Ceritasilat Novel Online

Naga Sakti Sungai Kuning 26


Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Bagian 26




   Menghadapi Giok Cu yang lincah galak dan pandai bicara itu, Hong San tak mampu bersuara lagi. Mukanya berubah sebentar merah sebentar pucat karena bermacam perasaan mengaduk hatinya. Ada marah, dan malu, ada pula benci, akan tetapi juga takut. Bagaimanapun juga dia adalah putera mendiang Cui-beng Sai-kong Can Siok, pendiri Thian-te-pang yang besar. Ayahnya adalah seorang datuk sesat yang disegani dan ditakuti dunia kang ouw, oleh karena itu, bagaimanapun juga dia harus mem.perlihatkan sikap yang gagah!

   "Sing-singgggg .............!" Nampak sinar berkelebat ketika tangan kanannya mencabut pedang sedangkan tangan kiriny mencabut suling. Dia memang nampak gagah sekali. Can Hong San memiliki ketampanan yang khas karena ada darah Nepal mengalir di tubuhnya. Hidungnya terlalu mancung dan matanya yang lebar itu terlalu hitam. Hidung mancung yang agak besar dan bibir yang merah itu menunjukkan betapa dia memiliki gairah nafsu yang besar.

   Melihat ini, Yap Ciangkun berseru dengan suaranya yang berwibawa,

   "Can Hong San, menyerahlah untuk kami tangkap karena engkau menggerakkan Thian-Te-Pang melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Tidak perlu melawan karena pasukanku telah mengepung dan semua anak buahmu telah menakluk!"

   "Yap Ciangkun, perkenankanlah kami menghadapi para penjahat ini secara kami sendiri, yaitu sesuai dengan peraturan di dunia persilatan."

   "Maksudmu bagaimana, Tai-hiap?" Tanya Yap Ciangkun.

   "Can Hong San menantangku, maka terpaksa harus kulayani. Juga Bu Giok Cu mempunyai urusan dengan Ban-tok Mo-li dan Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu. Maka, kami berdua ingin menyelesaikan urusan ini melalui pertandingan silat." Yap Ciangkun mengerutkan alisnya.

   "Tapi ........... tapi justeru mereka bertiga itulah pucuk pimpinan perkumpulan sesat ini yang harus kami tangkap dan kami seret ke pengadilan. Kalau mereka mati, bagaimana kami dapat menuntut mereka?"

   "Omitohud, jangan khawatir, Ciangkun." kata Hen Bin Hwesio sambil terkekeh.

   "Ada pin-ceng (aku) di sini dan ada pula Pek I Tojin, tidak akan yang mati, ha-ha-ha!"

   "Benar, kami dua orang tua tidak suka melihat pembunuhan. Kami yang akan mencegah agar jangan ada pembunuhan." kata Pek I Tojin.

   Biarpun di dalam hatinya Giok tidak setuju dengan pendapat gurunya akan tetapi ia tidak berani membantah. Ia harus membunuh Ban-tok Mo-li untuk membalas kematian ayah ibunya.

   Yap Ciangkun mengangguk-angguk "Baiklah kalau begitu, akan tetapi anak buah yang lain itu harus ditangkap dulu!" Dia lalu memberi isyarat kepada pasukan pengawalnya untuk menangkap semua orang kecuali Ban-tok Mo-li, Lui Seng Cu, dan Can Hong San.

   Merasa bahwa mereka pun memiliki kepandaian, Siangkoan Tek mencabubut pedangnya. Juga Ji Ban To, murid Ouw kok Sian, telah mencabut sepasang golaknya. Dua orang pemuda lain, yaitu Siok Boan dan Poa Kian So, murid-murid Lui Seng Cu, juga sudah siap dengan senjata golok di tangan. Empat orang pemuda ini agaknya tidak mau menyerah begitu saja. Mereka adalah murid-murid datuk sesat, tentu saja merasa malu kalau harus menyerah tanpa melawan. Melihat sikap empat orang itu, Bu Giok Cu maklum bahwa dua belas orang pengawal Yap Ciangkun belum tentu akan mampu menandingi mereka, maka ia pun berkata,

   "Yap Ciangkun, biar aku yang menangkapkan empat ekor anjing kecil ini untukmu!" Giok Cu menerima pedang tumpul Seng-kang-kiam dari tangan Hek Bin Hwesio, kemudian ia pun maju menghampiri empat orang pemuda yang sudah siap itu. Melihat ini, Han Beng merasa tidak tega. Kalau dikeroyok empat, berbahaya juga bagi Giok Cu, maka dia pun melangkah maju.

   "Biar aku membantu Giok Cu!"

   Melihat para lawannya memegang senjata tajam, Han Beng yang tidak biasa menggunakan senjata tajam, melolos sabuk suteranya. Dia telah mewarisi llmu sabuk dari Sin-tiauw Liu Bhok Ki dan biarpun sabuk sutera itu lemas dan lunak, namun di tangannya dapat men jadi senjata yang ampuh.

   Siangkoan Tek adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu akan nama besar Huang-ho Sin-liong Si Han Beng maka belum apa-apa dia sudah merasa jerih untuk menghadapi pendekar itu Terhadap Bu Giok Cu dia tidak begitu gentar karena sepanjang pengetahuannya gadis itu hanyalah murid Ban-tok Mo li. Tentu saja dia tidak tahu bahwa gadis itu telah menjadi murid Hek Bin Hwesio yang membuat ia menjadi jauh lebih lihai daripada ketika ia masih menjadi murid Ban-tok Mo-li. Karena menganggap bahwa lebih menguntungkan kalau bertanding melawan Giok Cu, maka sambil mengeluarkann bentakan nyaring dia sudah menggerakkan pedangnya menyerang Giok Cu. Ji Ban To meniru Siangkoa Tek dan dia pun sudah menggerakkan pasang goloknya, membantu Siangkoan Tek dan mengeroyok Giok Cu. Gadis itu mengeluarkan suara mengejek dari hidungnya.

   "Huh, monyet-monyet kecil, memang sudah sejak dahulu kalian harus kuhajar!" Dan dia pun menggerakkan pedang tumpulnya untuk menyambut serangan dua orang pemuda.

   "Trang-trang-tranggggg ............. !" Pedang yang tumpul itu berkelebat dengan kepalan yang sukar diikuti pandang mata oleh dua orang pemuda itu dan mereka terkejut setengah mati ketika merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata seperti lumpuh. Kekejutan mereka bertambah ketika mereka melihat betapa senjata mereka itu patah ujungnya!

   Giok Cu tersenyum mengejek menatap wajah mereka yang berubah pucat itu.

   "Hi-hik, kalian takut? Hayo berlutut dan menyerah menjadi tawanan Yap Ciangkun!"

   Siangkoan Tek adalah putera tokoh esat Siangkoan Bok yang terkenal sebagai majikan Pulau Hiu. Dia sudah menganggap diri sendiri sebagai seorang tokoh yang tinggi ilmu silatnya. Tentu saja dia memiliki keangkuhan dan biarpun dia memang gentar menghadapi pedang butut yang ternyata ampuh itu tentu saja dia tidak sudi untuk berlutut dan menyerah sedemikian mudahnya. Demikian pula dengan Ji Ban To, murid Ouw Kok Sian seorang tokoh yang menguasai daerah Pegunungan Liong san Dia merasa penasaran sekali dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia menyerang lagi dengan sepasang goloknya yang sudah buntung ujungnya. Siangkoan Tek juga membantunya dan tiga batang senjata itu berkelebatan mendesing-desing, menyerang Giok Cu bagaikan hujan lebat. Namun gadis ini tersenyum mengejek, dengan amat mudahnya menghindarkan diri dengan loncatan ke sana-sini.

   Sementara itu, Siok Boan dan Poa Kian So, dua orang murid Lui Seng C tentu saja merasa malu kalau harus menyerah begitu saja. Apalagi mereka melihat guru mereka yang menjadi kauw-cu dari Thian-te-kauw, masih berdiri tegak dan menantang. Mereka adalah murid Kauw-cu, tentu saja kedudukan mereka cukup tinggi dan terhormat di perkumpulan itu. Kini, melihat majunya Giok Cu dan Han Beng, mereka berdua lalu menggerakkan golok besar di tangan mereka, mengeroyok Han Beng yang hanya memegang sehelai sabuk sutera putih. Dari kanan kiri mereka menyerang golok mereka berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyambar-nyambar ke arah tubuh Han Beng.

   Pemuda tinggi besar ini dengan sikap tenang menghindarkan diri dengan geseran-geseran kaki yang amat gesit. Kalau dia menghendaki tentu dengan sekali pukul dia akan mampu merobohkan bahkan menebaskan dua orang lawan yang terlalu lemah baginya itu, namun dia tidak ingin membunuh orang, hanya ingin membantu Yap Ciangkun untuk menangkap mereka. Oleh karena itu, dia pun hanya mengelak ke sana-sini sambil menannti kesempatan baik untuk membuat mereka berdua itu tidak berdaya tanpa harus melukai mereka.

   Dalan hal ini, Han Beng yang berhati-hati tegar tidak melukai lawan kalah cepat dengan Giok Cu. Giok sendiri tidak maumembunuh dua orang pengeroyoknya karena memang dia berjanji membantu Yap Ciangkun hanya untuk menangkap para pimpiran Thian te-pang, akan tetapi ia bukan pantas melukai, bahkan ingin menghajar ke dua orang pemuda yang pernah bersikap kurang ajar terhadap dirinya. Kalau membayangkan perbuatan dua orang pengeroyoknya itu, Siangkoan Tek dan Ji Ban To ketika ia masih menjadi murid Ban-tok Mo li, ingin rasanya ia membunuh mereka! Siangkoan Tek pernah mengganggunya secara keterlaluan hingga terpaksa ia menggunakan akal memancing Siangkoan Tek yang ketika itu lebih lihai darinya untuk masuk laut. Ia lebih pandai berenang maka menyeret Siangkoan Tek ke laut dan. perutnya kembung. Apalagi Ji Ban To Bersama sutenya, mendiang Cak Su, berberdua pernah menangkapnya dan inginmemperkosanya. Untung muncul Ban tok Mo-Ii yang membunuh Cak Su melukai Ji Ban To. Mengingat perbuatan mereka itu saja, ingin benar rasanya menghajar mereka sampai sepuas hatinya. Akan tetapi, Giok Cu masih tahu bahwa di situ hadir Hek Bin Hwesio gurunya yang telah berhasil merubah sifatnya yang tadinya ganas dan keras. Ia rasa tidak enak dan malu kepada gurunya itu kalau sampai ia bertindak terkeras terhadap dua orang pengeroyoknya itu.

   "Hyaaaaattttt ...........!!" Tiba-tiba Giok Cu mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan pedang tumpul di tangannya nyambar dengan amat cepatnya.

   "Trak! Trak! Trak!" Dua orang pengeoyok itu mengeluarkan seruan kaget karena senjata mereka kini buntung dan hanya tinggal gagangnya saja. Sebelum mereka sempat menenangkan hati, tangan kiri Giok Cu telah menampar pundak mereka. Terdengar bunyi tulang patah dan dua orang itu terpelanting dan tangan kiri memegang pundak kanan yang terasa nyeri bukan main karena tulang pundak kanan mereka telah remuk oleh tamparan tangan Giok Cu tadi. Empat orang perajurit pengawal segera maju dan meringkus mereka, membelenggu tangan mereka dan membawa mereka keluar.

   Melihat betapa Giok Cu telah merobohkan dua orang pengeroyoknya, Han Beng merasa tidak enak. Dia pun mengeluarkan bentakan nyaring, sabuk sutera putih di tangannya menyambar tahu-tahu telah membelit golok besar dua orang kakak beradik seperguruan dan sekali tarik, golok mereka telah terlepas dari pemiliknya. Setelah lepaskan golok-golok itu ke samping kembali sabuk itu berkelebat dua kali kini menjadi seperti tongkat dan ujungnya menotok jalan darah di dada kedua orang lawan. Siok Boan dan Poa Kian mengeluh dan roboh lemas tak mampu bergerak lagi karena telah tertotok! dengan cepat empat orang pengawal menyeret mereka keluar dari ruangan itu.

   Kini, Giok Cu dan Han Beng berhadapan dengan Ban-tok Mo-li, Lui Seng Cu, dan Can Hong San. Giok Cu yang tak ingin kedahuluan Han Beng karena ia ingin sekali menghadapi Ban-tok Mo-li, segera melangkah maju.

   "Kalian bertiga adalah tokoh-tokoh utama Thian-kauw dan Thian-te-pang. Nah, sekarang aku yang maju lebih dulu. Siapa di antara kalian bertiga yang ingin melawati aku? Kutantang Ban-tok Mo-li untuk melawan aku!"

   "Dan aku menantang Can Hong San untuk melawan aku!" kata Han Beng mendahului, maklum bahwa di antara mereka bertiga, Hong San yang paling pandai.

   "Kalian tidak mengandalkan pengeroyokan?" Ban-tok Mo-li bertanya dengan sikap curiga.

   "Ban-tok Mo-li, kami bukanlah orang-orang berjiwa pengecut macam kalian?" Giok Cu membentak marah.

   "Kita bertanding satu lawan satu, tidak ada yang boleh dibantu orang lain. Di sini ada Suhuku Hek Bin Hwesio yang menjadi saksi, dan ada pula Yap Ciangkun dan para perajurit yang menjadi saksi!"

   "Bagus! Kalau begitu, engkau akan mampus di tanganku!" bentak Ban-tok Mo-Ii yang sudah menjadi nekat karena ia pun tidak melihat jalan keluar.

   "Nanti dulu, Pangcu!" kata Lui Seni Cu sambil maju ke depan.

   "Sebelum Pangcu yang maju, biarlah aku sebagai Kauw-cu (Kepala Agama) dari Thian-te-kauw yang lebih dulu maju. Bu Giok Cu, kutantang engkau untuk bertanding melawanku kalau engkau berani!" Lui Sen Cu juga sudah putus asa melihat betap tempat itu telah dikepung oleh pasukan apalagi di situ terdapat dua orang kakek yang sakti. Dia tidak akan dapat melarikan diri, oleh karena itu, dia pun ingin melawan sampai akhir dan daripada melawan yang paling akhir, sendirian saja lebih baik dia maju lebih dulu selagi masih ada teman-temannya.

   "Bagus! Aku memang ingin sekali menghajarmu, Lui Seng Cu. Engkau dahulu adalah seorang perampok jahat kemudian engkaulah yang menyeret Ban Tok Mo-li sehingga ia ikut-ikutan dalam perkumpulan iblis Thian-te-kauw itu. Majulah!"

   Lui Seng Cu maklum bahwa Giok Cu sekarang tidak boleh disamakan dengan Giok Cu dahulu ketika masih menjadi murid Ban-tok Mo-Ii. Tadi pun dia sudah melihat kelihaian gadis itu ketika merobohkan Siangkoan Tek dan Ji Ban To secara mudah, hal ini saja sudah membuktikan bahwa Giok Cu amat lihai. Namun dia mengandalkan kekuatan sihirnya sebagai kauw-cu Thian-te-kauw, mengandalan pula pengalamannya yang tentu sudah lebih luas dan banyak dibandingkan gadis itu. Dengan golok besar di tangan, ia pun maju menghadapi Giok Cu. Akan tetapi dia tidak segera menyerang, melainkan berdiri tegak, golok besarnya diacungkan ke arah Giok Cu, matanya memandang terbelalak tak pernah berkedip, dan mulutnya berkemak-kemik. Dia membaca mantera dan mengerahkan kekuatan sihirnya untuk menguasai gadis itu. Sihir ini biasa dia pergunakan untuk mempengaruhi korban-korban sembahyangan sehingga korban itu akan lupa diri dan menurut saja apa yang akan dilakukan atas dirinya.

   Giok Cu yang melihat sikap Kauw cu itu, tadinya merasa geli, akan teta tiba-tiba ia merasa tubuhnya lemas. Pada saat itu, terdengar suara tertawa dari Hek Bin Hwesio.

   "Ha-ha-ha-ha, omitokid ..........., lawanmu itu seperti anjing saja pandai menggonggong, Giok Cu. Berhati-hatilah engkau!"

   Dan terjadilah keanehan yang membuat semua orang terbelalak akan tetapi juga merasa geli karena tiba-tiba saja Lui Seng Cumengeluarkan suara dan dari mulutnya.

   "Hung-hung-huk-huk-huk Suara itu presis suara anjing yang marah, menggonggong dan menyalak-nyalak Giok Cu tertawa dan suara ketawan ini agaknya yang menyadarkan Lui Seng Cu. Wajah Kauw-cu ini seketika menjadi pucat ketika dia menoleh kearah Hek Bin Hwesio dan tahulah dia bahwa di depan hwesio hitam itu, dia sama sekali tidak berdaya. Kiranya hwesio tua Itu tahu bahwa dia mempergunakan ilmu bilur dan sihir itu bahkan membalik dan menghantam dirinya sendiri sehingga di luar kesadarannya dia tadi menggonggong seperti anjing.Tentu saja hal ini amat memalukan. Wajah yang pucat kini berubah menjadi kemerahan dan tanpa banyak cakap lagi, tanpa mengeluarkan peringatan, dia telah mengayun golok besarnya dan menyerang Giok Cu!

   "Singgggg ..............!" Golok besar itu menyambar di atas kepala Giok Cu karena
ketika golok itu membabat leher, gadis itu cepat merendahkan tubuhnya sehingga
golok itu menyambar lewat di atas kepalanya. Akan tetapi, sebagai susulan,
kaki Lui Seng Cu menendang dengan kuatnya ke arah bawah pusar.

   "Ihhhhh!" Giok Cu marah sekali dan ia pun meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan yang sifatnya tidak sopan itu. Agaknya Lui Seng Cu sudah tidak mengindahkan lagi aturan, dia menyerang mati-matian dan hendak mempergunakan segala cara untuk mencari kemenangan. Kini goloknya sudah menyambar-nyambar lagi dengan ganasnya. Biarpun ia memegang sebatang pedang pusaka, yaitu pedang Seng-kan kiam yang walaupun nampak butut tumpul namun ampuh bukan main, namun ia terlalu cerdik untuk menggunakan pedangnya menangkis golok lawan. Golok itu tebal dan berat, juga tenaga Seng Cu amat besar, ilmu goloknya ganas dan dahsyat sehingga tidak percuma dia berjuluk Hok-houw Toa-to (Golok Besar Penaluk Harimau). Kalau menangkis dan mengadu tenaga, biar pedangnya tidak mungkin dapat rusak namun ada bahaya pedangnya akan terlepas dari pegangan. Untuk membuntungi golok itu pun bukan hal yang mudah mengingat golok itu tebal dan berat juga ia menduga bahwa tentu golok itu terbuat dari baja yang baik dan tidak mudah dirusakkan.

   Giok Cu kini mempergunakan ilmunya, meringankan tubuh, mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghindarkan diri dari semua sambaran golok, dan setiap ada kesempaian, pedangnya meluncur dan mengirim serangan balasan yang juga amat berbahaya bagi lawan.

   Terjadilah per tandingan yang amat hebat, seru dan menegangkan hati. Karena ilmu golok Lui Seng Cu memang ganas, maka nampaknya saja dia lebih baik menyerang, menekan dan mendesak gadis itu sehingga Yap Ciangkun dan Merasa pengawalnya memandang dengan alis berkerut dan hati khawatir. Namun Han Beng, Pek I Tojin dan Hek Bin Hwesio menonton dengan sikap tenang saja. Mereka bertiga maklum bahwa Giok Cu masih lebih unggul dan tidak akan kalah. Mereka mengerti bahwa gadis itu menyayangi pedangnya agar tidak sampai rusak kalau beradu dengan golok yang besar dan berat itu.

   Lui Seng Cu sendiri yang merasa betapa beratnya menghadapi gadis itu. Terlalu lincah gerakan gadis itu baginya, terlalu cepat sehingga dia merasa seperti mengejar bayangannya sendiri! goloknya tak pernah dapat menyentuh lawan, padahal dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga kini napasnya mulai memburu dan tenaganya mulai berkurang. Sebaliknya, gadis itu semakin gesit saja sehingga pandang mata mulai kabur.

   Tiba-tiba Giok Cu mengubuh gerak nya, pedangnya membuat gerakan melengkung dan pada saat golok di tani Lui Seng Cu meluncur lewat, peda tumpul itu menusuk ke arah lengan ya memegang golok.

   "Aughhh ....!" Lui Seng Cu berseru keras dan tak mungkin dapat mempertahankan goloknya lagi karena lengan kanannya tiba-tiba kehilangan tenaga sama sekali. Pedang tumpul itu hanya membuat lengan itu lumpuh saja, karena Giok Cu teringat akan ucapan Hek Bin Hwesio bahwa di situ tidak akan terjadi pembunuhan. Kakinya bergerak menendang ke arah lutut dan robohlah Lui Seng Cu. Sambungan lutut kanannya terlepas dan dia tidak mampu bangkit kembali. Empat orang pengawal segera maju dan membelenggu kedua lengannya belakang dan membawanya pergi.

   "Ban-tok Mo-li, sekarang maju engkau!" Giok Cu menantang, suaranya jelas mengandung kemarahan dan dendam.

   "Giok Cu, engkau mengasolah dulu, aku yang maju!" kata Han Beng yang melompat ke depan.

   "Can Hong San, majulah, mari kita bermain-main sejenak!"

   Melihat betapa Lui Seng Cu roboh, hati Hong San sudah menjadi gentar. Akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar, dia pun menghadapi Han Beng dengan suling dan pedangnya. Sikapnya gagah dan dia nampak tenang saja, seolah-olah dia percaya akan kemampuan diri sendiri. Bagaimanapun juga, dia adalah putera mendiang Cui-beng Sai-kong dan memiliki kepandaian tinggi. Namun, di lubuk hatinya, dia merasa gentar menghadapi Si Han Beng. Dia sudah tahu akan kehebatan pemuda tinggi besar itu, akan tetapi tidak ada jalan lain untuk menghindari pertandingan ini.

   "Lihat pedang!" bentaknya dengan sikap gagah. Pedangnya menyambar diikuti gerakan suling yang menotok ke arah dada.

   "Bagus!" Han Beng berseru sambil mengelak, kagum juga karena serangan itu selain indah juga berbahaya. Akan tetapi, baru saja dia mengelak, sinar pedang dan sinar suling itu sudah menyambar-nyambar lagi. Demikian cepatnya gerakan serangan Hong San, susul-menyusul dan sambung-menyambung. Terpaksa Han Beng meloncat ke belakang untuk melepaskan diri dari desakan serangan beruntun itu.

   "Han Beng, pakailah pedangku!" Giok Cu berseru sambil melemparkan pedangnya ke arah Han Beng. Sebenarnya Han Beng tidak perlu meminjam pedang, akan tetapi karena Giok Cu telah melemparkan pedangnya kepadanya, terpaksa dia menerimanya.

   "Terima kasih, Giok Cu." katanya.

   Hong San mempergunakan kesempatan selagi Han Beng menyambut pedang yang dilontarkan itu, menyerang dengan sulingnya, menotok ke arah tengkuk Han Beng yang baru menoleh untuk menyambar pedang yang melayang ke arahnya.

   Biarpun dia tidak melihat serangan ini, namun pendengaran Han Beng amat tajam dan dia tahu bahwa tengkuknya berancam, maka dia melempar tubuh ke samping sambil tangannya nenyambar pedang lalu bergulingan dan melompat berdiri lagi dengan pedang Seng-kang-Kiam di tangan.

   Hong San merasa penasaran sekali. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia sudah menyerang lagi dengan pedang dan suling, gerakannya semakin cepat dan dahsyat. Namun kini Han Beng memutar Seng-kang-kiam dan ada sinar dingin yang menyilaukan mata melindungi tubuhnya.

   "Tranggggg........!" Nampak bunga api berpijar dan Hong San cepat menarik kembali pedangnya. Untung bahwa yang dipegang juga bukan pedang murahan, melainkan pedang yang terbuat dari baja yang baik sehingga tidak sampai rusak ketika mengalami benturan sedikit tadi. Namun dia sudah menarik sulingnya dan ia pun tidak berani mengadu pedang secara langsung.

   Sementara itu, ketika melibat Giok Cu meminjamkan pedangnya kepada Han Beng, Ban-tok Mo-li yang berwatak curang dan licik itu melihat kcsempatan baik baginya. Kalau ada rasa gentar hatinya terhadap Giok Cu, hal itu terutama sekali disebabkan pedang pusaka tumpul yang amat ampuh itu. Kini gadis itu telah meminjamkan pedangnya yang ia takuti kepada Han Beng, suatu kesempatan yang baik sekali baginya, sekali tubuhnya bergerak, ia telah melompat ke depan, ke dekat Giok Cu dengan pedang Ang-tok Po-kian di tangan kanan dan kipas di tangan kiri!

   "Bu Giok Cu murid murtad! Engkau tadi menantangku, nah, kalau engkau memang bukan pengecut, majulah dan terimalah kematianmu di tanganku!" Kemudian, cepat ia menyimpan pedang dan kipasnya kembali, pedangnya ia masukkan ke sarung pedang di punggu kipasnya ia selipkan di ikat pinggangnya lalu berkata,

   "Lihat, aku pun tidak menggunakan senjata. Sambutlah seranganku!" Dan ia segera menyerang dengan kukunya. Kuku jari tangan wanita itu mengandung racun yang amat jahat. Hal ini tentu saja diketahui dengan baik oleh Giok Cu, bahkan ia pernah mempelajari ilmu beracun itu. Kukunyaa sendiri pun dapat ia pergunakan kukunya serangan beracun, bahkan ludahnya pun dapat ia pergunakan untuk mencelakai orang. Akan tetapi semenjak menjadi murid Hek-bin Hwesio, ia tidak mau mempergunakan ilmu sesat itu. Kini bekas guru yang ternyata menjadi pembunuh ayah bundanya itu menyerangnya dengan pukulan beracun! Ia cepat bergerak mengelak dan mengandalkan kegesitannya untuk melawan Ban-tok Mo-li. la tidak menduga akan kelicikan Ban Tok Mo-li yang sengaja menyimpan senjatanya dan menyerangnya dengan tangan kosong. Hal ini untuk memancing agar Giok Cu menerima serangannya. Kalau perlu, setiap saat ia dapat mempergunakan pedang dan kipasnya, sedangkan Giok Cu tetep bertangan kosong!

   Han Beng melihat betapa Giok Cu diserang secara hebat oleh Ban-tok Mo-li. Kalau Ban-tok Mo-li menyerang dengan tangan kosong, dia tidak khawatir gadis itu akan kalah. Akan tetapi Ba tok Mo-li memiliki senjata lengkap, sedangkan Giok Cu telah meminjamkan pedatignya kepadanya! Dia sendiri sebenarnya tidak membutuhkan senjata untuk melawan Hong San. Maka, ketika Hong San membacokkan pedang ke arah kepalanya, dia cepat menyambut dengan Seng-kang-kiam, mengerahkan tenaga sin-kang untuk membuat kedua pedang melekat, lalu pada saat lawan menusukkan suling ke arah dadanya, dia tidak mengelak melainkan menyambut dengan tangkapan tangan kirinya. Sekali dan mengerahkan tenaga memutar pergelangan tangan, suling itu telah dapat dirampasnya dan kakinya menendang. Hong San terkejut dan cepat melompat ke belakang pada saat tendangan melayang karena dia merasa betapa pedangnya yang tadi menempel di pedang lawan dapat ditariknya lepas.

   "Giok Cu, pergunakan pedangmu!" Han Beng berseru. Mendengar ini, Giok Cu meloncat ke belakang dan menyambar pedang yang dilontarkan oleh Han Beng.

   Bukan main marahnya Ban-tok Mo-Li melihat gadis itu telah memegang kembali pedangnya. Akan tetapi ia menyembunyikan rasa jerihnya dan ia pun mencabut pedang dan kipasnya.

   "Bagus, Engkau hendak bertanding menggunakan senjata? Lebih cepat engkau mampus di ujung senjataku!" la pun segera menyerang. Pedangnya mengeluarkan sinar merah ketika digerakkan, namun sinar merah itu tertahan oleh sinar kehijauan dari pedang di tangan Giok Cu.

   "Sit-sittttt..........!" Jarum-jarum lembut menyambar dari gagang kipas. Akan tetapi akal ini merupakan permainan kanak-kanak bagi Giok Cu yang sudah mengenal benar penggunaan jarum-jarum teracun dari kipas itu, maka dengan mudah ia mengelak ke kiri dan pedangnya sudah membalas dengan serangan kilat yang membuat Ban-tok Mo-li harus cepat melempar diri ke belakang sambil memutar pedang.

   Sementara itu, kini Can Hong San yang kehilangan sulingnya, menjadi marah dan menyerang Han Beng dengan pedangnya. Hatinya agak besar melihat Han-Beng tidak lagi memegang pedang tumpul ampuh itu, melainkan hanya memegang suling yang dirampas darinya. Akan tetapi, begitu Han Beng menggerak sulingnya, Hong San terkejut bukan main dan tahu-tahu suling itu telah rnenghantam punggungnya.

   "Plakkk!" Dia terhuyung dan terkejut. Kiranya Han Beng dapat menarik suling itu sebagai senjata tongkat yang luar biasa anehnya. Hal ini sebetulnya tidak aneh. Han Beng telah menguas ilmu tongkat yang dia pelajari dari Sin ciang Kai-ong, yaitu ilmu tongkat ya disebut Tongkat Dewa Mabuk. Gerakannya aneh, akan tetapi lihai bukan main kelihatannya kacau balau akan tetapi tahu-tahu ujung suling yang dimainkan sebagai tongkat itu telah mencuri gerakan dan menyelonong ke punggungnya! Andaikata Han Beng hanya mempelajar ilmu silat dari Sin-tiauw Liu Bhok dan Sin-ciang Kai-ong saja, belum tentu akan mampu menandingi Can Hong San yang amat lihai itu. Akan tetapi, Han Beng telah digembleng oleh Pek I Tojin, seorang kakek yang sakti sehingga biar tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi dibandingkan Hong San.

   Hong San merasa marah dan penahan sekali ketika punggungnya kena hantam suling. Dia membalik dan pedangnya menusuk ke arah perut lawan sedangkan tangan kirinya menyusulkan tamparan atau dorongan ke arah kepala, namun, dengan mudah Han Beng mengelak dengan menggeser kaki ke kiri, kemudian sulingnya membuat gerakan melingkar dan tubuhnya meliuk aneh, tahu-tahu ujung suling sudah menetek pinggul kiri lawan.

   "Dukkk!" Hong San han pir terpelanting karena kaki kirinya terasa lumpuh, akan tetapi dia masih mampu melompat dan memutar tubuhnya, turun ke tanah dengan kaki kanan sambil mengerahkan tenaga sin-kang untuk memulihkan kaki kiri yang terasa lumpuh. Dia kini merasa kaget bukan main, juga amat marah. Kemarahan yang membuat dia menjadi nekat karena dia maklum bahwa lawannya sungguh amat lihai. Diputarnya pedangnya sehingga nampak sinar bergulun-gulung dan dia pun menyerang dengan mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan jurus-jurus maut dan tidak begitu mempedulikan segala pertahanan. Ini serangan orang yang sudah nekat dan hendak mengadu nyawa. Baginya hanya menang atau kalah, karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih kalah oleh lawan.

   Menghadapi orang yang sudah nek seperti itu, Han Beng harus berhati-hati sekali. Orang yang nekat amat berbahaya karena semua daya kekuatannya ditujukan untuk menyerang. Han Beng mengerahkan sin-kang dan memutar tongkatnya atau sulingnya menyambut sinar pedang. Begitu pedang bertemu tongkat pedang itu ikut terputar karena tenaga sin-kang Hong San kalah kuat, makin lama semakin cepat berputar dan akhirnya, begitu Han Beng mengeluarkan bentakan nyaring, pedang itu terlepas dari tangan Hong San dan terlempar jauh! Hong San terkejut sekali, akan tetapi dia masih nekat, dan menerjang dengan pukulan tangan kosong, memainkan ilmu silat Koai-liong kun yang dahsyat.

   Han Beng menggerakkan suling itu dan tanpa dapat dihindarkan lagi oleh Hong San, ketika tangan kirinya mencengkeram ke arah lawan, ujung suling telah mendahuluinya, menotok pergelangan tangan itu sehingga tangan kirinya lumpuh seketika.

   "Aaaghhhhh!" Hong San membentak dan tangan kanannya membuat gerakan berputar, lalu menghantam kedepan. bahwa pukulan yang dahsyat sekali, di dahului oleh uap hitam, menyambar ke arah Han Beng. Itulah pukulan Cui-beng-Ciang (Tangan Pengejar Roh) yang amat ampuh dan jahat. Jarang ada lawan yang kuat menahan pukulan yang mengandung tenaga sin-kang yang mengandung kekuatan sihir ini, bahkan uap hitam itu saja sudah cukup membuat orang pingsan karena mengandung racun.

   Han Beng mengenal pukulan dahsyat, maka dia pun mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan telapak tangannya sambil mengerahkan tenaga sakti yang dilatihnya dari Pek I Tojin.

   "Desss ..........!" Dua tenaga sakti yang ampuh bertemu melalui telapak tangan itu dan tubuh Hong San terpental ke belakang lalu terbanting roboh. Dia pingsan seketika sedangkan Han Beng agak terengah.

   Pada saat itu, Giok Cu sudah mendesak Ban-tok Mo-li dengan pedang tumpulnya. Kipas di tangan kiri iblis betina itu sudah tidak nampak lagi karena sudah patah-patah bertemu dengan Seng-kan Kiam dan kini Ban-tok Mo-li dengan matian-matian melawan dengan Ang-tok Po-kiam la telah mengerahkan semua ilmunya, Namun satu demi satu dapat dipunahkan oleh Giok Cu, bahkan kini gadis itu mulai mendesaknya dengan hebat.

   "Plakkk! Ini untuk Ayah!" Tangan kiri Giok Cu menampar pipi kanan Ban-tok Mo-li. Wanita ini menjerit lirih dan terhuyung, akan tetapi tamparan itu memang diberikan untuk menghajar, bukan untuk membunuh, maka pipi yang kena tampar itu hanya matang biru dan membengkak, akan tetapi tamparan itu tidak merobohkan. Dengan kemarahan meluap yang membuat ia menjadi nekat, Ban-tok Mo-Li memutar pedangnya sehingga nampak gulungan sinar merah dari Ang-tok Po-Kiam yang menyerang dengan ganas, namun, kini Giok Cu sudah menguasai keadaan dan memang tingkat kepandaianya masih jauh lebih tinggi kalau dibandingkan bekas gurunya itu, maka dengan niudah saja gagang pedang tumpulnya membuat sinar merah itu tiba-tiba saja kehilangan daya ampuhnya.

   "Trakkkkk ......... cusss! Ini untuk Ibu!" kata pula Giok Cu dan kembali Ban-tok Mo-li terhuyung dan jeritannya makin keras karena kini pedang pusakanya patah menjadi dua potong dan paha kirinya disambar ujung pedang Seng-kang-kiam sehingga celananya robek dan kulit pahanya robek pula.

   "Sekarang bersiaplah untuk menghadap Ayah dan Ibu!" teriak Giok Cu, akan tetapi pada saat itu, Han Beng melompat ke depan dan sabuk sutera putihnya nyarnbar ke arah pedang yang sudah meluncur menyerang Ban-tok Mo-li.

   "Giok Cu, tahan .............!" serunya ujung sabuknya melibat pedang gadis itu menahan gerakannya.

   "Ihhh, engkau kenapa, Han Beng? Kenapa menghalangiku membunuh iblis betina pembunuh Ayah dan Ibuku ini?"

   "Maaf, Giok Cu. Ingatlah bahwa ia pernah baik kepadamu dan puterinya............. . adalah isteri dari Kakak angkatku.. ....... Memang tadi ketika melihat gadis itu hendak membunuh Ban-tok Mo-li, Han Beng teringat akan Coa Siang Lee Sim Lan Ci, puteri Ban-tok Mo-li. menjadi tidak tega dan mencegah Giok Cu membunuh iblis betina yang sudah tidak berdaya itu.

   Ketika Giok Cu hendak membantah tiba-tiba terdengar suara ketawa berwibawa dan mengejutkan hati Giok Cu.

   "Ha-ha-ha-ha! Omitohud............ ! la jahat karena membunuh Ayah Ibumu, Giok Cu, Kalau sekarang engkau membunuhnya apa bedanya antara ia dan engkau? sama-sama pembunuh jahat!"

   Pada saat itu, Giok Cu tertegun dan l.i memutar tubuh dan menghadapi Hek
r n Hwesio.

   "Suhu !" serunya dengan ua mata basah.

   "Haiiiiittttt ............!!" Tiba-tiba, mendapatkan kesempatan baik ini, Ban-tok Mo-
Li menubruk dan menyerang Giok Cu dari belakang. Kedua tangannya dengan bentuk cakar mencengkeram ke arah kepala dan punggung Giok Cu. Serangan maut, karena semua kuku jari tangannya itu mengandung racun mematikan.

   "Desssss ............!" Han Beng yang cukup waspada, menyambut serangan itu dari samping dengan tamparan tangannya yang mengenai pundak iblis betina itu. Ban Tok-Mo-li terpelanting dan roboh pingsan. Empat orang pengawal cepat maju dan membelenggunya lalu membawanya keluar dari ruangan itu.

   "Siancai ..............!" Pek I Tojin berseru sambil merangkap kedua tangan depan dada.

   "Hek Bin Hwesio sungguh telah memperoleh kemajuan, dapat mencegah
pembunuhan. Memang, menyadarkan penjahat adalah perbuatan mulia, membunuh orang jahat adalah perbuatan kejam, hanya Tuhan yang berkuasa menentuk mati hidupnya setiap orang manusia'"

   Yap Ciangkun mengucapkan terima kasih kepada Han Beng dan Giok Cu, dia membawa semua tawanan pergi meninggalkan tempat itu. Hek Bin Hwesio dan Pek I Tojin meninggalkan bekas sarang Thian-te-pang yang kini telah diduduki oleh pasukan pemerintah. Dengan bijaksana Yap Ciangkun menyuruh pasukan untuk memulangkan semua wanita yang menjadi korban perkumpulan agama sesat itu ke tempat asal masing-masing

   Di lereng yang indah dan sunyi, bawah pohon yang rindang, siang itu mereka berempat duduk di atas akar pohon sambil bercakap-cakap.

   "Han Beng," kata Pek I Tojm kepada muridnya.

   "Kami berdua, pinto dan Bin Hwesio, telah mengambil suatu sepakatan mengenai engkau dan Nona Giok Cu ini, sebelum kami berdua pergi kami ingin mendengar dulu pendapat kalian. Bukankah begitu, Hek Bin Hwesio?"

   "Ha-ha-ha, omitohud ............. kenapa engkau begitu sungkan, Pek I Tojin? Katakan saja apa yang menjadi isi hatimu, engkau sudah tahu bahwa pin-ceng menyetujui sepenuhnya, ha-ha-ha?"

   "Suhu, apa sih yang Suhu bicarakan dengan Lo-cian-pwe?" tanya Giok Cu memandang kepada gurunya.

   "Biar Pek I Tojin saja yang membicarakan karena dialah yang memiliki prasaran itu, prasaran yang baik sekali dan yang telah kusetujui sepenuhnya. Katakanlah, Pek I Tojin!"

   Han Beng dan Giok Cu, juga Hek Bin Hwesio, kini menatap wajah tosu itu. Pek I Tojin adalah seorang kakek yang biasanya pendiam dan serius, tidak seperti Hek Bin Hwesio yang suka berkelakar dan tertawa. Akan tetapi sekali ini, Pek I Tojin nampak agak kemerahan menjawabnya, tanda bahwa apa yang akan dibicarakan mendatangkan ketegangan juga di hatinya.

   Setelah berdehem dua kali, dia memandang kepada Han Beng dan Giok Cu lalu berkata,

   "Begini Han Beng dan Nona Bu Giok Cu, mengingat bahwa kalian berdua adalah anak-anak yatim piatu yang hidup sebatangkara di dunia ini. Oleh karena itulah, kami dua orang tua memberanikan diri mewakili kalian masing-masing sebagai guru dan juga pengganti orang tua, dan ...........eehhh .............!" Agaknya sukar bagi tosu itu untuk melanjutkan kata-katanya yang mendadak macet. Dia menoleh kepada Hek Bin Hwesio,

   "Hek Bin Hwesio, kau bantulah aku!"

   "Ha-ha-ha! Omitohud .............. engkau terlalu sungkan, Sahabat. Begini, Han Beng!
dan Giok Cu. Pek I Tojin mewakili Si Han Beng meminang Bu Giok Cu. Dan pinceng sebagai wakilmu, Giok Cu, pinceng merasa setuju sekali!"

   Han Beng tidak merasa kaget dan dia menoleh ke arah Giok Cu yang juga mengerling kepadanya. Dua orang muda ini ingat betapa tadi, dalam keadaan terancam, nyawa mereka, mereka telah saling menyatakan perasaan hati masing-masing, saling menyatakan cinta! Dan kini guru-guru mereka menjodohkan mereka. Tentu saja mereka tidak merasa kaget, bahkan merasa berbahagia sekali.

   "Bagaimana, Han Beng? Setujukah engkau kalau kujodohkan dengan Nona Bu Giok Cu?" tanya Pek I Tojin kepada muridnya.

   Han Beng memandang wajah gurunya dan dengan wajah yang cerah dan berbahagia dia mengangguk, 'Teecu setuju. Suhu."

   "Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali kalau begitu. Dan bagaimana dengan engkau, muridku? Setujukah engkau kalau pinangan Han Beng terhadap dirimu itu kuterima? Maukah engkau menjadi calon isteri Si Han Beng?"

   Pada saat itu, Giok Cu merasa hatinya seperti diremas-remas, la teringat akan keadaan dirinya, teringat akan tahi lalat merah kecil di lengan kirinya, di bawah siku. Tahi lalat merah itu adalah penanaman racun yang dilakukan Ban tok Mo-li kepadanya dahulu. Kalau ia menyerahkan diri kepada seorang pria, begitu ia kehilangan keperawanannya, tanda tahi lalat merah itu pun akan lenyap, akan tetapi akibatnya, dalam waktu sebulan ia akan tewas karena racun yang amat hebat dan tidak ada obatnya akan bekerja membunuhnya! Akan tetapi, didepan dua orang kakek itu bagaimana ia dapat membuka mulut menceritakan hal yang memalukan itu kepada Han Beng. Maka, khawatir di desak suhunya yang suka berkelakar, ia pun mengangguk tanda setuju tanpa da pat mengeluarkan suara karena ia haru menekan guncangan hatinya.

   "Ha-ha, kenapa mendadak engkau menjadi seorang gadis pemalu, Giok Cu Mana jawabanmu? Jawablah agar lega hati orang yang meminangmu!" kata Hek Bin Hwesio.

   Dengan muka tunduk karena tidak ingin nampak mukanya yang berduka terpaksa Giok Cu menjawab lirih,

   "Teecu setuju!"

   "Ha-ha-ha-ha, bagus, bagus! To-yu pinceng mengucapkan selamat kepadamu!"

   "Sama-sama, pinto juga mengucapkan selamat kepadamu!" Dua orang kakek tu tersenyum dan saling memberi hormat.

   "Nah, tentang upacara pernikahan-iya, kami serahkan kepada kalian berdua. Kami berdua akan berkelana dan menikmati keindahan Gunung Thai-san. Kelak kalau sudah ada ketentuan waktunya ilian boleh mencari kami ke Thai-san mtuk memberitahu." kata Pek I Tojin lan bersama Hek Bin Hwesio, dia lalu pergi meninggalkan dua orang muda itu yang segera berlutut untuk mengantar kepergian guru mereka.

   Setelah dua orang kakek itu lenyap, Han Beng bangkit berdiri, juga Giok Cu. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan Han Beng melangkah maju.

   "Giok Cu ...............!"

   Han Beng yang merasa berbahagia sekali, bukan saja karena ikatan perjodohan antara mereka, akan tetapi juga teringat akan ucapan gadis tadi yang menyatakan cinta kepadanya, segera merangkul.

   "Han Beng ..............!" Giok Cu membenamkan mukanya di dada peniuda yang di cintainya.

   
Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Giok Cu, kita saling mencinta, dan guru-guru kita menjodohkan kita. Betapa bahagianya rasa hatiku, Giok Cu............ bisik Han Beng di dekat telinga gadis itu. Dan tiba-tiba Giok Cu menangis tanpa mengangkat mukanya dari dada Han Beng. Air mata menembus baju dan membasahi dada pemuda itu.

   Han Beng terkejut, akan tetapi lalu tersenyum dan tangannya membelai rambut kepala kekasihnya. Tentu kekasihnya itu menangis karena bahagia, menangis karena terharu, barangkali teringat bahwa ia tidak mempunyai orang tua lagi.

   Dia menunduk dan mencium rambut itu, mencium dahi itu, lalu berbisik! "Giok Cu, jangan berduka sayang. Memang kita berdua sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi, akan tetapi kita kini saling memiliki bukan? Biarlah aku menjadi pengganti Ayahmu dan engkau menjadi pengganti Ibuku! Dan kelak, kita pergi ke perkampungan keluarga kita, kita mencari keluarga orang tua kita yang masih ada. Bukankah berarti kita akan memiliki keluarga lagi?"

   Akan tetapi, ucapan hiburan Itu bahkan membuat Giok Cu semakin tersedu-sedu. Han Beng membiarkannya sebentar, lalu perlahan-lahan dia mengangkat dagu , disitu, menatap wajah yang nampak legitu sedih. Mata itu terpejam, akan tetapi setiap kali dibuka sedikit, air matanya mengalir keluar. Dengan hati penuh rasa haru dan sayang, akan tetapi juga khawatir, Han Beng mengecup pipi yang basah air mata itu sehingga terasa asin olehnya. Akan menyegarkan hati rasa itu andaikan hatinya tidak begitu hawatir, andaikan tangis itu tangis bahagia, bukan tangis yang demikian sedihnya.

   "Giok Cu ............, Moi-moi sayang, hentikanlah tangismu dan katakan kepadaku, kenapa engkau begini sedih? Bukan ah sepatutnya kita bergembira, berbahagia? Aiiih, Giok Cu, jangan katakan bahwa engkau berduka karena dijodohkan dengan aku.........."

   Tiba-tiba Giok Cu membuka matanya. Nampak kemerahan mata itu dan menggeleng kepala, mempererat rangkulannya.

   "Tidak, Han Beng, tidak! Jangan salah sangka ........ ah, aku ........... aku berhagia sekali menjadi jodohmu ........... akan tetapi aku........ aku.................."

   "Engkau kenapa, sayang? Kenapa?"

   Giok Cu menggeleng kepala dalam rangkulan pemuda itu.

   "Aku tidak bisa menjadi isterimu, Han Beng. Tidak mungkin................. uhu-hu-hu.................!"

   "Ehhh?" Han Beng terkejut seper disengat lebah.

   "Kenapa, Giok Cu? Kenapa engkau berkata demikian?"

   Giok Cu menggulung lengan baju kirinya dan melirik ke arah tanda bintik merah kecil di bawah siku kiri, lalu menangis lagi, membenamkan mukanya di dada kekasihnya. Han Beng menjadi seakin bingung. Berbagai macam dugaan timbul di dalam benaknya. Jelas bahwa kekasihnya sedih, bukan karena berjodoh dengan dia, melainkan oleh suatu sebab lain mengenai diri kekasihnya itu. Di mengerutkan alisnya. Apakah Giok hendak mengatakan bahwa ia bukan perawan lagi? Hal itu bukan tidak mungkin, mengingat bahwa gadis itu pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li! Andaikata demikian, dia............. dia tidak akan peduli! Han Beng mengatupkan giginya kuat-kuat. Dia mencinta Giok Cu, bukan mencinta keperawanannya! Atau ada hal lain? Bagaimanapun juga, Giok Cu harus bicara sejujurnya. Kalau tidak, dia akan selalu merasa tersiksa oleh segala macam dugaan yang sewaktu-waktu tentu akan timbul.

   Dia lalu memegang kedua pundak Giok Cu, didorongnya lembut sehingga mereka saling berpandangan, kemudian dengan suara tenang namun tegas dia berkata, Giok Cu, pandang padaku dan dengarkan kata-kataku baik-baik. Kita adalah orang-orang yang menghargai kegagahan, bukan? Kita adalah orang-orang yang siap menghadapi kesukaran apapun juga, bukan orang-orang lemah yang cengeng, bukan? Aku pun tahu bahwa engkau seorang pendekar g gagah perkasa, bukan seorang gadis yang cengeng. Nah, usirlah semua perasaan sedih itu, kekasihku, sayangku, dan ceritakan kepadaku apa yang lelah terjadi maka engkau menjadi begini berduka setelah dijodohkan dengan aku."
(Lanjut ke Jilid 28 - Tamat)
Naga Sakti Sungai Kuning/Huang Ho Sin-liong (Seri ke 01 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 28 (Tamat)
Dengan lembut pula Giok Cu melepaskan kedua tangan, kekasihnya yang memegang kedua pundaknya, mengguraikan kedua ujung baju menyusut air matanya dan menghentikan tangisnya. Kemudian, dengan kedua mata merah, ia memandang Han Beng, mencoba untuk mengumpulkan kekuatan hatinya dan membuka mulut untuk memberi penjelasan.

   "Han Beng ..........., aku ............ aku.......... aku tidak pantas menjadi isterimu.........." Ia berhenti lagi dan memejamkan mata karena tidak kuat melanjutkan.

   "Lanjutkan, Giok Cu. Jelaskan mengapa? Mengapa engkau menganggap dirimu tidak pantas menjadi isteriku? Mengapa?"

   Giok Cu menoleh ke kanan kiri. Para perajurit masih melakukan pembersihan dan menggeledah di semua tempat.

   "Han Beng, mari kita pergi dari sini bicara di tempat yang sepi."

   Han Beng mengerti, menggandeng tangan kekasihnya yang terasa dingin lalu mereka keluar meninggalkan tempat itu. Langit di ufuk timur mulai kemerahan, tanda bahwa pagi akan segera muncul menggantikan malam. Mereka terus berjalan sampai mereka tiba di lereng bukit yang sepi. Han Beng mengajak kekasihnya menghampiri sebatang pohon besar di sana burung-burung sudah mulai sibuk menyambut datangnya fajar.

   "Nah, di sini sepi, Giok Cu. Keluarkanlah isi hatimu dan ceritakan segalanya kepadaku. Ingat, aku adalah orang yang kaucinta dan mencintamu, aku adalah calon suamimu, juga satu-satunya orang yang dapat kaupercaya. Nah, ceritakan semuanya!"

   Mereka berdiri berhadapan, dekat. Giok Cu menatap wajah kekasihnya dalam keremangan subuh.

   "Han Beng, aku.............. aku............" kembali gadis itu tidak anggup melanjutkan. Ia tidak tega melihat bagaimana nanti pemuda itu menyambut keterangannya, la tidak tega melihat pembahan yang akan terjadi pada wajah yang dicintanya itu. Betapa wajah itu akan diselimuti kedukaan dan kekecewaan yang amat mendalam. Kalau ia memberi penjelasan, sama saja denga menusuk jantung kekasihnya dengan batang pedang berkarat! la tidak tega!

   "Han Beng, aku................. aku tidak mampu menerangkan................"

   Kembali kedua tangan Han Beng menangkap kedua pangkal lengan kekasihnya dan mengguncangnya sedikit.

   "Giok Cu engkau harus mampu! Harus! Tidak boleh engkau membiarkan ada rahasia di antara kita!" Dia benar, pikir Giok Cu. Dia benar, akan tetapi.....

   "Han Beng, peluklah aku, sembunyikan mukaku agar aku dapat menceritakannya kepadamu....." Dan iapun menjadi lemas dan tentu terhuyung kalau saja Han Beng tidak cepat memeluknya. Han Beng memondong tubuh yang lemas itu dan mengajaknya duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. Dia setelah memangku gadis itu yang merebahkan kepalanya di dada yang bidang, menyembunyikan mukanya di dada itu.

   Kini dia tidak akan melihat perubahan pada wajah kekasihnya dan iapun mulai tenang, lalu dengan lirih, namun jelas, ia bercerita.

   "Han Beng, sebelumnya kau maafkan aku. Maukah kau?" Han Beng mencium rambut itu.

   "Tentu saja, bahkan tidak perlu ada maaf dariku karena apapun yang telah kau lakukan, kuanggap semua itu sudah berlalu dan tidak ada lagi. Nah, ceritakan."

   "Dahulu, ketika kita saling berpisah, aku berusia sepuluh tahun!"

   "Ya, ya, dan aku berusia dua belas tahun."

   "Aku ditolong oleh Ban-tok Mo-li yang kemudian menjadi guruku."

   "Dan aku menjadi murid Sin-tiauw Lim Bhok Ki yang dilanjutkan pula oleh Sin-ciang Kai-ong."

   "Ketika aku dibawa pulang oleh Ban-tok Mo-li dan diambil murid, ia telah menggunakan jarum menusuk lenganku yang kiri ini. Lihat, Han Beng, kaulihat bintik merah kecil ini?" Giok Cu menggulung lengan bajunya yang kiri dan mendekatkan lengannya. Lengan yang kecil penuh dan berkulit putih halus. Han Beng tak tahan untuk tidak menyentuh kulit dengan yang halus lembut itu dengan hidungnya.

   "Lenganmu indah sekali, Giok Cu."

   Giok Cu merasa betapa seluruh bulu di badannya meremang ketika lengannya dicium Han Beng, lalu menarik lengan itu.

   "Ihhh, Han Beng, dengarkan ceritaku dan pandanglah bintik merah bawah siku ini. Engkau melihatnya?"

   "Aku melihatnya. Bintik merah itu menambah indah lenganmu."

   "Hentikan rayuanmu itu dan dengar baik-baik. Bintik itu adalah akibat tusukan jarum dari Ban-tok Mo-li, jarum beracun yang jahat sekali!"

   "Ehhhhh...!!" Kini seluruh kemesraan terbang dari kepala Han Beng dan dia memandang terbelalak, khawatir sekali.

   "Jarum beracun? Akan tetapi..... hal itu tentu sudah terjadi belasan tahun yang lalu dan sampai sekarang engkau masih sehat kuat....."

   "Racun itu baru akan bekerja kalau bintik itu lenyap, Han Beng."

   "Ehhh? Dan sudah belasan tahun tidak lenyap, takut apa? Biarkan bintik itu tidak lenyap, tidak mengurangi keindahan lenganmu."

   "Tapi, begitu bintik itu lenyap, dalam waktu sebulan nyawaku akan melayang dan tidak ada obat di dunia ini yang akan mampu menyelamatkan aku."

   "Tapi..... tapi..... bintik itu masih ada dan....."

   "Ya, bintik merah itu akan lenyap kalau aku..... aku tidak perawan lagi....."

   "Ahhhhh.....??!" Han Beng memandang wajah kekasihnya dengan mata terbelalak. Baru kini dia mengerti mengapa tadi kekasihnya menangis! Kalau Giok Cu menikah dengan dia, kalau gadis itu menjadi isterinya, dalam waktu sebulan ia akan mati keracunan!

   "Itulah sebabnya mengapa aku...aku tidak dapat menjadi isterimu, Han Beng....."

   Tiba-tiba Han Beng meloncat berdiri dan menarik tangan gadis itu. Giok Cu juga meloncat berdiri dan memandang bingung.

   "Mari kita pergi sekarang juga"

   "Ehhh? Ke mana?"

   "Ke mana lagi? Menyusul Ban-tok Mo-li. la menjadi tawanan. Aku akan menemuinya dan memaksanya mengobatimu, memberi obat pemunah racun itu. Kalau ia menolak, akan kucabuti semua rambut di kepalanya, kucabuti semua kuku dari jari-jarinya, kucabuti semua otot-otot dari tubuhnya!" Suara Han Beng mengandung desis dan Giok Cu yang ditarik ikut pula berlari, agak bergidik karena di dalam suara kekasihnya itu mengandung ancaman yang mengerikan bagi Ban-tok Mo-li. Agaknya kemarahan telah membuat Han Beng berubah menjadi kejam dan sadis, walaupun itu baru dalam kata-kata saja.

   Mereka tidak bicara lagi, berlari cepat dan Giok Cu menyerahkan segalanya kepada kekasihnya. Hatinya terasa lega karena bagaimanapun juga, rahasia itu tidak ditanggungnya sendiri, kini telah dibuka kepada Han Beng. Bahkan calon suaminya itu yang kini mengambil alih darinya untuk mencarikan jalan keluarnya.

   Hari telah siang ketika mereka tiba di benteng, disambut oleh Yap Ciangkun yang kelihatan lelah karena penyerbuan semalam. Akan tetapi ternyata kemuraman wajah Yap Ciangkun bukan hanya karena lelah, dan hal itu baru diketahui Han Beng dan Giok Cu ketika Han Beng bertanya tentang Ban-tok Mo-Ii.

   "Kami harap agar Ciangkun mengijinkan kami bicara sebentar dengan Ban-tok Mo-li yang menjadi tawanan. Ada urusan pribadi yang amat penting hendak kami bicarakan dengan Ban-tok Mo-Ii. kata Han Beng.

   Mendengar ini, Yap Ciangkun menggebrak meja.

   "Inilah! Justeru baru saja kami memarahi para petugas, akan tetapi semua kesalahan terletak pada pundak empat orang penjaga yang sudah mati. Sungguh celaka! Sialan mereka itu!"

   "Apa yang telah terjadi, Ciangkun?" tanya Giok Cu, bingung melihat ulah perwira tinggi itu.

   "Semalam, Ban-tok Mo-li menjadi tawanan dan ditahan di dalam sel, dijaga oleh empat orang pengawal yang dapat dipercaya. Akan tetapi, pagi-pagi sekali tadi, sel itu terbuka, empat orang penjaga mati tanpa luka dan Ban-tok Mo-li telah lenyap dari dalam selnya."

   "Ahhhhh.....!!" Wajah Han Beng menjadi berubah agak pucat saking kaget dan kecewanya. "Bagaimana hal itu dapat terjadi?"

   Yap Ciangkun mengepal tinju dan kelihatan marah dan penasaran sekali.

   "Tidak ada yang tahu bagaimana hal itu terjadi. Akan tetapi ada seorang perajurit yang malam hari itu, sebelum dia meninggalkan tugas jaga untuk bertugas di tempat lain, melihat betapa Ban-tok Mo-li bersikap manis dan akrab sekali dengan empat orang penjaga itu, nampak mesra. Tidak ada yang tahu. Tahu-tahu mereka berempat terdapat tewas di tempat penjagaan dan Ban-tok Mo-li sudah tidak berada di dalam tahanan. Pintu kamar tahananpun tidak rusak kuncinya, bukan dibuka dengan paksa."

   Han Beng mengerutkan alisnya.

   "Apakah tidak ada kemungkinan tawanan itu dibantu orang dari luar yang meloloskarinya?"

   "Segala kemungkinan memang ada, akan tetapi penjagaan amat ketat sehingga sukarlah bagi orang luar untuk dapat masuk tanpa diketahui. Setidaknya, empat orang yang bertugas jaga itu tentu mengadakan perlawanan mati-matian dan memberi tanda bahaya. Akan tetapi sama sekali tidak ada perlawanan, sama sekali tidak terdengar teriakan atau tanda bahaya lain."

   "Maaf, Ciangkun.Bagaimana matinya empat orang itu? Adakah luka-luka atau tanda lain?"

   Yap Ciangkun mengerutkan alis dan menggeleng-geleng kepala.

   "Memang aneh sekali. Tidak ada luka. Hanya dua diantara mereka mati dengan mulut biru menghitam....."

   "Hemmm, ciuman maut.....I" kata Giok Cu, tenang akan tetapi ia pun mengerutkan alisnya karena ia sudah dapat menduga bagaimana caranya iblis betina bekas gurunya itu berhasil meloloskan diri.

   "Dua orang yang lain tewas dengar biru menghitam di leher dan pangkal paha mereka, seperti bekas terkena gigitan....."

   "Hemmm, itu bekas kuku beracun!"

   "Ehhh? Apa yang kau maksudkan dengan ciuman beracun dan kuku beracun, Li-hiap?" tanya perwira itu, heran.

   "Ban-tok Mo-li adalah seorang iblis betina. Nama julukannya saja sudah menyebutkan keadaan dirinya. Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun) memiliki banyak ilmu beracun, di antaranya adalah ciuman beracun dan kuku beracun. sekali cium dan sekali gores dengan kuku sudah cukup untuk membunuh orang. Agaknya iblis betina itu mempergunakan kecantikannya untuk merayu sehingga ia berhasil keluar atau dikeluarkan dari kamar tahanan oleh empat orang penjaga itu.Ia pura-pura suka diajak bermesraan, lalu membunuh mereka dengan mudah selagi bermesraan."

   Kalau bukan Giok Cu, gadis lain tentu akan bermerah muka dan segan memberi keterangan seperti itu. Akan tetapi Giok Cu adalah seorang gadis yang sudah digembleng oleh keadaan yang keras dan beraneka macam kehidupan.

   "Hemmm, sungguh keji seperti iblis!" kata Yap Ciangkun.

   "Mari kita mengejarnya!" Han Beng yang teringat akan keadaan kekasihnya, sudah menggandeng tangan gadis itu dan keduanya meloncat pergi dengan amat cepatnya, membuat Yap Ciangkun merasa kagum bukan main. Dia lalu teringat akan tawanan yang lain. Mereka adalah orang-orang yang lihai, maka dia tidak ingin kehilangan tawanan lagi. Diperintahkan orang-orangnya untuk membelenggu kaki tangan para tawanan itu dan mengawal mereka dengan ketat sampai mereka itu dijatuhi hukuman oleh pengadilan.

   Selama tiga hari tiga malam Han Beng hampir tidak pernah mau berhenti, mengajak Giok Cu untuk menjari jejak Ban-tok Mo-li. Namun, semua usahanya sia-sia belaka. Mereka tidak mampu menemukan jejak iblis betina itu. Ban-tok Mo-li lenyap tak meninggalkan jejak, seperti ditelan bumi!

   Pada hari ke empat, pagi-pagi setelah semalam suntuk mereka mencari di perbukitan di tepi jurang atau tebing sungai Kuning, Giok Cu telah menjadi putus asa. Ia memandang Han Beng yang duduk bersila di tepi jurang dengan hati yang pilu. Ia merasa kasihan sekali kepada pemuda itu. Ia tahu betapa besarnya cinta Han Beng kepadanya sehingga pemuda itu seperti tidak mengenal lelah untuk dapat menemukan Ban-tok Mo-li, untuk dapat membebaskannya dari cengkeraman maut yang ditandai bintik merah di bawah siku lengan kirinya.

   Kalau dia membiarkan dirinya menjadi isteri Han Beng, kemudian tewas dalam waktu sebulan, tentu Han Beng akan tenggelam dalam kedukaan yang hebat.Dan sekarang, merekapun gagal untuk menemukan Ban-tok Mo-li. Andaikata mereka dapat menemukannya sekalipun, belum tentu iblis betina itu mau memberikan obat penawarnya, itupun kalau ada obat seperti itu. Ah, ia hanya menjadi beban, hanya menyusahkan Han Beng saja dengan ikatan perjodohan itu. Tidak, itu tidak boleh menyusahkan Han Beng. Ia terlalu sayang kepada pemuda itu. Biarlah dia memperoleh jodoh gadis lain yang sehat, yang akan membahagiakannya, bukan ia yang menderita penyakit maut, yang hanya akan menyusahkannya.

   Giok Cu mengerling ke arah Han Beng. Pemuda itu masih duduk bersila dan agaknya tenggelam dalam siu-lian Rambutnya kusut, pakaiannya kusut, wajahnya menunjukkan kelelahan. Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Han Beng membuka matanya, terkejut mendengar suara angin itu. Dan dia menjadi lebih kaget ketika tidak melihat lagi Giok Cu berada di situ.

   

Pedang Naga Hitam Eps 6 Si Bayangan Iblis Eps 11 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 11

Cari Blog Ini