Naga Sakti Sungai Kuning 5
Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Darah anak naga? Apa yang subo maksudkan?" Giok Cu bertanya heran, sama sekali tidak mengerti.
"Anak bodoh! Bukankah malam tadi engkau dibelit anak naga dan bersama Si Han Beng anak laki-laki itu kalian melawan anak naga dan menggigitnya, menghisap darahnya?"
Kini baru Giok Cu mengerti dan biarpun kepalanya masih pening, ia tertawa mendengar ini.
"Anak naga? Heh-heh, Subo ini aneh-aneh saja. Semalam ketika aku mengail ikan di perahu, umpanku disambar seekor ular dan aku terseret ke dalam air. Ular itu membelitku dan untung ada Han Beng menolongku. Dia anak baik sekali, subo. Ular itu lalu menyerang Han Beng, bahkan aku melihat betapa ular itu menggigit pundak Han Beng. Juga kulihat Han Beng membalas dan menggigit leher ular. Karena aku ingin membantu han Beng, aku pun lalu menggigit ekor ular itu!"
"Dan kau hisap dan minum darah anak naga itu?"
"Subo, apakah ular itu benar-benar anak naga?"
"Ular atau anak naga, apakah engkau menghisap dan minum darahnya?"
Giok Cu tersenyum malu-malu.
"Ketika aku menggigit sekuat tenaga, aku merasakan darah itu, hangat, agak asin dan manis dan amis membuat aku ingin muntah. Akan tetapi karena ingin menolong han Beng, aku menggigit terus dan ya, aku menghisap dan menelan darahnya."
"Banyak?" Ban-tok Mo-li bertanya penuh gairah.
"Entah, Subo. Mungkin beberapa teguk, dan kuliht han Beng menggigit leher ular itu."
"Hemmmm, tentu dia minum lebih banyak. Coba, kulihat tanganmu!" wanita itu memegang tangan Giok Cu, menggunakan kuku jari kelingking kiri, satu-satunya kuku yang putih bersih dan tidak mengandung racun, menorah kulit lengan bagian dalam.
Darah menetes keluar dan Ban-to Mo-li cepat membawa lengan anak itu ke mulut, dihisapnya darah yang keluar. Dan ia pun kecewa. Sebagai seorang ahli, ia pun dapat merasakan bahwa darah anak ini memang telah kemasukan hawa mukjijat darah anak naga, akan tetapi sedikit sekali. Tidak ada artinya dan tidak ada manfaatny bagi orang lain, paling-paling darah anak perempuan ini hanya dapat menjadi obat penguat tubuh yang dapat ia peroleh dari akar bahar atau rempah-rempah yang lain. Akan tetapi bagi gadis itu sendiri, mungkin mendatangkan kekuatan yang lain.
"Giok Cu, coba kerahkan tenagamu dan pukul telapak tanganku ini."
Giok Cu mentaati perintah gurunya. Dikepalnya tangan kanannya dan dipukulnya telapak tangan kiri wanita itu sekuat tenaga.
"Plakkkk"...!" Ban-tok Mo-li terkejut. Bukan main, pikirnya. Anak perempuan ini, tanpa setahunya, karena khasiat darah anak naga, kini memiliki pukulan yang luar biasa, kuat dan panas!
Jago silat kebanyakan saja mungkin takkan kuat menahanpukulan tadi! Lengannya sendiri sampai tergetar.
Dan ini dilakukan oleh Giok Cu tanpa disadarinya akan kekuatan yang tersembunyi di tubuhnya. Kalau anak itu sudah dapat mengendalikan tenaga mukjijat itu, tentu ia akan menjadi seorang yang amat tangguh! Dan anak ini akan menjadi muridnya! Biarpun ia tidak dapat mempergunakan darah di tubuh anak ini untuk kepentingannya sendiri, namun setidaknya ia akan mendapatkan seorang murid yang istimewa, pengganti puterinya dan ia pun mempunyai perasaan suka kepada Giok Cu.
Ban-tok Mo-li mengajal Giok Cu pulang ke Ceng-touw. Anak perempuan ini merasa kagum dan gembira sekali mendapat kenyataan bahwa gurunya tinggal di rumah yang besar dan mewah, dilayani oleh belasan orang pelayan wanita. Tak disangkanya bahwa gurunya ini ternyata amat kaya raya! Dan gurunya demikian saying kepadanya.
Semenjak itu, mulailah Giok Cu dilatih dasar-dasar ilmu silat oleh Ban-to Mo-li. Anak itu cerdas sekali, rajin dan juga lincah jenaka sehingga makin menyenangkan hati Ban-to Mo-li. Akan tetapi diam-diam Ban-to Mo-li merasa kuatir setiap kali ia teringat kepada puterinya.
Giok Cu begini cantik jelita, manis sekali dan wataknya demikian lincah jenaka, gembira. Anak perempuan seperti ini amat romantis dan satu-satunya hal yang mungkin jadi kelemahannya adalah kalau ia tergoda pleh seorang pria yang menawan hatinya. Jangan-janganakan terulang kembali peristiwa seperti dialami oleh Lan Cid an ia pun merasa kuatir sekali.
Dipanggilnya Giok Cu.
"Muridku yang baik, mulai sekarang engkau harus tekun, rajin dan mentaati semua perintahku."
"Tentu saja, Subo. Siapa lagi kalau bukan Subo yang kutaati. Aku tidak mempunyai orang lain kecuali Subo di dunia ini!" jawab Giok Cu gembira sambil memandang kepada gurunya dengan matanya yang indah, penuh kepercayaan. Ia samara-samar masih teringat betapa kejamnya guru yang cantik ini terhadap musuh-musuhnya, akan tetapi gurunya ini lihai sekali dan saying kepadanya.
"Nah, kini bersiaplah untuk menahan nyeri sedikit. Aku akan memberi suatu tanda kepadamu, demi kebaikanmu sendiri di kemudian hari. Luruskan lengankirimu!"
Tanpa rasa takut sedikit pun dan dengan pandang mata penuh kepercayaan kepada gurunya, Giok Cu meluruskan lengan kirinya. Ketika gurunya menyuruhnya, tanpa ragu ia pun menggulung lengan bajunya sehingga lengan kecil berkulit putih mulus itu nampak dari atas siku sampai ke tangan.
BAN-TOK MO-LI mengeluarkan sebuah kantong kuning yang sudah dipersiapkan, membuka kantong itu dan mengambil sebuah jarum emas yang dibungkus kain sutera putih. Jarum emas itu ujungnya kelihatan merah sekali dan memang jarum itu sudah diberi semacam racun merah di ujungnya.
"Sekarang siaplah menderita sedikit nyeri pada lenganmu, Giok Cu. Tidak takutkah engkau?"
Anak itu menggeleng kepala dan matanya bersinar-sinar.
"Apa yang harus kutakutkan, subo? Aku yakin bahwa subo akan melakukan segala hal yang baik bagiku."
Diam-diam wanita iblis itu merasa girang. Anak ini memang menyenangkan sekali. Terbuka, jujur, polos, keras hati, pemberani dan anak seperti ini tentu kesetiaan yang boleh dipercaya.
"aku akan menusuk lenganmu dengan jarum ini!" katanya. Setelah meneliti lengan itu, ia pun menusukkan jarum emas itu pada bagian lengan Giok Cu sebelah dalam, sedikit di bawah siku.
Giok Cu merasa betapa lengan yang ditusuk itu nyeri sekali, perih dan panas, juga gatal. Namun, ia tidak mengeluarkan keluhan sedikit pun juga, bahkan menggigit bibirnya agar jangan sampai mengeluh. Ketika rasa nyeri itu menjalar sampai ke seluruh lengan, Giok Cu memejamkan mata dan memusatkan kekuatan hatinya untuk menahan. Tak lama kemudian, jarum itu dicabut kembali.
"Duduklah bersila, biarkan rasa nyeri itu menyebar ke seluruh tubuhmu, sampai akhirnya melemah dan lenyap." Kata Ban-tok Mo-li, Giok Cu mentaati perintah ini. Ia duduk bersila dan masih memejamkan mata, dan ia merasa betapa rasa panas, perih dan gatal yang menimbulkan nyeri hebat itu benar saja menjalr ke seluruh tubuhnya. Dan masih juga belum pernah ia mengeluh. Akhirnya, rasa nyeri itu makin berkurang dan akhirnya lenyap. Barulah ia membuka matanya, memandang kepada gurunya dengan senang.
"Benar saja, subo tentu tidak akan mencelakai aku. Akan tetapi, bolehkah aku mengetahui apa artinya tusukan jarum dan rasa nyeri ini, subo?"
"Lihatlah lenganmu di bagian yang kutusuk tadi."
Giok Cu melihat lengannya. Disitu, di bawah siku di sebelah dalam lengannya, terdapat bintik merah seperti tahi lalat kecil. Tidak buruk, bahkan menjadi pemanis seperti hiasan pada kulit lengannya yang putih mulus itu.
"Apa ini, Subo?" Ia menggosok-gosok dengan jari tangan kananya untuk mencoba apakah tahi lalat merah itu dapat dilenyapkan oleh gosokan.
"takkan dapat kau lenyapkan, biar dicuci dengan apa pun, Giok Cu. Tanda merah itu hanya akan lenyap kalau engkau kehilangan keperawanmu! Tanda merah itu tanda keperawananmu dan sekali engkau berhubungan dengan pr
Sepasang mata kecil itu terbelalak memandang gurunya, mengandung keheranan dan ketidakpercayaan.
"Aih, Subo, haraap jangan main-main dan menakut-nakuti aku!"
"Anak bodoh! Siapa main-main denganmu?"
"Tapi"" tapi..."".
" Gadis itu bingung. Ia masih terlalu kecil, usianya baru sepuluh tahun, untuk mengerti tentang keperawanan segala macam, akan tetapi karena ia seorang anak yang cerdik, ia dapat menduga bahwa gurunya menanamkan semacam racun di tubuhnya yang merupakan semacam Hukuman atas dilanggarnya suatu larangan.
"Mengapa Subo melakukan ini kepadaku?"
"Ketahuilah, muridku. Bagi seorang wanita, betapun tinggi ilmu kepandaiannya, ada suatu bahaya yang amat berbahaya dan besar sekali, yaitu pria! Pria adalah makhluk yang jahat, pandai merayu dan berpalsu-palsu untuk menjatuhkan hati seorang wanita. Semua rayuan itu hanya dipergunakan sebagai alat menjebak, dan celakalah seorang gadis yang lemah dan terbius oleh rayuan itu, karena ia akan kehilangan keperawananya, kehilangan kehormatan dan masa depannya, satu-satunya pantangan adalah kehilangan keperawanan. Oleh karena itu, terpaksa aku memberi tanda tahi lalat merah ini kepadamu, tanda keperawanan agar engkau selalu ingat bahwa engkau tidak boleh terbujuk rayuan pria. Kalau sekali waktu engkau tertarik, kemudian melihat tanda tahi lalat merah ini, engkau tentu akan sadar kembali. Ingat baik-baik. Kalau tanda ini lenyap, berarti engkau bukan perawan lagi, ilmu-ilmu yang kau pelajari dan belum sempurna akan rusak dan engkau akan mati dalam waktu satu bulan sesudah itu."
Diam-diam Giok Cu bergidik. Ia tidak kuatir karena sedikit pun belum terbayang olehnya akan rayuan pria dan akan bahayanya terbius rayuan lalu kehilangan keperawananya.
"Tapi, subo. Apakah tanda ini akan selamanya berada di lenganku? Mengapa subo sendiri tidak memiliki tanda seperti ini di lengan subo?" anak itu memang cerdik. Ia tidak memperlihatkan keraguan atau ketidakpercayaan melainkan keheranan karena tidak mengerti.
"Tentu saja tidak selamanya, Giok Cu. Kalau engkau menjadi murid yang baik, tidak melanggar pantangan sehingga tanda merah itu tetap ada padamu, tentu akan tiba saatnya aku melenyapkannya. Hanya aku seoranglah yang akan mampu menghilangkan tanda itu, tanpa harus menghilangkan keperawananmu."
Giok Cu mengangguk maklum dan tidak banyak bertanya lagi. Biarpun masih kecil, namun ia dapat menduga bahwa perbuatan subonya ini merupakan suatu tekanan baginya, merupakan suatu ancaman bahwa ia harus selalu mentaati guruya dan tidaka melanggar semua perintah dan larangannya. Ia tidak tahu bahwa wanita iblis itu melakukan hal ini kepadanya karena pernah dikecewakan puteri kandungnya sendiri yang meyerahkan keperawanannya kepada cucu ketua Hek-houw-pang itu.
Demikianlah, mulai hari itu, Giok Cu berlatih semakin tekun dan memang Bn-tok Mo-li tidak keliru memilih murid. Giok Cu merupakan seorang murid yang selain cerdas, juga amat rajin dan tahan uji. Apalagi dengan modal tenaga sakti dari darah ular di tubuhnya, anak ini segera dapat menghimpun sinkang dan mengendalikannya secara baik sekali. Kelak kalau ia dewasa, ia tentu memiliki kekuatan sinkang yang jauh melampaui tingkat gurunya sendiri!
Kita ikuti perjalanan Sin-tiauw (Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki yang membawa lari Si Han Beng. Pendekar perkasa ini merasa berterima kasih sekali kepada Sin-Cing Kai-ong yanag telah menolongnya, karena tanpa pengemis ini, agaknya akan sukarlah baginya untuk dapat meloloskaan diri membawa Han Beng dari kepungan para pendekar dan tokoh kang-ouw, apalagi di situ terdapat Ban-to Mo-li yang lihai. Dia akan selalu ingat janjinya seperti yang diminta Sin-ciang Kai-ong, yaitu bahwa kelak, setelah Han Beng menjadi muridnya selama lima tahun, anak itu harus menjadi murid Raja Pengemis itu selama lima tahun pula.
Sambil memondong tubuh han Beng pergi menjauhi tempat berbahaya itu, Liu Bhok Ki teringat akan janji itu dan di pun berpikir apakah semua itu kelak akan dapat dipenuhi. Keselamatan anak itu sendiri sampai sekarang masih menjadi pertanyaan besar baginya. Dia tahu bahwa anak itu keracunan hebat, terkena pukulan tangan Ban-tok Mo-li, ada goresan kuku di kulit leher Han Beng. Tadi, ketika dia memondong han Beng, dia sudah melihat betapa leher itu melepuh seperti terbakar, bengkak dan kehitaman amat mengerikan.
Setelah berlari cukup jauh dan memasuki sebuah hutan yang besar yang penuh pohon liar, Liu Bhok Ki berhenti sebentar, mencurahkan perhatian kea rah belakang untuk melihat apakah ada orang yang melakukan pengejaran. Sepuluh menit kemudian, yakinlah dia bahwa tidak ada orang mengejarnya, maka dia pun menurunkan Han Beng dari pondongannya ke atas rumput. Anak laki-laki itu dalam keadaan pingsan dan ketika dia direbahkan diatas rumput, tidak seperti orang yang sudah tidak bernyawa lagi. Wajahnya pucat dan napasnya seperti gelombang air laut yang sedang pasang.
Dengan hati-hati Liu Bhok Ki memeriksa leher yang tadinya terkena pukulan dan goresan kuku beracun dari ban-tok Mo-li dan dia hampir mengeluarkan seruan kaget dan heran, juga girang melihat betapa leher itu sudah normal kembali! Tidak ada warna hitam, tidak ada bengkak! Bahkan luka bekas goresan kuku yang tadi mengeluarkan darah hitam, kini sudah kering.
Dirabanya leher itu dan tidak terasa panas! Juga bagaian tubuh lain dari anak ini yang tadinya amat panas, kini sudah tidak panas lagi, hangat biasa saja. Dipegangnya pergelangan tangan anak itu. darahnya pun berjalan dengan baiknya. Hanya napas anak itu yang bergelora, seolah-olah ada kekuatan di dalam tubuhnya yang masih agak liar. Akan tetapi segala bagian tubuh anak itu sehat sama sekali, tidak ada gangguan, apalagi pengaruh racun!
Liu Bhok Ki adalah seorang pendekar yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw. Biarpun dia bukan seorang ahli pengobatan yang pandai, namun pengalamannya amat banyak dan dia tahu akan cara pengobatan orang terkena racun, asalakan jangan racun sehebat racun tangan Ban-tok Mo-li. Dia memandang anak yang masih rebah seperti orang tidur itu dan mengerutkan alisnya. Dia memutar otaknya dan akhirnya dia mengangguk-angguk dengan senyum gembira.
"Thian Maha Adil""" pujinya dengan hati penuh kelegaan.
Dia dapat menduga apa yang telah terjadi dalam diri anak itu. gigitan ular yang disebut anak naga di pusaran maut Sungai Huang-ho itu, juga darah binatang aneh itu yang dihisap oleh Han Beng, tentu membuat anak ini kecarunan hebat. Tanda keracunan itu mudah dilihat, yaitu membuat anak itu kepanasan dan memiliki kekuatan dasyat sehingga ketika anak itu mengamuk, banyak tokoh kang-ouw yang berkepandaian tinggi roboh oleh pukulan anak yang tidak tahu ilmu silat itu.
Racun anak naga itu hebat sekali, dan mungkin Han Beng takkan kuat bertahan, mungkin akan dapat tewas karena kehebatan darah anak naga itu akan menghapuskan semua jaringan otot dan syarafnya. Akan tetapi, sungguh suatu kemukjijatan terjadi. Ketika anak itu terkena pukulan beracun dan goresan kuku Ban-to Mo-li maka ada semacam racun lain yang memasuki tubuhnya dan justru racun dari tangan ban-tok Mo-li inilah yang merupakan penyembuhan ketika dua macam racun yang berlawanan itu bertemu dan saling melumpuhkan! Inilah kiranya yang terjadi, demikian, piker Liu Bhok Ki.
Dengan hati-hati Liu Bhok Ki lalau mengurut tengkuk dan punggung Han Beng. Baru saja beberapa kali dia mengurut untuk membuka kesadaran anak itu, tiba-tiba Han Beng mengeluh, membuka matanya dan dia pun meloncat bangun. Matanya terbelalak dan kaki tangannya tidak mau diam, bergerak-gerak seperti bukan atas kehendak sendiri, dan kaki tangan itu mengeluarkan bunyi berkerotokan. Ketika Liu Bhok Ki mendekat dan dan hendak memegang lengan anak itu, tangan kiri Han Beng menyambar dan ada hawa pukulan demikian kuatnya mendahului tangan itu sehingga Liu Bhok Ki terkejut dan menangkis.
"Dukkkk!" Tangkisan ini membuat tubuh Liu Bhok Ki terdorong dan hampir terhuyung.
"Ahhhhh""""!" Pendekar itu berseru penuh kagum. Dia melangkah mundur dan melihat betapa anak itu masih menggerak-gerakkan kaki tangannya, dan ada hawa pukulan menyambar-nyambar dari kaki tangan itu. akan tetapi sinar mata anak itu waras, hanya kini Han Beng menjadi bingung sendiri.
"Lo-cian-pwe...". Tolong...""" tolonglah aku..."". Kaki tanganku taak dapat kuhentikan bergerak sendiri, dan ada sesuatu dalam perutku bergerak-gerak..."", seperti..."".. seperti ada ularnya!"
Memang aneh. Bukan hanya kaki tangan anak itu yang bergerak-gerak, akan tetapi ada tonjolan yang aneh bergerak-gerak di tubuhnya, kadang-kadang nampak tonjolan sebesar tikus bergerak di kedua pundaknya, di dadanya, di leher, bahkan di kepalanya! Seolah-olah di dalam tubuhnya itu ada seekor tikus yang ingin keluar akan tetapi terhalang oleh kuli!
Liu Bhok Ki bersikap tenang.
"Abak baik, tenanglah. Pusatkan perhatianmu dan kerahkan seluruh kekuatan kemauanmu untuk menguasai dirimu sendiri. Nah, kauc ontohlah aku, duduklah bersila di atas tanah, seperti ini!"
Han Beng sudah percaya sepenuhnya kepada kakek yang telah menyelamatkannya dari tangan orang-orang aneh yang jahat, yang memperebutkan dirinya. Maka, mendengar suara yang penuh wibawa itu, dia pun mengerahkan kemauannya untuk menguasai dirinya dan biarpun dengan susah payah akhirnya dia dapat pula memaksa tubuhnya untuk menjatuhkan diri duduk di atas tanah, lalu menekuk kedua kakinya, bersila.
"Tegakkan tubuhnmu, luruskan leher dan kepala, pusatkan perhatianmu ke tengah anatara kedua alismu, nah, begitu..."". Dan sekarang tarik napas panjang, hitung sampai delapan, tahan..."" sekarang keluarkan dari hidung perlahan-lahan. Itu kedua lengan, letakkan diatas pangkuan, begini..."".."
Liu Bhok Ki mulai mengajar anak itu untuk menenangkan diri, pelajaran permulaan Samadhi, dan dengan perlahan dia membimbing Han Beng untuk menguasai dirinya sendiri dan menguasai pula kekuatan dasyat yang terdapat dalam dirinya. Setelah anak itu mulai tenang dan mulai dapat mengendalikan tenaga dasyat itu, Liu Bhok Ki mengajak melanjutkan Perjalanan.
Sin-tiauw (Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki mengajak Han Beng yang menjadi muridnya itu ke sebuah bukit di lembah Huang-ho, bukit yang dikenal dengan nama Kim-hong-san (Bukit Burung Hong Emas). Bukit ini kecil saja dan mereka membuat sebuah pondok di puncaknya dan dari puncak ini mereka dapat melihat sungai Huang-ho mengalir di kaki bukit. Pemandangan di bukit itu indah sekali, sebuah bukit yang dipenuhi hutan belukar dan dusun terdekat terletak di akai bukit, di pantai sungai Huang-ho. Bukit itu sendiri sunyi, tidak di tempatai manusia karena memang merupakan hutan belukar yang liar.
Begitu tiba di puncak Kim-hong-san, Liu Bhok Ki dibantu oleh Han Beng menebang pohon dan bamboo, membuat pondok darurat untuk mereka. Setelah selesai, Liu Bhok Ki memanggil han Beng yang berlutut dia ats lantai tanah kering, menghadap kakek yang duduk di atas bangku kayu buatan sendiri itu.
:Han Beng, engkau sudah menceritakan semua riwayatmu dan sekarang engkau adalah seorang anak yatim piatu yang tidak mempunyai orang tua dan keluarga lagi. Sudah bulatkah hatimu untuk berguru kepadaku?"
Han beng ad alah seorang anak yang tabah. Ketika dia bersama gurunya itu mencari perahu orang tuanya di sekitar pusaran maut, dia hanya menemukan ayah ibu Giok Cu yang terluka. Dari keluarga Bu ini dia mendengar bahwa ayah ibunya tewas dalam keributan ketika orang-orang kang-ouw memperebutkan anak naga kemudian memperebutkan dia dan Giok Cu. Hanya sebentar dia menangis, dan setelah itu, dia tidak pernah menangis lagi, maklum betapa sia-sia saja menangis dan berduka. Sekarang pun, diingatkan oleh gurunya bahwa dia anak yatim piatu yang tiada keluarga lagi, hatinya seperti di remas, akan tetapi dia tidak mau hanyut oleh kedukaan dan keharuan.
"Suhu, teecu sudah bertekad untuk menjadi murid suhu, dan teecu akan mentaati semua perintah dan petunjuk suhu."
"Benarkah itu? Engkau berjanji akan memenuhi semua permintaanku sebagai syarat berguru kepadaku?"
"Teecu bukan hanya berjanji, bahkan teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu dengan taruhan nyawa teecu. Suhu bukan hanya guru teecu, akan tetapi juga suhu penolong dan penyelamat nyawa teecu."
"Bagus! Kalau begitu dengar baik-baik pesanku. Engkau akan belajar ilmu silat dariku selama lima tahun. Setelah lima tahun, engkau akan kuserahkan kepada Sin-ciang kai-ong. Dialah gurumu yang yang kedua dan aku sudah berjanji kepadanya selama lima tahun engkau menjadi muridku. Dialah yang melindungi kita, menyelamatkan kita dan memberikan kita kesempatan untuk terbebas dari kepungan mereka yang hendak merampasmu. Sanggupkah engkau untuk menjadi murid Sin-ciang Kai-ong selama lima tahun setelah engkau menjadi muridku selama lima tahun pula?"
"Teecu sanggup!"
"Sekarang yang kedua, dan mungkin ini akan terasa berat olehmu. Ketahuilah bahwa aku juga kehilangan keluargaku secara menyedihkan sekali, dan sampai selamanya aku tidak akan dapat melupakan sakit hati karena kehilangan keluarga itu....." Liu Bhok Ki melirik kea rah kepala yang berada di dalam botol besar terisi arak.
Ketika membawa pergi Han Beng, dia lebih dulu mengambil dua buah kepala ini yang disembunyikan di sebuah tempat dekat sungai, lalu membawa dua buah kepala itu ke puncak Kim-hong-san. Ketika han Beng melihat dua buah kepala itu untuk pertama kalinya, dia terkejut dan merasa ngeri, akan tetapi tidak berani bertanya, melihat betapa gurunya amat berhati-hati merawat dua buah kepala itu dan kelihatan tidak senang kalau dia mencoba mendekati dua buah benda mengerikan itu. kini melihat betapa gurunya bicara tentang dendam sakit hati dan melirik kea rah dua buah kepala, Han Beng tidak dapat menahan keinginan tahunya.
"Suhu, apakah sakait hati suhu itu ada hubungan dengan dua buah kepala itu?"
Liu Bhok Ki adalah seorang pendekar yang berhati keras dan berwatak kasar, jujur namun juga angkuh. Kalau saja hatinya tidak sudah bulat menerima Han Beng sebagai muridnya dan dia sudah mengenal watak muridnya yang juga gagah perkasa dan tabah, tentu dia akan tersinggung dan marah karena ada orang berani menyinggung soal dua buah kepala itu.
Kini, sejenak matanya mengeluarkan sinar mencorong, akan tetapi dia lalu menarik napas panjang dan mengangguk. Lalu dia mengambil botol anggur diatas meja dimana tersimpan sebuah kepala wanita yang cantik dan pucat, lalu dia menempelkan bibirnya di botol itu, seolah-olah hendak mencium bibir kepala wanita dalam botol itu yang menyeringai seperti menahan sakit.
"Ini...". Ini kepala isteriku tercinta...".."
Han Beng terbelalak dan dia melihat betapa kedua mata gurunya itu berlinang air mata! Diam-diam dia bergidik. Kenapa isteri suhunya tewas dan kenapa pula kepalanya disimpan oleh suhunya di dalam botol arak itu? suhunya kelihatan demikian mencinta isterinya, akan tetapi mengapa kecintaan itu diperlihatkan dengan cara yang amat kejam dan di luar batas perikemanusiaan?
Agaknya Liu Bhok Ki dapat membaca pertanyaan yang tak terucapkan oleh muridnya itu, dan dia melanjutkan.
"Dan yang tergantung itu adalah kepala kekasih iateriku!"
Han Beng merasa semakin terkejut dan dia memandang kepada kepala yang tergantung itu. lebih mengerikan lagi kepala ini, kepala seorang pria muda yang tampan dan juga amat pucat. Kalau kepala wanita cantik di dalam botol itu hanya menyeringai dan tidak bergerak, kepala yang tergantung ini dapat bergerak dan berputar-putar di ujung tali kecil yang tergantung. Mata kepala ini melotot seperti orang marah dan mulutnya setengah terbuka.
Kemudian Han Beng melihat hal yang baru pertama kali dilihatnya dan yang membuatnya menjadi semakin ngeri. Gurunya menuangkan anggur dari botol berisi kepala itu ke dalam cawan, lalu mengangkat cawan diacungkan kepada kepala yang tergantung seolah-oalh menawarkan minuman kepada mereka, lalu dia minum arak itu dari cawan dan nampaknya nikmat sekali! Han Beng bergidik! Di dalam benaknya yang belum banyak pengalaman itu terjadi dugaandugaan yang mengerikan, yang dibantahnya sendiri dalam hatinya. Gurunya adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa yang untuk menolongnya sudah menempuh bahaya maut menghadapi para orang-orang kang-ouw yang lihai. Mungkikah suhunya melakukan hal yang begini kejam?
"Tapi...". Tapi mengapa suhu melakukan itu..."?"
"Mereka adalah isteriku dan sahabatku, mereka telah menghianatiku, menghancurkan kebahagiaan hidupku dengan berzina! Aku bunuh mereka dan menyimpan kepala mereka, agar mereka melihat
(Lanjut ke Jilid 06)
Naga Sakti Sungai Kuning/Huang Ho Sin-liong (Seri ke 01 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
betapa mereka telah menghancurkan kebahagiaan hidupku!"
"Ahhhhh"""..!" Han Beng menundukkan mukanya, hatinya memberontak, dia tidak setuju sekali dan ingin dia mencela gurunya, akan tetapi dia tidak berani karena diam-diam dia pun merasa kasihan kepada gurunya yang entah sudah berapa puluh tahun menderita kesengsaraan batin yang amat hebat. Dua buah kepala itu masih muda, maka tentu peristiwa itu terjadi ketika suhunya masih muda, tentu sudah puluhan tahun lamanyaa hal itu terjadi dan selama itu, suhunya tak pernah merasa bahagia hidupnya.
"Sekarang dengar, han Beng. Sakit hatiku tak pernah dapat tertebus sampai kini, dank arena aku tidak dapat lagi menghukum kekasih isteriku, maka aku ingin membalas sakit hati ini kepada puteranya yang masih hidup!" berkata demikian, pendekar itu mengepal tinju kanannya dan terdengar bunyi tulang-tulangnya berkerotokan.
"Akan tetapi...".., bukankah suhu sudah membalas sakit hati itu dengan membunuhnya?"
"Tidak! Aku keliru! Dia membuat aku menderita selama ahidupku, dan aku hanya membunuhnya begitu saja, membuat dia mati dan tidak lagi merasakan penderitaan hidup! Tidak, sekarang anaknya yang harus merasakan penderitaan hidup seperti yang telah kutanggung selama ini. Terlalu enak dia. Biar kepalanya kugantung, tetap saja di tidak dapat melihat dan tidak dapat merasakan! Aku telah melakukan kesalahan dengan membunuh mereka dan sekarang aku harus membetulkan kesalahan itu dan menghukum puteranya!"
Han Beng bergidik. Suhunya yang demikian gagah perkasa, yang dihormatinya sebagai seorang pendekar sakti yang budiman, penentang segala kejahatan, kini diracun dendam dan menjadi iblis sendiri!
"Suhu, apa..."" apa yang harus teecu lakukan?" tanyanya dengan suara lirih dan jantung berdebar tegang.
"Aku ingin anaknya merasakan penderitaan seperti yang kurasakan Selma berpuluh tahun ini! Dengar baik-baik, muidku. Laki-laki yang kepalanya tergantung disana itu bernama Coa Kun Tian, putera ketua Hek-houw-pang di dusun Tai-bun-cung dekat Po-yang, dan isteriku bernama Phang Bi Cu, adik kandung dari ban-to Mo-li Phang Bi Cu. Engkau masih ingat nenek cantik pesolek yang memperebutkanmu di sungai itu dan yang kemudian melarikan teman perempuanmu itu? nah, ia itulah ban-tok Mo-li atau dulu pernah menjadi enci dari isteriku. Coa Kun Tian dan Phang Bi Cu sudah mati kubunuh, akan tetapi ternyata Coa Kun Tian mempunyai seorang putera! Dan akulah yang mengawinkan puteranya itu! puteranya bernama Coa Siang Lee, tampan dan mukanya mirip ayahnya. Lihat baik-baik muka kepala itu!
Coa Siang Lee telah kuperdaya sehingga dia menikah dengan seorang gadis yang menjadi puteri ban-to Mo-li, keponakan isteriku yang wajahnya mirip wajah isteriku yang kepalanya berada di dalam botol ini. Nama gadis itu Sim Lan Ci. Nah, kepada kedua orang itulah aku ingin engkau mebalaskan sakit hatiku, Han Beng. Sanggupkah engkau?"
"Suhu, pembalasan yang bagaimanakah harus teecu lakukan?" tanpa mejawab pertanyaan gurunya, Han Beng bertanya karena dia merasa bingung sekali, juga ngeri melihat gurunya yang gagah perkasa itu ternyata mabuk oleh dendam yang amat mendalam.
"Mereka telah menjadi suami isteri, han Beng. Mereka mirip benar denganisteriku dan kekasihnya, seolah-olah isteriku dan kekasihku hidup kembali berbahagia dan saling mencinta. Nah, aku ingin engkau menghancurkan kebahagiaan mereka itu, Han Beng, seperti mereka dahulu menghancurkan kebahagiaanku!"
"Bagaimana...""caranya, suhu? Sungguh teecu tidak mengerti...".."
"Kelak engkau tentu menjadi seorng pria yang gagah perkasa dan tampan. Engkau harus merayu dan menjatuhkan hati SIm Lan Ci, seperti dulu isteriku dirayu dan dijatuhkan hatinya, engkau dapat menggunakan akal apa saja, dengan obat kalau perlu dan aku akan mengajarkan semua itu, sampa Si Lan Ci terjungkal dalam rayuanmu dan engkau harus menggaulinya, menodaianya agar suaminya, putera Coa Kun Tian, melihatnya dan kebahagiaan hidupnya akan lenyap karena isterinya telah menghianatinya seperti isteriku menghianatiku.
Nah, biarkan suami isteri itu merana dan saling membenci, dan noda penuh aib itu akan terus mengejar mereka samapai mati. Engkau tidak perlu membunuh kebahagiaan mereka seperti orang tua mereka pernah membunuh kebahagiaanku!"
Han Beng tertegun, mukanya menjadi merah. Dia masih belum dewasa akan tetapi dia sudah dapat mengerti apa yang dimaksudkan gurunya dan dia merasa ngeri membayangkan tugasnya itu. akan tetapi, dia sudah berjanji, bahkan bersumpah untuk mentaati perintah gurunya!
"bagaimana, Han Beng. Sanggupkah engkau?" Liu Bhok Ki mendesak sambil menatap tajam wajah muridnya yang menunduk.
"Teecu..."". Sanggup," kata Han Beng yang tidak mempunyai pilihan lain. Betapun juga, tadinya dia mengira bahwa dia ditugaskan membunuh orang dan hal ini sungguh amat tidak disukainya, akan tetapi ternyata perintah gurunya itu bukan untuk membunuh, melainkan untuk menjatuhkan hati seorang wanita, hal yang sama sekali asing baginya, bahkan membayangkan bagaimana saja dia pun tidak mampu.
Girang sekali Liu Bhok Ki mendengar ini. Amat girang sehingga dia merangkul anak itu dengan air mata basah.
"Han Beng, muridku yang baik, ketahuilah bahwa itu merupakan satu-satunya harapanku dalam hidup ini. Kalau aku melihat mereka menderita seperti yang pernah kurasakan, maka biar mati pun aku akan dapat memejamkan mata dengan hati tenang. Aku akan mewariskan seluruh ilmu kepandaianku kepadamu, muridku, sebagai balas jasa atas usahamu menghancurkan mereka kelak."
Demikianlah, mulai hari itu, Han Beng menerima gemblengan dari Liu Bhok Ki. Anak ini memang telah memiliki tenaga dasyat sebagai akibat minum darah ular itu, dan dengan bimbingan yang amat bijaksana dan ahli dari Liu Bhok Ki, dia akhirnya mampu menguasai tenaga dasyat itu dan mengendalikaannya sehingga kalau dia mengerahkan tenaga itu, ketika dia berusia lima belas tahun, gurunya sendiri tidak mampu menandingi kekuatan sin-kang (tenaga sakti) yang terkandung dalam tubuhnya!
Cemburu merupakan satu di antara nafsu-nafsu yang dapat menghancurkan manusia itu sendiri dan orang-orang lain. Cemburu merupakan akibat daripada penonjolan si-aku merasa dirugikan, dihina, miliknya, yaitu orang yang dicintainya, diambil oran-orang yang dicintainya, berpaling kepada orang lain. Si-aku merasa diabaikan, merasa dikecilkan dan diremehkan maka timbullah cemburu yang disusul dengan kemarahan dan dendam kebencian!
Api cemburu bisa bernyala besar sekali dan membakar segalanya. Api cemburu dapat mendatangkan kebakaran dalam batin, dan kalu cemburu sudah beranakkan dendam kebencian, maka mata akan menjadi buta dan segala pertmbangan akan lumpuh. Yang ada hanya nafsu membalas, membikin sengsara orang yang dibencinya itu. kalau sudah begini, muncullah perbuatan-perbuatan yang kejam dan tidak berprikemanusian, perbuatan yang hanya merupakan pelampiasan nafsu amarah dan dendam kebencian.
Kepandaian, kekayaan besar, kedudukan tinggi, tidak akan melindungi manusia daripada nafsu-nafsu ini, bahkan seringkali kelebihan-kelebihan itu memperbesar nyala nafsu. Satu-satunya pemadam nafsu apa pun hanyalah kesadaran, kewaspadaan yang akan memungkinkan datangnya sinar cinta kasih dan kebijaksanaan.
Sadar dan waspada akan segala hal yang terjadi di dalam dan di luar lahir batin, waspada akan semua gerak-gerik lahir batin, gerakan jasmani, gerakan panca indera, gerakan hati dan pikiran. Tidak lengah sebentar pun sehingga apabila pikiran berceloteh lalu menghidupkan si-aku yang semakin menjadi-jadi dan merajalela sehingga membangkitkan nafsu-nafsu, maka hal ini pun akan berada dalam pengamatan yang penuh kesadaran dan kewaspadaan.
Pembuatan terusan besar yang menyambung dua sungai besar Huang-ho dan Yang-ce, makin lama semakin terasa berat bagi rakyat jelata.. Karena pekerjaan besar itu membutuhkan tenaga manusia yang sebanyak-banyaknya dan juga membutuhkan biaya besar yang keluar dari kantung pemerintah, maka timbulah hal-hal yang meresahkan rakyat, mana ada banyak uang yang dipermainkan, tentu timbul kecurangan-kecurangan.
Para pembesar yang mendapat tugas mencari tenaga baru dan membayar tenaga itu setelah melihat kesempatan lalu timbul kecurangan mereka dan banyak sekali uang yang sebetulnya diperuntukkan para tenaga pembuat terusan masuk ke kantung para pembesar. Rak yat yang takut terhadap pemerint mudah digertak. Hanya sebagian saja upah yang menjadi hak mereka itu di terima oleh para pekerja. Upah ya sudah dikebiri oleh para pejabat, dan yang kecil sampai yang besar.
Pembesar yang kecil mencatut sedikit, yang besar mencatut semakin banyak dan rakyat pekerja hanya menerima sisanya saja. Bahkan banyak pula yang tidak dibayar seperti kerja rodi. Namun, mereka it hanya dapat menangis dan mengelu tidak berani melawan. Mula-mula, yang menjadi pekerja paksa tanpa dibayar adalah orang-orang hukuman yang dimanfaatkan tenaganya. Akan tetapi, melihat lubang ini, para pembesar dan pengurus pekerjaan besar itu lalu mempergunakan akal mereka yang busuk, memperlakukan rakyat seperti orang hukuman, memaksa rakyat bekerja tanpa ijihayar, dan uangnya masuk ke dalam kantung mereka sendiri.
Ratapan rakyat ini tidak terdengar oleh pemerintah, akan tetapi terdengar oleh para pendekar. Dan pada waktu Itu, para pendekar adalah mereka yang memiliki ilmu silat tinggi dan watak yang bersih, jujur, adil dan pemberani. Dan pusat dari ilmu silat, sebagian besar terletak di dalam biara-biara dan tempat-tempat pertapaan. Terutama sekali di kuil Siauw-lim-si yang menjadi pusat dari Siauw-Lim-pai, sumber para ahli silat tingkat tinggi. Seringkali para murid Siauw-lim-pai yang sudah menjadi pendekar di luar kuil, datang berkumpul untuk berunding dengan para tokoh Siauw-lim-pai, membicarakan tentang kesengsaraan rakyat yang timbul karena adanya pembuatan terusan yang mempergunakan tenaga ratusan ribu orang itu.
Pusat dari perkumpulan Siauw-li pai ini berada di kuil Siauw-lim-si yang besar, selain menjadi pusat perguruan silat tinggi, juga menjadi pusat penyebaran Agama Buddha. Kuil Siauw-li atau Siauw-lim-si ini berdiri di Siong-san sebuah gunung yang tanahnya subur yang juga dikenal dengan nama Cong san. Siong-san bukanlah gunung yang besar dan bukan pula pegunungan yang luas seperti Min-san, Cin-ling-san, Kun-lun-san dan masih banyak lagi. Akan tetapi biarpun tidak berapa besar, nama Siong-san menjadi amat terkenal karena adanya vihara atau kuil Siauw-lim yang besar itu. Terutama sekali di dunia persilatan, nama Siauw-lim-si amat terkenal,disegani dan ditakuti karena di situ menjadi sumber ahli-ahli silat yang me jadi pendekar-pendekar kenamaan.
Kuil yang megah itu dibangun ol seorang pendeta Buddha yang datang datang dari India untuk menyebar pelajaran Agama Buddha, dan pada mulanya hanya merupakan vihara di mana orang-orang belajar keagamaan. Para calon pendeta, calon penyebar pelajaran agama, dididik di dalam vihara ini. Oleh karena pada zaman itu (sekitar tahun 500) merupakain jaman yang belum teratur, apalagi dengan adanya perang saudara yang tiada henti-hentinya sejak jaman Sam-Kok (Tiga Negara) (Tahun 221 - 265), maka perkembangan Agama Buddha pun menglami gangguan dalam suasana yang serba kacau ini.
Kemudian, sekitar tahun 520, muncullah seorang pendeta dari India pula yang memiliki kesaktian tinggi. Berbeda dengan pendeta Pa To yang menjadi pendiri vihara Siauw-lim dan yang hanya seorang ahli tentang agama, Tat-mo Couw-su, pendeta dari India yang baru ditang ini, memiliki kesaktian yang hebat.
Apalagi ketika dalam perantauannya dari See-thian (India) ke Tiongkok dia banyak mengembara di Himalaya, bertemu dengan para per tapa yang tinggi ilmunya dan dia senantiasa memperdalam ilmu-ilmunya, maka ketika tiba di vihara Siauw-lim, dia merupakan seorang pendeta Buddha yang amat tinggi ilmu kesaktiannya. Banyak sekali kisah yang aneh-aneh diceritakan orang turun temurun, terutama yang datang dari para hwesio (pendeta Buddha) di kuil Siau lim tentang tokoh Tat-mo Couw-su ini.
Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ada yang mengatakan bahwa ketika berada di vihara Siauw-lim itu. Tat-Couw-su pernah menggali sumur dengan hanya menggunakan kedua tangannya sampai ada air muncrat keluar! Ada pula yang mengatakan bahwa dia membuat ukir-ukiran di atas dinding batu mengunakan jari tangannya melukiskan rakan orang bersilat dalam berbagai jurus. Bahkan ada cerita bahwa dia bertapa di kuil itu selama sembilan tahun untuk memperdalam ilmu-ilmunya. dan tubuhnya tercetak di atas batu tempat dia duduk, juga punggungnya tercetak di dinding batu yang menjadi sandarannya. Pendeknya, banyak sekali dongeng tentang Tat-mo Couw-su ini yang mencereritakan tentang kesaktiannya yang seperti dewa!
Bagaimanapun juga, harus diakui berdasarkan sejarah yang ada bahwa Tat-mo- Couw-su inilah yang menjadi pelopor adanya ilmu silat di dalam kuil Siauw-lim, yang kemudian menjadi terkenal sekali, bahkan menjadi sumber banyak macam ilmu silat yang ada di daratan Tiongkok.
Pada waktu sebelum Tat-mo Couw-su datang ke kuil Siauw-lim, tentu saja tidak ada murid atau pendeta kuil Itu yang mempelajari ilmu silat. Mereka belalah penganut-penganut agama yang Imtuh dan Agama Buddha mengajarkan cinta kasih, menjauhi pertentangan, permusuhan, apalagi kekerasaan. Sedangkan Ilmu silat adalah ilmu berkelahi! Tentu taja tidak ada hwesio yang mau membelajari ilmu untuk memukul orang itu!
Akan tetapi pada suatu hari, Tat-mo Couw-su melihat betapa para pendeta dan murid di kuil Siauw-lim itu bertubuh lemah dan karena kelemahan tubuh ini mereka menjadi malas dan tidak betah duduk bersamadhi, lebih suka bermalas-malasan dan tidur. Karena tubuh yang lemah ini banyak pula diantara mereka yang terkena penyakit, selain itu, juga pada jaman itu banyak terjadi kerusuhan dan para penjahat itu agaknya tidak memandang bulu ketika melakukan kejahatan yang mengandalkan kekerasan. Bahkan beberapa kali ki diserbu dan dirampok, para hwesio dianiaya, bahkan ada pula yang sampai dibunuh. Dua hal ini menggerakkan hati Tat-mo, yaitu nama pendeta ini yang kemudian ditambah sebutan Couw-(Guru Besar), untuk memberi latihan kepada para pendeta dan murid Siau lim agar tubuh mereka menjadi sehat dan kuat.
Mula-mula pendeta yang sakti menciptakan semacam ilmu olah raga yang kalau dilatih dapat menyehatkan tubuh, bahkan memperkuat batin. Ilmu ini yang kemudian terkenal dengan sebutan it-kin-keng, ilmu gerakan yang melenturkan otot-otot, membersikan darah dan memperkuat tulang-tulang. It-kin-keng dibagi menjadi delapan belas gerakan pokok. Manfaat ilmu ini setingkat atau bahkan lebih tinggi dari gerakan dalam Yoga. Selain ilmu It-kin-keng, Juga Tat-mo Couw-su menciptakan ilmu silat untuk para hwesio yang bertugas jaga untuk menjaga kuil dari gangguan orang-orang jahat. Ilmu silat ini diberi nama Cap-pwe Lo-han-kun, juga terdiri dari delapan belas jurus. Lo-han-kun atau Silat Arhad ini memang diperuntukkan para hwesio, selain untuk memperkuat tubuh juga untuk dapat di pakai membela diri dan melindungi keamanan Kuil.
Itulah permulaan ilmu silat yang diajarkan kepada para hwesio di kuil Siauw-lim. Kemudian, melihat kegunaan dar ilmu-ilmu itu, maka para cerdik pandai tokoh-tokoh keagamaan Buddha memperkembangkan ilmu silat itu dan mulailah ilmu silat Siauw-lim memegang peran penting di dunia persilatan. Latihan-latihan yang dilakukan para murid di kuil Siauw-lim terkenal amat berat, namun justeru latihan berat inilah yang membuat ilmu silat Siauw-lim terkenal sebagai ilmu yang kokoh kuat, dan murid yang lulus dari perguruan ini miliki ilmu silat yang sudah matang dengan tenaga yang boleh diandalkan. Banyak tokoh bermunculan dan ilmu silat siauw-lim terus berkembang, semakin banyak macamnya dan para cerdik pandai tiada hentinya mengerahkan segala bakat dan kepandaian mereka untuk menciptakan jurus-jurus baru.
Pada Pada jaman pemerintah Kaisar Li Wu Ti (502-549), seorang Kaisar dinasti Liang yang menjadi penganut Agama Buddha yang patuh, mempunyai hubungan dekat dengan Siauw-lim-si. lagi ketika terjadi banyak kerusuhan pemberontakan di sana-sini, kaisar ini minta bantuan para ahli silat dari Siau lim-pai. Pada waktu itu, sudah banyak pendekar lihai yang menjadi murid Siauw-lim-pai, dan para pendekar ini berhasil baik sekali dalam penumpasan para perusuh. Kaisar Liang Wu Ti merasa gembira dan berterima kasih, maka kaisar itu lalu memperluas bangunan vihaha Siauw-lim. Makin majulah vihara itu dan semakin banyak muridnya. Usaha menyebarkan Agama Buddha juga berkembng dengan baik dan memperoleh kemajuan pesat seperti juga pengembangan pelajaran ilmu silatnya. Semua ini karena dukungan Kaisar Liang Wu Ti yang juga beragama Buddha.
Akan tetapi, pemberontakan besar meletus ketika wangsa Sui, dipimpin oleh yang Cien, menyerbu dan utara dan menghancurkan kekuasaan dinasti Liang. dalam perang ini, pihak Siauw-lim-pai membantu Kaisar Liang Wu Ti. Oleh karena itu, ketika Dinasti Liang kalah, Dinasti Baru dari Wangsa Sui membasmi semua Vihara agama Buddha, juga Siauw-lim-Si ikut dimusnahkan Para murid dan pendekar Siauw-lim-pai yang berhasil meloloskan diri, lari cerai berai dan para liwesio lari bersembunyi atau bertapa di puncak-puncak gunung dan di tempat-tempat sunyi.
Akan tetapi karena para pendekar siauw-lim-pai itu di mana-mana telah menyebar perbuatan yang gagah perkasa dan baik, akhirnya Kaisar Yang Cien mau mengampuni mereka dan bahkan memperkenankan kembali vihara Sia lim-si dibangun.
Sampai Kaisar Yang Cien diganti oleh puteranya, yaitu Kaisar Yang Ti, keadaan Siauw-lim-si tetap baik walaupun Kaisar Yang Ti lebih condong medekat para to-su (pendeta) dari Agama To (Taoism) daripada Agama Buddha.
Sudah sejak lama terjadi semacam permusuhan antara para tokoh Agama Buddha dan para tokoh Agama To. ini terjadi karena adanya semacam persaingan dan iri hati. Kalau kaisar pemerintahnya mendekati Agama Budda maka pihak para to-su merasa iri hati sebaliknya kalau kaisar mendekati pa to-su, maka para hwesio yang merasa iri hati dan tidak senang. Iri hati ada suatu penyakit batin yang timbul dan penonjolan dan pementingan si -aku pula. . Pikiran ini membentuk si-aku dibesar-besarkan, dipentingkan sedemikian rupa sehingga kalau diabaikan timbul perasaan iri hati dan kecewa. Kita sudah sedemikian egois, setiap saat selalu mementingkan diri pribadi sehingga segala hal-hal yang menyenangkan dan baik hendak kita monopoli, sedapat mungkin segalanya itu diperuntukkan diri sendiri. Bahkan Tuhan Yang Maha Adil pun, ingin kita monopoli agar keadilan-Nya hanya untuk kita, demi kepentingan dan kesenangan kita, demikian pula kasih sayang dari Yang Maha Kasih ingin kita monopoli. Karena setiap perorangan memiliki sikap mementingkan diri sendiri masing-masing, maka tidaklah mengherankan apabila dunia ini penuh dengan permusuhan pribadi, permusuhan antara keluarga, antara golongan, antar suku dan antar bangsa. Bertabrakanlah kepentingan masing-masing dan menimbulkan konflik.
Permusuhan selalu mendatangkan dendam. Ketika Siauw-Lim-si dimusuhi kaisar dan pemerintah, bukan hanya jagoan-jagoan istana dan para panglima saja yang menyerbu Siauw-lim-si, akan tetapi di antara mereka terdapat pula tokoh-tokoh dari kalangan Agama To, yaitu para to-su yang membantu pemerintah.
Oleh karena itu, ketika pemerintah condong mendekati para hwesio, giliran to-su yang dimusuhi! Dendam mendendam yang tiada habisnya agaknya sudah menjadi pakaian manusia. Hanya kita sendiri yang mampu menanggalkannya dari diri kita masing-masing.
Kini keadaan kembali berubah, lihat betapa pelaksanaan pembuatan terusan itu mengorbankan banyak rakyat jelata, membikin sengsara rakyat dengan adanya kerja-paksa yang dilakukan oleh pembesar-pembesar daerah, dengan penjilatan ke atas atau korupsi, banyak pendekar Siauw-lim-pai menjadi penasaran. Mulailah terjadi penentang penentangan dari pihak Siauw-lim-si. Para pendekar Siauw-lim-pai bentrok dengan pelaksana pengumpul tenaga rakyat. Di mana-mana terjadi perkelahian antara para pelaksana yang mempunyai jagoan-jagoan dengan para pendekar Siauw-lim-pai. Tentu saja hal ini terdengar oleh para pejabat dan mulai timbul perasaan tidak senang kepada Siauw-Lim-si.
Inilah kesempatan yang amat baik bagi saingan para hwesio, yaitu para tosu. Para tosu yang tadinya merasa tersisih melihat akrabnya hubungan antara para hwesio dan pemerintah, kini melihat kesempatan baik sekali untuk maju ke depan. Mereka berusaha untuk memperlebar jurang pemisah antara pemerintah dan pihak Siauw-lim-si, ada yang menghasut dan banyak yang membantu pemerintah dalam menghadapi para pendekar Siauw-lim-pai. Campur-tangan dari para tosu ini tentu saja memperhebat pertentangan para para hwesio dan pendekar Siauw-Lim-pai dengan pihak pemerintah sehingga seringkah terjadi perkelahian besar-besaran yang menjatuhkan korban cukup banyak, terutama di pihak pasukan pemerintah. Hal ini terdengar oleh pihak atasan, Kaisar yang mendengar oleh berita laporan bahwa orang-orang Siauw-lim-pai menentang kebijaksanaan pemerintah untuk membangun terusan besar, bahkan menyerang para pelaksana pekerjaan besar itu, tentu saja menjadi marah dan Kaisar Yang Ti memerintahkan untuk menghukum Siauw-lim-pai, membasmi mereka yang memberontak dan mcmusnahkan vihara besar Siauw-lim-si yang dulu dibangun dengan bantuan istana juga.
Pihak Siauw-lim-pai maklum akan keadaan yang amat gawat itu dan pada pagi hari itu, para pimpinan Siauw-lim-pai berkumpul di vihara. Pagi yang sunyi dan penuh ketegangan karena para pendekar murid-murid Siauw-lim-pai yang berdatangan membawa berita yang tidak menggembirakan,
Vihara Siauw-lim itu memang luas sekali.Dikelilingi pagar tembok yang tebal dan tinggi seperti benteng. Pintu gerbang depan besar dan tebal, selalu dijaga oleh murid-murid vihara. Di bagian dalamnya yang luas terdapat bermacam bangunan, dan cukup banyak Pada waktu itu, para pendekar murid Siauw-lim-pai yang sudah hidup di bagian kuil dan berdatangan ke situ, berduyun- duyun naik ke bukit kecil di dalam kompleks vihara. Bukit kecil itu tidak berapa tinggi, akan tetapi di puncaknya terdapat sebuah bangunan mungil. Disinilah tinggalnya pimpinan tertinggi dari kuil Siauw-lim-si, bahkan menjadi tokoh tertinggi dari perguruan Siauw-lim-pai pada umumnya.
Pondok mungil itu ternyata tidak berkamar, merupakan ruangan yang luas dan terbuka. Dua orang hwesio tua nampak duduk di atas dipan bundar, bersila dan berhadapan. Mereka itu sudah tua. sedikitnya tentu sudah tujuh puluh tahun usia mereka. Yang seorang bertubuh tinggi kurus dengan jubah kuning, mukanya bersih seperti kepalanya, tanpa ada rambut sedikit pun. Wajahnya pun dan matanya banyak menunduk, akan tetapi terbayang- ketegasan dalam sinar mata dan dalam tarikan garis-garis di tepi mulut, di dagu dan di tepi kedua matanya. Dia adalah ketua Siauw-Im-pai pada waktu itu, seorang hwesio yang sudah pernah mempelajari keagamaan di India, dan di samping itu juga telah mewarisi ilmu-ilmu silai dari siauw-lim-pai. Julukannya adalah Thian-cu Hwesio, dan dia terkenal sebagai seorang pemimpin yang jujur, adil, dan tegas maka disegani oleh semua murld Siauw-lim-pai. Karena sudah merasa tua dan lebih suka bersamadhi, maka selama hampir dua tahun ini Thian-cu Hweslo hampir tidak pernah mencampuri urusan di luar kuil. Dia hanya bersamadhi di dalam kamarnya dan baru keluar dari kamar kalau dia merasa perlu untuk memberi penerangan tentang pelajar agama kepada para muridnya, atau adakalanya kalau hatinya sedang gembira dia mengamati para murid yang berlatih
silat di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan memberi petunjuk kepada beberapa orang murid yang melakukan gerakan yang kurang sempurna.
Akan tetapi, selama beberapa hari ini, Thian-cu Hwesio kedatangan seorang tamu, yaitu seorang hwesio yang sebaya dengan dia. Hwesio ini adalah kakak seperguruannya, juga seorang pendeta Buddha yang banyak melakuka perantauan untuk kepentingan penyebaran Agama Buddha. Hwesio ini, karena terlalu banyak hidup di luar, kulitnya sampai berubah menghitam dan julukannya berubah Hek-bin Hwesio (Pendeta Muka Hitam) karena mukanya memang hitam sekali terbakar sinar matahari ketika merantau sampai bertahun-tahun di padang pasir di utara. Puluhan tahun lamanya dia memperdalam ilmu-ilmunya di India, Nepal dan di Himalaya, dan di tempat terakhir itulah dia bertemu dengan Thian-Cu Hwesio dan sama-sama belajar dan seorang pertapa yang sakti sehingga Hek-bin Hwesio terhitung su-heng (kakak seperguruan) dari ketua Siauw-lim-pai itu.
Bukan main gembira rasa hati Thian-Cu Hwesio menerima kunjungan suhengnya ini dan beberapa hari lamanya mereka bercakap-cakap, bukan saja tentang perkembangan Agama Buddha, melainkan juga tentang kekacauan di antara rakyat sehubungan dengan adanya paksaan terhadap rakyat untuk bekerja menggali terusan.
"Bagaimana hati pin-ceng tidak akan merasa resah, Suheng. Biarpun sudah lama pinceng tidak pernah keluar dari kuil, akan tetapi banyak laporan para murid yang menceritakan tentang kesengsaraan rakyat jelata dengan adanya usaha pemerintah menggali terusan besar antara Sungai Huang-ho dan Ya-ce itu. Mau tidak mau, para murid Siauw-Lim-pai harus melindungi rakyat jelata dan karenanya seringkali terjadi bentrokan dengan para petugas pemerintah yang melaksanakan pengumpulan tenaga rakyat itu. Bukan bentrokan kecil-kecilan, bahkan sampai terjadi pertempuran yang menjatuhkan korban di kedua pihak. Sungguh hal ini memprihatinkan hati pin-ceng, Suheng," kata Thian Hwesio yang mengeluh karena ada pertentangan itu.
Hwesio tamu itu bertubuh gendut dengan perut besar bulat, kepalanya yang gundul itu pun bundar dan licin, mulutnya selalu tersenyum lebar seperti orang yang selalu gembira, sepasang matanya juga lembut dan ramah, akan tetapi sesuatu yang mencorong di dalam yang menunjukkan bahwa di balik muka yang kekanak-kanakan penuh senyum. Tubuh yang gendut seperti patung Ji-Lai-hud itu tersembunyi sesuatu yang dasyat dan amat kuat. Memang Hek-Bin Hwesio yang mukanya hitam seperti pantat kuali ini seorang yang selalu ramah dan penuh senyum tawa, memandang dunia dan kehidupan manusia dari segi yang menggembirakan saja. Akan tetapi jangan dipandang rendah semua keramahan dan kelembutan itu karena hwesio tua ini sesungguhnya memiliki kesaktian yang lebih tinggi dan lebih hebat dibandingkan dengan sutenya yang menjadi ketua Siauw-lim-pai. Mendengar keluhan sutenya, Hek-bin Hwesio tertawa, lalu membelalakkan matanya yang bundar itu, memandang sutenya.
"Sute, sebagai ketua Siauw-lim-pai, mengapa engkau membiarkan murid-muridmu menentang pemerintah? Bukanlah pemerintah pula yang telah bersikap baik dan murah hati kepada Siauw-lim-Si, membangun vihara ini dan bahkan memberi tanah yang luas?"
"Omitohud ....... tentu saja pin-ceng tidak akan melupakan itu ..... justeru karena itulah maka pin-ceng merasa prihatin dan hati menjadi resah suheng.
Kami tidak menentang pemerintah, sama sekali tidak memusuhi pemerintah, kami cukup mengerti bahwa rencana pemerintah itu baik sekali. Menggali itu membangun terusan besar antara sungai Huang-ho dan Yang-ce memang amat besar manfaatnya, melancarkan lalu lintas perdagangan. Akan tetapi.... pelaksanaannya itulah, Suheng!
Pelaksanaannya menyimpang dari tujuannya yang baik. Bayangkan saja. Rakyat diperas tenaganya, dipaksa bekerja tanpa dibayar, bahkan menerima ransum yang sedikit sekali, tidak ada pengobatan dan tidak ada pertolongan kalau ada yang sakit. Entah berapa banyaknya rakyat yang mati, belum lagi keluarganya yang menjadi terlantar karena terpaksa ditinggalkan. Kami menentang perlakuan tidak adil itu, yang kami tentang adalah para pelaksana itu, orang-orang yang korup dan yang mempergunakan kesempatan itu untuk mengeruk keuntungan sebesarnya, menari di atas mayat rakyat jelata, beruntung di atas ratap tangis rakyat! Bagaimana menurut pendapat Suheng?"
Senyum di wajah hitam itu melebar
"Sute sendiri tentu sudah tahu sejelasnya bahwa segala macam bentuk kekerasanlah tidak benar. Pelaksanaan kekerasan, dalam bentuk apa pun, tidak akan mungkin mendatangkan hasil yang penuh kedamaian. Sute sendiri tahu bahwa betapapun baiknya tujuan, kalau pelaksanaannya tidak benar maka jadinya pun pasti tidak benar. Nah, kalau sekarang tujuan Sute yang baik itu mendatangkan sejahtera dan damai dari kehidupan rakyat, dilaksanakan dengan kekerasan, dengan perkelahian, bagaima mungkin hasilnya akan baik?"
"Omitohud......apa yang dikatakan Suheng memang benar dan pinceng dapat melihat kebenaran itu. Akan tetapi, apakah kita harus tinggal diam saja melihat rakyat ditindas, ditekan, diperas dan dibunuh?"
"Siancai Siancai Siancai..... Masih perlu berheran-herankah kita melihat semua peristiwa itu, Sute? Tidak ada yang perlu diherankan, tidak ada yang patut disesalkan, walaupun bukan berarti bahwa kita akan tinggal berpangku tangan dan bermasa bodoh saja. Manusia wajib berikhtiar, Sute, namun segala pelaksanaan dan ikhtiar itu sendiri harus berada di jalan benar, bukan dengan kekerasan dan permusuhan. Tidakkah sebaiknya kalau misalnya Sute mengajukan pelaporan kepada Istana agar Kaisar sendiri mengetahui betapa para pelaksana pekerjaan besar itu melakukan penyelewengan?"
Thian-cu Hwesio menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang.
"Belum kami coba, Suheng. akan tetapi kiranya akan percuma saja. Pertama, tidak mungkin membuat laporan langsung kepada Kaisar tanpa melalui para pembesar dan Menteri, dan melalui mereka tentu akan sia-sia belaka dan tidak akan sampai ke telinga Kaisar. Ke dua, andaikata dapat sampai kepada Kaisar sekalipun, apakah Kaisar tidak lebih percaya kepada laporan para pembesar daripada laporan kita? Sudahlah, Suheng. Kurasa sepak terjang para murid kami tidak keliru, yaitu secara langsung membela rakyat dari penindasan para petug yang korup itu. Sekarang, ada hal lain yang lebih memprihatinkan hati pin-ceng."
Pedang Naga Hitam Eps 13 Pedang Naga Hitam Eps 13 Si Bayangan Iblis Eps 12