Ceritasilat Novel Online

Pedang Naga Hitam 12


Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 12




   ***

   Setelah bergantian mandi dan bertukar pakaian, Han Sin dan Cu Sian menerima kunjungan kepala suku Tarsukai sendiri yang datang menjemput mereka.
Segera kedua orang pemuda itu menyambutnya dan memberi hormat.

   "Ha-ha-ha" Tarsukai tertawa ramah "Malam ini kami sengaja mengajukan pesta musim semi yang setiap tahun kami adakan, sekali in isekalian untuk menyambut dua orang tamu agung kami"

   "Ah, paman terlalu baik kepada kami. Terima kasih, paman" kata Cu Sian "Pesta apakah yang akan paman adakan malam ini?"

   "Pesta muda-mudi, penuh dengan tarian dan nyanyian, dan ada pertandingan adu gulat pula. Selain memberi kesempatan kepada para gadis untuk memilih pasangan masing-masing, juga memberi kesempatan para jago muda berlaga memperlihatkan keahlian dan kekuatan mereka, sekalian memilih jago-jago muda yang akan dijadikan pimpinan pasukan.

   "Bagus. Aku senang sekali menonton pertandingan. Ketika kami berada di Shan-si, kamipun sempat menonton, bahkan mengikuti pertandingan adu kepandaian memanah dan silat untuk menerima perwira baru" kata pula Cu Sian.

   Tarsukai tersenyum dan mengelus jenggotnya yang panjang. Dia suka melihat Cu Sian yang sifatnya terbuka dan berani "Ha-ha-ha, di sini tidak perlu diadakan pertandingan memanah atau menunggang kuda, karena dengan sendirinya semua pemuda di sini mahir menggunakan anak panah dan menunggang kuda.

   Akan tetapi yang di adakan adalah pertandingan gulat, adu kekuatan dan kecepatan"

   "Wah, menarik sekali" kata pula Cu Sian "Bagaimana aturan menang kalahnya, paman?"

   "Tentu saja yang sudah teringkus dan tidak mampu bergerak lagi di anggap kalah. Marilah, Cian Han Sin dan Cu Sian, kalian berdua mendapat tempat kehormatan sebagai tamu kami" Kepala suka itu merangkul kedua orang pemuda itu dan di ajaknya pergi ke perkemahan induk dimana diadakan pesta itu.

   Musik sudah mulai dibunyikan ketika mereka bertiga memasuki kemah besar itu. Kemah itu dibuka separuh dan di depan kemah itu didirikan sebuah panggung dari kayu. Ternyata tari-tarian dilakukan didalam kemah sedangkan pertandingan gulat dilakukan di luar kemah, di atas panggung yang sudah di sediakan. Semua orang bangkit berdiri ketika kepala suku itu masuk dan dia mengajak Han Sin dan Cu Sian duduk di panggung kehormatan yang di bangun di kemah besar itu.

   Lebih dari dua puluh orang gadis sudah berkumpul dan duduk berkelompok di sudut. Mereka mengenakan pakaian warna-warni yang mewah dan semua wajah yang berada di situ nampak cerah. Penerangan cukup besar karena di mana-mana di gantung lampu-lampu, bahkan diluar kemah dinyalakan api unggun yang besar.

   Setelah semua orang yang berkepentingan, yaitu para gadis dan pemuda memenuhi ruangan itu, dan para orang-orang tua berkumpul dan menonton diluar kemah, pesta itupun dimulai atas isyarat Tarsukai. Gadis-gadis mulai bernyanyi dan sebagian pula dari mereka mengeluarkan hidangan dan kesempatan ini dipergunakan oleh mereka untuk mencari-cari, siapa pemuda yang akan dijadikan pasangan menari malam itu.

   Para gadis itu dipimpin oleh Loana dan Hailun sendiri yang mengenakan pakaian sutera yang berwarna cerah. Secara otomatis, ketika membawa hidangan, Loana menghampiri Han Sin dan Hailun menghampiri Cu Sian. Hal ini menjadi perhatian para pemuda yang memandang kearah mereka dengan mata melotot marah.

   "Ssttt, Cu Sian, kau berhati-hatilah terhadap dua orang pemuda di sana itu, yang mengenakan kain ikat kepala berwarna merah. Mereka cemburu dan marah kepada kita" Bisik Han Sin kepada sahabatnya. Cu Sian menoleh dan memandang. Melihat dua orang pemuda itu memandang marah, dia malah mengejek dan tertawa kepada mereka. Celaka, pikir Han Sin. Cu Sian benar-benar hendak mencari keributan.

   "Sian-te, sekali ini harap jangan mencari keributan" bisiknya pula.

   "Jangan khawatir, Sin-ko. Takut apa sih? Kalau ada apa-apa, biar aku yang maju menghadapi mereka"

   Suara alunan musik dannyanyian mengantar mereka menikmati hidangan. Setelah makan secukupnya, Tarsukai memberi isyarat kepada para pemain musik. Segera terdengar bunyi musik yang gembira.

   "Pesta tarian dimulai" Terdengar seruan dan duapuluh orang lebih gadis yang tadi menghidangkan makanan dan minuman, kini mencabut sehelai saputangan sutera dari saku baju mereka dan dengan gerakan dan mata mereka berlari-lari kecil mereka mulai menari, berputar-putar dan mata mereka melirik-lirik, mulut mereka tersenyum-senyum. Tubuh mereka meliak-liuk dengan lemah gemulai, pinggang yang ramping itu bergerak-gerak, melenggang-lenggok dalam tarian mereka. Beberapa saat kemudian, kepala suku Tarsukai sendiri yang berteriak.

   "Pemilihan pasangan di mulai"

   Agaknya para gadis itu masih malu-malu dan menanti sampai kedua orang puteri kepala suku itu mulai dengan pilihannya. Para pemuda sudah memasang aksi mengharapkan dipilih oleh para gadis yang mereka sukai. Loana dan Hailun sambil tersenyum lebar berlari kecil ke arah tempat duduk kehormatan dimana Han Sin dan Cu Sian duduk disebelah kepala suku Tarsukai dan para pembantu kepala suku itu.

   Han Sin dapat menduga bahwa Loana tentu akan memilih dia sebagai pasangan menari dan siapa lagi yang akan dipilih Hailun kalau bukan Cu Sian? Dia memperhatikan dua orang pemuda yang bernama Sabutai dan Camuka itu dan diam-diam dia merasa khawatir. dua orang pemuda itu berdiri sambil mengepal tinju memandang kearah dua orang gadis yang menghampiri tempat kehormatan.

   Akan tetapi mendadak terjadi hal yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan sebelumnya, Cu Sian bangkit berdiri dan pemuda itu dengan langkah lebar menyambut dua orang gadis yang datang sambil mengibarkan saputangan di tangan mereka. Tadinya tentu saja Han Sin hanya tersenyum melihat pemuda sahabatnya itu demikian tergesa-gesa menyambut gadis pilihannya, akan tetapi dia terbelalak dan menjadi bengong ketika melihat Cu Sian melewati Hailun dan menyambut saputangan Loana.

   Loana sendiri terkejut dan terbelalak, akan tetapi sapu tangannya telah dipegang ujungnya oleh Cu Sian dan pemuda itu malah dengan gaya mesra merangkul pinggangnya yang ramping dan di tariknya ketengah ruangan untuk menari. Han Sin memandang kearah Hailun dan melihat betapa gadis inipun terkejut, memandang dengan muka berubah pucat, lalu merah sekali, dan gadis ini menjadi termangu-mangu bingung karena pemuda pilihannya telah berpasangan dengan kakaknya. Bukan main marahnya hati Han Sin. Sahabatnya itu telah bermesraan dengan Hailun, akan tetapi sekarang sengaja menyakiti hati gadis ini dan meninggalkannya untuk merayu Loana. Padahal dari air mukanya, dia tahu bahwa Loana juga terkejut dan tidak suka, Akan tetapi terpaksa karena Cu Sian sudah menariknya. Perasaan iba yang sangat membuat Han Sin cepat berdiri. Dia sudah melihat seorang diantara dua pemuda yang mengincar dua orang puteri kepala suku itu, pemuda yang tinggi tegap dan bernama Sabutai, sudah melangkah, agaknya hendak menghampiri agar dipilih Hailun. Maka, cepat Han Sin mendekati Hailun dan menangkap ujung sapu tangan yang dipegang Hailun.

   Hailun terkejut, menoleh dan ketika melihat bahwa yang memegang ujung saputangannya adalah Han Sin, gadis ini tersenyum. Senyum yang menyedihkan.

   "Aku akan menegur sahabatku itu" bisik Han Sin kepada Hailun dan gadis itu hanya tersenyum dan mengangguk. akan tetapi Han Sin melihat betapa kedua mata gadis manis ini basah. Dia tidak peduli betapa Camuka mengepal tinju dan mengamangkannya kepadanya. Karena dia tidak pandai menari tarian orang mongol, maka dia hanya meniru sedapatnya gerakan Hailun yang hanya merupakan gerakan tarian sederhana sambil mendorong gadis itu agar mendekati Cu Sian yang sudah menari dengan Loana.

   Akan tetapi agaknya Cu Sian memang sengaja menjauhinya karena setiap kali hendak didekati agar dia dapat menegur Cu Sian, pasangan itu lalu menari dengan berlari kecil menjauhinya. Dan yang membuat Han Sin terheran-heran dan marah sekali adalah ketika dia melihat betapa mesranya mereka menari.

   Bahkan Cu Sian berbisik-bisik dekat telinga Loana sehingga hidungnya hampir menyentuh pipi gadis itu. Dan yang membuat Han Sin penasaran adalah ketika dia melihat Loana yang tadinya seperti orang kaget dan heran, kini mulai tersenyum-senyum mesra dan balas berbisik. Tak dapat di ragukan lagi, kedua orang muda itu memang sedang asyik bermesraan seperti sepasang kekasih yang sedang mengobral janji muluk. Han Sin mengerahkan tenaga Sin-kangnya dan membuat telinganya dapat menangkap dengan tajam sekali. Dia dapat mendengar suara Cu Sian yang membuat mukanya berubah merah.

   "Loana sayang, kau masih meragukan hatiku? Hanya kau yang ku sayang, yang ku cinta sepenuh hatiku. Kau begini cantik jelita bagaikan bidadari """"

   "Akan tetapi """ bisik Loana "Hailun """ ia mencintaimu "" bukankah kaupun mencintainya?"

   "Ahhh, Hailun yang kekanak-kanakan itu. ia masih hijau, dibandingkan denganmu. Ia seperti seekor merpati disamping seekor burung hong"

   "Akan tetapi ". bagaimana dengan Cu Sian? Dia hanya mencintaiku ""

   "Ah tidak mungkin. Di Selatan dia sudah mempunyai dua orang wanita, seorang calon isterinya dan seorang lagi kekasihnya. Dia hanya mempermainkanmu. Hanya akulah satu-satunya pria yang mencintaimu, Loana manis """

   Loana nampak memejamkan matanya, seperti terayun ke sorga tertinggi mendengar rayuan seorang pemuda tampan seperti Cu Sian.

   Han Sin hampir saja meloncat untuk menghajar Cu Sian. Pemuda keparat. Pengkhianat. Dia tidak peduli andaikata dia diburukkan, akan tetapi pemuda itu jelas merayu Loana. Setelah Hailun jatuh hati kepadanya. Pemuda itu agaknya hendak menguasai kedua orang gadis itu. Mata keranjang, hidung belang. Tidak, dia harus mencegahnya.

   Kini semua gadis menari sudah mendapatkan pasangan masing-masing dan para pemuda yang tidak terpilih keluar dari kemah sambil bersungut-sungut. Akan tetapi tiba-tiba Camuka, jagoan gulat muda yang bertubuh tinggi besar itu. melompat ke atas panggung di depan kemah, membanting-banting kakinya sehingga mengeluarkan suara gaduh.

   Sikap itu merupakan tantangan, tanda bahwa ada pemuda yang merasa marah dan menantang saingannya. Kegaduhan ini menghentikan mereka yang sedang menari dan Tarsukai lalu memandang keluar, kearah pemuda yang berdiri bagaikan seekor biruang di tengah panggung itu.

   "Kaukah itu Camuka? Apa yang kau hendaki?" Tanya Tarsukai dengan suara garang.

   Camuka memberi hormat dan terdengar suaranya yang menggelegar.

   "Hormat saya kepada Khan yang perkasa. Semua orang tahu belaka bahwa Loana, puteri khan yang cantik jelita. Sudah sepatutnya kalau Loana menjadi jodoh pemuda paling perkasa di seluruh permukaan bumi ini. Akan tetapi malam ini ada pemuda lain yang berani bersaing dengan saya. Karena itu, saya menantang pemuda itu untuk bertanding dan membuktikan, siapa diantara kami yang lebih pantas menjadi pasangan Loana"

   Mendengar tantangan Camuka ini, semua orang tahu bahwa sebentar lagi akan ada pertandingan yang hebat dan mereka semua tertarik. Yang menggandeng Loana menari adalah Cu Sian, pemuda yang dikabarkan telah menolong dua orang puteri ketua itu dari tangan kepala perampok dan kabarnya pemuda remaja yang tampan sekali memiliki kepandaian tinggi. maka tentu akan terjadi pertandingan menarik. Semua orang menghentikan tarian mereka dan berbondong menuju ke bawah panggung untuk mencari tempat yang enak untuk menonton pertandingan.

   Biasanya, kalau ada dua pemuda memperebutkan gadis dan saling menantang, kepala suku tidak menentang bahkan dengan gembira menganjurkan mereka untuk bertanding. Akan tetapi sekali ini, Tarsukai mengerutkan keningnya dan membentak "Camuka, lupakah kau dengan siapa kau berhadapan? Pemuda yang menjadi pasangan Loana dalam pesta ini adalah Cu Sian, tamu kehormatan kita. Jangan bersikap kurang ajar terhadap tamu"

   Akan tetapi Cu Sian sudah cepat menghampiri Tarsukai dan berkata sambil tersenyum "Paman Tarsukai, jangan sungkan dan jangan khawatir, aku menerima tantangan pemuda itu" Tanpa menanti jawaban, Cu Sian sudah meloncat dan tubuhnya melayang seperti seekor burung saja ke atas panggung dan tiba di depan Camuka. Semua orang tertegun kagum. Belum pernah ada orang yang dapat melompat seperti terbang saja.

   Akan tetapi Camuka yang sudah penasaran dan marah itu tidak merasa gentar. Bagaimana dia dapat merasa takut berhadapan dengan pemuda kerempeng seperti itu. Sekali banting tentu tidak akan dapat bangun kembali, atau sekali terkam pemuda itu tentu tidak akan mempu berkutik lagi. Akan dia perlihatkan kepada semua orang, terutama sekali kepada Loana, betapa kuat dan gagah perkasanya dia. Sambil tersenyum mengejek Camuka segera menanggalkan bajunya bagian atas dan melemparkannya ke bawah panggung. Nampak dada bidang dan penuh otot melingkar-lingkar, sepasang lengan yang panjang dan kokoh kuat. Akan tetapi diapun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang tamu kehormatan, maka dia tidak berani bersikap kasar dan berkata dengan lantang.

   "Sobat, tanggalkan bajumu agar kita dapat mulai bertanding"

   Cu Sian tersenyum lebar dan bertolak pinggang, agaknya tubuh atas telanjang yang kokoh kuat itu tidak membuatnya khawatir sama sekali.

   "Menanggalkan baju? Untuk apa? Seperti hendak mandi saja. Tidak, aku tidak perlu menanggalkan bajuku, aku akan menghadapi dan melawanmu dengan pakaian lengkap. Kau yang bernama Camuka, bukan? Dengar, Camuka, kalau kau dapat menagkap ujung bajuku ini saja, aku sudah mengaku kalah"

   Semua orang terlongong mendengar ini. Alangkah bodohnya dan lancangnya pemuda itu. Bertanding gulat tanpa melepaskan bajunya sama dengan sudah kalah sebelum bertanding. Kalau bertelanjang baju, lawan tidak akan mudah menangkap. Akan tetapi kalau berbaju tentu itu mudah di tangkap sehingga memudahkan lawan untuk membantingnya. Apalagi menantang untuk di tangkap ujung bajunya dan akan mengaku kalah kalau bajunya sampai dapat di tangkap.

   Camuka menjadi girang sekali. Sedikitnya, dia tadinya bersikap hati-hati karena diapun sudah mendengar bahwa pemuda ini lihai dan merupakan seorang pendekar dari selatan. Akan tetapi mendengar pemuda ini menantangnya dan akan mengaku kalah kalau ujung bajunya dapat di tangkap, tentu saja hal itu akan memudahkannya untuk mendapatkan kemenangan,

   Sementara itu, Loana dan Hailun, sudah duduk lagi di dekat ayah mereka. Kedua orang gadis itu tidak saling menyapa, bahkan dari pandang mata mereka terdapat perasaan tidak senang, terutama sekali padang mata Hailun. Dan kini mereka melihat kearah panggung dimana pemuda yang kini menjadi perebutan diantara mereka itu telah siap untuk bertanding melawan Camuka. Dari tempat duduk mereka itu memeang dapat menonton pertandingan dengan jelas dan tidak terhalang danini memang sudah diatur sebelumnya.

   Han Sin yang masih merasa penasaran dan marah kepada sahabatnya, juga terpaksa tidak mencampuri dan hanya duduk menonton. Dalam hatinya dia memaki-maki karena di anggapnya Cu Sian mencari perkara saja. Akan tetapi sama sekali dia tidak mengkhawatirkan akan keselamatan Cu Sian karena dia maklum bahwa sahabatnya itu memiliki kepandaian yang cukup lihai untuk membela diri, dan dia dapat menduga bahwa Camuka hanya seorang pemuda yang memiliki tenaga otot besar saja.

   Camuka kini memasang kuda-kuda, dengan kedua kaki di pentang lebar, kedua lutut di tekuk sehingga dia seperti setengah berjongkok, kedua lengan dikembangkan dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka siap mencengkram atau menangkap.

   "Nah, sobat, aku telah siap. Apakah kau sudah siap?"

   Cu Sian sejak tadi mengikuti gerak-gerik Camuka dengan pandang matanya. Dia berdiri santai seenaknya dan berkata sambil tersenyum memandang rendah "Aku sudah siap sejak tadi. Mulailah"

   Camuka mengeluarkan bentakan panjang melengking, kemudian tubuhnya sudah menerjang cepat sekali ke depan, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri untuk mencengkram lawan. Semua orang memandang dengan hati tegang karena mereka sudah akan tahu akan ketangkasan dan kekuatan Camuka. Akan tetapi, ternyata terkaman itu hanya mengenai tempat kosong. Hampir tak dapat diikuti dengan gerakan Cu Sian tadi yang sudah mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi Camuka yang gagal serangannya itu sudah cepat mengejar dan menubruk lagi bagaikan seekor harimau menerkam domba. Sekali lagi Cu Sian mengelak, kini meloncat ke samping kiri tubuh Camuka. Melihat bayangan lawan berkelebat ke sebelah kirinya, tangan kiri Camuka cepat menyambar bagaikan gerakan seekor ular untuk mencengkram apa saja, bagaikan baju atau badan lawan. Serangan ini cepat sekali bagaikan lanjutan dari terkamannya yang luput. Melihat tangan itu meluncur seperti ular, Cu Sian lalu menangkis dengan tangannya sambil mengerahkan tenaga.
"Dukkk """ Lengan Camuka terpental dan dia meringis karena merasa betapa tulang lengannya seolah bertemu dengan sepotong baja yang membuat dia kesakitan. Akan tetapi dia menggulingkan tubuhnya di atas panggung. Bagaikan seekor trenggiling tubuh itu menggelinding kearah Cu Sian dan setelah dekat, tubuh itu mencelat ke atas dan kedua tangannya sudah menyambar lagi dengan cepatnya, kini mencengkram kearah kedua kaki Cu Sian. Tubuh Cu Sian tentu akan terbanting kalau kedua kakinua dapat di tangkap oleh sepasang tangan yang kuat itu. Akan tetapi kembali tangkapan itu itu luput karena tiba-tiba tangkapan itu luput karena tiba-tiba kedua kaki itu telah lenyap dari pandang mata Camuka. Kiranya Cu Sian sudah melompat ke atas dan ketika tubuhnya turun kembali kedua kakinya menekan kedua pundak Camuka.

   "Bresss "" Tak dapat di hindarkan lagi, tubuh Camuka terdorong roboh. Akan tetapi dia dapat menggulingkan tubuhnya lagi dan melompat berdiri. Matanya bersinar-sinar penuh kemarahan, mukanya kemerahan dan diapun menyerang lagi dengan cepat dan mengerahkan seluruh tenaganya. Setiap kali Cu Sian mengelak, Camuka menyambung serangannya dengan terkaman lain, susul menyusul dengan amat cepatnya. Semua orang tahu bahwa sekali saja Cu Sian dapat di terkam, tentu dia akan di banting dan di tekuk sehingga tidak mampu melepaskan diri lagi. Akan tetapi, semua serangan susul menyusul itu tidak pernah berhasil. Kalau tidak di elakkan, tentu di tangkis. Camuka merasa seolah dia menyerang sebuah bayangan sehingga dia menjadi pusing sendiri.

   Han Sin mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang karena dia maklum bahwa Cu Sian yang nakal itu sengaja mempermainkan lawannya. Kalau Cu Sian menghendaki, tentu dengan mudah sekali dia akan dapat mengalahkan lawannya dan menyudahi pertandingan itu. Dia mengerling kearah Loana dan merasa heran sekali, Loana menonton dengan wajah berseri, mulut tersenyum dan nampak gembira bukan main. Sebaliknya Hailun duduk dengan wajah cemberut. Benarkan Loana telah berbalik hati, dan jatuh oleh rayuan Cu Sian, kini menganggumi dan meninta Cu Sian?

   Pada saat itu, Camuka yang sudah menjadi pening dan penasaran sekali, menyerang dengan nekat sekali. Dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, yanag kanan mencakar kearah dada. Cu Sian mengelak ke kanan dan dari sudut itu tiba-tiba tubuh Cu Sian merendah dan kakinya mencuat dan menyapu kearah kedua kaki Camuka. Camuka tidak sempat menghindarkan diri dan tubuhnya segera roboh terpelanting. Ketika dengan cepat Camuka berguling dan hendak meloncat bangun, tiba-tiba kaki kiri Cu Sian sudah menyambar.

   "Dukkk" ujung kaki itu tepat mengenai leher Camuka dan pemuda Mongol itu terpelanting lagi. Dia mencoba untuk bengkit, akan tetapi Cu Sian cepat mengenai leher Camuka dan pemuda mongol itu terpelanting lagi. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi Cu Sian cepat menggerakkan kedua tangan. Jari tangan kanan dan kirinya sudah menotok ke pundak yang telanjang itu dan seketika tubuh Camuka terkulai, tidak mampu lagi menggerakkan kedua lengannya. Kedua lengan tangan merupakan senjata terpenting bagi seorang pegulat. Kalau kedua lengannya sudah tidak mampu berbuat sesuatu. Demikianlah, Camuka yang jatuh lagi menelungkup tidak mampu berbuat sesuatu dan ketika Cu Sian menginjak punggungnya dengan kaki kiri, dia hanya mampu mengerang dan terengah-engah, merasa seolah"olah yang menginjaknya itu kaki gajah yang amat berat.

   Tepuk tangan menyambut kemenangan Cu Sian ini. Sambil tersenyum bangga Cu Sian lalu cepat menotok kedua pundak Camuka membebaskannya dan pemuda tinggi besar itu bangkit berdiri sambil menyeringai menahan rasa nyeri dan malu. Akan tetapi dengan sikap gagah dia membungkuk kepada Cu Sian dan berkata lantang "Aku Camuka mengaku kalah" Dan dengan lesu diapun melompat turun dari atas panggung. Di bawah tepuk tangan yang memujinya Cu Sian melenggang kembali ke tempat kehormatan. mengangguk kepada Tarsukai dan menyambutnya dengan tepuk tangan pula. Cu Sian segera mengambil tempat duduk diantara Loana dan Hailun, dan sama sekali tidak memperdulikan Han Sin yang memandang kepadanya dengan wajah muram. Loana menyambutnya dengan wajah berseri dan mulut tersenyum.

   "Wah, kau memang hebat, Cu Sian" kata gadis ini sambil memegang tangan Cu Sian. Cu Sian tertawa dan ketika menengok ke kiri dan melihat Hailun berwajah muram, dia pun tetap tertawa kecil.

   Akan tetapi pada saat itu, tepuk tangan tak terdengar lagi dan orang-orang mencurahkan perhatian kepada seorang pemuda yang sudah naik ke panggung. Pemuda ini bukan main adalah Sabutai, seorang pemuda berusia duapuluh tahun yang tampan dan bertubuh tinggi tegap. Sabutai sebaya dengan Camuka, juga sama gagahnya, bahkan lebih tangguh karena dalam pemilihan jago gulat tahun lalu, Sabutai inilah yang menjadi juara setelah mengalahkan Camuka dalam pertandingan yang seru dan seimbang.

   Sabutai memberi hormat kepada Tarsukai dan dengan lantang dia berseru "Saya Sabutai, menantang sobat Cian Han Sin yang tadi menjadi pasangan Hailun menari"

   Singkat saja ucapannya itu, akan tetapi terdengar lantang dan merupakan tantangan langsung. Tarsukai yang mendengar ini, tersenyum kepada Han Sin, kau di tantang dan kalau kau meramaikan pesta ini agar lebih meriah, kami merasa senang sekali"

   Akan tetapi Han Sin cepat berdiri dan menjura kepada kepala suku itu "Tidak, paman. Sabutai adalah putera paman Temugu, dan masih keponakan paman sendiri. Untuk apa aku menandinginya? Aku hanya seorang tamu, dan aku tidak ingin merampas gadis manapun karena bukan itu tujuan kunjuganku ke sini"

   Sambil berkata demikian, Han Sin mengerling ke arah Cu Sian.

   Cu Sian bangkit berdiri dan sekali meloncat dia sudah tiba pula di atas panggung, berhadapan dengan Sabutai.

   "Sabutai, kalau kau menantang kakakku Han Sin, biar akulah yang mewakilinya. Dia adalah sahabatku dan juga aku menjadi pengawalnya"

   Sabutai nampak jerih. Dia sudah menyaksikan kehebatan pemuda ini ketika membuat Camuka tidak berdaya.

   "Cu Sian, aku hanya menantang pemuda yang menjadi sainganku menjadi pasangan Hailun. Aku tidak mempunyai urusan denganmu" jawab Sabutai tegas.

   "Akan tetapi dia tidak ingin merampas Hailun darimu. Dia tidak mencintai Hailun"

   "Aku akan tetap menantang dia kalau dia tidak berani, dia harus mengatakan sendiri" Sabutai berkata kukuh.

   Sementara itu, Tarsukai sudah memandang Han Sin dengan sinar mata tajam penuh selidik "Cian Han Sin, benarkah kau tidak menanggap Hailun sebagai pasanganmu?"

   "Tidak sama sekali, paman"

   Tarsukai menjadi merah mukanya. Sudah jelas bahwa puterinya itu tadi di ajak menari oleh Han Sin dan dia sudah mengharapkan puetrinya akan berjodoh dengan Han Sin. Dengan marah dia bertanya langsung kepada Hailun "Hailun, apakah kau mengharapkan Cian Han Sin sebagai pasanganmu"

   Hailun memandang kepada ayahnya, lalu memandang kearah Cu Sian yang masih berdiri di panggung, dan ia menggelengkan kepalanya.

   Kemarahan Tarsukai menghilang ketika dia mendapat jawaban yang menyakinkan dari Hailun dengan gelengkan kepalanya. Kalau puterinya tidak mencinta Han Sin, andaikata pemuda itu meminang puterinya, tetap saja tidak akan diberikannya. Maka diapun lalu meneriaki Sabutai yang masih berhadapan dengan Cu Sian.

   "Sabutai, kau tidak berhak menantang Han Sin karena dia tidak ingin merebut Hailun. Ini hanya kesalah pahaman belaka. Maka, turunlah dari atas panggung"

   Mendengar ini, Sabutai mengangguk dan melompat turun, hatinya lega karena Hailun ternyata tidak mencinta pemuda yang menjadi pasangannya menari tadi.

   Cu Sian juga berjalan dengan langkah gagah kembali ke tempatnya dan segera di sambut oleh Loana. Mereka nampak marah dan Hailun yang nampak muram.

   Setelah pesta itu di bubarkan, Han Sin segera menghadap Tarsukai dan berkata "Paman Tarsukai, aku ingin bicara empat mata dengan paman, kalau paman menyetujui"

   Tarsukai memandang kepada Han Sin dengan penuh selidik "Hemmm, ada urusan apakah, Han Sin? Apakah tidak dapat kita bicarakan di sini saja?"

   "Tidak, paman. Urusan ini bagiku amat penting, dan kerana urusan inilah saya datang ke utara ini. Ada sesuatu yang ingin ku tanyakan kepada paman"

   Tarsukai segera bangkit berdiri dan mengajak Han Sin pergi ke sebuah kemah lain yang kosong. Setelah mereka duduk berhadapan, kepala suku Yakka Mongol itu bertanya "Nah, apakah yang hendak kau tanyakan, Han Sin?"

   "Sebelumnya harap memaafkan apabila aku terlalu merepotkan paman, akan tetapi bagiku, yang ku tanyakan ini penting sekali. Ketika terjadi pertempuran antara pasukan kerajaan Sui dan para suku bangsa di utara sepuluh tahun yang lalu, apakah paman juga ikut memimpin kelompok Suku Yakka melakukan pertempuran melawan Pasukan Sui?"

   "Hemm, pertanyaanmu aneh, Han Sin. Tentu saja aku memimpin bangsaku melakukan perlawanan mati-matian. Akan tetapi hal itu telah lama sekali berlalu dan kini hubungan antara kami dan pejabat di Shan-si telah menjadi baik. Mengapa kau tanyakan?"

   "Begini, paman. Kalau paman memimpin dalam pertempuran, tentu paman mengetahui siapa yang menjadi panglima pasukan Sui pada saat itu?"

   "Panglimanya amat terkenal, yaitu Panglima Cian Kauw Cu yang pandai dan gagah perkasa, terkenal oleh bangsa kami sebagai panglima naga hitam karena pedangnya begitu hebat bagaikan seekor naga hitam yang mengamuk"

   "Nah, inilah yang hendak kutanyakan, paman. Bukankah Panglima Cian Kauw Cu itu tewas dalam suatu pertempuran? Tahukah paman tentang peristiwa kematiannya itu?"

   Tarsukai tertawa "Ha-ha-ha, kau bertanya kepada orang yang tepat, Han Sin. Justeru ketika itu aku memimpin pasukanku, bekerjasama dengan bangsa Turki, bertempur melawan pasukan yang di pimpin oleh Panglima Naga Hitam itu. Walaupun akhirnya kami mengakui keunggulan pasukan Sui, akan tetapi kami gembira karena panglima naga hitam tewas dalam pertempuran dahsyat itu"

   "Apakah paman melihat sendiri robohnya panglima itu?" Tanya Han Sin dengan jantung berdebar tegang.

   "Ah, tidak. Akan tetapi aku tertarik sekali mendengar tentang tewasnya panglima naga hitam itu, maka aku lalu mengumpulkan anak buahku yang mengetahui atau melihat robohnya sang panglima. Diantara anak buahku, kebetulan ada yang bertempur, tak jauh dari terjadinya peristiwa itu.

   "Kalau Panglima naga hitam terkenal tinggi ilmu kepandaiannya, bagaimana dia dapat tewas dalam pertempuran?"

   "Ah, sukar merobohkan panglima itu dan aku sendiri pernah merasakan kelihaiannya. Pedangku patah-patah dan terpaksa aku melarikan diri. Dia roboh karena ada penyerang gelap dari belakangnya yang melepas anak panah sehingga robohlah sang panglima besar itu, bukan oleh musuh, melainkan oleh orangnya sendiri"

   Han Sin tertarik sekali dan jantungnya berdebar semakin keras.

   "Oleh orangnya sendiri? apa maksud paman?"

   "Menurut kenyataan panglima itu roboh oleh anak panah yang di lepas dari belakang, maka siapa lagi kalau bukan anak buahnya sendiri yang menyerangnya dari belakang?"

   "Akan tetapi, tahukah paman siapa penyerang gelap itu?"

   "Hal itu tidak ada yang melihatnya, hanya menurut anak buahku, ketika panglima itu roboh, ada perwira Sui lain yang berjongkok mendekatinya. Seorang panglima pula, dan masih muda. Tidak lebih dari tigapuluh tahun. Dialah yang berjongkok dekat panglima naga hitam yang roboh itu dan dia pula yang mengangkatnya pergi. hanya itu yang kami ketahui.

   Biarpun tidak banyak keterangan itu, akan tetapi sudah membuat Han Sin merasa yakin bahwa pembunuh ayahnya seorang perwira Sui, ketika itu berusia tigapuluh tahun lebih. Dia harus menyelidikinya di kota raja, diantara para perwira tinggi yang dulu membantu ayahnya.

   "Banyak terima kasih atas keterangan paman. Dan sekarang aku hendak berpamit. Besok pagi-pagi aku akan meninggalkan tempat ini dan kembali ke selatan"

   "Aih, mengapa demikian tergesa-gesa? Tidak senangkah kau tinggal dengan kami di sini, Han Sin?"

   "Bukan begitu, paman. Akan tetapi aku sudah tinggal di sini selama hampir tiga pekan dan selama ini paman sekeluarga bersikap ramah dan baik kepadaku. Aku berterima kasih sekali, paman. Akan tetapi masih banyak urusan yang harus ku kerjakan"

   "Cu Sian juga pergi bersamamu?" Kalau dia terserah kepada dia saja, paman. Kami hanya sahabat yang kebetulan melakukan perjalanan bersama. Kalau dia menghendaki tinggal di sini selamanya, terserah, bukan urusanku"

   Tarsukai menghela napas panjang "Han Sin, tadinya aku sungguh mengharapkan agar kau dan Cu Sian dapat tinggal di sini selamanya dan menjadi mantu-mantuku, agar kalian dapat membantuku melatih ilmu silat kepada anak buahku"

   Han Sin tersenyum "Aku belum mempunyai niat untuk mengikatkan diri dengan perkawinan, paman. Entah kalau Cu Sian. Maafkan kalau aku mengecewakan hati paman yang baik"

   Demikianlah, Han Sin kembali ke kemahnya dan dengan hati mendongkol dia melihat Cu Sian sudah tidur mendengkur di atas kasur. Ingin sekali dia menyeret pemuda itu dan memakinya sebagai seorang pemuda mata keranjang yang telah mempermainkan cinta dan menghancur hati Hailun, atau mungkin pemuda itu demikian gila untuk menguasai kedua kakak beradik itu. Mendengkur, dia menahan kemarahannya. Untuk apa dia menegur? Bukan urusannya. Kalau dua orang gadis itu mau di permainkan Cu Sian, apa dayanya?

   Dengan hati mengkal Han Sin lalu tidur di atas permadani. Hatinya gelisah. Peristiwa itu membuat dia merasa kehilangan. Kehilangan seorang sahabat yang selama ini amat di kagumi dan di sayangnya. Akan tetapi sahabatnya itu ternyata hanya seorang pemuda hidung belang yang lemah terhadap kecantikan wanita. Orang semacam itu tidak pantas dijadikan sahabat. Akan tetapi dia merasa kehilangan.

   ***

   Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin bangun dari tidurnya, pertama-tama yang dilakukannya adalah menoleh ke arah kasur dimana Cu Sian tidur. Dalam tidurnya tadi dia bermimpi tentang Cu Sian yang naik kuda memboncengkan Loana dan Hailun melarikan diri. Dan hatinya terkejut ketika dia tidak melihat Cu Sian di atas kasurnya. Pemuda itu telah pergi. Jangan-jangan dia pergi melarikan dua orang gadis kakak beradik itu seperti yang terjadi dalam mimpinya. Kalau benar demikian, dia akan melakukan pengejaran dan dia akan mencegahnya.

   Dia cepat berkemas, membuntal pakaiannya dan sambil menggendong pakaiannya dia keluar dari kemah itu. Pagi masih sepi karena pagi itu dingin sekali. Hanya kelihatan beberapa api unggun dinyalakan orang di beberapa tempat. Tiba-tiba seorang pemuda menghampirinya sambil menuntun kuda. Kuda itu sudah lengkap dengan pelananya dan ada bungkusan di atas pelana kuda. Orang itu ternyata adalah Sabutai.

   "Eh, kau Sabutai?" Tanya Han Sin, hatinya tegang, khawatir akan mendengar lenyapnya dua orang gadis itu, di larikan oleh Cu Sian "Ada apakah, Sabutai?"

   "Sobat, Han Sin, kau hendak pergi sekarang? Sepagi ini?" Tanya Sabutai dan nada suaranya terdengar ramah sekali sehingga Han Sin merasa heran. Baru kemarin dalam pesta tari pemuda ini menantangnya untuk bertanding memperebutkan Hailun.

   "Benar, Sabutai. Aku hendak pergi sekarang dan aku sudah berpamit malam tadi kepada paman Tarsukai"

   "Aku sudah tahu, Han Sin justeru sepagi ini aku mencarimu atas perintah paman Tarsukai semalam untuk menyerahkan kuda dan perbekalan ini kepadamu"

   Sabutai menyerahkan kendali kuda kepada Han Sin.

   "Ah, untuk apa semua ini, Sabutai. Sampaikan terima kasih ku kepada Paman Tarsukai. Selama tiga pekan aku tinggal di sini siperlakukan sebagai seorang sahabat dan tamu yang sudah lebih dari cukup. Akan tetapi aku tidak dapat menerima hadiah kuda dan perbekalan ini.

   "Akan tetapi, Han Sin. Paman Tarsukai sudah sepatutnya memberi hadiah kepadamu. Bukankah kau telah menyelamatkan Loana dan Hailun?"

   Han Sin tersenyum "Sabutai, hal itu tidak perlu di bicarakan lagi. Menolong siapa saja yang berada dalam kesulitan merupakan tugas kewajiban kita yang mempelajari ilmu-ilmu untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan. Bukan mengharapkan balas jasa dan hadiah. Hadiah hanya akan merendahkan perbuatan kita"

   "Ah, Han Sin. Kau seorang gagah perkasa sejati. Aku kagum kepadamu dan maafkanlah sikapku semalam yang berani menantangmu"

   Han Sin menatap wajah pemuda mongol itu sambil tersenyum "Kau tidak perlu minta maaf. Kau tidak bersalah dan memang sudah sepantasnya kalau kau membela nama dan kehormatan gadis yang kau cintai. Nah, selamat tinggal, Sabutai"

   Han Sin segera meninggalkan Sabutai yang masih berdiri termenung dan mengikuti bayangan Han Sin dengan pandang mata kagum.

   Begitu keluar dari perkampungan suku Yakka, Han Sin lalu berlari cepat menuju ke selatan. Akan tetapi, baru kurang lebih satu li dia berlari, tiba-tiba dia menahan larinya dan berhenti. Matanya bersinar-sinar ketika dia melihat Cu Sian duduk di atas sebuah batu di tepi anak sungai sambil melamun dan memandang ke sungai membelakanginya. Semua kemarahan yang di tahan-tahannya sejak malam tadi seperti hendak meledak ketika dia mendapat kesempatan bertemu dan berdua saja dengan Cu Sian. Dadanya terasa panas dan dia segera menghampiri Cu Sian dengan marah.

   "Sian-te "" panggilnya tidak ramah, bahkan seperti bentakan marah. Cu Sian terkejut dan menoleh, Ketika melihat siapa yang membentaknya itu, diapun cepat meloncat turun dari atas batu.

   "Eh, kiranya kau, Sin-ko? Wah, sepagi ini kau sudah membawa buntalan pakaian, kau hendak pergi ke manakah, Sin-ko?" Sikap dan suara Cu Sian masih seperti biasa, ramah dan gembira, bahkan dia tersenyum-senyum.

   Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kemana aku hendak pergi bukan urusanmu. Tidak perlu kau tahu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa sama sekali tidak aku sangka kau seorang pemuda tidak tahu malu dan mata keranjang"

   Cu Sian membelalakan mata dan memandang heran "Eh-eh, apa alasannya kau mengatakan demikian, Sin-ko?"

   "Jangan berpura-pura bersih. Apa yang kau lakukan semalam di tempat pesta? Kau menggandeng Loana, bahkan memperebutkannya dengan Camuka"

   Cu Sian mengerutkan alisnya dan mulut itu tersenyum mengejek "Aha, jadi kau cemburu dan iri hati, ya? Sin-ko, kau pernah menyombongkan diri dengan mengatakan bahwa kau hanya mau berjodoh dengan seorang wanita yang sempurna tanpa cacat sedikitpun. Seorang dewi dari kahyangan. Akan tetapi ternyata baru bertemu dengan Loana saja kau sudah tergila-gila, bertekuk lutut dan mencintanya. Ha-ha, dimana dewi khayalanmu itu, Sin-ko?"

   Han Sin semakin menjadi marah. Pemuda remaja ini malah mengejeknya. Cu Sian, kau pemuda tak tahu malu. Kau sudah akrab dengan Hailun, akan tetapi masih juga merayu Loana, memburukkan diriku. Kau ternyata seorang pemuda mata keranjang, hidung belang yang tidak tahu malu. Tidak sudi lagi aku melakukan perjalanan dengan seorang pemuda macam kau. Selamat tinggal" Han Sin membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Akan tetapi dia melihat bayangan berkelebat dan Cu Sian telah berdiri di depannya, bertolak pinggang dan sikapnya angkuh sekali.

   "Sin-ko, mengapa kau marah-marah seperti gila? Begitu besarkah cintamu kepada Loana sehingga membutakan matamu? Sepatutnya kau berterima kasih kepadaku yang telah membuka matamu untuk melihat gadis macam apa Loana itu, begitu ku rayu lalu meninggalkanmu"

   "Cukup, mulai saat ini aku tidak sudi berteman denganmu, tidak sudi bicara lagi denganmu" Han Sin lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat dan marah.

   Khawatir kalau Cu Sian akan mengejar dan membayanginya, Han Sin memasuki hutan lalu mengerahkan ilmunya berlari cepat. Akhirnya dia merasa bahwa Cu Sian tidak mengejarnya. Dia lalu meninggalkan hutan itu menuju ke barat mencari sungai Kuning karena dia bermaksud kembali ke selatan melalui air.

   Keterangan yang diperolehnya dari Tarsukai amat berharga dan untuk menyelidiki siapa pembunuh ayahnya, dia harus pergi ke kota raja. Pembunuh ayahnya tentulah seorang perwira yang pada waktu itu membantu ayahnya memimpin pasukan yang berperang melawan pasukan Turki dan Mongol.

   ***

   Nama julukan Pak-Te-Ong semakin terkenal di daerah utara sebagai seorang datuk baru yang menguasai daerah di sepanjang lembah Huang Ho. Hampir semua gerombolan perampok dan bajak sungai yang besar-besar telah di tundukkan, ketuanya di bunuh kalau tidak mau menakluk sehingga Pak-Te-Ong Ma Giok kini menjadi ketua dari mereka semua. Semua nama perkumpulan gerombolan yang di taklukan itu di hilangkan dan mereka semua menjadi anggota dari perkumpulan baru yang di dirikan oleh Pak-Te-Ong dengan nama Te-kwi-pai (Perkumpulan Iblis Bumi) yang berpusat di Kwi-san (Bukit iblis), di lembah Huang ho. dalam waktu singkat saja Te-kwi-pai telah menjadi sebuah perkumpulan yang anggotanya tidak kurang dari tiga ratus orang. Dan semua penjahat yang bergerak di daerah lembah Huang ho utara, semua tidak ada yang tidak tunduk kepada Te-kwi-pai. Dan setiap kali mereka mendapatkan "rejeki" hasil perampokan atau pembajakan, yang dilakukan oleh perorangan, mereka tentu menyerahkan sebagian hasil itu kepada Te-kwi-pai. Ini sudah merupakan peraturan tidak tertulis dan siapa yang melanggar tentu akan ketahuan dan tidak di ampuni lagi.

   Dari hasil yang berlimpah ini, terutama sekali dari pemungutan "pajak jalan" bagi para saudagar, baik yang melakukan perjalanan lewat darat maupun sungai, sebentar saja Pak-Te-Ong Ma Giok tlah membangun sebuah gedung besar di puncak bukit iblis.

   Di situ dia tinggal bersama seorang gadis, yaitu puteri tunggalnya bernama Ma Goat, yang berusia delapan belas tahun. Pak-Te-Ong Ma Giok sudak tidak mempunyai isteri lagi. Ibu Ma Goat telah meninggal beberapa tahun yang lalu sehingga Ma Goat merupakan keluarga satu-satunya. Tentu saja dia amat menyayang dan memanjakan puterinya ini yang semenjak kecil dia gembleng sendiri sehingga kini menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi.

   Ma Goat memang seorang gadis yang cantik sekali. Wajahnya yang bulat itu sesuai dengan namanya. Nama Ma Goat berarti bulan dan memang ia cantik seperti bulan purnama, Sepasang matanya tajam berkilat dan setitik tahi lalat hitam di dagu kirinya menambah daya tariknya. Akan tetapi, biarpun dia cantik dan nampak lemah gemulai, orang-orang takut kepadanya karena dalam hal kekejaman, ia tidak kalah dibandingkan ayahnya. Tangannya ringan sekali membunuh orang yang di anggap bersalah kepadanya, dan ia membunuh sambil tersenyum manis. Sama sekali tidak kelihatan kejam, akan tetapi sekali sulingnya menyambar dengan gerakan indah, tentu ada orang yang tewas di depannya. Kemanapun ia pergi, ia selalu membawa sulingnya, sebatang suling kecil berwarna hitam mengkilap, kedua ujungnya di hias emas dan suling itu terselip di ikat pinggangnya, Karena kejamnya ia menggunakan sulingnya untuk membunuh orang yang di anggap bersalah kepadanya. Ma Goat di juluki Suling Maut oleh ratusan anak buah Te-kwi-pai. dank arena anak buah Te-kwi-pai itu datang dari berbagai golongan di dunia kang-ouw, maka julukan suling maut inipun sebentar saja terkenal di dunia persilatan daerah utara.

   ***

   Akan tetapi, hidup di samping ayahnya, diantara para pembantu dan anak buah ayahnya yang terdiri dari orang-orang kasar, Ma Goat merasa jemu dan ia seringkali meninggalkan rumah ayahnya dan pergi merantau di sekitar daerah lembah.

   Pada suatu pagi yang sejuk dan cerah, terdengar suara suling melengking"lengking naik turun dalam irama yang indah sekali. Suara suling ini datang dari tepi sungai. Lengkingannya yangnyaring itu terbawa angina sampai jauh.

   Akan tetapi, suara suling yang amat merdu dan sepantasnya di dengar dengan hati kagum, ternyata membuat orang-orang di sekitar tempat itu ketakutan. Mereka yang sedang melakukan perjalanan di tepi sungai, segera mengambil jalan memutar tidak berani lewat di tempat dari mana suara suling itu datang. Bahkan perahu-perahu yang tadinya meluncur di pinggir sungai, segera di dayung ke tengah, menjauhi pantai. Diantara mereka, ada yang berbisik ketakutan "Suling maut"

   Ada sebuah perahu kecil di tumpangi tiga orang laki-laki tidak menjauhi pantai, bahkan merapat. Agaknya penumpang perahu itu tidak pernah mendengar tentang Suling maut dan mereka tertarik sekali oleh suara suling yang amat merdu itu. Ketika mereka mendekatkan perahu ke tepi. Ketika mereka mendekatkan perahu ke tepi, tiga orang laki-laki berusia antara tigapuluh sampai empat puluh tahun itu terkagum-kagum melihat seorang gadis duduk di atas batu besar yang menonjol ke sungai. Gadis itu mengenakan pakaian berwarna merah muda dan rambutnya yang hitam panjang itu dibiarkan terurai ke belakang punggungnya. Gadis itu cantik bukan main dan ia sedang meniup sebatang suling hitam mengkilap.

   Tiga orang laki-laki itu terpesona. Gadis cantik meniup suling demikian indahnya. Bagaikan seorang bidadari saja. Tiga orang itu menahan perahu dengan dayungnya dan mereka memandang kearah gadis itu sambil tersenyum-senyum kagum.

   "Nona, tiupan sulingmu demikian indah merdu, wajahmu demikian cantik, apakah kau seorang bidadari dari surga?" Tanya seorang.

   "Nona manis, bagaimana kalau kau ikut dengan kami di perahu ini dan memainkan sulingmu di sini?" yanya yang kedua.

   "Jangan khawatir, nona manis. Kami adalah tiga orang yang kaya dan kami akan memberi hadiah yang besar kepadamu" kata orang ketiga.

   Gadis itu adalah Ma Goat. Sepasang matanya berkilat memandang kepada tiga orang itu ketika memandang ucapan mereka. Jarak dari batu dimana ia duduk dan perahu itu kurang lebih sepuluh meter. Tiupan sulingnya berhenti perlahan-lahan, kemudian ia meniup sulingnya yang di arahkan kepada tiga orang di atas perahu itu. Kelihatan sinar lembut meluncur dari sulingnya dan terdengar tiga orang laki-laki itu memekik sekali lalu tubuh mereka roboh.

   Dua orang terjungkal keluar dari perahu dan yang seorang roboh di atas perahu itu dapat di lihat betapa wajahnya berubah menghitam dan dia tewas seketika.

   Perahu itupun terbawa arus sungai, hanyut malang melintang tanpa kemudi.

   Ma Goat tidak peduli lagi dan terdengar pula lengking sulingnya yang tadi terhenti sejenak. Baginya seolah tidak pernah ada apa-apa padahal baru saja ia membunuh tiga orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak berdosa. Akan tetapi baginya, tiga orang itu telah bersalah, yaitu mengganggunya dengan ucapan yang di anggapnya kurang ajar dan menghinanya.

   Sebuah perahu kecil lewat. Perahu itu di tumpangi seorang pemuda yang berpakaian sederhana. Pemuda itupun mendengar lengking suara suling dan dia tertarik dengan hati kagum. Didayungnya perahunya ke tepi dan tibalah perahunya di dekat batu besar dimana gadis itu duduk meniup sulingnya.

   Pemuda itu adalah Cian Han Sin yang sedang melakukan perjalanan pulang ke selatan. Han Sin memang suka akan kesenian. Biarpun dia sendiri tidak pandai meniup suling, akan tetapi dia dapat menikmati bunyi musik yang merdu dan tiupan suling itu luar biasa sekali. Bukan hanya merdu dan indah, akan tetapi juga mengandung getaran yang membuat dia tertegun. Peniup suling seperti itu bukan orang biasa, pikirnya. Dari suara tiupannya jelas menunjukkan bahwa peniupnya memiliki tenaga khi-kang yang amat kuat. Dan diapun semakin terheran melihat bahwa peniupnya seorang gadis muda yang cantik sekali.

   Ma Goat juga melihat perahu yang menghampiri tempat ia duduk itu. Dan ia melihat seorang pemuda yang gagah dan tampan. Dahinya lebar, alisnya berbentuk golok dan matanya yang bersinar lembut itu mengandung kekuatan tersembunyi. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu terhias senyum ramah, dagunya berlekuk membayangkan kejantanan dan kulit muka dan lehernya putih, pakaiannya sederhana, namun bersih. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Akan tetapi ia ingin melihat bagaimana sikap pemuda itu. kalau ternyata hanya seorang pemuda ceriwis kurang ajar dan mata keranjang, ia tidak segan untuk membunuhnya. maka iapun menyudahi tiupan sulingnya dan pura-pura tidak melihat pemuda itu.

   "Alangkah indah tiupan sulingmu, nona. Sungguh aku merasa kagum sekali. Akan tetapi sayang """ " Han Sin menahan ucapannya.

   Ma Goat merasa heran bahwa ia tidak marah mendengar ucapan itu. Bahkan ia merasa girang, akan tetapi juga penasaran karena kalimat yang memuji dengan sopan itu di sambung kata-kata yang meragukan. Pemuda itu memuji tiupan sulingnya, sama sekali tidak menyinggung kecantikannya seperti para pria lain yang memujinya.

   Ia menoleh dan kini memandang Han Sin penuh perhatian. Seorang pemuda sederhana, mungkin seorang pemuda dari selatan yang miskin. Akan tetapi wajahnya tampan menarik dan sinar matanya itu demikian lembut dan kuat.

   "Akan tetapi apanya yang sayang """?" Ma Goat bertanya dengan suara mendesak.

   Han Sin merasa bahwa dia telah kelepasan bicara. mengapa dia menjadi lancang dan usil? Terpaksa dia harus memberi penjelasan atau gadis itu tentu akan tersinggung dan marah.

   "Maaf, nona. Aku tadi mengatakan sayang karena lagu yang kau mainkan dengan suling itu mengandung kedukaan yang menyayat hati, seperti orang yang sudah kehilangan semangat hidup. Sungguh tidak sesuai dimainkan oleh seorang gadis muda seperti nona yang sepatutnya memiliki semangat hidup yang besar"

   Ma Goat tertarik sekali. Pemuda ini ternyata bukan ngawur belaka, melainkan agaknya memiliki pengetahuan tentang lagu dan sifatnya. memang tadi ia memainkan lagu "Hancurnya sebuah hati" ratap tangis seorang gadis yatim piatu yang merindukan kekasih yang meninggalkannya.

   "Seorang peniup suling haruslah pandai memainkan lagu apa saja. Apa kau kira aku hanya dapat memainkan lagu sedih saja? Dengarkan yang ini"

   Ma Goat lalu meniup lagi sulingnya dan sekali ini, sebuah lagu merdu yang gembira penuh semangat melengking dari sulingnya. Dan sekali lagi Han Sin terpesona. Bukan main gadis ini. Benar-benar mahir dan telah menguasai kesenian itu.

   Kesedihan yang tadi tidak berbekas lagi dan kini suara suling itu membayangkan gadis-gadis sedang menari-nari dan bersenda gurau dengan dengan penuh kegembiraan. Atau lebih tepat lagi, karena ada pula suara seperti air mengucur, seakan-akan ada beberapa orang bidadari sedang bermain-main dan mandi di telaga sambil tertawa-tawa gembira.

   Setelah Ma Goat menyelesaikan lagu yang gembira dan bersemangat itu, Han Sin kembali merasa kagum. Dia bangkit berdiri di perahunya dan merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat" Bukan main. Aku harus mengakui bahwa selamanya belum pernah aku mendengar tiupan suling sedemikian indahnya seperti yang nona mainkan"

   Ma Goat tersenyum manis, sikap dan ucapan pemuda ini menggembirakan hatinya. Pujian itu demikian jujur dan tulus, sama sekali tidak ada sifat menjilat seperti pujian para pria yang pernah di dengarnya.

   "Apa yang kau tangkap dalam lagu tadi?" Tanyanya sambil tersenyum.

   "Lagu yang amat menggembirakan. mendengar tiupan suling tadi, aku melihat beberapa orang bidadari sedang bersenda gurau dan aku mendengar berpercik dan mancurnya air seolah para bidadari sedang bersenda gurau. Matahari pagi dengan cerahnya menghidupkan segala sesuatu, terdengar kicauan burung-burung diantara ranting dan dahan pohon yang penuh daun menghijau dan di hias bunga beraneka warna yang semerbak mengharum """"

   Sekarang Ma Goat yang memandang kagum "Sobat, kau seorang seniman" serunya.

   "Ah, aku hanya seorang kelana yang bodoh, nona"

   "Akan tetapi penilaianmu terhadap lagu-lagumu tepat sekali. Memang tadi aku memainkan "Tujuh bidadari di Telaga Barat"

   Begitu mendengar lagu itu, kau sudah dapat menebaknya dengan tepat. Ma Goat merasa gembira sekali sehingga ia melompat turun dari atas perahu dan setelah gadis itu berdiri, Han Sin melihat betapa gadis itu hanya memiliki wajah cantik saja, juga ia memiliki bentuk tubuh yang ramping padat menggairahkan.

   "Bukan aku pandai menebak, nona. Akan tetapi adalah suara sulingmu yang menggambarkan keadaan sedemikian jelasnya"

   "Sobat, siapakah namamu, dan darimana kau datang dan apa yang membawamu ke tempat ini?"

   Han Sin tersenyum. Gadis itu menghujamkan pertanyaan kepadanya.

   "Nona, namaku Cian Han Sin, aku datang dari selatan dan yang membawaku sampai ke sini adalah keinginan untuk meluaskan pengalaman"

   Pada saat itu, dua orang laki-laki datang berlarian dan melihat mereka, Ma Goat cepat menegur "Heiii, kalian berlarian seperti di kejar setan. Ada apakah"

   Dua orang laki-laki setengah tua itu begitu melihat siapa yang menegur mereka, segera memberi hormat sambil membungkuk dalam.

   "Celaka, nona. Ada seorang kakek memaksa hendak bertemu dengan ketua. ketika kami mencegahnya, dua orang pengikutnya mengamuk dan kami yang belasan orang jumlahnya tidak mampu menandingi mereka yang lihai sekali. Teman-teman kini masih berusaha untuk melawan mereka """

   "Hemmm, dimana mereka?" Tanya Ma Goat.

   "Di Lereng bukit, nona"

   "Cepat melapor kepada ayah, biar aku yang menghajar mereka. kata Ma Goat dan setelah kedua orang anak buahnya itu berlari pergi, Ma Goat menoleh kepada Han Sin yang masih berdiri di atas perahunya.

   "Namaku Ma Goat dan aku senang sekali bertemu dan berkenalan denganmu, Cian Han Sin. Selamat tinggal" Ma Goat lalu berkelebat dan melompat jauh, berlari cepat meninggalkan tempat itu.

   Han Sin tertegun. Bukan main. gadis itu selain cantik jelita, pandai meniup suling, ternyata juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi gadis itu pergi untuk menemui lawan yang tangguh. Dia menjadi tertarik, juga khawatir kalau-kalau gadis yang serba bisa itu akan terancam bahaya, maka diapun menambatkan perahunya pada akar pohon, kemudian dia meloncat ke daratan dan cepat berlari menuju kearah bukit di depan.

   Ma Goat berlari cepat dan sebentar saja tibalah ia di lereng Kui-san dan ia melihat belasan orang anak buah ayahnya mengeroyok dua orang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun yang lihai sekali. Seorang kakek berusia enampuluhan tahun duduk bersila di atas batu sambil menonton perkelahian itu. Dua orang yang di keroyok itu bertangan kosong, sedangkan belasan orang anak buah Te-kwi-pai semua bersenjata pedang atau golok, akan tetapi mereka itu seperti sekelompok semut melawan dua ekor jangkrik saja. Mereka menyerang, akan tetapi ternyata dua orang itu agaknya memang tiding ingin membunuh sehingga para pengeroyok itu tidak mengalami luka-luka berat dan mereka segera bangkit lagi.

   Melihat ini, Ma Goat segera melompat ke dalam pertempuran dan membentak "Kalian semua mundurlah. biar aku menghadapi dua ekor tikus ini"

   Mendengar suara nona mereka, para anggota Te-kwi-pai menjadi girang dan mereka segera berlompatan ke belakang. Kini Ma Goat berdiri tegak di depan dua orang itu memandang dengan penuh perhatian. Akan tetapi ia sama sekali tidak mengenal mereka, maka ia menjadi marah sekali. Ia tidak perlu bertanya lagi karena tadi sudah dapat keterangan cukup jelas. Dua orang ini bersama kakek itu hendak naik ke puncak untuk mencari ayahnya. Menurut peraturan, tak seorangpun orang boleh naik ke puncak maka anak buah ayahnya melarang dan terjadi pertempuran.

   Setelah memandang dengan sinar mata tajam dan bersinar kemarahan. Ma Goat lalu membentak "Dua ekor tikus darimana berani membikin kacau tempat kami" dan ia sudah menerjang dengan hebatnya, menggunakan sulingnya menyerang kepada dua orang itu. Serangannya cepat bukan main dan suling itu menyambar bagaikan sebatang pedang. Sinar hitam menyambar kearah leher kedua orang itu. Akan tetapi dua orang itu bukan orang-orang lemah. Melihat sinar hitam menyambar dahsyat, mereka sudah mengelak dengan loncatan yang ringan ke belakang. Akan tetapi suling di tangan Ma Goat mengejar dan menyerang lagi dengan dahsyat. Dua orang itu terkejut dan sambil mengelak lagi, tangan mereka bergerak ke punggung dan mereka telah mencabut senjata mereka, yaitu masing-masing memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.

   Ma Goat tidak menjadi jerih, bahkan semakin marah karena dua kali serangannya dapat di elakkan lawan. Ia membawa suling ke depan bibirnya dan dua kali meniup. Sinar hitam meluncur cepat kearah dua orang itu. Akan tetapi mereka agaknya sudah waspada. Mereka menggerakkan pedang menangkis dan jarum-jarum halus yang di lepas melalui tiupan suling itupun runtuh ke atas tanah. Ma Goat menjadi marah sekali. Tubuhnya menerjang ke depan, sulingnya bergerak menjadi gulungan sinar hitam menyerang kearah dua orang lawannya. Akan tetapi dua orang itu menyambut dengan pedang mereka dan terjadilah pertandingan yang amat seru.

   Ternyata dua orang yang memegang pedang itu lihai bukan main. Biarpun permainan suling Ma Goat amat berbahaya, namun mereka dapat menahan serangan itu bahkan membalas dengan serangan pedang yang tidak kalah hebatnya. Dan perlahan-lahan Ma Goat terdesak oleh dua batang pedang itu, dan akhirnya ia hanya mampu memutar suling untuk melindungi hanya mampu memutar suling untuk melindungi dirinya tanpa membalas.

   Sejak tadi Han Sin mengintai dan kini melihat betapa gadis itu terdesak dan terancam bahaya, dia tidak tinggal diam lagi.

   "Dua orang laki-laki mengeroyok seorang gadis muda, sungguh tidak tahu malu" bentak Han Sin dan dia sudah menerjang ke dalam pertempuran itu. Biarpun dia bertangan kosong, akan tetapi karena dia mengerahkan sin-kangnya, begitu kedua tangannya mendorong, dua orang pengeroyok itu terhuyung-huyung ke belakang seperti di sambar angin yang amat kuat. hampir saja kedua orang ini terpelanting roboh.

   

Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 20 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 11 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 17

Cari Blog Ini