Pedang Naga Hitam 14
Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
Tiba-tiba Cu Sian menatap wajah gadis itu dengan tajam dan bertanya "Enci Lan, benarkah dugaan itu bahwa kau mencinta Han Sin?" Sinar mata Cu Sian demikian tajam memandang wajah Lan Lan penuh selidik. Mendapat pertanyaan yang di tujukkan tiba-tiba ini, Lan Lan merasa seolah-olah dadanya di todong ujung pedang. Ia tergagap menjawab.
"Aku ". Eh, aku tidak tahu, Cu Sian. Belum pernah aku berpikir tentang itu """
"Sukurlah kalau begitu. enci Lan. Aku kasihan kepadamu kalau sampai kau jatuh cinta kepada Han Sin. Pemuda seperti itu tidak patut menerima cinta seorang gadis seperti kau"
"Eh " kenapa begitu Cu Sian?"
"Dia " dia tidak berharga. Dia seorang pemuda mata keranjang dan di mana-mana ia mempunyai kekasih. Hatimu akan hancur dan patah-patah kalau kau mencintanya"
"Bagaimana kau tahu?"
"Tentu saja aku tahu. Aku sudah melakukan perjalanan bersamanya ke utara. Dia merayu dan menggoda puteri kepala suku, bahkan merayu kedua-duanya sehingga mereka jatuh cinta kepadanya, memperebutkannya. Akan tetapi apa jadinya? Dia tinggalkan mereka begitu saja. Huh, dia laki-laki yang tidak boleh dicinta seorang gadis"
Lan Lan tersenyum "Hem, dan bagaimana dengan kau sendiri?"
Cu Sian memandang dengan mata terbelalak "Aku?" Apa maksudmu dengan pertanyaan itu?"
Lan Lan masih tersenyum "Maksudku, kalau kau tentu bukan seorang pemuda seperti itu. Kau tidak akan mempermainkan orang yang jatuh cinta kepadamu, bukan?"
"Tentu saja tidak. Kalau aku jatuh cinta, aku akan mencinta dengan sepenuh jiwa ragaku, dan aku siap untuk membelanya, dengan taruhannyawa sekalipun. Aku akan bersetia sampai mati"
Kata-kata ini diucapkan penuh semangat dan diam-diam Lan Lan merasa terharu. Ia percaya bahwa kata-kata itu keluar dari lubuk hati dan bukan sekedar membual.
"Mudah-mudahan saja orang yang kau cinta itu akan membalas pula cintamu Cu Sian. Orang seperti kau cinta dan patah hati"
"Mudah-mudahan, enci Lan. Kau ". Sungguh baik sekali. Agaknya, aku akan mudah jatuh cinta kepadamu kalau saja aku belum mempunyai seorang pilihan hati"
Lan Lan tersenyum lalu bangkit berdiri "Nah, sudah cukup kita bicara, Cu Sian. Aku harus melanjutkan perjalananku dan selamat berpisah"
"Eh, nanti dulu, enci Lan, Menurut pendapatmu, kemanakah perginya Han Sin? Aku ingin bertemu dan bicara dengannya"
"Bagaimana aku tahu? Ketika aku mengobatinya, bahkan aku tidak sempat bicara dengannya. Akan tetapi mengingat aku menemukannya di bukit Kwi-san di pantai Huang-Hi, mungkin ia berada di sekitar lembah sungai itu. Nah, sampai jumpa, Cu Sian"
"Selamat jalan, enci Land an terima kasih"
Mereka berpisah dan di sepanjang perjalanan, Kim Lan tersenyum-senyum seorang diri. Jelas bagaikan sebuah kitab terbuka, Cu Sian adalah seorang gadis dan gadis itu mencinta Han Sin. Akan tetapi senyumnya agak berubah ketika ia merasa betapa hatinya seperti tertusuk. Pedih rasanya, cepat ia mengusir perasaan itu, dan melanjutkan perjalanannya sambil berlari secepat terbang.
***
Han Sin menuju ke Shan-si. Dia hendak singgah dulu di tai-goan, hendak mencari keterangan dimana adanya kuburan ayahnya. Dari Tarsukai dia mendapat keterangan bahwa ayahnya yang tewas di pertempuran itu dimakamkan oleh Gubernur Li Goan.
Ketika dia menghadap Gubernur, dia di terima oleh Li Kongcu, yaitu Li Si Bin yang mewakili ayahnya. Pemuda putera Gubernur itu girang sekali melihat Han Sin, apalagi ketika Han Sin bercerita bahwa dia telah bertemu dan tinggal beberapa hari lamanya di perkampungan suku Yak-ka. Dalam kesempatan itu Han Sin bertanya tentang makam ayahnya.
"Ah, maafkan kami bahwa ketika itu kami lupa memberitahu kepadamu, Cian-twako. Jenazah ayahmu memang di makamkan di sini, bahkan upacara pemakaman di sini, bahkan upacara pemakaman di lakukan secara besar-besaran seperti layaknya pemakaman seorang pahlawan besar. Semua itu di urus oleh ayah. Mari kuantarkan kau mengunjungi makam"
Li Si Bin sendiri yang mengantar Han Sin berkunjung ke makam ayahnya. Dia memandang kagum melihat Han Sin berlutut menyembahyangi makam ayahnya tanpa bercucuran air mata seperti kebiasaan orang-orang yang berkunjung ke makam. Pemuda yang tinggi tegap itu ternyata memiliki ketabahan dan kekerasan hati.
Setelah selesai sembahyang, Li Si Bin lalu mengajak Han Sin bercakap-cakap tentang kegagahan ayahnya seperti yang di dengarnya dari cerita orang-orang tua.
"Ayahmu bukan hanya seorang pahlawan negeri, Cian-twako. Akan tetapi menurut cerita para tokoh kang-ouw, dia juga seorang pendekar yang amat gagah perkasa dan di takuti para penjahat. Kau patut merasa bangga mempunyai seorang ayah seperti dia" demikian kata Li Si Bin.
"Sayang dia terbunuh secara pengecut dari belakang ketika dia sedang memimpin pasukan berperang, dan lebih sayang lagi sampai sekarang aku belum dapat mengetahui siapa pembunuhnya" kata Han Sin.
Akan tetapi, tentu di utara kau sudah mendapatkan keterangan tentang itu, bukan?"
"Ketarangan yang belum jelas menyebutkan siapa pelakunya, kong-cu. Aku masih harus menyelidikinya ke kota raja"
"Aku percaya penyelidikanmu akan berhasil, Cian-twako"
Pada saat itu, empat orang pengawal menemani seorang berpakaian panglima menghampiri Li Si Bin dan Cian Han Sin. Empat orang pengawal itu memberi hormat kepada Li Si Bin dan berkata "Kami diutus oleh Tai-jin untuk mengantarkan ciang-kun yang datang dari kota raja ini ke sini karena dia hendak bertemu dengan pemuda ini" Pengawal itu menundingkan telunjuknya kearah Han Sin.
Tentu saja Han Sin merasa heran sekali dan dia memandang kepada perwira itu dengan penuh perhatian. Panglima itu berusia tigapuluh lima tahun, tubuhnya jangkung kurus dan sikapnya gagah. Mendengar laporan pengawal itu, panglima itu segera memberi hormat kepada Li Si Bin dan berkata "Harap kong-cu maafkan kalau saya mengganggu"
Li Si Bin menatap wajah perwira itu penuh selidik, lalu bertanya "Ciang-kun, siapakah dan ada keperluan apa mencari saudara Cian Han Sin?"
Perwira itu mengeluarkan sebuah bendera kecil yang merupakan sebuah leng-ki (Bendera utusan raja), memperlihatkannya kepada Li Si Bin lalu menyimpannya kembali "Kong-cu, saya bernama Coa Hong Bu, seorang panglima istana dan saya melaksanakan sebuah tugas yang di berikan Yang Mulia Kaisar kepada saya. Untuk keperluan itu saya harus bertemu dan bicara dengan saudara Cian Han Sin"
Melihat leng-ki itu, Li Si Bin memberi hormat "Kalau begitu silahkan ciangkun bicara dengannya dan saya akan pulang terlebih dahulu. Cian-twako, kau bicaralah dengan Coa-ciangkun, aku hendak pulang lebih dulu" Li Si Bin lalu pergi diikuti para pengawal tadi, meninggalkan Han Sin berdua saja dengan Coa Hong Bu di makam ayahnya itu.
Setelah mereka berdua saja, Han Sin berkata "Coa-ciangkun, ada urusan apakah ciangkun mencariku?"
"Cian-kongcu, aku diutus oleh Sri Baginda Kaisar untuk mendapatkan dua buah benda. Yang pertama adalah pedang pusaka Hek-Liong-Kiam, dan yang kedua adalah Kitab ilmu Bu-tek-cin-keng, Karena aku tidak bisa mendapatkan kedua benda itu dirumah ibu kong-cu dan mendengar kong-cu pergi ke utara, maka aku menyusul ke sini untuk menanyakan kepadamu tentang kedua benda itu"
Han Sin mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah panglima itu "Hemmm " Pedang Naga Hitam adalah Pusaka milik mendiang ayahku, sedangkan kitab ilmu Bu-tek-cin-keng adalah pemberian mendiang kaisar Yang Cien kepadaku, kenapa sekarang Sri Baginda Kaisar Yang Ti hendak memintanya?"
"Entahlah, kong-cu. Aku hanya seorang utusan dan kehendak Sri Baginda harus dilaksanakan"
"Akan tetapi, Pedang Naga Hitam tidak ada padaku, pedang itu lenyap ketika mendiang ayah gugur di medan perang dan tentang kitab ilmu Bu-tek-cin-keng, telah kubakar agar tidak terjatuh ke tangan orang lain. Kalau Sri Baginda kaisar menghendaki belajar itu, aku dapat mengajarinya, asalkan mendapat perkenan ibuku"
Panglima Coa mengangguk-angguk lalu menghela napas panjang dan memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh iba "Aku mengerti, Cian-kongcu. Aku sudah tahu bahwa Hek-Liong-Kiam tidak ada padamu. Bahkan " aku membawa sebuah berita duka untukmu, kong-cu"
Han Sin mengerutkan alisnya lagi dan memandang tajam "Berita duka? Apa maksudmu, Coa-ciangkun?"
"Berita duka mengenai ibumu, kongcu"
"Ibuku? Ada apa dengan ibuku?" wajah Han Sin berubah agak pucat dan dia memandang panglima itu dengan kedua mata terbelalak.
"Beberapa bulan yang lalu, ibumu tewas terbunuh orang """
Andaikata bumi di depannya terbelah, belum tentu Han Sin akan sekaget itu. Matanya terbelalak lebar, wajahnya pucat sekali dan sesaat dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata, bahkan tidak mampu berpikir. Pikirannya menjadi gelap oleh guncangan batin yang amat hebat. Kemudian setelah dapat menguasai dirinya, dia berteriak.
"Ibu "".?? Siapa pembunuhnya?"
Tidak ada yang mengetahuinya, kongcu. Hanya ada bibi Cio Si, pelayan itu" yang mengetahui, akan tetapi iapun tidak mengenal si pembunuh. Ia hanya dapat mengatakan bahwa pembunuh itu memegang sebatang pedang hitam yang berkilauan.
"Hek-Liong-Kiam " "
"Kukira juga demikian, kongcu. Pembunuh ibumu itu menggunakan pedang Naga Hitam. Setelah mendapatkan kenyataan itu, aku lalu berangkat mencarimu ke sini"
"Tidak ada yang mengetahuinya, kong-cu. Pembunuh ibumu itu menggunakan Pedang Naga Hitam. Setelah mendapatkan kenyataan itu, aku lalu berangkat mencarimu ke sini"
"Ibu "" Han Sin terhuyung dan menutupi mukanya dengan kedua tangan kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan makam ayahnya. Tak dapat dia menahan air matanya yang bercucuran keluar saking pedih rasa hatinya mengenang kematian ibunya tercinta.
"Ayah ". Maafkan anakmu, ayah. Kematian ayah belum juga terbalas, pembunuh ayah belum juga ku temukan, Hek-Liong-Kiam juga masih di tangan pembunuh, kini ibuku bahkan terbunuh pula. Ayah, aku bersumpah tidak akan berhenti sebelum pembunuh ayah dan ibu dapat di hokum dan Hek-Liong-Kiam belum dapat ku temukan"
Coa Hong Bu hanya melihat dan mendengarkan, dalam hatinya merasa iba sekali kepada pemuda ini. Sungguh tidak dapat di sangka, nasib keluarga Panglima Besar Cian Kauw Cu begini menyedihkan. Panglima itu terbunuh secara curang, dan isterinya terbunuh pula. Padahal mendiang Cian Kauw Cu adalah seorang panglima besar yang banyak jasanya dalam mendirikan Kerajaan Sui dan berjasa besar pula sebagai seorang pendekar yang menentang segala macam bentuk kejahatan.
Setelah pemuda itu menjadi tenang kembali, Coa Hong Bu berkata kepada Han Sin "Cian-kongcu, seorang laki-laki sejati tidak tenggelam dalam kedukaan peristiwa yang lalu. Aku percaya kelak kong-cu pasti akan dapat menemukan pembunuh orang tua kong-cu dan mendapatkan kembali Hek-Liong-Kiam"
Han Sin bangkit berdiri dan dengan ujung lengan bajunya menghapus sisa airmatanya. Lalu dia mengepal tinju "Aku yakin pasti akan dapat menemukannya dan kukira tempatnya adalah di kota raja. Aku akan kembali ke kota raja mencari musuh besarku"
"Aku rasa duganmu benar, kong-cu. Dan kalau kau dapat menemukan pembunuh itu, berarti kau akan menemukan pula Hek-Liong-Kiam. Akan tetapi, bagaimana tentang kehendak Sribaginda itu, kong-cu? Bagaimanapun juga aku harus membuat pelaporan kepada Yang Mulia Kaisar"
Laporkan saja bahwa aku bersedia menghadap Sri Baginda kalau aku sudah menemukan musuh besarku. Aku akan menyerahkan Pedang Naga Hitam dan juga mengajarkan Bu Tek Cin Keng kalau memang Sri Baginda menghendaki"
"Baik, kong-cu. Nah, aku akan berangkat dulu kembali ke kota raja melaporkan kepada Sri Baginda kaisar"
"Baik, Ciangkun dan selamat jalan" kata Han Sin.
Panglima Coa Hong Bu lalu meninggalkan makam itu dan Han Sin duduk bersila di depan makam ayahnya, termenung memikirkan nasibnya. Diam-diam dia memikirkan mengapa ibunya terbunuh orang. Kalau ayahnya, mungkin ayahnya memiliki banyak musuh, atau orang membunuhnya untuk merampas Pedang Naga Hitam? Akan tetapi mengapa ibunya juga di bunuh oleh perampas Pedang Naga Hitam? Hampir dia yakin bahwa pembunuh ibunya juga pembunuh ayahnya. Dan menurut keterangan yang dia dapatkan dari Tar-sukai ketua suku Yakka, ketika ayahnya tewas, jenazahnya di dekati seorang perwira Sui berusia tigapuluh tahun lebih. Mungkin perwira itulah pembunuh ayahnya. Perwira yang menjadi pembantu ayahnya sendiri. mengingat bahwa kematian ayahnya di sebabkan oleh anak panah yang dilepas dari belakang, besar kemungkinan perwira itu yang memanahnya dari belakang kemudian mendekati jenazahnya dan mengambil pedang Naga Hitam. Akan tetapi kenapa pembunuh itu, kalau benar dia si perwira membunuh pula ibunya? Ibunya adalah seorang wanita perkasa. Tidak mudah terbunuh begitu saja. Tentu pembunuhnya seorang yang lihai ilmu silatnya.
Akhirnya dia meninggalkan makam itu dan singgah di rumah Gubernur Li Goan untuk berpamit. Li Si Bin menemuinya dan tanpa ditanya Han Sin menceritakan kepada Li Si Bin tentang apa yang di dengarnya dari Coa Hong Bu.
Li Si Bin terkejut dan maju memegang lengan Han Sin "Ah, betapa buruk nasibmu, Cian-twako. Akan tetapi tabahlah, seorang jantan harus tabah menghadapi segala cobaan hidup. Ibumu sudah bersatu dengan ayahmu, tentu beliau telah berbahagia"
Han Sin menghela napas "Terima kasih, Li-kongcu. Aku sudah bersumpah di depan makam ayahku bahwa aku pasti akan menemukan pembunuh ayah dan ibu dan menemukan kembali Pedang Naga Hitam"
"Kau seorang laki-laki yang gagah dan berilmu tinggi, toako. Aku percaya usahamu akan berhasil. Selamat jalan dan ku harap kelak kita akan dapat bertemu kembali. Diantara kita harus ada perhubungan erat dan saling bantu. Aku mengharap kelak akan dapat memperoleh banyak akan dapat bantuan tenagamu yang amat berharga"
"Terima kasih, kongcu. Mudah-mudahan saja begitu dan selamat tinggal"
Han Sin menolak ketika dibekali uang karena bakal uangnya masih cukup akan tetapi dia menerima ketika diberi seekor kuda. Dengan menunggang kuda dia lalu cepat melakukan perjalanan untuk kembali ke selatan.
Dari Tai-goan, Han Sin melarikan kudanya dengan cepat menuju ke lembah Sungai Huang-ho. Perjalanan yang memakan waktu berhari-hari itu berjalan lancer tanpa ada gangguan. Setelah tiba di tepi Sungau Huang ho, dia menukarkan kudanya dengan sebuah perahu yang kuat dan baik, lalu melanjutkan perjalanan melalui air sungai yang mengalir ke selatan.
Perjalanan melalui air sungai ini selain cepat, juga tidak melelahkan. Berhari-hari hanya duduk saja mengemudikan perahu yang hanyut oleh arus sungai. Karena menganggur ini membuat Han Sin banyak melamun.
Dia mengenangkan semua peristiwa yang terjadi dan menimpa dirinya, Ketika kenangan tentang kematian ibunya muncul mengganggu hatinya dan menimbulkan kedukaan, dia cepat mengenangkan kembali semua peristiwa lain yang di alaminya selama meninggalkan rumah dan pergi ke utara mencari Hek-Liong-Kiam yang belum juga dapat ditemukan. Banyak peristiwa yang membuatnya risau. Gadis gila Kui Ji itu tergila-gila kepadanya. Kemudian gadis mongol puteri Ketua suku Yakka. Dia merasa heran mengapa dia bertemu gadis-gadis yang mencintanya. Padahal dia sama sekali tidak menyukai gadis-gadis itu. Bahkan hatinya belum pernah tertarik kepada wanita, kecuali hanya satu kali hatinya tertarik kepada Kim Lan. Ini pun hanya menimbulkan rasa rindu saja untuk bertemu dan bercakap-cakap. Dia belum yakin apakah perasaan rindu ini ada hubungannya dengan cinta, ataukah hanya rasa suka karena tertarik akan kepribadian gadis itu yang lemah lembut.
Tanpa terasa, perahu Han Sin setelah melakukan pelayaran berhari-hari, pada suatu siang tiba di dekat kota Loan. Melihat seorang nelayan sedang menjemur dan menjahit jala ikan di tepi pantai. Han Sin menepikan perahunya.
"Sobat, apakah kota Lo-an jauh dari sini?" tanyanya.
"Ah, tidak, kong-cu. Hanya dua tiga mil dari sini" jawab nelayan itu.
Han Sin mengikat perahunya pada sebatang pohon. Dia memang bermaksud pergi ke kota Lo-an untuk membeli perbekalan makan. Bekal makanannya sudah habis. Karena khawatir kalau perahunya di curio rang dia lalu menitipkannya kepada nelayan itu dengan memberi upah sekedarnya. Setelah itu, dia menggendong buntalan pakaiannya dan melangkah menuju ke kota Lo-an.
***
Cu Sian bersungut-sungut. Dia telah melakukan perjalanan secepatnya untuk mengejar Han Sin. Akan tetapi dia kehilangan jejak dan tak pernah dapat menyusul pemuda itu. Hatinya kesal bukan main. Sejak ditinggalkan pemuda itu di perkampungan suku Yakka, dia melakukan pengejaran. meninggalkan keluarga Tarsukai tanpa pamit, akan tetapi Han Sin seperti lenyap di telan bumi. Hatinya kesal bukan main. Tanpa adanya pemuda itu di sisinya, dia merasa seolah-olah hidupnya sepi, tidak lengkap dan tidak menyenangkan. Tidak ada lagi yang dapat di godanya.
Dia berhenti di kota Lo-an, bermalam di kota itu sampai dua hari, akan tetapi tidak ada bayangan Han Sin. Bahkan ketika dia bertanya-tanya, tidak seorangpun melihat pemuda yang mirip Han Sin. Agaknya Han Sin tidak melalui Lo-an dan kembali dia menyadari bahwa dia telah salah memilih jalan. Mungkin Han Sin mengambil jalan lewat sungai, dan mungkin sekali sekarang sudah hampir tiba di daerah selatan.
"Sialan" gerutunya sambil berjalan cepat hendak pergi ke sungau Huang-ho karena dia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan lewat air. Tiba-tiba wajah yang cemberut itu berubah seketika. Kepalanya di angkat dan dia memandang ke depan. Ada seorang pemuda berjalan santai bersama seorang laki-laki yang sudah tua yang bertubuh tinggi kurus dan dari pakaiannya dan rambutnya dia pasti seorang to-su (pendeta agama To).
"Itu pasti Han Sin" pikirnya dan Cu Sian segera berlari mengejar dua orang itu. Untuk menggodanya, dia menghampiri perlahan lalu menepuk pundak pemuda itu.
"Akhirnya dapat kutemukan juga kau"
Pemuda itu cepat menoleh dan Cu Sian terbelalak. Pemuda itu ternyata bukan Cian Han Sin, bahkan lebih celaka lagi, pemuda itu bukan lain adalah Bong Sek Toan, pemuda yang pernah ribut dengan dia sebanyak dua kali. Pertama kali ketika dia sebagai seorang pengemis muda bertemu dengan Bong Sek Toan di sebuah rumah makan dan Bong Sek Toan hendak memukulnya akan tetapi di lerai oleh Han Sin. Dan untuk kedua kalinya dia bertemu Bong Sek Toan, bahkan sempat bertanding dengannya ketika mereka ikut terlibat dalam pemilihan perwira tentara di Shan-si.
Biarpun kaget bertemu dengan Bong Sek Toan, bukan dengan Han Sin seperti disangkanya, namun Cu Sian tidak merasa takut dan dia segera melepaskan pegangannya pada pundak dan meloncat kebelakang, mengomel "Kiranya kau"
Bong Sek Toan ternyata segera mengenal Cu Sian. Wajahnya berubah merah karena marahnya. Cu Sian pernah menggoda dan menggangunya. Kalau tempo hari bukan merupakan pertandingan di panggung ujian, tentu dia sudah membunuh Cu Sian.
"Hemmm, kau jembel busuk" bentaknya marah "Sekali ini aku tidak akan mengampunimu lagi" Setelah berkata demikian, Bong Sek Toan langsung saja menyerang dengan pukulannya. Akan tetapi Cu Sian sudak siap siaga dan karena kemanapun dia pergi, dia tidak pernah ketinggalan sebatang tongkatnya, maka kini dia mengelak sambil menotok tongkatnya kearah perut lawan.
"Aku juga tidak akan mengampunimu, monyet hitam" bentak Cu Sian dan Bong Sek Toan terpaksa meloncat ke belakang kalau dia tidak ingin perutnya menjadi korban tusukan tongkat. Bagaimanapun juga, dia sudah tahu akan kelihaian pemuda remaja yang tadinya menyamar sebagai pengemis ini dan dia tidak berani memandang rendah. Sambil melompat ke belakang, tangannya meraba punggung dan dia sudah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Setelah bergerak, dia langsung saja memainkan pedang yang menjadi andalannya, yaitu Lo-hai Kiam-hoat (Ilmu Pedang Pengacau Lautan). Cu Sian memutar tongkatnya dan segera memainkan Hek-tung-hoat (Ilmu Tongkat Hitam). Biarpun tongkatnya tidak berwarna hitam akan tetapi ilmu tongkat itu memang dinamakan Ilmu tongkat hitam karena dahulu, kakek Cu Sian yang di sebut Cu Lokai adalah pendiri Hek I Kaipang dan terkenal dengan tongkat hitamnya.
Segera terjadi pertandingan hebat sekali. Seru dan setiap serangan merupakan serangan maut. Kedua orang ini memang memiliki tingkat kepandaian yang seimbang. Mungkin Bong Sek Toan lebih menang dalam hal tenaga, akan tetapi kemenangan ini dikurangi kekalahannya dalam hal kecepatan gerakan. Bong Sek Toan lebih kuat tenaganya, namun Cu Sian lebih cepat gerakannya sehingga dua macam kelebihan yang berlawanan ini menguntungkan Cu sian. Karena lebih cepat serangan-serangan yang bertubi-tubi, totokan-totokan yang amat berbahaya sehingga Bong Sek Toan lebih banyak mengankis ketimbang menyerang.
Lima puluh jurus telah lewat dan Cu Sian berhasil mendesak lawannya "Monyet hitam, bersiaplah untuk mampus. Sebentar lagi kau mampus di ujung tongkatku" Cu Sian menyerang sambil mengejek, membuat Bong Sek Toan yang menjadi marah itu semakin kacau permainan pedangnya.
"Lo-cian-pwe, bantulah aku "" Akhirnya dia berteriak minta bantuan.
To-su tua itu sejak tadi hanya menonton dengan tertarik sekali. Dia mengenal ilmu pedang dan ilmu tongkat itu sebagai warisan tokoh-tokoh besar dunia persilatan.
"Sian-cai ". Lo-hai kiam-hoat bertemu dengan Hek-tung-pang, sungguh seru dan menganggumkan. Bong-sicu, apa sih sukarnya menundukkan pengemis liar ini?" Biarpun Cu Sian tidak berpakaian sebagai pengemis, akan tetapi karena ilmu tongkatnya itu terkenal sebagai ilmu tongkat ketua perkumpulan pengemis yang terkenal, maka to-su itu menyebut pengemis liar.
To-su itu melangkah maju menghampiri, kebutan di tangan kirinya menyambar ke depan dengan kecepatan kilat dan mengeluarkan suara bersuitan. Tentu saja Cu Sian terkejut sekali. Dia mengelak dari pedang Bong Sek Toan yang menyambar, meloncat ke samping dan pada saat itulah kebutan di tangan kiri tosu itu menyambar kearah kepalanya. Dia cepat memutar tongkatnya menangkis, akan tetapi tiba-tiba to-su itu menggerakkan tangan kanannya dan sebatang tongkat putih meluncur dan menahan tongkat Cu Sian. Begitu kedua tongkat bertemu, Cu Sian merasakan tongkatnya melekat pada tongkat putih itu dan tidak dapat di tarik kembali. Padahal kebutan itu sudah menyambar kearah kepalanya. Dia hanya dapat miringkan kepalanya untuk mengelak.
"Breett """ sutera pengikat rambutnya terlepas dan rambutnya menjadi riap-riapan. Rambut yang hitam panjang.
"Sian-cai ". To-su itu berseru dan kini kebutannya menyambar lagi kearah dada Cu Sian. Dengan tenaga sepenuhnya Cu Sian menarik tongkatnya dan berhasil melepaskan tongkatnya dari lekatan tongkat putih, lalu menangkis kebutan yang menyerang kearah dadanya itu.
"Wuuukk " pllaakk" kini tongkat itu terlibat ujung kebutan dan tidak dapat terlepas. Pada saat itu Bong Sek Toan menusukkan pedangnya kearah dadanya. Cu Sian tidak dapat menghindar diri lagi kecuali miringkan tubuhnya.
"Breeettt" Bajunya terobek pedang dan untuk sekejab nampaklah bukit dada yang menonjol ketika baju itu terobek dan pundaknya terluka.
"Aha. Kiranya kau seorang wanita?" Bong Sek Toan mengejek.
"Ha-ha-ha, sejak rambutnya terurai pinto sudah mengetahuinya"
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, mudah saja" kata to-su itu sambil tertawa-tawa dan diapun menggerakkan tongkat dan kebutannya yang lihai. Akan tetapi Cu Sian menggigit giginya dan mengamuk. Tongkatnya di putar cepat dan dia tidak akan menyerah sampai titik darah terakhir.
Bagaimanapun juga, tingkat kepandaiannya jauh sekali dibandingkan tingkat to-su itu. Apalagi di situ masih ada Bong Sek Toan yang membantu si tosu lihai. Setelah lewat belasan jurus, sebuah sapuan tongkat putih mengenai mata kakinya dan Cu Sian terpelanting. Pada saat Bong Sek Toan hendak menubruknya, nampak bayangan berkelebat dan Bong Sek Toan terhuyung ke belakang karena ada kekuatan dahsyat yang mendorongnya mundur. Ketika dia melihatnya, ternyata di situ telah berdiri seorang pemuda yang membantu Cu Sian berdiri lagi. Pemuda itu bukan lain adalah Cian Han Sin.
Melihat Han Sin, Cu Sian girang sekali akan tetapi segera kegirangannya itu berubah menjadi kekhawatiran. Teringatlah dara yang menyamar pria ini bahwa Han Sin adalah seorang pemuda lemah, atau kalaupun memiliki ilmu silat, kepandaiannya itu tidak seberapa, masih jauh dibawah tingkatnya sehingga dahulu ialah yang menjadi "pengawal" Han Sin. Timbul kekhawatirannya kalau-kalau Han Sin akan menjadi korban dan mati konyol.
"Sin-ko " cepat, larilah selagi masih mungkin. Larilah, mereka ini lihai sekali. Kau dapat terbunuh "" katanya sambil siap menggunakan tongkatnya untuk melindungi Han Sin.
Han Sin kebetulan lewat di situ dalam perjalanannya dari tepi sungai menuju ke Lo-an untuk mencari bekal makanan ketika dia melihat Cu Sian di keroyok oleh seorang pemuda dan seorang to-su. Kekagetannya itu bertumpuk-tumpuk ketika dia mengenal Bong Sek Toan dan lebih lagi ketika dia mengenal tosu itu sebagai Ngo-heng-thian-cu, pembunuh gurunya, Hek-Liong-Ong atau Ho-beng Hwesio. Dan rasa kagetnya itu menjadi lebih hebat ketika ia melihat bahwa Cu Sian adalah seorang wanita, nyaris Cu Sian celaka karena semua kenyataan ini membuatnya bengong sesaat. Akan tetapi dia segera menyadari bahwa kalau dia tidak cepat turun tangan. Cu Sian tentu akan celaka, maka dia lalu meloncat, mendorong Bong Sek Toan dan membantu Cu Sian bangkit berdiri. Ketika dia mendengar permintaan Cu Sian agar dia melarikan diri agar selamat, diam-diam dia merasa terharu. Dalam keadaan terancam seperti itu, Cu Sian masih mengkhawatirkan dirinya dan minta agar dia melarikan diri.
"Tidak, aku tidak akan lari. Biar aku menghadapi to-su Iblis ini" katanya dan dia segera mengerahkan tenaga dari Bu-tek Cin-keng "Kau lawanlah pemuda itu"
Melihat ada orang yang menolong gadis yang menyamar pria itu, Ngo-heng Thian-cu menjadi penasaran. Kini Han Sin bukan pemuda remaja lagi, melainkan seorang pemuda dewasa. Kurang lebih empat tahun yang lalu, dia mencoba menyerang to-su ini ketika melihat gurunya tewas dan to-su ini tidak mau melayaninya karena mengira dia murid Siauw-li-pai. Agaknya Ngo-heng Thian-cu gentar menghadapi permusuhan dengan perguruan silat yang terkenal itu.
Maka to-su itu tidak mengenalnya dan dengan kebutan di tangan kiri, tongkat putih di tangan kanan, dia melangkah maju dan siap untuk menyerang.
"Hiattt "" Han Sin menyerang dengan Bu-tek Cin-keng, mendorongkan kedua tangannya dengan jari terbuka ke depan. Angin dahsyat menyambar. To-su itu terkejut dan berusaha untuk menangkis, akan tetapi tetap saja tubuhnya terdorong dan terpental sampai beberapa meter jauhnya. Dia terbanting keras, akan tetapi dia segera dapat bangkit berdiri lagi. Kenyataan ini saja membuktikan betapa kuatnya kakek tua ini. Sementara itu, Cu Sian sudah bergebrak lagi melawan Bong Sek Toan.
Melihat Kakek itu dapat berdiri dengan cepat, dan Cu Sian sudah terluka, Han Sin segera menyambar lengan tangan Cu Sian dan sekali melompat dia segera berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bong Sek Toan tidak berani mengejar dan ketika dia mengajak to-su itu untuk melakukan pengejaran, Ngo-heng Thian-cu menghela napas panjang "Aihh siapa dapat menduga bahwa ada seorang pemuda memiliki kekuatan seperti itu? Siancai, jangan mengejar mereka, Bong-sicu, berbahaya sekali"
Biarpun hatinya amat penasaran dan kecewa, Bong Sek Toan terpaksa tidak berani mengejar sendiri dan mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan.
***
Han Sin membawa lari Cu Sian dan baru berhenti setelah tiba di tepi pantai. Dia segera menuntun Cu Sian memasuki perahunya dan menjalankan perahunya mengikuti aliran sungai menuju ke selatan.
Barulah kini mereka saling pandang sambil duduk di dalam perahu itu. Tangan kanan Han Sin memegang kemudi perahu. Mereka saling pandang dengan penuh keheranan sehingga sampai lama mereka hanya saling tatap tanpa dapat berkata-kata.
"Luar biasa "" Ucapan ini keluar dengan berbareng dari mulut mereka, seperti di komando saja dan kejadian yang kebetulan ini membuat keduanya tertawa lepas, karena merasa lucu sekali.
"Apanya yang luar biasa?" Tanya Han Sin.
"Kau yang luar biasa. Biasanya, kau hanya seorang pemuda yang lemah, bahkan aku menjadi pengawalmu. Akan tetapi sekarang ternyata kau memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, jauh lebih lihai dibandingkan aku"
"Ah, biasa-biasa saja "" " kata Han Sin merendah.
"Tidak, Sin-ko, kau hebat. Kau dapat merobohkan to-su sakti itu dalam segebrakan saja. Dan tadi kau mengatakan luar biasa, nah apanya yang luar biasa?"
"Kaulah yang luar biasa" kata Han Sin dan baru sekarang dia melihat betapa cantiknya Cu Sian. Padahal, biasanya dia menganggap Cu Sian seorang pemuda remaja yang Bengal dan liar "Ternyata kau seorang wanita. Bukankah itu luar biasa sekali?"
Cu Sian tersenyum "Sejak lahir aku memang perempuan, apanya yang luar biasa?" Akan tetapi senyumnya kini berubah, ia menyerengai kesakitan.
Han Sin terbelalak dan cepat minggirkan perahunya, menghentikan perahu dengan mengikatkan talinya ke sebuah batu besar di tepi sungai yang sepi. Lalu dia menghampiri Cu Sian yang masih menyerengai kesakitan sambil memegangi pundak kirinya.
"Kenapa kau, Sian-te "?"
Biarpun ia sedang kesakitan, Cu Sian kini tertawa, menertawakan Han Sin "Kau masih menyebutku Sian-te (adik laki-laki Sian)?"
Han Sin tercengang baru teringat akan kesalahanya "Eh " ohh " habis, aku harus menyebut apa? Oya, Sian-moi (adik perempuan Sian). Kau terluka? Biarkan aku memeriksanya"
Han Sin memegang pundak kiri dara itu dan membuaka baju di bagian itu yang memang sudah robek. Akan tetapi Cu Sian menepiskan tangannya "Hemm, kau mau apa? kenapa buka-buka baju?"
Wajah Han Sin menjadi kemerahan "Habis, kalau tidak di buka, bagaimana aku dapat memeriksa lukanya?"
Cu Sian lalu dengan hati-hati membuka sedikit baju yang robek itu, hanya cukup untuk memperlihatkan luka di pundaknya. Han Sin memeriksa dan hatinya lega. Luka itu tidak terlalu besar, hanya luka kulit dan juga nampak bersih tidak ada tanda-tanda keracunan. Tentu saja nyeri, yaitu pedih karena kulit itu terobek.
"Sukur lukamu tidak berbahaya, Sian-mo. Hanya luka kulit dan tidak beracun. Biar ku obati dengan obat luka ini" Dia mengeluarkan sebuah bungkusan dari buntalan pakaiannya dan menaburkan obat bubuk warna merah kepada luka itu.
Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cu Sian memejamkan matanya, tadinya ia khawatir kalau obat itu menimbulkan rasa pedih, akan tetapi ternyata tidak, bahkan rasa pedih pada lukanya hilang, tertutup rasa dinginnyaman. Ia lalu menutupkan lagi robekan bajunya, lalu bangkit berdiri dan menyambar buntalan pakaiannya "Kau tunggu di sini, aku mau berganti bajuku yang robek" katanya dan iapun melompat ke darat dan lenyap di balik semak belukar. Tak lama kemudian ia sudah muncul lagi ke dalam perahu. Han Sin melepas tali perahu dan perahu itu kembali meluncur mengikuti aliran air sungai.
"Sungguh mati tak pernah aku bermimpi bahwa kau adalah seorang wanita, Sian-moi" kata Han Sin sambil tersenyum memandang kepada gadis itu. Biarpun masih mengenakan pakaian seorang pemuda remaja, akan tetapi karena dia sudah tahu bahwa Cu Sian seorang wanita, gadis itu kelihatan cantik manis, bukan lagi tampan seperti biasa dia melihatnya.
Cu Sian tersenyum lebar dan lesung pipitnya bermain-main di kanan kiri mulutnya "Akupun tidak pernah mimpi bahwa kau ternyata seorang pendekar yang berilmu tinggi, Sin-ko" katanya.
Han Sin menatap wajah itu dan dia pun tertawa geli. Cu Sian mengerutkan alisnya dan cemberut, bertanya "Kenapa kau tertawa? Apanya yang lucu pada diriku?"
"Ha-ha-ha kau " seorang wanita. Sungguh aneh sekali. Kalau ku ingat akan sikapmu selama ini terhadap Loana dan Hailun. Sungguh luar biasa. Kenapa kau mempermainkan kedua orang gadis Mongol itu, Sian-moi?"
Cu Sian menundukkan mukanya yang berubah kemerahan. Kemudian ia mengangkat mukanya dan memandang kepada Han Sin dengan sinar mata menantang. Agaknya ia tadi tersipu dan dengan kekerasan hatinya ia malah menantang.
"Aku hanya bermaksud menjauhkan mereka darimu, Sin-ko"
"Ah, kenapa?"
"Aku " aku takut kau jatuh cinta kepada Loana. Aku tidak ingin melihat kau terpikat oleh Loana atau gadis lainnya"
Sejenak mereka saling pandang dan akhirnya Cu Sian menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali karena ia menyadari bahwa baru ia membuka rahasia hatinya. Han Sin tertegun. Gadis ini cemburu. Dan tidak ingin melihat dia jatuh cinta kepada gadis lain. Jawaban ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Cu Sian juga jatuh cinta kepadanya.
Han Sin termenung. Dia harus mengakui bahwa dia amat suka kepada Cu Sian yang di sangkanya seorang pemuda remaja, bahkan dia selalu merindukan kehadiran sahabat itu. Alangkah mudah baginya untuk mengubah rasa suka kepada Cu Sian pria itu menjadi rasa cinta kepada Cu Sian wanita. Akan tetapi, perubahan atas diri Cu Sian itu demikian tiba-tiba datangnya dan dia sama sekali tidak tahu perasaan apa yang berada di dalah hatinya terhadap Cu Sian wanita. hatinya sudah di penuhi oleh bayangan Kim Lan, dan agaknya sukar baginya untuk menukar bayangan itu dengan gadis lain.
Kini dia merasa tidak enak hati sekali dan salah tingkah ketika Cu Sian membuka perasaan hatinya kepadanya. Segera dia hendak mengalihkan percakapan mereka kepada hal"hal lain.
"O ya, kau maafkanlah aku ketika aku meninggalkan kau tanpa pamit itu, Sian-moi"
"Ah, tidak, Sin-ko. Aku tahu bahwa tentu kau menganggap aku seorang pemuda mata keranjang yang hendak mempermainkan dua orang gadis. Akan tetapi setengah mati aku mengejar dan mencarimu. Untung bahwa kita dapat bertemu di tempat aku terancam maut itu"
"Sian-moi, kau hendak pergi kemanakah?"
Cu Sian memandang kepadanya "Kemana kau pergi ke sanalah aku pergi pula, Sin-ko. Bukankah selama ini kita melakukan perjalanan bersama? Aku ingin melakukan perjalanan bersamamu, Sin-ko. Kemanakah kau hendak pergi? Aku ikut denganmu"
Han Sin tersenyum. Gadis ini sikapnya masih sama dengan ketika ia menjadi pemuda remaja. Bengal, nakal, keras hati dan nekat. Dia lalu menggeleng kepalanya "Hal itu tidak mungkin kita lakukan, Sian-moi. Ingatlah, kau seorang gadis dan aku seorang pemuda, mana mungkin melakukan perjalanan berdua saja?"
"Apa salahnya? Kalau aku menyamar sebagai pria, siapa yang akan tahu? Kau sendiri juga tidak tahu. Biarkan aku menyertaimu dan aku akan tetap menyamar sebagai pria, Sin-ko"
"Hemm, biarpun selama ini aku dapat kau kelabui, akan tetapi ku rasa lambat laun aku tentu akan mengetahui juga. Banyak kejanggalan kau perlihatkan selama ini. Kau dekat namun jauh. Bahkan bermalam pun menggunakan dua kamar. Tentu akan ketahuan orang dan amat tidak baik bagi nama dan kehormatanmu sebagai seorang gadis, Sian-moi, kita terpaksa harus mengambil jalan masing-masing. Apalagi aku sendiri mempunyai urusan pribadi yang amat penting.
"Apakah kau telah mendapat tahu siapa pembunuh ayahmu dan pencuri pedang Hek-Liong-Kiam itu?"
"Belum, akan tetapi aku sudah mendapat petunjuk"petunjuk. Apalagi, aku menerima kabar duka bahwa ibuku pun baru saja di bunuh orang "" suara Han Sin terdengar sedih.
Cu Sian terkejut "Ahhhh ". Siapa pembunuh keparat itu?"
"Tidak ada yang tahu, akan tetapi aku mendengar bahwa pembunuh ibuku menggunakan pedang hitam bersinar"
"Wahhh, jangan-jangan pembunuh ibumu adalah juga pembunuh ayahmu dan pencuri Hek-Liong-Kiam"
Han Sin mengangguk-angguk. Akupun berpendapat begitu, maka aku akan melakukan penyelidikan ke kota raja"
"Wah, ke Tiang-an?"
"Ya, menengok rumah di luar kota raja dan mengunjungi makam ibuku, dan menyelidiki musuh yang ku kira berada di kota raja"
"Bagus, kalau begitu aku pun akan pulang"
"Kemana?"
"Tiang-an. Kau tahu, Hek I Kaipang berpusat di Taing-an, Sin-ko. Jadi kita sama-sama menuju ke Tiang-an. Satu tujuan. Kau tentu tidak keberatan kalau kita melakukan perjalanan bersama, bukan?"
Apa yang dapat dikatakan Han Sin untuk menolak? Tidak ada alas an sama sekali baginya untuk menolak dan kalau dia mau berterus terang kepada diri sendiri, dia pun sebenarnya senang dapat melakukan perjalanan dengan Cu Sian, walaupun kini Cu Sian telah berubah menjadi seorang gadis.
Diapun tersenyum "Kalau memang tujuan perjalanan kita sama, mengapa keberatan, Sian-moi?"
Bukan main girangnya hati Cu Sian nampak pada wajahnya yang kemerahan dan berseri-seri, matanya yang bersinar-sinar.
"Terima kasih, Sin-ko. Aku tahu, kau memang seorang yang baik sekali"
"Ada satu syarat, Sian-moi, yaitu mulai sekarang kau harus menuruti petunjukku dan jangan bersikap ugal-ugalan lagi" kata Han Sin dengan sikap galak sehingga Cu Sian tertawa geli.
"Baik, kakaku yang budiman. Dan aku pun mempunyai syarat yang harus kau penuhi"
"Ehhh? Kenapa jadi kau yang menentukkan syarat? Kau mulai ugal-ugalan lagi?"
"Tidak. Sekali ini kau harus menurut, yaitu mulai sekarang jangan menyebut aku Sian-moi. Bagaiamana nanti orang-orang yang mendengar seorang pemuda di sebut Sian-moi? Tentu mereka akan mengira kita ini berotak miring"
Han Sin tertawa bergelak. Hidup selalu nampak gembira kalau Cu Sian berada di dekatnya. Bocah ini memang lincah jenaka dan selalu mendatangkan kegembiraan.
"Baik, Sian-te. dan maafkan kelupaanku" Tiba-tiba Han Sin teringat akan sesuatu "Wah, payah ini"
"Kenapa Sin-ko?"
***
"Ketika aku bertemu denganmu tadi, aku sedang hendak pergi ke Lo-an untuk membeli perbekalan makan karena perbekalanku sudah habis. Karena peristiwa tadi, aku tidak jadi ke Lo-an dan sekarang perutku lapar sekali"
"Aku juga tidak membawa perbekalan makanan, akan tetapi aku selalu membawa bumbu untuk membuat makanan. Jangan khawatir, Sin-ko, bahan makanan tersedia banyak di dalam air ini" ia menunjuk keluar perahu.
"Eh? Makanan apa?"
"Ikan. Kau suka ikan panggang, bukan?"
"Tentu saja. Akan tetapi bagaimana menangkap ikan-ikan itu?"
"Ha-ha, alangkah bodohnya. Tentu saja memberi umpan dan memancing agar ikan-ikan itu muncul ke permukaan air lalu menangkapnya"
"Kita tidak mempunyai kail ""
"Lihat sajalah. Dalam waktu kurang dari satu jam sudah akan dapat menikmati ikan panggang" Cu Sian lalu membongkar buntalan pakaiannya dan ia mengambil sebilah pisau. Dengan pisau itu ia membuat ujung tongkatnya menjadi runcing. Lalu ia mengeluarkan pula sehelai benang yang panjangnya kurang lebih dua meter. Dengan cekatan sekali jari-jari tangannya bergerak memotong sedikit kain dari bajunya yang robek tadi, membentuk potongan kain itu seperti seekor kupu-kupu kecil lalu di ikatkan kupu-kupu kain itu pada ujung benang.
"Nah, sekarang dayunglah perahumu ke bagian yang airnya tidak berarus kuat, agak ke pinggir. Itu, di bawah pohon sana itu, tentu tempat itu menjadi sarang ikan. Biasanya ikan ekor kuning suka berada di tempat yang teduh seperti itu. Kau pernah makan ikan ekor kuning? Lezat sekali, Sin-ko"
Han Sin tidak mengerti apa yang hendak di perbuat oleh gadis itu, akan tetapi dia segera mengemnudikan perahunya menuju ke tepi, di bawah pohon besar.
"Nah, hentikan perahumu di sini"
Han Sin melempar tali ke darat dan perahunya terhenti. Ujung tali perahu itu melibat pohon kecil "Diam, jangan banyak bergerak atau bersuara" kata Cu Sian. Gadis itu menggunakan ujung benang dan melempar kupu-kupu kain ke air, lalu menarik-nariknya sehingga kupu-kupu kecil itu seolah bergerak-gerak di atas permukaan air. Tangan kanannya siap memegang tangkat yang ujungnya sudah runcing itu. Barulah Han Sin mengerti apa yang di lakukan gadis itu. namun dia masih ragu apakah gadis itu akan berhasil menangkap ikan dengan cara itu. Cara yang belum pernah di lihat atau di dengar sebelumnya.
Akan tetapi Cu Sian mengerti apa yang ia lakukan. Ia melakukan usaha menangkap ikan itu secara itu dengan penuh keyakinan karena pengalaman. Ia tahu bahwa ikan ekor kuning, terutama yang besar, pasti akan muncul dan menyambar kupu-kupu kain itu.
Dan benar saja, tak lama kemudian Han Sin melihat dua ekor ikan sebesar betisnya muncul dan berebutan menyambar kupu-kupu kain itu. Secepat kilat Cu Sian menggerakkan tongkatnya menusuk dan ia berhasil menangkap seekor ikan yang gemuk. Seekor ikan yang ekornya kuning.
Tentu saja Han Sin menjadi girang dan kagum sekali. Dia membantu gadis itu melepaskan ikan dari ujung tongkat yang menjadi tombak itu dan ikan itupun menggelepar-gelepar di dalam perahu.
"Satu lagi baru cukup, Sin-ko" kata Cu Sian dan kembali ia memasang umpan pancingnya yang istimewa. dan tak lama kemudian, ia berhasil menangkap lagi seekor ikan yang sebesar betis.
Han Sin hanya dapat memandang kagum dan senang. Tanpa di minta ia membantu gadis itu untuk membersihkan ikan dengan pisau yang agaknya selalu di bawa oleh gadis itu, membuka perutnya dan membuang isi perutnya. Ikan itu tidak bersisik dan gemuk sekali. Sementara itu, Cu Sian sudah melompat ke darat dan membuat api unggun. Ia sudah mengeluarkan merica, bawang putih dan garam.
Setelah dua ekor ikan itu di lumuri bumbu, lalu di tusuk ranting kayu dan di panggang.
Bau yang sedap gurih membuat Han Sin menjadi semakin lapar sehingga keruyuk perutnya sampai terdengar oleh Cu Sian. Gadis itu tersenyum dan Han Sin terpesona. Kalau sudah begitu, Cu Sian menjadi demikian lembut dan cekatan, sifat kewanitaannya menonjol sepenuhnya. Seorang gadis yang hebat, pikir Han Sin sambil mengenang semua sepak terjang Cu Sian. Gadis yang gagah perkasa, pemberani tak mengenal takut, berbudi baik walaupun baik walaupun kadang nakal seperti kanak-kanak suka menggoda orang, dan sekarang memperlihatkan ketrampilannya dalam mempersiapkan makanan.
Dengan ketrampilan Cu Sian, agaknya kemanapun gadis itu pergi, ia tidak perlu membawa bekal makanan karena dimana-mana tersedia makanan untuknya.
Dan tepat seperti yang tadi dijanjikan Cu Sian, kurang dari satu jam hidangan berupa daging ikan panggang yang lezat sudah di lahap oleh Han Sin. Cu Sian juga makan daging ikan panggang itu, namun tidak selahap Han Sin dan sekarang barulah Han Sin ingat bahwa dulu gadis itupun selalu makan dengan perlahan dan selalu mengambil potongan"potongan kecil dengan sumpitnya ketika makan bersama di rumah makan. Kini baru dia mengerti mengapa demikian. Betapa bodohnya dia.
"Hemm, lezat sekali" kata Han Sin berulang kali dan pujian yang jujur tanpa maksud merayu ini membuat Cu Sian bersinar-sinar penuh kegembiraan.
Daging dua ekor ikan itu habis dan setelah minum air jernih yang menjadi bekal Cu Sian, mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka. Perahu mereka meluncur cepat dan keduanya merasa gembira sekali. Han Sin tidak merasa canggung lagi walaupun kini dia tahu bahwa temannya itu adalah seorang gadis. Dan dari sikap Cu Sian yang sewajarnya, tidak dibuat-buat. Dia semakin yakin bahwa gadis itu benar-benar mencintanya. Tahulah dia mengapa sejak masih menyamar sebagai pria Cu Sian selalu hendak menemaninya.
***
Pada suatu pagi yang cerah, Han Sin dan Cu Sian berjalan santai mendaki sebuah bukit. Sudah beberapa pekan mereka meninggalkan perahu di sungai Huang-ho, menghadiahkan perahu itu kepada seorang nelayan miskin yang tentu saja menjadi kegirangan. Mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki menuju ke Tiang-an.
Kota raja sudah tidak terlalu jauh lagi, tinggal kurang lebih seratus mil dari bukit itu, membutuhkan perjalanan seenaknya selama tiga empat hari.
" Sian-moi ""
"Huushh, kau lupa lagi menyebutku Sian-moi" tegur Cu Sian.
Han Sin tertawa "Apa salahnya menyebutmu Sian-moi kalau kita sedang berduaan saja? Kalau ada orang lain, barulah aku menyebutmu Sian-te. Kau ini seorang gadis, mengapa ingin benar di anggap pria?"
Cu Sian juga tertawa "Demi keamanan penyamaranku"
"Sian-moi, kita sudah dekat dengan Kota raja dalam beberapa hari lagi. Apa perlunya kau masih menyamar dengan pakaian itu? Bagaimana kalau sekarang kau berganti pakaian yang sewajarnya?"
"Kenapa, Sin-ko? Apakah kau ingin melihatku dengan pakaian seorang gadis?" Cu Sian mengamati wajah Han Sin dengan penuh selidik.
Wajah Han Sin agak kemerahan, akan tetapi dia menjawab sejujurnya.
"Bukan hanya ingin melihatmu, melainkan agar kelak kalau aku bertemu denganmu dalam pakaian wanita, aku tidak akan pangling. Aku rasa kalau mulai sekarang kau berpakaian wanita, tidak akan ada halangannya"
"Hemm, bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa kalau diketahui orang, seorang gadis tidak pantas melakukan perjalanan dengan seorang pemuda?" Cu Sian menggoda.
"Kalau kita mengaku sebagai kakak dan adik, siapa mengatakan tidak pantas?"
Cu Sian tertawa "Baiklah, aku memang selalu membawa bekal pakaian wanita, akan tetapi dimana aku dapat berganti pakaian?"
Han Sin menunding ke sebuah hutan tak jauh dari dari situ" Di sana ada sebuah hutan. Kau dapat berganti pakaian di sana. Biar aku menanti di sini"
"Baiklah, Sin-ko" Cu Sian lalu berlari memasuki hutan itu dan lenyap di balik pohon-pohon dan semak belukar.
Han Sin duduk di atas akar pohon yang menonjol ke permukaan tanah dan dia tersenyum-senyum. Ingin sekali dia melihat bagaimana rupanya Cu Sian kalau mengenakan pakaian wanita. Gadis itu tentu nampak cantik sekali. Akan tetapi sungguh aneh, ketika dia mencoba untuk membayangkan wajah Cu Sian, eh yang nampak adalah wajah Kim Lan.
Entah dimana adanya gadis bijaksana ahli pengobatan itu, dan apa yang sedang ia lakukan. Begitu teringat kepada Kim Lan, seketika dia sudah melupakan Cu Sian dan timbul perasaan rindu yang amat mengganjal di dalam hati. Dia sudah lupa lagi berapa lama dia menanti di situ dan Cu Sian juga belum kembali. Ketika akhirnya dia teringat kepada Cu Sian, dia bangkit berdiri dan memandang kearah hutan itu. Baru dia teringat bahwa sudah lama Cu Sian memasuki hutan, akan tetapi belum juga kembali. Tidak mungkin berganti pakaian memakan waktu selama itu. Atau barangkali Cu Sian sedang bersolek diri? Dia tersenyum, akan tetapi kembali senyumnya menghilang. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan Cu Sian.
Han Sin lalu berlari kearah hutan itu. Karena takut kalau-kalau gadis itu sedang berganti pakaian, dia pun memanggil "Sian-moi" Akan tetapi tidak ada jawaban dan diapun memasuki hutan.
Pada saat itu dia mendengar suara orang bertempur di sebelah dalam hutan itu. Cepat dia meloncat kearah itu dan tak lama kemudian dia melihat Cu Sian, yang sudah berpakaian sebagai seorang dara yang cantik, sedang bertanding melawan seorang pemuda. Pemuda itu berusia sebaya dengannya, mungkin lebih tua setahun dua tahun, bertubuh sedang tegap dan berwajah tampan. Pakaiannya indah sebagai seorang sastrawan dan rambutnya tersisir rapi. Dia seorang pesolek dan dia bertanding melawan Cu Sian dengan menggunakan senjata sebuah kipas, kipas besar. Gagang kipas itu terbuat dari pada baja dan gerakannya lihai bukan main. Di dekat tempat itu berdiri pula serombongan orang terdiri lima belas orang. Akan tetapi yang amat mengejutkan hati Han Sin adalah ketika dia melihat seorang gadis diantara mereka karena gadis ini bukan lain adalah Ma Goat, puteri Pak-Te-Ong yang tempo hari mengejar-ngejarnya.
Sebetulnya, dengan tongkat ranting di tangannya, Cu Sian tidak terlalu terdesak oleh pemuda itu dan mereka bertanding seimbang. Akan tetapi ketika melihat munculnya Han Sin, Ma Goat cepat bergerak kedepan, suling di tangannya berkelebat dan terdengar Cu Sian berseru kaget karena ranting di tangannya telah terlepas dari pegangan.
Totokan suling itu pada pergelangan tangannya membuat ia terpaksa melepaskan tongkatnya dan sebelum ia dapat berbuat sesuatu, Cu Sian tidak mampu melawan lagi dan tidak berani bergerak karena sekali suling itu menyerang lehernya tentu ia akan tewas.
Melihat ini, Han Sin sudah hendak meloncat dan menerjang untuk menolong Cu Sian, akan tetapi Ma Goat yang cerdik sudah berteriak kepadanya, sambil menempelkan sulingnya di leher Cu Sian.
"Cian Han Sin, jangan bergerak. Sedikit saja kau bergerak, gadis ini akan mati"
Mendengar ancaman ini, tentu saja Han Sin tidak berani bergerak. Dia tahu kelihaian Ma Goat, dan tahu pula bahwa gadis itu merupakan puteri seorang datuk dan memiliki watak yang aneh, keras dan kejam.
"Ma Goat" katanya tenang "Kenapa kau menawan nona itu? Ia tidak bersalah apa-apa, lepaskan ia"
"Enak saja, dan kau akan melarikan diri lagi? Gadis ini menjadi tawananku sebagai sandera agar kau tidak melarikan diri lagi dariku. Lui-kongcu, suruh anak buahmu mengikat kedua tangan Han Sin"
Pemuda yang di sebut Lui Kong-cu itu lalu memberi isyarat dan empat orang anak buahnya lalu menghampiri Han Sin dengan tali yang kuat di tangan.
Melihat ini, Cu Sian berseru "Sin-ko, lawanlah, berontaklah dan jangan pedulikan aku"
Akan tetapi Han Sin melihat bahwa sekali dia bergerak. Tentu saja akan terbunuh. Tentu saja dia tidak menghendaki hal ini terjadi. Pihak lawan terlalu banyak dan Cu Sian sudah terjatuh ke tangan Ma Goat. Keadaannya tidak menguntungkan dan memaksanya untuk menyerah.
"Aku berjanji tidak akan mengganggunya, Han Sin"
Han Sin merasa lega dan dia menjulurkan kedua lengannya ke depan "Nah, belenggulah aku" Empat orang itu segera membelenggu kedua tangan itu dengan tali yang kuat sehingga Han Sin tidak mampu menggerakkan kedua tangannya, Melihat ini, Ma Goat tertawa gembira dan sekali sulingnya bergerak, ia telah menotok pundak Cu Sian dan gadis itu terkulai lemas.
"Ma Goat. Kau melanggar janji?" bentak Han Sin marah.
Ma Goat tersenyum dan berkata "Tenanglah, Han Sin. Gadis ini terlalu galak dan suka memberontak, kalau tidak ku totok, tentu ia akan merepotkan kami. Lui-kongcu, kau urus gadis ini, biar aku yang akan mengurus Han Sin"
Lui-kongcu tersenyum dan sekali melompat dia telah berada dekat Cu Sian, lalu dengan ringan dia memondong tubuh gadis yang sudah lemas tidak mampu menggerakkan kaki tangannya itu.
"Lepaskan aku, kau jahanam busuk. Ku hancurkan kepalamu nanti, lepaskan" Cu Sian berteriak-teriak karena ia sudah tidak dapat meronta. Pemuda itu tersenyum. Kipasnya berkelebat menotok kearah leher dan Cu Sian tidak mampu mengeluarkan suara lagi. Pemuda itu lalu membawanya pergi ke dalam hutan, mendaki bukit itu.
"Marilah, Han Sin. Kau ikut dengan kami. Ingat, gadis ini masih berada di tangan kami. Maka jangan kau membuat ulah" Ma Goat mengancam. Terpaksa Han Sin menurut dan diapun melangkah ketika lengannya di gandeng Ma Goat yang tersenyum-senyum senang.
"Kau membuat aku sengsara, Han Sin. Siang malam aku teringat kepadamu. Sekali ini kau harus berada di sisiku untuk selamanya dan jangan meninggalkan aku lagi. Kenapa sih kau ini tidak tahu di cinta orang setengah mati?"
Han Sin menjadi merah mukanya. Ucapan gadis itu dikeluarkan begitu saja, tanpa malu-malu padahal di belakang mereka berjalan lima belah orang anak buah itu. Diapun diam saja, pura-pura tidak mendengar dan tidak perduli ketika Ma Goat di sepanjang jalan mengeluarkan kata-kata rayuan. Dia hanya memperhatikan Cu Sian yang masih berada di pundak pemuda she Lui itu, dan hatinya merasa amat khawatir. Dia harus mencari kesempatan untuk dapat membebaskan Cu Sian dari tangan mereka. Dia merasa menyesal sekali mengapa tadi minta kepada Cu Sian untuk berganti pakaian. Merasa bersalah karena kalau dia tidak minta gadis itu berganti pakaian, tentu kini Cu Sian tidak tertawan.
Tak lama kemudian mereka tiba di puncak bukit dan di puncak itu tersembunyi diantara pohon-pohon raksasa, terdapat sebuah bangunan baru. Agaknya bangunan dari kayu ini belum dibangun orang. Sebuah bangunan yang besar sekali sehingga amat mengherankan bagaimana bangunan sebesar itu dibangun orang di tengah hutan puncak bukit,
Pemuda tampan yang memondong Cu Sian yang telah tertotok tak berdaya itu dengan cepat menghilang kedalam bangunan. Pemuda itu bukan lain adalah Lui Sun Ek, putera Panglima Lui Couw di kota raja. Dia telah mewarisi ilmu kepandaian dari ayahnya dan merupakan seorang pemuda yang pandai ilmu silat dan sastra. Sikapnya lemah lembut dan nampaknya sopan santun. Tak seorangpun akan mengira bahwa putera panglima besar Lui itu sebetulnya adalah seorang pemuda hidung belang dan mata keranjang yang namanya tidak asing lagi di rumah-rumah pelesir. Para pelacur tingkat tinggi di kota raja mengenal pemuda ini sebagai seorang kong-cu yang royal sekali. Akan tetapi pemuda ini pandai menyembunyikan kelakuannya ini, bahkan para pembesar di kota raja tidak ada yang menyangka bahwa dia seorang yang gemar berjudi dan melacur.
Melihat pemuda itu membawa Cu Sian ke dalam bangunan dan menghilang, Han Sin merasa khawatir sekali "Ma Goat, aku sudah menyerah, dengan janjimu bahwa kau tidak akan mengganggu Cu Sian"
"Aku tidak membohongimu, Han Sin. Aku tidak akan mengganggu sehelai rambutpun dari gadis itu" kata Ma Goat sambil menggandeng lengan Han Sin "Mari masuk dan kita bicara di dalam"
Han Sin terpaksa menurut "Rumah siapakah ini?" tanyanya ketika mereka memasuki rumah yang besar itu. Ma Goat menariknya masuk ke dalam sebuah kamar yang cukup mewah dan bersih, lalu mereka duduk berhadapan terhalang meja.
"Nah, sekarang katakan, apa maksudmu menangkap kami berdua, Ma Goat?" Tanya Han Sin. Dia duduk dan sikapnya tenang walaupun kedua tangannya masih terbelenggu. Dia sama sekali tidak khawatir akan diri sendiri, hanya mengkhawatirkan nasib Cu Sian.
Ma Goat memandang tajam lalu bertanya "Han Sin, siapakah gadis itu?"
"Ia tidak bersalah apa-apa. Ia bernama Cu Sian"
"Apamukah ia?"
"Hemm, bukan apa-apa, hanya kebetulan jalan bersama. Kenalan biasa. Karena itu, bebaskanlah ia, Ma Goat"
"Hemm, kau bilang ia bukan apa-apa, akan tetapi kau mau mengorbankan diri, menyerah untuk menyelamatkan ia" Dalam suara Ma Goat terkandung kemarahan karena cemburu.
"Sudah kukatakan, Ma Goat bahwa Cu Sian tidak bersalah apa-apa. Tentu saja aku tidak ingin melihat ia celaka atau di ganggu oleh siapapun. Nah, sekarang katakan apa kehendakmu? Bebaskan dulu Cu Sian dan kita boleh berurusan diantara kita saja"
Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 20 Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 9 Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 8