Ceritasilat Novel Online

Pedang Naga Hitam 3


Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 3




   Sudah lazim di dunia kang ouw bahwa orang yang membawa-bawa senjata akan mudah bertemu lawan yang ingin mengujinya. Beberapa potong emas yang dia terima dari ibunya, di taruh di dalam buntalan.

   Han Sin ingin tertawa kalau teringat akan nasihat ibunya. Ibunya berpesan kepadanya bahwa kalau sampai dia kehabisan bekal di dalam perjalanan, dia boleh saja mengambil uang itu dari rumah seorang hartawan atau bangsawan.

   "Akan tetapi ingat, kau mencuri uang bukan untuk bersenang-senang, melainkan hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dan janganlah sekali-kali membikin susah orang yang uangnya kau curi. Seorang hartawan besar tidak akan merasa kehilangan kalau kau ambil uangnya sedikit. Jangan ganggu orang yang hanya memiliki sedikit harta atau kau boleh merampas harta para perampok"

   Ibunya mengajarkan dia untuk mencuri. Dia tidak akan melakukan itu, kalau tidak amat sangat terpaksa. Dia sendiri sedang mencari seorang pencuri pedang. Bagaimana sekarang dapat menjadi pencuri uang? Akan tetapi dia maklum apa yang dipesankan oleh ibunya itu.

   Han Sin melakukan perjalanan kejurusan timur dan dia sudah mendengar bahwa kalau dia terus ke timur, sampai di sungai kuning dia akan tiba di kota Lok-yang. Dia bermaksud pergi ke Lok-yang dan dari sana dia baru akan mebelok ke utara dan barat menyusuri Sungai Kuning. Tujuannya adalah ke Shansi. Karena di daerah Shansi itulah ayahnya tewas ketika pasukan yang dipimpin ayahnya bertempur melawan pasukan musuh dari utara.

   Ketika malam tiba, Han Sin bermalam di sebuah dusun. Seorang petani menawarkan rumahnya untuk dia tinggal semalam itu, Pertemuan itu terjadi di ladang pada sore hari itu ketika Han Sin menuruni bukit dan menghampiri dusun yang tadi nampak dari atas bukit. Dia melihat seorang petani masih mencangkul ladangnya pada senja yang telah mulai gelap itu. Timbul perasaan iba dihatinya. Petani itu rajin sekali, pikirnya dan tentu seorang petani miskin yang terpaksa bekerja keras untuk mencukupi penghasilannya.

   "Selamat sore, Paman. Wah, paman rajin sekali, hari sudah hampir gelap masih bekerja diladang" tegur Han Sin ramah sambil duduk di tepi ladang itu di atas akar-akar pohon yang menonjol.

   "Selamat sore, kongcu (tuan muda). Ah, rajin sih tidak, melainkan terpaksa karena saya hanyalah buruh tani. Ladang ini bukan milik saya sendiri, melainkan milik tuan tanah dan kalau saya tidak bekerja keras, upah saya tentu tidak cukup untuk biaya hidup"

   Han Sin menghela napas panjang, lagu lama yang di dengarnya ini. Sayang ladang yang luas dimiliki oleh para tuan tanah dan petani seperti orang ini hanya hidup sebagai buruh tani dengan upah yang sedikit. Tak sepadan dengan keringat mereka yang menetes"netes ketika bekerja keras.

   "Ah, tidak. Saya hidup sebatangkara, tidak berani berkeluarga karena penghasilanku kecil. Untuk diri saya sendiri saja hampir tidak cukup, hanya untuk sekedar makan dan pakaian yang sederhana" Petani itu sudah merasa lelah dan mendengar ada orang begitu menaruh perhatian kepada dirinya, dia lalu duduk di atas pematang swah di dekat Han Sin.

   "Sungguh sayang sekali tuan-tuan tanah itu tidak dapat menghargai jasamu yang besar, paman"

   "Ah, kongcu. Saya hanya pekerja tani, mencangkul dan menanam lalu menuai, yang memiliki tanah adalah mereka, mana dapat dikatakan jasaku besar?"

   "Paman, kalau tidak ada orang-orang tani seperti paman ini, bagaimana orang-orang seperti saya dan semua orang yang tinggal di kota dapat makan?. Setiap tetes keringat paman yang membasahi tanah dan menjadi pupuk bagi tanaman, amatlah berharga. Pekerjaan paman adalah pekerjaan yang paling mulia, namun sayangnya semua orang melupakannya bahkan memandang rendah kaum petani. Bahkan para tuan tanah memeras tenaga kalian. Sungguh menyedihkan"

   "Akan tetapi kami sudah biasa hidup begini, kongcu"

   "Bahagiakah hidupmu, paman?"

   Petani itu memandang dengan mata penuh mengandung pertanyaan, kemudian dia bertanya,

   "Kongcu, kebahagiaan itu apakah yang dinamakan bahagia itu bagaimanakah?"

   Di tanya begini, Han Sin tertegun. Apa sih kebahagiaan itu? Apakah dia sendiri juga bahagia? Pernahkah dia merasa bagagia? Dia sendiri tidak tahu maka diapun menjawab asal saja, keluar dari pendapat pikirannya" Bahagia itu.... kalau paman merasa senang dan puas dengan keadaan hidup paman, tidak pernah merasa susah"

   "Ah, begitukah? Kalau begitu aku tidak butuh bahagia itu. Asalkan aku menerima upah, dapat membeli makanan dan pakaian, sudah senanglah hatiku. Aku tidak menginginkan apa-apa juga tidak membutuhkan kebahagiaan itu"

   Han Sin kembali tertegun. Tidak butuh bahagia? Dan bagaimana mencari kebahagiaan itu? Kemana mencarinya dan bagaimana akan dapat mengenalnya kalau dia belum pernah merasakan? Teringatlah dia akan wejangan Tiong Gi hwesio tentang kebahagiaan.

   Han Sin bangkit dan wajahnya berseri "Kalau begitu kau seorang yang berbahagia, paman. Kau berbahagia"

   Petani itu memandang heran kepada pemuda yang bergembira itu dan agaknya dia menyangsikan apakah pemuda didepannya itu waras ataukah tidak.

   "Aku? Berbahagia? Entahlah, aku tidak butuh bahagia. Akan tetapi kongcu ini orang dari manakah? Dan apa yang kongcu cari di sini?"

   "Aku seorang perantau yang kebetulan lewat disini dan kemalaman, paman. Aku mencari rumah penginapan untuk dapat melewatkan malam ini"

   "Wah, di dusun kami tidak ada rumah penginapan, kongcu"

   "Kalau begitu aku akan mencari kuil atau rumah kosong untuk melewatkan malam ini"

   "Kuil juga tidak ada, apa pula rumah kosong. Akan tetapi kalau kongcu mau, boleh kongcu menginap di rumah saya yang buruk. Saya hanya tinggal seorang diri di rumah itu"

   Han Sin tersenyum girang "Ah, kau baik sekali paman. Tentu saja aku suka tinggal dirumah paman"

   "Kalau begitu, mari kita pulang" Petani itu mencuci kaki tangannya dengan air saluran yang terdapat didekat ladangnya, kemudian memanggul cangkulnya dan mengajak Han Sin pulang ke rumahnya yang berada di tepi dusun itu.

   Rumah itu memang sederhana sekali, akan tetapi lumayan lah untuk melewatkan malam, dari pada berada di tempat terbuka. Ada pula sebuah meja dan dua buah kursinya terbuat dari kayu secara kasar. Tidak mempunyai perabot lain, akan tetapi ada sebuah tempat tidur yang kecil dan isinya hanya sebuah dipan kayu sederhana.

   "Silahkan duduk, kongcu. Beginilah tempat tinggalku, akan tetapi bagiku amat menyenangkan" Petani itu lalu menyalakan penerangan.

   Han Sin menghela napas. Betapa pun misikinnya keadaan seseorang, kalau orang itu tidak mengeluh dan dapat menerima dengan hati jauh dari pada iri, keadaan itu tetap akan mendatangkan perasaan senang. Jadi jelaslah dia akan satu hal, yaitu bahwa kebahagiaan bukan terdapat di dalam kekayaan harta benda. Dan diapun mengerti mengapa ibunya sama sekali tidak berduka, bahkan nampak gembira setelah pindah ke rumah sederhana di susun, padahal tadinya mereka tinggal disebuah gedung besar menyerupai sebuah istana kecil di kota raja. Dia mengerti kini akan makna wejangan gurunya bahwa setiap orang manusia haruslah dapat bebas dari ikatan apapun juga di dunia ini karena ikatan itulah yang mendatangkan duka. Kalau ibunya terikat oleh keadaan yang megah dan mewah di kota raja, tentu ibunya akan berduka kehilangan semua itu. Diam-diam dia merasa bangga akan sikap ibunya.

   "Paman, perutku terasa lapar dan aku yakin paman juga tentu lapar sekali setelah bekerja berat. Karena itu, harap paman suka membelikan masakan dan nasi di dusun ini. Dan juga arak untuk kita makan dan minum berdua"

   Han Sin membuka buntalannya dan mengeluarkan kantung uangnya. Dia mengambil beberapa keping uang dan menyerahkan kepada petani itu. Petani itu nampak tertegun melihat banyak potongan emas dalam kantung itu dan dengan tangan gemetar dia menerima uang itu.

   "Di sini tidak ada yang menjual makanan, kong cu. Akan tetapi saya dapat menyuruh tetangga sebelah untuk membeli ayam dan bahan makanan untuk dimasak. Harap kong-cu menunggu sebentar"

   Tak lama kemudian petani itu sudah kembali membawa dua ekor ayam, beras dan beberapa macam sayuran berikut bumbu-bumbunya dan segera dia sibuk di bagian belakang rumahnya. Dia memasak ayam dan sayur itu dibantu oleh seorang wanita setengah tua yang pandai memasak dan ramailah mereka bekerja sambil bercakap-cakap.

   Han Sin tersenyum. Mungkin bagi petani itu, peristiwa menyembelih ayam dan memasaknya dengan bermacam sayuran ini merupakan sebuah peristiwa yang istimewa. Terharu rasa hatinya membayangkan bahwa mungkin petani itu tidak pernah mampu membeli ayam, mungkin belum tentu sebulan atau dua bulan sekali merasakan daging. Menyembelih bagi mereka tentu merupakan sebuah pesta besar.

   Setelah masakan itu selesai dan dihidangkan di atas meja, Han Sin lalu mengajak petani itu makan bersama-sama. Mula-mula petani itu dengan sungkan menolak, akan tetapi Han Sin memaksanya dan akhirnya petani itu mau juga makan bersama. Mereka makan dan minum sampai kenyang.

   Setelah selesai, makanan itu masih bersisa banyak dan oleh si petani lalu diberikan kepada tetangga yang tadi membantunya masak. Kemudian dia duduk bercakap-cakap dengan Han Sin "Paman, apakah sejak muda paman bekerja sebagai petani" tanya Han Sin.

   Dia melihat tadi gerak-gerik petani itu cukup gesit dan mengandung tenaga, bukan seperti orang biasa. Juga perawakannya tegap dan menyembunyikan kegagahan.

   Petani itu mengangguk "sejak muda saya memang petani, kong-cu, tinggal disini sejak bertahun-tahun" jawab petani itu dengan pendek.

   Karena merasa lelah melakukan perjalanan jauh sehari itu. Han Sin lalu mengatakan bahwa dia hendak mengaso.

   "Kongcu tidurlah dikamar itu" kata sang petani.

   "Akan tetapi tempat tidur itu hanya kecil, hanya cukup untuk seorang saja. Dan paman akan tidur dimana?"

   "Ah, saya akan dapat mencari tempat tidur, itu urusan mudah, kong-cu. Saya bisa tidur dilantai bertilamkan tikar, atau dapat mengungsi ke rumah tetangga. Tidurlah kongcu"

   Han Sin tidak sungkan lagi, lalu memasuki kamar itu dan merebahkan dirinya di atas dipan. Dia membawa buntalannya dan meletakkan buntalan itu di dekat kepalanya di atas dipan.

   Malam itu sunyi sekali. Dalam kamar itu tidak terdapat penerangan, akan tetapi karena rumah itu terbuat dari pada bilik bambu, maka penerangan dari lampu di luar masuk dan mendatangkan penerangan yang remang-remang. Saking lelahnya, sebentar saja Han Sin sudah tidur pulas.

   Menjelang tengah malam, biarpun sedang tidur nyenyak, Han Sin terbangun juga oleh suara berkerietnya daun pintu kamar itu dibuka orang. Begitu terbangun, seluruh urat syarafnya ditubuhnya telah siap dan dia menjadi waspada. Memang seluruh tubuhnya telah terlatih sehingga dia dapat siap dalam keadaan bagaimanapun juga. Dia tidak bergerak dan pura-pura masih pulas, akan tetapi matanya terbuka dan dia melihat bayangan orang di depan pintu kamarnya. Kemudian pintu itu terbuka dari luar dan nampaklah bayangan petani tuan rumah itu melangkah maju setapak demi setapak dengan kedua tangannya mengangkat cangkul tinggi-tinggi diatas kepalanya. Bermacam perasaan mengaduk hati Han Sin. Heran, kecewa, penasaran dan juga geli. Petani yang siang tadi nampak demikian akrab dan manis budi, jujur dan lugu, bahkan yang dianggapnya seorang yang berbahagia hidupnya kini tiba-tiba saja berubah menjadi iblis yang siap membunuhnya. Membunuh seorang yang sedang tidur dengan darah dingin. Dia diam saja dan ketika orang itu sudah dekat dan mengayunkan cangkulnya ke arah kepalanya, secepat kilat Han Sin menggulingkan tubuhnya dari atas dipan.

   "Croookkkk"

   Dipan yang dihantam cangkul itu patah menjadi dua potong menunjukkan betapa kuatnya ayunan cangkul tadi. Dan petani itu mengeluarkan seruan kaget melihat cangkulnya mengenai dipan dan orang yang diserangnya sudah tidak berada disitu lagi. Bahkan buntalannya pun sudah lenyap. Petani itu cepat meloncat keluar dari dalam kamar dan matanya terbelalak melihat Han Sin sudah duduk diatas kursi menghadapi meja dan buntalannya sudah berada pula di atas meja. Pemuda itu nampaknya tenang saja. Seolah tidak pernah terjadi sesuatu.

   Sejenak petani itu berdiri seperti patung, pandang matanya bingung dan ragu seolah dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akan tetapi melihat pemuda itu duduk membelakanginya, tiba-tiba dia menerjang maju sambil mengayun cangkulnya ke arah kepala Han Sin dengan pengerahan tenaga sekuatnya.

   "Wuuuutttt....... Plakkk" Han Sin menjulurkan tangannya ke belakang dan dapat menangkap gagang cangkul itu sambil memutar tubuhnya. Dia menarik cangkul itu lalu tangan yang sebelah lagi mendorong dengan telapak tangannya kearah dada petani itu.

   "Buuukkkk" Tubuh petani itu terjengkang dan terlempar sampai menabrak dinding sedangkan cangkulnya terampas oleh Han Sin. Pemuda itu meletakkan cangkul di atas tanah dan memandang kepada petani dengan mata mencorong.

   Petani itu merasakan dadanya sesak dan kini maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang lihai. Barulah dia teringat akan keadaan dirinya, kesalahan yang dilakukannya dan setelah bangkit berdiri dia menundukkan mukanya, tidak tahan menentang pandangan mata yang siang tadi begitu lembut akan tetapi kini nampak mencorong itu dan berkata lirih.

   "Saya... saya.... telah bersalah, boleh kong-cu membunuh saya"

   Han Sin tersenyum "Paman, duduklah"

   Orang itu menurut dan duduk di depan Han Sin terhalang meja, seperti sore tadi ketika mereka makan minum berdua "Sekarang ceritakan mengapa paman melakukan perbuatan tadi dan siapa sebenarnya paman ini"

   Orang itu menghela napas panjang beberapa kali, menelan ludah seperti mengumpulkan keberaniannya, kemudian dia berkata "Kong-cu saya pernah menjadi seorang perampok di waktu muda, mengumpulkan harta benda dengan cara merampok. Akan tetapi lima belas tahun yang lalu, gerombolan perampok yang saya pimpin dibasmi habis oleh pasukan pemerintah. Istri dan anak-anak saya ikut tewas dalam pembasmian itu, harta benda saya habis. Saya menjadi orang buruan pemerintah. Setelah tertimpa bencana itu, yang merampas habis harta benda saya bahkan membasmi keluarga saya, saya menjadi sadar bahwa saya telah memetik buah daripada pohon tanaman saya sendiri. Maka saya mencuci tangan, mengubah jalan hidup saya. Saya menjadi petani, bahkan saya menyembunyikan keadaan saya dengan menyamar sebagai petani lemah yang hidup sebatang kara. Akan tetapi sore tadi muncul kong-cu. Sungguh mati, saya menyambut kong-cu dengan hati setulusnya dan saya merasa girang dapat menyambut kong-cu. Akan tetapi.... ah, mengapa kong-cu membuka buntalan memperlihatkan emas yang demikian banyaknya? Saya tidak tahan melihatnya. Nafsu iblis telah mencengkram diri saya dan saya tidak menentangnya, maka saya mengambil keputusan untuk membunuh kong-cu dan merampas emas itu"

   Orang itu kembali menghela napas dan kini bahkan kedua matanya basah.

   Han Sin mengangguk-angguk kembali dia teringat akan wejangan gurunya "Godaan datang dari dalam hati akal pikiran sendiri melalui panca indera. Dan diantara semua penggoda, yang paling berbahaya adalah godaan harta benda. Harta benda dapat menutupi pertimbangan dan kebijaksanaan. Kita kehilangan kewaspadaan dan mau melakukan perbuatan apa saja demi harta benda" Demikianlah wejangan dan sekarang dia melihat buktinya. Seorang yang sudah mengubah jalan hidupnya, begitu melihat emas di depan mata, menjadi lupa segalanya dan siap untuk membunuh dengan cara pengecut untuk menguasai emas itu. Melihat emas merupakan kesempatan baginya. Andaikata dia tidak melihat emas itu, tidak mungkin akan timbul keinginan untuk menguasai dan membunuh pemiliknya.

   "Sudahlah, paman, aku memaafkanmu. Dahulu, kau sudah mendapat pelajaran bahwa perbuatan merampok itu mendatangkan akibat buruk kepadamu, keluarga mu terbasmi habis, harta bendamu juga musnah. Dan kembali malam ini kau melihat bahwa perbuatan merampok itu sesungguhnya mencelakakan dirimu sendiri. Sudahlah, lupakan urusan tadi. Aku masih mengantuk dan mau tidur lagi"

   Han Sin lalu meninggalkan meja, meninggalkan buntalannya dan memasuki kamar, lalu merebahkan dirinya diatas dipan yang kini terpaksa diletakkan diatas lantai tanpa kaki karena sudah patah dua.

   Petani itu tertegun. Sampai lama dia duduk di atas kursi itu, memandang buntalan diatas meja. Pemuda lihai itu bukan saja memaafkannya, bahkan meninggalkan buntalan diatas meja. Akan tetapi, kini sudah tidak ada lagi gairah di hatinya untuk merampok emas itu. Dia sudah yakin benar bahwa akibatnya tentu akan buruk bagi dirinya kalau dia menggunakan kesempatan itu untuk melarikan buntalan itu. Dia pun merebahkan diri lagi di atas lantai akan tetapi sekali ini dia tidak dapat tidur lagi.

   Bukan gelisah karena ada dorongan untuk mencuri emas, melainkan takut kalau-kalau ada orang luar datang dan mencuri buntalan itu. Maka, dia tidak tidur untuk menjaga buntalan itu agar tidak diambil orang.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin terbangun dan ketika dia keluar dari kamar itu, dia melihat petani itu sudah duduk di atas kursi menghadapi buntalan yang masih terletak diatas meja. Dia tersenyum kepada diri sendiri.

   "Selamat pagi, paman. Kau sudah bangun?" tegurnya ramah.

   Petani itu cepat bangkit berdiri, merasa malu bukan main melihat pemuda yang hampir dibunuhnya itu masih bersikap ramah dan lembut kepadanya.

   "Selamat pagi, kong-cu dan.......... maafkan perbuatanku semalam"

   "Ah, aku sudah melupakan hal itu, paman" kata Han Sin. Dan dia membuka buntalannya, mengambil sepotong emas dari dalam kantung dan menyerahkannya kepada petani itu.

   "Ambillah ini, paman dan terima kasih atas kebaikanmu"

   Petani itu terbelalak dan melompat kebelakang seperti hendak diserang. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya memandang sepotong emas itu, seperti melihat benda yang menakutkan.

   "Tidak.......... tidak kong-cu...... saya tidak menghendaki emas lagi........"

   "Terimalah, paman. Ini lain lagi. Ini adalah pemberianku yang rela. Dengan emas ini kiranya kau dapat menggarap ladangmu sendiri. Terimalah, aku akan tersingung kalau kau tidak mau menerimanya"

   Karena kalimat terakhir inilah sang petani tidak berani menolak lagi dan diterimanya sepotong emas itu dengan kedua tangannya dan dia hanya berkata lirih "Terima kasih, kong-cu" dan kedua matanya menjadi basah.

   Han Sin sudah mengikatkan lagi buntalan dibelakang punggungnya dan dia berkata "Nah, selamat tinggal, paman. Mudah-mudahan kalau aku kebetulan lewat disini lagi, aku dapat singgah di rumahmu"

   "Selamat jalan kongcu dan terima kasih" Dia mengantar tamunya sampai meninggalkan rumah itu dan setelah pemuda itu pergi jauh, masih saja dia berdiri disitu sambil memandangi emas di telapak tangannya.

   "Ahhh.........., aku lupa menanyakan namanya" Katanya sambil berlari mengejar. Akan tetapi pemuda itu sudah tidak tampak bayangannya lagi.

   Petani itu hanya dapat menggeleng-geleng kepalanya saking heran dan kagum, kemudian dia berjalan pulang dengan hati merasa gembira sekali telah bertemu dengan seorang pemuda pendekar, karena dia tentu seorang pendekar perkasa, yang bijaksana dan budiman.
***

   Han Sin berjalan menuruni bukit. Dari atas tadi dia sudah melihat sebuah telaga kecil dan ingin sekali dia dapat mandi di sana. Sejak pagi dia meninggalkan dusun itu menuju ke timur dan dia belum membersihkan badan sejak pagi-pagi sekali tadi. Perutnya belum lapar karena semalam dia sudah makan sampai kenyang di rumah petani itu.

   Hatinya terasa ringan dan senang. Dia tidak tahu mengapa hatinya terasa demikian ringan dan senang. Tidak tahu bahwa hal ini adalah akibat perbuatannya terhadap petani yang bekas perampok itu. Setiap perbuatan yang baik selalu mendatangkan perasaan ringan dan senang bagi pelakuknya, asalkan perbuatan itu dilakukan tanpa pamrih dan dengan rela hati.

   Han Sin menuruni bukit dengan cepat sekali karena dia menggunakan ilmu berlari cepat. Gin Kang (ilmu meringankan tubuh) pemuda ini memang mencapai tingkat tinggi setelah dia menguasai ilmu Bu-tek-cin-keng dan dia dapat berlari seperti terbang cepatnya. Tak lama kemudian dia telah tiba di tepi danau dan ternyata di situ terdapat sumber air yang keluar dari pecahan batu besar. Air itu terjun dan membentuk danau yang kecil terus mengalir menjadi sebuah anak sungai yang mungkin saja mengalir terus memasuki Sungai Kuning di timur.

   Danau dari sumber itu dikelilingi sebuah hutan lebat dan keadaan di situ sunyi dan indah bukanmain. Matahari pagi bermain-main di danau dengan bayangannya yang membentuk garis kemerahan dari bayangnya, dikelilingi warna hijau pantulan pohon-pohon ditepi danau.

   Sinar matahari yang menerobos masuk lewat celah-celah daun pohon membentuk berkas-berkas cahaya keputihan yang amat indah, membuat tempat itu seperti surga dalam dongeng. Seekor kelinci putih berlari keluar dari semak-semak, dikejar kelinci lain yang berbulu kelabu. Han Sin memandang ambil tersenyum geli melihat tingkah dua ekor kelinci itu yang segera lenyap lagi dibalik semak-semak.

   Bunga-bunga liar mekar bebas, digoyang-goyang perlahan oleh hinggapnya kupu-kupu yang mencari madu. Burung-burung berlompatan dari ranting ke ranting sambil berkicau. Semua ini menjadi selingan suara air kecil terjun ke danau yang mengeluarkan dendang yang tak kunjung henti. Titik"titik air embun berjatuhan dikala burung-burung hinggap di sebuah ranting.

   Han Sin berdiri bengong di tepi telaga seperti dalam mimpi. Tak disangkanya bahwa danau yang terlihat dari atas bukit tadi merupakan tempat yang demikian indahnya. Melihat disitu sunyi tidak ada seorangpun manusia kecuali dirinya, tanpa ragu lagi lalu Han Sin menanggalkan seluruh pakaiannya menumpuk pakaian itu diatas buntalannya yang diletakkan di atas batu. Kemudian diapun terjun memasuki air danau itu. Sejuk dan menyegarkan sekali. Airnya jernih, dasarnya dari batu dan pasir dalam dalamnya sebatas dada. Sejuknyaman bukan main mandi di pagi hari itu. Han Sin beberapa kali menyelam dan berenang dengan hati gembira.

   Tiba-tiba dia mendengar suara yang mencurigakan, datangnya dari tepi telaga. Cepat dia menengok dan masih melihat berkelebatnya bayangan orang. Cepat bukan main gerakan itu, hanya bayangannya saja dapat ditangkap pandang matanya. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hati Han Sin adalah ketika dia melihat keatas batu dimana buntalannya dan pakaiannya tadi dia tinggalkan. Buntalan berikut pakaiannya tadi telah lenyap.

   "Celaka....." Dia mengeluh. Andai kata kantung emasnya yang hilang, dia tidak akan segelisah ini, akan tetapi, semuanya telah lenyap dan kini dia dalam keadaan telanjang bulat. Bagaimana dia dapat keluar dari dalam air menemui orang dalam keadaan seperti itu?.

   "Hei......... Kembalikan pakaianku" Dia berteriak sambil melangkah ke tepi, akan tetapi tubuhnya masih terendam dalam air.

   Suaranya dikeluarkan dengannyaring sehingga menimbulkan gema. Akan tetapi, tidak ada jawaban. Suasana sunyi dan burung-burung terbang ketakutan, terkejut oleh teriakannya yangnyaring tadi. Han Sin menjadi gelisah. Jangan-jangan pencuri itu telah melarikan diri dan tidak akan kembali lagi. Bagaimana dia dapat melakukan dan melajutkan perjalanan tanpa sehelaipun pakaian untuk menutupi ketelanjangannya? Apakah petani itu telah kumat kembali dan dia yang mencurinya? Tidak mungkin, gerakan petani itu tidaklah secepat orang yang tadi dilihat bayangannya.

   Han Sin merasa gelisah sekali dan tidak berdaya. Dia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, yang tidak gentar menghadapi lawan bagaimana pun juga, kini menjadi gelisah menghadapi ketelanjangannya dan dia merasa tidak berdaya sama sekali.

   "Haaiiiiii....... saudara yang mengambil buntalanku. Kau boleh memiliki buntalan dan semua isinya, akan tetapi kembalikan pakaianku. Tolong kembalikan pakaianku" Dalam suaranya terkandung permohonan yang sungguh-sungguh. Sialan, pikirnya. Dia yang kecurian malah dia yang memohon dan minta tolong.

   Tiba-tiba dia melihat sebuah kepala keluar dari balik semak-semak. Bukan kepala binatang, melainkan kepala manusia, dan melihat rambutnya yang hitam panjang itu tentulah kepala seorang wanita muda. Wajah itu cantik pula, dengan hidung yang mancung dan mulut tersenyum menggairahkan. Kepala itu nongol sebentar, sepasang mata berkedip-kedip memandangnya, lalu menyusup lagi dibelakang semak-semak.

   "Haiiii...... nona atau nyonya......... keluarlah dan kembalikan pakaianku" katanya, dan pandangan matanya mencoba untuk menembus semak belukar itu. Hening sejenak, kemudian kepala itu nongol lagi. Kini muka yang cantik itu tertawa.

   "Hi-hi-hi-hik, lucunya" kini muka itu lebih jelas kelihatan dan ternyata wajah seorang gadis yang cantik, akan tetapi suara tawanya aneh, dan matanya yang indah itu berkedip-kedip aneh.

   Han Sin menggapai "Nona.... harap mengasihani aku. Tolong kembalikan pakaianku"

   Dia memohon. Kini nona itu keluar dari balik semak-semak. Tubuhnya ramping, rambutnya hitam panjang hanya diikat dengan sutera kuning. Kulitnya putih dan wajah itu cantik dengan mata yang berbinar-binar, hidungnya yang mancung dan mulut yang selalu tersenyum lebar, memperlihatkan kilatan gigi yang putih berderet rapi. Akan tetapi pakaiannya sungguh aneh. Berkembang-kembang dan potongannya longgar kedodoran. Kakinya memakai sepatu hitam dari kulit kayu. Gadis itu berdiri dan memandang kepada Han Sin seperti orang yang terheran-heran, akan tetapi Han Sin melihat bahwa gadis itu tidak membawa apa-apa. Dan diapun bersangsi apakah gadis itu yang mencuri buntalannya, karena tidak mungkin gadis itu dapat bergerak secepat bayangan tadi.

   "Nona, kesinilah" Dia menggapai karena biarpun gadis itu bukan pencurinya, dia dapat minta tolong kepadanya untuk mencarikan pakaian sebagai penutup ketelanjangannya.

   Gadis itu mendekat, dengan langkah yang aneh, berlari-lari kecil seperti tingkah seorang kanak-kanak. Kini dia berdiri di tepi telaga memadang Han Sinm dengan terbelalak dan penuh perhatian.

   "Hik-hi-hi-hi, lucunya" kembali ia berkata dan sikapnya itu membuat Han Sin merasa bulu tengkuknya meremang.

   Ada sesuatu yang tidak wajar dalam sikap gadis cantik itu. Masa seorang gadis dewasa seperti itu bersikap kekanak-kanakkan dan tertawa lucu melihat dia berendam dalam air.

   "Nona apa kau melihat orang yang mengambil pakaian dan buntalanku?" tanya Han Sin akan tetapi yang ditanya hanya terkekeh seperti orang yang merasa melihat hal yang lucu

   Han Sin merasa jengkel juga. Pertanyaannya hanya di jawab dengan kekeh yang aneh.

   "Nona" Katanya" Tolonglah aku, carikan pakaian agar aku tidak telanjang"

   Kembali nona itu terkekeh, kemudian terdengar suaranya, suaranya sebetulnya merdu seperti suara seorang gadis, akan tetapi nadanya aneh seperti orang yang asing "Kau.... kau ini binatang apakah?"

   Sialan, pikir Han Sin. Akan tetapi karena diapun pada dasarnya berwatak lincah dan gembira. Dia tidak menjadi marah, bahkan tertawa " Ha-ha-ha-ha, kau lucu sekali, nona"

   "Hik-hi-hi-hik, kau juga lucu" gadis itu kini tertawa-tawa sambil bertepuk-tepuk tangan dan meloncat-loncat seperti seorang anak kecil kegirangan. Tentu saja Han Sin memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Tidak salah lagi, Gadis cantik itu berotak miring.

   "Hik-hi-hik, apakah kau ini sebangsa monyet? Monyet putih tidak berbulu?" tanya gadis itu sambil mendekat dan tubuhnya mendoyong kedepan sehingga Han Sin khawatir merasa kalau-kalau gadis itu akan terjatuh ke dalam danau.

   "Hussshhh" katanya gemas " aku bukan monyet, aku juga manusia seperti kau"

   "Ahhh, manusia? Dan kau laki-laki ya? Kau tampan loh" Gadis itu memuji dan mengancungkan jempol. Tanpa disadarinya, muka Han in menjadi merah.

   "Nona, aku ingin minta tolong kepadamu. Ketahuilah, semua barangku termasuk pakaianku di curi orang. Aku kini telanjang sama sekali. Karena itu, tolonglah aku, carikan pakaian untukku, sedikitnya sebuah celana"

   "Hik-hi-hik, minta tolong boleh akan tetapi katakan dulu siapa namamu"

   Wahh gadis ini gila tapi pintar menggoda orang, pikirnya. Mau menolong akan tetapi menjual mahal. Pakai syarat segala macam. Akan tetapi mau tidak mau dia harus menjawab karena dia butuh pakaian.

   "Namaku Cian Han Sin"

   "Cian Han Sin, namamu aneh, Han Sin. Dan aku bernama Kui Ji"

   "Namamu indah, nona"

   "Heiii, sudah tahu namaku mengapa menyebut aku nona. Sebut saja adik Kui Ji yang baik"

   "Oya, adik Kui Ji yang baik, tolonglah carikan pakaian untuk aku agar aku dapat naik ke darat"

   "Kalau mau ke darat, naik saja sekarang"

   "Tidak mungkin, adik Kui ji yang baik, aku bertelanjang bulat"

   "Oh ya, ibu bilang hanya binatang yang telanjang bulat. Kalau manusia harus berpakaian. Kau memerlukan celanaku" Dan gadis itu pun lalu melepaskan tali kain ikat pingganganya dan hendak menurunkan celananya. Tentu saja Han Sin terkejut sekali dan dia memejamkan matanya.

   "Tidak, jangan lakukan itu. Jangan berikan celanamu kepadaku, nanti kau telanjang"

   "Hik-hi-hik, sudah kubilang kau lucu dan juga bodoh. Siapa yang mau telanjang?" katanya dan tetap saja gadis itu menurunkan celananya yang berkembang-kembang. Han Sin nekat membuka matanya dan sudah bersiap-siap untuk menutupnya kembali kalau gadis itu bertelanjang. Akan tetapi ternyata dia memakai celana rangkap berapa, entah rangkap berapa karena pakaiannya kedodoran seperti itu.

   "Nih, pakai celana ini" kata gadis itu sambil menggulung celana itu dan melemparkannya kepada Han Sin.

   Han Sin menerima celana itu, akan tetapi bagaimana dia dapat memakainya kalau nona itu berada di situ? Untuk mengenakan celana itu dia harus lebih dulu keluar dari dalam air.

   "Nona, pergilah dulu"

   
Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapa nona?"

   "Oh ya, adik Kui ji yang baik, harap pergi dulu agar aku dapat naik dan mengenakan celana ini"

   "Aku tidak akan pergi dan aku mau menonton kau memakai celana. Tentu lucu sekali" Gadis itu terkekeh-kekeh dan kembali wajah Han Sin menjadi merah. Gadis ini benar-benar gila tidak ketulungan lagi, sudah lupa akan rasa malu dan sopan santun. Dia lalu mengerahkan tenaganya dari dalam air itu dia meloncat jauh ke depan, kearah sebuah batu besar. Tubuhnya melayang seperti burung terbang dan cepat dia berdiri di balik batu besar agar gadis itu tidak melihatnya. Tergesa-gesa dia mengenakan celana itu. Celaka, celana itu ujungnya kecil sekali sehingga ketika dia memaksa dan menariknya ke atas, terdengarlah suara kain robek. Terpaksa dia memotong bagian bawahnya dan kini dia memakai sebauh celana sebatas lutut yang berkembang-kembang.

   Biarpun pakaian itu minim sekali, akan tetapi setidaknya membuat dia berani menghadapi orang, tidak bertelanjang bulat. Sementara itu gadis yang pakaiannya berkembang-kembang itu terbelalak melihat Han Sin meloncat dari dalam air ke atas batu, agak jauh darinya. Ia masih tertegun memandang Han Sin yang muncul dari balik batu dengan mengenakan celana kembang sebatas lutut, kemudian, sekali ia mengayun tubuhnya, tubuh itu berkelebat dan telah berada di depan Han Sin, membuat pemuda itu terkejut sekali. Kiranya gadis gila ini pandai ilmu silat dan dapat meloncat dengan gerakan demikian cepatnya. Kembali timbul kecurigaannya bahwa yang mencuri buntalannya tentulah gadis ini pula.

   "Aih, kiranya kau memiliki ilmu kepandaian pula, Han Sin? Bagus, mari kita bermain-main sebentar" katanya sambil tertawa terkekeh dan tahu-tahu tangan kanannya telah menyerang Han Sin dengan gerakan melengkung aneh. Akan tetapi tangan yang semula tidak kelihatan seperti hendak memukulnya itu, tahu-tahu telah membelok dan menampak ke arah mukanya dengan gerakan demikian cepatnya. Juga amat kuat karena tamparan itu di dahului angin pukulan yang terasa panas oleh pipi Han Sin.

   Han Sin cepat mengelak dengan menarik ke belakang tubuh atasnya, akan tetapi Kui Ji menyerang lagi dengan tamparan susulan. Ia pun menyerang bertubi-tubi dengan tamparan dan totokan dan gerakannya makin lama makin aneh namun lihai bukan main. Han Sin terus mengelak, setelah mengelak atau menangkis selama belasan jurus, ketika tangan gadis itu mencengkram ke arah lehernya, dia sengaja mengerahkan tenaganya dan menangkis keras

   "Duukkk" kedua lengan bertemu dengan kuatnya dan gadis itu terdorong mundur. Lalu memegangi lengan yang tertangkis itu dan menangis.

   "Hu-hu-hu-hu-hu... kau nakal.......... hu-hu-hu... kau menyakiti lenganku" akan tetapi sambil menangis ia menyerang terus dan kini ia sudah memungut sebatang tongkat berbentuk ular yang tadi ditinggalkan diatas batu.

   Hebat sekali serangan dengan tongkat ini, dan gerakannya tetap aneh sekali, berbeda dengan ilmu-ilmu silat biasa. Kalau ujung tongkat itu menggetar menyerang dengan tusukan ke arah dada, ternyata penyerangan yang sesungguhnya adalah pukulan ke arah kepala. Kalau nampaknya pada permulaan menyerang ke kanan, ternyata menyerang ke kiri.

   Seperti serangan orang yang kebingungan dan nampaknya ilmu silat gadis itu kacau balau seperti kacau balaunya jalan pikirannya. Akan tetapi justru kekacauan itu lah yang membuat ilmu silat itu lihai dan berbahaya sekali, tidak dapat diduga perkembangannya.

   Han Sin yang hanya bertahan saja, terpaksa beberapa kali menjadi korban tamparan dan totokan, akan tetapi karena dia sudah melindungi tubuhnya dengan sin-kang yang kuat, maka dia tidak sampai robih. Akhirnya dia tahu bahwa kalau dia tidak membalas, mungkin saja dia dapat terluka oleh tongkat yang gerakannya terkadang seperti seekor ular itu. Maka, mulailah dia mengerahkan tenaga dan memainkan Bu-tek-cin-keng.

   Ketika tongkat meluncur menusuk matanya, Han Sin menangkis sehingga tongkat terpental dan dengan tangan kirinya diapun mendorong dengan telapak tangannya kedepan sambil mengerahkan tenaga yang dia kendalikan agar jangan sampai dia melukai gadis itu.

   "Wuuutttt.... aighhh" Kui ji terdorong kebelakang dan ia menjerit, kemudian jatuh terduduk. Napasnya agak terengah. Dorongan itu ternyata mengeluarkan hawa pukulan yang menghimpit dadanya dan menyesakkan napasnya. Gadis itu memandang bengong sesaat, kemudian dia meloncat dan menundingkan telunjuk kirinya ke arah muka Han Sin.

   "Han Sin, kau menggunakan ilmu iblis apakah?" Ia lalu memutar tongkatnya ke atas kepala dan melanjutkan " Akan tetapi, aku tidak takut, hayo kita lanjutkan" Dan diapun sudah menyerang lagi kalang kabut dan agaknya gadis itu merasa penasaran dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Dan kini ia menyerang sambil mengeluarkan suara melengking tinggi dan panjang. Han Sin kembali terkejut. Teriakan melengking itu bukan sembarangan teriakan melainkan teriakan yang mengandung khikang dan bagi lawan yang kurang kuat sin-kangnya tentu akan terguncang hatinya dan mengacaukan pikirannya sehingga mudah dirobohkan dan serangannya itupun hebat bukan main. Sekali tongkat bergerak, ujung tongkat tergetar dan menotok secara bertubi-tubi ke arah jalan darah di tubuhnya bagian depan.

   "Hemmm" Han Sin mengelak dan ketika ia mendapat kesempatan, tangannya meraih, menangkap tongkat itu dan tangan yang sebelah lagi menotok lengan yang memegang tongkat dekat siku sehingga lengan itu menjadi lumpuh seketika dan dengan mudah dia telah merampas tongkat itu.

   Gadis itu terkejut dan melompat kebelakang, matanya yang indah itu memandang kepada Han Sin dengan terbelalak. Han Sin merasa tidak enak hati. Gadis itu telah menolongnya memberi celana dan kini dia mengalahkannya.

   "Maafkan aku dan terimalah kembali tongkatmu" katanya sambil menyerahkan tongkat yang bentuknya seperti ular itu.

   Kui Ji menerima tongkatnya dan sungguh aneh sekali. Kini ia tersenyum dan menunjukkan mukanya yang menjadi kemerahan dan sikapnya menjadi seperti seorang gadis yang malu-malu.

   "Kau telah mengalahkan aku... Kau telah mengalahkan aku" demikian katanya berulang-ulang seolah tidak percaya bahwa ada orang yang dapat mengalahkannya.

   "Maaf, adik Kui Ji yang baik, kepandaian mu hebat sekali dan aku merasa kagum" kata Han Sin dengan sungguh hati karena memang dia kagum melihat ilmu silat gadis itu yang aneh dan lihai sehingga dia sendiri beberapa kali terkena tamparan dan totokan gadis itu.

   "Hik-hi-hi-hik. Akhirnya kau datang juga, koko. Kaulah pemuda yang mampu mengalahkan aku. Jadi kau yang pantas menjadi suamiku. Dan Aku senang menjadi istrimu, koko Han Sin" Gadis itu lalu menghampiri Han Sin dan kedua tangannya siap untuk memeluk.

   Han Sin terkejut sekali dan dia melangkah mundur.

   "Ah, tidak, Kui Ji... adik yang baik, jangan begitu. Aku tidak mempunyai pikiran sama sekali untuk berjodoh, aku bukan jodohmu"

   Kui Ji seperti terheran dan terkejut mendengar ini dan kedua tangan yang sudah terangkat untuk memeluk itu, jatuh kembali "Apa? Kau......... kau menolak menjadi
suamiku............?"

   "Aku belum mempunyai niat untuk menjadi suami siapa saja" jawab Han Sin singkat. Dia mau mengalah terhadap seorang yang otaknya tidak waras, akan tetapi kalau harus mengawininya, tentu saja dia tidak mau.

   Tiba-tiba gadis itu menangis dan teriakannya melengkingnyaring. Han Sin menjadi serba salah. Tadinya dia hendak mencari buntalannya, akan tetapi dalam keadaan seperti itu tentu Kui Ji tidak mau bicara tentang buntalan itu. Kalu gadis itu di tinggalkan, lalu bagaimana dengan buntalannya yang terisi pakaian dan uang bekal? Kalau tidak ditinggalkan dan dihadapi terus, bagaimana dia harus bersikap melihat kegilaan ini. Selagi dia hendak pergi saja meninggalkan gadis itu, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan terdengar suara yang tinggi melengking.

   "Heiiiii.... siapa berani mengganggu anakku sampai ia menangis sedih? Siapa.........?"

   Dan tiba-tiba didepan Han Sin berdiri seorang wanita. Sekali pandang saja tahulah Han Sin bahwa wanita ini pun keadaanya sama dengan Kui Ji. Usianya sekitar empat puluh delapan tahun. Wajahnya masih membayangkan bekas kecantikan, tubuhnya juga masih ramping padat. Rambutnya terurai panjang seperti rambut Kui Ji. Akan tetapi kalau rambut Kui Ji diikat sutera kuning, rambut wanita ini riap-riapan, sebagian ada yang menutupi wajahnya sehingga kelihatan menyeramkan. Rambut itu panjang sampai ke pinggul dan masih hitam lebat. Pakaian wanita ini pun berkembang-kembang dan tangan kanannya memegang sebatang pecut seperti yang biasa dipergunakan para penggembala kerbau dan lembu mereka.

   "Ibu....... oh, ibu..." Kui Ji makin meledak-ledak tangisnya "Dia....dia ini menolak untuk menjadi suamiku, padahal aku telah menjatuhkan pilihan ku kepadanya, ibu....... hajarlah dia agar dia mau menjadi suamiku"

   Wajah yang masih cantik itu nampak menyeramkan, sepasang matanya seperti bersinar-sinar penuh kemarahan, mulutnya cemberut "Apa....? Berani cacing pita ini menolak anakku? Anakku cukup pantas menjadi isteri seorang pangeran, apalagi hanya cacing macam ini. Orang muda, siapa kau?"

   "Ibu, namanya Cian Han Sin dan ilmu silatnya cukup tinggi, dia telah mengalahkan aku" kata Kui Ji dan mendengar ini, wanita itu kelihatan semakin penasaran.

   "Cian Han Sin, anakku telah memilih kau menjadi suami. Hayo katakan, apakah kau tetap tidak mau" tanya wanita itu dengan suaranya yang galak.

   Han Sin merasa serba salah. Dia tidak marah melihat sikap mereka yang hendak memaksanya menjadi suami Jui Ji karena dia maklum bahwa ibu dan anak ini tidak waras pikirannya. Dia pun tidak ingin bermusuhan dengan mereka, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menjadi suami Kui Ji? selain gadis itu seorang yang miring otaknya, juga dia sama sekali belum berniat untuk menjadi suami orang.

   "Maafkan saya, bibi yang baik. Akan tetapi saya belum mempunyai keinginan untuk menikah, karena itu terpaksa saya menolak keinginan adik Kui Ji yang baik"

   "Hik-hi-hik, kau sudah menyebut Kui Ji sebagai adik yang baik, tentu kau suka kepadanya. Kau harus menjadi suaminya, harus dan tidak boleh menolak lagi. Kau mantuku yang baik, tidak usah malu-malu kucing, katakanlah kau mau"

   "Ibu, koko Han Sin bahkan sudah memberi emas kawin berupa beberapa stel pakaiannya dan sekantung emas" kata Kui Ji.

   "Nah, apalagi sudah memberi emas kawin. Dan Itu" Wanita itu menunjuk ke arah celana yang dipakai Han Sin "Bukankah itu celana mu, Kui Ji?"

   "Benar, ibu. Celanaku itu sengaja kuberikan kepadanya untuk kenang-kenangan"

   "Wah, sudah begitu jauh hubungan kalian ya? Hayo, Han Sin kau ikut kami untuk merayakan pernikahan kalian"

   "Tidak bibi aku tidak mau" kata Han Sin yang merasa terdesak dan menjadi mendongkol juga. Agaknya biarpun gila, gadis itu cukup licik untuk menyudutkannya.

   "Kau harus mau, harus mau" Wanita itu melengking-lengking, akan tetapi Han Sin tetap menggeleng kepala. Kini mulai timbul kemarahannya setelah mendengar ucapan Kui Ji bahwa buntalannya benar dicuri oleh gadis itu dan dikatakan sebagai emas kawin.

   "Kalau begitu, aku akan memaksamu" Kata wanita itu dan ketika ia menggerakkan cambuknya di udara, terdengar suara meledak-ledaknyaring. Akan tetapi Han Sin yang sudah marah tidak merasa takut. Dia malah ingin menundukkan wanita ini dan puterinya agar dapat dipaksanya mengembalikan buntalannya.

   "Wuuuutttt.... tarrrr" cambuk itu menyambar ke arah kepala Han Sin dan meledak ketika Han Sin cepat mengelak. Wah, ilmu kepandaian wanita ini lebih lihai daripada puterinya, pikirnya dan diapun cepat menggunakan ilmu Bu-tek-cin-keng untuk menghadapinya.

   Memang hebat ilmu cambuk wanita itu. Cambuk itu menyambar-nyambar dan meledak-ledak seolah-olah cambuk itu menjadi banyak, menyerang keseluruh pusat jalan darah di tubuh Han Sin. Pemuda itu mengelak dan kadang menangkis, kulitnya telah dilindungi sinkang sehingga kebal terhadap lecutan cambuk dan diapun balas menyerang untuk merobohkan wanita itu. Terjadilah pertandingan yang seru sekali. Gerakan cambuk itu aneh dan sukar di duga, seperti juga gerakan tongkat di tangan Kui Ji tadi sehingga beberapa kali usaha Han Sin untuk menangkap ujung cambuk selalu gagal. Setiap kali tangannya meraih ujung cambuk itu tiba-tiba melejit dan menghindar.

   Suatu ketika, dengan tangan kirinya Han Sin berhasil menangkap ujung cambuk, akan tetapi tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang hitam panjang itu menyambar dan ujung gumpalan rambut itu menotok pergelangan tangan Han Sin yang menangkap ujung cambuknya.

   Han Sin merasa betapa lengannya tergetar hampir lumpuh dan cambuk itu sudah ditarik lepas dari tangannya. Dia terkejut sekali, tidak menyangka bahwa selain lihai dengan cambuknya wanita itupun lihai memainkan rambut kepalanya sebagai cambuk. Dia menjadi penasaran dan tidak mau mengalah lagi.

   Dengan cepat kaki tangannya membalas serangan wanita itu dengan pukulan dan tendangan yang amat kuat. Wanita itu mengeluarkan teriakan aneh karena terkejut dan iapun terdesak mundur. Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan Kui Ji dan gadis ini sudah memasuki pertandingan itu dan mengeroyok Han Sin dengan tongkat ularnya.

   Han Sin tersenyum "Bagus. Majulah kalian berdua, aku memang ingin menundukkan kalian berdua ibu dan anak yang sinting" katanya dan dia pun melayani pengeroyokan itu. Akan tetapi mudah saja berkata demikian, namun pada kenyataannya amatlahsukar mengalahkan ibu dan anak itu setelah mereka maju berdua. Ternyata ibu dan anak yang sama-sama gilanya ini dapat bekerjasama dengan baik sekali. Tiga macam senjata yaitu cambuk, rambut dan tongkat yang kacau balau gerakannya dan tak dapat dui duga perkembangannya itu mengeroyok Han Sin. Pemuda ini mengerahkan tenaga dan kelincahannya untuk berkelebat menhindar, kadang menangkis dan membalas dengan serangan pukulan dan tendangannya. Biarpun di keroyok dua oleh ibu dan anak yang lihai itu, perlahan-lahan Han Sin dapat mempelajari gereka mereka setelah dia mengetahui cara perkembangan serangan lawan yang serba terbalik itu. Dia yakin bahwa akhirnya dia akan mampu mengalahkan mereka.

   Akan tetapi mendadak terdengar suara parau membentak "Orang gila dari mana berani mengganggu istri dan anakku?" Dan ada hembusan angin pukulan yang kuat sekali menghantam kepala Han Sin mengelak, sebatang tongkat menyambar dengan dahsyat. Dia membalik dan melihat seseorang laki-laki berusia limapuluh tahun. Bertubuh sedang, pakaian berkembang-kembang, rambutnya juga riap-riapan dan mulutnya menyerengai seperti orang tertawa, Tentu saja Han Sin terkejut sekali dari sambaran tongkatnya tadi saja dia dapat menilai bahwa tingkat kepandaian laki-laki ini lebih tinggi dari pada tingkat wanita itu dan Kui Ji, akan tetapi dia tetapi sempat banyak berpikir karena mereka bertiga, ayah, ibu dan anak itu, sudah mengeroyoknya seperti tiga ekor serigala kelaparan.

   "Ayah, ayah. Jangan bunuh dia. Dia adalah suamiku" sambil memainkan tongkatnya Kui Ji berteriak kepada ayahnya.

   "Heh? Suamimu? Kenapa kalian keroyok?" Tanya si ayah sambil terus mendesak Han Sin dengan tongkatnya.

   "Dia menolak menjadi suami anak kita" jawab si isterinya.

   "Hah? Dia menolak menjadi suami Kui Ji? Ha-ha-ha-ha, tentu dia gila, gila sekali" si ayah lalu tertawa bergelak akan tetapi tongkatnya terus mendesak.

   Sekali ini Han Sin benar-benar terdesak. Biarpun dia mendapat kenyataan bahwa tiga orang itu tidak pernah melakukan serangan untuk membunuhnya, akan tetapi mereka itu menggunakan senjata mereka untuk menotok jalan darahnya dan ternyata totokan mereka itu lihai sekali dan tidak mungkin untuk melindungi semua jalan darah ditubuhnya dengan sin-kangnya. Dia menjadi bingung. Kalau dia mau menggunakan pukulan-pukulan yang hebat dari Bu-tek-cin-keng, mungkin saja dia akan mampu merobohkan mereka.

   Akan tetapi kalau hal itu dia lakukan, boleh jadi dia akan memukul mati kepada mereka dan hal ini sama sekali tidak dia kehendaki. Tiga orang itu adalah orang-orang sinting, bukan orang jahat. Dan agaknya biarpun gila, tiga orang itu cerdik sekali. Mereka membentuk kepungan segitiga yang menutup semua jalan keluar, sehingga diapun tidak dapat meloloskan diri dari kepungan itu.

   Biarlah, pikirnya kemudian, biarkan mereka menawanku. Kalau ada kesempatan, dia masih dapat melarikan diri.

   Hanya itu jalan satu-satunya karena dia tidak tega menurunkan tangan maut membunuh mereka. Khirnya serangan hebat dari tiga orang itu secara berbarengan, membuat dia roboh tertotok dalam keadaan lemas.

   Melihat dia roboh, tiga orang itu tertawa-tawa sambil menari-nari mengelilinginya. Han Sin merasa ngeri.

   "Horeee, suamiku tertangkap. Dia akan menjadi suamiku, tidak dapat menolak lagi" Kui Ji menarik-nari kegirangan.

   "Biar dia kubawa pulang" Gadis itu sudah membungkuk hendak memondong tubuh Han Sin yang tak berdaya itu.

   "Kui Ji, jangan bodoh" seru ayahnya" Mantu ini lihai sekali dan kalau dia sudah mampu bergerak, kau bukan tandingannya. Karena itu dia harus diikat dulu agar tidak dapat memberontak kalau sudah mampu bergerak"

   "Hik-hi-hi-hik, susah-susah amat sih" Cela istrinya "Beri saja racunku kepadanya dan dia akan menjadi penurut seperti seekor domba, hi-hi-hik"

   Ayah dan anak itu memandang girang "Haiiii, kenapa aku begini pelupa?" teriak ayah itu.

   "Cepat keluarkan racun itu dan berikan kepadanya, Liu Si"

   Wanita yang dipanggil Liu Si itu segera mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya yang berkembang. Ia memang seorang ahli tentang racun dan ia memiliki racun yang disebut "Racun pelemas otot" Ia mengambil sebatang jarum, mengoleskan racun bubuk hitam itu kepada batang jarum, kemudian ia menusukkan jarum itu pada pangkal lengan Han Sin. Han Sin tidak mampu bergerak dan terpaksa dia hanya memandang ketika pangkal lengan kirinya ditusuk jarum.

   "Jangan bergerak, suamiku. Tahankan saja. Hanya sakit sedikit" Kui Ji menghibur sambil mengusap-ngusap dagu Han Sin seperti seorang ibu membujuk anaknya. Begitu jarum di tusukkan, Han Sin merasa sesuatu yang amat dingin memasuki tubuhnya melalui pangkal lengan itu.

   Dia menggigil dan rasa dingin itu menyusup tulang. Kui Ji masih terus membelainya. Jarum di cabut kembali dan wanita itu terkekeh.

   "Hik-hik-hik-hik, ia akan kehilangan tenaganya dan ia akan menjadi penurut, tidak akan dapat memberontak lagi"

   "Kau sudah yakin benar, Liu Si?" suaminya bertanya.

   Wanita itu tiba-tiba melotot "Kau, tidak percaya akan kemampuan racunku?" apakah kau ingin merasakannya sendiri?" Ia mengancam dengan jarumnya.

   "Ah, tidak, jangan. Aku hanya khawatir pemuda ini memberontak dan sukar bagi kita untuk menundukkannya kembali"

   "Hemmm, sekarang juga dapat dibuktikan" Liu Si menepuk punggung Han Sin dua kali dan pemuda ini merasa betapa darahnya mengalir normal dan dia dapat bergerak kembali. Akan tetapi ketika dia hendak mengerahkan tenaganya, dia terkejut. Otot-otot ditubuhnya tidak dapat terisi tenaga sin-kang dan dia hanya dapat bergerak dengan tenaga biasa saja. Otot-otot itu seperti dalam keadaan lesu dan tidak dapat menerima hawa sin-kang yang disalurkannya.

   "Hik-hik-hik, percuma saja. Kau mencoba untuk menyalurkan sin-kangmu, Han Sin"

   "Ha-ha-ha-ha, kau sudah berjodoh dengan puteri kami, orang muda"

   "Ayah, namanya Cian Han Sin, kelak anak kami akan bermarga Cian" kata Kui Ji tanpa malu-malu lagi.

   "Ha-ha-ha-ha, tentu saja. Sudah menjadi peraturan nenek moyang kita yang tidak boleh di langgar bahwa seseorang anak menggunakan marga ayahnya.

   "Han Sin, Karena kau sudah menjadi mantuku, maka menurut peraturan sejak jaman dahulu, kau harus memberi hormat kepada aku dan istriku dengan berlutut. Hayo lakukan, kau tidak akan menyesal menjadi mantu Kui Mo, ha-ha-ha-ha"

   Han Sin merasa tertarik sekali. Dua kali sudah orang gila ini menekankan soal peraturan nenek moyang yang harus di taati. Agaknya ini merupakan titik kelemahannya, pikirnya maka hal itu akan di cobanya.

   "Benar sekali, paman akan tetapi menurut peraturan nenek moyang kita sejak jaman dahulu yang tidak boleh dilanggar, pemberian hormat itu hanya dilakukan di waktu sepasang pengantin dipertemukan, jadi bukan sekarang. Kalau sekarang dilakukan, ini berarti melanggar peraturan nenek moyang"

   Kui Mo tertegun, melongo, lalu tertawa "Ha-ha-ha-ha, kau benar. Aku sampai lupa, ha-ha-ha. Baik, dilakukan nanti setelah kedua pengantin dipertemukan"

   Han Sin merasa girang, ternyata akalnya berhasil baik, maka dia lalu berkata lagi "Menurut adat istiadat, sungguh tidak pantas kalau seorang mantu dibiarkan setengah telanjang seperti ini. Hal itu akan mencemarkan nama baik mertuanya. Maka saya harap agar buntalan pakaianku yang disimpan calon istriku diberikan kepadaku agar saya dapat memakai pakaian yang pantas "

   Kui Mo memandang kepada puterinya "Kui Ji, apakah pakaian suami mu kau simpan?"

   "Buntalan itu adalah emas kawinnya, ayah"

   "Emas kawinku hanya sekantung emas itu, dan pakaian itu adalah pakaian untukku sendiri, adik Kui Ji yang baik" Kata Han Sin dengan suara merayu. Senang hati Kui Ji di sebut adik yang baik, maka ia lalu tertawa dan berloncatan pergi. Tak lama kemudian ia sudah kembali membawa buntalan itu dan membukanya didepan semua orang.

   Ketika mengambil kantung emas, Kui Ji bersorak "Horeeee, ini emas kawinku. Banyak ya bu?"

   "Hemmmm, dahulu emas kawin yang diberikan ayahmu kepadaku, tidak sebanyak itu"

   Sementara itu Han Sin mengambil pakaiannya dan mengenakan pakaiannya sendiri. Agar tidak bertelanjang lagi, dia memakai pakaiannya di luar celana berkembang itu.

   "Bagus, kau gagah memakai pakaian itu. Pantas menjadi mantuku" Kata Kui Mo.
"Dan sekarang, mari kita semua pulang. Pesta pernikahan harus dirayakan dengan meriah"

   Biarpun hatinya mendongkol dan juga khawatir, Han Sin terpaksa ikut rombongan keluarga gila itu mendaki sebuah bukit yang penuh hutan. Melihat keadaan dirinya, untuk sementara ini terpaksa dia harus menurut segala kemauan mereka, akan tetapi dia masih memiliki "senjata" yang ampuh, yaitu kepatuhan Kui Mo akan adat istiadat nenek moyang.

   Dan senjata itu akan dapat dipakainya untuk mengendalikan mereka, setidaknya untuk sementara waktu. Dia tidak tahu berapa lamanya racun dingin itu akan mempengaruhi tubuhnya.

   ***

   Rumah itu besar akan tetapi sederhana sekali, Terbuat daripada bambu dan kayu. Ketika Han Sin diajak oleh keluarga gila itu memasuki rumah, dia sudah menyusun rencana siasatnya.

   Didalam rumah terdapat pula meja kursi yang kasar, agaknya buatan mereka sendiri. Akan tetapi pada dinding bambu itu tergantung lukisan-lukisan indah dan sajak-sajak pasangan yang di tulis oleh penyair-penyair terkenal. Han Sin merasa heran sekali. Dilihat dari sajak dan lukisan itu, pantasnya keluarga itu adalah keluarga bangsawan yang berdiam disebuah gedung. Sajak dan lukisan seperti itu memang sepatutnya tergantung di dinding rumah gedung.

   "Nah, Inilah rumah kami, juga kini menjadi rumahmu, mantuku" kata Kui Mo sambil tertawa-tawa senang" Kita akan segera melangsungkan pernikahan mu dengan Kui Ji"

   Han Sin bangkit berdiri dari duduknya dan memberi hormat, sikapnya seperti seorang sastrawan yang patuh terhadap adat istiadat" Calon mertuaku, harap diketahui bahwa baru beberapa bulan saya kematian ayah kandung saya, menurut adat istiadat nenek moyang kita, seorang anak yang kematian ayahnya, tidak boleh melangsungkan pernikahan sebelem berkabung sedikitnya satu tahun. Apakah paman calon mertua berani melanggar pantangan adat istiadat itu?"

   Mendengar ini, Kui Mo terbelalak "Ah, tentu saja tidak boleh. Berapa lama lagi perkabungan selesai?" tanyanya sambil memandang pakaian Han Sin yang serba putih. Han Sin memang sengaja memilih pakaian putih ketika berpakaian tadi, karena siasat ini sudah mulai disusunnya.

   "Kurang tiga bulan lagi. Dan pula menurut adat istiadat nenek moyang kita, sebuah pesta pernikahan merupakan ukuran dari derajat dan martabat orang tua pengantin. Kalau pernikahan di langsungkan ditempat sunyi ini, tanpa ada tamunya, tanpa ada keramaian yang mewah, apakah hal itu tidak akan merendahkan martabat paman calon mertua? Saya kira sambil menunggu tiga bulan lewat, paman dapat mencari tempat yang lebih sesuai untuk mengangkat derajat paman calon mertua"

   

Sepasang Naga Lembah Iblis Eps 9 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 6 Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 3

Cari Blog Ini