Ceritasilat Novel Online

Dendam Sembilan Iblis Tua 2


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Bagian 2




   Dalam petualangannya bersama Pek-liong-eng, Liong-li telah mendapatkan harta karun yang membuat ia menjadi kaya raya. Rumah gedung amat indah dan penuh dengan alat rahasia untuk melindungi diri. Rumahnya bertembok putih bersih karena sering dikapur, dengan jendela dan pintu dicat hijau muda, nampak segar dan bersih menyenangkan, apa lagi dihias dengan tanaman bunga-bunga yang membuat rumah itu dikepung daun-daun hijau dan bunga-bunga beraneka warna. Di depan rumahnya terdapat pekarangan yang luas, dan di tengah pekarangan itu nampak sebuah kolam ikan yang luas, yang ditumbuhi teratai merah dan putih, dan di tengah kolam dipasangi arca yang indah sekali buatannya.

   Arca seorang wanita cantik berpakaian tipis tembus pandang menunggang seekor angsa! Keindahan bentuk tubuh wanita dan angsa itu sungguh serasi. Di sebelah kiri dan belakang gedung itu terdapat taman bunga yang mengumpulkan segala macam bunga yang berasal dari luar Lok-yang dan yang terpelihara baik. Perumahan itu dikelilingi pagar tembok yang dua meter tingginya, dan di atas pagar tembok dipasangi tombak-tombak merah. Indah dan juga megah angker! Liong-li tinggal di gedung mungil itu ditemani sembilan orang pelayannya, semuanya wanita berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun. Para pelayan ini mengenakan pakaian yang beraneka warna, dan mereka nampak cantik dan gesit, karena mereka telah menerima latihan ilmu silat yang lumayan dari majikan mereka.

   Mereka itu mempunyai nama dan dikenal baik oleh Liong-li akan tetapi Liong-li lebih sering menyebut mereka dengan warna pakaian mereka saja, seperti Ang-hwa (Bunga Merah), Pek-hwa (Bunga Putih), atau Lan-hwa (Bunga Biru). Dan sembilan orang wanita pelayan ini juga berwatak gagah, dan amat setia kepada Liong-li yang mereka sayang dan mereka hormati sebagai majikan yang royal dalam memberi hadiah, dan guru yang amat baik. Liong-li berjiwa petualang, maka tentu saja ia tidak betah kalau harus tinggal saja di rumah, walaupun rumahnya indah, taman bunganya indah dan para pelayannya selain pandai silat, pandai pula bermain musik, bernyanyi dan menari. Liong-li sendiri merupakan seorang ahli dalam kesenian, dan seringkali ia dibantu sembiIan orang pelayannya bersenang-senang dan bermain musik di tamannya yang indah di waktu bulan purnama.

   Kalau sedang begitu, mereka merupakan sepuluh orang bidadari yang cantik dan ahli seni, sedikit pun tidak membayangkan bahwa mereka adalah sepuluh orang wanita yang amat berbahaya bagi siapa saja yang berniat jahat terhadap mereka. Mungkin karena belum berumah tangga, tidak mempunyai suami dan anak, maka Liong-li kadang-kadang keluar rumah dan makan di rumah makan. Pada hal ia sendiri ahli masak, dan para pelayannya juga pandai masak. Ia menghendaki kesegaran di luar, melihat kehidupan di luar. Bahkan ada kalanya ia tidur di sebuah rumah penginapan, meninggalkan kamarnya sendiri yang jauh lebih indah! Pada suatu pagi yang indah, Liong-li sudah keluar dari rumahnya.

   Kepada para pelayannya ia mengatakan bahwa ia hendak pergi berjalan-jalan ke kota. Begitu keluar dari rumah, di sepanjang jalan raya hampir setiap orang tersenyum atau mengangguk kepadanya, ada pula yang mengangkat kedua tangan memberi hormat. Liong-li memang merupakan seorang wanita yang populer, disuka dan dikagumi semua orang baik-baik, disegani dan ditakuti para penjahat. Bahkan seorang perwira keamanan yang sedang lewat menunggang kuda, begitu melihat Liong-li berjalan seorang diri di tepi jalan, cepat memberi hormat seperti bertemu dengan seorang atasannya! Liong-li membalas setiap salam orang dengan senyum dan anggukan kepala. Ia pagi itu nampak segar, bagaikan setangkai bunga yang masih basah oleh embun bermandikan cahaya matahari pagi. Berseri dan semerbak.

   Rambutnya yang panjang hitam dan gemuk itu digelung ke atas, dilakukan oleh seorang pelayannya yang paling ahli dalam hal membuat sanggul, dan rambutnya yang disanggul tinggi itu dihias jepitan dan tusuk sanggul perak dengan mainan seekor naga kecil di atas bunga teratai. Pakaiannya dari sutera tipis sehingga pakaian dalamnya membayang di sebelah dalam, seluruh pakaian itu dari sutera berwarna hitam sehingga nampak betapa kulit leher dan tangannya putih mulus. Matanya yang tajam kadang mencorong itu nampak ramah berseri setiap kali bertemu orang dan menerima salam mereka. Sungguh aneh betapa seorang wanita seperti ini belum juga berumah tangga, pada
(Lanjut ke Jilid 02)
Dendam Sembilan Iblis Tua (Seri ke 03 - Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02
hal banyak sekali perjaka yang bangsawan dan hartawan tergila-gila kepadanya.

   Akan tetapi, siapa orangnya berani melamar Liong-li, kalau gadis itu tidak mengulurkan tangannya? kalau sekali saja ia menjulurkan tangan, tentu akan ada ratusan pasang tangan yang akan menyambutnya penuh gairah. Liong-li memiliki segalanya. Kecantikan, kelihaian, kekayaan, nama baik dan kepandaian bermacam-macam. Bau sedap yang keluar dari sebuah rumah makan menarik perhatian Liong-li dan membuat perutnya berkeruyuk lapar. Pagi tadi ia memang menolak hidangan sarapan pagi dari pelayannya dan memang ia bermaksud untuk makan pagi di rumah makan yang paling dulu menarik seleranya. Rumah makan Lok-hwa itu merupakan rumah makan besar, satu di antara rumah makan langganannya. Ketika ia memasuki rumah makan itu dengan langkah santai, dua orang pelayan tua yang mengenalnya segera menyambutnya dengan ramah.

   "Selamat pagi, Lihiap (pendekar wanita)!" kata seorang.

   "Silakan duduk, siocia (nona)!" kata yang lain. Pemilik rumah makan itu yang duduk di bagian dalam, begitu melihat wanita berpakaian serba hitam itu memasuki rumah makannya, segera bangkit dan tergopoh-gopoh keluar untuk menyambut sendiri.

   "Selamat pagi, Lihiap! Sungguh merupakan kebahagiaan besar dapat menyanji Lihiap di pagi hai ini." Dia lalu menoleh kepada para pelayan dan berkata dengan nada memerintah.

   "Cepat bersihkan meja terbaik untuk Liong-lihiap!" Para pelayan tergopoh-gopoh membersihkan meja dan pemilik rumah makan itu sendiri yang mengantar Liong-li dan mempersilakan ia duduk, lalu bertanya, masakan apa yang hendak dipesan Liong-li. Para tamu yang sudah lebih dulu berada di rumah makan itu, ada yang bangkit berdiri ada pula yang mengangguk. Yang jauhpun tersenyum ramah. Semua orang menghormati Liong-li. Semua orang mengaguminya. Beberapa orang pemuda yang duduk jauh, saling berbisik dan beberapa kali menelan ludah ketika mereka semua memandang ke arah Liong-li secara sembunyi-sembunyi, tidak berani langsung.

   "Duhai juwita... betapa cantiknya..."

   "Lihat tuh bibirnya... hemm, menggemaskan..."

   "Kulit lehernya begitu putih mulus..."

   "Lesung di pipinya amat manis..." Liong-li adalah seorang wanita yang sudah melatih pancaindranya melalui samadhi dan pernapasan. Ia memiliki pendengaran yang amat tajam sehingga dari jauh itu, kalau ia mencurahkan perhatiannya, ia mampu mendengarkan suara bisik-bisik para pemuda itu. Akan tetapi karena mereka itu hanya memuji-mujinya dengan kagum tanpa berniat kurang ajar, iapun hanya tersenyum. Tidak bangga lagi. Sudah terlalu lama dan terlalu sering ia melihat sinar mata kagum dari pria, juga kata-kata pujian. Semua itu dianggapnya hanya rayuan kosong belaka!

   Liong-li memesan beberapa masakan yang paling disukainya, kemudian setelah pengurus rumah makan mengundurkan diri, Liong-li duduk termenung menanti masakan yang dipesannya. Untuk mempersiapkan masakan yang dipesan, tidak mungkin dapat dilakukan dengan terlalu cepat. Sayur yang segar harus dicuci dan dipotong-potong, juga daging yang segar harus disayat-sayat, semua bumbu harus dipersiapkan dan segalanya harus baru dan dimasak seketika agar dapat dihidangkan panas-panas dalam keadaan segar dan baru. Untuk melewatkan waktu, Liong-li makan kwa-ci (isi semangka) yang dihidangkan, dan minum teh cair yang harum dan hangat. Tak lama kemudian, dua orang pelayan datang membawakan masakan pesanannya. Ia memesan dua macam masakan dengan nasi tim, akan tetapi yang muncul adalah tiga macam masakan!

   "Ehh? Kenapa tiga macam? Aku tidak memesan sop ayam jamur ini!" katanya menunjuk masak ke tiga.

   "Tentu pesanan orang lain ini." Dua orang pelayan itu mengatur tiga masakan dan nasi di atas meja, lalu seorang dari mereka berkata,

   "Tidak keliru, Lihiap. Menurut kepala dapur, masakan sop ayam jamur ini sengaja dibuat untuk dihaturkan kepada nona disertai salam seluruh pekerja di dapur!" Liong-li tersenyum. Tidak aneh baginya. Memang terlalu banyak orang bersikap terlalu baik kepadanya dan karena sudah terbiasa, dengan senang hati diterimanya sikap itu tanpa prasangka dan tidak canggung lagi.

   "Sampaikan terima kasihku kepada mereka," katanya ramah.

   "Ingat saja mereka itu akan kesukaanku."

   "Kehadiran Lihiap merupakan kebahagiaan dan kehormatan bagi kami, tentu saja kami semua ingat apa masakan kegemaran Lihiap," kata pelayan itu sambil memberi hormat lalu mengundurkan diri. Liong-li tersenyum senang. Memang sop ayam jamur merupakan satu di antara masakan kegemarannya, akan tetapi pagi itu ia memang tidak memesan masakan itu, melainkan memesan masakan kegemaran yang lain.

   Karena sop pemberian para tukang masak itu nampak lezat, dengan daging kulit ayam yang gemuk menonjol dan kekuningan, dan jamurnya juga masih baru, iapun menggunakan sumpit untuk mengambil sepotong jamur kecil untuk mencobanya. Akan tetapi, begitu jamur itu masuk ke mulutnya, ia cepat memuntahkannya kembali ke atas sebuah mangkok kosong, lalu menggunakan saputangan untuk menerima ludahnya, kemudian ia berkumur satu kali dengan air teh dan membuang kumuran itu ke atas mangkok tadi. Semua ini dilakukannya dengan tenang sehingga tidak ada orang yang mengetahuinya. Kemudian, dengan sikap masih tenang, namun kini setiap urat syarafnya waspada, pendengarannya tajam, penglihatannya juga mencorong, ia mencabut tusuk konde peraknya.

   Setelah menyapu ruangan itu dan melihat bahwa tidak ada tamu lain yang berani nonton ia makan karena hal itu kurang sopan, ia lalu mencelupkan ujung tusuk sanggul ke dalam sop ayam jamur, mendiamkannya sejenak dan ketika ia mengangkatnya kembali, ternyata ujung tusuk sanggul itu nampak kebiruan! Yakinlah ia bahwa sop ayam jamur itu mengandung racun yang amat keras, yang kalau dimakannya tentu akan cukup kuat untuk membunuhnya. Bukan baru sekali ini nyawa Liong-li terancam maut. Oleh karena itu, sikapnya masih tetap tenang saja. Bahkan ia melanjutkan makan dua masakan yang dipesannya tadi bersama nasi, setelah dengan teliti memeriksa semua masakan itu, bahkan ia memeriksa pula arak yang disuguhkan.

   Hanya sop ayam jamur itu saja yang mengandung racun, justeru masakan hadiah dari tukang masak atau kepala dapur! Sungguh aneh. Liong-li memutar otaknya sambil makan sehingga ia tidak dapat menikmati makan pagi itu sepenuhnya Perhatiannya tercurah kepada peristiwa itu, masakan yang dihadiahkan kepadanya, masakan yang mengandung racun! Rasanya tidak masuk diakal kalau kepala dapur menghidangkan masakan beracun kepadanya! Tidak ada alasannya sama sekali. Pertama, ia tidak pernah bermusuhan dengan siapapun juga di rumah makan itu, dan kedua, kalau memang ada yang hendak membunuhnya dengan racun, mengapa caranya demikian kasar? Apakah orang itu tidak memperhitungkan bahayanya kalau sampai ketahuan? Tidak, kiranya tidak mungkin ada musuh setolol itu, dan jelas bukan kepala dapur.

   Kecuali tentu saja kalau ada penjahat yang menyelundup dan kini bekerja di dapur rumah makan itu. Kemungkinan ini tentu saja ada, dan bukan mustahil kalau penjahat yang menyelundup menjadi tukang masak itu hendak membalas dendam kepadanya dengan menaruh racun ke dalam masakan yang dihadiahkan! Tiba-tiba ia teringat dan jantungnya berdebar. Kenapa tidak dari tadi ia teringat akan hal ini? Bagaimana mungkin ada kepala dapur begitu lancang menghadiahkan masakan kepada seorang tamu? Kalau mau memberi hadiah masakan, tentu bukan dari kepala dapur datangnya, melainkan dari pemilik rumah makan! Kepala dapur menghadiahkan masakan semahal itu, atas namanya, tentu akan membuat pemilik rumah makan menjadi marah. Melihat gadis itu sudah tidak makan lagi, pelayan tua datang menghampiri mejanya untuk membersihkan meja itu.

   "Sudah selesaikah, Lihiap?" tanyanya ramah. Liong-li mengangguk tanpa bicara, diam-diam ia mengerling dan memperhatikan sikap pelayan itu. Dalam keadaan seperti itu, kewaspadaan membuat ia menaruh curiga terhadap apa saja dan siapa saja!

   "Ehh?" Pelayan tua itu nampak kaget dan heran yang tidak dibuat-buat ketika dia melihat mangkok besar sop ayam jamur itu masih utuh.

   "Kenapa Lihiap tidak makan sop ayam jamur ini?" Liong Li masih memancing sambil menatap tajam wajah orang.

   "Paman, maukah engkau memakannya, kalau kuberikan ini kepadamu?" Sepasang mata itu terbelalak, bukan terkejut atau ketakutan, melainkan keheranan.

   "Tentu saja, Lihiap, akan tetapi... mana saya berani? Dan kenapa Lihiap tidak memakannya?" Liong-li lega. Pelayan tua ini tidak tahu menahu.

   "Paman, siapakah yang menghadiahkan sup ayam jamur ini kepadaku?"

   "Sudah saya katakan tadi, kepala dapur yang menghadiahkan kepada Lihiap, dengan salam hormat seluruh pekerja di dapur. Kenapakah, Lihiap?" Pelayan itu mulai memperlihatkan sikap tidak enak karena tentu saja dia merasa tidak enak hati melihat betapa hidangan yang dihadiahkan itu sama sekali tidak dimakan oleh Liong-li. Liong-li tersenyum,

   "Tidak apa-apa, paman, hanya aku kekenyangan. Oya, aku ingin bertemu dengan kepala dapur untuk mengucapkan terima kasih. Maukah engkau mengundangnya keluar ke sini sebentar agar aku dapat bicara dengan dia?" Wajah pelayan itu kembali berseri.

   "Tentu Lihiap! Aih, Tio-toako tentu akan gembira sekali mendengar undangan Lihiap ini!" Sambil membawa mangkok kosong dan sisa makanan, kecuali sup ayam jamur yang masih ditahan Liong-li, pelayan itu bergegas masuk ke bagian belakang untuk menyampaikan undangan Liong-li kepada kepala dapur. Biarpun sedang menghadapi keadaan yang menegangkan, Liong-li masih tidak mampu menahan geli hatinya ketika ia melihat koki atau kepala dapur itu "menggelundung" keluar dari dapurnya!

   Sungguh seorang laki-laki yang lucu bentuk tubuhnya. Dari kepalanya sampai ke tubuhnya, orang berusia empat puluh lebih ini benar-benar bundar seperti bola! Kedua kakinya nampak pendek sehingga ketika dia datang dengan langkah cepat, dia seperti sebuah bola yang digelundungkan. Dan muka yang bulat penuh itu bermata sipit, hampir terpejam ketika mulutnya menyeringai lebar dalam senyum ramah dan girang! Tidak, pikir Liong-li. Orang macam ini mana mungkin mempunyai niat jahat untuk meracuninya? Pula, kalau benar dia berniat jahat, dia tidak akan keluar dengan wajah begitu gembiranya! Begitu bertemu, koki itu lalu merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk begitu dalamnya sehingga Liong-li khawatir kalau dia terjungkal!

   "Lihiap mengundang saya?" tanya orang itu, ragu-ragu karena diundang oleh pendekar wanita ini sungguh merupakan hal yang amat terhormat. Bahkan semua rekannya nampak mengintai dari pintu dapur dengan wajah berseri. Liong-li belum pernah melihat koki ini, akan tetapi dari sikapnya ia yakin bahwa koki ini bukan orang baru di situ. Bahkan pemilik rumah makan yang duduk di belakang meja itu tersenyum melihat kokinya keluar menghadap Liong-li. Akan tetapi, kepala dapur itu mengerutkan alisnya dan sepasang mata yang tadi menjadi sipit karena tersenyum, kini dilebar-lebarkan seolah dia tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Masakan sup ayam jamur di atas meja depan gadis itu masih utuh!

   "Engkaukah Tio-toako?" tanya Liong-li, dengan sinar mata tajam penuh selidik ia menatap wajah bulat itu.

   "Benar, Lihiap. Ada apakah Lihiap mengundang saya?"

   "Tio-toako, sudah lama engkau menjadi kepala dapur di rumah makan ini?"

   "Sudah ada sepuluh tahun, Lihiap."

   "Hemm, apakah engkau yang mengirim hadiah masakan ini dan engkau sendiri yang memasaknya?"

   "Benar, Lihiap. Apakah tidak enak maka..."

   "Engkau agaknya lupa menaruh garam pada masakan ini, toako. Sama sekali tidak asin dan hambar!"

   "Ahhhh??" Sepasang mata itu makin dibelalakkan.

   "Bagaimana mungkin? Saya masak dengan hati-hati sekali, sudah saya taruh garam dan bumbu secukupnya."

   "Hemm, kau tidak percaya. Engkau rasakanlah sendiri, coba kauminum kuahnya sesendok saja," kata Liong-li sambil menatap tajam wajah itu. Wajah itu sama sekali tidak kelihatan gugup atau takut.

   "Aneh! Baik, akan saya coba sendiri. Maafkan, Lihiap," kata si gendut itu sambil menghampiri meja dan menyendok kuah dari mangkok sup itu, lalu dibawa sendok itu ke mulutnya.

   "Tidak usah!" Liong-li berkata dan sekali tangannya bergerak, sendok terisi kuah itu telah dirampasnya tanpa setetespun kuah tumpah. Si gendut terkejut bukan main.

   "Ehhh? Ada apakah, Lihiap?" tanyanya heran.

   "Tio-toako, ketika engkau masak sup ini, apakah ada yang membantumu?" Si gendut mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.

   "Memang selalu saya dibantu oleh para pembantu koki. Kalau masakan penting, saya sendiri yang masak dan mereka itu hanya memotong-motong bahan masakan dan menyediakan bumbunya saja. Untuk masakan sup ini, ada seorang pembantu yang menemani saya."

   "Katakan terus terang, engkaukah yang menghadiahkan sup ini untukku? Sup ini mahal, bagaimana engkau dapat menghadiahkan begitu saja? Apakah engkau tidak dimarahi pemilik rumah makan?" Wajah itu menjadi kemerahan dan senyumnya malu-malu, sepasang matanya kembali menyipit.

   "Maafkan, Lihiap, terus terang saja, masakan mahal ini dibeli..."

   "Apa? Engkau membelinya untukku?"

   "Eh, bukan... bukan uang saya, Lihiap. Biarlah saya mengaku terus terang saja. Seorang pembantu tukang masak yang merasa amat kagum kepada Lihiap, telah mengorbankan gajinya sehari untuk membeli masakan ini, untuk Lihiap. Karena dia pemalu, maka dia minta agar saya yang mengaku mengirim hidangan ini kepada Lihiap disertai salam semua rekan di dapur." Liong-li mengerutkan alisnya, jelaslah kini baginya, seperti melihat sebuah gambaran.

   "Dan pembantu itu yang tadi membantumu menyiapkan masakan sup ini?"

   "Benar, Lihiap."

   "Dan dia tentu orang baru di sini?"

   "Eh? Bagaimana Lihiap dapat mengetahuinya? Memang baru seminggu dia bekerja di sini, orangnya rajin dan pendiam, pekerjaannya baik dan... ehhh..." Liong-li sudah bangkit dan menyambar pergelangan tangan si gendut itu, ditariknya orang itu memasuki dapur.

   "Tunjukkan mana orang itu!" katanya. Si gendut tersaruk-saruk dan menjadi terkejut, heran dan takut. Ketika mereka memasuki dapur, semua pekerja di dapur memandang dengan heran pula. Si gendut memandang ke sekeliling, dan Liong-li siap untuk turun tangan. Akan tetapi si gendut nampak ragu-ragu.

   "Eh? Di mana A-hok? Cepat panggil dia ke sini! A-hok... A-hooookkk...!!" Dia memanggil-manggil. Akan tetapi, yang dipanggil tidak muncul, tidak nampak pula batang hidungnya dan Liong-li tidak merasa heran. Tentu saja penjahat yang hendak meracuninya itu telah melarikan diri begitu melihat usahanya.gagal. Pemilik rumah makan segera datang ketika melihat ribut-ribut dan dengan hormat dia bertanya kepada Liong-li akan apa yang telah terjadi. Dengan tenang Liong-li berkata kepadanya.

   "Pembantu tukang masak yang mengaku bernama A-hok itu adalah seorang penjahat yang menyelundup dan tadi dia berusaha meracuni aku melalui masakan yang dihidangkan. Hati-hati, masakan sup ayam jamur itu beracun jahat sekali, dan kalau kalian melihat A-hok itu di mana saja, cepat beri kabar kepadaku." Liong-li segera membayar harga makanan yang dipesannya dan meninggalkan tempat itu dengan tenang. Semua gambaran itu kini jelas. Ada musuh bersembunyi yang menghendaki kematiannya. Hal ini sebenarnya tidak aneh. Ia tahu bahwa banyak penjahat sakit hati kepadanya, mendendam dan hendak membunuhnya. Dan karena itu maka selama ini ia tidak pernah lengah. Bahkan rumahnya pun dilindungi alat-alat rahasia.

   Akan tetapi, sudah satu dua tahun ini tidak ada penjahat berani mencoba untuk membunuhnya secara, terang-terangan seperti yang dilakukan penjahat yang menyelundup menjadi pembantu tukang masak tadi. Ia memang tidak mencari keterangan tentang penjahat itu. Tidak ada gunanya. Penjahat kecil itu tentu hanya menjadi anak buah atau alat dari dalang yang mengaturnya, dan dalang itulah musuhnya yang berbahaya. Ia harus lebih waspada karena ada bayangan ancaman maut dari musuh-musuh yang tidak diketahui siapa. Sementara itu, pemilik rumah makan yang merasa penasaran, lalu mengambil sedikit daging sup ayam jamur dan memberikannya kepada seekor kucing liar yang suka berkeliaran di situ mencari tulang-tulang sisa. Begitu kucing itu menjilat daging ayam, binatang itu terus meraung dan kejang-kejang, tewas seketika!

   Baru dia percaya dan bergidik. Untung pendekar wanita yang dihormati itu tidak sampai mati keracunan di restorannya! Dia menyumpah-nyumpah dan mencoba untuk mencari tukang masak baru itu. Namun tentu saja usahanya sia-sia dan sejak itu, dia tidak berani menerima pekerja baru tanpa mengenal dulu dengan baik siapa orang itu! Seperti yang diduga oleh Liong-li, percobaan membunuhnya dengan racun itu merupakan awal serangkaian serangan dan usaha untuk membunuhnya, atau setidaknya merupakan serangan-serangan dan usaha gelap segerombolan musuh yang tidak diketahuinya siapa. Tiga hari kemudian, pada suatu malam terdengar suara ledakan nyaring di depan rumah gedungnya. Dalam beberapa detik saja, ia dan sembilan orang pelayannya sudah berhamburan keluar dalam keadaan siap menghadapi musuh.

   Akan tetapi, tidak nampak bayangan seorangpun manusia di pekarangan itu, hanya bekas ledakan yang membuat Liong-li mengepal tinju. Arca wanita menunggang angsa yang menjadi kesayangannya, di tengah kolam ikan dan bunga teratai, telah hancur! Melihat bekas-bekasnya, arca itu dihancurkan dengan bahan peledak yang kuat sekali. Agaknya, pihak musuh yang tidak berani memasuki rumah yang dipasangi alat-alat rahasia, melampiaskan dendam mereka kepada arca wanita dan angsa itu, atau sengaja mereka melakukan pengrusakan itu untuk mengganggu ketenteraman hatinya dan usaha itu memang berhasil. Ketenteraman hati Liong-li terusik dan sambil mengepal tinju ia berkata kepada sembilan orang pembantunya.

   "Mulai detik ini kita harus waspada dan menyatakan perang terhadap para pengganggu yang curang dan pengecut ini. Buka mata dan telinga kalian setiap saat dan di manapun kalian berada. Musuh berada di sekeliling kita." Sembilan orang pelayan itu menyatakan sanggup dan merekapun merasa kesal sekali akan perbuatan yang curang dari musuh-musuh majikan mereka. Dan seperti yang dikatakan Liong-li, perang memang mulai dinyalakan oleh segerombolan orang yang bekerja secara curang dan menggelap. Hal ini terjadi tiga hari kemudian.

   Pada hari itu, Bunga Biru dan Bunga Kuning, dua orang pelayan Liong-li, pergi berbelanja ke pasar. Seperti biasa, mereka berbelanja daging dan sayur mayur untuk masak hari itu. Juga Bunga Kuning hendak membeli kain sutera kuning untuk dibuat pakaian. Dua orang wanita muda berusia dua puluh tujuh tahun itu bersikap gembira, namun keduanya tetap waspada sesuai dengan pesan majikan mereka. Walaupun sudah tiga hari tidak pernah terjadi sesuatu semenjak arca itu diledakkan orang, namun keduanya maklum bahwa mungkin saja pada saat itu ada mata yang mengikuti gerak gerik mereka. Maka, kegembiraan mereka itu bercampur siasat agar pihak musuh menganggap mereka lengah, agar pihak musuh mau bergerak melakukan serangan.

   Menurut majikan mereka, sukar mencari musuh yang tidak mau memperkenalkan diri. Satu-satunya cara adalah memancing agar mereka turun tangan melakukan serangan dan hal ini dapat terjadi kalau mereka memperlihatkan sikap lengah! Memang permainan yang berbahaya, namun kesembilan orang pelayan Liong-li adalah gadis-gadis yang terlatih dan sudah terbiasa menghadapi bahaya seperti majikan mereka. Setelah dua-tiga jam dua orang pelayan itu terlambat pulang, mulailah Liong-li mengerutkan alisnya. Ia mendapat laporan dari para pelayan lain bahwa Bunga Biru dan Bunga Kuning yang pergi berbelanja, sudah hampir tiga jam terlambat pulang dari pada waktu biasanya.

   "Tunggu sejam lagi. Kalau mereka belum pulang, Bunga Merah dan Bunga Ungu agar pergi menyusul ke pasar dan ke toko," kata Liong-li dengan sikap masih tenang. Setengah jam kemudian, Bunga Biru pulang dengan wajah penuh ketegangan, dan ia tidak mau menjawab hujan pertanyaan para rekannya melainkan langsung saja ia lari menghadap Liong-li yang duduk di ruangan tengah. Tentu saja tujuh orang rekannya yang merasa khawatir, mengikutinya dari belakang dan kini delapan orang pelayan itu sudah duduk bersimpuh di atas lantai, menghadap Liong-li yang duduk di atas bangku rendah dengan santai.

   "Lan Hwa, apakah yang terjadi dan di mana Ui Hwa?" tanya Liong-li dengan tegas dan suaranya mengandung teguran karena pelayan itu telah membuat mereka semua merasa khawatir.

   "Maaf, Lihiap... Bunga Kuning diculik orang..." Tentu saja semua pelayan terkejut walaupun mereka menekan perasaan dan tidak berani memperlihatkan kekagetan mereka. Hek-liong-li sendiri terkejut, akan tetapi dengan tenang ia berkata,

   "Coba ceritakan dari awal apa yang telah terjadi."

   "Kami berbelanja ke pasar dan ketika pulang kami singgah di toko kain untuk membeli kain sutera kuning. Setelah membeli kain, ketika kami keluar dari toko, tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua, sekitar lima puluh tahun usianya, bertubuh tinggi kurus, menghampiri kami dan dia bertanya lirih apakah kami bekerja kepada Lihiap. Ketika kami membenarkan, dia berbisik bahwa dia melihat pembantu tukang masak yang pernah mencoba untuk meracuni Lihiap." Tentu saja perhatian Liong-li segera tertarik.

   "Lalu bagaimana? Cepat ceritakan yang jelas, jangan lewatkan hal-hal yang kecil sekalipun!" Bunga biru melanjutkan ceritanya. Ketika ia dan Bunga Kuning mendengar bisikan laki-laki itu, tentu saja mereka berdua tertarik sekali, akan tetapi merekapun tidak mau percaya begitu saja. Mereka sudah terlatih dan terdidik oleh Liong-li dan mereka adalah gadis-gadis yang cerdik di samping tabah dan lihai. Mereka saling pandang dan keduanya melalui pandang mata bersepakat untuk cepat melapor kepada Liong-li. Akan tetapi agaknya laki-laki kurus itupun dapat menduga, karena dia segera berkata bahwa kalau tidak cepat-cepat mereka mengejar, dia khawatir bekas pembantu tukang masak itu akan sempat menghilang.

   "Di mana dia?" tanya Bunga Kuning.

   "Tadi kulihat dia di dekat pintu gerbang sebelah barat. Mari cepat nona, kalau dia sudah pergi, aku takut kalian menganggap aku berbohong!" kata laki-laki itu yang berjalan tergesa-gesa menuju ke pintu gerbang barat. Sambil mengikuti orang itu, Bunga Biru bertanya.

   "Siapakah engkau, paman? Dan mengapa engkau melaporkan hal ini kepada kami?" Sambil berjalan cepat setengah berlari, orang itu menjawab.

   "Aku juga hadir sebagai tamu ketika peristiwa racun dalam sup ayam jamur itu terjadi. Aku pengagum Hek-liong-li, maka aku bertanya-tanya siapa orangnya yang begitu berani hendak meracuni Lihiap. Aku pernah melihat pembantu tukang masak itu dan tadi kebetulan aku melihatnya. Aku hendak melapor kepada Lihiap, akan tetapi ketika melihat kalian, aku teringat bahwa para pelayan Hek-liong-lihiap mengenakan pakaian yang beraneka warna. Marilah, jangan sampai dia menghilang!" Mereka tiba di pintu gerbang, akan tetapi orang yang dicarinya sudah tidak ada. Dengan menyesal laki-laki itu menyatakan bahwa tentu orang itu melakukan perjalanan ke luar pintu gerbang.

   "Mari kita kejar dia, pasti belum jauh dia pergi!" katanya dan melihat sikapnya yang sungguh-sungguh, mulai berkurang kecurigaan Bunga Biru dan Bunga Kuning.

   Mereka mengikuti laki-laki melakukan pengejaran dan ketika mereka tiba di tempat sunyi dekat hutan, tiba-tiba saja bermunculan belasan orang dan si kurus itu segera menyerang Bunga Kuning! Tentu saja dua orang gadis pelayan itu terkejut dan marah. Kecurigaan mereka tadi ternyata benar. Orang ini adalah orang jahat yang sengaja memancing mereka keluar dari kota dan di tempat sunyi itu mereka dikepung oleh empatbelas orang! Akan tetapi, keduanya adalah gadis-gadis yang terlatih dan gagah perkasa. Mereka mengamuk dan dan tidak mau menyerah begitu saja. Karena para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang cukup dan tenaga merekapun besar, sedangkan dua orang gadis pelayan itu tidak memegang senjata, akhirnya Bunga Kuning tertendang roboh dan tertawan.

   "Demikianlah, Lihiap. Saya berusaha melawan dan berusaha menolong Ui hwa, akan tetapi jumlah mereka terlalu banyak dan juga mereka itu lihai sehingga saya tidak berhasil menyelamatkan Bunga Kuning," kata Bunga Biru dengan muka pucat dan mata sayu mengaku salah. Liong-li mengerutkan alisnya.

   "Dan engkau melarikan diri?"

   "Ah, bagaimana mungkin saya melarikan diri melihat rekan ditangkap, Lihiap? Dan inilah yang aneh. Mereka itu melarikan Bunga Kuning, meninggalkan saya begitu saja. Pada hal kalau mereka terus mengeroyok, sudah pasti mereka akan dapat menangkap atau merobohkan saya. Mereka pergi melarikan Bunga Kuning ke dalam hutan. Karena merasa tidak mungkin dapat membebaskan rekan itu, terpaksa saya bergegas pulang untuk memberi laporan kepada Lihiap." Liong-li mengangguk-angguk dan ia duduk bertopang dagu, jari-jari tangannya, terutama ibu jari dan telunjuk tangan kiri, menggosok-gosok hidungnya. Itulah ciri khas dari pendekar wanita ini bahwa ia sedang berpikir keras! Kalau ia sedang menggunakan akal pikirannya, tanpa disadarinya ia membuat gerakan ini.

   "Apanya yang aneh? Mereka menangkap Ui Hwa dan sengaja membebaskanmu agar engkau dapat melapor kepadaku," katanya. Mendengar ini, delapan orang pelayan itu mengerutkan alisnya. Bunga Biru memberanikan hatinya.

   "Akan tetapi, Lihiap, mengapa mereka melakukan hal itu? Apa maksud yang tersembunyi di balik penculikan itu?"

   "Lan Hwa, begitu bodohkah engkau sehingga tidak dapat menduga apa maksud dari mereka?" Liong-li balas bertanya dan memandang tajam. Bunga Biru menyadari kesalahannya dan cepat-cepat ia berkata,

   "Mereka menculik Bunga Kuning dan tidak membunuhnya, ini berarti bahwa mereka membutuhkan Bunga Kuning. Mereka melepas saya untuk melapor Lihiap, tentu bermaksud untuk memancing Lihiap keluar dari rumah ini dan menuju ke hutan sana. Bunga Kuning ditangkap sebagai umpan. Aih, kalau Lihiap ke sana, berarti mereka sudah memasang jebakan! Itu berbahaya sekali!"

   "Bagus, pendapatmu benar, akan tetapi kurang lengkap. Kalau mereka menculik Bunga Kuning tentu berarti mereka membutuhkan ia dalam keadaan hidup. Dan ada dua kemungkinan di balik penculikan itu. Pertama, seperti yang kauduga, mereka hendak memancing aku pergi ke sana dan akan menjebakku. Kedua, dan ini lebih besar kemungkinannya, mereka hendak memaksa Ui Hwa untuk membuka rahasia alat-alat rahasia di rumah ini agar mereka dapat menyerbu!"

   "Maaf, Lihiap," kata Bunga Putih.

   "Akan tetapi saya tidak melihat alasan untuk maksud yang kedua itu."

   "Alasannya jelas sekali. Mereka telah meledakkan arca di pekarangan, selain sebagai tantangan dan awal perang, juga mungkin untuk melihat apakah arca itu mengandung rahasia. Jelas mereka tidak berani memasuki rumah ini, dan mereka pikir kalau dapat menangkap seorang di antara kalian, mereka akan dapat memaksa yang ditangkap untuk membuka rahasia alat-alat yang berbahaya bagi mereka di sini."

   "Akan tetapi, sampai matipun kami yakin Bunga Kuning tidak akan sudi membuka rahasia itu," kata seorang gadis berpakaian ungu. Liong-li tersenyum. Terbayang dalam benaknya akal para penjahat untuk memaksa seseorang gadis mentaati kehendak mereka. Bermacam siksaan pernah ia alami dan ia sangsi apakah Bunga Kuning akan kuat bertahan kalau menghadapi siksaan iblis-iblis berupa manusia itu.

   "Kuharap ia tidak keras kepala dan mati konyol," katanya tenang.

   "Bagaimanapun juga, aku sudah siap menghadapi gerombolan penjahat itu dan pasti akan dapat kubasmi mereka!"

   "Kami semua menanti perintah Lihiap dan siap membantu!" kata Bunga Biru yang masih perihatin mengenang nasib rekannya yang tertawan musuh.

   "Siasat mereka itu kasar sekali dan kita balas pancingan mereka dengan pancingan pula. Aku tidak akan mencari Ui Hwa di hutan itu, akan tetapi siang ini kita pura-pura mencari di sekitar sana, tidak perlu memasuki hutan. Aku hanya ingin agar mereka melihat kita sibuk mencari Ui Hwa, seolah kita lengah dan tidak mengira mereka akan mempelajari rahasia alat-alat jebakan dan menyerbu ke dalam. Akan tetapi, pada malam harinya, diam-diam kita berjaga-jaga kalau sampai mereka berani muncul dan memaksa Ui Hwa membuka rahasia, kita hantam mereka dan kita basmi mereka sampai ke akarnya!" Delapan orang pelayan itu menyatakan kegembiraan mereka, dan sesuai dengan siasat yang diatur Liong-li, mereka delapan orang mengikuti Liong-li, pura-pura mencari Ui Hwa dengan Lan Hwa menjadi penunjuk jalan. Mereka mencari di sekitar tempat di mana Bunga Kuning ditawan tadi, akan tetapi tidak memasuki hutan.

   Setelah hari mulai gelap, Liong-li mengajak delapan orang pelayannya pulang dan malam itu, mereka mengatur penjagaan secara diam-diam, dan membiarkan keadaan rumah itu seperti malam-malam biasanya. Memang tepat dugaan Liong-li. Bunga Kuning dibawa ke dalam hutan oleh belasan orang itu dan dihawa menghadap lima orang yang bukan lain adalah Thai-san Ngo-kwi! Ui Hwa atau Bunga Kuning, gadis pelayan yang mengenakan pakaian serba kuning ini, adalah seorang di antara para pelayan Liong-li yang paling cerdik. Begitu ia diringkus dan dilarikan oleh gerombolan itu, iapun mengerti bahwa gerombolan itu menculiknya dengan tujuan tertentu. Buktinya, mereka membiarkan Bunga Biru lobos, pada hal kalau mereka kehendaki, mereka dapat pula menawan Bunga biru.

   Jelas bahwa penangkapan atas dirinya itu mempunyai maksud tertentu, bukan karena tertarik oleh kecantikannya. Bunga Biru lebih cantik dan lebih muda darinya. Tidak salah lagi pikirnya, ini tentu ada hubungannya dengan majikannya dan iapun teringat akan pengrusakan arca di pekarangan rumah Liong-li. Ketika ia dihadapkan kepada lima orang pria yang kasar dan nampak bertampang seram itu, Bunga Kuning bersikap tenang walaupun kedua lengannya terikat di belakang punggung dan empat orang anak buah gerombolan menodongkan golok di tubuhnya. Ia tidak boleh bersikap lemah. Tidak percuma ia menjadi pelayan Hek-liong-li! Ia akan menghadapi maut dengan gagah. Ketika lima orang pimpinan gerombolan itu melihat Ui Hwa yang berdiri tegak di depan mereka dalam keadaan terbelenggu, mereka saling pandang dan tersenyum lebar.

   "Aha, seorang pelayan wanita yang cantik dan gagah," kata Thai-kwi yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam.

   "Engkau ini hanya seorang pelayan, akan tetapi lagakmu seperti seorang pendekar wanita yang kenamaan saja, ha-ha!" Dengan sinar mata berani dan suara lantang Bunga Kuning menjawab,

   "Jiwa pendekar bukan hanya dimiliki para majikan, bangsawan, hartawan atau laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan kuat saja! Bahkan banyak laki-laki yang kelihatannya kuat, berjiwa kerdil sebagai penjahat yang curang dan pengecut! Contohnya kalian ini yang mengeroyok dan menangkap seorang wanita!" Lima orang pemimpin gerombolan itu adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah berpengalaman, maka kata-kata yang mengandung hinaan ini tidak dapat membuat mereka marah. Mereka hanya menyeringai saja dan tahu bahwa gadis berpakaian kuning itu hanya menjaga "gengsi" sebagai pelayan seorang pendekar wanita yang terkenal seperti Hek-liong-li.

   "Hebat, gadis yang manis. Engkau memang gagah berani dan cantik pula. Sayang hanya seorang pelayan! Tentu engkau cerdik pula dan tahu mengapa kami menawanmu, bukan?" Gadis itu tahu bahwa ia berhadapan dengan penjahat-penjahat besar, maka tidak ada gunanya berpura-pura. Bahkan ia harus bersikap terbuka agar ia dapat menjenguk isi hati mereka dan mengetahui rahasia mereka agar ada manfaatnya apabila ia dapat lagi bertemu dengan nona majikannya sebagai bahan laporan.

   "Selama hidupku, aku belum pernah bertemu dengan kalian, dan tidak mempunyai urusan apapun dengan kalian. Oleh karena itu, kalian menawanku tentu bukan karena aku, melainkan karena nona majikanku, Hek-liong-lihiap!"

   "Heh-heh-heh, boleh juga nona ini!" kata Ji-kwi yang berperut gendut.

   "Kalau tidak cerdik, mana bisa menjadi pelayan Hek-liong-li?" kata Thai-kwi, sengaja memuji karena dia ingin gadis itu bersikap terbuka karena bangga sehingga keterangan gadis itu akan menguntungkan mereka.

   "Hei, nona yang manis dan cerdik, bagaimana engkau bisa menduga bahwa kami menangkapmu karena Hek-liong-li?"

   "Hem, orang bodoh sekalipun akan dapat menduganya. Pertama, nona majikanku terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang selalu menentang para penjahat seperti kalian. Kedua, kalian tentu yang menghancurkan arca wanita dengan angsa di pekarangan rumah nona majikanku. Kalian tak berani menyerbu ke dalam rumah, maka kini kalian menangkap aku. Begitu, bukan?"

   "Bukan main!" Thai-kwi memuji lagi.

   "Hebat memang dan kami kagum sekali, nona. Akan tetapi engkau tentu tidak tahu untuk apa engkau kami tangkap."

   "Huh, apa sukarnya menduga cara kerja kalian? Tentu kalian menawan aku untuk memancing nona majikanku ke sini agar kalian dapat mengepung dan mengeroyoknya, atau memasang jebakan secara curang. Jangan kalian mimpi! Nona majikanku tidaklah begitu bodoh untuk masuk ke dalam perangkap yang kalian pasang. Apa artinya seorang pelayan seperti aku? Tidak cukup berharga bagi majikanku untuk membahayakan dirinya. Perangkap kalian takkan berhasil!" Lima orang pemimpin gerombolan itu saling pandang dan sekali ini benar-benar mereka kelihatan kecewa dan terkejut. Apa yang dikatakan Ui-wa memang tepat sekali! Sam-kwi .yang tinggi kurus adalah orang paling cerdik di antara lima kepala gerombolan itu.

   "Nona, kalau majikanmu merasa diri terlalu tinggi dan engkau dianggap hanya sebagai pelayan yang rendah saja dan yang tidak pantas dibela dengan taruhan nyawa, kenapa engkau kini hendak membela majikanmu mati-matian? Alangkah bodohnya bagi seorang gadis cantik dan cerdik sepertimu ini!" Bunga Kuning memutar otaknya. Mereka ini menghendaki sesuatu, pikirnya. Ia harus bersikap cerdik dan sebaiknya kalau ia memberi sedikit, mengalah dan berlagak seolah ia condong menerima "nasihat" itu.

   "Lalu, apa kehendakmu?" tanyanya memancing. Sam-kwi tersenyum dan memberi kedipan mata kepada saudara-saudaranya.

   "Nona yang baik, siapakah namamu?"

   "Aku disebut Ui Hwa."

   "Hem, Bunga Kuning? Begini maksud kami. Engkau sudah menjadi tawanan kami karena Hek-liong-li. Memang tadinya kami hendak memancing datang ke sini mencarimu. Akan tetapi setelah, mendengar ucapanmu tadi, kami mengerti bahwa siasat kami itu tidak ada gunanya. Ketahuilah bahwa kami menaruh dendam yang mendalam terhadap Hek-liong-li. Ia telah membunuh guru kami dan kini kami harus membalas dendam. Kalau engkau dapat membantu kami, maka kami tentu tidak akan membunuhmu. Sebaliknya, kalau engkau berkeras hendak membela majikanmu dengan taruhan nyawa, hemm..., ini bukan saja akan membunuhmu, bahkan kami akan menyiksamu dengan menyerahkan engkau kepada anak buah kami. Ingat, ada puluhan orang anak buah kami dan mereka itu semua sudah berbulan-bulan tidak berdekatan dengan wanita! Kami akan menyerahkan engkau kepada mereka sampai engkau mati!"

   Jelas ini bukan ancaman kosong belaka. Orang-orang seperti iblis itu tentu dapat melakukan kekejian yang bagaimanapun juga! Ui Hwa tidak takut mati, sebagai pelayan Hek-liong-li ia tahu bahwa setiap saat nyawanya terancam maut. Akan tetapi tidak pernah ia membayangkan siksaan seperti itu dan iapun tidak mau menyembunyikan kengeriannya. Wajahnya menjadi pucat, tarikan mukanya menunjukkan ketakutan yang amat sangat, dan kedua pundaknya menggigil karena ngeri.

   "Tidak... jangan..., jangan lakukan itu..." ia berbisik seperti meratap. Mudah saja ia melakukan ini, tidak perlu bersandiwara karena memang saat itu ia merasa takut dan, ngeri.

   "Tentu saja kami tidak akan melakukan hal itu kepadamu kalau engkau suka membantu kami agar kami berhasil membalas dendam kepada Hek-liong-li," kata Thai-kwi dengan nada mengancam, girang melihat hasil gertakan sutenya.

   "Tapi kalian mimpi yang bukan-bukan! Bagaimana aku akan dapat membantu kalian mengalahkan nona majikanku? Kepandaiannya amat tinggi dan biar ada dua puluh orang macam aku ini, tidak akan mampu menandinginya."

   "Urusan menyerang dan membunuhnya adalah urusan kami. Engkau hanya membantu kami agar kami dapat menyelundup masuk ke dalam rumah Hek-liong-li dengan aman, melalui jebakan-jebakan rahasia yang tentu kaukenal baik. Nah, engkau menjadi penunjuk jalan masuk ke dalam rumah sampai ke kamar Hek-Liong-li dan kami akan mengampuni nyawamu. Bagaimana?" Bunga Kuning mengerutkan alisnya, berpikir-pikir dan mempertimbangkan tawaran itu, ia nampak ragu dan sangsi,

   "Tapi... tapi... kalau Lihiap mengetahui hal itu, mengenal aku yang berkhianat, tentu ia tidak akan mau mengampuni aku! Kalian membebaskan aku, akan tetapi Lihiap lalu menghukumku, apa bedanya?"

   "Ha-ha, jangan khawatir, nona. Engkau akan kami beri pakaian lain, bukan serba kuning, dan wajahmu kami beri penyamaran agar kelihatan hitam dan sukar dikenal orang," kata Thai-kwi.

   Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Nanti dulu, toa-suheng," kata Sam-kwi yang cerdik.

   "Kurasa cara itu kurang baik. Lebih baik nona ini membuatkan peta dari rumah Liong-li, menggambarkan keadaan semua tempat yang mengandung rahasia alat jebakan itu, iapun tidak perlu ikut masuk. Kalau gambarannya benar dan kita berhasil, ia kita bebaskan dengan hadiah. Kalau gambarannya palsu dan kita terjebak, kita masih belum terlambat untuk menyerahkan ia kepada anak buah kita yang kelaparan!"

   "Jangan...!" Ui Hwa meratap ketakutan.

   "Kalau kubuatkan peta, kalian tentu akan tetap terjebak. Lika-liku rahasia jebakan di sana amat sulit dan selalu berubah. Hanya dengan melihat keadaannya, aku dapat melihat perubahan itu dan bertindak sesuai dengan perubahannya. Kalau hanya menurut peta, kalian pasti akan gagal dan terjebak. Kenapa kalian masih ragu dan tidak percaya kepadaku? Kalian takut kalau aku menipu kalian, bukan? Nah, kita pergi bersama, kalau aku menipu, setiap saat kalian dapat menangkap atau membunuhku!" Lima orang itu saling pandang.

   "Baiklah, malam ini kita bergerak. Sementara ini engkau boleh beristirahat, Bunga Kuning," kata Thai-kwi. Gadis itu dimasukkan ke dalam sebuah kamar, kaki tangannya dipasangi rantai panjang sehingga biarpun ia mampu bergerak, namun sulit untuk melarikan diri. Ia disuguhi makan minum dan bunga Kuning mempergunakan kesempatan ini untuk memperkuat dirinya. Ia makan dan minum, lalu merebahkan diri dan memulihkan tenaganya. Sementara itu, Thai-san Ngo-kwi dan para anak buahnya melakukan pengintaian ketika melihat Hek-liong-li dan delapan orang gadis pelayannya melakukan pencarian di sekitar tempat diculiknya Bunga Kuning tadi. Melihat betapa mereka tidak berani memasuki hutan, di mana sudah dipasang barisan pendam dan jebakan, Thai-san Ngo-kwi mengintai sambil berunding.

   "Mereka semua meninggalkan rumah, hal itu berarti bahwa mereka terlalu percaya kepada rahasia di rumah mereka. Mereka tentu lengah kalau berada di rumah itu dan sekali orang kita dapat menyelinap masuk, tentu tidak sukar untuk membunuhnya," kata Thai-kwi girang.

   Setelah cuaca mulai gelap dan rombongan Hek-liong-li yang tidak berhasil menemukan Bunga Kuning yang diculik orang itu pergi, Thai-san Ngo-kwi membuat persiapan. Mereka memberikan pakaian serba hitam yang menutupi pakaian kuning Ui Hwa, juga mereka menggunakan arang untuk menghitamkan muka gadis itu sehingga akan sukarlah mengenal gadis itu, apa lagi di waktu malam. Semua peristiwa yang terjadi pada Liong-li merupakan hasil atau langkah-langkah pertama dari pertemuan antara tiga orang tiga tokoh Kiu Lo-mo di Bukit Hitam bersama Thai-san Ngo-kwi dalam usaha mereka membalas dendam kepada Hek-liong-li dan Pek-liong-eng.

   Mereka akan menggunakan segala macam cara untuk melampiaskan dendam mereka, yaitu membunuh sepasang pendekar itu. Dan Thai-san Ngo-kwi bertugas untuk mengadakan gangguan terhadap Hek-liong-li, serangan-serangan kecil sebelum serangan besar yang mematikan tiba. Penghancuran arca, penangkap atas diri Bunga Kuning, semua itu hanya merupakan percobaan kecil-kecilan saja. Tiga orang datuk besar dari Kiu Lo-mo itu amat cerdik. Mereka yang berdiri di belakang layar mengatur kesemuanya, dan mereka tidak tergesa-gesa. Bahkan ketika mereka dilapori tentang ditangkapnya Bunga Kuning, mereka yang mengatur siasat dan pada malam hari itupun, mereka tidak membolehkan Thai-san Ngo-kwi sendiri yang maju mengantar Bunga Kuning menyelundup ke dalam rumah Hek-liong-li.

   "Kita tidak boleh memandang rendah Hek-liong-li dan sembilan orang pelayannya. Jangan sampai untuk hasil yang kecil kita mempertaruhkan nyawa Thai-san Ngo-kwi," demikian kata Kim Pit Siu-cai kepada suheng dan sumoinya. Thai-san Ngo-kwi, murid-murid keponakan mereka merupakan pembantu-pembantu utama yang penting bagi mereka. Malam itu gelap sekali. Langit tak berbintang, tertutup awan awan gelap. Karena cuaca yang buruk, maka belum juga tengah malam, kota Lok-yang sudah sepi sekali. Sore-sore sudah banyak yang memasuki kamar tidur atau setidaknya berada di dalam rumah. Mereka yang suka bermalam panjang, lebih senang berada di rumah kawan-kawan atau di rumah pelesir atau rumah judi yang hangat. Bahkan para peronda penjaga keamanan pun nampak malas untuk berkeliaran di malam gelap dan dingin itu.

   Keadaan yang sunyi ini menguntungkan dua orang berpakaian serba hitam yang menggandeng seorang lain yang juga berpakaian serba hitam. Orang yang digandeng ini adalah Bunga Kuning yang mukanya sudah dihitamkan dengan arang dan pakaiannya yang serba kuning kini tertutup pakaian hitam. Kedua lengan gadis ini setengah lumpuh karena sebelum berangkat, Thai-kwi telah menotok kedua pundaknya. Kedua kakinya masih dapat bergerak lincah, akan tetapi karena kedua pergelangan kaki itu dibelenggu dengan rantai, tentu saja ia tidak akan mampu berlari cepat. Dan dua orang yang mengawalnya itu adalah dua orang anak buah Thai-san Ngo-kwi yang paling lihai. Mereka sudah siap dengan pedang di tangan sehingga sewaktu-waktu, apabila Bunga Kuning membuat gerakan mencurigakan, mereka akan dapat membunuhnya!

   Pagar tembok dua meter yang atasnya dipasangi tombak merah itu bukan penghalang bagi dua orang penjahat itu. Dengan ringan mereka meloncat bersama Bunga Kuning yang juga meloncat ke atas tembok, melewati tombak merah dan tak lama kemudian mereka sudah berindap-indap dan menyusup-nyusup di antara pohon-pohon bunga di sebelah kiri bangunan tempat tinggal Hek-liong-li. Gelap di situ dan lampu-lampu gantung yang dipasang di sekitar rumah itu nampak berkelap-kelip, ditelan kegelapan yang pekat. Ketika tiba di belakang bangunan itu, di luar sebuah pintu besi yang tertutup rapat, Bunga Kuning memberi isyarat dengan matanya ke arah sebuah batu besar yang berdiri di balik semak rumpun bunga dan berbisik.

   "Putar batu itu ke kiri dua kali." Seorang di antara dua pengawalnya, yang bertubuh tinggi besar, segera menghampiri batu besar itu dan menggunakan kedua tangan untuk memutar batu besar itu dua kali. Tanpa mengeluarkan suara, pintu besi itupun terbuka! Orang kedua yang bertubuh tinggi kurus tetap memegangi lengan Bunga Kuning dan sebelah tangannya memegang pedang, sikapnya waspada.

   Mereka bertiga masuk dan Bunga Kuning menunjuk ke arah tombol besi yang berada di balik pintu.

   "Dorong tombol itu untuk menutup pintu dan tarik kalau hendak membukanya," bisiknya. Kembali si tinggi besar mencoba tombol itu dan benar saja. Pintu itu mudah dibuka dan ditutup dari dalam menggunakan tombol itu. Bunga Kuning membawa dua orang itu masuk semakin dalam, melalui bermacam-macam alat rahasia yang rumit-rumit. Dua orang itu diam-diam merasa gembira, karena agaknya tawanan itu tidak menipu mereka.

   Mereka bukan saja bertugas untuk membunuh Hek-liong-li kalau terbuka kesempatan. Andaikata tidak, mereka sudah mengetahui akan rahasia jebakan yang dipasang di rumah itu, yang semula amat ditakuti oleh Thai-san Ngo-kwi. Mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa sejak mereka memasuki pagar tembok, semua gerakan mereka telah diikuti oleh Hek-liong-li dan delapan orang pelayannya! Bagaimana mungkin begitu? Kiranya ketika berada di luar pagar tembok tadi, tanpa diketahui dua orang penawannya, Bunga Kuning secara sengaja menginjak sebuah batu tersembunyi yang sengaja dipasang di situ. Kalau batu itu terinjak, maka di dalam akan ada tanda bahwa di luar pagar tembok ada orang yang mendekat. Dan sejak itu, Liong-li sudah melakukan pengintaian! Untung saja Bunga Kuning memberi tanda itu.

   Andaikata tidak, dalam kegelapan itu, mungkin saja ia sendiri akan menjadi korban penyergapan Hek-liong-li dan para pelayannya. Karena ia menginjak tanda itu, maka Hek-liong-li menjadi waspada. Ketika ia mengintai, ia melihat orang ketiga yang ditawan itu, dengan rantai di kedua kaki. Biarpun muka itu sudah dihitamkan dengan arang, dan pakaian kuning tertutup baju hitam, Liong-li segera dapat mengenalnya sebagai si Bunga Kuning. Diam-diam Liong-li merasa gembira juga kagum terhadap anak buahnya itu, yang biarpun berada dalam keadaan gawat dan terancam maut, masih dapat bersikap tenang dan cerdik sesuai dengan gemblengan yang ia berikan kepada semua anak buahnya. Bunga Kuning maklum sepenuhnya bahwa injakan batu tanda bahaya tadi tentu telah membuat semua rekan dan juga majikannya waspada.

   Maka, iapun tidak membuat usaha untuk menyerang kedua orang pengawalnya. Tidak perlu ia membahayakan dan mempertaruhkan nyawanya, karena sekali nonanya keluar turun tangan, dua orang kasar ini tentu akan mudah dibuat tidak berdaya tanpa ia mempertaruhkan nyawanya seperti kalau ia sendiri yang memberontak dan menyerang. Sepasang mata Hek-liong-li yang tajam dan mencorong, menembus kegelapan ketika ia mengintai keadaan Bunga Kuning dan dua orang penawannya. Ia menanti saat yang tepat untuk turun tangan tanpa membahayakan keselamatan anak buahnya itu. Ia amat menyayang para anak buahnya, bukan saja menganggap mereka itu pembantu setia, akan tetapi juga kawan-kawan yang akrab dan murid-murid yang taat.

   Bunga Kuning yang masih digandeng si tinggi kurus juga dapat menduga bahwa tentu nonanya sedang membuat persiapan dan mencari kesempatan baik untuk turun tangan. Ia melihat betapa si tinggi kurus selalu menggandeng lengan kirinya yang setengah lumpuh, dan pedangnya selalu ditodongkan di lehernya. Adapun si tinggi besar selalu melangkah di belakangnya, dengan pedang menodong punggungnya pula. Iapun sengaja membawa dua orang penawannya itu ke tempat-tempat terbuka dengan maksud memberi kesempatan kepada Liong-li untuk turun tangan. Setiap kali tiba di tempat terbuka, ia sengaja berhenti. Pada saat yang baik, Bunga Kuning berhenti di bawah sebatang pohon. Ia sengaja mengajak mereka keluar dari ruangan belakang ketika mereka membisikkan bahwa mereka ingin agar Bunga Kuning menunjukkan tempat tidur Hek-liong-li?

   "Nona kami selalu tidur di bangunan kecil yang berada di taman, tidak pernah tidur di dalam gedung induk," bisik Bunga Kuning,

   "kalau ingin melihatnya, kita harus menyeberangi taman itu." Demikianlah, ketika tiba di bawah sebatang pohon dan banyak semak berbunga di sekitar situ, Bunga Kuning sengaja berhenti. Lampu yang tergantung di pohon, sebuah lampu taman yang indah dan cukup terang, membuat mereka bertiga menjadi sasaran yang jelas.

   Iapun mengatur jarak sehingga si tinggi besar yang berada di belakang itupun berada agak di kanan sehingga kalau ia harus menyingkir, ia dapat meloncat ke sebelah kiri yang paling jauh dari jangkauan kedua orang pengawalnya. Dan perhitungan Bunga Kuning ini memang sesuai dengan perhitungan Hek-liong-li. Melihat betapa kembali anak buahnya itu berhenti, kini di bawah pohon yang ada lampu penerangannya, ia yang mengintai dari balik semak di sebelah depan agak ke kanan, segera turun tangan. Akan tetapi Liong-li bukanlah seorang yang berwatak curang. Tidak sudi ia kalau harus bertindak curang melukai lawan secara sembunyi, apa lagi membunuhnya. Ia hanya ingin menggunakan serangan gelap untuk memberi kesempatan kepada Bunga Kuning menghindarkan diri dari penodongan pedang.

   "Wuut...! Wuuuutt...!" Dua butir kerikil menyambar dengan cepatnya ke arah dua orang yang menodong Bunga Kuning dengan pedang itu. Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu Bunga Kuning. Begitu mendengar kedua orang itu berteriak dan pedang mereka terlepas dari pegangan iapun cepat melempar tubuhnya dengan tangan masih setengah lumpuh dan kedua kaki dipasangi rantai itu ke arah kiri, dan bergulingan atas tanah. Kawan-kawannya cepat menolongnya, membuka rantai dari kakinya dan memulihkan kedua lengannya yang tertotok.

   Adapun dua orang pengawal yang tadinya terkejut setengah mati karena tiba-tiba saja lengan mereka dekat siku terasa nyeri dan lumpuh sehingga pedang mereka terlepas, kini cepat menyambar pula pedang mereka karena kelumpuhan itu hanya beberapa detik saja dan pulih kembali. Akan tetapi mereka telah terlambat karena mereka telah dikepung oleh sembilan orang wajah cantik yang berpakaian berwarna-warni termasuk Bunga Kuning yang tadi mereka tawan dan kini sudah berdiri bebas dengan pedang di tangan, dan di depan mereka berdiri seorang wanita yang amat cantik, tidak bersenjata, berpakaian ringkas yang membuat bentuk tubuhnya nampak jelas, pakaian dari sutera tipis halus berwarna hitam, namun indah karena ada hiasan hitam kelabu di tepi baju dan ada sulaman naga hitam di dalam lingkaran abu-abu.

   

Asmara Si Pedang Tumpul Eps 14 Asmara Si Pedang Tumpul Eps 14 Asmara Si Pedang Tumpul Eps 6

Cari Blog Ini