Ceritasilat Novel Online

Si Bayangan Iblis 12


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 12




   "Aku tidak memerlukan bantuan. Minggirlah, biarkan aku lewat dan jangan kalian ceritakan kepada siapa pun tentang kehadiranku di sini!"

   Lima orang itu lalu bergerak minggir dan memberi jalan. Sui In melewati mereka, lalu teringat akan sesuatu dan berkata lagi kepada mereka sambil menahan langkahnya.

   "Oya, kalian tentu mengenal Cian Ciang-kun, bukan?"

   "Nona maksudkan perwira Cian Hui? Tentu kami mengenalnya. Bahkan dia yang kini menjadi atasan kami."

   "Bagus. Kalau bertemu dengan dia, katakan bahwa nona Siauw In, dayang Yang Mulia Permaisuri, sore hari ini hendak menyelidiki ke kuil di puncak bukit. Mengerti?"

   Mereka memberi hormat.

   "Baik, nona!"

   Dengan hati lapang dan bangga Sui In melanjutkan perjalanannya, memasuki hutan itu dan mendaki bukit. Ada sebuah jalan menuju ke puncak, jalan yang memang dibuat untuk para keluarga Kaisar yang pesiar. Jalan itu indah dan di kanan kiri jalan terdapat tanaman berbagai bunga, indah sekali. Juga pohon-pohon di hutan itu terpelihara.

   Di sepanjang perjalanan, Sui In melihat beberapa ekor kijang berkelompok dan beberapa ekor kelinci berlarian menyelinap ke balik semak-semak ketika melihatnya. Tempat ini begini indah, begini tenang dan penuh damai, mendatangkan perasaan tenteram.

   Ia sudah mulai merasa kecewa dan menyesal. Betapa bodohnya mencurigai tempat senyaman ini! Tempat termasuk hutan buatan, penuh taman dan pohon yang terpelihara indah, juga di sana sini tentu terdapat perajurit pengawal yang melakukan perondaan.

   Tidak mungkin menjadi tempat persembunyian penjahat. Paling-paling hanya menjadi tempat persembunyian muda-mudi istana yang mengadakan pertemuan rahasia yang penuh kemesraan! Akan tetapi ia sudah tiba di situ, harus dilanjutkan sampai ke puncak. Ia ingin melihat bagaimana macamnya kuil istana yang sudah banyak didengarnya itu, sebagai kuil yang indah dan dihuni oleh pendeta-pendeta yang alim dan pandai.

   Kabarnya di luar istana, kuil ini manjur sekali, dapat memberi obat yang mujarab bagi yang sakit, dan dapat meramalkan nasib dengan tepat dan baik sekali. Orang luar istana tidak diperkenankan masuk. Sekarang, setelah ia berada di situ, merupakan kesempatan baik untuk mengunjungi kuil itu, di samping tugas penyelidikannya. Ia sudah pernah mendengar bahwa kepala pendeta di kuil itu yang bernama Gwat Kong Hosiang adalah seorang hwesio yang selain alim dan pandai, juga lihai ilmu silatnya karena dia datang dari kuil Siauw-lim-si.

   Ketika ia tiba di kuil itu, ia disambut oleh beberapa orang hwesio yang memandang heran walaupun mereka itu segera menyambut dengan sikap hormat karena tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang dayang dari Permaisuri. Kekuasaan dan pengaruh Permaisuri Bu Cek Thian bahkan sudah sampai ke kuil itu. Kuil itu sunyi, tidak ada pengunjung datang bersembahyang, dan banyak di antara para hwesio kini sibuk pula di rumah Pangeran Souw Han untuk melakukan sembahyang.

   "Selamat datang, nona. Bantuan apakah yang dapat kami berikan kepada nona?" tanya seorang di antara mereka dengan sikap hormat.

   "Aku ingin berjumpa dengan Gwat Kong Hosiang, ketua kuil ini," jawab Cu Sui In.

   Empat orang hwesio itu saling pandang, kemudian pembicara tadi menjawab.

   "Omituhud, toa-suhu Gwat Kong Hosiang tidak dapat ditemui nona karena dia sedang sakit. Dan wakilnya, yaitu suhu Kwan Seng Hwesio kini sedang bersiap-siap untuk pergi ke tempat kematian."

   "Kalau begitu biarkan aku berjumpa dengan Kwan Seng Hwesio," kata pula Sui In.

   "Tapi, nona. Kwan-suhu sedang sibuk dan pula..... dengan adanya peristiwa kematian itu, semua orang akan berada di sana. Kenapa nona bahkan datang berkunjung dan......"

   Hwesio itu berhenti bicara ketika melihat Sui In mengeluarkan cincin wasiatnya, pemberian Permaisuri. Melihat cincin itu, para hwesio itu membungkuk dalam-dalam dan penuh hormat.

   "Antarkan aku kepada Kwan Seng Hwesio sekarang juga," kata Sui In dan sekali ini, para hwesio tidak ada yang berani membantah. Mereka memberi jalan dan mempersilakan wanita cantik itu masuk. Dengan sikap hormat seorang hwesio lalu mengantarkan Sui In memasuki ruangan dalam dan mengetuk pintu ruangan itu.

   Hwesio wakil kepala kuil itu Kwan Seng Hwesio yang berusia limapuluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermuka gelap kehitaman, namun sepasang matanya lembut, sedang berkemas karena dia akan segera pergi ke rumah kematian untuk memimpin sembahyangan pada waktunya nanti.

   Tentu saja dia terbelalak heran ketika membuka pintu dan melihat hwesio penjaga pintu depan mengantar seorang wanita muda yang cantik. Akan tetapi, diapun mengenal dayang Permaisuri, maka biarpun alisnya berkerut, dia bangkit dan merangkap kedua tangan di depan dada.

   "Omitohud...... semoga nona selalu berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa. Ada keperluan apakah nona berkunjung dan mengapa kepada pinceng? Bukankah di luar sudah banyak para murid yang dapat melayani keperluan nona?"

   Sui In segera mengeluarkan cincinnya dan melihat benda itu, Kwan Seng Hwesio cepat memberi hormat dengan membungkuk sampai dalam. Kini mengertilah dia mengapa para hwesio membiarkan wanita ini masuk menemuinya. Kiranya dayang ini membawa tanda kekuasaan dari Sang Permaisuri!

   "Omitohud! Apakah yang dapat pinceng lakukan untuk nona?"

   "Kwan Seng Hwesio, aku ingin bertemu dan bicara dengan Gwat Kong Hosiang."

   Hwesio tinggi kurus itu nampak terkejut, lalu menoleh kepada hwesio penerima tamu dan berkata.

   "Cepat keluar dan beri kabar bahwa pinceng sedang menerima tamu dari istana, katakan bahwa sebentar lagi pinceng harus pergi ke rumah kematian!"

   Hwesio itu memberi hormat dan keluar, menutupkan kembali pintu ruangan itu yang tadi terbuka. Kwan Seng Hwesio mempersilakan Sui In duduk, kemudian diapun bertanya.

   "Ada keperluan apakah nona ingin bertemu dan bicara dengan suheng Gwat Kong Hosiang?"

   "Aku membawa tugas dari Yang Mulia Permaisuri untuk bicara dengan ketua kuil ini," kata Sui In dengan singkat.

   Kwan Seng Hwesio mengembangkan kedua lengannya.

   "Akan tetapi, Yang Mulia Permaisuri sendiri juga tahu bahwa suheng sedang menderita sakit sejak lama dan tidak dapat menerima tamu! Nona, kalau ada urusan mengenai kuil, semua merupakan tanggung jawab pinceng yang mewakili, suheng! Bahkan Yang Mulia Sribaginda Kaisar sendiri sudah mengetahui akan hal itu."

   "Begini, losuhu. Aku mendapat tugas dari Yang Mulia Permaisuri untuk melakukan pelacakan dan penyelidikan, untuk membongkar rahasia pembunuhan yang dilakukan si Bayangan Iblis. Dan aku ingin memeriksa semua tempat, termasuk kuil ini, maka, aku minta persetujuan losuhu untuk membiarkan aku melakukan pemeriksaan di seluruh pelosok di bukit ini."

   Kwan Seng Hwesio terbelalak memandang kepada gadis itu.

   "Akan tetapi, nona. Tempat ini adalah tempat suci! Tidak ada yang perlu diperiksa. Kuil ini diurus oleh suheng, pinceng dan para hwesio. Sama sekali tidak mungkin ada penjahat bersembunyi di tempat seperti ini!

   "Bagaimanapun juga, aku harus melakukan penggeledahan dulu, baru aku dapat percaya dan dapat melapor kepada Yang Mulia Permaisuri dengan penuh keyakinan."

   "Tapi, apakah nona tidak percaya kepada kami? Sedangkan Yang Mulia Sribaginda Kaisar sendiri percaya kepada kami!"

   "Maaf, losuhu. Tugas adalah tugas, tidak ada sangkut pautnya dengan percaya atau tidak."

   Hwesio itu bangkit berdiri, wajahnya yang biasanya tenang itu kini nampak gelisah.

   "Omitohud......, nona sungguh memaksa pinceng, sungguh memaksa. Baiklah, mari pinceng antar nona mengunjungi suheng Gwat Kong Hosiang yang sedang menderita sakit."

   Hwesio itu lalu membuka daun pintu ruangan itu dan melangkah keluar, diikuti oleh Sui In. Wanita ini memang merasa caaggung dan sungkan juga telah memaksakan kehendaknya kepada seorang pendeta yang suci! Akan tetapi apa boleh buat. Ia harus mencari Hek-liong-li, harus mencari jejak yang dapat membantu Cian Ciang-kun, atau lebih tepat lagi membantu Pek-liong, pendekar yang dikaguminya itu.

   Juga ia terdorong oleh perasaan dendamnya kepada Si Bayangan Iblis yang bukan saja telah membunuh suaminya, akan tetapi juga nyaris membunuh pamannya. Ia juga didorong perasaannya sebagai seorang murid Kun-lun-pai, seorang pendekar yang harus menentang perbuatan jahat dan kejam seperti telah dilakukan oleh Si Bayangan Iblis. Maka iapun membuang semua perasaan sungkannya telah mengganggu wakil kepala kuil ini.

   Ia mengikuti hwesio tinggi kurus itu menuju ke bagian belakang kuil itu yang ternyata luas sekali. Dan di ruangan belakang yang terdapat banyak kamar yang daun pintunya tertutup, Kwan Seng Hwesio berhenti di depan sebuah pintu kamar.

   "Di sinilah suheng Gwat Kong Hosiang beristirahat, akan tetapi sungguh amat tidak enak mengganggu dia yang sedang menderita sakit. Dia amat lemah dan sungguh tidak baik bagi kesehatannya kalau diajak bicara."

   "Biarkan aku melihatnya saja sebentar, losuhu."

   Kwan Seng Hwesio membuka daun pintu dan Sui In melihat seorang hwesio tua yang bertubuh gemuk rebah telentang di atas sebuah pembaringan dan hwesio tua itu nampak tertidur. Setelah melihatnya sebentar, ia membiarkan Kwan Seng Hwesio menutupkan kembali daun pintu itu dan Sui In sudah menghampiri sebuah pintu lain yang menuju ke belakang dan hendak membukanya.

   "Nona, harap jangan buka pinta itu!" tiba-tiba Kwan Seng Hwesio berkata, nada suaranya tegas sehingga Sui In menjadi terkejut.

   "Eh? Kenapa? Rahasia apa yang tersembunyi di balik pintu ini, losuhu?"

   "Tidak ada rahasia! Hanya itu merupakan tempat pribadi yang tidak boleh dibuka sembarangan orang!"

   "Akan tetapi aku bukan sembarangan orang, losuhu. Ingat, aku ini utusan Yang Mulia Permaisuri yang telah diberi kekuasaan, dan aku berhak untuk memeriksa apa dan siapapun juga."

   Sui In sudah memegang daun pintu itu, akan tetapi tiba-tiba daun pintu terbuka dan nampak seorang laki-laki meloncat keluar dari dalam kamar itu. Dan Sui In terbelalak kaget.

   Laki-laki itu berusia limapuluh tahun, rambutnya putih semua dan wajahnya masih nampak muda, tubuhnya jangkung dan tangan kanannya memegang sebatang pedang. Dia menyeringai lebar.

   "Heh-heh, kiranya engkau lagi, nona. Sekali ini engkau tidak akan mampu lolos!"

   "Pek-mau-kwi.......! Engkau......! Di sini? Bagaimana ini? Ahhh, tahu sekarang aku! Engkau pembantu Si Bayangan Iblis dan kuil ini menjadi tempat persembunyian kalian! Bagus, Kwan Seng Hwesio. Kiranya engkau seorang pengkhianat!"

   "Omitohud......!" Kwan Seng Hwesio berseru bingung dan Pek-mau-kwi Ciong Hu sudah menyerang Sui In dengan pedangnya. Sui In cepat meloncat ke belakang dan iapun mencabut pedang yang ia sembunyikan di balik bajunya dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang seru di tempat itu.

   Sui In menyerang dengan gemas karena ia teringat akan susioknya, Giam Sun yang ketika tewas meninggalkan dua buah nama, yaitu Pek-mau-kwi ini dan Kwi-eng-cu Si Bayangan Iblis. Ia tahu bahwa tentu Pek-mau-kwi ini dan pembantu-pembantunya, yaitu Huang-ho Siang-houw yang telah membunuh susioknya, atas perintah seorang tokoh rahasia yang dijuluki Si Bayangan Iblis. Maka, dengan hati penuh dendam ia memainkan ilmu pedang Kun-lun Kiam-sut dan menyerang dengan dahsyat.

   Akan tetapi pria berambut putih itu memang lihai. Kalau dulu Sui In terlepas dari tangannya adalah karena muncul Pek-liong. Akan tetapi kini ia harus melawan sendiri dan biarpun ia mampu menandingi ilmu pedang Pek-mau-kwi, akan tetapi iapun tidak mampu mendesaknya dan pertandingan dengan pedang itu semakin seru dan mati-matian.

   Tiba-tiba terdengar suara wanita terkekeh dan muncullah seorang wanita tua yang usianya tidak kurang dari enampuluh lima tahun, bertubuh kurus kering dan matanya mencorong seperti mata kucing!

   "Heh-heh-heh, Pek-mau-kwi. Tidak malukah engkau, sejak tadi tidak mampu merobohkan seorang wanita muda? Dan engkau, Kwan Seng Hwesio, kenapa diam menonton saja seperti patung dan tidak membantu Pek-mau-kwi?"

   "Omituhud......, maafkan pinceng...... kita sudah berjanji bahwa pinceng tidak akan melibatkan diri dalam perkelahian......, Omituhud!"

   Nenek itu kembali terkekeh dan ia meloncat ke dalam medan perkelahian dan sekali tangannya menyambar, ada angin pukulan dahsyat sekali menyambar ke arah muka Sui In! Wanita ini terkejut. Tamparan tangan ke arah mukanya itu kuat dan cepat bukan main. Ia lalu mengelebatkan pedangnya untuk menyambut tangan yang menampar, menangkis dan sekaligus menyerang untuk membikin buntung tangan yang menyerangnya itu.

   "Dukkk!" Pedang itu terpental lepas dari pegangan Sui In dan sebelum wanita ini tahu apa yang terjadi, tangan nenek itu sudah menampar ke arah dada kanannya, di bawah pundak.

   "Plakk!" Sui In terpelanting roboh dan pingsan.

   Wanita itu kembali terkekeh.

   "Huh, segala macam budak ingusan berani mengacau ke sini? Keram ia dalam ruangan bawah tanah!"

   Sambil menyeringai, Pek-mau-kwi Ciong Hu memondong tubuh Sui In yang pingsan dan melihat wajah anak buahnya itu, nenek yang amat lihai itu menghardik.

   "Awas kau, Pek-mau-kwi. Kalau engkau ganggu wanita itu, engkau akan kubunuh! Semua anak buahku harus tertib dan taat, tidak boleh melakukan sesuatu tanpa diperintah, sehingga menggagalkan semua rencana. Mengerti?"

   Muka yang.tadinya menyeringai senang itu tiba-tiba berubah masam, akan tetapi Pek-mau-kwi mengangguk.

   "Baik, saya mentaati perintah, Kui-bo."

   Nenek itu kini menghadapi hwesio yang bernama Kwan Seng Hwesio, wakil kepala kuil itu dan berkata dengan nada mengancam.

   "Kwan Seng Hwesio, ingat, tak seorangpun hwesio di kuil ini pernah melihat wanita tadi. Mengerti! Kalau ada yang lancang mulut, aku akan membawa kepala Gwat Kong Hwesio kepadamu, sebelum membunuh kalian semua!"

   Dengan wajah pucat, hwesio itu merangkap kedua tangan di depan dada sambil membungkuk.

   "Omitohud, kami tidak berani lancang mulut."

   Nenek itu tersenyum mengejek, lalu ia menghilang di balik daun pintu menyusul perginya Pek-mau-kwi yang tadi memondong tubuh Sui In. Daun pintu tertutup lagi dari dalam.

   Setelah berada seorang diri, Kwan Seng Hwesio berulang-ulang menyebut "Omitohud......" sambil memandang ke arah tubuh suhengnya, Gwat Kong Hwesio, yang rebah tak sadarkan diri itu. Suhengnya kini bukan disandera lagi melainkan diracuni dan obat penawar racun itu ada pada nenek itu. Tanpa pertolongan nenek itu, suhengnya akan tewas.

   Itulah sebabnya mengapa belasan orang hwesio di kuil itu tidak berdaya sama sekali dan terpaksa mentaati perintah gerombolan orang asing yang jahat, yang telah menawan Gwat Kong Hwesio dan bersembunyi di kuil itu.

   Rombongan penjahat itu terdiri dari belasan orang, dipimpin oleh dua orang. Yang pertama adalah Bouw Sian-seng yang sebetulnya adalah Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Selatan) seperti yang diduga oleh Pek-liong dan Hek-liong-li. Adapun orang kedua bukan lain adalah Kui Lo-ma yang sebetulnya adalah Thian-thouw Kui-bo (Biang Setan Kepala Besi), Kedua orang kakek dan nenek ini adalah dua orang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua).

   Mula-mula Lam-hai Mo-ong yang melihat persaingan di antara para pangeran. Hal ini membuat datuk sesat ini girang sekali karena dia melihat kesempatan yang teramat baik untuk mengangkat dirinya dengan membonceng kemelut yang timbul karena persaingan dan pertentangan di antara para pangeran. Dengan cerdik dia menyelidiki keadaan para pangeran.

   Pada suatu hari ketika Pangeran Souw Cun, yang sudah lama diincernya untuk dapat diperalat, sedang berburu. Lam-hai Mo-ong menyuruh anak buahya untuk menghadang dan menyerang pangeran itu sebagai perampok. Para pengawal pangeran itu sudah roboh semua oleh para "perampok" sehingga nyawa Pangeran Souw Cun terancam bahaya maut. Muncullah Lam-hai Mo-ong sebagai bintang penyelamat dengan mengusir para "perampok" itu.

   Tentu saja Souw Cun berterima kasih, juga kagum akan kelihaian kakek itu. Dan diapun mengakui kakek itu sebagai gurunya, bahkan memboyongnya ke istananya. Atas nasehat Lam-hai Mo-ong, pangeran itu memperkenalkan Lam-hai Mo-ong kepada orang-orang istana sebagai Bouw Sian-seng yang menjadi gurunya dalam hal sastera!

   Melihat betapa dia membutuhkan bantuan untuk menyukseskan rencananya yang besar, dia lalu memberi kabar kepada rekannya, yaitu Tiat-thouw Kui-bo dan menarik nenek iblis itu ke dalam istana pula. Nenek itu menyamar sebagai seorang wanita ahli masak dan ahli pijat, dan Bouw Sian-seng berhasil memasukkan rekannya yang memakai nama Kui Lo-ma bekerja kepada Pangeran Kim Ngo Him, yaitu mantu kaisar yang juga berambisi untuk memperebutkan kedudukan.

   Demikianlah, Bouw Sian-seng dan Kui Lo-ma, diam-diam mengadakan hubungan dan mereka berhasil pula menyelundupkan anak buah mereka yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia kang-ouw yang pandai ilmu silat dan kuat, sampai belasan orang ke dalam istana. Selain itu, di kota raja mereka juga mempunyai puluhan orang anak buah yang mereka sebar di luar istana sebagai mata-mata.

   Dengan teratur, makin lama kedua orang datuk sesat itu makin kuat menancapkan kuku mereka untuk menanam pengaruh mereka di istana melalui dua orang pangeran itu. Bahkan Bouw Sian-seng dan Kui Lo-ma telah menguasai kuil istana dengan menangkap kepala kuil dan melihat betapa Gwan Kong Hwesio, kepala kuil itu, keras kepala dan tidak sudi menyerah, Kui Lo-ma lalu membuat dia pingsan dengan racun.

   Karena tidak ingin melihat kepala kuil itu dibunuh, terpaksa Kwan Seng Hwesio dan teman-temannya menyerah kepada dua orang datuk itu. Mereka merahasiakan kehadiran para penjahat itu di istana, dengan janji bahwa mereka tidak akan membantu mereka dalam perkelahian, juga bahwa setelah urusan mereka di istana selesai, mereka akan membebaskan dan memberi obat penyembuh kepada Gwat Kong Hwesio.

   Mulailah Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo menyebar maut. Merekalah yang menyamar sebagai Bayangan Iblis, melakukan pembunuhan kepada mereka yang dianggap dapat menjadi penghalang suksesnya cita-cita mereka. Ketika mereka tidak berhasil membunuh Ciok Tai-jin yang dijaga ketat oleh Cu Sui In dan para pengawal, mereka memasang mata-mata di situ. Maka, mereka tahu bahwa Sui In, janda yang murid Kun-lun-pai itu, akan minta bantuan seorang susioknya bernama Giam Sun.

   Mendengar ini Lam-hai Mo-ong menyuruh para pembantunya, yaitu Pek-mau-kwi dan Huang-ho Siang-houw, untuk mendahului wanita muda itu dan mereka berhasil membunuh Giam Sun! Bahkan hampir mereka membunuh Sui In pula kalau tidak muncul Pek-liong-eng Tan Cin Hay yang berhasil menyelamatkannya.

   Apakah yang dikehendaki dua orang datuk sesat itu? Mereka bercita-cita muluk dan melaksanakan permainan besar tingkat tinggi. Mereka melihat persaingan dan perebutan kedudukan di istana, memperebutkan kursi putera mahkota untuk kelak menggantikan kaisar. Maka, mereka berdua melihat kesempatan yang amat baik.

   Kalau mereka dapat membantu seorang pangeran sehingga pangeran itu kelak menjadi kaisar, sudah pasti mereka akan menerima kedudukan tinggi sebagai balas jasa. Mereka akan diangkat menjadi kok-su (penasihat negara) atau setidaknya tentu kedudukan menteri akan menjadi bagian mereka! Kemuliaan, kehormatan dan kekuasaan akan menjadi bagian mereka!

   Mereka menjatuhkan pilihan mereka kepada Pangeran Souw Kian. Pangeran dari selir yang usianya delapanbelas tahun ini adalah seorang pemuda yang agak terbelakang, bodoh dan bebal, hanya menyeringai saja dan tidak mempunyai semangat apa-apa.

   Kalau sampai pangeran ini dapat menjadi calon tunggal dan kelak menjadi kaisar, tentu dapat mereka kuasai. Maka, diam-diam Bouw Sian-seng yang dikenal sebagai seorang sasterawan, guru Pangeran Souw Cun, mulai mendekati ibu Pangeran Souw Kian, menjanjikan bahwa dia sanggup membimbing dan mengajar pangeran itu agar kelak menjadi seorang pandai. Karena janji yang muluk-muluk ini, ibu pangeran itu menaruh kepercayaan dan harapan besar kepada Bouw Sian-seng.

   Mulailah pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dua orang datuk bersama kaki tangannya. Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan untuk menyingkirkan orang-orang yang dapat menjadi halangan, juga untuk menimbulkan pertentangan di antara para pangeran. Di dalam kemelut di istana itu, nampaklah bahwa semua pangeran terlibat, bahkan Pangeran Souw Han yang tadinya dianggap alim dan baik, terlibat pula dan bahkan terbunuh! Hanya Pangeran Souw Kian seoranglah yang sama sekali tidak perduli, tidak mencampuri dan nampak "bersih", sama sekali tidak ikut bersaing.

   Karena markas besar para pengacau itu justeru berada di kuil istana, dan mereka menyamar sebagai orang-orang yang sama sekali tidak mencurigakan, maka semua upaya untuk menangkap Si Bayangan Iblis gagal selalu.

   Cu Sui In merupakan orang pertama yang menyelidiki ke dalam kuil itu, maka ia segera dirobohkan dan ditawan oheh Kui Lo-ma. Wanita muda itu kalau sampai lolos, berbahaya sekali. Ialah satu-satunya orang yang telah menemukan rahasia mereka.

   Kalau nenek itu tidak segera membunuh Sui In, hal itu hanya membuktikan kecerdikannya. Ia tahu bahwa bahaya mulai membayangi komplotannya. Oleh karena itu, kalau ada orang penting tertangkap, sebaiknya dijadikan sandera, tidak segera dibunuh. Kalau dibunuh, sudah tidak ada harganya lagi, akan tetapi kalau masih dibiarkan hidup, sekali waktu mungkin amat berharga! Ini sebabnya maka ia mengancam Pek-mau-kwi yang ia tahu mata keranjang itu agar jangan mengganggu Sui In.

   Cian Hui mengerutkan alisnya yang tebal ketika dua orang perajuritnya datang menghadap dan melaporkan bahwa mereka bertemu dengan Siauw In yang membawa cincin Hong-houw dan memesan kepada mereka agar melapor kepada Cian Ciang-kun bahwa gadis itu melakukan penyelidikan ke kuil istana di puncak bukit.

   Mengapa Sui In melakukan penyelidikan ke sana? Di sana hanya ada kuil dengan belasan orang hwesio yang dapat dipercaya sepenuhnya. Para hwesio itu tidak mungkin terlibat dalam pembunuhan. Mereka adalah orang-orang yang bersih, juga setia. Oleh karena itu, dia tidak begitu tertarik ketika mendengar laporan anak buahnya tentang penyelidikan yang dilakukan janda muda yang cantik itu.

   Akan tetapi, hatinya mulai merasa khawatir juga ketika malam tiba dan dia mendapat laporan dari anak buahnya bahwa janda itu belum juga kembali ke rumah mendiang Pangeran Souw Han, di mana ia ditugaskan bersama para dayang lainnya. Dia mengerahkan seregu pasukan untuk mencari ke bukit itu. Namun, Sui In lenyap tanpa meninggalkan jejak.

   Para hwesio di kuil itu sudah ditanya, akan tetapi tidak ada seorangpun yang mengaku pernah melihat wanita muda itu. Cian Hui lalu keluar sendiri untuk ikut mencari, namun sia-sia. Karena khawatir, diapun lalu pergi mengunjungi bagian istal kuda untuk menjumpai Pek-liong. Karena Cian Hui memiliki kekuasaan dan dia dikenal oleh semua pekerja, mereka itu mentaatinya ketika mereka disuruh pergi sehingga Cian Hui dengan leluasa dapat mengadakan pertemuan dan perundingan dengan Pek Liong dan juga Hek-liong-li. Mereka bertiga bercakap-cakap di dalam gudang jerami, duduk di lantai yang penuh jerami kering.

   Cian Hui menceritakan tentang lenyapnya Sui In setelah wanita itu melakukan penyelidikan ke kuil istana di puncak bukit.

   Mendengar ini, Liong-li menepuk dahinya sendiri.

   "Aiihh, kenapa aku begini bodoh? Tentu saja! Tempat yang paling tidak mungkin, yang sedikitpun tidak akan mendatangkan kecurigaan, tempat seperti itulah merupakan tempat persembunyian yang paling baik! Di seluruh istana ini, bukit itu dan kuil itu merupakan tempat yang amat aman kalau dipakai melindungi diri. Siapa akan menyangka ke sana? Dan orang tentu akan sungkan untuk menggeledah dan mengganggu para hwesio di kuil itu!

   "Benar sekali, li-hiap," kata Cian Hui.

   "Aku sendiripun selama melakukan penyelidikan, belum pernah mencurigai mereka. Memang meragukan sekali tempat seperti itu menjadi sarang pembunuh. Para
(Lanjut ke Jilid 13)
Si Bayangan Iblis (Seri ke 02 - Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
hwesio itu pasti tidak akan membiarkan begitu saja. Akan tetapi, tempat itu tidak boleh dilewatkan, harus digeledah. Sekarang aku teringat bahwa sejak terjadinya peristiwa kemelut di istana, ketua kuil itu jatuh sakit dan sampai sekarang tidak dapat menemui tamu karena sakitnya."

   "Hemm, mencurigakan sekali. Sebaiknya kita lebih dahulu menengok keadaan kepala kuil itu," kata Pek-liong-eng.

   "Sebaiknya malam ini juga kita berangkat ke sana. Mari, tai-hiap dan li-hiap, kita berangkat sekarang juga!" ajak Cian Ciang-kun.

   "Nanti dulu," kata Liong-li.

   "Kita menghadapi pembunuh-pembunuh jahat dan lihai. Kita tidak tahu bagaimana keadaan mereka dan berapa banyak anak buah mereka. Oleh karena itu, membasmi rumput harus dengan akar-akarnya, dan kalau kita menyerbu ke sana, mereka semua harus dapat ditangkap. Sebaiknya kalau engkau kerahkan pasukan untuk mengepung bukit itu agar jangan sampai ada penjahat yang mampu melarikan diri dan lolos. Setelah itu baru kita menggeledah kuil itu."

   Cian Hui setuju dan Pek-liong juga membenarkan. Malam itu juga Cian Ciang-kun mengerahkan pasukan dan mengepung bukit itu dengan ketat.

   Setelah itu barulah mereka berangkat dan di lereng bukit kecil itu mereka berpencar. Pek-liong dan Liong-li terus mendaki ke puncak di mana terdapat kuil itu, dan Cian Hui tinggal di lereng untuk mengatur pengepungan pasukan-pasukannya.

   Malam itu bulan masih terang seperti siang. Hal ini memudahkan Pek-liong dan Liong-li yang mendaki ke puncak. Bukit itu tidak besar, dan sebentar saja mereka telah tiba di puncak, berdiri di luar pekarangan kuil yang dipagari tembok.

   Kuil itu nampak sunyi dan mati, seolah tidak ada penghuninya. Memang kalau malam kuil itu ditutup dan tidak menerima tamu, akan tetapi biasanya dalam keadaan menganggur itu, para hwesio membaca kitab atau berdoa sehingga terdengar suara mereka dari luar. Setidaknya akan terdengar suara ketukan berirama yang menuntun doa mereka. Akan tetapi malam itu sama sekali tidak terdengar suara apapun, seolah kuil itu telah berubah menjadi kuburan.

   Dengan mudah mereka melompati pagar tembok dan berada di kebun samping kuil itu. Mereka menyelinap di antara pohon-pohon dan semak, mendekati kuil yang besar sekali itu. Maklum, kuil itu adalah kuil istana yang sudah ratusan tahun umurnya, dibuat kokoh kuat seperti benteng karena tempat itu dianggap tempat suci yang tidak boleh dikunjungi orang luar, kecuali bagian luarnya di mana disediakan meja-meja sembahyang dan orang hanya boleh datang berkunjung di waktu pagi sampai sore saja. Di bagian dalam kuil itu yang menjadi tempat tinggal atau asrama para hwesio, merupakan tempat suci yang tidak boleh dikunjungi orang lain.

   Biarpun tembok kuil itu tinggi dan sama sekali tidak berjendela, bukan merupakan hal sukar bagi Pek-liong dan Liong-li untuk memanjat dan berloncatan sehingga mereka dapat tiba di wuwungan kuil yang bergenteng tebal sekali. Bagaikan dua ekor burung walet mereka melayang dan berlompatan di atas wuwungan tanpa menimbulkan suara.

   Mereka merasa aneh dan heran. Setelah menyelidik ke sana-sini, mereka mendapat kenyataan bahwa di bawah gelap, tidak ada penerangan sama sekali, seolah-olah orang-orang yang tinggal di kuil itu dengan sengaja memadamkan semua penerangan. Pada hal, malam belum larut benar. Tidak mungkin pada waktu itu semua hwesio sudah tidur dan membiarkan kuil itu ditelan kegelapan seperti itu! Pantasnya ada unsur kesengajaan dalam keadaan itu.

   Setelah saling pandang dan memberi isyarat dengan pandang mata mereka, Pek-liong dan Liong-li melayang ke atap yang lebih rendah dan tiba-tiba di bagian samping kiri bangunan kuil besar itu, mereka melihat sinar dari sebuah ruangan di bawah! Mereka cepat meloncat ke atas ruangan yang merupakan satu-satunya ruangan yang ada penerangannya. Begitu kaki mereka menginjak genteng, terdengar suara dari bawah.

   "Omitohud......, penjahat dari manakah begitu berani mengotori tempat suci ini?"

   Pek-liong dan Liong-li terkejut dan cepat mereka mengintai ke bawah. Mereka melihat seorang hwesio duduk bersila di sudut ruangan kepalanya yang gundul licin itu menunduk sehingga wajahnya tidak dapat menerima cahaya redup lilin yang dipasang di atas meja di ruangan itu.

   Sepasang pendekar ini terkejut karena mereka tidak mengira bahwa gerakan mereka yang amat ringan dan yang mereka lakukan dengan hati-hati itu dapat didengar orang. Tentu hwesio di bawah itu lihai sekali. Dan Cian Hui dengan tegas mengatakan bahwa para hwesio di kuil itu tidak ada yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi!

   Kembali sepasang pendekar itu saling pandang dan keduanya sudah setuju akan tindakan selanjutnya yang akan mereka ambil.

   "Lo-suhu, maafkan kami berdua. Kami bukan penjahat dan kami ingin menghadap lo-suhu!" kata Pek-liong.

   "Omitohud......, masuklah saja!" kata pula hwesio itu dengan suara yang dalam dan lembut.

   Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pek-liong dan Liong-li membuka genteng. Keduanya memandang penuh perhatian, sebelum meloncat masuk, dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada hal yang perlu diragukan atau dicurigai. Ruangan itu cukup luas, tidak mempunyai jendela, hanya ada sebuah pintu ke dalam yang daunnya tertutup. Ruangan itu kosong, hanya ada sebuah dipan di sudut di mana hwesio itu duduk bersila, dan sebuah meja kecil di mana terdapat lilin menyala dan beberapa buah kitab. Selanjutnya, kosong.

   Dinding yang menghadap ke bagian luar tidak berjendela, sehingga jalan satu-satunya, masuk ke kamar itu hanya melalui pintu yang menembus ke dalam tadi, dan melalui lubang di atap yang mereka buat tentu saja. Tentu hwesio di bawah itu dapat memberi banyak keterangan kepada mereka.

   "Kita turun," bisik Liong-li.

   Pek-liong mengangguk dan pendekar ini mendahului Liong-li, melompat turun. Liong-li maklum bahwa Pek-liong, seperti biasa, tentu ingin menjadi orang pertama kalau memasuki ruangan yang belum dikenal dan mungkin mengandung bahaya, agar kalau sampai terjebak, dialah yang akan terjebak lebih dahulu. Dan Liong-li juga membiarkan ini. Lebih baik seorang saja di antara mereka yang terjebak, dari pada keduanya karena kalau yang seorang terjebak, yang lain dapat menolongnya.

   Setelah ia melihat Pek-liong tiba di lantai kamar itu dan tidak terjadi sesuatu, iapun melompat turun pada saat Pek-liong memberi isyarat bahwa keadaan aman. Akan tetapi, begitu Liong-li melayang turun ke dalam ruangan itu, tiba-tiba lilin di atas meja itu padam dan keadaan menjadi gelap sama sekali. Liong-li mengerahkan gin-kangnya dan kedua kakinya dapat hinggap di atas lantai dengan ringan. Pada saat itu, mereka mendengar suara senjata rahasia menyambar-nyambar ke arah mereka!

   Dua orang pendekar itu setiap saat memang sudah siap siaga. Tidak pernah mereka itu lengah, apa lagi dalam keadaan sedang melakukan penyelidikan seperti itu. Sejak tadi, seluruh syaraf di tubuh mereka sudah dalam keadaan siap dan waspada, maka begitu mereka menduga datangnya bahaya, keduanya sudah menggerakkan tangan kanan dan Liong-li sudah mencabut Hek-liong-kiam, sedangkan Pek-liong sudah mencabut Pek-liong-kiam. Ketika senjata-senjata rahasia itu menyambar ke arah mereka, keduanya memutar pedang dan semua senjata rahasia kecil berbentuk paku-paku beracun itu runtuh.

   Liong-li meloncat ke arah di mana tadi hwesio itu duduk. Akan tetapi, ternyata bukan hanya hwesio itu yang lenyap, bahkan dipannya pun lenyap! Tahulah ia bahwa hwesio di atas dipan tadi memang merupakan alat perangkap.

   Ia melihat Pek-liong masih terus menangkisi senjata rahasia yang terus menyambar ke arah pendekar itu. Tahulah Hek-liong-li bahwa pakaian Pek-liong yang putih itulah yang merupakan sasaran lunak di dalam kegelapan itu. Ia mengeluarkan segulung sutera hitam dan melemparkannya ke arah Pek-liong.

   "Kau pakailah ini!" sutera hitam itu mengembang ketika meluncur ke arah Pek-liong. Pek-liong menyambar sutera hitam itu dan di lain saat diapun lenyap ditelan kehitaman. Mereka berdua sudah berdiri mepet dinding dan menahan napas agar tidak terlalu keras bersuara.

   "Kita pukul runtuh dinding di kanan itu yang menembus keluar," bisik Liong-li.

   Wanita perkasa ini tidak perlu membuat penjelasan lagi karena ia dan Pek-liong seolah telah memiliki satu hati dan satu kecerdasan. Begitu ia berbisik, keduanya sudah menerjang, ke dua tangan mendorong ke depan sambil mengerahkan tenaga sin-kang mereka.

   "Brakkkkk......!" Dinding kamar itupun jebol dan cahaya bulan menerjang masuk.

   Dua sosok tubuh itu meluncur keluar dan mereka tiba di tempat terbuka, di taman samping kuil itu. Akan tetapi, baru saja mereka yang tadi meloncat keluar itu turun ke atas tanah, nampak banyak orang yang mengenakan pakaian serba hitam dan menutupi muka mereka dengan topeng hitam, telah mengepung mereka.

   Jumlah mereka tidak kurang dari limabelas orang, semua mengenakan pakaian dan topeng yang sama dan bermacam senjata berada di tangan mereka. Ada yang memegang pedang, atau sepasang pedang, golok, tombak, rantai dan sebagainya. Gerakan mereka ketika mengepung tadi ringan, tanda bahwa mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.

   Pek-liong dan Liong-li otomatis berdiri saling membelakang, hampir beradu punggung dengan pedang pusaka di tangan masing-masing, tidak bergerak, akan tetapi mata mereka mengikuti gerakan semua orang yang mengepung itu. Bulan bersinar terang sehingga mereka dapat melihat semua pengepung dengan baik.

   "Hemm, segerombolan Kwi-eng-cu (Bayangan Iblis) lengkap di sini!" kata Liong-li.

   "Hek-liong-li, engkaulah yang menyamar sebagai Bayangan Iblis dan membuat kekacauan di istana. Kami akan membunuhmu! Dan engkau juga, Pek-liong-eng!" kata seorang diantara mereka dengan suara yang parau. Orang ini juga berpakaian hitam dan bertopeng hitam seperti yang lain, akan tetapi Liong-li maklum siapa dia.

   Siapa lagi kalau bukan Bouw Sian-seng? Ia mengenal tubuh yang tinggi kurus itu. Kini tidak lagi bongkok, tentu bongkok itu hanya pura-pura saja. Dan ditangannya nampak sebatang rantai baja! Ini tentu Bouw Sian-seng alias Lam-hai Mo-ong, akan tetapi Liong-li tidak sempat banyak cakap karena pada saat itu belasan orang bertopeng hitam sudah menyerang mereka dari segala jurusan.

   Liong-li dan Pek-liong memutar pedang mereka melakukan perlawanan. Dan keduanya terkejut. Sudah jelas bahwa Bouw Sian-seng alias Lam-hai Mo-ong itu lihai sekali karena dia adalah seorang datuk di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua), akan tetapi yang lainnya juga rata-rata amat lihai. Terutama sekali seorang di antara mereka yang kurus kering, dengan sepasang mata kehijauan mencorong seperti mata kucing yang mengintai dari balik topengnya.

   Si kurus kering ini agaknya sengaja menghadapi Liong-li dan ternyata pedangnya lihai bukan main. Adapun Bouw Sian-seng menghadapi Pek-liong, dibantu beberapa orang temannya yang juga lihai. Diam-diam Liong-li mengingat-ingat sambil memutar pedang melindungi dirinya, siapa lawannya ini. Ia menduga bahwa tentu ia seorang wanita karena di antara hujan senjata itu Liong-li masih sempat mencium keharuman yang menyambar dari pakaian si kurus kering itu.

   Seorang wanita? Begini lihai? Siapa gerangan wanita ini? Dan iapun teringat akan pengalamannya ketika ia melakukan penyelidikan di atas gedung tempat tinggal Pangeran Kim Ngo Him.

   Ia pernah diserang seorang bertopeng hitam yang kurus kering seperti ini, dan yang juga amat lihai, dan bayangan itu lenyap ke dalam gedung Pangeran Kim Ngo Him. Lalu ia melihat munculnya seorang nenek yang dipanggil Kui Lo-ma. Jangan-jangan, seperti halnya Bouw Sian-seng, nenek Kui Lo-ma itupun seorang penjahat besar yang menyelundup dan menyamar sebagai seorang pelayan di gedung Pangeran Kim Ngo Him.

   Akan tetapi, Liong-li tidak dapat terus mengingat-ingat karena hampir saja ia celaka karena perhatiannya tidak terpusat. Pedang si kurus kering itu hampir saja membabat pundaknya. Untung ia masih cukup cekatan untuk melempar tubuh ke samping dan bergulingan menyelamatkan diri.

   "Kita pergi!" tiba-tiba Pek-liong berseru. `

   Liong-li maklum bahwa Pek-liong juga menghadapi pengeroyokan ketat yang amat membahayakan keselamatannya. Lawan terlalu banyak dan rata-rata lihai, walaupun tidak selihai Bouw Sian-seng dan si kurus kering itu. Dua orang ini saja memiliki tingkat yang sebanding dengan mereka, maka kalau dilanjutkan, mereka tentu akan terancam bahaya. Maka, sambil bergulingan, pedang di tangannya menyambar menjadi gulungan sinar hitam.

   Ketika pengeroyoknya mundur, iapun meloncat keluar dari kalangan pertempuran, dan bersama Pek-liong iapun mengerahkan gin-kang dan mereka berdua berlari cepat menuruni tempat itu, melompati pagar tembok kuil dan terus melarikan diri.

   Cian Hui menyambut dua orang pendekar yang berlarian itu dan sebelum dia sempat bertanya, Liong-li sudah cepat berkata,

   "Ciang-kun, atur penjagaan yang ketat, kalau perlu tambah lagi pasukan dan mengepungnya agak naik mendekati kuil. Jangan sampai ada seorangpun di antara mereka lolos. Kami bertemu dengan mereka, belasan orang banyaknya, mungkin masih ada lagi yang bersembunyi. Kami kira tempat persembunyian mereka memang di dalam kuil itu!"

   Cian Hui tidak banyak bertanya, cepat dia mengumpulkan para jagoan istana, para perwira dan mereka menggerakkan pasukan naik, lebih dekat ke puncak di mana kuil itu berada. Pengepungan tentu saja menjadi lebih ketat dan takkan ada seorangpun manusia yang meninggalkan tempat itu dapat lolos dari pengamatan mereka. Cian Hui juga mengirim utusan untuk minta bala bantuan sehingga kini pengepungan itu berlapis-lapis!

   Setelah mengatur pengepungan, barulah Cian Hui dapat mengadakan perundingan dengan Pek-liong dan Liong-li. Dia mendengarkan laporan dua orang pendekar itu tentang apa yang mereka alami di kuil. Perwira ini mengerutkan alisnya dan merasa khawatir sekali.

   "Tentu Cu Sui In terjatuh ke tangan mereka!" katanya.

   "Kita harus cepat menyerbu kuil itu!"

   "Tenanglah, Ciang-kun. Mereka adalah orang-orang pandai, tidak akan membunuh tawanan begitu saja. Tawanan orang penting bagi mereka amat berharga, untuk dijadikan sandera. Dan keadaan para hwesio itupun amat mencurigakan. Tidak mungkin mereka itu bekerja sama dengan gerombolan penjahat. Tentu ada sesuatu yang memaksa mereka mentaati perintah para penjahat," kata Liong-li.

   "Kukira rahasianya terletak pada sakitnya kepala kuil. Aku mempunyai dugaan bahwa mereka telah menyandera pula kepala kuil itu, dan dengan disanderanya kepala kuil, maka semua hwesio menjadi tidak berdaya dan terpaksa mentaati mereka untuk menyelamatkan kepala kuil," kata Pek-liong.

   "Kita tidak boleh tergesa-gesa. Bulan sudah hampir condong ke barat. Sebaiknya tunggu terang matahari pagi baru kita menyerbu. Sekarang, kuharap Ciang-kun mengirim orang untuk menyelidiki, apakah Bouw Sian-seng berada di gedung Pangeran Souw Cun dan juga apakah nenek yang bernama Kui Lo-ma berada di gedung Pangeran Kim Ngo Him."

   Biarpun dia merasa heran, Cian Hui tidak banyak bertanya atau membantah, bahkan dia segera mengutus orang kepercayaannya untuk melakukan penyelidikan. Tak lama kemudian utusan itupun kembali, dengan berita bahwa kedua orang yang dicari Liong-li itu tidak berada di gedung tempat mereka bekerja, dan tak seorang pun tahu ke mana mereka pergi malam itu! Mendengar ini, Liong-li tersenyum.

   "Sudah kuduga, dua orang itulah pemimpin gerombolan yang disebut Bayangan Iblis!"

   "Ehhh?" Kini Cian Ciang-kun memandang heran.

   "Hemm, Bouw Sian-seng itu pasti Lam-hai Mo-ong, aku mengenal gerakan silatnya ketika bertanding denganku tadi. Sedangkan yang kau namakan Kui Lo-ma itu kurasa tentu Tiat-thouw Kui-bo. Bukankah begitu, Liong-li?"

   "Engkau benar, Pek-liong. Siapa lagi kalau bukan dua orang di antara Kiu Lo-mo itu?"

   Cian Hui menjadi semakin kaget dan heran, dan diapun kagum bukan main kepada sepasang pendekar itu setelah menerima penjelasan. Mereka lalu membuat rencana penyerbuan sebentar lagi setelah kegelapan disapu sinar matahari pagi.

   Pagi-pagi sekali, Cian Hui yang ditemani belasan orang jagoan istana dan seregu perajurit pengawal, sudah mengetuk pintu depan kuil yang masih tertutup. Berulang-ulang pintu itu diketuk dengan keras dan daun pintu itupun dibuka oleh para hwesio yang nampak pucat ketakutan ketika melihat siapa yang mengetuk pintu kuil mereka. Apa lagi ketika Cian Hui memperlihatkan tek-pai tanda kekuasaan yang diperolehnya dari kaisar, para hwesio itu menjatuhkan diri berlutut karena tek-pai merupakan kekuasaan tertinggi dan pemegangnya seolah menggantikan kaisar sendiri pada saat itu.

   "Para hwesio keluar semua, tak seorangpun boleh tinggal di kuil!" teriak Cian Hui.

   Para hwesio tidak ada yang berani membantah. Tak lama kemudian keluarlah semua hwesio yang tinggal di kuil, kecuali seorang saja, yaitu Gwat Kong Hosiang, ketua kuil.

   "Di mana Gwat Kong Hosiang? Hayo katakan, di mana dia?" Cian Hui menghardik karena dia marah sekali mendapat kenyataan bahwa kuil itu menjadi tempat persembunyian para penjahat, atau setidaknya, para hwesio ini tentu tahu akan rahasia para penjahat dan pembunuh itu.

   "Omitohud......!" Kwan Seng Hwesio melangkah maju dan memberi hormat.

   "Harap Ciang-kun suka memaafkan para hwesio ini, karena kami terpaksa sekali bersikap seperti ini......"

   "Kwan Seng Hwesio, kita berdua telah bersama-sama mengabdi di istana dengan setia selama bertahun-tahun! Sekarang aku tidak membutuhkan pembelaan diri kalian, melainkan membutuhkan keterangan. Jawablah saja. Di mana adanya Gwat Kong Hosiang!"

   "Dia sedang sakit......"

   "Antarkan aku kepadanya!" hardik pula Cian Hui dengan tak sabar.

   "Omitohud...... baiklah, Ciang-kun, Mari pinceng (saya) antarkan ke kamarnya......"

   "Lo-suhu......!" Para hwesio yang lain berseru dengan muka pucat dan khawatir. Perbuatan Kwan Seng Hwesio itu pasti berakibat dibunuhnya ketua mereka seperti yang selalu diancamkan oleh para penjahat.

   "Omitohud, itulah kesalahan kita," kata Kwan Seng Hwesio.

   "Kita tidak cukup menyerah kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa sehingga kita takut menghadapi ancaman manusia. Kalau Yang Maha Kuasa menghendaki seseorang mati, apapun juga di dunia ini tidak akan mampu menghindarkannya, sebaliknya kalau Yang Maha Kuasa menghendaki seseorang tidak mati, tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang akan mampu membunuhnya."

   "Sudahlah, lo-suhu. Tidak perlu berkhotbah di saat ini. Antarkan aku!" kata Cian Hui, kemudian dia berkata kepada para pembantunya.

   "Geledah seluruh kuil!"

   Kwan Seng Hwesio melangkah ke dalam, diikuti oleh Cian Hui. Hwesio itu menuju ke kamar belakang setelah melalui lorong yang berliku panjang. Kuil itu memang besar dan luas sekali. Setelah tiba di depan pintu sebuah kamar, Kwan Seng Hwesio berhenti dan berkata dengan suara gelisah.

   "Di kamar inilah Gwat Kong Hwesio rebah dalam keadaan sakit parah dan pingsan, Ciang-kun."

   Biarpun dia kini percaya kepada hwesio itu, namun Cian Hui tetap bersikap hati-hati.

   "Tolong kau buka pintu kamarnya, lo-suhu."

   Dengan sikap yang tegang dan wajah yang pucat, Kwan Seng Hwesio membuka daun pintu kamar itu. Kamar itu agak gelap, maka Cian Hui melangkah maju mendekati Kwan Seng Hwesio, menjenguk ke dalam kamar. Tiba-tiba terdengar suara bercuitan dan sinar-sinar hitam kecil menyambar ke arah mereka.

   Cian Hui berusaha untuk mengelak dengan loncatan, namun gerakannya kalah cepat. Sebuah di antara paku-paku itu masih mengenai pangkal pahanya dan diapun roboh pingsan. Dia tidak tahu betapa Kwan Seng Hwesio juga roboh dengan banyak paku mengenai tubuhnya, dan wakil kepala kuil itupun roboh pingsan.

   Beberapa orang muncul dari samping, dari sebuah pintu rahasia dan mereka menyeret tubuh Cian Hui dan Kwan Seng Hwesio memasuki pintu rahasia yang menembus ke ruangan-ruangan bawah tanah. Dua orang itu lenyap tanpa meninggalkan bekas.

   Ketika dia membuka kedua matanya, wanita itu membungkuk dan mengguncang pundaknya.

   "Cian Ciang-kun, syukur engkau sudah sadar......"

   Cian Hui memandang. Alangkah cantiknya wajah itu, walaupun rambut itu kusut dan muka itu agak pucat, pandang matanya penuh kegelisahan. Diapun bangkit duduk dan menyeringai kesakitan ketika pahanya yang sebelah atas terasa amat nyeri. Akan tetapi hatinya merasa kelegaan yang besar ketika dia mengenal wajah itu, wajah Cu Sui In! Wanita muda itu masih hidup dan dalam keadaan selamat, walaupun nampaknya menderita.

   "Nona Sui In......" akan tetapi dia tidak melanjutkan kata-katanya karena rasa nyeri yang menusuk di pangkal pahanya.

   "Bagaimana rasanya. Ciang-kun? Sakit benarkah? Engkau terkena paku beracun dari nenek iblis itu. Tadi aku telah mencabutnya...... maafkan aku, Ciang-kun. Engkau masih pingsan dan aku terpaksa mencabut paku itu karena kalau dibiarkan, tentu racunnya akan makin banyak memasuki tubuhmu."

   Sekilas terlintas dalam benaknya, bagaimana wanita muda itu dapat melakukannya. Lukanya berada, di pangkal paha! Tempat yang...... agaknya tidak pantas dan tidak sopan dilihat seorang wanita yang bukan apa-apanya, apa lagi wanita muda dan cantik seperti Cu Sui In. Akan tetapi, keadaan menghapus bayangan itu dengan cepat dan diapun memandang ke kanan kiri. Dia melihat Gwat Kong Hosiang rebah telentang di atas dipan seperti mayat, dan Kwan Seng Hwesio juga rebah di atas lantai dalam keadaan pingsan.

   "Bagaimana dengan mereka?" tanyanya.

   Sui In memandang gelisah.

   "Keadaan mereka sungguh mengkhawatirkan sekali. Gwat Kong Hosiang sudah pingsan sejak aku ditawan, dan Kwan Seng Hwesio ada tiga batang paku menancap di tubuhnya. Aku...... aku merasa ngeri dan tidak berani mencabut paku-paku itu."

   Cian Hui mencoba untuk merangkak mendekati Kwan Seng Hwesio, dan melihat ini, Sui In cepat membantunya walaupun wanita ini juga telah terluka cukup berat. Ia telah terkena tamparan beracun dari Tiat-thouw Kui-bo dan sampai kini, dada sebelah kanan terasa nyeri bukan main. Melihat wanita itu menyeringai menahan sakit, Cian Hui bertanya.

   "Engkau...... terluka......?"

   Sui In mengangguk.

   "Nenek iblis itu memukul dadaku dan terasa nyeri bukan main....."

   Kwan Seng Hwesio menderita luka terkena paku beracun, sebatang di pangkal lengan kanan, sebatang di pundak dan sebatang di dada. Cian Hui mengumpulkan tenaganya dan mencabuti tiga batang paku itu, dibantu oleh Sui In.

   Pada saat itu terdengar langkah kaki orang dan muncullah di situ seorang kakek dan seorang nenek. Seorang kakek berusia enampuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus bermuka lembut seperti seorang pelajar tua, dan seorang nenek yang tubuhnya kurus kering, wajahnya juga lembut akan tetapi matanya mencorong hijau.

   "Cian Ciangkun," kata kakek itu dan suaranya juga lembut.

   "Kalau engkau menghendaki kalian berempat hidup, engkau perintahkan semua pasukanmu untuk mundur dan lindungi kami keluar dari istana."

   Cian Hui tidak dapat bangkit berdiri. Dia duduk dan memandang kepada kakek itu dengan sinar mata penuh kemarahan. Ini kiranya dua orang yang memimpin gerombolan Bayangan Iblis yang melakukan pembunuhan- pembunuhan keji itu! Sui In juga duduk di dekatnya, nampak penuh ketabahan dan juga wanita ini memandang kepada mereka dengan berani dan penuh kemarahan.

   Cian Hui tertawa.

   "Ha-ha-ha, kalian seperti tikus-tikus yang sudah tersudut! Bagaimana mungkin aku dapat memerintahkan pasukan untuk mundur? Tidak mungkin kulakukan itu, selain tidak bisa, juga aku tidak sudi!"

   "Cian Ciang-kun, engkau pemegang tek-pai, dapat melakukan perintah apa saja dan pasti akan ditaati siapa saja di istana ini!"

   Sui In khawatir kalau Cian Hui menyerahkan tek-pai, maka ia berkata lirih.

   "Tadi mereka mencari tek-pai dan menggeledah semua pakaianmu tanpa hasil."

   Cian Hui tertawa lagi. Untung bahwa dia tadi bersikap hati-hati sekali. Sebelum dia masuk bersama Kwan Seng Hwesio, dia menitipkan tek-pai itu kepada seorang panglima kepercayaannya, minta agar tek-pai itu diserahkan kepada Pek-liong kalau terjadi apa-apa dengan dia.

   "Tek-pai tidak ada padaku. Andaikata adapun, sampai mati aku tidak akan sudi memenuhi permintaanmu, Lam-hai Mo-ong."

   Kakek itu terbelalak.

   "Kau sudah mengetahui siapa aku?"

   "Ha-ha-hah tentu saja. Engkau Lam-hai Mo-ong dan nenek ini tentu Tiat-thouw Kui-bo yang menyamar menjadi Kui Lo-ma! Sudah habis riwayat kalian, dua orang datuk sesat dari Kiu Lo-mo!"

   Kakek dan nenek itu saling pandang dan kini si nenek yang berwajah lembut melangkah maju. Sekali tangannya menyambar, ia telah menjambak rambut kepala Sui In dan menariknya lepas dari dekat Cian Hui. Dengan nekat Sui In memukul, akan tetapi sekali jari tangan nenek itu menotok, Sui In menjadi lemas tidak mampu bergerak lagi.

   "Cian Hui, engkau sudah tahu siapa kami, tentu tahu pula bahwa kami dapat menyiksa dan membunuh kalian berempat tanpa berkedip!"

   "Hemm, siapa takut mati, nenek iblis? Lebih baik kami mati dari pada harus membebaskan kalian. Tempat ini sudah dikepung pasukan, biar kalian mempunyai tiga kepala dan enam tangan ditambah sayap sekalipun, kalian takkan dapat lolos dari sini. Kalianpun akan mampus!"

   "Keparat!" Lam-hai Mo-ong menangkap dan mencengkeram pundak Cian Hui dan menariknya bangkit berdiri.

   "Aku dapat mematahkan semua tulangmu, menyiksamu dengan hebat sebelum engkau mati!"

   "Nanti dulu, Mo-ong!" kata Tiat-thouw Kui-bo.

   "Jangan bunuh dia dulu. Biar dia melihat dengan matanya sendiri bagaimana wanita ini mengalami siksaan yang lebih hebat dari pada maut. Panggil ke sini empat-lima orang anak buah yang paling buas dan suruh mereka memperkosa wanita ini di depan matanya. Hendak kulihat apakah Cian Ciang-kun masih akan berkeras kepala!"

   Mendengar ini, baik Sui In sendiri maupun Cian Hui menjadi pucat. Kalau siksaan seperti itu dilaksanakan, dan mereka percaya bahwa dua orang manusia iblis ini sanggup melakukan kekejian bagaimanapun juga, tentu mereka berdua takkan dapat menahannya. Bagi mereka, lebih baik mati dari pada harus mengalami ancaman itu. Akan tetapi mereka tidak berdaya.

   Pada saat itu, terdengarlah suara melengking nyaring dari luar. Tentu suara itu didorong, tenaga khikang yang amat kuat. Kalau tidak begitu, bagaimana dapat menerobos memasuki ruangan bawah tanah itu?

   "Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo! Dengarlah baik-baik, ini kami Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang bicara!"

   Kakek dan nenek itu terkejut, saling pandang dan nenek itu melemparkan tubuh Sui In ke sudut ruangan dan kakek itupun mendorong tubuh Cian Hui sampai terlempar beberapa meter. Cian Hui merangkak mendekati Sui In dan dengan susah payah berhasil membebaskan totokan pada tubuh wanita itu.

   Sui In yang merasa gelisah, menggigil karena ngeri sehingga Cian Hui merangkulnya. Akan tetapi Sui In tidak menangis, merasa aman dalam rangkulan perwira itu.

   "Engkau gagah, Ciang-kun. Aku senang dapat mati bersama engkau......"

   "Engkaupun hebat, Sui In. Jangan putus asa, kita belum mati......"

   Kakek dan nenek itu tidak memperdulikan mereka. Keduanya mendekati pintu terowongan untuk dapat mendengarkan lebih baik, akan tetapi mereka tidak menjawab. Di luar ruangan tahanan itu nampak belasan orang anak buah mereka bergerombol karena mereka itupun kini menjadi gelisah setelah mengetahui bahwa kuil itu telah terkepung pasukan.

   "Tiat-thouw Kui-bo, dengarlah. Aku Hek-long-li menantangmu. Kita bertanding satu lawan satu untuk menentukan siapa yang lebih kuat. Engkau mendapat kesempatan untuk membalaskan anggauta Kiu Lo-mo yang lain, yang telah kubunuh!" terdengar suara nyaring dan mendengar suara yang amat dikenalnya itu, Cian Hui menjadi girang sekali. Itu adalah suara Hek-liong-li!

   Suara itu disusul suara lain yang juga nyaring sekali karena dapat menembus ke ruangan bawah tanah dengan jelas.

   "Lam-hai Mo-ong, aku Pek-liong-eng menantangmu untuk bertanding satu lawan satu! Jangan menjadi pengecut dan menawan orang-orang yang tidak bersalah."

   Lam-hai Mo-ong tertawa. Hanya suaranya saja yang tertawa, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak ikut tertawa. Wajahnya membayangkan kegelisahan.

   "Ha-ha-ha, Pek-liong-eng! Engkau mengatakan kami pengecut, akan tetapi engkau dan Liong-li lebih pengecut lagi. Kalian hanya berani menantang kami karena kalian membawa pasukan yang besar jumlahnya! Kalian yang mengaku pendekar-pendekar yang gagah perkasa sepatutnya merasa malu! Kalau kami keluar, tentu pasukan akan mengeroyok kami!"

   "Dengar, kalian kakek dan nenek busuk!" terdengar lagi suara Liong-li.

   "Kami bukan pengecut. Kami berdua tantang kalian berdua, dan kami berjanji tidak akan melakukan pengeroyokan. Kalau kalian berdua mampu mengalahkan kami berdua, kalian boleh pergi tanpa kami ganggu. Akan tetapi kalianpun harus berjanji untuk tidak mengganggu Gwat Kong Hosiang, dan Kwan Seng Hwesio, Cian Hui Ciang-kun, dan Cu Sui In!"

   

Si Pedang Tumpul Eps 11 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 6 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 11

Cari Blog Ini