi dengan senjata suling peraknya, akan tetapi ia tidak suka kepada pemuda itu, terutama sekali tidak menyukai pandangan mata yang berani dan kurang ajar itu.

   "Ayah, aku tidak mau menikah dengan suheng Lai Seng. Aku tidak sudi!".

   Setelah berkata demikian, Ji Goat meninggalkan ayahnya dan lari ke dalam kamarnya.

   Perdana Menteri Ji Menghela napas dan menggeleng kepalanya. Kini baru dia tahu bahwa dia selama ini terlalu memanjakan anak tunggalnya ini sehingga berani menentang dan membantahnya.

   Perdana Menteri Ji dengan jengkel lalu memanggil kepala pengawalnya. Setelah kepala pengawal itu datang, dia memberi perintahnya.

   "Sejak saat ini, awasi nona, jangan sampai ia keluar dari rumah. Kalau ia memaksa, beritahukan aku!".

   "Baik tai-jin." Kepala pengawal itu mundur dan alisnya berkerut. Tugas yang amat berat, pikirnya. Nona nya itu galak dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, bagaimana mungkin melarangnya meninggalkan rumah. Seperti mengurung seekor harimau betina dengan kurungan rumput saja, pikirnya. Akan tetapi dia pun cepat memanggil semua anak buahnya dan menyampaikan perintah itu kepada mereka, dan mulailah saat itu semua pengawal mengamati dan menjaga kalau-kalau gadis itu pergi meninggalkan rumah.

   Sementara itu, Ji Taijin berjalan hilir mudik di dalam ruangan itu. Apa yang di ucapkan puterinya masih terngiang di telinganya. Anaknya itu dapat menjadi berbahaya sekali, pikirnya. Bayangkan kalau apa yang di ucapkan anaknya itu terdengar orang lain, kemudian menyampaikannya kepada Koksu atau kepada kaisar. Kedudukannya dapat terancam. Dia harus segera menikahkan puterinya itu agar tidak lagi menjadi binal seperti sekarang. Selama ini, puterinya sering mengenakan pakaian pria untuk mebantunya menyelidiki para pemberontak, siapa tahu hari ini menyatakan sukanya kepada pemberontak dan menasehati dia untuk mengundurkan diri. Mengundurkan diri? Setelah menjadi perdana menteri? Gila!.

   Kedudukan mendatangkan kekuasaan. dan setiap orang manusia mendambakan kekuasaan ini! Seorang pejabat ingin berkuasa terhadap bawahannya, seorang ayah ingin berkuasa terhadap anak-anaknya, seorang ibupun demikian bahkan kalau mungkin ingin berkuasa terhadap suaminya, seorang anak ingin berkuasa terhadap adik-adiknya atau teman-temannya. Kekuasaan mendatangkan nikmat karena dengan kekuasaan itu orang bisa mendapatkan segala yang di kehendakinya. Oleh karena itu, wajar jika seseorang memegangi kedudukannya kuat-kuat, dan akan melakukan segala daya untuk tetap menguasainya. Kalau perlu dengan taruhan nyawa. Orang-orang saling berebutan sehingga terjadi bentrokan, bahkan perang.

   Ketika sedang memperebutkan kekuasaan, orang mencari pendukung dengan sumpah bahwa kalau ia mendapatkan kekuasaan itu, dia akan menjadi penguasa yang adil dan yang melindungi kepentingan orang terbanyak. Akan tetapi sungguh sayang sekali, hanya dapat di hitung dengan jari saja penguasa yang benar-benar memegang janjinya itu. Biasanya, kalau kekuasaan sudah berada di tangannya, maka kekuasaan itu akan dipergunakan demi kepentingan diri sendiri, lalu kepentingan keluarganya, lalu kepentingan kelompoknya dan melupakan kepentingan orang terbanyak, yaitu rakyat jelata. Dan kekuasaannya di perebutkan kembali, demikian seterusnya.

   Alangkah baiknya kalau penguasa mendapatkan kekuasaanya bukan karena memperebutkannya, kalau penguasa tetap memegang kekuasannya bukan karena menang berebut, melainkan dikehendaki oleh orang terbanyak atau rakyat jelata!.

   Ji Goat ingin menangis, ingin berteriak-teriak sekuatnya. Karena perasaan jengkel terhadap ayahnya. Biarpun ia sudah menduga lebih dahulu bahwa tidak mungkin ayahnya mau mendengar nasehatnya, akan tetapi setelah benar-benar ayahnya marah besar mendengar nasehatnya, ia menjadi jengkel. Apalagi ayahnya memaksanya harus menikah dengan Lai Seng! Berhari-hari ia tidak mau keluar dari kamarnya, bahkan makan pun minta di antar ke kamarnya.

   Akan tetapi ia mempunyai seorang pelayan yang amat sayang dan setia kepadanya dan kepada pelayannya inilah ia minta agar suka mendengarkan segala berita dan menyampaikan kepadanya. Dan pada suatu hari ia mendengar berita bahwa Cian-ciangkun telah mengundurkan diri dari jabatannya dan meninggalkan kota raja!

   Tentu saja Ji Goat menjadi terkejut bukan main. Ia telah mempunyai hubungan yang akrab dengan Akauw, maka mendengar bahwa Akauw pergi meninggalkan kota raja, hatinya menjadi semakin gelisah. Ia tahu bahwa Akauw mencintanya. Ia sendiri tidak tahu apakah ia juga mencinta pemuda yang jujur itu, akan tetapi yang jelas, tak dapat di ragukan lagi bahwa ia suka dan kagum kepada pemuda yang katanya dahulu hidup di antara kera itu.

   Selagi ia merasa gelisah, tiba-tiba pelayan mengumumkan bahwa Lai Seng datang berkunjung.

   "Apa-apaan dia datang berkunjung? Beritahukan kepada ayah, bukan kepadaku!" katanya tegas kepada pelayan.

   Ketika itu dara ini sedang melamun di taman, gelisah memikirkan berita tentang kepergian Akauw dari kota raja. Ia tidak tahu bahwa selama ini gerak-geriknya selalu di intai oleh para pengawal, bahkan ketika ida duduk di taman, para pengawalpun mengintai dari jauh, menjaga kalau-kalau gadis itu akan pergi meninggalkan rumah.

   "Sumoi, aku datang bukan untuk ayahmu, bahkan oleh ayahmu aku di suruh menemuimu di sini," tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki dan muncullah Lai Seng. Pemuda ini adalah pemuda yang pernah menyeludup ke dalam Hek I Kaipang dan yang senjatanya suling perak. Akan tetapi sekali ini dia tidak menyamar. Dia memang seorang yang telah di angkat panglima oleh gurunya, yaitu oleh Koksu, jauh sebelum Akauw datang ke kota raja. Dia mendapat tugas untuk menyeludup di Hek I Kaipang namun usahanya itu gagal. Dan sekarang dia kembali ke kota raja dan kini pakaiannya gagah sekali, pakaian panglima dengan pedang panjang di pinggangnya. Pemuda ini memang cukup tampan, dan sebagai murid Lui Koksu tentu saja ilmunya lihai.

   "Mau apa engkau datang ke sini, suheng? Aku tidak mengundangmu!" kata Ji Goat dengan suara yang angkuh.

   "Aih, sumoi. Kita adalah saudara seperguruan, bukan? Mengapa engkau bersikap tidak ramah kepadaku? Apa salahku kepadamu, sumoi?".

   "Apa salahmu, aku tidak peduli. Aku sedang pusing, pergilah tinggalkan aku seorang diri, suheng!".

   "Kalau engkau sedang pusing, biarlah aku menjadi obatnya, kalau engkau sedang berduka, biarlah aku menjadi penghiburnya, sumoi. Aku akan meniupkan lagu untuk menggembirakan hatimu!".

   Dan pemuda itu lalu mencabut suling peraknya dan meniup suling, melagukan sebuah lagu asmara yang sedang popular di saat itu.

   Ji Goat menjadi semakin gemas. Di tutupinya kedua telinganya dan ia berteriak-teriak.

   "Cukup, cukup, aku tidak mau mendengarkan lagi..."".!"

   Lai Seng menghentikan tiupan sulingnya.

   "Aih, engkau sedang risau, sumoi? Biarlah ku bacakan sajak untukmu....." Dia lalu membaca sajak dengan suara seperti orang bernyanyi.

   "Andaikan engkau menjadi air, adinda

   Biarlah aku menjadi telaganya

   Andaikan engkau menjadi api, adinda

   Biarlah aku menjadi bahan bakarnya.

   Andaikan engkau menjadi bunga, adinda

   Biarlah aku menjadi tangkainya!

   Betapa hati ini ingin menyentuh

   Betapa hati ini ingin membelai

   Betapa...""..

   "

   "Sudah cukup! Suheng, kalau engkau tidak lekas pergi dari sini, aku akan memanggil pengawal untuk mengusirmu!".

   "Tapi, sumoi, pengawal-pengawalmu tidak akan berani mengusirku, karena aku memang di suruh ayahmu untuk menghiburmu."

   Ji Goat membanting kaki kanannya tanda bahwa ia marah sekali.

   "Kalau begitu, biar aku yang mengusirmu!".

   "Aihh, sumoi. Tidak tahukah engkau bahwa aku amat menyayangmu? Biarpun kita jarang sekali berjumpa, akan tetapi sejak pertama kali melihatmu, wajahmu selalu terukir di hatiku dan..."".."

   "Cukup, aku tidak mau mendengarnya lagi!".

   "Akan tetapi, sumoi. Ayahmu telah menjodohkan engkau dengan aku. Kalau kita sudah menjadi suami istri, bagaimana engkau tidak akan mendengarkan ucapanku. Sumoiku yang terkasih, tahun depan kita menikah..."..."

   "Singgggg!" Ji Goat mencabut pedangnya.

   "Kalau engkau tidak menutup mulutmu dan pergi dari sini, aku akan melupakan bahwa engkau murid suhu dan aku akan menyerangmu."

   "Aihhh, sumoi. Kita ini tunangan, calon suami istri."

   "Aku bukan tunanganmu, aku tidak sudi berjodoh dengan engkau! "

   "Akan tetapi ayahmu dan suhu sudah setuju, tinggal menentukan hari perkawinan kita......"

   "Pergi atau tidak kau!" Ji Goat menodongkan pedangnya.

   "Ha-ha, engkau mengajakku bermain-main? Mari kita latihan sebentar kalau itu yang kau hendaki, kekasihku!" Suling di tangan Lai Seng bergerak menangkis.

   "Traannggg..."!" Bunga api berpijar ketika suling bertemu pedang. Hal ini membuat Ji Goat sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan iapun menyerang kalang kabut dengan marah sekali.

   Berulang kali terdengar bunyi nyaring ketika pedang bertemu suling dan kedua orang ini memang memiliki ilmu silat yang sama, bahkan tingkat mereka juga tidak berselisih jauh. Mungkin Lai Seng menang tenaga, akan tetapi sebaliknya Ji Goat menang cepat, maka terjadilah pertandingan yang seru. Mereka bukan lagi main-main atau berlatih karena desakan Ji Goat amat berbahaya dan membuat Lai Seng harus melindungi dirinya benar-benar.

   Semua itu nampak oleh pengawal yang segera melapor kepada Perdana Menteri Ji. Orang tua ini lalu tergopoh-gopoh lari memasuki taman dan berteriak.

   "Ji Goat, hentikan ini..."..!" Dia membentak. Mendengar bentakan ayahnya ini, Ji Goat menghentikan serangannya dan ia berdiri membelakangi ayahnya dengan wajah cemberut. Lai Seng cepat memberi hormat kepada Perdana Menteri itu.

   "Ada apa ini, Lai Seng?" Tanya sang perdana menteri, sambil memandang kepada pemuda itu.

   "Tidak apa-apa, paman. Sumoi mengajak berlatih dan kami hanya berlatih silat."

   "Tidak, ayah. Aku memang hendak membunuhnya!" Ji Goat berkata ketus.

   Ayahnya terkejut dan berkata kepada Lai Seng dengan suara halus.

   "Lai Seng, engkau tinggalkan dulu kami berdua."

   "Baik, paman. Sampai berjumpa kembali, sumoi." Biarpun tidak mendapat jawaban, namun pemuda itu tetap tersenyum dan pergi meninggalkan mereka.

   Setelah pemuda itu pergi, Menteri Ji marah kepada puterinya.

   "Ji Goat, sikapmu ini sudah keterlaluan,apa kesalahan Lai Seng sehingga engkau bersikap seburuk ini?".

   "Dia mengganggu ketenanganku di sini ayah. Tidak mau ku usir pergi. Ayah, aku tidak sudi menikah dengan orang itu."

   "Ji Goat, pertunanganmu sudah kami bicarakan dengan matang. Aku dan gurumu sudah setuju. Apakah engkau hendak membantah ayahmu dan juga gurumu. Anak dan murid macam apa engkau ini? Kalau Koksu mendengat tentang sikapmu kepada muridnya yang sudah di anggap puteranya itu, tentu aku menjadi tidak enak kepadanya."

   "Aku tidak peduli, ayah. Juga kepada suhu akan ku katakana bahwa aku tidak sudi menikah dengan suheng!".

   "Anak durhaka! Engkau yang selama ini ku sayang. Kini, berani membantah kehendak orang tua?" Perdana Menteri Ji yang biasanya amat memanjakan Ji Goat, kini marah benar-benar dan lari ke kamarnya.

   Perdana Menteri Ji memanggil para pengawalnya dan sekali lagi menekankan agar menjaga dengan hati-hati. Siang malam puterinya yang tinggal di kamarnya itu harus di awasi secara diam-diam.

   "kalau sampai ia melarikan diri, kalian harus mencegahnya, kalau perlu dengan kekerasan mengepungnya. Awas, kalau sampai ia lolos dan lari, kalian akan mendapat hukuman berat."

   Tentu saja para pengawal menjadi khawatir sekali. Bagaimana mungkin menghalangi kalau puteri itu hendak melarikan diri? Mereka lalu memasang penjagaan siang malam dengan bergilir, bahkan komandan pengawal tidak pernah pulang ke rumahnya, melainkan terus ikut menjaga. Semua orang menjadi sibuk dengan urusan itu.

   Sementara itu di dalam kamarnya Ji Goat menangis. gadis ini jarang menangis. Ia adalah seorang yang sejak kecil mempelajari ilmu silat dan menjunjung tinggi kegagahan, maka sejak kecil ia pantang untuk menjadi cengeng seperti anak-anak perempuan lainnya. Akan tetapi sekali ini ia menangis terisak-isak. Ia marah sekali dan yang membuatnya bersedih adalah karena ia memikirkan ayahnya. Ia amat sayang kepada ayahnya, lebih sayang daripada kepada ibunya. Ayahnya sejak kecil amat memanjakannya dan sekarang ayahnya berubah sikap menjadi galak dan hendak memaksanya menikah dengan seorang pria yang tidak di sukainya. Ia mengambil keputusan untuk minggat, akan tetapi kalau teringat kepada ayahnya yang sudah tua, ia menangis sedih. Ayahnya tidak mau mengundurkan diri, berarti akan tetap menjadi Perdana Menteri. Bagaimana kalau sampai terjadi pemberontakan dan ayahnya menjadi korban kemarahan rakyat? Ia menjadi sedih sekali.

   Ji Goat mengambil keputusan untuk minggat saja kalau ayahnya memaksa ia menikah dengan Lai Seng. Di cobanya untuk menghubungi ibunya malam itu.

   "Ibu, engkau harus menolongku, ibu," tangisnya di pangkuan ibunya.

   Ibunya mengelus rambut puterinya.

   "Ji Goat, ayahmu tentu tahu apa yang terbaik untukmu. Dia tidak akan sembarangan saja memilih suami untukmu. Aku mendengar bahwa pemuda she Lai itu kakak seperguruanmu sendiri dan kabarnya dia cukup tampan dan baik. Ayahmu tidak akan mencelakakan hidupmu, Ji Goat."

   "Ah, ibu, mengapa malah membenarkan ayah? Aku minta agar ibu membujuk ayah supaya pertunangan itu di batalkan!".

   "Akan tetapi kenapa, Ji Goat? Kenapa harus di batalkan?".

   "Tidak mengertikah ibu, aku belum ingin menikah. Aku ingin tinggal bersama ayah dan ibu!".

   "Ji Goat, usiamu sudah hamper sembilan belas tahun! Engkau tidak bisa selamanya tinggal bersama ayah dan ibumu."

   "Ibu, haruskah ku jelaskan lagi? Aku tidak suka padanya, aku tidak mencintanya. Haruskah aku menikah dengan pria yang tidak ku cinta? Lebih baik selama hidup aku tidak menikah! "

   Gadis itu menangis lagi dan kini tangisnya lebih sedih karena ia tahu bahwa dari ibunya ia tidak dapat mengharapkan bantuan. Ibunya sependapat dengan ayahnya pula, andaikata tidak begitu, ibunya juga tidak berani membantah kehendak ayahnya. Satu-satunya jalan hanya minggat!.

   Ji Goat diam-diam mempersiapkan segalanya. Ia berkemas dan hanya pelayan yang dipercayainya itu saja yang mengetahui bahwa nonanya berkemas untuk pergi. Membawa buntalan pakaian, membawa perhiasan. Akan tetapi nonanya menanti saat baik. Darinya nonanya tahu bahwa penjagaan kini diperketat, dan agaknya para pengawal akan menghalangi kepergiannya.

   Ji Goat menanti setelah malam gelap. Mendung di luar dan langit gelap tidak nampak sebauhpun bintang, apalagi bulan. Ia berpakaian ringkas, pakaian wanita biasa, bukan seperti pakaian pria seperti biasanya. Lalu ia keluar dari kamarnya, menggendong buntalan pakaiannya dan membawa pedang di punggungnya.

   Baru beberapa langkah keluar dari kamarnya saja, sudah muncul beberapa orang pengawal dengan tombak di tangan. Mereka melintangkan tombak menghadang dan seorang di antara mereka berkata.

   "Atas perintah Perdana Menteri, tak seorangpun di perbolehkan meninggalkan rumah."

   "Tahan, tidak lihat engkau dengan siapa engkau bicara?" bentak Ji Goat marah.

   "Maaf, nona. Kami tahu bahwa kami berhadapan dengan Ji-siocia, puteri Perdana Menteri, akan tetapi ayah nona yang memerintahkan kami melarang nona keluar."

   "Kalian berani?"

   "Kami hanya menaati perintah!" kata seorang di antara mereka dan yang seorang lagi sudah meniup sempritan tanda bahaya.

   "Haiitttt.....!" Ji Goat bergerak di antara tombak mereka dan dua kali tangannya menampar, dua orang pengawal itu pun roboh. Akan tetapi kini datang banyak pengawal, dua puluh orang banyaknya dan mereka semua mengepung Ji Goat!.

   "Nona, di larang pergi, kalau memaksa, kami menggunakan kekerasan!".

   Ji Goat maklum bahwa tidak dapat di bujuk orang-orang ini yang tentu saja takut kepada ayahnya, maka iapun sudah mencabut sepadang pedang pendeknya lalu mengamuk. Kasihan sekali para pasukan pengawal itu. Tentu saja mereka bukan lawan Ji Goat dan biarpun mereka berusaha melawan dan menangkis, tetap saja gulungan dua sinar pedang di tangan Ji Goat merobohkan mereka satu demi satu. Ada yang terluka ringan, akan tetapi ada pula yang parah sehingga tidak mampu bangkit kembali. Seorang pengawal cepat lari untuk melapor kepada Perdana Menteri Ji Sun Cai.

   Akan tetapi ketika pembesar ini berlari ke tempat itu dia hanya melihat para pengawalnya rebah malang melintang dalam keadaan luka-luka, sedangkan Ji Goat sudah lama menghilang di kegelapan malam.

   Bukan main marah nya Perdana Menteri Ji. Malam itu juga dia mengundang Koksu Lui dan minta bantuannya agar menangkap kembali puterinya yang melarikan diri. Mendengar permintaan itu, Koksu Lui tersenyum. Sepantasnya dia marah karena malam-malam begini Perdana Menteri Ji mengundangnya hanya untuk mengurus hal yang sekecil itu. Akan tetapi dia dapat mengerti betapa khawatir perdana menteri itu atas puterinya yna menjadi anak tunggal. Tentu saja dia tidak mau merendahkan diri untuk melakukan pengejaran terhadap muridnya dengan turun tangan sendiri.

   "Harap taijin tidak khawatir," katanya menghibur.

   "Saya akan menyuruh murid saya Lai Seng untuk melakukan pengejaran. Pemuda itu cukup cerdik dan tentu akan dapat melacaknya dan mengajaknya pulang."

   "Kalau Lai Seng dapat mengajaknya pulang, saya akan langsung saja menikahkan mereka," kata Ji- taijin sambil mengepal tinju.

   "Itu baik sekali, taijin. Akan saya sampaikan kepada Lai Seng dan saya percaya janji itu akan membuat dia lebih bersemangat dalam usahanya mencari puterimu."

   Lui-Koksu berpamit pulang dan malam itu juga dia memberitahu kepada Lai Seng dan menyuruh murid itu melacak jejak ji Goat.

   "Perdana Menteri sudah berjanji kepadaku bahwa kalau engkau dapat membawa pulang puterinya, engkau akan langsung saja di nikahkan dengan puterinya itu."

   "Baik, suhu, malam ini juga teecu akan berangkat menacri sumoi Ji Goat!" kata pemuda itu penuh semangat. Memang dia sudah tergila-gila kepada gadis yang di tunangkan padanya itu, bukan saja tergila-gila atas kecantikannya, akan tetapi juga atas kedudukannya. Kalau dia menjadi mantu Perdana Menteri, tentu saja martabatnya akan terangkat naik tinggi sekali!.

   Ji Goat melarikan diri ke selatan. Ia sudah mendengar beritanya akan Coa-ciangkun yang gagah perkasa, yang selama ini menjaga perbatasan selatan dengan gigih dari serangan Kerajaan Sun di selatan. Dan ia sudah mendengar pula bahwa Kaisar memerintahkan bahwa panglima itu harus mengundurkan pasukannya, bahkan ada berita panglima itu di panggil pulang ke kota raja. Juga dia mendengar bahwa Gubernur Gak di Nam-kiang mempunyai hubungan baik dengan panglima itu, karenanya gubernur inipun menjadi perhatian ayahnya dan Koksu. Ia ingin pergi ke daerah itu, ingin menyelidiki apa sebetulnya yang telah terjadi disana. Ayahnya tidak menyimpan rahasia terhadap dirinya. Pernah ayahnya menceritakan bahwa satu-satunya jalan untuk menguasai raja-raja muda di selatan, adalah mengajak damai dan bersatu dengan Kerajaan Sun yang selama ini menjadi saingan dan musuh besar. Karena itu, ayahnya dan Koksu mengusulkan kepada kaisar untuk memperbaiki hubungan dengan Kerajaan Sun dank arena itulah maka Panglima Coa di minta untuk menarik mundur pasukannya.

   Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Perbatasan antara wilayah Kerajaan Toba dan Kerajaan Sun terdapat di sepanjang Sungai Huai. Seberang utara termasuk wilayah Kerajaan Toba, dan Kerajaan Sun wilayahnya berada di sebelah selatan sungai itu. Seringkali terjadi perang dan pertempuran di sungai itu, dimana perahu-perahu mereka kadang menyeberang untuk melakukan penyerangan. Akan tetapi semenjak Panglima Coa menerima perintah untuk mengundurkan pasukannya, tidak pernah lagi terjadi bentrokan. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa Panglima Coa menarik mundur pasukannya. Dia tetap mempertahankan perbentengan di sebelah utara Sungai Huai. Wilayah ini termasuk wilayah daerah Nam-kiang yang di pimpin oleh Gubernur Gak.

   Pada suatu hari, seorang gadis yang berpakaian sederhana namun bersih, berjalan seorang diri menuju ke kota Tiong-ho-koan yang berada kurang lebih tiga puluh li dari perbatasan. Gadis ini sederhana saja pakaiannya, namun wajahnya amat manis dan jelita sehingga agak janggal juga melihat sepasang pedang pendek yang tergantung di punggung, orangpun akan mengerti bahwa gadis ini tentu seorang gadis kang-ouw yang ahli silat sehingga ia memiliki kepandaian dan mampu menjaga diri sendiri.

   Kalau orang mengenal siapa gadis itu, dia tentu tidak merasa heran lagi karena gadis itu adalah Ji Goat, puteri Perdana Menteri Ji, murid Toat-beng Giam Ong atau Liu Kok-su yang sakti. Gadis ini memiliki ilmu kepandaian tinggi maka pantaslah kalau ia berani melakukan perjalanan sampai sedemikian jauhnya dari kota raja.

   Pada masa itu, karena pemerintahan lemah, maka para penjahat bermunculan, banyak sekali gerombolan perampok merajalela dimana-mana. Ada perampok-perampok biasa yang memang terdiri dari orang jahat yang enggan bekerja melainkan hendak mencari kesenangan dengan mudah, yaitu mencuri dan merampok. Ada pula perampok berpakaian seragam, yaitu para anak buah pasukan yang suka meliar dan merampok, mengandalkan pakaian dan gerombolan mereka.

   Ketika Ji Goat berjalan seorang diri di lereng bukit itu, tiba-tiba bermunculan belasan orang yang kelihatan kasar dan bengis. Ini adalah gerombolan perampok yang biasa menghadang orang lewat di daerah itu, terkenal sebagai gerombolan perampok ganas, di kepalai oleh seorang yang bermuka bopeng dan bertubuh tinggi besar. Melihat bahwa yang mereka hadang seorang gadis yang demikian cantik jelita, kepala perampok itu berkata sambil tertawa bergelak.

   "Aduh cantiknya. Kawan-kawan, bagaimana kalau gadis ini menjadi isteriku, apakah sudah cocok?".

   "Cocok sekali, twako!" seru para anak buahnya yang enam belas orang itu serentak dan mereka tertawa-tawa gembira.

   Si muka bopeng itu lalu melangkah maju menghadapi Ji Goat.

   "Nona manis, engkau sudah mendengar sendiri kata kawan-kawanku. Engkau cocok untuk menjadi isteriku. Siapakah namamu, nona?"

   Sebetulnya hati Ji Goat sudah panas sekali dan ia marah, akan tetapi ia tersenyum mengejek, lalu berkata.

   "mau tahu namaku? Namaku adalah Pemukul Anjing bopeng."

   "Hehhh....?" Kepala perampok itu mendengus heran.

   "Dan karena engkau ini anjing besar yang bopeng, sebaiknya cepat menggelinding pergi dari sini sebelum ku pukul kepalamu!" tambah lagi Ji Goat.

   "Bangsat kurang ajar!" Kepala perampok itu memaki berang. Dia dimaki anjing bopeng di depan semua anak buahnya. Biarpun dia tergila-gila kepada gadis cantik itu, akan tetapi makian itu membuat gilanya berubah menjadi marah sekali.

   "Tangkap ia hidup-hidup!" bentaknya kepada anak buahnya.

   Para perampok itu tidak usah di perintah dua kali, sudah biasa bagi mereka untuk menangkapi kambing, sapi, kerbau atau ayam, menggotong barang-barang rampasan, dan menangkap memanggul seorang gadis untuk diperkosa. Maka, mendengar bahwa mereka di suruh menangkap gadis cantik itu, mereka seperti berlomba untuk lebih dulu dapat meringkus dan merangkul gadis itu.

   Akan tetapi, siapa yang lebih dulu menerjang gadis itu, dialah yang lebih dulu terjengkang atau terpelanting roboh dan sekarat, karena pedang Ji Goat telah menyambar. Begitu cepatnya gadis itu mencabut sepasang pedangnya sehingga tidak nampak oleh orang-orang itu dan begitu dia mengelebatkan pedangnya, mereka yang berada paling depan roboh bergelimpangan. Dalam waktu beberapa menit saja empat orang sudah roboh dan sekarat. Melihat ini, yang lain mundur dan kepala perampok menjadi semakin marah.

   "Serang dengan senjata!".

   Semua perampok mencabut golok masing-masing dan kepala perampok itupun sudah memainkan golok besarnya mengeroyok Ji Goat. Namun gadis itu tidak menjadi gentar, ia mengamuk dengan sepasang pedangnya dan tidak mudah bagi para perampok itu untuk mendekatinya. Siapa terdekat tentu akan di sambar sinar pedang dan roboh!.

   Akan tetapi kepala perampok itu cukup lihai. Dia dapat menangkis sambaran pedang Ji Goat dan dapat membalas pula, di bantu oleh para anak buahnya. Sudah tujuh orang anak buahnya roboh, akan tetapi masih ada sepuluh orang lagi dan kini mereka mengeroyok Ji Goat dengan hati-hati karena maklum bahwa gadis itu sama sekali tidak boleh di pandang ringan.

   Ji Goat menjadi semakin marah sekali. Dengan pedangnya ia mengamuk, mengeluarkan suara melengking panjang dan kembali tiga orang anak buah perampok menjerit dan roboh bergelimpangan mandi darah. Pada saat itu muncul seorang pemuda yang bukan lain adalah Lai Seng, murid Lui Koksu atau suheng dari Ji Goat sendiri. Tanpa banyak cakap lagi Lai Seng lalu menyerbu dan sulingnya mengeluarkan cahaya gemerlapan putih ketika menyambar-nyambar. Pertama kali adalah kepala perampok muka bopeng itu yang menjadi korban hantaman sulingnya. Ketika Ji Goat melihat datangnya pemuda ini, pedangnya juga merobohkan dua orang pengeroyok lagi. Melihat kepala perampok sudah roboh maka sisa anak buahnya yang hanya tinggal lima orang itu lalu melarikan diri cerai berai meninggalkan belasan orang rekannya yang sudah rebah malang melintang dengan mandi darah.

   Ji Goat berdiri saling pandang dengan Lai Seng. Biarpun mereka kakak beradik seperguruan, namun mereka tidak pernah bergaul karena Lui Koksu melatih silat gadis itu di rumah Perdana Menteri. maka antara mereka hanya saling mengenal saja akan tetapi tidak bergaul akrab. Ji Goat memang tidak begitu suka kepada suhengnya ini yang mempunyai pandang mata kurang ajar, apalagi setelah ia mendengar dari ayahnya bahwa ia hendak di jodohkan dengan suhengnya itu, rasa tidak suka itu berkembang menjadi kebencian. Kini, biarpun baru saja ia mendapat bantuan, ia memandang kepada suhengnya itu dengan alis berkerut.

   "Kenapa kau membantu aku! Aku tidak membutuhkan bantuan dan aku sendiri saja masih sanggup membasmi mereka! "katanya ketus.

   Lai Seng juga tidak begitu akrab dengan sumoinya ini karena selain mereka jarang bertemu, juga dia tentu saja harus tahu diri. Sumoinya adalah puteri Perdana Menteri, sedangkan dia hanyalah seorang perwira biasa saja murid Koksu. Akan tetapi, setelah dia oleh suhunya hendak di jodohkan dengan gadis ini, tentu saja dia menjadi lebih berani. Bukankah gadis ini telah di tunangkan padanya dan menjadi calon isterinya?.

   "Sumoi, bukankah kita ini kakak dan adik seperguruan? Tentu saja kita harus saling bantu."

   "Aku tidak butuh bantuanmu. Suheng, kenapa engkau mengikuti aku? Pergilah dan jangan mengikuti aku lagi!".

   "Sumoi, aku tidak mengikutimu, aku memang mencarimu untuk mengajakmu pulang. Marilah, sumoi, mari kita pulang ke kota raja."

   "Aku akan pulang sendiri kalau aku menghendaki. Aku tidak mau pulang sekarang. Pulanglah sendiri dan jangan mengganggu aku."

   "Tidak bisa sumoi. Aku harus pulang bersamamu. Ketahuilah, aku di utus oleh ayahmu untuk mencarimu dan membawamu pulang."

   "Aku tidak peduli siapa yang mengutusmu, pendeknya aku tidak mau pulang dan aku tidak mau pulang bersamamu, pergilah!".

   "Kalau engkau belum mau pulang, terpaksa aku harus menemanimu. Aku tidak ingin melihat tunanganku terancam bahaya dalam perjalanan."

   "Tunangan? Siapa tunanganmu?".

   "Sumoi, tentu engkau juga sudah tahu bahwa kita telah di tunangkan satu sama lain oleh suhu dan ayahmu."

   "Tidak sudi! Aku tidak sudi bertunangan dengan mu, pergilah!".

   "Aku tidak mau pergi kalau tidak bersamamu."

   "Keparat, kalau begitu aku akan terpaksa mengusirmu!" teriak Ji Goat dan iapun sudah menyerang dengan sepasang pedangnya. Lai Seng cepat menyambut dengan sulingnya dan dua orang ini lalu bertanding dengan seru. Akan tetapi betapa hebatnya Ji Goat memainkan pedangnya, tentu saja Lai Seng yang seperguruan dengannya itu sudah hafal akan gerakan sepasang pedang Ji Goat sehingga dia mampu menandingi dan mengimbangi dengan suling peraknya.

   

Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 10 Si Bayangan Iblis Eps 10 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 13

Cari Blog Ini