Ceritasilat Novel Online

Pedang Naga Hitam 7


Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 7




   "Aih, sam-wi sama sekali tidak bersalah. Semua itu sam-wi lakukan di luar penghormatan mereka.

   Kui Mo bertiga lalu berpamit. Mereka di antar oleh Pek Mau To Kouw sendiri sampai diluar pagar daerah Hwa-li-pang. Setelah para tamu itu pergi, baru Pek Mau To Kouw memanggil para pembantunya dan menceritakan perihal keluarga Kui yang tadinya gila akan tetapi kini telah sehat kembali itu. Ia memberitahukan bahwa keluarga Kui adalah keluarga yang baik dan agar kalau para anak buahnya bertemu mereka, bersikap hormat. Kini Pek Mau To Kouw merasa lebih menyesal lagi mengapa ia tidak sempat berkenalan lebih lanjut dengan Kim Lan dan menanyakan tempat tinggalnya.

   ***

   Han Sin melakukan perjalanan menuju ke utara. Setelah berpisah dari Kim Lan, entah mengapa dia merasa kehilangan semangat dan ketika melanjutkan perjalanan meninggalkan rumah keluarga gila itu dia melangkah perlahan. Tidak menggunakan ilmu berlari cepat. Dia merasa kehilangan dan merasa betapa sepinya hidup ini. Merasa sebatang kara di dunia ini dan timbullah rasa rindu kepada ibunya. Akan tetapi dia menekan perasaan hatinya yang ingin pulang. Tidak, ia belum menunaikan tugasnya. Bagaimana dia dapat pulang tanpa membawa pedang pusaka milik ayahnya dan tanpa berhasil membalas kematian ayahnya.

   Akan tetapi, pemandangan indah yang nampak ketika dia menuruni pegunungan Hwa-san menghibur hatinya. Nampak pemandangan di bawah gunung amatlah indahnya. Sawah ladang terhampar luas di bawah dan genteng rumah-rumah dusun berkelompok di sana sini kelihatan kemerahan. Wataknya yang memang periang itu segera timbul kembali dan dia sudah melupakan kerisauan hatinya. Dunia terbentang luas di depan kakinya. Langkahnya masih akan melintasi perjalanan jauh, banyak pengalaman hidup yang akan dihadapinya, mengapa dia harus bermurung-murung? Ho Beng Hwesio seringkali memberi nasihat agar dia menghadapi kenyataan hidup ini dengan wajar dan bebas dari kekhawatiran.

   "Manusia sejak dilahirkan sudah menghadapi berbagai tantangan. Kita tidak mungkin dapat melarikan diri dari tantangan-tantangan itu. Contohnya diriku ini, makin melarikan diri dari tantangan, semakin banyak rasa khawatir timbul. Tantangan tidak harus di hadapi dengan rasa khawatir, melainkan harus di hadapi dengan berani. Tantangan harus di anggap sebagai suatu kewajaran dalam hidup dan kita harus menghadapinya dengan gembira dan mengatasi setiap tantangan yang datang"

   Benar apa yang di ucapkan gurunya itu. Biarpun dia tidak mengerti mengapa Ho Beng Hwesio yang dahulunya berjuluk Hek Liong Ong itu menyembunyikan diri menjadi Hwesio, namun jelas bahwa gurunya itu tidak berani menghadapi kenyataan. Dia dapat membayangkan betapa dalam persembunyiannya itu Hek Liong Ong tentu merasa menderita sekali hatinya selalu ketakutan dan akhirnya benar saja, seorang diantara musuh-musuhnya dapat menemukan dirinya dan membunuhnya.

   Akan tetapi menurut keterangan ibunya, Ho Beng Hwesio ketika masih berjuluk Hek Liong Ong adalah seorang datuk sesat yang berhati keras dan kejam, yang mudah membunuh manusia tanpa berkedip mata. Akibatnya dia banyak dimusihi orang-orang yang mendendam kepadanya. Dan diapun menaati pesan ibunya agar dia tidak mendendam kepada pembunuh ayahnya. Ngo-heng-thian-cu hanya membalas dendam kepada Hek Liong Ong. Kalau kini dia memusuhi Ngo Heng Thian Cu, maka dendam mendendam itu tidak akan ada habisnya. Kematian Hek Liong Ong merupakan akibat daripada perbuatannya yang lalu. Berbeda dengan kematian ayahnya. Ayahnya mati secara penasaran, agaknya di khianati seorang karena di bunuh dari belakang selagi bertempur melawan musuh. Dan terutama pedang itu, Hek-Liong-Kiam, harus dia temukan.

   Dengan hati yang kembali gembira Han Sin melanjutkan perjalanannya, kini dia menggunakan ilmu lari cepat dan sebentar saja sudah tiba di bawah gunung.

   Ketika Yang Chien berhasil mendirikan Kerajaan Sui dan memerintah dengan bijaksana, keadaan dalam negeri dapat menjadi aman dan tentram. Kejahatan ditentang keras oleh pemerintah dan pasukan dikerahkan untuk membasmi gerombolan-gerombolan penjahat. Karen ini, keadaan menjadi tenteram dan penjahat-penjahat tidak berani terlalu menonjolkan diri melakukan kejahatan. Akan tetapi, ketika Yang Chien meninggal dunia dan kekuasaan di pegang oleh puteranya Kaisar Yang Ti, pengaruh yang tadinya ditimbulkan oleh kebijaksanaan Kaisar Yang Chien itu mulai menipis, gerombolan penjahat mulai berani bermunculan melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Perampokan-perampokan mulai terjadi lagi di tempat-tempat sunyi dimana tidak ada pasukan pemerintah.
Perjalanan Han Sin tidak menemui rintangan. Pada suatu hari tibalah dia Kota Pei-yang, sebuah kota dekat Sungai Kuning yang mengalir dari utara menuju ke selatan. Karena letaknya dekat sungai itulah yang membuat Pei-yang menjadi kota yang penting. Kota ini menjadi pelabuhan perahu-perahu yang memuat barang-barang dari utara. Para pedagang dari utara membawa barang dagangan mereka dengan perahu. Dan pulangnya para pedagang itu membawa barang-barang dari selatan ke utara melalui darat. Maka ramailah Pei-yang dengan adanya banyak pedagang yang lewat di kota itu dan bermalam di situ. Dengan sendirinya, kebutuhan para pedagang itu mendorong orang untuk membuka rumah makan dan rumah penginapan. Bahkan banyak rumah penginapan yang merangkap menjadi rumah makan pula. Selain itu, banyak pula toko-toko di buka orang, menjual bermacam-macam dagangan dari utara dan selatan.

   Han Sin berputar-putar di kota itu dan karena hari telah mulai senja, dia mengambil keputusan untuk bermalam di kota Pei-yang. Dia memilih sebuah rumah makan merangkap rumah penginapan yang kelihatan bersih dan memasukinya. Seorang pelayan menyambutnya dengan ramah.

   "Selamat sore, kong-cu. Kong-cu hendak makan ataukah hendak bermalam?"

   Han Sin tersenyum mendengar dirinya di sebut kong-cu. Padahal pakaiannya hanya sederhana saja. Apa yang menyebabkan pelayan ini memanggilnya kong-cu (tuan muda)? Mungkin hanya basa basi saja.

   "Selamat sore. Aku membutuhkan keduanya. Ya makan ya bermalam. Masih ada kamar yang bersih?"

   "Ada, kong-cu. Kamar kami semua bersih. Mari silahkan kong-cu. Saya antarkan ke kamar kong-cu"

   "Nanti saja, aku ingin makan lebih dulu" Han Sin dan pelayan itu segera mempersilahkan duduk di tempat yang kosong. Han Sin duduk di atas bangku menghadapi meja kosong dan dia mulai memandang ke sekeliling. Rumah makan itu cukup besar. Tidak kurang dari tigapuluh meja berada di situ dan pada waktu, separuh dari jumlah meja di duduki para tamu.

   Tiba-tiba perhatian Han Sin tertarik kepada seorang yang baru memasuki rumah makan itu dari luar. Segera ia mengenal orang ini, pengemis muda yang pernah di lihatnya di kuil Hwa-li-pang. Ketika Pek Mau To-kouw bertanding melawan Kui Mo dan terdesak, pengemis muda itu seperti bersajak namun isi kata-katanya adalah petunjuk bagi Pek Mau To-kouw untuk memecahkan rahasia ilmu silat Kui Mo yang aneh. Kemudian Liu Si menyerang pengemis muda itu yang ternyata seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi

   Dan kini tiba-tiba pengemis muda itu memasuki rumah makan dengan muka cengar-cengir, jelas sekali terbayang kenakalan pada wajah yang bercoreng hitam itu, wajah itu kelihatan kumal dan buruk. Akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata naga. Diam-diam Han Sin memperhatikan pemuda itu. Seperti dulu ketika dilihatnya di kuil, pengemis muda itu mengenakan pakaian tambal-tambalan berwarna hitam dan dia membawa sebatang tongkat bambu sebesar ibu jari kaki.

   Melihat seorang pengemis muda memasuki rumah makan itu, seorang pelayan segera menghampirinya dan menegur "Hei, bung. Kalau mengemis di luar saja, jangan memasuki rumah makan"

   Pengemis muda itu mengerutkan alisnya "Huh, siapa yang mengemis? Aku datang bukan untuk mengemis, melainkan untuk membeli makanan dan menginap. Beri aku sebuah kamar yang paling baik"

   "Jangan main-main kau. Hayo cepat keluar" Pelayan itu kembali membentak.

   "Kau yang main-main. Aku hendak makan, kenapa di suruh keluar?"

   "Kau seorang jembel begini bagaimana bisa membayar harga makanan? Masakan di sini mahal harganya"

   "Eh, menghina ya? Jangankan membeli makanan di sini, untuk membeli kepalamu aku sanggup membayarnya" pengemis itu mengambil sebuah kantung dari saku bajunya dabn membuka kantung itu di depan pelayan. Isinya penuh potongan emas dan perak.

   Pelayan itu terbelalak "Kau tentu seorang pencuri atau perampok. Pendeknya kau tidak boleh masuk restoran ini, kau akan membikin para langganan kami menjadi jijik melihatmu"

   "Kenapa jijik? Karena pakaianku buruk? Ketahuilah, mereka yang berpakaian bersih dan bagus itu banyak sekali yang benar-benar menjijikan karena kelakuan mereka"

   "Sudahlah, jangan banyak cerewet. Pergi dari sini atau ku seret kau" pelayan yang bertubuh tinggi besar itu mengancam. Akan tetapi pengemis yang masih muda dan tubuhnya kecil itu tidak kelihatan takut mendengar ancaman itu.

   "Hemmmm ingin sekali aku melihat bagaimana kau akan menyeret aku" tantangnya.

   "Keparat, ku lempar kau keluar" pelayan itu berseru dan tangannya mencengkram punggung baju pengemis itu dan hendak melemparkannya keluar. Akan tetapi terjadilah keanehan bagi para tamu yang tertarik mendengar pertengkaran itu. Ketika pelayan itu hendak menyeret dan melemparkan pengemis itu keluar, tiba-tiba pelayan itu mengeluh di susul dengan tubuhnya yang tinggi besar itu terlempar sampai keluar dari rumah makan.

   Pengemis itu tersenyum mengejek "Ingin kulihat siapa yang tidak membolehkan aku makan di sini"

   Han Sin tadi dapat melihat betapa pengemis itu menotok tubuh si pelayan lalu mendorongnya sampai terlempar keluar. Gerakannya tadi sedemikian cepatnya sehingga para tamu yang berada di situ tidak dapat melihatnya. Han Sin kagum, akan tetapi juga tidak senang melihat sikap pengemis itu ugal-ugalan. Sikap seperti itu dapat mengundang banyak kesulitan bagi dirinya sendiri.

   "Aku yang tidak boleh" tiba-tiba terdengar bentakannyaring dari arah kiri. Semua orang menengok dan memandang. Ternyata yang membentak ini adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar, usianya sekitar duapuluh tiga tahun. Pakaian pemuda ini mentereng dan lagaknya seperti seorang pemuda bangsawan atau hartawan dengan potongan pakaian seperti seorang ahli silat serba ringkas dan gagah. Wajahnya memang gagah, rambutnya hitam tebal, alisnya hitam dan sepasang matanya lebar bersinar garang, hidung mancung besar dan mulutnya juga lebar. Wajahnya jantan dan gagah.

   Pengemis muda itu juga menengok dan ketika melihat siapa yang tadi membentaknya, dia bertolak pinggang dan membusungkan dada.

   "Hemmm, ada sangkut paut apa kau dengan aku yang hendak makan di rumah makan ini? Apa pedulimu kalau aku makan di sini?" katanya dengan suara ketus.

   "Kalian para pengemis tidak layak makan di sini. Menghilangkan selera makanku. Hemmm, pengemis adalah orang-orang malas, sudah sepatutnya dibasmi habis dari permukaan bumi" kata pemuda tinggi besar itu garang.

   "Wah, kau menghina orang ya? Kami para pengemis minta belas kasihan orang dengan suka rela, tidak memaksa. Bahkan kami menggerakkan hati nurani manusia untuk beramal, ingat akan kekurangan orang lain. Tidak seperti kau. Mungkin kau putera hartawan dan hartawan biasanya memeras keringat orang yang tidak mampu atau mungkin kau putera bangsawan dan para bangsawan biasanya melakukan korupsi. Pengemis lebih baik daripada hartawan atau bangsawan" Ternyata pengemis muda itu pandai sekali bicara, bicaranya cepat dan lancar, nerocos seperti burung kakaktua.

   "Kau memang jembel cilik yang perlu dihajar" Pemuda tinggi besar itu sudah mengepal tinju.

   "Kau yang perlu di hajar. Aku seujung rambutpun tidak takut kepadamu. Karena tinggi besar kau berlagak jagoan ya?" Pengemis itu berteriak marah dan mengamangkan tinju tangan kirinya yang kecil.

   Melihat sikap pemuda tinggi besar yang agaknya bukan orang sembarangan itu, Han Sin khawatir akan nasib pengemis muda itu. Pengemis itu masih muda remaja, biarpun meiliki sedikit kepandaian, kalau bertemu lawan tangguh tentu akan celaka. Maka dia cepat bengkit dari tempat duduknya dan menghampiri pemuda tinggi besar itu lalu memberi hormat.

   "Sobat, harap maafkan dia yang masih amat muda. Biarlah dia makan bersamaku dan aku yang tanggung bahwa dia akan membayar harga makanannya"

   Pemilik rumah makan yang di ikuti oleh beberapa orang pelayan juga mohon kepada pemuda tinggi besar itu agar jangan berkelahi di rumah makan mereka. Sementara itu Han Sin mendekati si pengemis dan berkata "Sobat, bukankah kita sudah pernah saling jumpa? Aku mengundangmu untuk makan semeja denganku, harap kau tidak menolak dan menghindarkan keributan dalam rumah makan ini"

   Pengemis itu memandang kepada Han Sin, memperhatikannya dari kepala sampai kaki seperti orang menilai, lalu mengangguk "Hemmm, baiklah. Setelah kejadian yang menjengkelkan ini, aku memang perlu seorang teman yang baik"

   Dengan langkah dan lagak gagah pengemis itu lalu mengikuti Han Sin menuju ke meja, melempar pandang ke kanan kiri seolah hendak menantang siapa yang akan berani mencegahnya.

   Han Sin dan pengemis itu duduk berhadapan dan Han Sin segera meneriaki pelayan agar menambah minuman dan makanan. Dia menuangkan arak ke dalam cawan pengemis itu.

   "Silahkan minum untuk mengucapkan selamat atas perjumpaan ini" kata Han Sin.

   Pengemis itu tersenyum dan mereka minum secawan arak. Pengemis itu tanpa malu-malu lagi lalu makan minum dan nampaknya ia lahap sekali. Akan tetapi Han Sin yang memperhatikan melihat kenyataan bahwa pengemis itu hanya makan sedikit. Belum menghabiskan nasi semangkok dia sudah berhenti.

   "Kenapa makanmu sedikit sekali? Makanlah lagi dan tambah nasinya"

   "Ah, tidak. Aku takut menjadi gemuk kalau makan terlalu banyak" jawabnya. Tentu saja Han Sin tertegun heran. Mana ada pengemis tidak mau makan banyak karena takut gemuk?

   "Sekarang aku ingat" pengemis itu berseru "Bukankah engaku pengantin pria itu?"

   Wajah Han Sin berubah merah, akan tetapi diapun tersenyum dan menjawab "Maksudmu pengantin paksaan? Benar, kita pernah bertemu di kuil Hwa-li-pang"

   "Wah, kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini. Aku memang ingin bertanya mengapa pesta pernikahan itu tidak jadi di langsungkan? Aku sudah menanti-nanti untuk mendapatkan bagian arak dan kue pengantin, ternyata tidak jadi ada pesta pernikahan. Apa yang terjadi?" Pengemis itu berpura-pura, karena di luar pengetahuan Han Sin. Dirinya memegang peran penting dalam penggagalan pernikahan itu.

   Dengan suara bisik-bisik agar tidak terdengar orang lain, Han Sin menjawab "Aku dapat melarikan diri dari mereka"

   "Ih, kenapa lari? Bukankah senang akan di nikahkan dengan nona yang cantik itu?"

   "Kau maksudkan yang gila itu? Mereka semua itu gila, akan tetapi aku tidak berdaya. Mereka lihai sekali. Akan tetapi untung aku dapat meloloskan diri dari tangan mereka berkat bantuan seorang gadis yang bernama Kim Lan. Hebat bukan main nona Kim Lan itu" Han Sin memuji dengan penuh kagum.

   "Maksudmu nona yang berpakaian serba putih itu? Ya, ia memang cantik sekali"

   "Bukan hanya cantik jelita seperti bidadari, akan tetapi ilmunya juga hebat. Ketika aku di tawan keluarga gila, aku di beri racun dalam keadaan keracunan itu aku tidak dapat melarikan diri. Akan tetapi nona Kim itu dapat menyeludup masuk kamarku dan aku di obatinya sampai sembuh. Kemudian ia merencanakan agar aku dapat melarikan diri. Bukankah ia hebat sekali?"

   Pengemis itu mengangguk-angguk dan mengacungkan ibu jarinya.

   "Namanya Kim Lan? Hemmm, kalau aku bertemu dengannya akan kuceritakan padanya betapa kau memuji-muji setengah mati"

   Karena sudah lama mereka selesai makan, seorang pelayan menghampiri untuk membersihkan meja mereka dan membawa pergi perabot makan. Akan tetapi kedua orang itu masih bercakap-cakap terus.

   Mereka merasa akrab sekali dan diam-diam Han Sin merasa heran mengapa dia begitu suka dengan pemuda pengemis ini. Rasanya seolah-olah mereka sudah bersahabat lama sekali.

   "Dan kau sendiri, siapakah namamu?" tanya Han Sin

   Pengemis itu mengangkat muka memandang dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang amat tajam. Han Sin dapat menduga bahwa pengemis muda yang memiliki sepasang mata setajam itu pastilah bukan orang biasa.

   "Kau belum memperkenalkan namamu sendiri, bagaimana menanyakan nama orang lain?" jawabnya.

   "Ahh, aku lupa" kata Han Sin sambil tersenyum "Baiklah namaku Cian Han Sin, dan kau......?"

   "Aku bermarga Cu dan namaku Sian ian"

   Pada saat itu, seorang pelayan datang menghampiri meja mereka dan pelayan itu bertanya kepada Han Sin "Kalau kong-cu ingin memilih kamar, silahkan ikut saya"

   "Ah, ya baiklah" Han Sin bangkit berdiri dan membayar harga makanan.

   "Aku juga minta sebuah kamar" kata pengemis muda bernama Cu Sian itu kepada si pelayan.

   "Adik Cu Sian, marilah kau menginap dikamarku saja. Kita pakai kamar itu untuk kita berdua"

   "Tidak, terima kasih. Aku ingin menyewa kamar sendiri" kemudian berkata mengancam kepada pelayan itu "Jangan menolakku. Aku akan membayar, berapapun sewanya"

   Han Sin dapat menduga bahwa watak pengemis ini memang liar dan ugal-ugalan, maka diapun mengangguk kepada pelayan itu dan berkata "Penuhi saja permintaan sahabatku ini"

   "Baik, baik, mari silahkan mengikuti saya"

   Mereka terus masuk ke bangunan di belakang rumah makan itu. Ternyata bangunan itu merupakan bangunan susun dan mempunyai banyak kamar. Mereka mendapatkan dua buah kamar yang berdampingan dan setelah pelayan itu pergi meninggalkan mereka, barulah Han Sin bertanya kepada pengemis itu.

   "Sian-te (adik Sian), kau ini aneh sekali"

   "Apanya yang aneh, Sin-ko (Kakak Sin)?" Sepasang mata Cu Sian mengamati wajah Han Sin dengan tajam penuh selidik.

   Han Sin menyimpan buntalan pakaiannya ke dalam kamarnya dan Cu Sian juga melakukan hal yang sama. Kemudian mereka ke luar kembali dan duduk di ruangan depan kamar mereka, dimana disediakan beberapa buah bangku dan meja.

   "Kau tadi bilang aku aneh, nah, apanya yang aneh, Sin-ko?" tanya Cu Sian. Mereka dapat bercakap-cakap dengan leluasa karena ruangan itu terpisah dari para tamu lainnya.

   "Kau berkeras minta sebuah kamar sendiri dan tidak mau menginap dalam kamarku. Bukankah itu terlalu royal dan aneh?"

   Cu Sian tertawa dan wajahnya nampak tampan sekali ketika dia tertawa "Heh-heh, apa anehnya itu? Sejak kecil aku terbiasa tidur sendiri. Kalau ada temannya, aku pasti tidak akan dapat tidur pulas sepanjang malam"

   "Masih ada hal yang lebih aneh lagi yang membuat aku dapat menduga siapa kau sebenarnya, Sian-te"

   "Ehh? Benarkah? Apa saja keanehan itu?"

   Kini Han Sin yang mengamati wajah Cu Sian penuh selidik dan dia berkata "Aku berani menduga kau tentulah seorang pemuda remaja yang kaya raya dan pandai ilmu silat. Kau tentu sedang merantau dan menyamar sebagai seorang pengemis untuk mencari pengalaman. Nah, benarkah dugaanku ini?"

   Cu Sian yang tadinya mendengarkan dengan serius itu kini tertawa lagi "Heh-he-he, apa alasannya kau menduga seperti itu, Sin-ko?"

   "Mudah saja. Cara bicara menunjukkan bahwa kau seorang yang berpendidikan tinggi. Kau mengenakan pakaian pengemis akan tetapi tidak mengemis, bahkan membawa banyak uang dan sikapmu juga royal sekali, tanda bahwa kau seorang hartawan. Dan ketika di kuil Hwa-li-pang terjadi perkelahian, kau muncul dan berkelahi melawan nenek gila yang sakti, ini membuktikan bahwa kau pandai silat, juga ketika kau melempar pelayan tadi keluar rumah makan. Nah, benarkah dugaanku itu?"

   Cu Sian menghela napas panjang "Aihhh, begitu menonjol dan canggungkah penyamaranku ini?"

   Han Sin menggeleng kepala "Tidak Sian-te. Melihat sepintas lalu saja, penyamaranmu memang sudah baik sekali dan tak seorangpun menyangsikan bahwa kau seorang pengemis. Akan tetapi kalau sudah bergaul denganmu, maka akan nampaklah kejanggalan-kejanggalan itu. Sikapmu sungguh bukan seperti pengemis, melainkan sebagai seorang pendekar muda yang kaya raya"

   "Aduh mak, celaka aku. Bertemu denganmu sama saja dengan kena batunya. Selama beberapa bulan menyamar ini, baru sekarang rahasiaku terbuka. Maka sesungguhnyalah, aku bukan seorang pengemis akan tetapi aku bersahabat dengan seorang pengemis, bahkan aku keturunan pemimpin perkumpulan pengemis"

   "Akan tetapi kenapa kau menyamar sebagai pengemis?"

   "Sudah tentu agar aku tentu leluasa dan aman melakukan perjalanan. Kalau aku melakukan perjalanan sebagai seorang kong-cu, tentu akan mengalami banyak gangguan dari para perampok dan pencuri. Kau benar, aku memang sedang merantau mencari pengalaman dan penyamaran ini kulakukan agar perjalananku aman"

   "Sian-te, kau seorang pemuda yang memiliki kepandaian silat tinggi, kenapa takut akan gangguan orang? Sedangkan aku yang tidak mempunyai kepandaian apa-apa saja berani melakukan perjalanan tanpa penyamaran, apalagi kau"

   Cu Sian tersenyum dan menundingkan telunjuknya ke arah muka Han Sin.

   "Jangan mengira bahwa kau seorang yang pandai menebak keadaan orang lain, akan tetapi akupun dapat menggambarkan siapa adanya kau"

   "Benarkah?"

   "Hemmm, aku tahu bahwa kau seorang yang berpendidikan, dapat di duga dari caramu bicara dan pandanganmu yang cerdik dan luas kalau bicara. Kau seorang yang baik budi, akan tetapi agaknya kau tidak pandai ilmu silat, atau andaikata dapat tentu tidak beberapa tinggi. Buktinya kau dapat dikuasai oleh keluarga gila itu. Tentu kecerdikanmu, dapat kulihat bahwa beradanya kau dan keluarga gila itu di Hwa-li-pang. Tentu kau yang membujuk mereka agar pernikahan dilakukan di Hwa-li-pang maka keluarga gila itu mati-matian meminjam tempat di Hwa-li-pang. Tentu kau maksudkan agar orang-orang Hwa-li-pang dapat menolongmu. Benarkah?"

   Han Sin mengangguk-angguk dan memang dia kagum sekali. Pemuda remaja ini selain lincah jenaka juga amat cerdik seperti kancil.

   "Lalu apa lagi? Dugaanmu yang sudah itu tepat sekali"

   "Hemmm, kau pasti bukan seorang pemuda yang kaya. Kau memesan makanan yang murah di rumah makan tadi dan buntalan pakaianmu yang ringan tentu tidak mengandung banyak uang. Dan seorang diri kau melakukan perjalanan ke utara padahal di utara bukan tempat untuk berpesiar. Tentu kau mempunyai tujuan tertentu dalam perjalanan ini"

   "Kau hebat, Sian-te"

   "Ada satu lagi. Aku berani menduga bahwa kau adalah seorang putera bangsawan walaupun tidak kaya"

   "Ehhh?" Han Sin benar-benar terkejut sekali. Bagaimana kau menduga begitu?"

   "Sikapmu ketika mencegah si tinggi besar di rumah makan tadi agar tidak menyerangku. Sikap itu demikian penuh wibawa dan ini biasanya hanya di miliki oleh keluarga bangsawan tinggi. Jangan-jangan kau ini seorang pangeran yang menyamar?"

   "Ngacau.... Han Sin tertawa, akan tetapi diam-diam dia harus berhati-hati terhadap seorang yang demikian cerdiknya" Aku bukan pangeran bukan putera bangsawan, melainkan anak seorang ibu yang telah janda sejak aku berusia sepuluh tahun"

   "Heeiii... nanti dulu. Kau bermarga Cian, bukan? Hemmm, kau kematian ayahmu sejak berusia sepuluh tahun dan usiamu sekarang ku taksir duapuluh tahun. Sepuluh tahun yang lalu kau kematian ayahmu dan kau she Cian. Padahal, sepuluh tahun yang lalu, kematian Cian-Tai-Ciangkun, Sin-ko, kau putera mendiang Panglima Besar Cian Kauw, bukan?"

   Wajah Han Sin berubah dan dia bangkit dari tempat duduknya. Tebakan yang tepat itu sama sekali tidak pernah disangkanya dan dia memandang kepada Cu Sian dengan tajam, sepasang matanya mencorong dan sikapnya penuh kewaspadaan.

   Cu Sian juga bangkit dan menggerakkan tangan menghibur Han Sin.

   "Jangan takut, Sin-ko. Aku tanggung bahwa tidak akan ada orang lain dapat menduga bahwa kau putera Panglima Besar Cian Kauw, Walaupun andaikata ada yang tanya sekalipun tidak apa-apa. Kalau aku dapat menduga siapa kau, hal itu adalah karena kakekku adalah sahabat baik dari Cian-ciangkun. Kakek ku pernah menjadi temen seperjuangan ayahmu, maka aku sudah mendengar akan semua riwayat dan keadaan Cian-ciangkun dari mendiang ayahku. Kalau aku tidak mengetahui keadaannya, tentu aku tidak akan dapat menduga bahwa kau puteranya"

   Han Sin sudah dapat menenangkan hatinya dan dia duduk kembali. Sejenak dia memandang kepada Cu Sian lalu mengangkat telunjuknya ke arah muka Cu Sian "Hemmm anak nakal. Jangan kau terlalu bangga dan menyombongkan dirimu. Akupun dapat menduga siapa kau ini"

   "Eh? Benarkah? Nah, katakan siapa aku ini?" Cu Sian menantang.

   "Kau tentu cucu dari Ketua Hek-I-Kaipang di Tiang-an"

   Kini Cu Sian yang meloncat dari tempat duduknya dan memandang kepada Han Sin dengam mata terbelalak "Lohhh, bagaimana kau bisa menduga begitu?"

   "Apa sukarnya? Kau tadi pernah mengatakan bahwa kau keturunan pemimpin pengemis. Dalam penyamaranmu, kau mengenakan pakaian pengemis warna hitam. Mengapa warna hitam dan bukan warna lain? Dan kau bermarga Cu. Maka mudah saja di duga, aku sudah mendengar dari ayah ibuku siapa-siapa tokoh kang-ouw yang menjadi temen seperjuangan ayah. Diantaranya adalah Cu Lo-kai, ketua dari Hek-I-Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Nah, coba menyangkal kalau bisa" Han Sin tersenyum penuh kemenangan melihat pengemis muda itu nampak gugup.

   "Dan.... kau mendengar tentang ayah ibuku?"

   Han Sin menggeleng kepalanya "Tidak Ayah dan ibu tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan Hek I Kaipang dan para pengurusnya setelah Kerajaan Sui berdiri. Jadi, tentu saja aku tidak apapun tentang orang tuamu"

   Wajah itu berseri kembali "Dugaanmu memang tepat" Hemmm, alangkah pintarnya kau, sin-ko"

   "Tidak lebih pintar darimu, Sian-te"

   "Nah, sekarang kita telah mengenal dengan baik keadaan diri masing-masing. Agaknya persahabatan antara ayahmu dan kakek ku menjadi jembatan persahabatan kita"

   "Akan tetapi, aku hanya seorang pemuda biasa, tidak sepandai kau dalam ilmu membela diri" kata Han Sin, memancing apakah pemuda remaja itupun dapat menduga bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi. Ternyata Cu Sian tidak dapat menduganya.

   "Jangan khawatir, Sin-ko. Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik? Akulah yang akan membela dan melindungimu dan jangan kau takut, aku tidak menyombongkan diriku apabila kukatakan bahwa tongkatku ini cukup kuat untuk melindungi kita berdua" kata Cu Sian sambil mengangkat tongkatnya yang tadi diletakkan di atas meja.

   Han Sin tersenyum "Wahh, lega hatiku sekarang, mempunyai seorang sahabat seperti kau, Sian-te. Setelah kita menjadi sahabat, tentu kau tidak berkeberatan untuk memberitahu kepadaku kemana kau hendak pergi dan apa yang kau cari sampai kau tiba di sini, jauh dari Tiang-an, tempat tinggalmu"

   Mendadak wajah yang berseri itu menjadi muram. Beberapa kali Cu Sian menghela napas panjang, kemudian berkata "Sebetulnya kalau bukan kepadamu, aku tidak pernah menceritakan keadaan ku, sin-ko. Entah mengapa, kepadamu aku seketika percaya sepenuhnya. Mungkin karena mengetahui bahwa kau putera mendiang Cian-ciangkun. Akan tetapi setelah kau mendengar cerita tentang diriku, ku harap kaupun akan menceritakan keadaanmu dan kemana kau hendak pergi"

   "Baik, aku tidak akan menyimpan rahasia, Sian-te"

   Cu Sian memandang ke kanan kiri, ke arah pintu-pintu depan belakang rumah itu yang terbuka. Tidak nampak seorangpun manusia dan dia segera mulai dengan ceritanya.

   "Kakekku hanya mempunyai seorang putera, yaitu ayahku. Akan tetapi sejak mudanya, ayahku yang bernama Cu Kak tidak mau mengikuti jejak kakek, tidak mau menjadi pengemis bahkan tidak mau melanjutkan pimpinan Hek I Kaipang. Ayah telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian kakek dan kepandaian itu menjadi modal bagi ayah untuk membuka piauw-kok (perusahaan pengiriman barang). Ayah menjadi piauw-su (pengawal kiriman barang) yang disegani dan dapat membuat perusahaannya menjadi terkenal dan besar. Setelah kakek meninggal dunia, Hek I Kaipang diserahkan kepada para murid lain untuk memimpinnya.

   "Aku tidak dapat menyalahkan ayahmu. Karena bagaimanapun juga, menjadi pengemis menimbulkan kesan kurang baik bagi seseorang, apalagi kalau dia masih muda dan kuat"

   "Akan tetapi kakek sendiri tak pernah mengemis, kakek hanya mengumpulkan para pengemis, dalam satu wadah agar mereka tidak melakukan perbuatan jahat"

   
Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku mengerti, Sian-te. Lanjutkanlah"

   "Kakekku meninggal dunia ketika aku baru berusia sepuluh tahun, terjadilah malapetaka itu. Mula-mula sebuah kiriman barang berharga yang di lindungi perusahaan ayah menuju jauh ke utara di rampok di tengah perjalanan. Para piauw-su pembantu ayah berusaha melawan, akan tetapi banyak diantara mereka tewas dan sisanya melarikan diri pulang dan melapor kepada ayah. Ayah menjadi marah. Barang kiriman yang hilang itu amat berharga dan tidak mungkin ayah dapat menggantinya. Maka ayah sendiri lalu pergi ke utara dimana terjadi perampokan itu. Perampokan itu terjadi di lembah Huang-ho dan barang kiriman itu seharusnya di bawa ke Po-touw"

   "Dengan siapa ayahmu pergi?"

   "Ayah pergi bersama para pembantunya, yaitu para piauw-su yang dapat melarikan diri dari para perampok itu. Setelah tiba di tempat itu, ayah dan para pembantunya di serang oleh gerombolan perampok itu dan dalam pertempuran ini ayah tewas. Para piauw-su dapat melarikan jenazah ayah pulang. Ibu terkejut dan sedih sekali sehingga setelah semua barang milik kita di jual untuk mengganti barang yang di rampok, ibu jatuh sakit dan akhirnya setahun setelah ayah tewas, ibu juga meninggal dunia, meninggalkan aku seorang diri di dunia ini"

   "Aduh kasihan sekali kau, Sian-te. Masih muda sekali telah di tinggal kedua orang tuamu" kata Han Sin terharu.

   "Ketika itu aku baru berusia sebelas tahun, aku tetapi aku sudah mengerti keadaan. Aku bertanya kepada para piauw-su siapa yang membunuh ayah. Mereka mengatakan bahwa perampok itu memakai nama Kwi-to-pang (Perkumpulan Golok Setan) dan yang membunuh ayahku adalah ketua perkumpulan itu, seorang laki-laki tinggi besar yang brewok dan memegang sebatang golok besar. Aku lalu belajar silat dari para paman guruku, yaitu para murid kakek di Hek I Kaipang. Setelah semua ilmu dapat ku kuasai, aku lalu pergi merantau untuk menambah pengalamanku dan mencari musuh besar yang membunuh ayah ibuku"

   "Ibumu? Bukankah ibumu meninggal dunia karena sakit?"

   "Betul, akan tetapi kalau tidak gara-gara orang yang membunuh ayahku, tentu ibu tidak meninggal karena kesedihannya. Dalam perjalananku mencari musuhku itulah aku bertemu dengan kau, Sin-ko"

   "Ah, hidupmu seolah bertujuan untuk membalas dendam"

   "Apa lagi yang dapat kulakukan? Aku harus membalas dendam kematian orang tuaku, hanya itu yang dapat kulakukan untuk membalas budi mereka kepadaku"

   "Kalau kau menjadi seorang pendekar pembasmi kejahatan yang membela kebenaran dan keadilan, berarti kau sudah mengangkat dan mengharumkan nama ayah ibumu"

   "Sudahlah, tidak perlu kita perdebatkan hal itu. Sekarang aku menagih janji. Kau berjanji akan menceritakan riwayatmu sampai kesini"

   Han Sin menghela napas panjang. Riwayatku tidak lebih baik daripada riwayatmu, Sian-te. Kau sudah mendengar bahwa ayah tewas dalam suatu pertempuran yang terjadi di sebelah utrara Sjan-si, ketika memimpin pasukan untuk menumpas pemberontakan di sana. Kalau ayah meninggal dunia karena bertempur, hal itu adalah wajar saja. Seorang Panglima gugur dalam pertempuran merupakan hal wajar dan kami tidak akan merasa penasaran. Akan tetapi, ayah tewas karena pengkhianatan"

   "Ehhh? Siapa yang mengkhianatinya?"

   "Itulah yang menjadi rahasia. Tidak ada yang tahu siapa yang membunuh ayah ketika terjadi pertempuran itu"

   "Kalau begitu, bagaimana kau tahu bahwa dia di khianati dan bukan tewas oleh pihak musuh?"

   "Ayah tewas karena terkena anak panah yang datangnya dari belakang. Anak panah itu mengenai punggungnya. Dan lebih daripada itu, Pedang pusaka ayah, Hek liong Kiam juga lenyap. Setelah ayah meninggal, ibu mengajakku pindah ke dusun"

   "Dan sekarang kau sampai di sini, hendak kemanakah?"

   "Ibu menyuruh aku untuk mencari pedang pusaka milik ayah yang hilang itu"

   "Aih, dengan sedikit kepandaian silat yang kau miliki, bagaimana kau akan dapat menemukan atau merampasnya kembali? Mungkin pedang pusaka itu diambil oleh pembunuh ayahmu"

   "Kalau begitu, bagaimanapun akan ku hadapi"

   "Kau bisa celaka.... akan tetapi jangan takut, Sin-ko. Aku akan membantumu menghadapi pembunuh ayahmu dan pencuri pedang pusaka itu"

   "Akan tetapi kau sendiri mempunyai tugas yang penting, dan aku tidak berani mengganggumu dengan urusanku, Sian-te"

   "Begitukah sikap seorang sahabat" kata Cu Sian dengan alis berkerut.

   Han Sin merasa tidak enak sekali. Dalam mencari pedang dan pembunuh ayahnya, mungkin dia akan menghadapi musuh-musuh yang lihai. Kalau Cu Sian bersama dengannya, maka pemuda remaja ini dapat terancam bahaya. Dia tidak menghendaki hal hal itu terjadi. Pula, tidak pantas kalau pemuda itu sampai membahayakan diri sendiri hanya untuk membantunya dalam urusan pribadi.

   "Sungguh, aku menyesal sekali terpaksa harus menolak bantuanmu, Sian-te. Aku tidak ingin mengganggumu. Lebih baik kau selesaikan urusanmu sendiri dan aku akan mencoba untuk mencari pedang pusaka ayahku itu seorang diri pula"

   Cu Sian bangkit berdiri, wajahnya berubah merah "Apa? Kau menolak uluran tanganku? Sin-ko, kau terlalu memandang rendah padaku. Apa kaku kira aku tidak akan mampu mendapatkan Hek liong kiam itu untukmu?"

   "Bukan begitu, Sian-te, akan tetapi........"

   "Akan tetapi apa.........?"

   "Aku tidak mau merepotkanmu, pula kalau sampai terjadi apa-apa denganmu karena kau membantuku, aku akan merasa menyesal selama hidupku. Terima kasih banyak atas kebaikanmu dan pembelaanmu, akan tetapi sungguh menyesal sekali, aku harus menolaknya"

   "Bagus" Cu Sian bangkit berdiri dan menggebrak meja "Kau sungguh seorang sahabat yang tidak mengenal arti kesetian"

   "Maafkan aku, Sian-te. Akan tetapi aku sungguh tidak ingin melihat kau celaka. Kau masih begini muda"

   "Cukup. Kau anggap aku anak kecil, ya? Kalau tidak ada anak kecil ini, belum tentu kau dapat meloloskan diri dari keluarga gila itu, tahukah kau? Akulah orangnya yang memancing agar kau dapat meloloskan diri"

   "Ahhh, terima kasih banyak, Sian-te. Kau memang hebat"

   "Tidak perlu memuji, pendeknya mau atau tidakkah kau kalau kubantu kau mencari pedang pusaka itu?"

   "Terpaksa aku menolaknya, Sian-te. Ini dapat berbahaya sekali untukmu dan......"

   "Sudahlah, kau memang keras kepala. Kalau kau kelak menghadapi ancaman musuh yang tangguh, baru kau menyesal mengapa tidak menerima tawaranku. Sudah, aku mau tidur" dan pemuda remaja itu membanting-banting kaki lalu memasuki kamarnya, menutupkan daun pintu kamar keras-keras.

   Han Sin masih duduk termangu. Dia suka sekali kepada Cu Sian. Akan tetapi pemuda itu masih seperti kanak-kanak. Bagaimana dia boleh mengajak kanak-kanak menghadapi bahaya dalam mencari pedang Hek liong kiam? Kalau dia sendiri gagal bahkan sampai tewas dalam usahanya ini, dia tidak akan menyesal. Akan tetapi kalau sampai Cu Sian tewas dalam membantunya, dia tentu akan merasa menyesal bukan main.

   Akhirnya dia menghela napas dan memasuki kamarnya sendiri. Dia merasa kecewa dan menyesal bahwa persahabatannya dengan pemuda remaja itu akan berakhir begini. Akhirnya Han Sin dapat juga tidur pulas.

   ***

   Pada keesokan harinya, suara ayam jantan berkokoknyaring di luar jendela kamarnya. Han Sin turun dari pembaringannya dan membuka daun jendela itu. Pekarangan samping itu di tumbuhi pohon-pohon dan kembang. Suasana pagi itu indah sekali dan hawanya sejuk segar memasuki kamarnya. Tiba-tiba dia teringat kepada Cu Sian yang berada di kamar sebelah. Dia menjulurkan kepala keluar jendela untuk memandang ke arah jendela kamar sebelah.

   Daun jendela itu masih tertutup. Agaknya sahabat barunya itu masih tidur. Dia berharap mudah-mudahan Cu Sian tidak marah lagi dan mereka akan dapat saling berpisah sebagai dua orang sahabat.

   Han Sin termenung sambil memandang keluar dimana burung-burung beterbangan dan berloncatan dari dahan ke dahan. Dimana kupu-kupu beterbangan di sekitar bunga-bunga. Pagi yang cerah, hari yang indah. Alangkah akan gembiranya kalau pada pagi seindah itu dia melakukan perjalanan dengan Cu Sian, sahabatnya yang riang gembira dan lincah jenaka itu. Akan tetapi dia segera menggeleng kepalanya. Tidak. Dia mempunyai tugas yang berat dan berbahaya. Siapa tahu apa yang akan dihadapinya di utara nanti. Tidak boleh dia membawa Cu Sian, pemuda remaja itu memasuki bahaya pula.

   Han Sin yang sadar dari lamunannya lalu pergi membersihkan diri di kamar mandi yang letaknya di belakang rumah penginapan itu, kemudian setelah bertukar dengan pakaian bersih dia menghampiri kamar Cu Sian. Diketuknya pintu kamar itu beberapa kali, lalu dia menanti. Akan tetapi tidak ada jawaban, tidak ada suara dari dalam kamar itu. Daun pintu kamar itu tetap tertutup, tidak dibuka dari dalam.

   Dia mengetuk lagi dan memanggil "Sian-te, bangunlah, hari telah siang"

   Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Ketika dia mengetuk-ngetuk kembali, muncul seorang pelayan yang kemarin melayaninya.

   "Percuma diketuk karena kamar itu kosong kong-cu" katanya.

   "Eh? Kosong? Bukankah kamar ini yang ditempati sahabatku itu?"

   "Kong-cu maksudkan pemuda pengemis itu?"

   Han Sin mengangguk "Ya, bukankah dia bermalam di kamar ini?"

   "Ya, benar. Akan tetapi tadi pagi-pagi sekali, sebelum ayam berkokok, dia telah pergi meninggalkan kamar ini dan dia telah membayar sewa kedua kamar. Bahkan dia telah membayar harga makan pagi yang akan dihidangkan kepada kong-cu pagi ini. Apakah kong-cu tidak tahu bahwa dia telah pergi?" pelayan itu memandang heran dan sadarlah Han Sin bahwa sebagai seorang sahabat baik mestinya dia tahu akan keberangkatan temannya itu.

   "Oh ya......... aku lupa" Katanya dan ketika dia menghadapi hidangan sarapan pagi yang royal. Dia termenung dan hatinya terharu. Cu Sian telah membuktikan ucapannya, meninggalkan dia yang tidak mau menerima sahabat itu melakukan perjalanan bersama, menolak bantuan yang di tawarkan Cu Sian. Dia tahu bahwa pemuda remaja itu marah kepadanya sehingga pagi-pagi telah berangkat lebih dulu. Akan tetapi bagaimanapun marahnya, Cu Sian telah membelikan sarapan pagi yang royal untuknya.

   Setelah makan pagi, Han Sin juga meninggalkan rumah penginapan itu. Sewa kamarnya juga sudah dibayar oleh Cu Sian. Ketika melangkah kaki keluar dari pekarangan rumah penginapan itu, hatinya terasa kosong dan sepi. Dia benar-benar merasa kehilangan sahabatnya yang biasanya menggembirakan suasananya itu. Hari yang cerah itu serasa mendung.

   Ketika tiba di pintu pagar halaman depan, seorang laki-laki setengah tua bangkit berdiri sambil sambil menuntun seekor kuda dan menyapa Han Sin "Apakah kong-cu yang bernama Cian-kongcu?"

   Han Sin memandang penuh perhatian dan tidak merasa kenal dengan orang ini "Benar, paman. Ada apakah?"

   "Saya adalah seorang penjual kuda, kong-cu. Dan Saya ingin menyerahkan kuda ini kepada kong-cu"

   "Apa? Mengapa?" Han Sin bertanya bingung.

   "Inilah kuda yang di beli oleh seorang sahabat kong-cu untuk diserahkan kepada kong-cu pagi ini. Terimalah, kong-cu" Orang itu menyerahkan kendali kuda yang dipegangnya kepada Han Sin.

   Han Sin mengerti bahwa kekmbali ini tentu perbuatan Cu Sian, maka terpaksa dia menerima kuda itu. Sahabatnya itu memang seorang yang royal sekali. Kalau dia di tawari kuda, tentu akan di tolaknya. Akan tetapi karena kuda itu sudah di beli dan sudah di berikan kepadanya dan dia tidak dapat mengembalikannya kepada Cu Sian, terpaksa dia melompat ke atas punggung kuda dan melarikan kuda itu menuju pintu gerbang sebelah utara dari kota Pey-yang.

   Begitu keluar dari kota kegembiraan hati Han Sin muncul kembali. Ia melupakan dua wajah yang selalu membayanginya, yaitu wajah Kim Lan dan wajah Cu Sian. Pemandangan di depan amat indahnya. Bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya menghadang di depannya. Orang-orang telah membuat jalan raya menuju utara dan melalui jalan inilah para rombongan pedangan melakukan perjalanan. Barang yang dikirimkan ke daerah utara juga melalui jalan ini. Jalan ini berada di lembah sungai Kuning, naik turun bukit dan mengitari jurang dan puncak. Jalan mulai sepi dan Han Sin membedal kudanya. Kuda itu ternyata seekor kuda yang kuat dan baik. Pandai juga Cu Sian memilih kuda, pikirnya.

   Perjalanan Han Sin mulai melalui daerah yang berbahaya bagi para pejalan yang lewat. Keadaan sekeliling sejauh puluhan mil sunyi dan jarang ada perumahan penduduk. Ketika jalan menanjak ke sebuah bukit, pemandangan amatlah indahnya. Han Sin memperlambat jalannya kuda, membiarkannya jalan, tidak berlari lagi. Selain untuk mencegah kudanya terlalu kelelahan, juga dia ingin menikmati pemadangan yang amat indah itu. Kebesaran alam terbentang luas di depannya dan menghadapi pemandangan alam yang luas dan megah dan indah ini, Han Sin merasa betapa kecil dirinya. Kecil tidak berarti. Di depan kakinya, di bawah, nampak Sungai Huang-ho mengalir, lebar dan panjang. Beberapa buah perahu nampak berada di sungai itu. Sebagian latar belakangnya, jauh di seberang sungai terdapat jajaran bukti yang tiada putusnya ,lenyap di ujungnya dalam warna biru keabuan.

   Tiba-tiba dia mendengar derap kaki kuda mendatangi dari belakang. Dia lalu minggirkan kudanya agar tidak menghadang mereka yang akan lewat. Tak lama kemudian, serombongan orang berkuda lewat situ. Tadinya Han Sin mengira bahwa mereka tentulah para saudagar atau piau-su yang mengawal barang kiriman. Akan tetapi tidak ada kereta diantara mereka. Semua orang laki-laki berjumlah tigapuluhan orang menunggang kuda danmelihat sikap danpakaian mereka yang serba ringkas, mudah di duga bahwa mereka itu adalah orang-orang yang kuat dan pandai ilmu silat. Wajah mereka pun kelihatan bengis. Terutama yang berada di depan dan agaknya menjadi pemimpin mereka. Ada tiga orang laki-laki berusia antara empatpuluh sampai enampuluh tahun berada di depan dan mereka bertiga ini kelihatan menyeramkan. Ketika mereka lewat, Han Sin sudah melompat turun dari atas punggung kudanya dan memegang kendali kuda dekat mulut kuda agar kudanya tidak kaget dan ketakutan melihat rombongan banyak orang itu. Dan dia mendengar teriakan orang yang berada di depan.

   "Mari kawan-kawan, cepatan sedikit. Gerombolan Golok Setan tentu sudah berada di balik bukit ini"

   Mereka melarikan kuda lebih cepat lagi memasuki sebuah hutan di depan. Mendengar di sebutnya Golok Setan, Han Sin tertarik sekali. Teringatlah dia akan cerita Cu Sian. Bukannya ayah Cu Sian juga terbunuh oleh gerombolan perampok yang di sebut Kwi-to-pang (Perkumpulan Golok Setan)? Karena ingin sekali tahu apa yang akan di lakukan orang-orang itu dengan gerombolan Golok Setan, Han Sin segera meloncat ke atas punggung kudanya dan membayangi mereka dari jauh.

   Setelah tiba di tengah hutan yang berada di lereng bukit, Han Sin melihat mereka itu sudah berhenti di situ.

   Di situ terdapat sebuah lapangan rumput yang luas dan orang-orang itu sudah turun dari kuda dan bergerombol di lapangan rumput. Han Sin menghentikan kudanya. Menambatkan kudanya pada sebatang pohon dan berindap-indap dia mendekati tempat itu untuk mengintai. Dia melihat tiga orang pemimpin yang menyeramkan itu duduk di atas rumput dan anak buahnya duduk menghadap mereka. Akan tetapi Han Sin melihat bahwa jumlah mereka banyak berkurang. Sedikitnya tentu berkurang sepuluh orang. Dia menyusup semakin dekat untuk mendengarkan percakapan mereka.

   "Kalian bertiga, A-cun, A-tek, dan A-ban, selidiki mereka dari puncak pohon dan seorang kabarkan kepada kami, yang dua orang tetap berjaga di atas secara bergantian " ucapan dengan suara yang parau ini keluar dari seorang pemimpin yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.

   Tiga orang anak buah bangkit dan meninggalkan lapangan rumput itu, kemudian mereka berloncatan ke pohon-pohon terbesar untuk melakukan pengintaian. Tak lama kemudian seorang diantara mereka melompat turun. Gerakan tiga orang anak buah ini cukup ringan dan cepat sehingga Han Sin maklum bahwa rombongan orang ini merupakan rombongan yang kuat sekali.

   "Lapor, Twa-pang-cu (Ketua Pertama), mereka sudah di depan, kurang lebih dua mil dari sini. Jumlah mereka sekitar duapuluh"

   "Hemmm, sekali ini kita akan menghancurkan dan membasmi mereka. Sam-sute, cepat kau pasang dan sebarkan bubuk racun hitam itu seperti seperti yangtelah kita rencanakan semula"

   Yang di sebut sam-sute (adik seperguruan ke tiga) itu adalah seorang diantara tiga pemimpin itu. Orang ini bertubuh tinggi, namun tidak sebesar orang pertama, hanya mukanya menyeramkan karena penuh dengan brewok yang menutupi sebagian besar mukanya. Dia mengambil sebuah bungkusan dari saku bajunya dan terlihat dia menaburkan bubuk hitam pada garis setengah lingkaran yang menghadap ke arah utara. Hanya bagian selatan yang tidak disebari racun dan bagian selatan ini agaknya yang menjadi pintu bagi mereka. Jarak garis yang di sebari racun itu kurang lebih seratus meter dari tempat mereka duduk ,yaitu di tepi lapangan rumput. Dan yang disebari racun bukanlah tanahnya, melainkan dedaunan dan tumbuh-tumbuhan yang terdapat di ditu. Setiap orang yang akan masuk kelapangan rumput itu dari semua arah, kecuali dari arah selatan, tentu akan semak dan rumput yang sudah mengandung racun itu dan setiap orang tentu akan menguak semak itu dengan tangannya agar dapat lewat sehingga tangan itu tentu akan terkena racun. Han Sin yang melihat ini mengerutkan alis. Cara yang di ambil orang-orang itu memang keji sekali. Akan tetapi karena diapun ingin sekali mengetahui mengetahui apa yang dilihat oleh pengintai tadi, diam-diam dia mundur, mencari pohon yang tinggi lalu melompat naik ke atas pohon.

   Ketika dia mengintai ke arah utara, dia pun dapat melihat serombongan orang berada sekitar dua puluh orang lebih dan kadang-kadang nampak berkilatnya golok yang tertimpa sinar matahari. Agaknya itulah yang dimaksudkan orang-orang ini sebagai Gerombolan Golok Setan.

   Akan tetapi ada sesuatu yang menarik perhatian Han Sin. Ada dua bayangan orang yang menyusup-nyusup diantara semak belukar dan batang-batang pohon. Kalau dia tidak melihat dengan penuh perhatian, tentu bayangan itu akan lolos dari penglihatannya. Demikian cepat gerakan mereka. Kalau pengintai yang masih di atas pohon itu melihat, tentu akan di kiranya gerakan seekor dua ekor binatang saja. Akan tetapi Han Sin merasa yakin bahwa itu adalah gerakan dua orang yang datang dari tempat berkumpulnya kelompok Golok Setan itu menuju ke sini.

   Han Sin merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Tidak salah lagi, agaknya golok setan mengirim dua orang penyelidik dan dua orang itu pasti akan melanggar garis yang sudah di sebarin racun. Ingin dia memberitahu mereka, memperingatkan mereka agar jangan sampai melanggar garis beracun itu, akan tetapi bagaimana caranya? Pula, dia belum tahu benar siapa yang jahat diantara kedua kelompok orang yang agaknya bermusuhan itu, maka tidak adil lah kalau dia memihak salah satu kelompok. Maka, diapun diam saja dan mengikuti dua bayangan itu dengan perasaan ngeri. Setelah dekat dengan tempat itu, dua bayangan itu tidak nampak lagi dan gerakannya tidak dapat diikuti lagi. Agaknya mereka maju dengan hati-hati sekali.

   Tak lama kemudian Han Sin yang sudah siap melihat orang keracunan, tetap saja melihat orang keracunan, tetap saja terkejut ketika tiba-tiba terdengar jeritan dua orang yang mengerikan. Di sebelah lapangan utara lapangan rumput itu. Orang-orang yang berada dilapangan rumput itupun mendengarnya dan mereka kelihatan girang sekali.

   "Ha-ha-ha, tentu dua ekor anjing pengintai mereka yang terkena racun. Seret mereka ke sini" Dua orang anggota kelompok itu bangkit dan mereka menuju ke utara dari mana suara tadi terdengar. Dua orang itu mengenakan sarung tangan hitam untuk melindungi tangan mereka dari racun. Tak lama kemudian mereka sudah menyeret tubuh dua orang yang sudah menjadi mayat. Sungguh luar biasa sekali racun hitam itu. Mula-mula yang terkena hanya tangan dua orang penyelidik itu, akan tetapi warna hitam itu lalu menjalar ke seluruh tubuh sampai ke mukanya yang menjadi hitam seperti hangus. Diam-diam Han Sin bergidik. Dia sudah mendengar banyak dari gurunya. Hek Liong Ong, tentang kekejaman yang banyak terjadi di dunia persilatan, terutama diantara golongan sesat dan baru sekarang dia menyaksikan sendiri.

   "Ha-ha-ha, Gerombolan Golok Setan akan tahu rasa sekarang. Kalian berempat, bawa dua mayat itu dan lemparkan ke dekat tempat mereka" perintah si tinggi besar muka hitam.

   "Baik, twa-pangcu" Empat orang yang di tunjuk bangkit berdiri dan mereka inipun menggunakan sarung tangan hitam. Mereka lalu menggotong dua mayat itu, dua orang menggotong satu mayat dan membawa mereka keluar dari lapangan rumput, menuju ke utara untuk mengirim dua buah mayat itu kepada pihak musuh.

   Han Sin mengikuti perjalanan empat orang yang menggotong dua buah mayat itu, akan tetapi, baru sampai pada pertengahan jalan, mendadak muncul orang bersenjata golok besar dan mereka itu segera menyerang empat orang yang menggotong dua mayat tadi. Empat orang itu melepaskan mayat dan mencabut pedang mereka, dan terjadilah perkelahian empat lawan lima orang bergolok. Akan tetapi karena empat orang tadi menggotong dua mayat, mereka kalah cepat dan ketika golok-golok itu berkelebatan membentuk gulungan sinar menyilaukan mata, dalam waktu belasan jurus saja empat orang itu berturut-turut telah terpelanting roboh, kemudian lima orang itu menghujamkan goloknya ke tubuh mereka sampai tubuh empat orang itu terbelah-belah.

   Han Sin menyeringai seperti orang menahan sakit. Dia bergidik. Kiranya orang-orang Golok Setan itu tidak kalah kejamnya dibandingkan orang-orang yang berada dibawah pohon ini.

   Agaknya orang yang mengintai dari atas pohon melihat pula kejadian itu. Maka dia cepat turun memberi laporan kepada para pimpinan.

   "Twa-pangcu, celaka besar. Empat orang kita yang mengantar dua mayat itu di hadang di tengah perjalaan oleh lima orang musuh dan mereka semua terbunuh"

   "Ahhhh......" Ketua yang tinggi besar itu mukanya menjadi semakin hitam dan dia mengepal tinjunya "Keparat. Kita kehilangan empat orang sedangkan mereka hanya kehilangan dua orang. Kita harus membuat pembalasan" Ketua pertama dari kelompok itu bernama Coa Gu dan berjuluk Hek-mo-ko. Untuk daerah lembah Huang-ho ini sudah terkenal sebagai seorang datuk diantara para perampok dan bajak sungai. Gerombolan yang dipimpinnya itu di beri nama Huang-ho-kwi-pang (Perkumpulan Iblis Sungai Kuning). Orang tinggi besar bermuka hitam ini bersenjatakan sebatang tongkat baja yang hitam pula. Karena muka dan tongkatnya yang hitam itulah maka dia dijuluki Hek-mo-ko (Iblis Hitam).

   Orang kedua, yang tinggi besar bermuka brewok bernama Gu Ma It dan dia menjadi ji-pangcu (Ketua kedua). Usianya lima puluh tahun, lima tahun lebih muda dari Hek-mo-ko dan Gu Ma It ini terkenal karena tenaganya besar seperti tenaga gajah dan diapun pandai bermain pedang. Adapun orang ketiga yang menjadi sam-pangcu (ketua ketiga) bernama Su Ciong Kun, berusia empat puluh lima tahun. Orang ketiga ini tinggi namun kurus dan mukanya menyeramkan sekali karena muka itu seperti tengkorak terbungkus kulit. Orang ketiga dari Huang-ho Kwi-pang ini ditakuti karena dia seorang ahli menggunakan racun dan senjatanya berupa rantai baja juga lihai sekali. Pusat Huang ho Kwi-pang berada di lembah Huang-ho, sedangkan anggota mereka berjumlah kurang lebih limapuluh orang. Akan tetapi yang kini di ajak untuk menyerbu musuh hanya tigapuluh orang.

   Mendengar twa-pangcu yang sudah marah itu bermaksud hendak menyerbu musuh, sam-pangcu segera berkata "Twa-suheng, kurasa tidak menguntungkan kalau kita langsung menyerbu mereka. Mereka lebih menguasai medan karena ini merupakan daerah mereka. Kalau kita menyerang mereka, kita dapat terjebak. Biarkan mereka yang menyerang kita sehingga kita yang menjebak mereka dengan racun.

   Gu Ma It yang tadi hanya mendengarkan saja kini berkata "Apa yang diucapkan sam-sute memang benar. Mereka yang menguasai daerah ini tentu lebih paham akan keadaan disini dan kalau tidak berhati-hati kita dapat terjebak. Tempat kita ini terbuka dan tidak dapat mereka menjebak kita, dan andaikata mereka menyerang kita, kita dapat mempertahankan diri dengan baik dan menghancurkan mereka"

   "Hemmm" Hek-mo-ko menggeram.

   "Kita telah kehilangan empat orang. Di bandingkan dengan mereka yang kehilangan dua orang, kita masih rugi besar. Ternyata mereka telah memasang barisan pendam diantara kita dan mereka"

   "Karena itulah harus berhati-hati dan menanti gerakan mereka" kata Su Ciong Kun si muka tengkorak yang agaknya cerdik.

   "Ahhh, akan tetapi hal seperti itu menunjukkan bahwa kita takut kepada mereka" Hek-mo-ko tetap penasaran.

   Han Sin merasa sudah cukup lama mengintai dari atas pohon. Dia turun dari pohon itu, mengambil keputusan untuk tidak mencampuri urusan mereka. Gurunya pernah menasehatinya agar dia tidak mencampuri urusan orang-orang kang-auw karena diantara mereka kalau terjadi permusuhan, biasanya saling memperebutkan kekuasaan atau harta benda, juga mungkin karena dendam mendendam. Akan tetapi baru saja dia turun dari atas pohon, tiba-tiba muncul sepuluh orang yang mengepungnya dan menodongkan senjata-senjata tajam kepadanyya.

   Han Sin bersikap tenang saja, walaupun dia agak terkejut karena tidak menyangka bahwa dia telah diketahui. Karena sejak tadi berada di atas pohon dan perhatiannya di tunjukkan kepada semua kejadian yang jauh dari pohon, dia tidak mendengar atau melihat apa yang terjadi di bawah pohon itu. Kiranya mereka itu adalah sepuluh orang dari Huang-ho Kwi-pang yang tadi tidak dilihatnya dilapangan rumput dan mereka itu memang disebar untuk menyelidiki keadaan sekitar tempat itu. Ketika seorang dari mereka melihat Han Sin di atas pohon, dia lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya dan pohon itu pun sudah di kepung.

   

Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 11 Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 2 Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 7

Cari Blog Ini