Sepasang Naga Lembah Iblis 9
Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
Lai Seng menghela napas panjang.
"Ahhh, anak buahmu telah salah sangka. Gadis itu sama sekali bukan Ji Goat, melainkan murid Thian-li-pang!".
"Ahhh....! Kenapa engkau tidak mengetahuinya semalam?".
"Bagaimana aku bisa tahu? Keadaannya gelap, mana dapat membedakan antara ia dengan Ji Goat yang juga belum pernah aku mendekatinya?".
"Celaka, kita mendapatkan musuh baru, dan Thian-li-pang tidak boleh di buat main-main!" seru Kwi Hwa.
"Jangan khawatir. Aku telah mengalihkan permusuhan mereka itu kepada musuh kita, kepada Hek I Kaipang. Aku membuat ia menduga bahwa yang memperkosanya adalah Yang Cien, sahabat para pimpinan Hek I Kaipang."
"Dan ia percaya?".
"Tentu saja. Dalam keadaan setengah sadar itu, mana ia mengenal siapa yang telah melakukannya? Ia marah dan kini sudah pergi mencari orang yang bernama Yang Cien. Kita bahkan untung, dapat mengadu domba antara Thian-li-pang dan Hek I Kaipang."
"Bagus sekali. Engkau memang pandai, suamiku! Padahal, Thian-li-pang juga perkumpulan yang terkenal keras dan bersikap tidak bersahabat terhadap pemerintah, sama dengan Hek I Kaipang."
"Benar, dan kalau kita dapat mengadu domba di antara mereka, itu merupakan keuntungan besar bagi pemerintah."
Suami isteri ini lalu meninggalkan tempat itu dengan hati senang dan terutama sekali Lai Seng tidak jadi kecewa. Pertama, dia telah bersenang-senang semalam, kedua, dia telah berhasil mengadu domba antara Hek I Kaipang dan Thian Li Pang.
Akauw terombang-ambing di dalam perahunya. Dia merasa tidak berdaya dengan dayungnya karena ombak semakin membesar. Sebetulnya, tukang-tukang perahu yang menjual sebuah perahu kecil kepadanya sudah mengatakan bahwa Pulau Naga tidak mudah di datangi dengan perahu kecil yang hanya di dayung karena seringkali di situ terjadi badai dan ombaknya besar. Akan tetapi dengan semangat bernyala-nyala ingin mendapatkan kembali Hek-liong Po-kiam, Akauw yang pemberani itu tidak mundur. Setelah tidak ada tukang perahu yang berani mengantarnya, bukan hanya takut badai akan tetapi juga takut karena di perairan itu terkenal adanya bajak laut yang ganas, Akauw lalu mendayung sendiri perahunya dengan penuh semangat Tenaganya besar dan perahunya meluncur cepat ke tengah samudera, ke arah Pulau Naga yang hanya nampak seperti titik hitam kecil dari pantai, di antara titik-titik hitam kecil lain. Ternyata daerah itu merupakan gugusan pulau-pulau kecil dan satu di antaranya adalah Pulau Naga yang menjadi tempat tinggal Hek-liong-ong Poa Yok Su.
Kini, di serang badai dengan ombak-ombak besar, Akauw mulai merasa pening. Biarpun dia memiliki tubuh yang kuat, akan tetapi dia tidak biasa dengan kehidupan di laut, maka begitu di serang badai, dia menjadi mabok laut dan merasa mual lalu muntah-muntah.
Kini dia tidak lagi dapat menguasai perahunya. Padahal Pulau Naga sudah mulai kelihatan sebagai benda hitam yang besar,bukan lagi titik hitam. Perahunya terbawa ombak dan dia tidak lagi dapat mengarahkan perahunya ke Pulau Naga. Dayungnya sama sekali tidak ada artinya lagi dalam menghadapi gelombang dan terpaksa dia membiarkan perahunya di bawa ombak. Dia merasa betapa dirinya kecil sekali, kecil tidak ada artinya di tengan gelombang lautan yang dahsyat itu. Segala macam kepandaian, kekuatan dan pengetahuannya seolah lenyap di telan gelombang dan dia menjadi seorang mahluk yang tidak berdaya dan hanya dapat menyerahkan nasibnya ke Tangan Yang Maha Kuasa, yang menciptakan gelombang lautan itu.
Dalam keadaan setengah pingsan karena mabok laut, akhirnya perahu yang di tumpanginya dilemparkan ombak dan terdampar ke sebuah pulau! Akauw berusaha keluar sebelum perahunya di sambar dan di seret ombak lagi. Dia berjalan terhuyung-huyung di atas pasir danakhirnya dengan lemas dia jatuh dan rebah miring dalam keadaan pingsan di atas pasir yang panas.
Dia tidak sadar ketika banyak tangan yang berkulit putih halus namun berotot kuat mengangkatnya dan menggotongnya pergi dari pantai menuju ke pedalaman pulau.
Ketika Akauw siumanan, dia mendapat dirinya berada dalam sebuah ruangan yang penuh wanita. Wanita-wanita itu berusia antara dua puluh sampai empatpuluh tahun, rata-rata bertubuh kuat dan berpakaian seperti wanita kangouw dan diantara mereka terdapat juga yang berwajah manis. Dan yang duduk di dipan, dan agaknya sedang merawatnya adalah seorang wanita berusia kurang lebih limapuluh tahun, memegang sebuah mangkok berisi air yang berbau sedap obat.
"Minumlah ini, orang muda, engkau akan sehat kembali," kata wanita itu dengan lembut.
Karena dapat menduga bahwa wanita tua itu menolongnya, Akauw tidak membantah. Dia bangkit duduk dan baru dia mengetahui bahwa tubuhnya telah memakai pakaian kering, bukan pakaiannya sendiri. Dia bergidik. Siapa yang telah menggantikan pakaiannya? Perempuan-perempuan itu? Dan heran dia mengapa di antara hamper dua puluh orang wanita itu dia tidak melihat seorangpun pria. Dia minum cairan obat itu lalu bertanya.
"Bibi, aku berada dimana dan siapakah kalian?".
"Orang muda yang gagah, engkau berada di Pulau Hiu dan kami semua adalah anak buah dari siocia".
"Siaocia adalah yang memimpin kami di Pulau Hiu ini, Engkau akan melihatnya sendiri nanti.
"Keluar dari ruangan ini, semuanya!" terdengar bentakan halus dan para wanita itu sambil terkekeh genit meninggalkan ruangan itu, hanya tinggal wanita setengah tua yang merawat Akauw saja yang tinggal dan wanita inipun cepat-cepat bangkit berdiri ketika semua wanita sudah keluar dan ada seorang wanita muda memasuki ruangan itu. Begitu ia masuk, tercium bau yang harum sekali dan Akauw segera membalikkan tubuh untuk memandangnya. Dan dia ternganga heran. Wanita itu sungguh tidak pantas berada di tengah-tengah para wanita yang kasar tadi. Wanita ini masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya, dan wajahnya cantik jelita, pakaiannya indah dan tidak nampak berotot seperti para wanita tadi, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan di situlah terletak kewibawaannya dan menunjukkan bahwa ia bukan seorang biasa dan patut menjadi pemimpin.
"Bagaimana keadaanya, bibi?" Tanya wanita itu, suaranya lembut namun di balik kelembutan itu terdapat ketegasan sikap yang membaja.
"Keadaannya sudah baik, Siocia."
"Kalau begitu, engkau keluarlah, bibi dan tinggalkan kami".
"Baik, siocia," wanita setengah tua itu lalu pergi dari ruangan itu dan suasana menjadi sunyi. Agaknya para wanita tadi tidak ada yang berani mendekati ruangan itu setelah di suruh pergi, dan ini menunjukkan pula betapa besar wibawa gadis ini.
Mereka saling pandang dan Akauw melihat sinar kagum terpancar dari sepasang mata yang indah tajam itu.
"Siapa namamu?" Tanya wanita itu, nada suaranya adalah nada orang yang biasa memerintah dan menuntut keterangan.
"Namaku Cian Kauw Cu," jawab Akauw dengan tegas pula. Dia sudah sembuh dan tidak pusing lagi, hanya perutnya terasa amat lapar. Dia melihat bahwa buntalan pakaiannya, yang juga ada sekantung emasnya, berada di situ pula, di atas meja.
"Darimana engkau datang?".
"Dari pantai seberang sana."
"Hendak kemana?"
Akauw merasa seperti seorang pesakitan menghadapi hakim, akan tetapi pertanyaan itu dijawabnya juga.
"Aku hendak pergi ke Pulau Naga."
Wanita itu mengerutkan alisnya.
"Mau apa ke Pulau Naga?"
"Mau mencari Hek-liong-ong."
Kerut di alis itu makin mendalam.
"Apa? Engkau mencari Hek-liong-ong? Mau apa mencarinya?".
"Mau minta kembali pedangku yang di rampasnya dariku."
Kini sepasang mata itu memandangnya dengan mencorong penuh selidik.
"Hek-liong-ong merampas pedangmu dan kini engkau hendak menemuinya untuk minta kembali pedangmu itu?".
"Benar."
"Kalau dia tidak mau mengembalikan?"
"Akan ku paksa dia mengembalikan pedangku."
"Kau berani melawannya?"
"Kenapa mesti takut? Aku tidak bersalah."
Kini gadis itu terbelalak dan matanya yang mencorong itu memandangi Akauw dari kepala sampai kaki.
"Hendak ku lihat sampai dimana kepandaianmu maka engkau berani hendak melawan Hek-liong-ong!".
Berkata demikian, tiba-tiba gadis cantik itu sudah menyerang Akauw dengan sebuah tamparan kilat yang kuat sekali sehingga mengeluarkan angina pukulan besiutan. Akauw tidak terkejut dan dia sudah mengelak sambil melangkah mundur. Ketika gadis itu mengejar dan menyerangnya lagi, diapun menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Duukkk!" keduanya terdorong ke belakang oleh beradunya kedua lengan itu. Gadis itu mengeluarkan seruan heran dan kini dengan cepat sekali ia mengirim serangan bertubi-tubi.
Akauw dapat menangkap pergelangan tangan kanan gadisi itu.
"Tahan! Aku tidak ingin berkelahi dengan orang yang telah menyelamatkan aku dari air laut."
"Siapa berkelahi? Aku ingin mengujimu!" kata gadis itu dan tangan kirinya menyambar kearah dada Akauw yang terpaksa melepaskan pegangannya dan kembali mereka sudah saling serang karena kini Akauw juga membalas serangan gadis itu. Dia dapat merasakan bahwa gadis itu lihai sekali, maka diapun harus mengeluarkan kepandaiannya. Kalau gadis itu hendak mengujinya, dia harus tidak sampai kalah. Kegesitan gadis itu mengingatkan dia akan Ji Goat, gadis yang di cintainya. Diapun tidak tega untuk melukai, maka dalam pertandingan itu, dia lebih banyak mengalah.
Betapapun juga, karena makin lama serangan gadis itu semakin berbahaya, Akauw lalu mengeluarkan jurus-jurus yang dipelajarinya dari dalam gua, yang dia tidak tahu adalah Bu-tek Cin-keng. Dan benar saja, begitu dia mainkan ilmu ini, gadis itu terdesak hebat dan akhirnya meloncat ke belakang karena hamper saja pundaknya terkena tamparan tangan yang kuat dan besar dari Akauw.
"Tahan!" katanya sambil memandang kagum.
"Maaf, nona. Ilmu kepandaianmu hebat, membuat aku kagum."
"Cian Kauw Cu, ilmu silatmu tangguh, akan tetapi ku kira masih tidak akan dapat menandingi ilmu silat dari guruku."
"Gurumu?".
"Ya, Guruku adalah Hek-liong-ong Poa Yok Su."
"Ahhh...""!! "Akauw terkejut dan menjadi curiga dan waspada.
"Akan tetapi kalau kita berdua menghadapinya, kurasa kita akan mampu mengalahkannya. Apalagi kita bersenjata."
"Eehh! Engkau mengaku muridnya dan sekarang hendak menghadapinya sebagai musuh? Apa artinya ini, nona?".
"Duduklah, dan aku akan memberi keterangan sejelasnya." Mereka duduk menghadapi meja dan gadis itu bertepuk tangan memanggil anak buahnya. Dua orang anak buahnya masuk dan ia memerintahkan untuk mengambilkan minuman.
"Ambilkan arak yang baik," katanya kepada dua orang perempuan yang menjadi anak buahnya itu.
"Jangan, nona. Aku tidak pernah minum arak," kata Akauw cepat.
"Ah, kalau begitu ambilkan air the untuk kami."
Setelah anak buah itu datang mengantarkan the dan di suruh pergi lagi, gadis itu lalu mulai bercerita.
"Namaku Cia Bi Kiok dan sejak kecil aku telah menjadi murid Hek-liong-ong. Aku telah tidak mempunyai orang tua lagi, maka guruku itu juga sebagai pengganti orang tuaku. Tadinya aku tinggal di Pulau Naga bersama suhu, akan tetapi dua tahun yang lalu, ketika isteri suhu meninggal dunia, suhu hendak mengambil aku sebagai pengganti isterinya."
"Hemmm....
"Akauw terkejut akan tetapi tidak berkata apa-apa." Aku tidak mau karena dia sudah ku anggap sebagai ayahku sendiri. Dia marah-marah dan aku di usirnya. Aku melarikan diri ke pulau ini dan membentuk kelompok yang terdiri dari wanita semua, ku latih ilmu silat dan aku menjadi bajak laut di sini."
"Ahhhh.....!"
"Tidak perlu terkejut dan heran. Kalau tidak menjadi bajak laut, habis kami sebanyak lima puluh orang wanita mau bekerja apa? Pulau ini gersang, tidak dapat di tanami apapun untuk menjadi nelayan, kami kurang keahlian. Juga, aku perlu dengan kekuatan para anak buahku untuk menahan serangan yang kadang dilakukan oleh suhu ke sini."
"Hek-liong-ong menyerang ke sini?".
"Ya, kadang dia masih penasaran dan hendak memaksa aku untuk menjadi isterinya. Akan tetapi kalau dia datang, dia menghadapi kami lima puluh orang dengan anak panah kami dapat mengusirnya sebelum dia sempat mendarat."
"Lalu sekarang engkau hendak mengajak aku untuk mengeroyoknya, mengeroyok suhumu sendiri?".
"Benar. Dan lebih dari itu, Cian Kauw Cu, aku juga telah memutuskan untuk mengambil engkau menjadi suamiku!".
"Hahhh....? Akauw merasa heran bukan main. Mana ada wanita menentukan pilihannya atas diri seorang suami?
"Tidak perlu heran, Cian Kauw Cu. Untuk menolak kehendak suhu agar tidak melanjutkan paksaannya, terpaksa aku harus mendapatkan seorang suami yang cocok. Kalau engkau sudah menjadi suamiku, suhu tentu tidak akan memaksaku lagi dan andaikata dia masih hendak memaksaku lagi, kita berdua dapat melawannya dan mengalahkannya. Sudah banyak pemuda yang ingin menikah denganku, akan tetapi aku tidak merasa cocok dan baru sekarang aku bertemu denganmu. Cian Kauw Cu, maukah engkau menjadi suamiku? Kau akan menjadi raja di pulau ini dan kita dapat berbahagia di sini."
"Kalau aku tidak mau?".
"Hemmm, hanya laki-laki gila yang menolak untuk menjadi suamiku dan engkau akan menjadi tawanan kami. Mungkin kami kelak akan membunuhmu." Suara yang tadinya lembut itu kini berubah menjadi suara yang mendesis mengandung ancaman yang mengerikan. Akauw dapat merasakan bahwa di balik kelembutan ini tersembunyi watak yang kejam. Pantas kalau gadis ini menjadi anak asuhan dan murid seorang datuk sesat!.
"Bagaimana, Cian Kauw Cu? Engkau memilih menjadi raja di pulau ini atau menjadi tawanan yang akan mati konyol?".
"Nona Cia Bi Kiok, urusan perjodohan adalah urusan penting, hanya satu kali seumur hidup. Karena itu harap jangan mendesakku untuk terburu-buru. Berilah aku waktu untuk memikirkannya."
"Baik, akan ku beri waktu sehari semalam untukmu. Besok pagi engkau sudah harus dapat memberi jawaban yang pasti," setelah berkata demikian, Cia Bi Kiok kembali bertepuk tangan. Sekali ini ia bertepuk tangan tiga kali dan yang muncul adalah wanita yang tadi merawat Akauw bersama tujuh orang anak buah yang lain.
"Jaga dia di sini, jangan sampai dia melarikan diri. Kalau dia pergi, pukul tanda bahaya," pesan pemimpin bajak laut wanita itu dan ia lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
Akauw lalu pergi berbaring lagi di pembaringan yang tadi dan dia tidak memperdulikan delapan orang wanita yang berjaga-jaga di situ. Otaknya bekerja keras. Jelas dia tidak mau menjadi suami gadis tadi. Biarpun cantik dan kadang dapat bersikap lembut, namun gadis itu sebenarnya memiliki watak yang keji. Tiba-tiba dia mendengar suara rebut-ribut diluar.
"Ada kejadian apakah?" tanyanya kepada wanita yang tadi merawatnya.
"Ah, tidak apa-apa, hanya memberi hukuman kepada para pelaut yang tertawan karena melakukan perlawanan ketika di bajak," kata wanita setengah tua itu, suaranya biasa saja seolah yang di ceritakan itu soal kecil yang sudah seringkali terjadi di situ.
"Apa yang dilakukan terhadap mereka?" tanyanya lagi.
"Engkau hendak menonton? Mari kami antar," kata wanita setengah tua itu dengan tenang.
Akauw mengangguk dan diapun di antar keluar oleh delapan orang wanita itu. Di luar Akauw melihat empat orang laki-laki di belenggu tangannya ke belakang dan mereka di giring oleh belasan orang anggota bajak laut wanita itu menuju ke bukit karang. Karena ingin tahu dia lalu mengikuti dari belakang, dan tetap di kawal oleh delapan orang wanita itu.
Mereka telah tiba di tepi bukit karang, di tebing yang terjal. Setelah tiba di sana, para wanita itu lalu membabat tali yang membelenggu tangan ke empat orang itu dengan golok sehingga tali-tali itu putus dan tangan mereka bebas. Akan tetapi setelah itu mereka lalu mendorong ke bawah tebing.
"Nah, pergilah kalian berempat. Kalian bebas!" Dan para wanita itu tertawa-tawa.
Segera terdengar jerit-jerit memilukan dari bawah tebing. Akauw ingin tahu dan menjenguk ke bawah. Dia melihat pemandangan yang mengerikan sekali. Empat orang itu dikeroyok oleh ikan-ikan hiu sebesar paha orang dan betapapun mereka meronta dan hendak berenang menjauh, tetap saja mereka terkejar dan segera mereka menjadi rebutan.
Air menjadi merah dan teriakan-teriakan itupun lenyap, berikut tubuh mereka yang di tarik ke bawah oleh ikan-ikan liar itu. Kiranya itulah sebabnya maka pulau ini dinamakan Pulau Hiu, karena banyak hiu nya itulah. Akauw bergidik. Akan tetapi diapun melihat hal yang menarik. Tebing itu di tumbuhi pohon yang akarnya nampak menonjol di antara tebing karang. Biarpun bagi orang lain tebing ini tidak mungkin di panjat, akan tetapi bagi dia yang sudah biasa dengan panjat memanjat, tebing itu akan dapat dia turuni tanpa mengandung bahaya terlalu besar. Kalau dia dapat melarikan diri dari tebing ini, tentu mereka akan dapat mengejar dan mengira dia mati pula.
Malam itu gelap, namun udara bersih, langit biru dan nampak jutaan bintang yang memberi sinar remang-remang. Akauw memandang ke arah delapan orang wanita yang melakukan penjagaan dengan ketat. Dia baru saja di beri makan dan tubuhnya terasa kuat dan sehat. Inilah saatnya untuk melarikan diri, pikirnya. Dia bangkit berdiri dan delapan orang wanita itu ikut pula berdiri.
"Jangan mencoba untuk melarikan diri," kata wanita setengah tua itu.
"Engkau tidak akan dapat lolos dari pulau ini dan kalau siocia mendengar engkau melarikan diri, tentu siocia akan marah sekali dan mungkin engkau akan di jatuhi hukuman seperti yang dilakukan kepada empat orang laki-laki tadi."
"Apa kesalahan empat orang tadi," tanyanya.
"Kami membajak sebuah perahu dan mereka berempat melakukan perlawanan, maka kami tawan dan bawa ke pulau ini. Adapun yang lain, yang tidak melawan, kami biarkan pergi berlayar."
"Apakah Siocia tidak minta mereka menjadi suaminya?".
Wanita setengah tua itu bangkit dan marah sekali.
"Tutup mulutmu! Kau kira siocia itu orang apa? Siocia hanya mau menikah dengan laki-laki yang gagah perkasa, bukan dengan sembarangan lelaki seperti mereka tadi!".
"Maaf....!" kata Akauw dan tiba-tiba saja dia menyerang wanita setengah tua itu. Sekali tampar saja wanita yang tidak pernah menyangka itu terpelanting. Akauw melanjutkan serangannya dan tujuh orang wanita itupun semua terpelanting roboh dan dia cepat melarikan diri keluar dari ruangan itu.
Para wanita itu bangkit, ada yang mengejar dan ada yang memukul tanda bahaya sehingga sebentar saja di Pulau itu terjadi kesibukan yang hebat. Semua anggotanya yang berjumlah lima puluh orang itu berlarian keluar. Cia Bi Kiok juga sudah keluar membawa pedangnya dan ketika mendengar bahwa tawanan nya lari iapun ikut pula mengejar.
Akauw sudah lebih dulu tiba di tebing dan cepat dia merayap ke bawah. Hanya berpegang pada akar dan batu menonjol, di dalam kegelapan malam itu. Akan tetapi jari-jari tangannya sudah terlatih, bahkan jari-jari tangan itu seperti dapat melihat saja. Dia merayap dengan cepatnya sehingga ketika para pengejarnya tiba di tepi tebing, dia sudah merayap sampai ke bawah dan dekat dengan air, tidak nampak lagi dari atas.
"Dia sudah hilang."
"Akan tetapi tadi jelas dia berdiri di sini."
"Akan tetapi tidak terdengar teriakannya."
"Dia tentu sudah dimakan ikan hiu."
"Tapi mana teriakannya? Tak mungkin disambar hiu tidak menjerit."
Cia Bi Kiok berkata.
"Sudahlah, jangan rebut. Dia memang bukan orang biasa. Agaknya pantang baginya untuk menjerit-jerit. Dia seorang laki-laki sejati. Sayang dia harus mati seperti itu."
Akan tetapi Bi Kiok memerintahkan anak buahnya untuk mencari-cari di lain tempat malam itu dan ia sendiri lalu kembali ke tempat tinggalnya dengan hati kecewa. Sebetulnya, ia suka sekali kepada Cian Kauw Cu yang di anggapnya seorang laki-laki sejati, yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula. Dengan suami seperti itu, ia tidak takut lagi menghadapi gurunya dan ia akan dapat melang melintang sebagai bajak laut di perairan itu, di sepanjang gugusan pulau-pulau itu sampai ke daratan.
Akauw bergantung pada akar pohon sampai menjelang pagi. Setelah itu, dengan merayap dia dapat keluar dari tebing itu melalui jalan samping dan dari jauh melihat banyak perahu yang di tinggalkan. Dengan hati-hati, dalam kegelapan fajar, dia menghampiri sebuah perahu dan menariknya ke air lalu mendayungnya. Para wanita itu tidak ada yang mengira bahwa buronan mereka masih hidup, apalagi dapat mencuri perahu maka tidak ada yang mencari ke situ.
Setelah matahari naik tinggi, Akauw sudah jauh meninggalkan pulau itu dan tak seorangpun di antara wanita itu yang tahu, bahkan tidak ada yang merasa kehilangan perahu karena banyak nya perahu kecil di situ. Kelak, kalau pemiliknya akan menggunakan perahunya, mungkin baru akan ketahuan bahwa perahu itu lenyap.
Dari bentuk pulaunya, Akauw dapat mengetahui bahwa yang kini di hampiri perahunya adalah Pulau Naga. Bentuk pulau itu memanjang dan di bagian kiri seperti bentuk kepala naga atau kepala raksasa sedangkan ekornya memanjang dan makin mengecil. Nampaknya pulai itu kosong karena setelah perahunya mendekat dan menempel di daratan, tidak nampak seorangpun manusia. Akauw merasa heran. Kelirukah dia? Apakah dia terdampar di pulau yang lain lagi? Nampaknya pulau ini tidak berpenghuni.
Akan tetapi baru saja mengikatkan perahunya dan melangkah belum ada seratus langkah, tiba-tiba bermunculan belasan orang dari balik semak belukar dan pohon-pohon. Pulau ini tidak gersang seperti Pulau Hiu, terdapat banyak tanaman yang bukan liar, melainikan di tanam orang. Melihat mereka bermunculan itu, Akauw segera berhenti melangkah dan waspada, siap menghadapi segala kemungkinan.
Akan tetapi, orang-orang itu tidak mengepung dan mengeroyoknya. Seorang yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, melangkah maju dan menegurnya.
"Orang muda, siapakah engkau? Ketahuilah bahwa tanpa ijin orang luar tidak boleh memasuki pulau kami ini,. Hayo cepat mengaku engkau siapa dan apa keperluanmu ke sini, atau cepat engkau tinggalkan pulau kami ini!".
"Sobat, apakah ini yang namanya Pulau Naga?" Akauw bertanya.
"Benar, ini adalah Pulau Naga, pulau kami!".
"Dan apakah benar bahwa Hek-liong-ong tinggal di pulau ini?".
Mereka nampak mengerutkan alis mereka.
"Beliau adalah Majikan pulau ini, pemimpin kami!".
Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus sekali kalau begitu. Aku bernama Cian Kauw Cu dan aku sengaja datang ke pulau ini untuk mencari Hek-liong-ong karena aku mempunyai urusan yang penting sekali dengan dia."
"Kalau begitu, mari kami hadapkan engkau kepada majikan kami!" kata orang setengah tua itu dan Akauw lalu di giring oleh mereka menuju ke tengah pulau dimana terdapat semacam perkampungan dari beberapa puluh rumah yang kokoh. Agaknya Hek-liong-ong juga mempunyai anak buah seperti halnya Cia Bi Kiok, ketua Pulau Hiu itu. Akan tetapi anak buahnya tidak sebanyak anak buah Pulau Hiu, karena Akauw hanya melihat belasan orang itu saja dan ketika mereka tiba di perkampungan, dia melihat banyak wanita dan kanak-kanak, tentu keluarga dari para anggota gerombolan di Pulau Naga itu.
Hek-liong-ong, kakek raksasa hitam berusia enam puluh tahun itu tertawa bergelak dan juga terheran-heran melihat munculnya Akauw. Tadinya dia hamper lupa siapa pemuda yang menghadapnya itu. Baru dia teringat ketika Akauw mengaku siapa dirinya.
"Aku bernama Cian Kauw Cu dan aku datang untuk minta kembali Hek-liong Po-kiam yang dahulu kau rampas dari tanganku!" ucapan pemuda itu dikeluarkan dengan nada berani sekali, sedikitpun tidak nampak keraguan pada pandang mata itu. Hek-liong-ong adalah seorang datuk sesat yang menghargai kegagahan, maka sikap Akauw ini sungguh menimbulkan kekaguman di dalam hatinya. Dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, orang muda. Engkau datang untuk minta kembali pedangmu? Aku telah merampas pedang itu dengan kepandaian, apakah engkau juga hendak memintanya kembali mengandalkan kepandaianmu dan berani melawan aku?".
"Hek-liong-ong, pedang itu adalah pedangku. Karena dasar itulah aku datang memintanya kembali, karena pedang itu sudah menjadi hakku. Sungguh bukan merupakan perbuatan gagah darimu kalau engkau merampas benda yang menjadi hakku. Karena itu, kembalikan pedangku. Kalau engkau menghendaki aku mengambilnya dengan kepandaian, baik, akan ku lakukan itu!".
"Ha-ha-ha, orang muda, kepandaianmu masih terlalu jauh untuk dapat mengalahkan aku. Melawanku berarti mencari kematian. Apakah engkau tidak sayang kepada nyawamu?".
"Untuk mempertahankan apa yang menjadi hakku, aku tidak takut mati, Hek-liong-ong. Lebih baik mati dengan gagah daripada hidup sebagai pengecut!" Ucapan terakhir ini merupakan pelajaran yang diterimanya dari suhengnya!.
"Ha-ha-ha, belum pernah aku bertemu dengan orang senekat engkau. Engkau menggunakan perahu kecil untuk mencari aku di sini, itu sudah luar biasa. Dan engkau menantangku untuk mengadu kepandaian memperebutkan pedang, itu lebih luar biasa lagi. Engkau memiliki nyali naga! Kauw Cu, beranikah engkau menghadapi pengeroyokan lima belas orang pembantuku?".
"Sudah kukatakan, Hek-liong-ong, untuk mendapatkan kembali pedang yang menjadi hakku itu, aku tidak akan mundur melawan siapapun juga, termasuk pengeroyokan anak buahmu!".
"Ha-ha-ha, jangan tekebur, anak muda. Aku hendak menyuruh anak buahku yang lima belas orang mengeroyokmu untuk mengujinya, karena kalau aku yang maju, engkau bukanlah tandinganku. Nah, keluarkan senjatamu menghadapi pengeroyokan lima belas orang anak buahku!".
Akauw memperlihatkan dua tangan dan dua kakinya.
"Karena pedangku sudah kau rampas, maka senjataku tinggal kaki dan tangan inilah. Orang-orangmu boleh maju, aku tidak takut!".
Hek-liong-ong menjadi semakin kagum. Dia sendiri seorang pemberani, namun agaknya dia kalah nekat dibandingkan pemuda yang tinggi besar ini. Dia lalu berseru kepada lima belas orang pembantunya atau anak buahnya.
"
Kalian keroyok pemuda ini, akan tetapi karena dia bertangan kosong, kalian juga harus bertangan kosong. Robohkan dia dengan cara apa saja, asal tidak dengan senjata."
Lima belas orang itu tentu saja memandang ringan seorang pemuda seperti Akauw. Mereka adalah lima belas orang anak buah Pulau Naga yang sudah menerima latihan ilmu silat dari majikan mereka, rata-rata memiliki ketangguhan. Kini, mereka yang berjumlah lima belas orang di suruh mengeroyok seorang pemuda yang masih hijau? Akan tetapi karena itu merupakan perintah, mereka tidak berani membantah walaupun dalam hati merasa enggan untuk mengeroyok seorang pemuda karena perbuatan ini mereka anggap tidak gagah dan memalukan.
Kini mereka maju mengepung Akauw dalam ruangan yang luas itu. Sikap mereka seperti sekumpulan orang hendak menangkap seekor ayam yang terlepas, dengan kedua tangan di buka dan di kembangkan di depan tubuh mereka, tubuh agak membungkuk. Mereka agaknya hendak meringkus pemuda itu agar tidak berdaya lagi.
Akauw juga sudah siap-siaga. Dia berdiri biasa saja, namun seluruh urat syarafnya siap menegang. Bukan saja matanya yang waspada, juga pendengarannya karena dia di kepung dari depan belakang, kanan dan kiri.
Tiba-tiba dua orang menubruk dari belakang untuk meringkusnya, akan tetapi dengan sigapnya, dengan gerakan yang cepat seperti gerakan seekor kera, dia cepat menyelinap ke kiri dan tubrukan itu mengenai tempat kosong. Dari sebelah kiri dia di sambut dengan sebuah tamparan dan sebuah tendangan yang bermaksud merobohkannya. Akan tetapi kembali tubuhnya bergerak dan dua serangan itupun luput.
Kini, para pengeroyok itu menyadari bahwa pemuda ini memiliki gerakan yang cepat sekali. Mereka lalu menubruk bersama-sama dalam waktu yang hamper berbareng sehingga agaknya tidak ada lagi jalan keluar bagi Akauw. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh Akauw meluncur ke atas, dengan cepatnya dan ketika dia membalik, tubuhnya sudah menukik, dua tangannya bergerak dan dua orang pengeroyok terpelanting!.
Para pengeroyok mulai penasaran dan marah. Kini mereka semua menyerang dengan pukulan, bukan lagi hanya sekedar ingin meringkus melainkan ingin merobohkan pemuda yang bandel ini. Akan tetapi, kini Akauw melayaninya, menangkis dan balas memukul. Dia menerima beberapa kali pukulan, namun tubuhnya yang kuat dank eras itu agaknya tidak merasakan nya, sebaliknya setiap kali pukulan atau tamparannya mengenai tubuh lawan, lawan itu pasti terpelanting keras! Akauw mengamuk, menggunakan ilmu silat monyet yang membuat tubuhnya berloncatan ke sana kemari dan kalau ada yang mengejarnya, maka pengejar itu dirobohkan dengan tendangan atau tamparan. Dalawn waktu tidak lama, lima belas orang itu sudah jatuh bangun! Tidak ada seorangpun yang tidak kebagian tamparan atau tendangan kaki Akauw.
Melihat amukan pemuda itu, Hek-liong-ong mengelus jenggotnya yang pendek. Dia semakin kagum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Cukup!" teriaknya melihat anak buahnya jatuh bangun di hajar oleh Akauw. Para anak buahnya berhenti menyerang dan mereka merasa malu karena dengan lima belas orang mereka tidak mampu mengalahkan pemuda itu. Hek-liong-ong memberi isyarat kepada mereka semua untuk keluar dari ruangan itu dan kini tinggal dia dan Akauw sendiri yang tinggal.
"Kauw Cu, aku melihat engkau memang gagah perkasa dan berbakat baik sekali. Aku ingin mengambilmu sebagai murid, bagaimana pendapatmu?".
Akauw mengerutkan alisnya.
"Hek lion gong, aku datang untuk minta kembali pedangku, bukan untuk menjadi muridmu. Kembalikan pedang itu kepadaku dan aku akan meninggalkan pulau ini."
"Hemmm, tidak semudah itu, orang muda. Engkau memang telah mengalahkan lima belas orang pembantuku. Akan tetapi itu hanya merupakan ujian pertama saja. Kau lihat, ini pedangmu Hek-liong Po-kiam. Apa kira-kira akan dapat merampasnya dari tangangku?" Dia mengangkat pedang itu dengan sarungnya tinggi-tinggi di atas kepalanya.
"Ada dua jalan bagimu untuk dapat memperolehnya kembali. Pertama, engkau harus merampasnya dari tanganku, dan kedua, yang lebih mudah engkau harus menjadi muridku selama setahun. mana yang kau pilih?".
"Aku akan mencoba untuk merampasnya dari tanganmu, Hek-liong-ong!" kata Akauw dengan gagah.
"Bagus, engkau memang tidak pernah mau putus asa. Aku senang sekali melihat keberanian dan semangatmu yang besar. Nah, coba engkau rampas kembali pedang ini dari tanganku, Kauw Cu!".
Raksasa hitam itu turun dari kursinya dan berdiri di depan Akauw sambil mengacungkan pedangnya ke arah Akauw. Akauw lalu menyambar dengan tangannya untuk merampas, akan tetapi pedang itu sudah di tarik kembali. Akauw meloncat dengan gerakan yang cepat sekali, kedua tangannya menyambar-nyambar untuk merampas pedang itu. Kemanapun pedang itu di elakkan, selalu di kejar oleh tangannya untuk merampasnya. Akan tetapi sebuah dorongan telapak tangan mengenai pundaknya, membuatnya terjengkang dan jatuh bergulingan. Akauw meloncat bangun dan sekali ini dia tidak hendak merampas begitu saja. Dia maklum bahwa dengan cara demikian dia tidak akan berhasil malah akan terkena pukulan yang amat kuat. Dia lalu mulai bersilat dengan Bu-tek Cin-keng dan menyerang raksasa hitam itu dengan pukulan kilat.
Hek-liong-ong untuk kedua kalinya dibuat terkejut oleh serangan pemuda ini. Serangan itu demikian aneh gerakannya dan mendatangkan angina bersiutan. Dia mengelak dan membalas. Terjadilah serang menyerang antara mereka. Akan tetapi karena Akauw tidak memiliki tenaga sinking dari Bu-tek Cinkeng, maka serangannya itu tidak mengandung tenaga yang tepat sehingga selalu dapat tertangkis dan tak pernah dia berhasil merampas pedang. Bahkan berulang kali dia terkena hantaman tangan si raksasa hitam sehingga dia jatuh terjengkang dan terpelanting. Akan tetapi, setiap kali bangkit kembali dan menyerang dengan ganas. Melihat ini, kembali Hek-liong-ong merasa kagum dan senang. Bocah ini selain berbakat, juga memiliki semangat yang membaja. Dia memperkuat pukulannya dan membuat Akauw jatuh bangun dan babak belur. Akhirnya Akauw tidak mampu menyerang lagi, tubuhnya sakit-sakit dan lemas kehabisan tenaga. Namun, dia masih bangkit juga dan berdiri dengan lemas terengah-engah dan mandi keringat.
"Nah, kau lihat bahwa tidak mungkin engkau mendapatkan pedangmu kembali dengan kekerasan, Kauw Cu. Jadilah muridku dan engkau akan mendapatkan kembali pedangmu berikut ilmu pedang yang akan ku ajarkan kepadamu. Aku suka sekali mempunyai murid seperti engkau".
Kini Akauw yakin bahwa sampai matipun tidak akan dapat merampas pedang dan jalan satu-satunya hanya suka menjadi murid. Dan pula, setelah bertanding, dia tahu bahwa kakek ini memang lihai luar biasa, maka kalau menjadi muridnya, dia tidak akan rugi. Mendapatkan kembali pedang berikut ilmu baru yang hebat!.
Dia lalu menjatuhkan dirinya yang sudah lemas itu, berlutut dan memberi hormat." Suhu.....!".
Hek-liong-ong tertawa bergelak.
"Hua-ha-ha-ha, bagus, bagus sekali, muridku!" Dan dia lalu berteriak-teriak memanggil semua anak buahnya. Ketika mereka berserabutan masuk, dia segera mengumumkan.
"Lihat baik-baik, Cian Kauw Cu ini mulai sekarang menjadi muridku. Kalian harus bersikap baik kepadanya, bahkan kalian dapat memperoleh latihan ilmu silat darinya."
Semua pembantu itu memandang dengan wajah berseri dan mereka kelihatan girang sekali. Mereka sudah melihat betapa lihainya pemuda itu dan kalau pemuda itu mau melatih silat kepada mereka, tentu hal itu akan menguntungkan sekali.
Demikianlah, mulai hari itu Akauw tinggal di Pulau Naga dan dia menerima pelajaran ilmu pedang dari gurunya yang baru. Hek-liong-ong sengaja merangkai ilmu pedang yang disesuaikan dengan pedang pusaka itu dan di beri nama ilmu pedang Hek-liong-kiam-sut. Di ambil dari inti sari ilmu silatnya. Di waktu senggang, Akauw juga melatih ilmu silat kepada para anak buah pulau Naga.
Selain berlatih ilmu silat, seringkali Hek-liong-ong mengajak muridnya bercakap-cakap. Dia sudah mendengar akan riwayat Akauw yang aneh dan dia mendengar pula dari Akauw tentang Kerajaan penjajah yang membikin sengsara rakyat jelata.
"Tadinya akupun membantu Koksu sebagai seorang panglima, suhu. Akan tetapi aku melihat bahwa Koksu bukan manusia yang baik, dan kebanyakan pejabat adalah orang-orang yang menekan rakyat demi kepentingan diri pribadi. Kalau tidak ada orang-orang gagah yang bangkit melawan penjajah, ku kira rakyat akan semakin sengsara hidupnya."
"Hemm, maksudmu untuk memberontak terhadap pemerintah?".
"Suhu, pemerintah ini adalah pemerintah penjajah, maka memberontak terhadap penjajah adalah perjuangan untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraaan.
Suhu adalah seorang yang berkepandaian tinggi, kalau hanya tinggal di Pulau ini, tidak melakukan sesuatu, alangkah sayangnya. Coba andaikata suhu mau berjuang membela rakyat, nama suhu kelak akan di puja-puja dan di sanjung, biarpun suhu tidak berada di dunia ini lagi, suhu tetap akan di kenang sebagai seorang pahlawan!".
Demikianlah, seringkali guru dan murid ini berbincang-bincang tentang keadaan Kerajaan Toba, tentang kesengsaraan rakyatnya, dan perlahan-lahan tanpa di sengaja, percakapan dengan Akauw itu mulai membakar semangat kepahlawanan dalam hati Hek-liong-ong. Dia merasa bahwa dirinya semakin tua dan bahwa selama ini dia tidak pernah melakukan sesuatu yang penting, sesuatu yang akan mengangkat namanya. Kalau saja dia dapat melakukan sesuatu yang hebat, sesuatu yang akan membuat namanya kelak di kenal dan di puja sebagai seorang pahlawan, alangkah akan senangnya!
Hek-liong-ong, seperti juga kita, selalu lupa bahwa stiap perbuatan itu tidak akan meninggalkan pamrihnya. Perbuatan yang di anggap baik, kalau itu dilakukan dengan pamrih tertentu, maka perbuatan itu adalah palsu karena yang menjadi tujuan adalah pamrihnya dan perbuatan itu hanya sekedar cara untuk mendapatkan pamrih tadi. Pamrih itu adalah keinginan, dan keinginan ini adalah dorongan nafsu dan betapapun baiknya cara yang dipergunakan, kalau itu di tujukan untuk mendapatkan sesuatu, maka cara itupun palsu adanya, tidak wajar. Misalnya kita menolong seseorang, kalau pamrihnya agar orang itu dapat melakukan sesuatu untuk kepentingan kita, maka pertolongan kita kepada orang itu adalah palsu, tidak wajar dan tidak dapat dinamakan suatu kebaikan.
Perbuatan barulah wajar kalau kita tidak menjenguk ke depan atau ke belakang sebagai sebab dan akibat perbuatan itu. Kita berbuat karena sudah semestinya berbuat, karena dorongan perasaan pada saat itu. Misalnya, kita melihat seseorang kelaparan dan kita merasa iba, lalu kita mengulurkan tangan menolongnya. Habis! tidak ada kelanjutannya lagi, dan hanya perbuatan beginilah yang wajar. Misalnya Hek-liong-ong melihat kesengsaraan rakyat dan penyebabnya, lalu dia berjuang untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan, tanpa pamrih apapun untuk diri sendiri, maka dia benar seorang pahlawan. Akan tetapi kalau dia ingin berjuang agar di cap sebagai pahlawan, agar di puja-puja kelak, maka perjuangan nya itu adalah palsu, hanya merupakan suatu cara untuk mendapatkan suatu cara untuk mendapatkan sesuatu yang menyenangkan bagi dirinya sendiri.
Seorang pahlawan adalah seorang pejuang yang tidak ternama, seorang pejuang yang tidak mengharapkan imbalan apapun juga. Hasil yang di capai atau di akibatkan oleh perjuangannya untuk rakyat jelata, itulah imbalan yang cukup membahagiakan baginya. Hasil yang dinikmati rakyat, bukan di nikmati dirinya sendiri. Sayang, kebanyakan pejuang menuntut agar perjuangannya di hargai dan di beri imbalan. Ini menodai perjuangan!.
"Kauw Cu, aku sudah mengambil keputusan!" kata Hek-liong-ong pada suatu hari kepada muridnya. Sudah setahun Akauw belajar ilmu pedang kepada suhunya dan Hek-liong-ong makin merasa suka kepada muridnya ini yang sungguh menggambarkan kegagahan seorang pendekar.
"Apa yang suhu maksudkan?"
"Aku hendak menghadiri pemilihan bengcu dan mencoba untuk merebut kedudukan sebagai bengcu baru! Aku mendengar bahwa pemilihan bengcu di Thai-san akan diadakan dua bulan mendatang.
Kita akan menghadiri, kau harus membantuku. Aku harus menjadi bengcu baru!".
"Suhu, mengapa suhu ingin menjadi bengcu? Bukankah bengcu itu merupakan pemimpin seluruh golongan kangouw?"
"Ha-ha-ha, anak bodoh. Lupakah engkau akan percakapan kita tentang perjuangan? Aku ingin menjadi bengcu karena kalau sudah menjadi bengcu aku akan dapat menghimpun seluruh kekuatan dunia kangouw dan akan ku bawa mereka itu berjuang meruntuhkan Kerajaan penjajah Mongol dari tanah air!".
Akauw mengangguk-angguk. Diam-diam dia merasa gembira bahwa gurunya, seorang datuk sesat. Kini mempunyai pendapat seperti itu. Alangkah bedanya dengan gurunya yang lain, yaitu Thian-te Ciu-kwi yang demi kemuliaan dan kesenangan rela menjadi antek Mongol, bahkan membantu pemerintah penjajah untuk menindas rakyat jelata. Sejak meninggalkan kota raja, dia mulai melihat betapa jahatnya Koksu Lui Tat, Thian-te Ciu-kwi, bahkan juga Perdana menteri Ji yang hendak mengusahakan hal yang langka, yaitu memberi kesejahteraan kepada rakyat di bawah pemerintah penjajah! Dan kini, gurunya yang baru ini bercita-cita menjadi bengcu agar dapat memimpin dunia kang-ouw memberontak terhadap pemerintah Toba.
"Aku akan membantu suhu dengan sekuat tenagaku!" katanya dengan penuh semangat dan tentu saja gurunya merasa gembira sekali.
Beberapa hari kemudian, guru dan murid ini meninggalkan Pulau Naga untuk pergi ke Thai-san dimana akan diadakan pemilihan bengcu yang tentu akan di hadiri oleh seluruh tokoh dan jagoan di dunia kangouw.
Lai Seng merasa penasaran sekali karena anak buah Kwi-to-pang tidak berhasil menemukan jejak Ji Goat. Bahkan mereka telah salah memberi keterangan dan dia telah memperkosa Kwee Sun Nio, murid Thian-li-pang yang di sangka Ji Goat. Untung dia bersikap cerdik sekali dan dapat menjatuhkan fitnah kepada Yang Cien sehingga kini Sun Nio akan mencari dan membalas dendam atau minta pertanggungan jawab kepada Yang Cien! Dia yang makan nangkanya Yang Cien yang akan terkena getahnya!.
Kini Lai Seng mengerahkan anggota Kwi-to-pang untuk mencari para anggota Hek I Kaipang dan kalau bertemu mereka, langsung di bunuhnya! Banyak sudah anak buah Hek I Kaipang terbunuh oleh para anggota Kwi-to-pang itu.
Akhirnya Yang Cien mendengar laporan Cu Lokai, ketua Hek I Kaipang tentang perbuatan Kwi-to-pang yang membunuhi anggota Hek I Kaipang tanpa alasan.
"Entah mengapa secara tiba-tiba saja orang-orang Kwi-to-pang mengadakan aksi pembunuhan terhadap orang-orang kita," kata Cu-Lokai.
"Selama ini tidak terdapat permusuhan di antara kami dengan mereka."
"Dan anak buah kita tidak membalas?" Tanya Yang Cien.
"Orang-orang Kwi-to-pang amat lihai dan rata-rata memiliki kelebihan dibandingkan orang-orang kita. Dan Kwi-to-pang di pimpin oleh seorang Raja Iblis..."..."
"Raja Iblis?"
"Julukan adalah Sin-to Kwi-ong (Raja Iblis Golok Sakti), seorang datuk yang sakti dan kejam. Apalagi puterinya yang bernama Bong Kwi Hwa dan di juluki Siauw Kwi, jahatnya bukan kepalang. Apalagi setelah wanita itu menikah dengan Lai Seng..." "
"Lai Seng lagi! Apakah pemuda murid Toat-beng Giam-ong itu kini menjadi mantu Sin-to Kwi-pang?".
"Tidak salah, dan ku kira dialah yang menjadi gara-gara mengapa sekarang kwi-to-pang memusuhi Hek I Kaipang. Agaknya Lai Seng hendak membalas dendam kepada kita dan dia menggunakan anak buah mertuanya untuk membunuhi anak buah kita."
Yang Cien mengerutkan alisnya. Dia teringat akan cerita Ji Goat. Bukankah gadis itu oleh ayahnya yang Perdana Menteri juga ditunangkan dengan Lai Seng? Dan sekarang tahu-tahu Lai Seng telah menikah dengan puteri Sin-to Kwi-ong!.
"Kalau begitu sudah jelas. Ini gara-gara Lai Seng yang hendak membalas dendam. Kita harus hadapi dengan kekerasan pula. Tidak semestinya kalau Kwi-to-pang membunuhi anak buah kita tanpa alasan. Mari kita mendatangi Kwi-to-pang dan biarkan aku yang bicara dengan Sin-to Kwi-ong."
"Akan tetapi, dia itu berbahaya dan lihai sekali, Yang-taihiap. Juga anak buah mereka ada dua ratus orang lebih, semuanya jahat dan berbahaya."
"Paman, dalam saat seperti ini kita harus berani menghadapi lawan yang bagaimanapun. Kita pun memiliki anak buah yang banyak. Berapa orang yang kiranya dapat kau kumpulkan?".
"Karena sekarang telah berpencar, yang berada di sini kurang lebih ada dua ratus lima puluh orang "
"Sudah lebih dari cukup. Kita kabari Kiang-pangcu dari nan-king, Phang Kim dan Ciok Kui,minta bantuan mereka agar membawa anak buah sedikitnya seratus orang. Setelah itu kita baru menyerbu Kwi-to-pang. Aku yang akan menghadapi Sin-to Kwi-ong!" kata Yang Cien.
Cepat Cu-Lokai mengirim kabar ke Nan-king dan dalam waktu belasan hari saja sudah muncul Kiang Si Gun, Phang Kim dan Ciok Kwi bersama seratus orang anak buah Hek I Kaipang dari Nanking.
Bahkan diantara mereka itu terdapat seorang yang berjenggot panjang dan melihat orang ini, Cu-Lokai gembira sekali. Kiranya dia adalah Song Pa yang pernah menjadi ketua di Nanking sebelum Kiang Si Gun menggantikannya karena Song Pa di undang ke kota raja oleh Cu-Lokai dan kemudian ternyata undangan itu palsu dan merupakan jebakan.
Song Pa kini kembali ke Nanking dan membantu para pimpinan baru. Mendengar bahwa Cu-Lokai minta bala bantuan, Song Pa tidak mau ketinggalan dan ikut pula.
Dengan membawa anak buah tigaratus orang lebih, Yang Cien dan Cu-Lokai memimpin mereka menuju ke bukit di tepi Sungai Huai itu, yang menjadi pusat perkumpulan Golok Setan. Berbondong-bondong tiga ratus lebih anak buah Hek I Kaipang dengan pakaian mereka yang hitam-hitam menuju ke bukit itu dan mendaki lereng bukit dimana terdapat sebuah bangunan tua yang besar sekali. Tentu saja kedatangan mereka sudah diketahui oleh anak buah Kwi-to-pang yang cepat melapor ke dalam.
Sin-to Kwi-pang adalah seorang datuk yang sombong dan tinggi hati, merasa diri paling pandai. Mendengar bahwa Hek I Kaipang datang menyerbu dengan tenang dia menyuruh semua anak buahnya bersiap-siap. Lai Seng dan isterinya, Bong Kwi Hwa juga sudah bersiap-siap.
Rombongan Hek I Kaipang sudah tiba di depan bangunan dan Cu-Lokai lalu berteriak dengan nyaring.
"Sin-to Kwi-ong harap keluar kami ingin bicara!".
Dari dalam bangunan itu keluar semua anak buah Kwi-to-pang yang berjumlah dua ratus orang lebih itu, mengiringkan tiga orang pimpinan mereka, yaitu Sin-to Kwi-tong, Lai Seng dan Siauw-kwi atau Bong Kwi Hwa. Dengan angkuhnya mereka bertiga menyambut rombongan Hek I Kaipang.
"Kalian ini golongan jembel ada keperluan apa berani datang berkunjung ke tempat kami?" bentak Sin-to Kwi-ong dengan suaranya yang lantang.
"Sin-to Kwi-ong, sejak dahulu antara Kwi-to-pang dan kami Hek I Kaipang tidak pernah terjadi bentrokan. Akan tetapi selama beberapa pekan ini orang-orangmu mengeroyok dan membunuhi beberapa orang anggota kami. Kami minta pertanggung-jawabmu atas kejadian itu, Kwi-ong!".
"Ha-ha-ha-ha, tanggung jawab apa, Lokai? Kalian adalah jembel-jembel busuk yang menjadi pemberontak, sudah kewajiban kami untuk membasmi kalian. Baru membunuh beberapa orang pengemis busuk pemberontak saja, apa salahnya?".
"Sin-to Kwi-ong, ucapanmu yang kotor itu hanya menunjukkan orang macam apa engkau adanya! Dengarlah baik-baik, menjadi pengemis miskin bukanlah suatu kejahatan, akan tetapi menjadi penjahat macam kalian merupakan dosa yang besar sekali. Kami rakyat miskin berjuang untuk mengusir penjajah, menunjukkan bahwa kami adalah anak bangsa yang baik. Akan tetapi kalian bahkan membela penjajah dan menjadi antek Mongol, apakah engkau tidak malu kepada nenek moyangmu?" kata Yang Cien dengan suara marah.
Mendengar ucapan yang pedas ini, Sin-to Kwi-ong menjadi merah mukanya. Matanya melotot marah dan dia memandang kepada Yang Cien seolah hendak menelannya bulat-bulat.
"Bocah kurang ajar, siapakah engkau?".
"Namaku Yang Cien dan akulah yang memimpin para saudara ini. Sebetulnya kami datang untuk minta pertanggungan-jawabmu dan untuk menyadarkanmu bahwa menjadi antek Mongol adalah memalukan dan hina sekali. Akan tetapi kalau engkau membandel, bahkan menghina kami, terpaksa kami akan menghancurkan Kwi-to-pang dari muka bumi!".
"Tutup mulutmu, keparat! Engkau sudah bosan hidup berani menghinaku." Datuk tinggi besar yang bermuka bengis dan rambutnya riap-riapan ini segera menerjang maju dengan pukulan tangannya yang besar ke arah kepala Yang Cien. Dia mengira bahwa sekali pukul saja kepala pemuda itu akan hancur berantakan. Tenaga gajahnya membuat pukulan itu mendatangkan angina yang bersiutan menyambar. Yang Cien maklum akan kelihaian orang. Maka dengan ringan dia melangkah mundur sehingga sambaran pukulan itu luput.
Melihat betapa pemuda itu dengan amat mudahnya menghindarkan pukulannya, raja Iblis itu menjadi penasaran dan diapun mengirimkan serangkaian pukulan yang susul menyusul dan bertubi-tubi kepada pemuda itu. Namun Yang Cien telah siap sedia dan pemuda inipun memainkan Bu-tek Cin-keng karena dia tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang datuk sakti yang berkepandaian tinggi dan memiliki tenaga gajah.
"Duk-dukkk..."..!!" Ketika kedua lengan bertemu, tubuh Sin-to Kwi-ong terpental ke belakang, membuat kakek ini mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas terluka. Dia kaget bukan main karena hamper tidak dapat percaya bahwa pemuda seperti orang yang lemah itu mampu membuatnya terpental ke belakang seperti di hanyutkan gelombang yang amat kuat. Tahulah dia bahwa pemuda ini sama sekali tidak boleh di pandang ringan, maka dia lalu mencabut goloknya yang besar dan berat.
Melihat ini, Yang Cien juga mencabut Pek-liong Po-kiam nya dan nampak sinar putih berkelebat ketika pedang yang mencorong itu di cabut. Biarpun dapat menduga bahwa lawannya memiliki pedang pusaka ampuh, Sin-to Kwi-ong tidak perduli dan dia sudah memainkan goloknya dengan gerakan dahsyat sekali, menyerang dengan jurus Elang Emas Menyambar Kelinci. Golok itu berdesing nyaring ketika menyambar dan nampak gulungan sinar menyambar ke arah leher Yang Cien. Pemuda ini dengan tenang saja mengelak lalu membalas dengan tusukan pedangnya ke arah perut lawan.
"Traannggg...".!" Golok itu menangkis pedang dan bunga api berhamburan menyilaukan mata. Sin-ti Kwi-ong lalu memutar-mutar goloknya dan tidak percuma dia berjuluk Sin-to (Golok Sakti) karena memang ilmu goloknya amat hebat. Namun sekali ini dia berhadapan dengan Yang Cien yang memiliki pedang pusaka dan memiliki ilmu pedang Pek-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Putih) yang di gubahnya sendiri berdasarkan ilmu Bu-tek Cin-keng.
Sementara itu, Cu-Lokai juga sudah memberi aba-aba kepada anak buahnya dan para anggota Hek I Kaipang menyerbu sehingga terjadi pertempuran seru antara mereka dengan para anggota Kwi-to-pang.
Lai Seng dan isterinya, Bong Kwi Hwa, juga sudah menerjang maju untuk membantu Sin-to Kwi-ong, akan tetapi Cu Lokai menghadang dan menyambut di bantu oleh para pangcu yang lain seperti Song Pa, Kiang Si Gun, Phang Kim dan Ciok Kui. Terjadilah pertempuran seru antara sepasang suami istri yang lihai itu melawan lima orang ketua kaipang itu. Pedang dan suling suami isteri itu lihai sekali, akan tetapi lima orang pengeroyoknya juga memiliki ilmu tongkat yang lihai sehingga pertempuran itu seimbang.
Para anak buah Sin-to Kwi-ong menggunakan golok, dan semua pengemis menggunakan tongkat sehingga pertempuran yang seru itu terjadi dengan hebat, bentrokan antara ratusan batang golok melawan ratusan batang tongkat. Suaranya gaduh dan mulailah ada yang roboh dan suara jerit kesakitan dan pekik kemenangan bercampur dengan berdentingan suara senjata yang saling beradu. Biarpun para anggota Kwi-to-pang rata-rata memiliki ilmu silat yang lebih lihai akan tetapi karena jumlah mereka kalah banyak, maka pertempuran itu makin lama makin merepotkan pihak Kwi-to-pang dan pihak mereka menderita kerugian yang lebih banyak.
Yang paling seru adalah pertandingan antara Sin-to Kwi-ong melawan Yang Cien. Setelah lewat lima puluh jurus saling menyerang, mulai lah Sin-to Kwi-ong terdesak oleh pukulan-pukulan tangan kiri Yang Cien yang memainkan jurus-jurus dari Bu-tek Cin-keng. Dia tidak mengenal ilmu silat aneh itu dan tangan kiri pemuda yang di gunakan untuk selingan pedangnya, sungguh amat dahsyat. Sudah dua kali pundak dan dadanya terkena dorongan tangan kiri itu dan dia terhuyung-huyung merasa dadanya sesak. Sin-to Kwi-ong meloncat ke belakang untuk melihat keadaan teman-temannya. Sungguh tidak menguntungkan. Puteri dan mantunya yang di keroyok lima orang ketua kaipang itu nampak kelelahan, dan anak buahnya juga kelihatan terdesak oleh lawan yang jumlahnya amat banyak. Sekali pandang saja tahulah Sin-ti Kwi-ong bahwa kalau dilanjutkan pertempuran itu, pihaknya tentu akan kalah, bahkan keselamatan diri sendiri, puterinya dan mantunya terancam. Pemuda yang bernama Yang Cien itu sungguh merupakan lawan yang amat tangguh. Maka, diapun segera memberi aba-aba kepada puteri dan mantunya, juga para anak buahnya untuk mundur.
Mendengar aba-aba ini, Lai Seng dan Bong Kwi Hwa memutar pedang dan sulingnya dengan cepat sehingga para pengeroyoknya berlompatan ke belakang dan kesempatan itu mereka pergunakan untuk meloncat dan menyelinap ke dalam rombongan anak buahnya yang sedang bertempur. Demikian pula dilakukan oleh Sin-to Kwi-ong, meninggalkan Yang Cien dan menyelinap di antara anak buahnya.
Anak buah Kwi-to-pang juga sudah kewalahan, maka perintah mundur ini mereka lakukan dengan cepat dan tak lama kemudian mereka yang masih hidup itu melarikan diri cerai berai. Yang Cien melarang anak buahnya untuk mengejar. Sebaliknya mereka lalu merawat yang terluka. Pihak musuh yang terluka dan tertawan di ampuni dan di lepaskan. Sedangkan yang mati di kubur bersama para anggota kaipang yang tewas. Peraturan ini di pegang teguh oleh Yang Cien yang tidak ingin mengotori tempat itu dengan mayat yang dibiarkan membusuk sehingga akan amat merugikan penduduk di sekitar tempat itu. Bekas tempat tinggal Kwi-to-pang di bakar dan para anak buah kaipang itu pulang membawa kemenangan. Semangat mereka semakin tinggi dan mereka semua menganggap Yang Cien sebagai pemimpin besar mereka.
Kemenangan Hek I Kaipang atas Kwi-to-pang ini segera tersiar luas di dunia para kaipang sehingga ketika di adakan pemilihan bengcu yang dicalonkan para kaipang, maka semua ketua kaipang tanpa ragu lagi memilih Yang Cien. Dari mereka semua yang hadir, hanya ada dua orang kai-pangcu saja yang masih penasaran. Mereka adalah ketua dari Sin-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti) dan Hwa I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang). Akan tetapi, setelah dia orang ketua ini maju bersama untuk menguji kepandaian calon bengcu itu, dengan mudah saja Yang Cien mamu mengalahkan mereka dan merekapun menjadi tunduk dan takluk. Dengan suara bulat, seluruh kai-pang yang terdiri dari puluhan perkumpulan yang tersebar di empat penjuru, menyatakan pilihan mereka kepada Yang Cien sebagai calon beng-cu.
Pemuda ini maklum bahwa tanpa adanya persatuan yang kuat dari semua kekuatan rakyat, tidak mungkin kiranya menumbangkan kekuasaan pemerintah penjajah. Dan biarlah para perkumpulan pengemis ini menjadi pelopor, dan kemudian dia akan menarik kekuatan golongan lain. Kalau dia berhasil menjadi bengcu, agaknya hal itu akan mudah dilakukan dan kalau semua kekuatan sudah bersatu, dia akan mulai dengan perjuangannya menumbangkan kekuasaan penjajah seperti yang dipesankan mendiang kakeknya. Dia tidak menganjurkan Hek I Kaipang membasmi Kwi-to-pang,bahkan membiarkan mereka yang masih hidup melarikan diri dan membebaskan tawanan yang terluka. Hal ini juga termasuk siasatnya.
Kalau dia sudah benar-benar hendak mengadakan gerakan perjuangan mengusir penjajah, dia harus mampu mengumpulkan tenaga semua pihak, tidak perduli dari golongan hitam atau putih. Dan untuk pembiayaan perjuangannya, dia sudah memiliki harta karun, yaitu gumpalan-gumpalan emas yang berada di dalam guha, di Lembah Iblis. Hanya dia dan Akauw yang mengetahui tempat yang kini telah di tutupnya dengan batu besar itu.
Akan tetapi dimana Akauw? Sudah bertahun-tahun dia tidak tahu kemana perginya sutenya itu dan hatinya mulai merasa khawatir. Mulailah dia menyuruh para anak buah Hek I Kaipang untuk mencari seorang pemuda bernama Cian Kauw Cu atau Akauw.
Demikianlah, Yang Cien yang berambisi besar itu mulai menyusun tenaga melalui perkumpulan-perkumpulan pengemis yang pada waktu itu merupakan tenaga besar yang patut diperhitungkan karena dimana-mana terdapat perkumpulan itu dan para pengemis ini merupakan penyelidik-penyelidik yang pandai dan tidak di curigai orang. Hal ini memudahkan mereka untuk menyelidiki keadaan musuh dan keadaan di kota-kota yang ingin di selidiki. Akan tetapi yang terutama adalah menghimpun tenaga seluruh golongan kang-ouw. Dan nanti, tiga bulan lagi. Pada pertemuan di Puncak Thai-san, akan diadakan pemilihan bengcu itu. Dia akan mencoba untuk meraih kedudukan itu, atau setidaknya, kalau dia gagal, dia harus dapat mendekati bengcu baru untuk mengajaknya berjuang menggulingkan Pemerintah Toba.
Sambil menanti datangnya saat pemilihan beng-cu, Yang Cien tetap melatih para anggota kaipang dengan ilmu silat agar kelak mereka menjadi prajurit yang tangguh. Juga dia diperkenalkan dengan pimpinan Hek I Kaipang yang lain. Pada suatu hari datang berkunjung ketua Hek I Kaipang di Lok-yang bersama wakil ketua, yaitu Thio Cid an Thio Kui. Kedua orang ini datang berkunjung ketika mendengar bahwa Yang Cien menyebar anak buah mencari keterangan tentang Cian Kauw Cu atau Akauw pemuda yang tinggi besar dan gagah.
Asmara Si Pedang Tumpul Eps 11 Asmara Si Pedang Tumpul Eps 15 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 22