Ceritasilat Novel Online

Pedang Naga Hitam 4


Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 4




   Kembali Kui Mo terbelalak dan bengong. Akhirnya dia mengangguk-angguk bodoh "Kita akan cari tempat itu, kita akan cari..." katanya, agak bingung.

   "Kenapa bingung, suamiku? Tak jauh dari sini, lereng hwa-san, bukankah terdapat tempat yang indah dan cukup mewah? Partai Bunga Hwa-ki-san memiliki gedung yang besar dan megah. Kita datangi Hwa-li-san, kita duduki gedungnya untuk perayaan pernikahan dan kita suruh mereka mengundang tokoh-tokoh dunia persilatan untuk hadir merayakan pesta pernikahan. Tentu akan meriah dan mengangkat martabat kita"

   "Bagus, bagus, ha-ha-ha-ha" Kui Mo melompat, merangkul istrinya dan menciuminya" Mantuku, bukankah ibu mertuamu ini pintar sekali?" katanya.

   Han Sin tersenyum melihat prilaku yang tidak mengenal rasa malu itu "Memang pendapat yang baik sekali" katanya.

   "Kalau gitu, kita bersiap-siap, besok kita pergi ke Hwa-san dan menguasai Hwa-li-san, ha-ha-ha" Kui Mo tertawa-tawa seperti anak kecil yang merasa gembira sekali.
Malam itu, Kui Ji hendak menggandeng Han Sin kekamarnya, akan tetapi pemuda itu berkata "Calon isteriku yang baik, jangan kita melanggar pantangan nenek moyang kita"

   "Suamiku, kita akan menjadi suami istri, apa salahnya kalau kau tidur di kamarku bersamaku?"

   "Aihhh, adik Kui Ji yang baik, apakah kau tidak tahu? Tanyakan saja pada ayahmu ini. Nenek moyang kita mengatakan bahwa sebelum dipertemukan sebagai pengantin, calon pengantin tidak boleh saling berdekatan, apalagi tidur sekamar. Aku tidak berani melanggar pantangan itu, takut kalau kena kutuk"

   Mendengar ucapan itu, Kui Mo mengangguk-angguk" Dia benar, Kui Ji. Biar dia tidur sekamar denganku dan kau tidur sekamar dengan ibumu"

   "Akan tetapi, ayah"

   "Tidak ada tapi. Kita adalah orang-orang terpelajar dan mantuku adalah orang yang mengenal adat, kita harus menaati adat istiadat kalau tidak mau terkutuk"

   "Aku takut kalau-kalau dia melarikan diri, ayah" kata Kui Ji.

   "Ha-ha-ha, dia tidur bersamaku sekamar, bagaimana dia bisa melarikan diri?" Kui Mo tertawa bergelak.

   "Hik-hik-hik, dia sudah terkena racunku, mana mungkin dapat meloloskan diri?" kata pula Liu Si, ibu Kui Ji.

   Demikianlah, malam itu Han Sin tidak tidur sedipan dengan Kui Mo, setelah mereka makan malam. Dan ternyata biarpun gila, Kui Ji dan ibunya pandai memasak. Makanan yang dihidangkan cukup lezat sehingga Han in merasa heran sendiri. Dalam banyak hal keluarga ini seperti bukan orang-orang gila, bahkan ada kalanya mereka bersikap wajar dan waras. Akan tetapi segera sikap itu tertutup oleh kelakuan yang gila-gilaan.

   Begitu tubuhnya menyentuh tempat tidur, Kui Mo segera mendengkur. Han Sin sebaliknya tidak dapat tidur. Bukan hanya karena di sebelahnya ada orang mendengkur, melainkan karena dia memang sedang berusaha untuk melarikan diri.
Sebetulnya kalau saja tenaga sin-kangnya dapat disalurkan, mudah saja baginya untuk menotok Kui Mo yang rebah miring membelakanginya itu. Akan tetapi tenaga sin-kangnya dari tan-tian (bawah pusar) itu tidak dapat menggerakkan otot-ototnya. Menotok dengan tenaga biasa saja amat berbahaya. Kui Mo biarpun gila memiliki ilmu kepandaian tinggi, mana bisa dilumpuhkan dengan totokan tenaga biasa.

   Dengan hati-hati dia bangkit duduk. Untung dia tidur di tepi dipan sehingga dia dapat turun dari dipan tanpa melangkahi tubuh Kui Mo. Dia bergerak perlahan sekali sambil memperhatikan dengkur orang gila yang lihai itu.

   Dengkurnya masih tetap, bahkan terdengar semakin keras. Kini dia berindap-indap ke pintu dan keluar dari pintu. Agar tidak melewati kamar kedua orang wanita yang berada di bagian depan, dia pergi ke belakang, membuka pintu belakang yang menembus ke kebun. Jantungnya berdebar tegang dan juga girang. Tidak ada perubahan dalam kamar itu dan dengkur Kui Mo itu bahkan terdengar dari belakang rumah. Juga tidak ada suara keluar dari kamar Kui Ji yang tidur bersama ibunya. Dia dapat bebas.

   Malam itu terang bulan, menguntungkan bagi Han Sin. Dia dapat melarikan diri dibawah sinar bulan. Akan tetapi baru belasan langkah dia memasuki kebun, tiba-tiba nampak tiga bayangan berkelebat dan keluarga itu, lengkap ayah isteri dan anak, telah berada disitu mengepungnya. Mereka tertawa-tawa dan Kui Mo menegur "Ha-ha-ha, mantuku, kau hendak pergi kemana?"

   Han Sin merasa hatinya mendongkol bukan main, namun diam-diam dia juga kaget. Keluarga gila ini memang benar-benar lihai sekali. Dia bersungut-sungut.

   "Kalian ini sungguh merupakan orang-orang yang tidak tahu aturan dan kepantasan. Orang ingin kencing, kenapa diikuti?" berkata demikian, dia lalu menghampiri sebatang pohon, membuka celananya dan kencing di situ.

   "Ha-ha-ha, kami memang salah. Aku juga ingin kencing" kata Kui Mo dan diapun kencing di bawah pohon yang sama.

   Ibu dan anak itu terkekeh-kekeh dan pergi dari situ, kembali kedalam rumah. Terpaksa Han Sin juga kembali kedalam rumah bersama Kui Mo dan karena dia maklum bahwa melarikan diri tidak mungkin sama sekali, diapun dapat menerima keadaan dan tidur pulas. Besok pagi kalau mereka menyerang Hwa-li-pang seperti yang mereka rencanakan, dia dapat mencari kesempatan untuk melarikan diri.

   ***

   Hwa-li-pang adalah sebuah perkumpulan persilatan yang dipimpin oleh seorang pendeta To wanita. Murid-muridnya atau para anggota Hwa-li-pang semua wanita. Jumlah para murid Hwa-li-pang ada kurang lebih limapuluh orang, dari gadis-gadis berusia delapan belas sampai duapuluh lima tahun.

   Hwa-li-pang baru berdiri duapuluh tiga tahun yang lalu, yaitu sejak Kerajaan Sui berdiri. Perkumpulan ini merupakan pecahan dari perkumpulan Thian-li-pang yang terkenal didunia persilatan. Pada duapuluh tiga tahun yang lalu, ketua Thian li pang yang bernama Im-Yang To-Kouw sudah berusia lanjut, sudah kurang lebih sembilan puluh tahun.

   Karena merasa sudah terlalu tua untuk memimpin Thian-li-pang, merasa tubuhnya sudah lemah dan ia ingin tekun bersemedhi, menjauhi urusan duniawi, ia lalu mengambil keputusan untuk menyerahkan pimpinan Thian-li-pang kepada muridnya. Akan tetapi ternyata ia mengalami kesulitan dalam menentukkan siapa yang akan dipilihnya menjadi ketua baru menggantikannya. Murid utama yang paling di sayangnya adalah Kwee Sun Nio akan tetapi murid ini telah meninggal dunia limabelas tahun yang lalu. Dan diantara murid-muridnya yang lain terdapat dua orang gadis yang dianggapnya paling pandai dan pantas menjadi ketua Thian-li-pang. Ia menjadi ragu dan bimbang siapa diantara kedua murid ini yang akan diberi warisan kedudukan ketua.

   Dalam peraturan Thian-li-pang, seorang ketua tidak boleh menikah selama ia menjadi ketua, Akan tetapi seorang murid boleh saja menikah karena murid ini masih wanita biasa, belum menjadi to-kouw. Murid pertama yang dianggapnya cocok menjadi ketua Thian Li Pang bernama Yap Ci Hwa, berusia duapuluh tujuh tahun dan murid kedua bernama Ciang Hwi, berusia duapuluh dua tahun.

   Kalau di nilai dari ilmu kepandaian silat, murid kedua itu lebih pandai dan berbakat. Akan tetapi ia tahu bahwa Ciang Hwi seorang gadis cantik yang mempunyai hubungan akrab dengan seorang pemuda murid Kun Lun Pai bernama Ang Cun Sek. Murid pertama itu, Yap Ci Hwa, memiliki wajah yang tak dapat disebut cantik. Melihat kenyataan ini, agaknya Ci Hwa yang dapat menjadi ketua Thian li pang dan tidak menikah selamanya.

   Pada suatu pagi, Im-yang To-kouw memanggil kedua orang muridnya ini ke dalam ruangan tertutup dan mengajak mereka berdua untuk bercakap-cakap.

   "Aku memanggil kalian berdua untuk memberi tahu bahwa aku sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri sebagai ketua. Dan sebagai penggantinya, kupandang hanya kalian berdua yang pantas menjadi ketua baru. Kalau diukur dari ilmu kepandaian, Ciang Hwi memang lebih unggul dan lebih pantas menjadi ketua"

   "Subo, kalau begitu berikan saja kedudukan ketua kepada Ciang-sumoi" Kata Ci Hwa dengan suara rela. Sikapnya ini saja sudah mendatangkan rasa suka di hati Im-yang To-kouw.

   Im-yang To-kouw mengangguk-angguk dan melambaikan sebuah kebutan putih di depannya" Akan tetapi ada pantangan yang amat keras untuk menjadi ketua, yaitu seorang ketua tidak diperbolehkan menikah selama hidupnya. Aku ragu apakah Ciang hwi dapat mempertahankan pantangan ini "

   Ciang Hwi mengerutkan alisnya. Ia adalah seorang gadis yang berwatak jujur dan keras hati "Subo, maafkan pertanyaan teecu, akan tetapi, semua murid Thian-li-pang diperbolehkan menikah, mengapa ketuanya tidak? Bukankah itu tidak adil namanya?"

   Im-yang To-kouw tersenyum "ini sudah menjadi peraturan Thian-li-pang yang digariskan oleh pendirinya dan kita harus menaatinya. Menurut pendapatku, pantangan ini diadakan agar para ketua Thian-li-pang tidak terikat oleh keluarga dan dapat mencurahkan perhatian, khusus untuk kepentingan Thian-li-pang dan perkembangan agama To"

   "Akan tetapi, peraturan itu diadakan oleh seorang ketua, apakah tidak dapat peraturan itu diubah oleh ketua yang lain? Jaman telah berubah, subo seorang wanita tidak akan menjadi seorang manusia yang lengkap dan sempurna hidupnya kalau ia tidak diperbolehkan menikah dan mempunyai keluarga"

   "Ciang Hwi. Tidak boleh kau mengucapkan kata-kata seperti itu. Peraturan adalah untuk ditaati, bukan untuk diperbantahkan. Karena itulah, biar kepandaianmu lebih tinggi daripada Yap Ci Hwa, akan tetapi terpaksa aku tidak dapat memilihmu menjadi ketua baru menggantikan aku. Aku akan mengangkat Ci Hwa untuk menjadi ketua baru" ucapan Im-yang To-kouw ini bernada marah.

   "Subo, harap subo memaafkan sumoi yang masih muda. Teecu rela mengalah kalau subo memberikan kedudukan ketua kepada Ciang-sumoi" kata pula Ci Hwa dengan suara merendah.

   "Hemmm, keputusanku tidak dapat di ubah lagi, Ciang Hwi, kau sepatutnya mencontoh sucimu ini yang pandai membawa diri dan taat kepada peraturan"

   Ciang Hwi yang di tegur gurunya hanya menundukkan kepalanya, akan tetapi didalam hatinya ia membantah. Pandai membawa diri? Ia mengenal benar siapa sucinya itu. Seorang yang keras hati dan licik. Pernah dulu sucinya ini berkata kepadanya bahwa kalau sucinya menjadi ketua, sucinya akan mengharuskan agar semua murid tidak menikah.

   Hal ini dikatakannya sucinya karena iri hati kepadanya yang menjalin hubungan akrab dengan Gan Seng, murid Kun-lun-pai itu.

   Pada keesokan harinya, Im-yang To-kouw mengumpulkan semua muridnya dan memngumumkan pengangkatan Yap Ci Hwa sebagai ketua baru. Upacara sembahyang untuk mengesahkan pengangkatan ketua itu diadakan dan setelah itu, Im-yang To-Kouw yang sudah tua lalu mengundurkan diri ke dalam sebuah guha di puncak gunung untuk bertapa, tidak lagi berurusan dengan dunia luar.

   Selama Im-yang To-kouw masih hidup, Yap Ci Hwa bersikap biasa dan melanjutkan yang telah diambil oleh subonya. Akan tetapi, setahun kemudian Im-yang To-Kouw meninggal dunia karena usia tua.

   Setelah penguburan jenazah To-Kouw itu selesai, Yap Ci Hwa segera mengumumkan perintahnya yang pertama yaitu ia mengubah peraturan Thain-li-pang dan semua murid Thian-li-pang tidak diperbolehkan menikah. Siapa yang tidak mau menaati peraturan ini dikeluarkan dari perkumpulan.

   Ciang Hwi mendahului murid-murid lain, dan ia menyatakan keluar dari Thian-li-pang. Tindakannya ini mendorong keberanian para murid lain yang segera mengikuti langkahnya, ramai-ramai keluar dari Thian-li-pang. Tidak kurang dari tigapuluh orang murid menyatakan keluar sehingga yang tinggal hanya kurang lebih tujuhpuluh orang murid lagi. Yap Ci Hwa marah sekali akan tetapi ia tidak melarang mereka pergi.

   Ia lalu mengumumkan nama julukannya sebagai nama yang baru, yaitu Kang Sim To-Kouw (Pendeta Wanita Berhati baja).

   Sementara itu, Ciang Hwi yang sudah keluar dari Thian-li-pang, segera melangsungkan pernikahannya dengan Ang Cun Sek, pemuda murid Kun-lun-pai yang tinggal di dusun tidak jauh dari Thian-li-pang dan dengan siapa sudah lama ia menjalin hubungan. Dalam pesta pernikahan ini ia mengundang semua saudara seperguruan yang telah keluar dari Thian-li-pang sehingga pesta pernikahan itu merupakan pertemuan yang menggembirakan. Dan dalam pertemuan itu, disepakati oleh semua murid yang keluar dari Yhian-li-pang agar Ciang Hwi suka memimpin mereka dalam sebuah wadah baru, yaitu perkumpulan baru.

   Ciang Hwi yang masih merasa penasaran kepada gurunya dan sucinya, menyetujui dan demikianlah, mereka mendirikan Hwa-li-pang yang berpusat di pegunungan Hwa-san, dengan Ciang-hwi menjadi ketuanya. Setahun setelah para murid Thian-li-pang itu keluar dari perkumpulan itu, mereka kini mendirikan Jwa-li-pang.

   Baru setelah empat tahun menikah, Ciang Hwi mengandung. Berbeda dengan keadaan Thian-li-pang, ketua yang mengandung itu menerima ucapan selamat dari para murid dan pembantunya yang merasa gembira sekali, Ang un Sek, suami Ciang Hwi, tidak mau menganggur saja. Dia pun enggan membantu istrinya memimpin kurang lebih limapuluh orang anggota Hwa-li-pang karena semua anggota Hwa-li-pang adalah wanita.

   Ang Cun Sek bekerja sebagai seorang piauw-su (pengawal barang kiriman) dan karena kegagahannya, dia memperoleh banyak langganan yang mempercayakan barang mereka dikawal oleh Ang Cun Sek. Untuk perusahaan pengawalan barang ini, Ang Cun Sek mempunyai sepuluh orang pembantu.

   Pada suatu hari, ketika Ciang Hwi yang hamil tua itu sedang duduk bercakap-cakap dengan para pembantunya tentang pekerjaan mereka, yaitu menjual sayur, buah dan rempah-rempah hasil ladang mereka, datanglah dua orang pembantu Ang Cun Sek berlari-lari dalam keadaan luka-luka.

   Ciang Hwi bangkit dari duduknya, memandang kepada mereka dengan khawatir dan bertanya "Apa yang terjadi?"

   "Celaka, pangcu, celaka besar"

   "Ada apakah? Hayo lapor yang baik" Bentak Ciang Hwi.

   "Barang kiriman yang kami kawal diserbu gerombolan perampok bertopeng yang lihai sekali. Delapan orang rekan kami tewas semua dan kami beruntung dapat meloloskan diri dengan pura-pura mati....."

   "Dan pimpinanmu? Bagaimana dengan Ang-piau-su?"

   "Ang-piauw-su.... dia.... dia. juga menjadi korban, roboh dan tewas"

   Dengan muka pucat Ciang Hwi melompat bangkit dari kursinya, matanya terbelalak, wajahnya pucat dan bibirnya gemetar, tubuhnya menjadi lemas dan iapun terjatuh kembali diatas kursinya.

   Para pembantunya segera menghampirinya "Pangcu, kita harus cepat pergi ke sana, mencari dan membasmi gerombolan perampok itu untuk membalaskan kematian suami pang-cu"

   Ucapan ini seperti membakar semangat Ciang Hwi. Ia bangkit lagi mengepal kedua tangannya dan berkata "Benar, mari bersiap-siap mengikuti aku membalas dendam. Hei, kalian berdua, cepat obati luka-lukamu dan tunjukkan kepada kami dimana tempat terjadinya perampokan itu"

   Tak lama kemudian Ciang Hwi sudah berlari turun dari bukit Hwa-san, bersama dua orang piauw-su yang menjadi penunjuk jalan dan diikuti oleh limapuluh orang anak buahnya. Ketika mereka tiba di tengah hutan, mereka mendapatkan para korban masih malang melintang disitu. Termasuk jenazah suami Ciang-hwi. Yang aneh lagi, kereta berisi barang kiriman masih ada disitu, tidak diganggu perampok, tidak ada yang hilang.

   Ciang Hwi berlutut memeriksa suaminya, akan tetapi Ang Cun Sek sudah tewas dan ada luka tusukan pedang yang menembus dadanya.

   Ciang Hwi menangis tanpa suara. Dengan kedua mata basah mengeluarkan air mata yang menetes-netes turun keatas pipinya. Ia bangkit lagi dan memimpin anak buahnya untuk mencari para perampok itu. Akan tetapi para penyerbu itu sudah tidak nampak bayangannya dan tidak meninggalkan jejak. Setelah mengejar ke sana ke sini tanpa hasil dan tidak menemukan jejak gerombolan itu, dengan penuh duka dan penasaran mereka kembali ke tempat tadi dan kini Ciang Hwi tidak dapat lagi menahan tangisnya. Ditangisinya jenazah suaminya itu, penuh penyesalan karena ia tidak mampu menemukan gerombolan yang telah membunuh suaminya. Akhirnya setelah di bujuk-bujuk oleh para pembantunya, Ciang Hwi berhenti menangis dan mengatur pengangkutan para jenazah itu ke Hwa-san. Dua orang piau-su dibantu belasan orang murid Hwa-li-pang melanjutkan pengiriman barang itu.

   Demikianlah, dalam usia duapuluh enam tahun, dalam keaadan mengandung, Ciang Hwi telah menjadi janda. Yang membuat ia penasaran adalah karena ia tidak tahu siapa yang telah membunuh suaminya.

   Dua orang piauw-su yang masih hidup itu tidak dapat mengenal belasan orang menyerbu yang semua mengenakan muka dari kain, akan tetapi rata-rata mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Ciang Hwi yakin bahwa mereka itu bukan gerombolan perampok karena barang berharga di kereta itu tidak mereka usik.

   Karena itu, jelas bahwa gerombolan itu memang sengaja muncul untuk membunuh suaminya. Berarti gerombolan itu adalah musuh yang mendendam kepada suaminya.

   Akan tetapi siapakah musuh itu? Memang tentu saja suaminya mempunyai banyak musuh. Sebelum menikah dengannya, sebagai seorang pendekar Kun-lun-pai, tentu suaminya dimusuhi banyak orang karena dia selalu menentang kejahatan. Setelah menjadi piauw-su, lebih lagi. Ketika mengawal barang dia sering bentrok dengan gerombolan perampok yang mencoba untuk merampok barang kawalannya. Akan tetapi siapakah mereka dan bagaimana ia dapat mengusut agar menemukan orang-orang yang membunuh suaminya?.

   Kandungannya semakin tua dan perutnya semakin membesar sehingga terpaksa Ciang Hwi berdiam di rumah dengan hati ditekan rasa penasaran dan sakit hati.
Setelah genap bulan dan harinya, Ciang Hwi melahirkan seorang anak perempuan yang mungil dan sehat. Ia memberi nama Ang Swi Lan kepada anak itu.

   Agaknya nasib janda muda ini memang sedang gelap. Kesusahan karena malapetaka menimpanya susul menyusul. Setelah kehilangan suaminya yang dibunuh orang dan ia belum mengetahui siapa pembunuh suaminya, ia memang terhibur dengan kelahiran Ang Swi Lan. Akan tetapi baru saja Swi Lan berusia dua tahun, pada suatu hari orang mendapatkan wanita pengasuh anak itu tewas di taman belakang sedangkan Swi Lan telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.

   Tentu saja Ciang Hwi menjadi terkejut dan sedih sekali. Ia hendak mencari anaknya, akan tetapi kemana? Ia tidak tahu siapa yang menculik anaknya, bahkan satu-satunya saksi, yaitu si pangasuh telah tewas tertusuk pedang.

   Ia dan semua anak buah Hwa-li-pang mencoba untuk mencari jejak, namun sia-sia belaka, semua usaha mereka tidak berhasil, Swi Lan lenyap dengan penuh rahasia, seperti kematian suaminya yang juga belum diketahui sebab dan siapa pembunuhnya.

   Akhirnya Ciang Hwi menerima nasib. Ia menjadi seorang pemurung dan kelihatan lebih tua dari usia sebenarnya. Akan tetapi, ia mencurahkan segenap tenaga dan perhatiannya untuk mengatur Hwa-li-pang sehingga memperoleh kemajuan. Para anak buah Hwa-li-pang tidak hanya bertani dan mencari rempah-rempah, akan tetapi juga ia meneruskan perusahaan suaminya, yaitu membuka perusahaan pengawalan barang kiriman dengan demikian, selain Hwa-li-pang mendapat banyak penghasilan, juga dalam mengawal barang ke segala jurusanini anak buahnya dapat membuka mata dan telinga untuk mencari keterangan tentang hilangnya Swi Lan. Dengan bekerja tekun, Hwa-li-pang memperoleh penghasilan lumayan dan Ciang Hwi dapat membangun rumah yang besar, bahkan ia juga membangun sebuah kuil di depan untuk menerima rakyat yang datang bersembahyang. Mulailah ia menekuni agama dan mengikuti jejak gurunya, menjadi seorang To-kouw dengan julukan Pek Mau To-Kouw (Pendeta Wanita Rambut Putih) karena sejak kehilangan puterinya, dalam usianya yang baru duapuluh sembilan, rambutnya sudah mulai memutih. Selain berusaha keras untuk membangun Hwa-li-pang sehingga perkumpulan itu terkenal didunia Kang-ouw.

   Pek Mau To-Kouw ini menghabiskan waktu untuk mempelajari kitab-kitab agama dan bersamadhi dalam kamarnya. Ia berubah menjadi seorang wanita yang pendiam, bijaksana dalam mengatur anak buahnya, mengajarkan silat dengan penuh kesabaran. Perkumpulan ini menjadi terkenal dan makin banyak anak-anak perempuan dan gadis-gadis remaja masuk menjadi anggota perkumpulan. Namun watak dasarnya masih belum meninggalkannya, yaitu keras hati dan berkemauan teguh.

   Apakah yang telah terjadi dengan Ang Swi Lan? Peristiwa itu terjadi cepat sekali sehingga tidak sempat dilihat orang lain. Ketika pengasuh Swi Lan sedang mengajak anak itu bermain-main di taman bunga, tiba-tiba sesosok bayangan hitam berkelebat dan sekali tangannya mengayuh pedang, pengasuh itu roboh dan tewas tanpa dapat menjerit lagi. Swi Lan sedang duduk di bawah pohon bermain-main dengan bunga-bunga yang dipetikkan pengasuhnya. Setelah pengasuh itu roboh, si bayangan hitam itu cepat sekali menyambar anak itu, menotoknya sehingga tidak mampu berteriak dan membawanya melompat pergi dari situ. Tidak ada seorangpun menyaksikan peristiwa itu.

   Bayangan hitam itu berlari cepat menuruni Hwa-san sambil memondong anak kecil itu. Ia mengambil jalan melalui hutan-hutan sehingga tidak pernah bertemu orang. Ketika ia tiba didalam sebuah hutan besar di kaki Hwa-san, tiba-tiba ia mendengar suara orang sedang berkata-kata seorang diri. Suaranya lembut namun lantang. Bayangan itu cepat menyelinap ke balik semak belukar dan mengintai. Ia melihat seorang kakek berusia sekitar limapuluh tahun, membawa sebatang tongkat yang dipakai memikul sebuah keranjang berisi daun-daun dan akar-akaran dan kini orang berkepala gundul itu sedang meneliti daun-daun tak jauh dari situ. Jelas bahwa orang itu adalah seorang hwesio yang pakaiannya longgar.

   "Apakah, sahabat-sahabatku, yang dinamakan jahat itu? Membunuh adalah jahat, mencuri adalah jahat, menghambakan diri kepada nafsu birahi adalah jahat, berbohong adalah jahat, fitnah adalah jahat, mencela mencaci adalah jahat, membenci adalah jahat, memeluk pelajaran palsu adalah jahat, namun itulah, sahabat sahabatku, adalah jahat. Dan Apakah sahabat sahabatku, akar dari kejahatan? Nafsu keinginan adalah, akar kejahatan, kebencian adalah akar kejahatan, khayalan adalah akar kejahatan, semua ini adalah akar kejahatan"

   Bayangan hitam itu terkejut dan menjadi gelisah, apalagi ketika ia mengintai dari balik semak-semak, ternyata hwesio itu telah lenyap dari tempat dimana tadi dia berdiri. Karena mengira bahwa hwesio itu telah pergi jauh, ia lalu melemparkan Swi Lan ke atas tanah. Dan tiba-tiba anak itu menangis, agaknya lemparan itu membuat sebagian tubuhnya menimpa batu dan inilah yang membebaskannya dari totokan, atau memang sudah waktunya pengaruh totokan itu habis. Si bayangan hitam itu lalu menyingkap penutup mukanya, memandang kepada anak itu penuh kebencian dan berkata lirih, suaranya mendesis "Kutinggalkan kau disini biar dimakan binatang buas" setelah berkata demikian, orang itu lalu berkelebat pergi dari tempat itu.

   Tanpa diketahuinya, perbuatannya itu ada yang menyaksikannya. Hwesio yang mengucapkan pelajaran Sang Budha itu ternyata tidak pergi jauh. Dia dapat menangkap gerakan orang dibalik semak belukar, maka diapun menyelinap ke balik pohon dan mengitarinya sehingga dia dapat melihat si bayangan hitam itu ketika membuang Swi Lan, membuka penutup kepalanya lalu mengucapkan kata-kata yang kejam itu. Biarpun melihat wajah si bayangan hitam itu hanya sebentar saja, akan tetapi wajah itu takkan pernah dilupakan oleh hwesio itu. Dia lalu menghampiri Swi Lan yang sudah bangkit duduk sambil menangis itu. Dipondongnnya anak itu. Melihat dirinya dipondong oleh seorang yang tidak dikenalnya, tangis Swi Lan semakin menjadi-jadi karena takut.

   "Ssssttttt, anak manis, anak baik, jangan menangis. Pin-ceng tidak akan menggangumu, pin-ceng hendak menolongmu, anak manis" kata-kata yang bernada ramah penuh kelembutan itu akhirnya membuat Swi Lan diam. Agaknya anak kecil ini yang belum dapat berpikir dengan baik, namun dapat merasakan bahwa yang memondongnya bukan orang yang hendak menyusahkannya.

   Hwe-sio itu bertubuh gendut dan mukanya selalu tersenyum ramah, pandang matanya lembut dan suaranya halus "Anak manis, siapakah namamu?"

   Swi Lan yang baru dapat bicara sepatah dua patah kata itu agaknya mengerti pertanyaan itu dan ia menjawab "Lan Lan"

   Ketika hwe-sio itu bertanya lagi minta jawaban yang tepat siapa nama lengkap dari anak itu, Swi Lan yang belum mengerti hanya menjawab "Lan Lan"

   Hwe-sio itu menanyakan lagi orang tuanya dan tinggal dimana rumahnya, akan tetapi kepandaian bicara Swi Lan belum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

   Hwe-sio itu tertawa "Omitohud.... Agaknya sudah ditakdirkan bahwa pin-ceng harus merawat anak ini"

   Dia mengambil sebutir buah jeruk dari keranjang yang dipikulnya, mengupas jeruk itu dan memberikannya kepada Lan Lan. Anak itupun mau menerimanya dan memakannya.

   "Lan Lan, anak baik. Karena pin-ceng tidak tahu dimana rumah orang tuamu dan siapa nama mereka, maka mulai hari ini jadilah kau murid pin-ceng. Ha-ha-ha, Thian Ho Hwesio, jalan hidupmu sungguh ganjil. Selamanya belum pernah menerima murid dan sekali menerima murid, terpaksa menerima seorang bocah yang masih kecil Ha-ha-ha"

   Dia tertawa-tawa memindahkan semua daun dan akar obat ke sebuah keranjang yang lain lalu memikul dua keranjang itu. Lan Lan kelihatan girang sekali dan ia mulai tertawa-tawa. Hwe-sio itupun semakin lebar senyumnya dan dia berjalan keluar dari hutan itu dengan langkah cepat.

   ***

   Demikianlah keadaan Hwa-li-pang yang merupakan pecahan kecil dari Thian li pang. Sejak kematian suaminya lalu kehilangan puterinya. Ciang Hwi yang kini berjuluk Pek Mau To-kouw menyibukkan dirinya dengan mengurus Hwa-li-pang menjadi sebuah perkumpulan yang cukup besar di Hwa-san.

   Sang waktu berjalan dengan amat cepatnya dan enambelas tahun telah lewat sejak Ang Swi Lan lenyap di culik orang. Pek Mau To-kouw sudah tidak mengharapkan lagi puterinya akan dapat ia temukan. Mungkin puterinya telah tewas, dan andaikata masih hidup juga kalau bertemu dengannya pasti tidak saling mengenal. Memang puterinya itu mempunyai sebuah tanda yang mungkin tidak akan lenyap sampai ia dewasa, yaitu semacam bercak hitam di tengah telapak kaki kanannya. Akan tetapi bagian tubuh itu selalu tertutup sehingga tidaklah mungkin baginya untuk minta kepada setiap orang gadis yang disangka puterinya untuk membuka sepatu kanannya. Pek Mau To-kouw sudah melepaskan harapannya untuk bertemu dengan puterinya. Dan di dalam hatinya sudah terdapat ketenangan kembali. Ia sudah merasa berbahagia dalam kedudukannya sebagai pimpinan Hwa-li-pang. Juga mereka melayani orang-orang dusun yang datang hendak bersembahyang ke kuil hwa-li-pang.

   Pagi itu merupakan pagi yang amat indah. Matahari yang baru muncul di ufuk timur begitu cerahnya sehingga seluruh permukaan bukit hwa-san bermandikan cahaya yang putih keemasan itu.

   Awan-awan putih tipis bergerakk diangkasa, dapat di tembus cahaya matahari seperti tirai sutera tipis, angkasa jauh di atas nampak biru muda bagaikan samudera yang tenang tanpa gelombang. Angin pagi bersilir sejuk dan kicau burung dan kokok ayam jantan menambah semaraknya suasana dipagi yang indah itu. Sebernarnya, setiap saat dan detik terdapat keindahan dari suasana yang wajar ini. Hanya karena kita terlalu di ombang ambingkan pikiran kita sendiri yang mengadakan banyak persoalan maka keindahan yang ada itu tidak nampak lagi. Pikiran kita selalu sibuk dengan berbagai macam persoalan kehidupan sehari-hari, dari urusan pekerjaan, mencari uang, persoalan rumah tangga, konflik-konflik dalam keluarga atau antar teman, pengangguran, kejahatan, dan bahkan perang. Pikiran kita sudah menjadi gudang dari segala macam permasalahan yang memusingkan sehingga kita sudah lupa betapa indahnya alam di sekeliling kita, betapa Maha Murahnya Tuhan terhadap kita semua. Segala keperluan hidup manusia telah terbentang luas di depan kita, Kita tinggal mengolah dan memetik saja. Akan tetapi semua keindahan itu tidak akan terasa lagi kalau kita menjadi hamba nafsu yang menyeret kita ke dalam konflikk dan pertentangan, saling membenci, saling bermusuhan dan bahkan saling membunuh.

   Alangkah akan bahagianya hidup ini apabila kita manusia tidak saling bermusuhan, melainkan bersatu padu untuk membangun dengan sarana yang tersedia lengkap. Membangun demi kesejahteraan kita bersama. Hidup tenteram penuh kedamaian, saling tolong dan salin bantu dalam mengahdapi kesukaran yang bagaimanapun macamnya dan dari manapun datangnya. Kesukaran yang dibagi akan menjadi ringan dan bukan merupakan kesukaran lagi. Sedangkan kelebihan dan kesenangan yang dibagi tidak akan menjadi berkurang. Hdiup dalam suasana seperti itu akan melenyapkan segala macam kesusahan dan yang terdengar dari mulut kita hanyalah Puji Syukur dan terima kasih kepada Tuhan Maha Pencipta, tidak lagi terdengar keluh kesah seperti yang kita dengar setiap saat pada masa kini.

   Pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, Pek Mau To-Kouw sudah bangun dari tidurnya, bermeditasi dan berdoa. Lalu ia membersihkan tubuhnya dengan air sejuk, kemudian berjalan keluar untuk memeriksa pekerjaan para murid atau anggota hwa-li-pang. Para anggota Hwa-li-pang sudah nampak sibuk sepagi itu. Ada yang siap bekerja di swah, ladang, ada yang berangkat untuk mencari rempah-rempah di hutan, ada yang mengangkut hasil ladang untuk di jual di dusun-dusun dan kota di kaki bukit, dan ada pula yang bertugas sebagai pengawal barang kiriman, siap dengan keretanya. Diantara mereka para anggota yang tua-tua, sibuk mengurus kuil dan melayani orang-orang yang datang bersembahyang. Sudah ada belasan orang tamu kuil itu di pagi hari itu.kesemuanya wanita hendak bersembahyang. Diantara belasan orang tamu wanita ini, terdapat wanita muda yang berpakaian serba putih, cantik sekali seperti bidadari, dengan gerak gerik yang halus. Para tamu wanita itu cepat meberi hormat ketika Pak Mau To-Kouw memasuki kuil. Penampilan Pek Mau To-kouw memang anggun berwibawa. Rambutnya yang sudah hampir semua putih itu di gelung di ikat di atas dengan sutera putih. Jubahnya berwarna kuning, jubah panjang sederhana dan tangan kanannya memagang sebatang kebutan dengan bulu berwarna merah. Pek Mau To-Kouw membalas penghormatan para tamu itu dengan anggukan kepala dan senyum ramah.

   Tiba-tiba pandang mata Pek Mau To-Kouw tertarik oleh seorang yang melangkah datang ke kuil itu. Ia berhenti dan memutar tubuhnya menghadapi orang yang baru datang ini. Yang baru datang itu adalah seorang remaja berpakaian pengemis dan kepalanya di tutup sebuah topi butut. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat. Pakaiannya yang serba hitam itupun butut walau bersih, dan sepatunya yang sudah butut sehingga nampak jari kelingking kaki kirinya menonjol keluar. Mukanya kotor pula bercoreng lumpur namun dapat dilihat bahwa pengemis muda ini memiliki wajah yang tampan dan sepasang matanya bersinar-sinar

   "Sobat muda, kau datang hendak bersembahyang ataukah hendak mengemis?" tanya Pek Mau To-kouw dengan sikap dan suara lembut dan ramah.

   Pengemis muda itu mengamati ketua Hwa-li-pang itu penuh perhatian, lalu berbalik mengajukan pertanyaan "To-Kouw, kalau aku hendak bersembahyang mengapa dan kalau hendak mengemis bagaimana?"

   Pek Mau To-Kouw tersenyum dan diam-diam ia menganggumi ketegasan pengemis muda, walaupun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang pengemis, namun sama sekali tidak rendah diri, bahkan nampaknya seperti orang yang dapat menjaga harga diri.

   "Kalau hendak bersembahyang harap menunggu lebih dulu karena para tamu yang berada di dalam kuil semuanya adalah wanita sehingga tidak pantaslah kalau kau seorang pria masuk bersama mereka. Dan kalau kau hendak mengemis, sebaiknya kau berdiri di luar kuil menanti pemberian sumbangan dari mereka yang datang dan pergi"

   "Dari jauh aku datang ke sini karena mendengar bahwa ketua Hwa-li-pang adalah seorang yang murah hati, aku tidak hendak bersembahyang, tidak pula mengemis, hanya ingin membuktikan sampai dimana kedermawanan hati ketua Hwa-li-pang. Dapatkah aku bertemu dengan ketua Hwa-li-pang?"

   "Siancai.... Aku sendirilah ketua itu" kata Pek Mau To-kouw sambil tersenyum.

   "Bagus. Aku tidak ingin mengemis hanya ingin memancing kebaikan hati pang-cu"

   "Orang muda, pertolongan apakah yang dapat kuberikan kepadamu? Apakah kau lapar dan butuh makanan?"

   "Aku sudah kenyang, pagi tadi sudah sarapan, hampir menghabiskan seekor ayam panggang "

   "Hemmm, kalau begitu, apakah kau membutuhkan pakaian pengganti pakaianmu yang sudah butut itu?"

   "Tidak, aku lebih senang dengan pakaian ini, biar butut akan tetapi bersih. Hanya sepatuku"

   "Kenapa dengan sepatumu?"

   "Yang kiri sudah jebol sehingga jari kakiku kelihatan. Aku membutuhkan sepasang sepatu"

   Percakapan itu menarik perhatian para tamu wanita yang hendak bersembahyang dan merekapun tidak melanjutkan langkah mereka dan ikut menonton.

   Pek Mau Tok-kouw memandang ke arah kaki pengemis muda itu, lalu memadang kepada kakinya sendiri. Sekali pandang saja tahulah ia bahwa ukuran kakinya sama dengan ukuran kaki pengemis remaja itu, maka lalu ia melepaskan sepatunya yang terbuat dari kulit dan menyerahkannya kepada pengemis itu.

   "Kalau begitu, pakailah sepatu ini" katanya. Pengemis itu memandang tertegun dan menerima sepatu itu dan Pak Mau To-kouw lalu melangkah ke dalam kuil dengan kaki hanya terbungkus kaus kaki saja.

   Peristiwa kecil ini menunjukkan betapa baik budi to-kouw itu dan gadis berpakaian putih tadi yang melihat peristiwa itu memandang dengan mata sayu, agaknya ia terharu sekali akan kebaikan hati Pek Mau To-kouw. Pengemis itupun segera duduk di atas tanah dan mengganti sepatu bututnya dengan sepatu pemberian Pek Mau To-kouw. Wajahnya berseri dan dia tersenyum-senyum, lalu duduk bersandar pada pohon yang tumbuh di depan kuil. Agaknya angin semilir membuat dia mengantuk karena dia sudah melenggut tidur ayam dibawah pohon.

   Pek Mau To-kouw sendiri sudah memasuki kamar samadhi di kuil itu dan seorang murid datang mengantarkan sepasang sepatu untuk gurunya itu.

   Dari bawah lereng itu nampak ada empat orang naik ke lereng dan menuju ke kuil itu. Dilihat dari pakaian mereka, tiga diantaranya dengan pakaian kembang-kembang dan seorang diantaranya berpakaian serba putih. Para penjaga kuil menduga bahwa yang datang tentu segerombolan wanita lain. Akan tetapi setelah mereka itu dekat, tiba di halaman kuil, para pelayan itu memandang heran. Tiga orang berpakaian kembang-kembang itu adalah seorang laki-laki berusia limapuluh tahun, seorang wanita yang sebaya dan seorang gadis yang cantik. Adapun yang berpakaian serba putih itu adalah seorang pemuda tampan yang wajahnya dihias senyum tenang.

   Pemuda berpakaian serba putih itu adalah Han Sin, sedangkan yang berpakaian kembang-kembang adalah keluarga gila itu, Kui Mo, istrinya Liu Si dan anak mereka Kui Ji. Seperti telah di ceritakan dibagian depan, keluarga gila itu memaksa Han Sin untuk menikah dengan Kui Ji dan untuk merayakan pesta pernikahan, mereka hendak meminjam tempat dari Hwa-li-pang. Han Sin dalam keadaan tidak berdaya karena dia telah keracunan tidak mampu mengerahkan lwe-kangnya. Hawa sakti dari pusarnya tidak mampu menjalar ke kaki tangannya. Racun pelemas otot telah membuat otot-ototnya tidak mampu menampung hawa sakti atau tenaga dalam itu.
Tentu saja dengan kehilangan hawa sakti, ilmu silatnya tidak berisi lagi dan dia tidak mampu menandingi keluarga gila itu. Biarpun pemuda itu sudah menjadi seorang yang lemah, namun keluarga itu, terutama Kui Ji, tidak pernah melepaskan penjagaannya terhadap pemuda itu. Bahkan Kui Ji selalu berjalan di dekat Han Sin untuk menjaga jangan sampai pemuda yang membuatnya tergila-gila itu melarikan diri.

   Kui Mo dan Liu Si memasuki kuil itu, diikuti oleh Han Sin yang digandeng oleh Kui Ji. Melihat tiga orang berpakaian kembang-kembang itu memasuki kuil sambil tertawa-tawa seperti orang mabok, para anggota Hwa-li-pang yang bertugas di kuil segera maju menyambut. Kepala rombongan penjaga kuil, seorang wanita berusia kurang lebih empatpuluh tahun, sudah menjadi pendeta wanita pula, memberi hormat kepada mereka dan bertanya dengan suara lantang" Cu-wi, siapakah dan apa keperluan datang ke kuil kami? Apakah cu-wi (anda sekalian) hendak bersembahyang?"

   Kui Mo tertawa bergelak "ha-ha-ha, kami bukan hendak sembahyang, melainkan hendak meminjam tempat Hwi-li-pang ini untuk merayakan pesta pernikahan anak kami, ha-ha-ha"

   Kepala penjaga kuil itu tentu saja terkejut mendengar ini dan mengerutkan alisnya "Siancai... kami tidak mengerti apa yang kau maksudkan. Tempat kami tidak untuk dipinjamkan kepada siapapun juga"

   Liu Si melangkah maju. Rambutnya yang riap-riapan itu menyeramkan sekali, sebagian wajahnya yang tidak tertutup rambut memperlihatkan kecantikan seorang wanita setengah tua, akan tetapi mulut yang menyerengai dan mata yang mencorong itu benar-benar membuat ia kelihatan seperti siluman.

   "Jangan banyak cerewet... panggil ketuamu dan suruh menghadap kami. Pendeknya, boleh atau tidak boleh tempat ini baru kami pinjam untuk keperluan perayaan pesta pernikahan anak kami"

   Ucapan galak itu di susul tawa yang terdengar mengerikan, melengking tinggi, pada saat itu Kui Mo tertawa-tawa, demikian pula Kui Ji terkekeh-kekeh. Sedangkan Han Sin hanya berdiri dan tersenyum bodoh.

   Para pengujung kuil mulai merasa takut melihat lagak tiga orang berpakaian kembang-kembang itu dan mereka berkumpul di pinggir dekat dinding dan bersiap-siap untuk melarikan diri kalau tiga orang gila itu mengamuk. To-kouw kepala jaga itupun mengerutkan alisnya. Tentu saja ia tidak mau merepotkan ketuanya untuk menghadapi tiga orang gila ini. Ia sendiri sudah memiliki kepandaian silat yang lebih tinggi dari pada semua penjaga kuil itu. Maka dengan berani to-kouw itu lalu membentak" kalian ini orang-orang gila berani datang membikin kacau Hwa-li-pang? Pergilah atau aku akan menggunakan kekerasan mengusir kalian"

   Liu Si terkekeh "He-he-he, kau ini orang gila berani memaki kami? Kalau kami katakan hendak meminjam tempat ini, siapa yang berhak melarang? Kamu hendak mengusir kami dengan kekerasan? Hemmm, apa yang dapat kau lakukan?" Liu Si melangkah maju sampai dekat sekali dengan to-kouw itu yang tentu saja menjadi ngeri di dekati wanita gila yang rambutnya riap-riapan itu. Ia lalu mengerahkan tenaganya mendorong Liu Si pada dadanya. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia mendorong rasanya seperti mendorong sebongkah batu besar yang amat berat. Wanita gila itu sama sekali tidak bergoyang walaupun ia sudah mengerahkan tenaga sepenuhnya.

   "Hik-hik-hik" Liu Si terkekeh dan tangannya di dorongkan ke pundak kepala penjaga kuil itu. Seperti sehelai daun kering di tiup angin to-kouw itu terlempar ke belakang dan roboh menimpa meja.

   Para anggota Hwa-li-pang yang menyaksikan peristiwa ini tentu saja menjadi marah. Mereka segera menghampiri dan menyerang Liu Si dengan pukulan"pukulan dan tamparan.

   Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Empat orang anggota Hwa-li-pang mengeroyoknya, akan tetapi dengan mudah sekali, begitu Liu Si menggerakkan kaki tangannya, empat orang inipun berpelantingan roboh. Gegerlah keadaan dalam kuil. Para murid Hwa-li-pang lari berdatangan dan melihat ini, Kui Mo tertawa.

   "Ha-ha-ha, mari kita ke halaman dapan agar lebih leluasa kita menghajar mereka"
Kui Mo dan Liu Si berlompatan ke pekarangan kuil dan Kui Ji lalu menarik tangan Han Sin untuk ikut pula"Jangan takut, suamiku, Aku akan menjagamu, agar tidak ada yang berani mengganggumu" kata Kui Ji sambil terkekeh, lalu berdiri di pekarangan itu. Di bawah pohon sambil menggandeng tangan Han Sin. Pengemis muda yang tadi menerima sepatu dari Pek Mau To-kouw memandang dengan mata terbelalak heran. Akan tetapi berbeda dengan para tamu kuil yang kelihatan ketakutan, pemuda pengemis ini tidak nampak ketakutan, melainkan tertarik sekali. Terutama sekali dia merasa tertarik melihat keadaan Han Sin yang digandeng gadis gila itu. Dia tahu bahwa tiga orang yang mengenakan baju berkembang itu tentulah orang-orang gila, hal ini mudah diketahui dari sikap mereka yang tertawa-tawa menyeramkam itu. Dan agaknya dia gembira sekali melihat tontonan ini, yang dianggapnya aneh dan dia menanti para anggota Hwa-li-pang yang sudah mengejar keluar dari kuil. Bukan hanya para penjaga kuil yang kini berlari menuju ke halaman kuil itu, akan tetapi juga para anggota lain yang belum berangkat untuk bekerja.
Tidak kurang dari empatpuluh orang wanita anggota Hwa-li-pang kini berdatangan ke tempat itu dan banyak diantara mereka yang memegang senjata pedang atau toya.

   Kui Mo dan Liu Si sudah berdiri saling membelakangi dan tertawa-tawa melihat para anggota Hwa-li-pang berdatangan dengan sikap mengancam itu.

   Mereka Sama sekali tidak merasa gentar, sedangkan Kui Ji tetap berdiri di bawah pohon bersama Han Sin. Dua orang suami istri gila itu nampaknya gembira sekali melihat mereka dikepung oleh banyak pengeroyok dan begitu para pengeroyok itu menggerakkan senjata menyerang mereka, keduanya bergerak dengan cepatnya. Terdengar suara meledak-ledak ketika Liu i memainkan cambuknya dan tongkat di tangan Kui Mo juga berubah menjadi segulungan sinar kuning. Para pengeroyok terkejut sekali. Mereka menjadi bingung karena kedua orang gila itu seperti berubah mmenjadi bayangan yang banyak dan tahu-tahu enam orang diantara mereka telah roboh.

   Akan tetapi, seperti kepala jaga di kuil tadi, yang roboh itu tidak terluka berat, maka mereka terus mnegeroyok dengan marah. Kui Mo dan Liu Si tertawa-tawa dan makin banyak pula pengeroyok yang berpelantingan, dengan kepala benjol, muka lebam, gigi rontok, atau salah urat.

   Pengemis muda yang duduk di bawah pohon dan yang sejak tadi nonton dengan penuh perhatian nampak terkejut melihat kelihaian suami istri gila itu. Sementara itu, Kui Ji bertepuk tangan dan menari-nari kegirangan melihat ayah dan ibunya menghajar para pengeroyok itu.

   Han Sin merasa tidak enak sekali. Para anggota Hwa-li-pang itu adalah wanita-wanita yang tidak berdosa, kini mereka di hajar dan semua itu adalah gara-gara dia.
Kalau dia tidak diambil mantu keluarga gila ini tentu tidak akan terjadi kekacauan di Hwa-li-pang. An dia merasa tidak berdaya, tidak mampu mencegah pengamukan kedua orang gila itu. Hanya ada satu hal yang membuat hatinya lega, yaitu melihat kenyataan bahwa Kui Mo dan Liu Si selalu merobohkan pengeroyoknya tanpa membunuh, atau melukai berat. Mereka itu hanya dirobohkan dengan luka ringan saja dan hal ini membuktikan bahwa keluarga gila ini ternyata tidaklah jahat dan tidak suka membunuh. Padahal kalau mereka menghendaki, tenaga pukulan mereka dapat diperkuat dan yang roboh tentu akan tewas.

   Tiba-tiba terdengar bentakan halus akan tetapi berwibawa "Hentikan perkelahian ini"

   Mendengar suara ini, para anggota Hwa-li-pang berloncatan mundur. Diantara mereka banyak yang menderita luka-luka ringan. Pek Mau To-Kouw melangkah keluar dari pintu kuil dengan anggun dan tegap, menghampiri suami istri gila itu yang kini berdiri di samping Kui Ji dan Han Sin.

   Pek Mau To-kouw mengamati empat orang itu dengan pandangan mata penuh selidik, akan tetapi ia tidak merasa kenal dengan mereka. Ia lalu mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat dan sambil memandang kepada Kui Mo dan Liu Si, ia berkata "Siancai...... Siapakah sebetulnya ji-wi (anda berdua) dan mengapa pula berkelahi dengan anak buah kami dari Hwa-li-pang? Apa kesalahan Hwa-li-pang terhadap ji-wi?"

   Suami istri itu saling pandang dan mereka tertawa girang sekali "suamiku" kata Liu Si dengan sikap manja "To-kouw ini cukup anggun, bukan? Alangkah baiknya kalau ia yang mengatur upacara sembahyang untuk pernikahan anak kita"

   "Ha-ha-ha, memang tepat sekali kata-katamu, istriku. Dengan upacaranya di atur oleh to-kouw ini dan disaksikan oleh semua tokoh kang-ouw, pernikahan itu tentu akan mendapat berkah"

   Pek Mau To-kouw yang biasanya sabar sekali itu, kini timbul rasa penasaran di dalam hatinya "Apa yang ji-wi maksudkan? Ji-wi belum menjawab pertanyaanku"

   "Ha-ha-ha, kau menanyakan apa tadi? Ah, siapakah kami? Aku bernama Kui Mo dan ini istriku Liu si, yang cantik ini puteri kami bernama Kui Ji danpemuda ini adalah calon mantuku bernama Cian Han Sin. Nah, mengapa kami berkelahi dengan anak buahmu? Kalau saja sejak tadi kau keluar, tentu tidak akan ada perkelahian? Kau ketua Hwa-li-pang, bukan?"

   "Kami hendak meminjam tempatmu ini untuk perayaan pernikahan anak kami. Kata Liu Si"

   "Tempat ini kami pinjam, kau menjadi pendeta yang mengatur upacara pernikahan dan kau pula yang mengundang tokoh-tokoh kang-ouw agar hadir dan menyaksikan pernikahan itu, anak buahmu menyediakan hidangannya dan menjadi pelayan-pelayan untuk memeriahkan pesta pernikahan itu. Nah, usul kami ini baik sekali, bukan?" wanita gila itu tertawa melengking tinggi dan suami serta puterinya juga tertawa-tawa. Han Sin tidak ikut tertawa hanya tersenyum tak berdaya dan memandang kepada to-kouw itu dengan hati iba. Sejak dia dibawa ke tempat itu, dia selalu mencari kesempatan untuk meloloskan dan melarikan diri. Akan tetapi "calon istrinya" selalu menjaganya.

   Pek Mau To-kow menjadi merah mukanya saking marahnya mendengar ucapan itu. Tidak heran kalau para muridnya menjadi marah dan mengeroyok dua orang gila ini karena memang permintaan mereka itu sama sekali tidak pantas. Sampai lama ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking marah dan bingungnya bagaimana harus bersikap untuk menghadapi orang-orang gila ini.

   "Ha-ha-ha, Pek Mau to-kouw, tidak usah ragu" kata Kui Mo "Lakukan saja apa yang kami minta dan kami tidak akan mengganggumu. Pesta itu akan kami langsungkan setelah lewat tiga bulan, dan untuk sementara ini kami berempat akan tinggal disini. Beri saja kami dua buah kamar. Itu sudah cukup"

   "Tiga buah kamar" tiba-tiba Han Sin memotong ucapan Kui Mo "Jangan paman calon mertua lupa, kita adalah orang-orang yang selalu menaati adat istiadat, tidak boleh calon pengantin berkumpul dalam satu kamar sebelum dilangsungkan pernikahannya"

   "Ah, ya benar. Tiga buah kamar. Dan makan setiap harinya untuk kami, permintaan kami ringan saja dan tentu kau tidak keberatan, bukan?" Kui Mo memandang kepada Pek Mau To-kouw. Mendengar ucapan Han Sin tadi, tahulah Pek Mau to-kouw bahwa pemuda "calon pengantin" itu bukanlah seorang yang gila seperti suami istri dan puterinya itu. Tentu pemuda itu di paksa oleh suami istri gila yang lihai itu, pikirnya.

   "Siancai" Permintaan kalian itu tentu saja sama sekali tidak mungkin kami penuhi. Pertama, perkumpulan Hwa-li-pang kami adalah sebuah perkumpulan wanita, maka tentu saja tidak dapat menerima tamu pria untuk bermalam di sini, kedua, semua anggota Hwa-li-pang tidak ada yang merayakan pernikahannya, kalau ada yang menikah di tempat ini. Oleh karena itu bagaimana mungkin orang luar merayakan pernikahan disini? Sobat, terpaksa kami tidak dapat memenuhi permintaanmu dan harap segera meninggalkan tempat ini karena kami tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga"

   "Ha-ha-ha, kami tidak ingin mendengar alasan. Pendeknya, boleh atau tidak boleh, tempat ini kami pinjam. Kau ini seorang to-kouw, kenapa tidak mengerti aturan?" Kata Liu Si sambil menudingkan telunjuknya kepada Pek Mau To-kouw.

   Ketua Hwa-li-pang itu memandang marah" Hemmmm, apa maksudmu menuduh kami tidak mengerti aturan?"

   "Seorang pendeta wanita harus memberi contoh yang baik kepada masyarakat, harus berbuat baik. Sekarang hanya dipinjam tempatnya saja tidak boleh. Aturan mana itu?"

   Pek Mau to-kouw menjadi geram. Dasar orang gila, maka pendapatnyapun gila dan seenak perutnya sendiri, pikirnya.

   "Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi, Pendeknya permintaan kalian tidak dapat kami penuhi"

   Kui Mo melangkah maju "Pek Mau to-kouw, sekarang begini saja. Mari kita mengadu kepandaian. Kalau aku kalah, kami tidak akan banyak cakap lagi dan akan mencari tempat untuk pesta pernikahan anak kami. Akan tetapi kalau kau yang kalah, kau harus mengijinkan kami tinggal di sini sampai datangnya pesta pernikahan itu yang akan dilangsungkan di sini bagaimana?"

   Pek Mau to-kouw menganggap bahwa keputusan itu, biarpun di usulkan seorang gila, cukup baik. Tentu saja ia menganggap pula bahwa ia pasti akan dapat mengalahkan si gila ini, karena betapa pun lihainya seorang gila tentu tidak dapat bersilat dengan sempurna. Pula, di situ berkumpul sebagian besar muridnya yang belum berangkat kerja dan terdapat pula orang-orang luar yang datang bersembahyang. Kalau ia tidak berani melayani tantangan seorang gila, apa kata orang? Pula, ia harus membalaskan para muridnya yang tadi di hajar oleh suami istri gila ini."

   "Baiklah, engkau memang seorang gila yang pantas menerima hajaran !" katanya singkat sambil menggerakkan kebutan di tangan kiri sedangkan tangan kanan sudah melolos sebatang pedang dari punggungnya. Para murid Hwa-li-pang segera mundur dan membentuk lingkaran yang luas agar guru mereka dapat leluasa bertanding menghadapi orang gila yang lihai itu. Kui Ji dan Han Sin tetap berdiri di bawah pohon dimana duduk si pengemis muda. Di antara para penonton juga berdiri di lingkaran itu, nampak pula gadis berpakaian serba putih yang tadi datang bersama para wanita yang bersembahyang di kuil.

   Melihat Pek Mau To-kouw sudah siap dengan senjata hud-tim (kebutan pendeta) dan pedang, Kui Mo tertawa bergelak "Ha-ha-ha, To-kouw, engkau tidak akan mampu menandingi tongkatku, lihat senjataku !" Berkata demikian, dia menggerakkan tongkatnya dengan dahsyat sekali, menyerang
ke arah kepala to-kouw itu. Melihat serangan ini, diam-diam Pak Mau To-kouw terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat tinggi, segera ia dapat mengenal lawan yang tangguh. Begitu cepat tongkat itu bergerak dan mendatangkan angin pukulan yang kuat sekali. Ia pun mengelak dan kebutannya yang berbulu merah menyambar ke depan menotok ke arah leher sedangkan pedangnya menyusulkan tusukan ke arah dada.

   Serangan balasan dari to-kouw ini pun hebat sekali sehingga Kui Mo mengeluarkan seruan yang di susul tawa terkekeh. Dia sudah menangkis pedang dan menggunakan tangan kiri mencengkram ke arah kebutan untuk menangkap kebutan itu. Akan tetapi lawannya tidak membiarkan kebutannya tertangkap, segera menarik kembali kebutannya dan kini pedang yangtertangkis itu membabat ke arah kaki lawannya.

   Kui Mo meloncat ke atas dan ketika pedang lewat di bawah kakinya, pedang itu diinjaknya dan tongkatnya sudah menyerang dengan pukulan ke arah pundak kanan to-kouw itu. Tentu dia bermaksud agar to-kouw itu melepaskan pedangnya. Akan tetapi tidak semudah itu dia mengalahkan Pek Mau To-kouw itu. Hud-tim itu sudah menyambar lagi, kini bulu kebutan menjadi lemas dan hendak melibatkan kedua kakinya ! Terpaksa Kui Mo meloncat turun dan serangan tongkatnyapun gagal karena to-kouw itu sudah miringkan pundaknya mengelak.

   Perkelahian itu seru bukan main dan dalam pandangan para murid Hwa-li-pang, tubuh orang yang bertanding hanya nampak bayangannya saja berkelebatan di antara gulungan sinar merah kebutan, sinar kuning tongkat dan sinar putih pedang. Kalau di tonton merupakan pemandangan yang indah dan menarik, akan tetapi semua murid menyadari bahwa yang indah itu mengandung bahaya maut untuk gurumereka !.

   Han Sin tentu saja dapat mengikuti gerakan kedua orang itu dan kembali dia merasa kagum dan juga senang. Dalam pertandingan inipun, menghadapi seorang lawan yang tangguh, kakek gila itu sama sekali tidak pernah menyerang dengan niat membunuh. Sebaliknya, setiap serangan to-kouw itu mengancam keselamatan nyawa lawan. Dia merasa girang dan yakin bahwa keluarga itu memang gila, akan tetapi bukanlah jahat. Dan biarpun kakek gila itu selalu mengalah dan membatasi tenaga serangannya, namun tetap saja Pek Mau To-kouw mulai terdesak. To-kouw ini dibuat bingung oleh jurus-jurus gila itu yang sulit sekali diikuti perkembangannya yang selalu berlawanan dan tidak di sangka sama sekali.

   Tiba-tiba dalam ketegangan yang sunyi itu, yang hanya terisi bunyi nyaring ketika pedang bertemu tongkat di seling suara tawa keluarga gila itu, terdengar orang berkata-kata seperti sedang membaca sajak ! Semua orang menegok karena ternyata yang mengeluarkan suara itu adalah si pengemis muda yang kini berjongkok di bawah pohon dan mengikuti gerak-gerik dua orang yang sedang bertempur itu dengan penuh perhatian.

   "Awal dan akhir bertentangan, ujung dan pangkal berlawanan , kanan menjadi kiri, atas menjadi bawah, depan menjadi belakang, itulah gerakan si pemabok atau si gila !". Bagi orang lain kata-kata ini seperti kacau dan tidak ada artinya. Akan tetapi tidak demikian bagi Pek Mau To-kouw.

   Ucapan itu menyadarkannya dan mulailah dia menghadapi lawannya berlandaskan ucapan itu. Kalau lawan menyerang dari bawah, ia menjaga sebelah atas dan benar saja ! Semua serangan lawannya merupakan serangan yang pangkalnya berlawanan dengan ujungnya sehingga ia dapat menjaga diri lebih baik dan dapat lebih banyak. Dan ia kini terlepas dari desakan lawan, bahkan dapat menyerang balik dengan dahsyat ! Pertandingan menjadi seru dan ramai sekali. Liu Si mengerutkan alisnya, menoleh kepada pengemis muda itu dan tiba-tiba ia sudah meloncat ke depan pengemis itu.

   "kau gila, kau ikut membantu lawan !" katanya dan sekali menggerakkan kepalanya, rambutnya yang riap-riapan itu telah menyambar ke arah pengemis muda itu. Akan tetapi pengemis muda itu ternyata memiliki keringanan tubuh yang menakjubkan. Sekali dia bergerak, tubuh yang berjongkok itu sudah meloncat ke belakang sehingga sambaran rambut itu luput. Liu Si menjadi penasaran dan marah. Ia mengejar dengan senjata pecutnya, akan tetapi pengemis muda itu sudah melintangkan tongkatnya mengoyang-goyangkan tongkatnya dengan lagak yang lucu dan menggoda.

   

Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 15 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 4 Si Bayangan Iblis Eps 6

Cari Blog Ini