Si Bayangan Iblis 6
Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
"Tapi, toako. Seorang pria seperti engkau ini, usiamu sudah cukup dewasa, engkau pandai, engkau gagah perkasa dan wajahmu menarik, bagaimana mungkin sampai kini masih hidup membujang? Maafkan, bukan maksudku mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi seorang pria seperti engkau sudah sepatutnya kalau mempunyai seorang isteri yang cantik jelita dan bijaksana, dan mempunyai beberapa orang anak yang mungil dan sehat."
Ada bayangan gelap menyelimuti wajah Pek-liong, namun hanya sebentar saja, seperti bayangan awan yang lewat. Wajahnya sudah berseri kembali, matanya bercahaya dan mulutnya ramai oleh senyum.
"Isteriku telah meninggal dunia sembilan tahun yang lalu tanpa anak dan sejak itu, aku belum pernah menikah lagi."
"Ah, engkau... seorang...... duda? Siapa sangka!"
Wajah Sui In berubah merah sekali karena ucapan itu tadi keluar begitu saja di luar kesadarannya dan baru sekarang ia merasa betapa ucapan itu amat tidak pantas keluar dari mulutnya. Untuk menutupi perasaan rikuh dan salah tingkah, ia cepat menyambung.
"Isterimu tentu meninggal dunia karena sakit."
Pek-liong menggeleng kepala.
"Seperti juga suamimu, isteriku tewas dibunuh orang! Sudahlah, perlu apa kita bicara tentang hal lalu. Mari engkau singgah dulu di rumahku. Tidak begitu jauh dari sini."
Menjelang sore, tibalah mereka di dusun Pat-kwa-bun. Begitu memasuki pekarangan rumah Pek-liong, Sui In merasa, kagum bukan main.
Tempat itu amat bersih dan terpelihara rapi. Dari pagar temboknya yang tidak begitu tinggi dan dicat merah, sampai pekarangan yang juga merupakan taman terpelihara indah, dengan air mancur di depan di tengah kolam ikan emas, dan ada sebuah arca naga putih di belakang kolam. Beberapa batang pohon membuat tempat itu sejuk dan nyaman, dan hamparan rumput juga terpelihara sehingga merupakan permadani hijau yang menyegarkan mata.
Rumah itu sendiri dari luar nampak kokoh. Tidak begitu besar namun indah walaupun tidak nampak mewah dari luar. Dindingnya putih bahkan jendela dari pintunya juga putih, dengan garis-garis tipis merah muda dan kuning. Gentengnya kemerahan.
"Selamat datang, Tai-hiap, Selamat datang, nona!" Dua orang pria yang berpakaian pelayan namun bersih dan dengan sikap yang gagah, dengan tubuh tegak dan tegap, menyambut mereka dengan salam hormat.
"Nona ini adalah Cu Li-hiap, menjadi tamu kehormatanku malam ini. Suruh A- liok menyiapkan hidangan yang lezat untuk tamu kita!" kata Pek-liong kepada mereka.
"Maafkan kami, Li-hiap," kata seorang di antara mereka sambil memberi hormat kepada Sui In yang tentu saja merasa rikuh menerima penghormatan sebagai seorang pendekar wanita. Akan tetapi ia hanya mengangguk dan Pek-liong mempersilakan ia ikut memasuki rumahnya.
Setelah masuk ke dalam rumah itu, Sui In menjadi semakin kagum. Kiranya isi rumah itu berbeda sekali dengan keadaan luarnya. Semua perabot rumah di situ nampak megah dan mewah, juga terpelihara rapi. Sampai lantainya saja mengkilap seperti cermin!
Lukisan-lukisan indah, juga tulisan-tulisan indah menghias dinding. Pot-pot bunga terukir naga dan burung Hong, berdiri di sudut-sudut terisi tanaman yang segar. Sutera-sutera beraneka warna menutupi lubang-lubang dan bergantungan seperti pelangi. Ruangan-ruangan yang dilaluinya ditata secara nyeni sekali, tidak kalah indahnya dibandingkan istana raja sekalipun!
Yang membuat Sui In semakin kagum adalah ketika mereka memasuki setiap ruangan Pek-liong selalu memeriksa apakah tombol rahasia menunjukkan bahwa ruangan itu bebas perangkap, jelas bahwa rumah yang indah itu penuh jebakan dan perangkap. Karena ingin tahu ia tanyakan hal ini kepada tuan rumah.
Pek-liong mengangguk, tersenyum.
"Hidup seperti aku ini selalu diancam bahaya, banyak orang yang pernah kujatuhkan menaruh dendam dan setiap waktu mereka dapat datang menyerbu ke rumahku. Karena aku tidak suka menggunakan pasukan pengawal, maka aku harus mampu menjaga segala kemungkinan terhadap gangguan dari luar yang datang selagi aku tidur."
"Ah, menarik sekali, Toako, aku tidak ingin mengetahui alat-alat rahasia di rumahmu ini yang tentu saja harus dirahasiakan, akan tetapi kalau boleh aku ingin melihat bekerjanya satu saja perangkap yang dipasang di ruangan depan itu." Ia menuding ke depan, ke sebuah ruangan yang dihias sutera-sutera merah muda.
Pek-liong tersenyum, mengangguk dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Engkau boleh buktikan sendiri, In-moi. Coba kau masuki ruangan itu dengan sikap hati-hati. Engkau seorang penyerbu yang sudah menduga bahwa kamar itu dipasangi jebakan, sehingga engkau boleh berhati-hati sekali, akan tetapi engkau harus memasuki ruangan itu, katakanlah untuk mengambil atau melakukan sesuatu."
Sui In mengerutkan alisnya.
"Akan tetapi...... aku tidak mau terancam bahaya maut, toako!"
Pek-liong menggeleng kepala.
"Aku belum gila, In-moi. Masa aku akan mencelakaimu? Jangan khawatir, perangkap yang kupasang di rumah ini bukan untuk membunuh, melainkan untuk membuat orang yang berniat buruk tidak berdaya dan tertawan tanpa melukai atau menyakitinya. Engkau boleh mencabut pedangmu untuk berjaga-jaga, seperti seorang musuh tulen!"
Sui In menjadi tertarik sekali dan iapun mengangguk, mencabut pedangnya dan dengan hati-hati menghampiri kamar itu. Bahkan ia, merasa gembira karena ia seperti berada dalam suatu permainan yang menarik untuk menguji diri sendiri dan menguji keampuhan alat yang dipasang oleh Pendekar Naga Putih di dalam rumahnya.
Dengan penuh kewaspadaan, Sui In menghampiri ruangan itu. Sebuah ruangan duduk yang indah, dengan pintunya terbuka dan lantainya mengkilap, meja kursinya terukir indah ditilami bantalan. Jendela-jendela yang berada di tiga penjuru tertutup, tentu dibuka kalau ada tamu sehingga ruangan yang menembus di sebelah kiri pada sebuah taman itu tentu akan sejuk dan nyaman sekali. Dindingnya yang bersih dihiasi lukisan dan tulisan indah berbentuk syair-syair berpasangan.
Dengan pandang matanya yang tajam Sui In mengamati seluruh bagian ruangan itu, mencari-cari tanda adanya pesawat rahasia. Namun semua nampak bersih dan wajar, tidak ada yang mencurigakan. Apakah lantainya yang mampu bergerak dan terdapat lubang sehingga ia akan terperosok ke bawah kalau menginjaknya. Ataukah dari jendela-jendela itu akan keluar senjata rahasia atau asap pembius yang akan membuatnya pingsan? Apakah daun pintu akan menutup sendiri begitu ia memasuki ruangan?
Berbagai kemungkinan ini ia perhitungkan ketika akhirnya berindap-indap ia melangkah memasuki ruangan itu dengan pedang di tangan. Selangkah demi selangkah ia memasuki ruangan itu, setiap bagian tubuhnya menegang penuh kesiap siagaan.
Pada langkah kelima, tiba-tiba terdengar suara berderit di belakangnya. Ia cepat menoleh dan daun pintu yang tadi terbuka lebar itu kini tertutup! Ia melangkah maju lagi dan setelah tiba di tengah ruangan, tiba-tiba saja dari empat sudut ruangan itu menyambar anak-anak panah yang ujungnya berbentuk bola, juga dari atas turun anak panah bagaikan hujan.
Sui In cepat menggerakkan pedangnya, diputar melindungi tubuhnya dan semua anak panah runtuh. Setelah runtuh baru nampak olehnya bahwa anakpanah-anakpanah itu tumpul dan tidak akan melukai orang yang menjadi sasaran.
Tiba-tiba saja dari lantai yang mengkilap itu bermunculan tongkat-tongkat panjang yang menyambar-nyambar ke arah kakinya. Sui In meloncat ke atas, dan pada saat itu, kain-kain sutera merah muda yang bergantungan di langit-langit itu bergerak, menyambar-nyambar sehingga mengaburkan pandangan matanya dan tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya sudah terlibat-libat oleh kain sutera yang panjang dan banyak sekali, seperti tidak ada habisnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah tergantung di udara dalam libatan banyak kain sutera, seperti seekor lalat tertangkap di sarang laba-laba.
Akan tetapi, Sui In bukanlah wanita lemah. Ketika tadi kain sutera yang tadinya bergantungan sebagai hiasan itu tiba-tiba hidup dan menyambar-nyambar ke arahnya, tubuhnya terlibat-libat, ia sudah cepat membebaskan tangan kanan yang memegang pedang.
Kini, biarpun tubuhnya sudah terlibat-libat kain, lengan kanan dan pedangnya masih bebas. Ia menggerakkan pedangnya dan putuslah semua libatan kain sutera dari tubuhnya.
Ia terlepas dan jatuh ke bawah. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hebat, ia sudah berjungkir balik tiga kali dan turun ke atas lantai dengan selamat dan dalam keadaan berdiri. Akan tetapi, putusnya kain-kain sutera itu menimbulkan bunyi kelenengan nyaring bertubi-tubi dan terdengar dari seluruh penjuru rumah itu.
Daun-daun jendela tiba-tiba terbuka dan enam orang pelayan pria pembantu rumah tangga itu sudah berdiri di luar jendela dengan pedang di tangan! Daun pintu yang tadi tertutup sendiripun terbuka dan Pek-liong sudah berdiri di ambang pintu dengan tersenyum! Sui In mendapatkan dirinya sudah terkepung di dalam ruangan itu!
Pek-liong bertepuk tangan memuji.
"Hebat, engkau hebat sekali, nona. Engkau sudah dapat menghindarkan anak panah, toya dan bahkan jala kain sutera!"
Sui In menyarungkan pedangnya dan menarik napas panjang.
"Aihhh, sungguh ruangan ini berbahaya sekali! Biarpun sudah dapat membebaskan diri dari semua itu, akhirnya aku terkepung di ruangan ini! Ruangan yang satu ini saja sudah begini hebat, apa lagi yang lainnya! Toako, aku mengaku kalah dan menyatakan kagum sekali. Maafkan kalau aku merusak kain-kain sutera merah muda itu."
"Ah, tidak mengapa, In-moi." Lalu kepada para pembantunya dia berkata.
"Ganti kain"kain sutera itu dengan yang baru dengan warna biru laut!"
Kemudian dia mengajak Sui In keluar dari ruangan itu dan mempersilakan janda muda itu ke sebuah kamar. Dia sendiri berhenti di luar pintu kamar.
"In-moi, inilah kamar tamu untukmu bermalam semalam ini. Besok pagi baru kita akan melakukan perjalanan ke kota raja. Malam ini aku akan membuat persiapan untuk perjalanan besok pagi. Makan malam nanti setelah siap dan engkau akan diberitahu oleh pembantu. Nah, beristirahatlah, In-moi."
Setelah berkata demikian, Pek-liong meninggalkan wanita itu. Sampai beberapa lamanya Sui In berdiri di pintu kamar itu, mengikuti bayangan Pek-liong sampai lenyap di tikungan. Seorang pria yang bukan main, pikirnya. Gagah perkasa, berkepandaian tinggi, tampan dan ganteng, duda dan bebas, ditambah lagi kaya-raya dan juga amat sopan. Masuk ke kamar itupun dia tidak mau!
Hatinya semakin tertarik dan dengan muka merah ia mendapatkan kenyataan betapa ia telah jatuh cinta kepada pria muda yang ganteng itu! Betapa ia mengharapkan terjadi suatu mujijat, suatu anugerah dari Tuhan. Ia seorang janda, dan Pek-liong-eng Tan Cin Hay seorang duda. Sudah tepat, bukan? Dan jantungnya berdebar-debar ketika ia memasuki kamar itu. Begitu masuk, hidungnya bertemu keharuman semerbak.
Sebuah kamar yang mewah sekali. Ada dupa harum masih mengepul di atas meja, tanda bahwa dupa itu baru saja dibakar oleh pelayan. Kamar itu tidak berapa besar, namun lengkap dan enak sekali. Udaranya nyaman, masuk dari jendela yang menembus taman, dan dari lubang-lubang hawa di atas jendela. Sebuah kamar kecil menyambung kamar itu. Betapa mewahnya!
Ketika ia menjenguk ke dalam kamar mandi, tersedia sudah air jernih yang cukup banyak. Setelah menutup pintu kamar, Sui In lalu menyiram tubuhnya dengan air, mandi sekenyangnya sehingga tubuhnya terasa segar kembali, kulit tubuhnya dari muka sampai kaki tangan, menjadi kemerahan karena digosoknya dengan keras sehingga bersih dari debu.
Ia telah mengenakan pakaian bersih ketika pinta kamar diketuk dari luar, dan seorang pelayan dengan sikap hormat memberitahu bahwa makan malam telah siap, dan tamu yang dihormati itu dipersilakan datang ke ruangan makan di mana "tai-hiap" telah menanti.
Ketika Sui In memasuki ruangan makan, Pek-liong bangkit berdiri dan dia memandang kepada wanita itu dengan sinar mata kagum. Harus diakuinya bahwa janda muda ini memang cantik manis dan segar bagaikan setangkai bunga mawar di pagi hari, tersiram embun pagi dan bersinar cahaya keemasan matahari. Dengan ramah dia lalu mempersilakan tamunya duduk berhadapan dengannya, menghadapi sebuah meja.
Melihat pandang mata kagum itu, Sui In merasa betapa jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya. Untuk menenangkan hatinya, iapun segera bertanya setelah duduk.
"Sudahkah engkau membuat persiapan, toako? Dan kapan kita berangkat?"
Pek-liong mengangguk.
"Sudah beres semua, In-moi. Besok pagi-pagi setelah terdengar bunyi ayam berkeruyuk, kita berangkat."
Sementara itu, dua orang pelayan datang membawa hidangan yang masih mengepul panas. Sui In mencium bau masakan yang lezat dan perutnya memberontak karena memang ia telah merasa lapar. Tidak kurang dari sepuluh macam masakan dihidangkan, kesemuanya terdiri dari masakan yang mewah dan mahal.
Mereka berdua lalu makan minum dengan gembira, sambil bercakap-cakap. Sui In sama sekali tidak merasa canggung biarpun pengalaman seperti ini merupakan pengalaman pertama sejak suaminya terbunuh.
Makan malam berdua saja dengan seorang pria yang tampan dan gagah! Di dalam rumah pria itu pula! Akan tetapi, sedikitpun ia tidak merasa canggung dan kaku. Hal ini karena sikap Pek-liong yang sopan dan ramah. Memang, kadang-kadang sinar mata yang tajam mencorong itu membayangkan kekaguman, namun kekaguman yang wajar, tidak mengandung kecabulan atau kekurangajaran yang biasa ia lihat dalam pandang mata kaum pria kalau memandang kepadanya.
Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di dalam taman bunga di belakang rumah itu. Juga taman bunga ini, walaupun tidak sangat luas, diatur indah sekali.
Di tengah taman, di antara beraneka macam bunga, terdapat sebuah tempat berteduh berbentuk payung, bangunan tanpa dinding, hanya atap yang berbentuk payung dan di bawahnya terdapat enam buah bangku dan sebuah meja.
Tempat itu enak sekali. Empat lampu gantung menerangi tempat itu, dan di sana-sini, di ujung taman terdapat pula lampu gantung dengan berbagai warna. Suasana amat hening dan indah, semerbak harum bunga memenuhi taman itu.
"Aduh, bagus sekali taman ini!" kata Sui In memuji.
"Mari kita duduk di sana. Engkau belum mengantuk, bukan?" kata Pek-liong dan wanita itu tertawa.
"Aih, toako. Baru saja makan kenyang, masa mengantuk dan tidur? Pula, malam baru saja tiba, belum larut."
Mereka lalu duduk berhadapan terhalang meja kecil. Suasana sungguh indah dan romantis sekali. Apa lagi ketika di langit muncul bulan muda yang memandikan taman itu dengan cahayanya yang lembut. Anginpun lembut sepoi-sepoi bercanda di antara bunga-bunga, membuat udara yang penuh keharuman bunga itu menjadi nyaman dan sejuk.
Suasana yang romantis seperti ini, cahaya bulan yang lembut mengandung daya yang mengairahkan, yang amat kuat mengusik hati muda, menggelitik dan membangkitkan berahi. Hal ini terasa sekali oleh Sui In ketika ia duduk dan menikmati keindahan itu, dan setiap kali pandang matanya berhenti di wajah Pek-liong, ia terpesona.
Wajah itu nampak demikian ganteng, demikian tampan sehingga hatinya luluh, rindu dendam dan gairahnya bangkit. Kalau saja pada saat itu Pek-liong maju selangkah saja, mengulurkan tangan, pasti ia tidak akan mampu menolak atau mengelak, dan akan terlena dalam pelukan pria itu dengan hati penuh kerinduan!
Akan tetapi, Pek-liong sama sekali tidak melakukan uluran tangan! Sama sekali tidak, bahkan pria mengajaknya bercakap-cakap kembali tentang semua peristiwa yang terjadi di kota raja, sehubungan dengan kemunculan Si Bayangan Iblis.
Bimbingan ke arah percakapan itu tentu saja membuyarkan keindahan khayal yang muncul dari gairah berahi tadi, apa lagi karena percakapan itu mengingatkan Sui In akan semua peristiwa dan malapetaka yang menimpa dirinya. Iapun tertarik dan setelah mereka barcakap-cakap, iapun menerangkan dan menceritakan segala hal yang diketahuinya dan yang bertalian dengan pembunuhan-pembunuhan misterius yang dilakukan oleh bayangan yang kemudian dinamakan Si Bayangan Iblis. Waktu berjalan cepat dan tahu-tahu bulan sudah naik tinggi ketika Pek-liong mempersilakan tamunya untuk tidur.
"Besok pagi-pagi kita berangkat, maka sebaiknya kalau engkau mengaso dan tidur di kamar, In-moi. Selamat malam dan selamat tidur!"
Sui In tidak menjawab dan ada perasaan kecewa dan menyesal di dalam hatinya bahwa malam itu ia harus berpisah dari Pek-liong. Muncul kembali kerinduannya akan suatu kemesraan yang sudah lama lepas darinya, lama sebelum suaminya tewas dibunuh orang.
Dan ia ingin mendapatkan kemesraan ittu dari Pek-liong! Akan tetapi, agaknya sedikitpun Pek-liong tidak menanggapi perasaannya. Berulang tali ia menarik napas panjang penuh kekecewaan dan penyesalan ketika ia melangkah perlahan menuju ke kamarnya, setelah tadi Pek-liong meninggalkannya di taman.
Baru setelah ia merebahkan diri di atas pembaringannya, ketika suasana romantis taman bunga bermandikan cahaya bulan itu tidak mempengaruhinya, ia tersenyum! Diam-diam ia berterima kasih kepada Pek-liong yang tidak mempergunakan kesempatan itu untuk merayunya dari menjatuhkannya!
Kalau sampai hal itu terjadi, tentu ia akan merasa menyesal sekali kemudian, karena ia sedang bertugas! Tugas mencari Si Bayangan Iblis dan menumpas kejahatan itu sama sekali belum terlaksana! Suaminya tewas di tangan penjahat, juga paman gurunya tewas di tangan penjahat dan penjahat itu agaknya Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis).
Sungguh tidak pantas kalau kini ia bersenang-senang mengumbar nafsu berahi. Selain tidak pantas karena baru saja kematian suaminya, juga tidak patut karena dalam melaksanakan tugas ia hanya mementingkan kesenangan sendiri, membiarkan diri menjadi budak nafsu! Kalau musuh itu telah terhukum, kalau ia sudah bebas dari tugas, hal itu akan lain lagi.
"Pek-liong, terima kasih......" bisiknya tersenyum dan janda muda inipun terlena dalam kepulasan.
Gadis itu cukup manis walaupun tidak dapat dibilang terlalu cantik, Bahkan wajah yang nampak membayangkan kebodohan itu tidak akan menarik perhatian pria, walaupun harus diakui bahwa bentuk tubuhnya amat indah. Rambutnya juga nampak kasar dan gerak geriknya kaku. Juga ia kelihatan takut-takut dan gelisah.
Memasuki ruangan-ruangan yang amat indah dari istana itu, ia bagaikan seekor ikan sungai yang kecil dilempar masuk ke dalam samudera. Ia kebingungan, merasa dirinya kecil menghadapi segala kemegahan dan kemewahan itu.
Melihat kegelisahan membayang di wajah yang manis dan polos itu, pria berpakaian perwira yang berjalan di sampingnya tersenyum.
"Akim, jangan takut. Tenanglah. Asalkan engkau pandai membawa diri dan rajin bekerja juga jujur dan taat, tentu engkau akan hidup senang di istana. Sekarang, Hong- houw (Parmaisuri) ingin melihatmu sebagai seorang dayang baru, engkau harus menghadap dan memberi hormat kepada beliau seperti yang sudah kuajarkan tadi."
Gadis itu mengangguk-angguk akan tetapi jelas nampak betapa ia gelisah dan ketakutan. Gadis yang jelas sekali kelihatan sebagai seorang gadis dusun yang disebut Akim oleh perwira itu bukan lain adalah Hek-liong-li Lie Kim Cu!
Dengan kepandaiannya menyamar yang hebat, ia sudah dapat menyulap dirinya yang merupakan seorang wanita berusia duapuluh lima yang amat cantik jelita, manis dan menarik hati, berubah menjadi seorang gadis dusun berusia kurang lebih duapuluh tahun, kasar kaku, tidak menarik walaupun cukup manis, dan wajahnya membayangkan kebodohan. Cian Ciang-kun sendiri sampai terbalalak dan tertegun ketika pertama kali melihat penyamaran ini, dan merasa yakin bahwa tak seorangpun akan dapat mencurigai seorang gadis dusun bodoh seperti itu.
Perwira yang berjalan di sampingnya dalam ruangan-ruangan istana itu adalah Kok Ciang-kun (Perwira Kok) yang menjabat kepala pasukan pengawal thai-kam (orang- orang kebiri), yaitu kenalan Cian Ciang-kun dan yang suka "menolong" Cian Hui untuk memasukkan seorang "sanak jauh" dari dusun menjadi seorang dayang baru di istana.
Di istana bagian puteri ini, tak seorangpun dari luar diperbolehkan masuk. Hanya keluarga Kaisar yang boleh masuk, dan tentu saja para perajurit pengawal thai-kam. Untuk mencegah terjadinya, penyelewengan dari para wanita dalam istana itu, maka sejak dahulu kala sampai saat itu, para petugas pria di istana bagian-puteri haruslah dikebiri lebih dahulu!
Pada saat itu, bukan hanya karena kepandaian saja Liong-li yang kini menyamar menjadi Kim Siauw Hwa atau biasa disebut Akim kelihatan gugup dan gelisah. Akan tetapi memang benar-benar ada kegelisahan di hatinya.
Ia telah memasuki istana dengan menyamar, dan ia tahu bahwa bahaya bukan hanya datang dari penjahat yang dinamakan Kwi-eng-cu akan tetapi dari satu kekuatan yang mempunyai banyak orang pandai! Dan ia merasa yakin bahwa sarang penjahat itu, atau pimpinannya, pasti berada di istana. Kalau gerombolan penjahat itu berada di luar istana tentu sudah lama diketahui tempatnya oleh Cian Hui yang cerdik dan memiliki banyak mata-mata.
Selain merasa berada di tengah-tengah pihak musuh yang belum diketahuinya siapa, dan betapa bahayanya bagi dirinya kalau pihak musuh sampai mengetahui bahwa ia Hek-liong-li yang menyamar, juga ia harus berhadapan dengan Hong-houw (Permaisuri) Bu Cek Thian! Menurut keterangan dari Cian Hui, wanita itu cerdik bagaikan iblis! Ia teringat akan kata-kata pesanan Cian Hui kepadanya ketika hendak berangkat tadi.
"Berhati-hatilah terhadap Hong-houw, Li-hiap. Ia seorang wanita yang teramat cerdik seperti Iblis! Bahkan saat ini boleh dibilang ia yang paling berkuasa di seluruh istana! Hong-siang (Kaisar) sendiri seperti menjadi boneka di tangannya. Ia cerdik dan amat berbahaya, oleh karena itu, berhati-hatilah engkau terhadap wanita ini."
Tentu saja Liong-li tidak merasa takut. Baginya, makin lihai dan makin cerdik orang"orang yang berada di pihak lawan, akan semakin gembira menghadapinya. Yang membuat ia gelisah adalah mengingat betapa dirinya sama sekali tidak berdaya di dalam istana yang besar dan megah itu.
Ia merasa seperti seekor lalat memasuki sarang laba-laba! Dan begitu memasuki istana, diterima oleh Kok Ciang-kun, perwira thai-kam yang gendut dan agak genit seperti wanita ini membawanya menghadap Hong-houw, wanita yang agaknya bahkan ditakuti oleh Cian Hui itu!
Kini mereka tiba di luar sebuah pintu dan Kok Ciang-kun memberi isyarat kepada Akim untuk berhenti. Kok Ciang-kun lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Akim yang sudah diberitahu sebelumnya untuk mengikuti apa yang dilakukan perwira Thai-kam itu.
"Hamba Kok Tay Gu mohon diperkenankan menghadap Hong-houw!" Dia berkata dengan suara nyaring.
Pintu dibuka dari dalam. Sebuah pintu berukir yang indah dan ketika pintu dibuka, Akim mengangkat muka dan iapun terpesona.
Bukan main indahnya ruangan di balik pintu itu! Dan bau semerbak harum menyergap keluar begitu pintu dibuka oleh seorang dayang muda yang cantik. Seluruh isi ruangan itu gemerlapan dengan kemegahan dan kemewahan.
"Terima kasih, terima kasih atas kemurahan hati Hong-houw!" kata pula Kok Ciang-kun.
Sungguh suatu sikap yang berlebihan sehingga baginya seperti adegan dalam panggung wayang atau pelawak saja. Akan tetapi, Akim tidak berani mengangkat muka lagi ketika tadi pandang matanya bertemu dengan sepasang mata yang indah akan tetapi juga mencorong tajam seperti mata kucing di tempat gelap!
"Kok Ciang-kun, yang mulia Hong-houw memerintahkan engkau dan calon dayang ini masuk!" terdengar perintah yang keluar dari mulut seorang dayang lain.
Kok Ciang-kun bangkit dengan sikap hormat, diikuti oleh Akim, kemudian melangkah memasuki kamar. Akim hanya mengikuti saja dengan jantung berdebar penuh ketegangan.
"Ban-swe, ban-ban-swe (hidup dan panjang usia)!" Kok Ciang-kun menjatuhkan diri berlutut lagi dan membentur-benturkan dahinya di lantai yang bertilamkan permadani merah. Akim juga berlutut dan membentur-benturkan dahinya.
"Kok Tay Gu, inikah gadis dusun yang ingin menjadi dayang itu?" terdengar suara yang halus namun tajam penuh wibawa.
Kok Ciang-kun memberi hormat lagi sebelum menjawab.
"Benar sekali, Yang Mulia. Ia seorang gadis dusun bernama Kim Siauw Hwa, biasa disebut Akim, dan ia telah siap melakukan segala macam pekerjaan yang diperintahkan untuknya, siap melayani paduka dengan taruhan nyawa."
Hemm, taruhan nyawa hidungmu! Demikian Liong-li memaki dalam hatinya. Sungguh segala hal terlalu dilebih-lebihkan di dalam istana ini. Penjilatan agaknya terjadi setiap saat, oleh orang-orang yang amat rendah terhadap orang-orang yang gila hormat.
"Hemmm, namanya Akim? Lucu juga. Akim, angkat mukamu untuk kami lihat!" kata pula suara yang lembut tajam itu. Akim mengangkat mukanya dan ia melihat kepada seorang wanita yang amat cantik dan anggun. Wanita itu usianya empatpuluh tahun lebih, namun pakaiannya mewah bukan main, dan seluruh tubuhnya terawat dengan rapi. Agaknya setiap helai rambutnya pun tidak terluput dari perawatan sehingga ia nampak seperti hasil sebuah lukisan seorang ahli.
Sepasang matanya tajam mencorong, dan bibir yang penuh gairah dan manis menantang itu dihias dagu yang membayangkan kekerasan hatinya. Hidung kecil mancung itu kembang kempis, pertanda bahwa ia seorang wanita yang memiliki gairah nafsu yang berkobar! Seorang wanita yang amat berbahaya, cerdik seperti iblis, demikian keterangan Cian Hui, kepadanya.
Cepat ketika ia mengangkat mukanya, Akim memasang wajah bodoh dan ketakutan membayang pada pandang matanya yang biasanya tidak kalah tajam dan mencorong dibandingkan sepasang mata permaisuri itu. Wajah wanita itu masih cantik menarik, ditambah lagi dengan riasan yang agak berlebihan sehingga alisnya dibuat melengkung seperti bulan tanggal muda, bibirnya merah semringah, pipinya kemerahan dan kulit mukanya lebih putih dari pada aselinya.
Sepasang alis melengkung yang terlalu hitam itu agak berkerut ketika ia melihat wajah dayang baru itu.
"Hemm, engkau terlalu buruk untuk menjadi dayang!" serunya.
"Heh, Kok Tay Gu, kenapa engkau membawa seorang gadis berwajah bodoh dan buruk ini untuk menjadi dayang baru? Apa engkau ingin merusak keindahan sebuah taman bunga dengan ratusan aneka bunga jelita dengan menyertakan setangkai bunga yang jelek di dalam taman?"
Kok Ciang-kun sambil berlutut menjawab.
"Mohon kemurahan hati paduka untuk mengampuni hamba, Yang Mulia. Biarpun wajahnya tidak berapa cantik namun ia pandai masak, rajin dan besar tenaganya. Iapun bersedia untuk bekerja di dapur atau di mana saja untuk menghambakan diri kepada paduka yang mulia!"
"Hemm, benarkah ia pandai masak dan rajin? Dan ia bertenaga besar dan kuat? Ingin aku melihatnya!"
Akim yang sudah menunduk kembali, juga Kok Ciang-kun, tidak melihat betapa permaisuri itu memberi isyarat dengan mata kepada seorang dayang pengawalnya. Gadis yang bertubuh tegap itu mengambil sebatang cambuk pendek, menghampiri Akim dari belakang.
Biarpun Akim berlutut dan menunduk, pendengarannya yang terlatih dan amat tajam sudah sejak tadi menangkap gerakan orang di belakangnya. Bahkan ia seperti dapat melihat saja ketika gadis dayang itu mengayun cambuknya ke arah punggungnya yang sedang membungkuk. Tentu saja amat mudah baginya untuk mengelak atau menangkis kalau ia kehendaki. Akan tetapi, Akim atau Liong-li adalah seorang wanita yang cerdik bukan main, waspada dan dapat mengetahui keadaan seketika dengan perhitungan yang tepat.
Ia sudah dapat menduga bahwa tentu permaisuri yang cerdik dan berbahaya seperti iblis itu menaruh curiga kepadanya dan kini mengutus seorang pembantunya untuk mengujinya. Kalau dalam keadaan seperti itu ia mampu menghindarkan diri dari serangan cambuk itu, berarti ia membuka rahasianya bahwa ia seorang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, karena hanya orang yang memiliki ilmu silat yang sudah tinggi tingkatannya saja mampu menghindarkan diri dari ancaman bahaya tanpa dilihatnya. Sungguh ujian yang keluar dari otak yang cerdik luar biasa, pikirnya dan iapun tidak mengerahkan tenaga sedikitpun ketika cambuk itu menghantam punggung.
"Tarr! Tarrr!" Dua kali cambuk itu menghantam punggungnya, demikian kerasnya sehingga baju di bagian punggung robek-robek, berikut kulit punggungnya yang tidak ia lindungi dengan tenaga sakti. Darah keluar dari kulit punggung yang pecah-pecah dan Akim mengeluarkan jerit kesakitan yang ia lakukan bukan seperti permainan sandiwara, melainkan sungguh-sungguh karena ia tidak menahan diri dan membiarkan naluri perasaannya membuatnya menjerit kesakitan.
Kok Ciang-kun terkejut sekali, akan tetapi tidak berani berkutik ketika permaisuri itu turun dari atas kursi emasnya dan melangkah perlahan untuk memeriksa keadaan punggung gadis dusun yang masih berlutut dan menangis lirih itu. Ia melihat punggung itu terluka oleh cambuk, berdarah dan iapun mengangguk puas.
Benar seorang gadis dusun yang tak begitu cantik, bodoh dan sama sekali tidak memiliki kepandaian yang membahayakan, dan mungkin tenaganya lebih besar dari wanita lain. Hal ini tentu saja wajar kalau mengingat bahwa ia seorang gadis dusun yang sejak kecil biasa bekerja kasar dan keras.
"Kok Tay Gu, Akim ini kami terima sebagai pelayan. Mundurlah, dan kami senang dengan jasamu ini."
Bukan main girangnya hati Kok Ciang-kun yang tadinya sudah gemetar ketakutan karena dia mengira bahwa kehadiran Akim mendatangkan perasaan tidak senang di hati permaisuri itu. Dia membentur-benturkan dahinya di lantai, menghaturkan terima kasih berulang kali, kemudian merangkak mundur meninggalkan ruangan itu.
Permaisuri Bu Cek Thian berkata kepada seorang dayang pengawal.
"Bawa ia ke belakang, beri pakaian dan obati punggungnya. Lalu serahkan ia kepada kepala dapur untuk menerimanya sebagai pembantu di dapur."
Akim yang sudah mempelajari bagaimana ia harus bersikap di depan sang permaisuri, segera meniru apa yang dilakukan Kok Ciang-kun tadi. Ia membentur-benturkan dahinya di lantai sambil mengucap terima kasih berulang kali, walaupun hatinya mendongkol bukan main dan hatinya ingin sekali menghajar wanita pesolek yang sewenang-wenang dan kejam itu.
Tentu saja ia tidak berani melakukan hal semacam itu, karena betapapun pandainya, kalau ia berani melakukan hal itu, tentu nyawanya takkan dapat tertolong lagi! Wanita di depannya ini adalah permaisuri kaisar, bahkan menurut Cian Hui, wanita ini merupakan orang paling berkuasa di seluruh kerajaan, bahkan kaisar sendiri menjadi seperti boneka dalam genggaman wanita ini.
Ia lalu ditarik berdiri dan didorong secara kasar oleh dayang pengawal yang menerima perintah, diajak keluar dari ruangan itu dan setelah menerima beberapa helai pakaian baru, diobati punggungnya dengan obat bubuk. Ia lalu diajak ke dapur dan diserahkan kepada kepala dapur, seorang laki-laki thai-kam gendut seperti bola yang dari gerak geriknya saja sudah dapat diduga bahwa dia adalah seorang koki yang pandai!
Mulailah Akim atau Hek-liong-li Lie Kim Cu bekerja di dapur istana permaisuri yang menjadi satu dengan dapur istana kaisar. Hanya saja para pekerja thai-kam sajalah yang diperbolehkan masuk ke bagian puteri sedangkan para pekerja pria biasa sama sekali dilarang dan mereka ini yang membawa masakan dan segala keperluan lain ke istana bagian putera.
Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena pandai membawa diri, dalam waktu sehari saja Akim yang rajin disuka oleh mereka yang bekerja di dapur, apa lagi mendengar bahwa Akim diterima dan ditunjuk sendiri oleh permaisuri bekerja di bagian dapur. Karena ia ditunjuk sendiri oleh Permaisuri, maka ia dianggap "istimewa" dan tidak ada yang berani mengganggu. Pula, Akim pandai sekali memperlihatkan sikap yang tidak menarik bagi pria, dan ia kelihatan sebagai seorang gadis yang bodoh dan kaku walaupun rajin dan memiliki bentuk tubuh yang elok.
Malamnya, Akim mendapatkan sebuah kamar di antara deretan kamar para pelayan di bagian paling belakang, dekat dapur. Karena ia dianggap istimewa pula, pekerja yang ditunjuk permaisuri, maka ia mendapatkan sebuah kamar untuk dirinya sendiri. Pelayan lain merasa enggan untuk tinggal sekamar dengannya, karena seorang yang ditunjuk oleh permaisuri dianggap berbahaya. Siapa tahu ia mata-mata permaisuri yang mencatat semua kegiatan mereka?
Permaisuri amat galak dan siapa yang bersalah mendapatkan hukuman yang mengerikan. Pernah ada seorang pelayan wanita di dapur yang wajahnya manis, tertangkap basah ketika ia melakukan hubungan mesra dengan seorang pelayan pria dari bagian putera. Permaisuri yang menganggap pelayan itu menodai "kesucian" istana bagian puteri, dipaksa mati secara mengerikan.
Ia dipaksa duduk di atas sebuah kursi, dengan kaki dan tangan terikat kepada kursi sehingga tak mampu bergerak. Kemudian, sebuah kantung kain diselubungkan ke kepalanya dan diikat tertutup rapat-rapat. Tentu saja setelah udara di dalam kantung itu habis, wanita malang itu tidak dapat bernapas. Akan tetapi ia tidak mampu meronta, hanya kepalanya saja yang meronta-ronta minta lepas, akan tetapi sebentar saja kepala itu terkulai dan ia tewas. Mayatnya dikubur diam-diam dan semua hukuman ini berlangsung secara rahasia tanpa diketahui orang luar, kecuali para pekerja di istana.
Tentu saja Akim yang "diasingkan" oleh para pekerja lain, merasa girang bukan main. Justeru inilah yang ia kehendaki. Karena ia memiliki kamar tersendiri, dengan leluasa ia mampu mengadakan penyelidikan.
Pada malam harinya, setelah semua orang tidur, Akim mengganti pakaiannya dengan pakaian serba hitam yang sudah ia persiapkan, menutupi mukanya dengan topeng kain, dan iapun menyelinap keluar dari dalam kamarnya tanpa diketahui siapapun. Ia lalu mulai dengan penyelidikannya.
Malam pertama itu ia tidak bertemu dengan Bayangan Iblis seorangpun, hanya melihat seorang kebiri berjalan mengiringkan seorang dayang pengawal menuju ke kamar Sang Permaisuri. Laki-laki kebiri itu usianya kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya ganteng dengan kulit putih bersih dan perawakannya jantan, tinggi besar dan kokoh kuat.
Hal ini membuat Akim tertegun dan terheran-heran. Memang hanya para thai-kam (laki-laki kebiri) saja yang diperbolehkan berkeliaran melakukan tugas masing-masing di istana bagian puteri. Laki-laki kebiri dianggap "aman" karena tidak mungkin dapat melakukan hubungan gelap dengan para wanita istana.
Kalau ia melihat thai-kam itu memasuki kamar Sang Permaisuri pada siang hari, ia tidak akan merasa heran. Akan tetapi malam hari? Dan ketika semua orang sudah tidur dan mengunci pintu kamar mereka? Sungguh janggal! Apa lagi ketika ia melihat thai-kam itu memasuki kamar sang permaisuri seorang diri saja, sedangkan dayang pengawal yang tadi bersamanya tinggal di luar dan melakukan penjagaan dengan para dayang pengawal lainnya, enam orang jumlahnya.
Apa saja yang dikerjakan thai-kam itu di dalam kamar sang permaisuri? Ah, mungkin dia seorang ahli pijat, pikir Akim. Ya, tentu saja. Thai-kam itu seorang ahli pijat dan kini bertugas memijati tubuh sang permaisuri, untuk mengusir semua kelelahan dari tubuh yang amat dimanja itu.
Tentu saja Akim tidak mau menghabiskan waktu untuk menyelidiki persoalan pribadi Sang Permaisuri yang agaknya tidak ada sangkut pautnya dengan Kwi-eng-cu, dan ia melakukan penyelidikan ke bagian lain. Namun malam itu ia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Keesokan harinya, sambil bekerja, iapun memasang mata dan telinga untuk mengamati setiap orang bahkan ia berhasil memancing seorang pelayan kebiri yang setengah tua dan yang gemar mengobrol untuk bicara tentang Kwi-eng-cu. Mereka berdua sedang mencabuti bulu ayam.
Istana memang merupakan tempat keroyalan dan kemewahan. Setiap hari tidak kurang dari seratus ekor ayam gemuk dipotong, belum daging babi atau kambing atau sapi, juga ikan dan banyak macam sayuran. Maka, mencabuti bulu ayam memakan waktu yang cukup lama sehingga Akim dan thai-kam itu mempunyai waktu untuk mengobrol.
"Ketika aku datang dari dusun ke kota raja, aku mendengar kabar angin tentang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota raja. Aku menjadi ngeri. Siapakah yang dibunuh dan siapa pula yang membunuh, paman?" Akim mulai memancing, dengan suara biasa dan sikap acuh, sambil lalu saja.
Akan tetapi mendengar pertanyaan itu, Akong, si thai-kam, nampak terkejut dan ketakutan. Dia menoleh ke kanan kiri. Akan tetapi memang di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. Tempat pencucian daging itu memang tidak sebersih bagian lain dan orang enggan ke situ kalau tidak untuk bekerja. Akim tentu saja sudah yakin bahwa tidak ada orang lain mendengarkan percakapan mereka.
"Kenapa, paman?"
"Hushhh, jangan keras-keras. Kalau terdengar dia, salah-salah malam nanti lehermu atau leherku putus!"
Akim menjadi ketakutan dan ia menggeser duduknya mendekati thai-kam itu, suaranya gemetar dan tubuhnya menggigil.
"Aih, paman, aku....... aku takut.....!" katanya lirih setengah berbisik.
"Akan tetapi...... kenapa tidak boleh keras-keras......? Dan...... siapa yang melarang kita bicara?" Ia sengaja memperlihatkan wajah ketakutan.
"Paman, kalau bersamamu, aku tentu akan selamat. Jangan takut-takuti aku, paman."
Akong menyeringai bangga.
"Boleh, bicara, akan tetapi jangan keras-keras. Kabarnya, Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) memiliki seribu telinga dan kita tidak boleh bicara buruk tentang dia. Bisa berbahaya!" katanya lirih pula.
"Ah, agaknya paman tahu banyak. Aku ingin sekali mendengar, paman. Siapa sih Kwi-eng-cu itu?"
"Ssttt, berbisik saja," kata thai-kam itu sambil mendekat dan bicara kasak-kusuk berbisik.
"Dia seorang yang entah manusia entah dewa, akan tetapi semenjak terjadi pembunuhan, sudah puluhan orang pejabat tinggi terbunuh, ada yang melihat munculnya Si Bayangan Iblis itu. Tak seorangpun melihat dia yang melakukan pembunuhan, hanya timbul dugaan karena dia muncul ketika terjadi pembunuhan-pembunuhan......."
"Ih, betapa mengerikan! Apakah tidak kelihatan orangnya, paman?"
Akong menggeleng.
"Dia bergerak cepat dan hanya nampak bayangannya saja. Bayangan tinggi besar dan kepalanya bertanduk, karena itu dinamakan Si Bayangan Iblis......."
"Hiiii, menakutkan sekali !" Akim kembali menggigil.
"Akan tetapi kita aman, paman, Sehebat-hebatnya dia, tidak mungkin dia berani muncul di lingkungan istana ini!"
"Siapa bilang? Sstttt.......!" Dia memperingatkan diri sendiri yang bicara terlampau keras.
"Dia dapat muncul di mana-mana. Di sini juga."
"Tidak mungkin, paman. Jangan paman membohongi aku dan hendak menakut-nakuti aku!"
"Eh, anak buruk! Siapa berbohong?"
"Aku tanggung itu hanya kabar angin saja. Siapa yang pernah melihat dia di sini?"
"Bukan kabar angin. Aku pernah melihatnya sendiri."
Akim merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Tak disangkanya bahwa ia akan memperoleh keterangan yang amat penting dari thai-kam ini.
"Aih, paman Akong, engkau hanya main-main saja dan mencoba untuk menakut-nakuti aku!" Akim berkata mengejek.
"Akim, jangan kurang ajar engkau! Kau anggap aku berbohong? Engkau tidak percaya kepadaku?"
Akim mengangguk-angguk.
"Maaf, maaf, paman Akong yang baik. Sejak datang di sini bertemu denganmu, aku sudah merasa seolah engkau ini pamanku sendiri. Engkau begini baik, paman. Aku tentu saja percaya kepadamu, akan tetapi ceritamu terlalu aneh. Bagaimana mungkin pembunuh itu dapat berkeliaran di dalam istana?"
"Sssttt, tutup mulutmu yang lancang dan jangan keras-keras bicara. Dengar, aku tidak berbohong. Ketika aku bertugas di bagian putera, pada suatu malam aku melihat bayangan berkelebat dan bayangan itu berhenti sejenak di sudut dinding gudang di belakang. Jelas sekali bayangan itu, dan menyeramkan. Bayangan tinggi besar dan kepalanya mempunyai dua buah tanduk. Huuhhh, masih meremang bulu tengkukku kalau mengenangnya."
"Dan paman tidak menceritakan kepada siapapun sampai sekarang ini?"
"Mana aku berani? Baru sekarang aku bercerita kepadamu untuk meyakinkan hatimu."
"Hanya satu kali itu saja paman melihatnya? Dan tidak pernah nampak di bagian puteri sini?"
"Baru satu kali itu, dan tidak pernah ada yang melihat bayangan itu muncul di sini. Dan selain aku sendiri, sebelum itu juga pernah ada ada seorang perajurit pengawal melihat, bahkan mengejar bayangan itu di dalam istana bagian putera, akan tetapi bayangan itu menghilang.
"Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Kelima terbunuh di luar istana, maka pernah gegerlah istana. Akan tetapi setelah diperiksa di seluruh pelosok, tidak ditemukan Si Bayangan Iblis di istana."
Tiba-tiba thai-kam itu memberi isyarat agar Akim diam dan mereka melanjutkan pekerjaan mereka dengan tekun, seolah-olah mereka tidak pernah bercakap-cakap tentang Si Bayangan Iblis. Seorang pelayan lain masuk ke dapur bagian pencucian daging itu.
Diam-diam Akim mengenang kembali semua percakapan tadi. Dugaannya kini semakin kuat bahwa sarang gerombolan pembunuh itu, atau setidaknya pemimpin mereka, besar sekali kemungkinannya bersembunyi di dalam istana ini, atau juga pemimpin itu merupakan seorang anggauta keluarga kaisar sendiri, atan pejabat yang bertugas di dalam lingkungan istana.
Jelas bukan Permaisuri atau seorang di antara para selir atau puteri kaisar, karena bayangan itu tidak pernah nampak di sini, melainkan di istana bagian putera. Akan tetapi, ia tidak sama sekali melepaskan kemungkinan bahwa pemimpinnya seorang penghuni bagian puteri, walaupun pemimpin itu bekerja "di belakang layar". Siapa tahu?
Ia harus menyelidikinya di bagian putera. Malam nanti! Tugas yang berbahaya memang, namun tanpa menempuh bahaya itu, bagaimana mungkin ia akan mampu memecahkan rahasia Kwi-eng-cu?
Setelah mandi sore dan makan malam, karena tidak ada lagi tugas untuknya, Akim duduk bersila di dalam kamarnya, di atas pembaringan, mengatur pernapasan dan menghimpun tenaga. Siapa tahu malam ini ia membutuhkan banyak tenaga. Ia sudah mengambil keputusan untuk mengalihkan medan penyelidikannya di waktu malam. Tidak lagi di bagian puteri, melainkan di istana induk, tempat tinggal Kaisar dan para pangeran yang masih tinggal di istana.
Ia sudah mendengar keterangan Cian Ciang-kun bahwa istana induk itu berbahaya, dijaga ketat oleh pasukan pengawal thai-kam, dan ada tiga orang jagoan thai-kam yang amat lihai. Maka, ia harus berhati-hati karena ia menyelidiki seorang yang rahasia sehingga ia tidak tahu siapa kawan siapa lawan di dalam istana itu.
Segala kemungkinan ada. Pemimpin para pembunuh itu mungkin saja seorang pangeran, mungkin seorang thai-kam, mungkin pula permaisuri, bahkan mungkin kaisar sendiri! Mungkin pula pejabat penting yang tinggal di istana karena pekerjaan dan tugasnya.
Ia menanti sampai keadaan di istana menjadi sunyi. Kamarnya berada di antara kamar-kamar para pelayan, pekerja yang paling rendah tingkatnya di istana itu, dan kebetulan sekali setiap jam tentu peronda keamanan lewat di kebun belakang perumahan itu. Maka, ia dapat menghitung waktu dan menjelang tengah malam ia sudah mengenakan pakaian serba hitam dan memasang kedok kain hitam pula.
Sebetulnya bukan kedok, hanya kain saputangan hitam yang lebar, diikatkan menutupi hidung dan mulutnya. Juga kepalanya dibungkus kain hitam, bahkan menutupi dahinya sehingga yang nampak hanya sepasang matanya saja. Bukan mata Akim lagi, melainkan mata Hek-liong-li Lie Kim Cu, sepasang mata yang jeli, indah dan mencorong amat tajamnya!
Karena maklum bahwa tugasnya amat berbahaya, iapun mengeluarkan pedang pusakanya, Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) yang diselundupkan oleh Cian Ciang-kun dan kemudian disimpan di tempat rahasia, yaitu di bawah atap kamarnya. Pedang itu ia selipkan di ikat pinggang, tertutup oleh jubah hitamnya yang lebar.
Setelah ia mengintai dari jendela kamarnya keluar, dan melihat bahwa malam telah larut dan suasana sudah amat sunyi, dan juga rombongan peronda, yaitu para pengawal thai-kam baru saja lewat. Ia lalu membuka daun jendela kamarnya dan seperti seekor kucing saja, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, tubuhnya sudah meloncat ke luar jendela. Dari luar, daun jendela ditutupnya kembali dengan hati-hati, lalu cepat tubuhnya sudah menyelinap ke dalam kebun di belakang perumahan para pelayan itu. Di kebun ini terdapat banyak pohon, dan iapun menyusup di antara pohon-pohon.
Ia sejak sore tadi sudah memperhitungkan dan merencanakan bagaimana ia akan memasuki istana induk. Tentu saja yang paling mudah dan aman melalui kebun itu. Kebun itu bersambung dengan kebun di belakang istana induk, hanya dibatasi oleh pagar tembok yang tinggi dan tidak terjaga ketat. Memang tidak perlu dijaga ketat karena orang-orang biasa saja tidak akan dapat melewati tembok itu.
Setelah menanti beberapa menit dan melihat bahwa keadaan sekeliling tetap sunyi, tidak nampak bayangan orang dan tidak terdengar suara apapun, hatinya lega. Tangan kirinya memegang kedua ujung jubah yang diselimutkan di tubuhnya, lalu ia menyelinap di antara pohon-pohon di kebun itu, menuju ke tembok pemisah antara kebun istana puteri dan kebun istana induk.
Ia memang sudah memperhitungkan bahwa malam itu bulan bercahaya cukup terang karena bulan sudah berusia sepuluh hari. Langit bersih dan cerah sehingga dengan mudah ia dapat menyelinap di antara pohon-pohon yang tidak begitu gelap dengan adanya sinar bulan.
Ketika ia tiba di bagian terbuka, dan tembok pemisah kebun itu sudah nampak putih cerah tertimpa sinar bulan, tiba-tiba ia terkejut bukan main karena bermunculan delapan bayangan yang agaknya tadi bersembunyi di balik batang pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu!
Melihat gerakan mereka, Akim memperhitungkan bahwa tidak mungkin mereka itu dapat membayanginya sejak tadi tanpa ia dapat melihatnya. Kalau mereka membayanginya sejak tadi, sudah pasti ia dapat melihat, atau setidaknya mendengar gerakan mereka.
Jelaslah bahwa mereka memang sudah menanti di balik batang-batang pohon itu sehingga tentu saja ia tidak tahu bahwa ada delapan orang yang agaknya sudah menghadangnya dan menanti kemunculannya! Hal ini hanya berarti bahwa gerakannya sudah diketahui sejak ia meninggalkan kamar, bahkan sudah diketahui bahwa ia akan lewat di tempat itu! Luar biasa sekali.
Akan tetapi hatinya merasa lega, juga sekaligus terheran-heran ketika melihat bahwa pengepungnya itu sama sekali bukan orang-orang berkedok seperti Si Bayangan Iblis! Sama sekali bukan! Mereka itu adalah pengawal-pengawal thai-kam!
"Bayangan Iblis! Menyerahlah, engkau sudah terkepung!" bentak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan tangannya memegang sebatang golok besar. Teman-temannya ada yang memegang golok, ada yang bersenjata pedang dan mereka itu telah mengepungnya dengan sikap mengancam. Mendengar bentakan ini, Akim merasa semakin heran. Ia malah disangka Si Bayangan Iblis!
Hampir saja ia menyangkal. Akan tetapi kalau ia menyangkal ia harus membuka saputangan hitam penutup mukanya, dan ia tentu akan dicurigai dan ditangkap pula karena ia kini telah menanggalkan penyamarannya sebagai Akim, dan wajahnya kini adalah wajah Liong-li! Andaikata ia berada dalam penyamaranpun, tentu ia tetap akan ditangkap sebagai Akim! Serba salah memang! Maka, begitu si
(Lanjut ke Jilid 07)
Si Bayangan Iblis (Seri ke 02 - Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
tinggi besar itu membentak, ia sudah membalik dan menerjang orang yang berdiri mengepung di belakangnya.
Melihat gerakan ini, orang yang memegang golok di belakang itu menyerang dengan bacokan golok. Akan tetapi, dengan mudah Akim atau Liong-li mengelak dengan loncatan ke samping, kemudian ia mengerahkan gin-kangnya dan ia sudah berlari oepat sekali meninggalkan tempat itu!
"Berhenti! Hendak lari ke mana kau?" bentak delapan orang perajurit pengawal itu dan mereka melakukan pengejaran. Akan tetapi, bayangan orang berpakaian serba hitam itu sudah lenyap ditelan bayangan pohon-pohon!
Dan pada saat delapan orang itu mencari-cari, Liong-li sudah menyamar lagi sebagai Akim dan rebah di atas pembaringannya. Pakaian serba hitam, juga pedang Hek-liong-kiam, sudah tersimpan aman di bawah atap sehingga andaikata para perajurit pengawal menggeledah kamarnya, mereka takkan dapat menemukan tanda-tanda bahwa ialah yang tadi mereka kejar-kejar. Dan iapun merasa lega dan dapat tidur pulas setelah tidak ada gangguan datang, walaupun ia masih menduga-duga dengan heran bagaimana delapan orang pengawal itu tahu-tahu sudah menghadang di sana!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Akim sudah bangun dan bekerja seperti biasa, membersihkan dapur dan ia pura-pura acuh saja seperti tidak pernah terjadi sesuatu dengan dirinya. Semalam Akim tidur nyenyak di kamarnya dan tidak melihat atau mendengar sesuatu sampai bangun pagi hari ini, demikian ia meyakinkan penyamarannya. Akan tetapi, diam-diam ia menaruh perhatian akan keadaan sekelilingnya.
Ia melihat betapa para pelayan lainnya bekerja seperti biasa pula, menyalaminya seperti biasa. Hanya ada satu hal yang dirasa aneh, atau hanya kebetulan saja, yaitu tidak adanya Akong. Ia pura-pura acuh dan tidak berani bertanya, karena kalau ia bertanya, berarti ia menaruh perhatian khusus untuk Akong dan hal itu akan dapat saja menimbulkan kecurigaan. Ia menyapu lantai dapur dengan tenang dan tekun.
Tiba-tiba para pelayan yang sedang sibuk bekerja itu berdiri dengan sikap hormat dan menunda pekerjaan mereka. Akim menoleh dan iapun terheran melihat munculnya seorang perwira thai-kam yang gendut dan yang dikenalnya sebagai Kok Ciang-kun, perwira yang memasukkannya ke dalam istana! Tentu saja ia segera memberi hormat, akan tetapi dengan sikap dingin Kok Ciang-kun memandang kepadanya dan berkata singkat.
"Bergantilah pakaian bersih dan ikut dengan aku!"
"Ke..... ke mana, Ciang-kun?" tanyanya dengan jantung berdebar tegang.
"Engkau dipanggil menghadap oleh Hong-houw!"
Liong-li menekan perasaan hatinya yang terguncang sehingga wajahnya hanya membayangkan keheranan, bukan kegelisahan. Ia lalu pergi ke kamarnya dan berganti pakaian sambil mengingat-ingat.
Adakah hubungannya panggilan Permaisuri ini dengan peristiwa semalam? Ah, tidak mungkin ada hubungannya, kalau ia dicurigai, andaikata ada sesuatu yang membocorkan rahasianya, tentu ia akan ditangkap oleh pasukan pengawal, bukan dipanggil melalui Kok Ciang-kun, orang yang membawanya masuk ke istana. Tidak, ia tidak perlu gelisah, harus bersikap tenang.
Sebentar saja ia sudah berjalan bersama Kok Ciang-kun meninggalkan ruangan dapur menuju ke istana permaisuri. Di dalam perjalanan ini, ia mencoba memancing dan bertanya kepada Kok Ciang-kun mengapa ia dipanggil oleh Hong-houw. Akan tetapi, Kok Ciang-kun menggeleng kepalanya.
"Aku tidak tahu. Akupun baru pagi ini, pagi-pagi sekali dipanggil menghadap, dan setelah menghadap, aku diutus untuk menjemputmu dan bersama-sama menghadap."
"Aku........ aku bekerja dengan rajin dan sebaik mungkin, aku tidak pernah melakukan kesalahan," kata Akim dengan suara gelisah.
"Apakah beliau kelihatan marah-marah?"
Perwira pengawal thai-kam itu menggeleng kepala.
"Menurut pengamatanku, beliau tidak marah, hanya nampak kesal."
Lega rasa hati Akim. Kalau memang menyangkut urusan besar, tentu permaisuri sudah marah dan ia sudah disuruh tangkap. Ia harus bersikap tenang saja.
Mereka berlutut di depan pintu ruangan yang terbuka, agaknya memang sejak tadi dibuka menanti kedatangannya. Seorang dayang pengawal memerintahkan mereka masuk dengan suara lantang, menyampaikan perintah Hong-houw. Mereka lalu bangkit dan melangkah masuk dengan kepala menunduk, kemudian di depan kursi emas Sang Permaisuri Bu Cek Thian, Kok Ciang-kun dan Akim menjatuhkan diri berlutut.
"Ban-swe, ban-ban-swe......!" Mereka berkata dengan khidmat sambil menempelkan dahi ke lantai.
"Bangkitlah kalian!" kata Hong-houw. Keduanya mengangkat kepala dan tubuh mereka tegak, akan tetapi kaki mereka masih berlutut.
"Kok Tay Gu, kepadamu kami mengajukan sebuah saja pertanyaan yang harus kau jawab dengan sebenarnya. Kalau jawabanmu bohong, sekarang juga kami akan perintahkan agar lehermu dipenggal!"
Bukan main keras dan tegasnya ucapan itu dan ketika ia melirik, Akim melihat betapa perwira pengawal itu gemetar seluruh tubuhnya, dan suaranya tergagap ketika dia berkata.
"Hamba...... hamba akan menjawab dengan sebenarnya...... dan bersedia menerima hukuman kalau berbohong."
"Kenalkah engkau siapa gadis ini dan dari siapa engkau menerimanya?"
Diam-diam Akim terkejut bukan main. Kiranya, di luar dugaannya, memang ada sangkut pautnya dengan dirinya! Ia telah dicurigai dan tentu permaisuri itu tidak bertanya tentang dirinya seperti itu. Kini, kepala pengawal thai-kam itu mati kutu dan dia sudah lemas.
Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 10 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 7 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 18