Ceritasilat Novel Online

Sepasang Naga Lembah Iblis 10


Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 10




   "Yang taihiap," kata Thio Ci yang sudah pernah bertemu dengan Yang Cien ketika pemuda ini di pilih sebagai calon bengcu oleh semua ketua kaipang.

   "Kalau tidak salah, kami dapat menemukan pemuda yang taihiap cari-cari itu."

   "Kamu maksudkan Cian Kauw Cu, pangcu? Dimana dia dan bagaimana engkau dapat bertemu dengan dia?".

   Wajah Thio Ci agak muram mendengar pertanyaan itu.

   "Bukankah taihiap mengatakan bahwa yang bernama Akauw itu memiliki sebuah pedang pusaka yang bersinar hitam?".

   "Hek-liong Po-kiam! Betul! Betul itu, pangcu!" kata Yang Cien gembira.

   "Dimana dia sekarang?".

   Wajah Thio Ci masih murung ketika menjawab.

   "Tentu saja di kota raja, dimana lagi, taihiap? Seorang panglima muda tentu tinggalnya di kota raja. Bahkan kami mendengar bahwa dia adalah panglima pembantu Koksu Lui! Dia pula yang di utus oleh kaisar untuk menangkap Gubernur Yen Kan dari Lok-yang yang berjiwa patriot. Sekarang Gubernur Yen Kan dijadikan orang tahanan di kota raja."

   "Ah, tidak mungkin!" seru Yang Cien dengan penasaran.

   "Apa yang tidak mungkin taihiap?" Tanya Thio Kui karena mengira bahwa Yang Cien tidak mempercayai laporan kakaknya.

   "Tidak mungkin Akauw menjadi antek Koksu!".

   "Akan tetapi yang jelas, nama komandan itu adalah Cian Kauw Cu dan dia memiliki pedang bersinar hitam, juga ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Kami berdua sudah membuktikannya sendiri."

   "Ceritakan yang jelas."

   "Ketika kami melihat panglima itu menyamar sebagai seorang biasa, bersama seorang pemuda remaja, kami langsung mengenalnya sebagai komandan yang menangkap Jendral Yen. Tentu kedatangannya dengan menyamar itu untuk menyelidiki keadaan di Lok-yang. Bersama kurang lebih tiga puluh orang anggota Hek I Kaipang di Lok-yang, kami berdua menyergapnya. Akan tetapi dia lihai bukan main, Pedang sinar hitam itu sukar di tembus bahkan kami kehilangan banyak anak buah. Akhirnya dia dapat meloloskan diri membawa temannya yang terluka. Kami berkata sebenarnya, taihiap, entah dia itu sahabat yang taihiap cari atau bukan, akan tetapi yang bernama Cian Kauw Cu berpedang sinar hitam adalah seorang panglima antek Raja Toba!".

   Setelah mendengar laporan itu, wajah Yang Cien selalu murung karena dia gelisah dan penasaran sekali mendengar bahwa sutenya telah menjadi komandan Kerajaan Toba. Sungguh aneh sekali. Dia mengenal betul watak sutenya yang gagah perkasa, tidak mungkin kiranya mau di peralat oleh Kaisar Toba, tidak mungkin gila harta atau gila kedudukan. Kalau benar orang yang di ceritakan ketua Hek I Kaipang di Lok-yang itu benar Akauw, tentu ada sebab-sebab tertentu yang membuatnya menjadi komandan!".

   Malam itu terang bulan dan Yang Cien keluar dari perkampungan Hek I Kaipang, berjalan-jalan seorang diri di lereng pantai Sungai Huai. Dia melamun karena pikirannya penuh dengan Akauw. Dia harus menyelidiki sendiri keadaan sutenya itu di kota raja dan kalau benar Akauw telah menjadi komandan, dia harus menyadarkan sutenya itu dari kekeliruannya. Sutenya tidak boleh menjadi antek Mongol!.

   Tiba-tiba ada suara tidak wajar di belakangnya dan kesadaran Yang Cien kembali membuatnya waspada. Dia membalikkan tubuhnya dan berhadapan dengan seorang wanita muda yang cantik. Di bawah sinar bulan yang remang-remamng, dia tidak mengenal siapa gadis itu.

   "Yang-taihiap....

   "terdengar suara gadis itu memanggil lirih.

   "Eh, siapakah nona?"

   "Hemm, benarkah taihiap telah lupa kepadaku?" Tanya gadis itu dengan suara mengandung penasaran.

   "Kita sudah pernah saling bertemu di rumah Gubernur Gak di Nam-kiang dan malam itu.....

   "Ia tidak melanjutkan kata-katanya.

   "Ah, sekarang aku ingat. Nona tentulah Nona Kwee Sun Nio, murid dari Iam Yang To-kouw dari Thian-li-pang itu, bukan? Selamat malam, nona. Apa yang membawa nona datang ke sini?".

   "Taihiap, aku sengaja datang mencarimu dan beruntung sekali aku mendapatkan engkau seorang diri di tempat ini."

   "Maafkan kalau aku menyambut dalam cara begini, nona. Marilah kita pergi ke tempat tinggal kami dan di sana kita dapat berbincang-bincang....".

   "Tidak perlu. Aku justeru ingin bicara di tempat sunyi denganmu, empat mata saja."

   "Terserah kepadamu, nona. Apakah nona di suruh oleh guru nona menemuiku?".

   "Yang Cien, jangan berpura-pura terus!" Tiba-tiba suara Sun Nio berubah penasaran dan ketus.

   "Aku datang menemuimu untuk minta pertanggung jawabmu!".

   Yang Cien tentu saja terkejut sekali mendengar ini. Minta pertanggung-jawab? Seingatnya, tidak pernah ada terjadi sesuatu dengan nona ini atau gurunya, kecuali ketika guru nona ini dahulu meminta surat peninggalan Kam Lo-kai dan di tolaknya sehingga terjadi pertempuran antara dia dan Im Yang To-kouw. Dan itupun ternyata hanya merupakan ujian saja dari tokouw itu untuk melihat apakah dia memang setia akan mempertahankan surat wasiat dari Kam Lokai, seperti di ketahuinya ketika ia sudah menghadap Gubernur Gak. Ternyata Thian-li-pang juga merupakan perkumpulan yang condong membantu pergerakan pejuang melawan penjajah. Ada urusan apa lagi antara dia dengan gadis Thian-li-pang ini?".

   "Nona, apa artinya semua ini? pertanggung-jawab apakah yang nona minta dariku?".

   "Yang Cien, ketika pertama kali aku mengenalmu bersama subo, kukira engkau seorang pendekar budiman yang bijaksana dan bertanggung jawab. Tak ku sangka sekarang ini ternyata engkau seorang pengecut yang tidak segan untuk pura-pura tidak tahu apa yang telah kau perbuat terhadap diriku!" Gadis ini sudah demikian kecewa dan marahnya sehingga suaranya tercampur isak yang di tahan-tahannya.

   "Sungguh mati, nona. Aku tidak mengerti apa yang nona maksudkan! Aku bukanlah seorang pengecut dan aku Yang Cien pasti akan mempertanggung-jawabkan semua perbuatanku sampai yang sekecil-kecilnya. Nah, jelaskan, perbuatan apakah yang telah ku lakukan terhadap dirimu, nona Kwee Sun Nio?".

   Sun Nio menjadi merah sekali mukanya.

   "Apakah benar engkau sudah lupa atau pura-pura lupa apa yang kau lakukan di kuil tua itu pada waktu malam hari beberapa pekan yang lalu?".

   "Di kuil tua? Malam hari beberapa pekan yang lalu? Aku tidak pernah berkunjung ke kuil tua, nona".

   "Bohong! Ada orang yang melihatmu meninggalkan kuil dengan tergesa-gesa."

   "Sungguh heran, aku benar tidak pernah ke kuil. Orang itu pasti telah salah lihat. Dan apa katanya yang ku lakukan di dalam kuil itu?"

   "Dia tidak berkata apa-apa, akan tetapi akulah yang menjadi korban kebiadabanmu. Yang Cien, sebagai laki-laki gagah tidak pelu kau ingkari lagi. Engkau telah memperkosa aku selagi aku pingsan!"

   Seperti di sambar ular Yang Cien melangkah dua tindak, akan tetapi lalu maju lagi mendekati Kwee Sun Nio dengan mata terbelalak.

   "Apa..."? Apa yang kau katakana ini? Sungguh fitnah keji sekali!".

   "Fitnah? Aku yang menderita! Aku yang kehilangan kehormatan, kehilangan yang lebih daripada nyawa. Aku yang terkena aib. Apakah aku akan melakukan fitnah kalau tidak terjadi benar atas diriku?".

   "Nanti dulu, nona. Coba ceritakan yang lebih jelas. Engkau berada didalam kuil tua, lalu datang memperkosamu......"

   "Kau lebih dulu melepaskan asap pembius sehingga aku menjadi pingsan, dan kau lalu....

   "

   "Hemmm, kau jatuh pingsan di dalam kuil tua lalu aku datang memperkosamu? Bagaimana kau tahu bahwa aku yang memperkosamu kelau engkau pingsan?".

   "Aku memang tidak melihat dengan mataku sendiri. Setelah sadar, aku melompat keluar kuil dan bertemu seseorang yang mengatakan bahwa dia melihat engkau pergi dari kuil dengan tergesa-gesa "

   "Fitnah keji! Kalau dia mengatakan bahwa ada laki-laki berlari dari kuil, bagaimana engkau bisa tahu bahwa laki-laki itu aku orangnya?".

   "Yang Cien, tidak perlu engkau mengelak lagi. Orang itu telah mengenalmu, maka tahu siapa engkau dan dia yang menceritakan kepadaku."

   "Nona Kwe, siapakah orang itu? Siapakah orang yang mengatakan bahwa dia melihat aku lari meninggalkan kuil?".

   Melihat gadis itu meragu, dia menyambung.

   "Aku perlu mengetahui untuk dapat meyakinkan hatiku tentang ceritamu".

   "Orang itu bernama Lai Seng! Nah, engkau tidak boleh pungkir sekarang, Yang Cien, engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang terkutuk kepadaku."

   "Mempertanggung-jawabkan bagaimana?".

   "Engkau harus menikahi aku atau engkau harus mati di tanganku."

   "Keduanya tidak dapat ku terima. Aku tidak mau mempertanggung-jawabkan perbuatan yang tidak kulakukan. Nona, pertimbangkan baik-baik. Aku tidak melakukan itu, apakah engkau tidak percaya kepadaku dan lebih percaya kepada keterangan laki-laki jahanam itu? Ingat, Lai Seng adalah seorang penjahat besar yang menjadi mata-mata Kerajaan Mongol, dia pernah hendak menyeludup ke dalam Hek I Kaipang dan ketahuan, lalu di usir. Apakah laki-laki penjilat Mongol itu lebih kau percaya dari pada aku? Aku bersumpah tidak melakukan perbuatan itu!".

   Kwe Sun Nio mencabut pedangnya. Ia sudah nekat. Kalau bukan Yang Cien yang melakukan, lebih celaka lagi baginya. Kalau Yang Cien, ia menuntut dinikahi dan ia akan suka menjadi isteri pemuda ini. Kalau orang lain bagaimana? Mungkin ia memilih mati! Kekecewaan dan penasaran membuatnya nekat.

   "Yang Cien, aku adalah murid Thian-li-pang yang sejak kecil di latih dengan peraturan keras. Aku telah kehilangan kesucianku sebagai seorang gadis dan hukumnya hanyalah menikah atau mati ternoda aib. Kalau engkau tidak mau menikahiku, biarlah aku mati di tanganmu atau engkau mati di tanganku!" Setelah berkata demikian, gadis itu lalu menyerang dengan dahsyatnya, menusukkan pedangnya kearah dada Yang Cien.

   Pemuda ini cepat mengelak dan meloncat ke belakang.

   "Bersabarlah, nona. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu, bahkan aku merasa iba sekali kepadamu, dan aku bersedia membantumu untuk menyelidiki siapa yang melakukan perbuatan terkutuk itu!".

   Makin nyeri rasa hati Kwe Sun Nio. Pemuda ini tetap menyangkal, mengecewakan hatinya dan mematahkan semua harapannya agar pemuda yang dikaguminya ini mau menikahinya.

   "Kalau bukan engkau siapa lagi!" Bentaknya dan kembali ia menyerang dengan nekad bahwa kalau ia tidak dapat membunuh pemuda itu, biarlah ia tewas di tangannya untuk menubus aib.

   Kembali Yang Cien mengelak dan dia tahu bahwa dengan bujukan kata-kata saja, gadis ini yang agaknya sudah nekat dan penasaran tidak akan reda kemarahannya. Diam-diam, mendengar nama Lai Seng di sebut, dia sudah curiga bahwa pemuda ini tentu melempar fitnah dan sangat boleh jadi bahwa perbuatan terkutuk itu di lakukan oleh sendiri.

   Biarpun ilmu pendang yang dimainkan Sun Nio cukup hebat, namun berhadapan dengan Yang Cien, sama sekali tidak ada artinya. Setelah mengelak selama belasan jurus, akhirnya dia menangkap pedang itu dalam jempitan antara kedua jarinya dan pedang itu seperti melekat di situ, tidak dapat di tarik kembali oleh Sun Nio.

   "Nona, engkau salah sangka, hentikanlah!" kata Yang Cien dan dia melepaskan jepitannya. Akan tetapi, Yang Cien tidak menduga sama sekali bahwa gadis itu sudah nekat benar, begitu pedangnya di lepas sudah menyerang lagi dengan tusukan yang cepat dan mengandung tenaga. Yang Cien memiringkan tubuhnya dan tangannya menyambar dari atas ke bawah. Tangan yang miring itu menghantam pedang yang menyambar di dekat perutnya.

   "Traakkk....! "Pedang itu patah menjadi dua potong seperti di hantam palu godam yang berat.

   Sun Nio terbelalak pucat, membuang sisa pedangnya dan menyerang dengan pukulan tangan kosong. Yang Cien meloncat ke belakang lalu menghilang.

   "Nona, engkau salah sangka....

   "terdengar suaranya dari jauh, suara yang mengandung penasaran dan juga iba hati.

   Sun Nio menangis. Ia menjatuhkan diri menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis sesungukan dengan hati hancur. Satu-satunya harapan telah pudar dan ia meraba-raba dalam kegelapan tidak tahu kepada siapa ia akan minta pertanggungjawabnya.

   "Subo.... Ah, subo..." "Tangisnya dan ia lalu bangkit berdiri melangkah terhuyung untuk pergi melapor kepada subonya. Ia akan minta bantuan subonya untuk membujuk Yang Cien agar mempertanggung-jawabnya. Mengingat akan kemungkinan ini, timbul pula sedikit harapan di hati Sun Nio. Mungkin subonya akan berhasil.

   Gubernur Yen di bebaskan dari tahanan di kota raja! Dia diperbolehkan pulang ke Lok-yang. Hal ini adalah karena nasehat dan siasat Koksu dan Perdana menteri yang di ajukan kepada kaisar. Pertama, untuk meredakan ketegangan kedua, agar pasukan di Lok-yang terkecoh dan tidak siap siaga. Padahal, beberapa hari setelah dia dipulangkan ke Lok-yang, puluhan ribu pasukan yang di pimpin oleh Koksu sendiri menyerbu Lok-yang! Hanya terjadi sedikit perlawanan dari para penjaga pintu gerbang, karena memang Gubernur Yen melarang pasukan di wilayahnya mengadakan perlawanan terhadap pasukan kerajaan. Pemberontakan belum waktunya dimulai karena perimbangan kekuatan masih jauh selisihnya. Dia memerintahkan kedua orang anaknya, Yen Gun dan Yen Sian, untuk melarikan diri dan bergabung dengan Hek I Kaipang melarikan diri meninggalkan Lok-yang, dan menyusun kekuatan bersama perkumpulan-perkumpulan lain yang condong memberontak terhadap pemerintah Toba.

   Tanpa melakukan perlawanan Gubernur Yen kembali di tawan, kini berikut seluruh keluarganya, kecuali Yen Gun dan Yen Sian yang sudah lebih dulu melarikan diri.

   Juga para panglima di tawan dan seketika di ganti oleh panglima-panglima yang di tunjuk oleh Koksu. Penyerbuan sehari itu selesai dan hamper semua pejabat di Lok-yang di tangkap dan dig anti, kecuali beberapa orang yang memang sebelumnya sudah ada kontak dengan kerajaan dan bahkan merupakan mata-mata yang mengawasi gerak-gerik mereka yang condong memberontak.

   Ketika pasukan menyerbu, Yen Gun dan Yen Sian, dengan mengenakan pakaian biasa, menyelinap diantara orang-orang yang mengungsi karena takut akan peperangan, dan melarikan diri keluar kota. Akan tetapi baru saja tiba di luar kota, serombongan prajurit kerajaan menghentikan mereka yang lari mengungsi. Jumlah prajurit ini tidak kurang dari seratus orang dan jumlah pengungsi sedikitnya lima puluh orang.

   "Berhenti! Kalian hendak lari kemana?"

   Semua orang ketakutan dan Yen Gun mewakili mereka menjawab.

   "kami hendak lari mengungsi karena takut akan adanya perang. Mengungsi keluar kota agar jangan ikut terlanda perang."

   "Hemm, kami harus menggeledah dulu kalian. Hayo berkumpul di sini!" kata pemimpin rombongan prajurit itu dengan sikap angkuh dan memerintah.

   Semua orang menaati perintah itu dan mulailah diadakan penggeledahan. Dan penggeledahan itu bukan lain hanyalah perampokan dan perampasan. Setiap menemukan benda berharga, lalu di sita begitu saja oleh para penggeledahnya.

   Dan yang lebih memuakkan hati lagi, kalau yang di geledah seorang wanita muda, tangan-tangan para penggeledah lalu mulai berbuat kurang ajar dan tidak sopan, meraba sana sini sehingga mulai terdengar jerit tangis mereka yang dipermainkan dan mereka yang barang-barangnya di rampas.

   "Heekkk, kalian ini menggeledah atau merampok?" bentak Yen Gun dengan marah.

   "Dan lepaskan perempuan itu!" bentak pula Yen Sian ketika seorang menggeledah hamper menelanjangi seorang wanita muda yang manis.

   "Kau mau melawan, ya? Kamu pemberontak, ya? "bentak orang yang sedang mengantungi kalung emas dari seorang wanita yang di geledahnya dan langsung saja dia mengangkat tangannya untuk menampar muka Yen Gun.

   "Dukkk!" Yen Gun menangkis dan sekali tangannya bergerak, orang itu terpelanting roboh.

   Seorang prajurit lain yang melihat kecantikan Yen Sian, juga sudah menubruk dan memeluk pinggangnya dari belakang. Yen Sian menjerit karena jijik, kakinya menendang ke belakang dan pemeluknya jatuh tersungkur, bergulingan memegangi bawah perut yang mendadak terasa seperti akan hancur.

   Tentu saja keadaan menjadi geger melihat Yen Gun dan Yen Sian merobohkan dua orang prajurit. Komandan pasukan itu lalu memberi aba-aba untuk mengeroyok. Yen Gun dan Yen Sian yang sudah di pesan oleh ayahnya untuk tidak melakukan perlawanan dan lari bergabung dengan Hek I Kaipang, tidak kuat menahan hati mereka melihat tindakan sewenang-wenang dari para prajurit Toba, maka kini mereka menghadapi pengeroyokan itu dengan pedang di tangan!.

   Dua orang kakak beradik ini adalah murid dari ayah mereka sendiri. Gubernur Yen Kan adalah seorang pewaris ilmu silat keluarga Yen yang sudah turun temurun memiliki ilmu silat dari Gobi-pai. Dan Gubernur Yen Kan dahulunya di kala muda pernah menjadi pendekar Gobi-pai yang di segani orang karena ilmu silatnya yang tinggi.

   Bagaikan sepasang rajawali mengamuk, Yen Gun dan Yen Sian membabati para prajurit Mongol itu dan puluhan orang prajurit sudah menjadi korban pedang mereka. Para pengungsi lain menggunakan kesempatan itu untuk lari cerai berai, ada yang kehilangan suaminya kehilangan anaknya karena mereka berpencaran saking takutnya.

   "Sian-moi, lari....!" Mereka lari memutar pedang, menjatuhkan para pengeroyok terdepan, kemudian berloncatan jauh dan menggunakan ilmu berlari cepat meninggalkan tempat itu. Untung bagi mereka bahwa peristiwa itu terjadi di luar kota. Andaikata terjadi di sebelah dalam kota, akan sulitlah bagi mereka untuk dapat meloloskan diri.

   Biarpun demikian, para prajurit segera melakukan pengejaran dan mereka yang mengejar dengan menunggang kuda dapat menyusul mereka dan kembali mereka terkepung. Akan tetapi pengepungnya hanya dua-tigapuluh orang yang memiliki kepandaian lebih tangguh dibandingkan para pengeroyok pertama. Inilah para prajurit yang membantu dari kota dan mereka adalah prajurit pilihan, di pimpin oleh Lai Seng dan Bong Kwi Hwa.

   Begitu Lai Seng dan Bong Kwi Hwa berloncatan turun dari atas kuda mereka dengan berjungkir balik di udara beberapa kali dan berhadapan dengan Yen Gun dan Yen Sian, tahulah kedua kakak beradik ini bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang pandai.

   Dan Lai Seng segera mengenal kedua orang itu.

   "Ha-ha-ha, kiranya putera dan puteri Gubernur sendiri yang melakukan pemberontakan di sini! Menyerahlah kalian untuk kami tawan, kalau kalian tidak menghendaki mati di tempat ini."

   "Kami tidak akan menyerah selama nyawa masih di kandung badan! "kata Yan Gun dengan gagah.

   "Gun-ko, kita hajar saja antek-antek Mongol ini!" seru pula Yen Sian.

   "Ha-ha-ha, nona yang cantik bernyali besar, Kwi Hwa, kau tangkap yang laki-laki, biar aku hadapi nona ini!" kata Lai Seng yang segera menggerakkan suling peraknya menyerang Yen Sian.

   "Trangg-tranngg-criingg...!" Bunga api berhamburan ketika suling itu di tangkis pedang Yen Sian. Gadis ini segera memainkan ilmu pedang Gobi-kiam-hoat untuk menandingi Lai Seng dan terjadilah perkelahian seru sekali antara mereka.

   Sementara itu Bong Kwi Hwa juga menggerakkan pedangnya menyerang Yen Gun. Ia tahu bahwa suaminya sudah tergila-gila kepada gadis jelita itu, akan tetapi ia tidak peduli karena ia pun akan senang sekali untuk dapat menawan pemuda yang jangkung tampan ini. Yen Gun menangkis pedang lawan dan keduanya juga segera bertanding dengan serunya.

   Ternyata tingkat ilmu pedang mereka semua seimbang sehingga perkelahian itu terjadi sengit dan melihat ini, Lai Seng merasa khawatir kalau sampai mereka lolos. Maka dia lalu meneriakan aba-aba kepada anak buahnya untuk mengeroyok dan mengepung. Setelah di kepung puluhan orang prajurit, sementara harus melawan Lai Seng dan Kwi Hwa yang tangguh, maka kedua orang putera dan puteri Gubernur Yen itu merasa kewalahan juga. Pada saat keadaan mereka sudah gawat dan peluh sudah membasahi seluruh badan walaupun mereka belum terluka, tiba-tiba dengan tak terduga juga datang serombongan orang berpakaian hitam dan menggunakan tongkat. Mereka menyerbu dari luar kepungan dan para prajurit itu jatuh bergelimpangan!.

   Hek I Kaipang muncul, sebanyak tidak kurang dari lima puluh orang, di pimpin oleh Thio Cid an Thio Kui, ketua dan wakil ketua Hek I Kaipang wilayah Lok-yang.

   Ketika terjadi penyerbuan ke kota Lok-yang, Hek I Kaipang juga merasa gelisah. Akan tetapi mereka mendengar akan perintah Gubernur Yen agar jangan mengadakan perlawanan, melainkan mengundurkan diri untuk menyusun kekuatan. Maka, Thio Ci lalu memerintahkan anak buahnya untuk berjaga di luar kota dan membantu para pengungsi melarikan diri. Hanya itu yang dapat mereka lakukan karena andaikata mereka akan menyerbu masuk kota, tentu pasukan kerajaan yang besar jumlahnya itu bukan merupakan tandingan mereka yang hanya berjumlah ratusan orang.

   Thio Cid an Thio Kui menggunakan jarum-jarum, pisau dan paku beracun merobohkan banyak prajurit. Dan ketika mereka terjun ke dalam perkelahian, Thio Ci membantu Yen Gun dan adiknya Yen Sian, pihak pasukan kerajaan segera terdesak. Betul ada pula datang bala bantuan yang jumlahnya hanya tigapuluh orang. Namun Lai Seng maklum bahwa orang-orang berpakaian hitam ini berbahaya sekali maka dia segera memerintahkan pasukannya untuk menahan diri dan hanya melakukan perlawanan sambil mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Thio Ci untuk mengajak kedua putera Gubernur Yen ini melarikan diri.

   "Terima kasih atas pertolongan ji-wo pangcu," kata Yen Gun dan Yen Sian yang sudah mengenal baik mereka.

   "Tidak perlu berterima kasih, kongcu dan sio-cia. Bagaimana dengan Yen-taijin? Sungguh kami tidak mengerti mengapa taijin tidak melakukan perlawanan...".

   "

   "Ayah kami tahu akan kekuatan sendiri. Kalau melakukan perlawanan berarti menghancurkan kekuatan pasukan sendiri dan hal ini dapat melemahkan semangat. Sekarang belum saatnya melakukan perlawanan. Ayah memerintahkan kami untuk melarikan diri dan bergabung dengan Hek I Kaipang, lalu menyusun kekuatan untuk kelak melakukan pemberontakan."

   Thio Ci menghela napas panjang.

   "Yen-taijin terlalu mengkhawatirkan keadaan, terlalu menyayang rakyat dan pasukan, sehingga rela mengorbankan diri sendiri di tangkap.

   "Koko, bagaimana dengan ayah dan ibu dan semua keluarga? Ah, aku khawatir sekali, koko," kata Yen Sian dan suaranya terdengar bergetar.

   "Harap Yen-siocia tenangkan diri. Kami kira Yen-taijin dapat menjaga diri sindiri dan keluarganya. Bagaimanapun semua ini tentu telah masuk perhitungan beliau, karena bagaimana beliau akan dapat di tuntut sebagai pemberontak kalau tidak ada bukti pemberontakan? Kini kami mengerti. Justeru inilah sebabnya maka beliau melarang diadakannya perlawanan, agar jangan ada bukti bahwa beliau pemberontak."

   "Akan tetapi hatiku khawatir sekali," kata Yen Sian.

   "kaisar Kerajaan Toba memiliki banyak penjilat dan kabarnya para penjilat inilah yang berbahaya suka membujuk kaisar untuk menghukum siapa saja yang mereka anggap tidak dapat di jadikan sahabat atau sekutu."

   "Jangan khawatir, nona. Kami akan mengirim mata-mata ke kota raja untuk mendengarkan berita tentang ayah nona kalau sudah di bawa ke kota raja," Thio Ci menghiburnya.

   "Sekarang, sebaiknya ji-wi ikut dengan kami untuk mengadakan perundingan lebih jauh. Kebetulan sekali pemimpin besar kami akan datang berkunjung."

   "Siapakah pemimpin besar kalian? Apakah bukan Cu-Lokai yang dahulu menjadi ketua pusat Hek I Kaipang di Tiang-an? "Tanya Yen Gun.

   "Dia juga akan datang, akan tetapi kami sekarang mempunyai pemimpin besar, bahkan yang kami calonkan sebagai bengcu, dia adalah taihiap Yang Cien. Mari, kongcu dan sioci, kita cepat pergi agar jangan sampai ada pasukan datang mencari lagi."

   Mereka segera pergi dengan cepat menuju ke tempat persembunyian Hek I Kaipang di bukit dekat Sungai Huai.

   Sementara itu, dengan sikap gagah dan tegak Gubernur Yen duduk di kursinya di ruangan besar, di kelilingi keluarganya kecuali kedua orang puteranya, dan sikapnya berwibawa sekali ketika Panglima Su yang menjadi pemimpin pasukan yang di suruh Koksu menghadap Gubernur menyampaikan perintah kaisar untuk menangkapnya. Koksu hanya ikut untuk menjaga kalau-kalau Lok-yang melakukan perlawanan dan bukanlah menjadi tugas seorang Guru Negara untuk memimpin pasukan. maka begitu melihat bahwa tidak ada perlawanan, Koksu lalu lebih dulu kembali ke Tiang-an dan yang memasuki gedung gubernuran adalah Su-ciang kun.

   "Gubernur Yen, atas perintah Yang Mulia Kaisar, kami datang untuk menangkapmu, berlututlah dan menyerahlah untuk kami tangkap!".

   "Apakah alasannya aku akan di tangkap?" Tanya Gubernur itu dengan wajah tenang sekali.

   "Alasannya sudah jelas. Mengadakan usaha pemberontakan!" kata Su-Ciangkun.

   "Fitnah keji. Mana buktinya? Apakah ketika ciang-kun memasuki tempat ini ada yang menentangmu?".

   Su-ciangkun nampak bingung. Memang dia tidak melihat perlawanan berarti atau pemberontakan, hanya kesalahpahaman saja antara pasukannya dengan para penjaga keamanan yang berhak mempertahankan tempat yang mereka jaga. Akan tetapi tidak ada tanda-tanda pemberontakan.

   Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku tidak tahu, pendeknya aku datang perintah kaisar untuk menangkapmu."

   "Jangan harap aku akan menyerahkan diri kalau perintah tidak ada buktinya!".

   "Gubernur Yen, kami membawa perintah Kaisar itu. Lihat ini! "Su-ciangkun mengeluarkan segulung surat dan setelah surat itu di baca oleh Gubernur Yen, dia segera bangkit berdiri.

   "Baik, kami menaati perintah Sri Baginda Kaisar untuk di bawa ke kota raja!" katanya gagah.

   Dua orang prajurit segera menghampiri atas isyarat Su-ciangkun dan akan memborgol kedua tangan Gubernur itu. Akan tetapi sekali menggerakkan kaki tanganya, dua orang prajurit itu telah di tendang dan di tampar roboh oleh Gubernur Yen.

   "Aku tidak perlu di borgol, aku bukan penjahat dan tuduhan pemberontakan itu tidak ada buktinya. Aku akan menghadap kaisar dengan keadaan seperti seorang bawahan menghadap atasan, bukan sebagai seorang pemberontak atau penjahat. Juga keluargaku kalau hendak di bawa, harus menggunakan keretaku sendiri. kalau semua ini tidak di penuhi sampai mati aku tidak akan menyerah!".

   Sikap dan ucapan gubernur itu berwibawa sekali sehingga Su-ciangkun sendiri merasa gentar. Terpaksa dia memenuhi permintaan gubernur itu agar tidak menimbulkan kesulitan. Demikianlah, gubernur dan keluarganya dibawa ke kota raja bukan sebagai tawanan perang, bukan sebagai pemberontak, melainkan sebagai tamu saja yang dikawal pasukan besar Kerajaan! Suatu kehormatan yang besar dan yang hanya mungkin terjadi karena keberanian Gubernur Yen.

   Akan tetapi, setelah menghadap Kaisar, Gubernur Yen dimarahi oleh Kaisar.

   "Biarpun belum ada bukti bahwa engkau melakukan pemberontakan, akan tetapi menurut penyelidikan, engkau mengumpulkan para pengemis dan melakukan hubungan baik dengan Hek I Kaipang, padahal Hek I Kaipang jelas berusaha memberontak. Ada gejalanya engkau berpihak kepada pemberontak, karena itu kamu di tahan sambil menanti sidang pengadilan. Demikian pula keluarga akan di tahan di penjara!" Keputusan kaisar tidak dapat dibantah dan demikianlah, Gubernur Yen Kan dan tiga orang isterinya lalu lalu di masukkan ke dalam tahanan. Gubernur itu tidak kelihatan sedih, bahkan merasa bersukur bahwa kedua orang anaknya berhasil lolos dari tangkapan dan dia percaya bahwa mereka berdua tentu akan melanjutkan perjuangannya untuk menumbangkan kekuasaan Kerajaan Toba dari tanah air. Dia tidak akan menyesal andaikata dia harus mati sekalipun!.

   Penangkapan atas diri Gubernur Gak di Nam-kiang kemudian di susul penangkapan atas diri Gubernur Yen di Lok-yang menimbulkan kegemparan. Banyak pejabat tinggi menjadi khawatir. Bagaimanapun juga, belum ada bukti-bukti bahwa kedua Gubernur itu melakukan pemberontakan. Juga di terima kabar bahwa Coa-ciangkun tidak jadi berangkat ke kota raja atau jelasnya mengabaikan panggilan kaisar untuk menarik pasukan dan kembali ke kota raja! Memang panggilan itu di anggap tidak masuk akal oleh para pejabat tinggi. Coa-ciangkun adalah seorang panglima yang berjasa besar, panglima yang selama ini telah menahan serangan Kerajaan Sun di perbatasan.

   Kalau tidak karena kehebatan Coa-ciangkun mengatur pasukan, tentu sudah lama musuh di selatan itu memasuki wilayah Toba karena pasukan Sun di kabarkan amat kuat. Hanya berkat kegagahan Coa-ciangkun saja maka Kerajaan Sun dapat di tahan. Dan sekarang kaisar menyuruhnya mundur dan menarik pasukan. Tidak masuk di akal! Penangkapan atas diri kedua Gubernur itu menimbulkan perasaan tidak puas di kalangan pejabat tinggi, apalagi penagkapan itu menjalar dengan di tangkapinya dan digantinya para panglima yang tadinya berkedudukan di Lok-yang. Semua pejabat khawatir kalau-kalau pada suatu hari mereka akan mengalami nasib yang sama. Dan mereka semua juga tahu bahwa semua ini adalah hasil ulah Koksu Lui Tat dan juga Perdana Menteri Ji.

   Dunia kang-ouw juga geger. Mereka semua seperti sudah dapat merasakan mulainya api pemberontakan berkobar di mana-mana, ledakan-ledakan pemberontakan hanya tinggal menanti saatnya saja. Akan tetapi para tokoh kang-ouw sendiri masih bingung harus berpihak siapa. Dan untuk melegakan hati mereka, untuk mendapatkan pegangan, mereka memandang kepada pemilihan beng-cu yang segera akan tiba dan di adakan di Thai-san. Kalau sudah ada seorang beng-cu yang bijaksana dan pandai, tentu beng-cu itu akan dapat mengambil keputusan melalui musyawarah, tindakan apa yang sebaiknya harus di ambil oleh dunia kang-ouw menghadapi peristiwa dalam negeri itu.

   Jauh hari sebelum hari pertemuan besar pemilihan beng-cu, Thai-san sudah mulai di banjiri pengunjung. Mereka terdiri dari banyak macam orang, ada yang aneh-aneh, ada pengemis, pendeta hwe-sio, to-su, ada pendeta wanita, dan ada pula yang berpakaian seperti petani, ada pula yang seperti sastrawan, dan seperti orang kalangan persilatan. Mereka ada yang datang berkelompok, ada pula yang perorangan. Karena pertemuan itu adalah pertemuan yang dikehendaki semua orang, tanpa ada tuan rumah, akan tetapi undangan dilakukan oleh Hek I Kaipang, maka juga mereka tidak menerima penyambutan seperti biasa. Mereka mendirikan sendiri gubuk-gubuk darurat untuk tempat itnggal sambil menanti datangnya hari yang di tentukan.

   Yang Cien yang mewakili golongan pengemis sudah tiba lebih dulu di ditu bersama Cu Lokai yang mewakili Hek I Kaipang yang lain. Mereka pun mendirikan gubuk-gubuk di dalam hutan di puncak pegunungan yang dingin itu karena pemilihan bengcu baru akan di adakan tiga hari kemudian.

   Tempat untuk melakukan pemilihan sudah dipersiapkan oleh Hek I Kaipang, yang menebangi pohon dan membuka sesuatu dataran yang cukup luas, dengan mendirikan panggung yang besar.

   Pada hari itu, pagi-pagi sekali, seorang anggota pengemis memberitahu kepada Yang Cien bahwa ada seorang tokouw (Pendeta To) dan seorang gadis minta berjumpa dengannya. Yang Cien mengerti bahwa itu tentulah Kwe Sun Nio yang menuduhnya memperkosa dan gurunya. Maka dia bergegas keluar, menerima mereka di depan gubuk di bawah pohon besar dan dia memberi isyarat kepada semua pengemis untuk menjauhkan diri karena maklum bahwa apa yang di bicarakan tidak boleh terdengar orang lain.

   "Selamat pagi, lo-cian-pwe," kata Yang Cien sambil memberi hormat.

   "Dan Nona Kwe."

   Kedua orang wanita itu membalas penghormatannya dan wajah Sun Nio kemerahan, bahkan matanya juga menunjukkan bahwa gadis ini banyak menangis dan dalam keadaan bersedih sekali sehingga dia merasa kasihan.

   "Selamat pagi, Yang-taihiap. Kami kira engkau sudah tahu apa maksud kunjungan kami ini," kata Im-yang To-kouw dengan suara tajam dan pandang mata penuh selidik.

   Yang Cien bersikap serius.

   "Kalau tidak salah, tentu ada hubungannya dengan peristiwa yang menimpa diri nona Kwe?".

   "Yang-taihiap, kami bukan hendak mencari keributan. Antara engkau dan kami ada hubungan baik, yaitu sama-sama mendukung perjuangan untuk mengusir penjajah Mongol dari tanah air. Bahkan kita bersama menghadapi peristiwa besar pemilihan beng-cu dan kami pun mendukung kalau engkau yang dapat menjadi beng-cu untuk memimpin kita semua. Akan tetapi, peristiwa yang menimpa diri murid kami menjadi ganjalan dan kami harap agar taihiap suka mempertanggung-jawabnya. Ketahuilah, kehidupan kami sebagai pendeta mempunyai peraturan yang amat keras. Apa yang menimpa diri Sun Nio yang malang ini hanya dapat dibersihkan dengan dua jalan, yaitu ia menikah dengan yang bertanggung-jawab atau ia menghabisi nyawa sendiri untuk menebus aib dan tidak menodai nama perkumpulan kami. Nah, tegakah taihiap bersikap tidak adil dan membiarkannya menghabiskan nyawa sendiri?".

   "Aduh, lo-cian-pwe, apa yang dapat saya katakana? Sungguh mati, saya berani bersumpah bahwa saya bukanlah pelakunya. Bukan saya yang melakukannya dan saya tidak tahu menahu sama sekali, bahkan tidak pernah lagi bertemu dengan nona Kwe sejak kami saling jumpa di rumah Gubernur Gak dulu itu. Lalu bagaimana saya harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak saya lakukan?"

   "Akan tetapi muridku ini mengatakan bahwa ada orang yang melihatmu!" desak Im-Yang To-kouw karena pertapa ini juga setuju sepenuhnya kalau muridnya menjadi isteri pemuda yang dikaguminya ini.

   "Lo-cian-pwe, saya bukanlah orang macam itu. Saya tidak mungkin dapat melakukan perbuatan sekeji dan terkutuk itu, dan sayapun seorang yang bertanggung-jawab sepenuhnya atas segala perbuatan saya. Menurut keterangan nona Kwe, ketika peristiwa itu berlangsung ia sedang dalam keadaan pingsan. Berarti ia tidak melihat siapa pelakunya, artinya, boleh jadi saya, boleh jadi pula orang lain! Kemudian, ia bertemu seseorang yang mengatakan bahwa orang itu melihat saya melarikan diri! Ketahuilah, lo-cian-pwe, orang yang mengatakan itu adalah Lai Seng, dia kabarnya murid Toat-beng Giam-ong, Koksu Lui Tat dan dia seorang yang jahat sekali. Dia pernah menyusup ke dalam Hek I Kaipang dan membikin kacau sehingga terusir keluar. Orang macam dialah yang besar kemungkinan melakukan perbuatan terkutuk itu dank arena ia memang mendendam kepadaku karena kukalahkan dan kuusir dari Hek I Kaipang maka dia lalu menyebut namaku. Mungkin ini juga lalu menyebut namaku. Mungkin ini juga suatu cara untuk mengadu domba antara Thian-li-pang dengan Hek I Kaipang. Pertimbangkanlah baik-baik, lo-cian-pwe dan engkau, Nona Kwe Sun Nio. Aku bersumpah tidak melakukan perbuatan itu!".

   Terdengar isak tangis Sun Nio dan Im-Yang To-kouw termenung. Ia dapat menerima alasan-alasan Yang Cien dan menjadi ragu.

   "Aihhh, Sun Nio, jangan-jangan anjing keparat Lai Seng itu yang justru melakukannya! Kita harus menyelidiki dulu sebelum menjatuhkan suatu keputusan."

   "Aihhhh, subo... bagaimana teecu ini....?" Sun Nio tersedu-sedu.

   "Kwee-siocia, saya berjanji akan membantumu menyelidikinya!" kata Yang Cien dengan gemas.

   "Karena ini menyangkut fitnah atas nama saya pula. Tunggulah saja sampai pemilihan beng-cu ini selesai, aku akan menemui Lai Seng dan kalau perlu akan ku paksa dia mengaku bahwa semua itu fitnah belaka!".

   Sun Nio tidak menjawab lalu lari meninggalkan tempat itu sambil menangis. Hatinya hancur karena dengan hadirnya subonya tetap saja tidak dapat membujuk Yang Cien untuk mengawininya. Dan kalau benar Lai Seng yang melakukannya, ah, ia lebih baik mati daripada harus menikah dengan orang sejahat itu, melakukan fitnah kepada orang lain! Ia harus mengetahui yang sebenarnya dan kalau sudah yakin bahwa Lai Seng yang melakukannya, ia harus membunuh jahanam itu. Kalau pelaku itu sudah dibunuhnya, maka baru impas dan ia sudah terlepas dari ada hukuman yang menjadi peraturan Thian-li-pang. Kalau ia melakukan perjinaan ia memang harus mati, akan tetapi ia tidak berdaya dan diperkosa orang selagi pingsan. Kalau ia sudah dapat membunuh pelakunya, maka impaslah sudah.

   "Maafkan kami, taihiap. Pin-ni percaya akan semua keteranganmu dan hal ini akan kami selidiki lebih lanjut," kata Im-Yang To-kouw.

   Yang Cien menjadi girang sekali dan dia cepat memberi hormat.

   "Lo-cian-pwe adalah seorang bijaksana yang dapat mempertimbangkan dengan adil. Sayapun berjanji akan membantu sekuat tenaga, lo-cian-pwe."

   Pendeta wanita itu lalu pergi meninggalkan Yang Cien dan mengejar muridnya. Akan tetapi, sampai di tempat tinggal para anggota Thian-li-pang, ia tidak menemukan muridnya. Di cari kemanapun tidak ada dan tidak ada seorangpun murid yang mengetahui. Ketika akhirnya ada yang memberitahu bahwa muridnya itu pergi menuju ke perkemahan yang kabarnya menjadi tempat tinggal sementara dari rombongan dari kota raja yang di hadiri pula oleh Koksu Lui, ia merasa khawatir sekali. Tahulah ia bahwa muridnya itu agaknya hendak mencari Lai Seng! Maka tergesa-gesa ia kembali k etempat tinggal Yang Cien.

   "Ada apakah lo-cian-pwe kembali ke sini?" Tanya Yang Cien khawatir.

   "Yang-taihiap, tolonglah kami. Sun Nio pergi ke tempat tinggal Lai Seng dan gurunya. Aku khawatir sekali......"

   "Mari kita susul ke sana, lo-cianpwe!" kata Yang Cien yang mengkhawatirkan keselamatan gadis itu

   Sementara itu, Sun Nio memang sudah mendengar bahwa rombongan Koksu juga menghadiri pemilihan bengcu itu, dank arena ia mendengar bahwa Lai Seng adalah murid Koksu, maka ia tidak pulang ke perkemahan Thian-li-pang melainkan langsung saja menuju ke perkemahan Koksu dengan semua pengikutnya! Ia mengambil keputusan untuk menyelesaikan urusannya hari itu juga, tidak menanti sampai pemilihan bengcu. Ia harus menemui Lai Seng.

   Tak jauh dari perkemahan itu, bertemulah ia dengan seorang wanita cantik yang pesolek. Wanita itu bukan lain adalah Bong Kwi Hwa, isteri Lai Seng yang juga ikut datang ke tempat itu. Begitu melihat Kwe Sun Nio, Kwi Hwa segera teringat bahwa inilah gadis yang dulu di sangka Ji Goat dan menjadi korban perkosaan suaminya! Maka ia menyambut dengan senyum mengejek di mulutnya.

   "Ada urusan apa engkau datang mendekati perkemahan kami? Tanpa ijin engkau tidak boleh memasuki daerah perkemahan kami!" bentaknya ketus. ia tidak cemburu karena gadis ini pernah di gauli suaminya, akan tetapi mendongkol karena ternyata gadis ini bukan Ji Goat seperti yang di kehendaki suaminya. Kalau suaminya menjadi mantu Perdana Menteri, setidaknya iapun akan terangkat derajatnya. Akan tetapi gadis ini bukan Ji Goat dan hal itu menyebalkan hatinya.

   Sun Nio sedang marah dan sedih, melotot ketika di sambut ucapan kasar itu.

   "Aku tidak memasuki daerah perkemahan siapa-siapa, aku datang untuk mencari orang yang namanya Lai Seng!".

   "Hemm, orang yang namanya Lai Seng itu suamiku, tahu? Mau apa engkau mencari-cari suamiku dan apa yang engkau harapkan darinya? Hayo katakana!".

   Hampir meledak dada Sun Nio menghadapi wanita yang mengaku isteri Lai Seng itu. Jadi Lai Seng sudah beristeri. Hal ini membikin ia semakin marah kalau membayangkan bahwa mungkin sekali pelakunya adalah Lai Seng.

   "Suamimu telah melakukan fitnah keji terhadap taihiap Yang Cien dan aku akan menanyainya tentang fitnah itu. Panggil dia ke sini!".

   Kwi Hwa mengerutkan alisnya. Hem, jadi akal suaminya untuk mengadu domba antara Thian-li-pang dan Hek I Kaipang agaknya juga gagal. Gadis ini agaknya tidak percaya bahwa pemerkosanya adalah Yang Cien. Kalau begitu percuma saja mereka mempergunakan siasat melakukan fitnah itu!.

   "Tidak perlu engkau bertemu suamiku, kalau ada urusan, cukup dengan aku!."

   "Aku tidak mempunyai urusan denganmu, panggil dia keluar!".

   "Tidak sudi!".

   "Kalau begitu, biar aku mencarinya sendiri!".

   "Perempuan tak tahu malu, lupakah engkau bahwa Lai Seng sudah mempunyai isteri? Engkau minta di gauli lagi ya?

   Sun Nio tersentak kaget. Di gauli lagi? Matanya terbelalak memandang wajah wanita yang pesolek itu.

   "Ahhh.... Jadi.... Jadi.... Dia yang menggauliku waktu itu? Dia yang memperkosaku waktu itu.....?"

   Kwi Hwa merasa sudah kesalahan bicara, akan tetapi karena siasat mengadu domba itu tidak berhasil, tidak mengapalah ia berterus terang untuk menghina gadis ini.

   "Benar, suamiku yang dulu menikmati tubuhmu. Dan engkau datang mencarinya untuk minta lagi, ya? Tak tahu malu!".

   Sun Nio menjerit dan pedangnya berkelebat menyerang. Ia marah dan benci sekali, kepada Lai Seng, kepada wanita yang menjadi isterinya, kepada siapa saja! Sekarang telah terbongkar rahasia itu dan ternyata benar Lai Seng yang telah memperkosanya. Lai Seng yang jahat, yang sudah memiliki isteri yang juga bukan manusia baik-baik ini. Ia menyerang dengan sengit sehingga mengejutkan Kwi Hwa yang segera mengelak dengan loncatan ke belakang, lalu ia pun mencabut pedangnya. Terjadilah perkelahian yang seru antara murid Thian-li-pang dan puteri Sin-ti Kwi-ong ini. Bunyi pedang mereka berkerontangan dan teriakan-teriakan mereka penuh kebencian.

   Sampai sepuluh jurus mereka berkelahi, belum juga ada yang terdesak, akan tetapi tiba-tiba muncul Lai Seng.

   "Haiii, ada apa ini?" teriaknya.

   "Ini ia perempuan itu, perempuan tak tahu malu, sekarang datang mencarimu," kata Kwi Hwa sambil melompat ke belakang.

   Sun Nio menahan pedangnya dan memandang kepada Lai Seng dengan penuh kebencian. Lai Seng juga segera mengenal gadis yang dulu di sangka Ji Goat dan di perkosanya dengan bantuan isterinya itu.

   "Hei, nona, ada apakah engkau mencari aku?".

   "Aku hendak bertanya tentang fitnahmu terhadap Yang Cien taihiap. Dia bukan pelakunya dan engkau melakukan fitnah terhadap dirinya. Hayo mengaku terus terang bahwa engkaulah yang melakukan perbuatan biadab atas diriku itu dan bukan Yang Cien!".

   Lai Seng menjadi gugup, karena tidak menyangka gadis itu akan menuduhnya demikian.

   "Sudahlah, siasat mengadu domba tidak berhasil, aku telah mengakuinya," kata Kwi Hwa.

   Lai Seng tersenyum.

   "memang benar, dan karena sudah terlanjur, bagaimana kalau engkau menjadi selirku, sayang?".

   Kemarahan Sun Nio memuncak.

   "Kalian harus mati di tanganku!" bentaknya dan kini ia menyerang dengan sengit. Pedangnya berkelebat membacok ke arah leher pria itu, akan tetapi Lai Seng menggerakkan sulingnya untuk menangkis.

   "Trannggg....! "Bunga api berhamburan dan Sun Nio agak terhuyung ke belakang. Biarpun ia tahu bahwa Lai Seng lihai sekali apa lagi di situ terdapat isterinya yang juga amat lihai, akan tetapi dendam sakit hati dan kebenciannya yang sudah memuncak membuat ia lupa diri dan lupa bahaya. Ia menyerang terus dan kini ia di keroyok dua oleh suami isteri itu!.

   Keadaan menjadi berat sebelah dan suatu saat suling di tangan Lai Seng menghantam pundaknya, membuat ia terhuyung dan pedang di tangan Kwi Hwa menusuk lambungnya. Sun Nio berteriak, pedangnya terlepas dan ia meloncat lari sambil mendekap lambungnya yang terluka parah.

   "Sudahlah, jangan kejar, ia sudah terluka parah," kata Lai Seng kepada isterinya dan mereka lalu kembali ke perkemahan rombongan Koksu. Rombongan Koksu terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi karena Koksu bermaksud menguasai dunia kang-ouw dan kalau mungkin akan menanamkan seorang pembantu agar dapat menjadi bengcu menguasai Kang-ouw. Diantara mereka terdapat Lai Seng dan isterinya, Sin-to Kwi-ong dan Thian-te Ciu-kwi, Gu Moko si tinggi kurus muka kerbau yang bersenjata sepasang kapak, dan Huang-ho Sam-kouw yang terdiri dari tiga orang bersaudara yang tinggi besar dan lihai.

   Sun Nio menahan rasa nyeri di lambungnya dan ia melarikan diri secepatnya menuju ke perkemahan Thian-li-pang. Akan tetapi di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Im-Yang To-kouw dan Yang Cien yang berlari hendak mengejarnya.

   "Sun Nio....!"

   "Subo.... Ah, subo... teecu....!" Sun Nio terhuyung dan segera di rangkul oleh gurunya. Im-Yang To-kouw terkejut melihat lambung itu bercucuran darah. Cepat ia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan keluarnya darah, akan tetapi ia melihat bahwa luka yang di derita muridnya itu parah bukan main.

   "Sun Nio, apa yang terjadi.....?"

   "Subo... teecu bertemu Lai Seng.... Ternyata dia... dia yang dulu... memperkosa teecu... Yang taihiap... maafkan aku.... Subo.... Aku tidak kuat lagi....dia... dan isterinya... membunuhku... subo....

   "Ia terkulai dan tewas dalam rangkulan subonya.

   "Sun Nio.... Ah, Sun Nio....

   "Im-Yang To-kouw menghela napas berulang-ulang.

   "betapa buruk nasibmu.....".

   "Kwee-siocia, tenangkan arwahmu, aku berjanji kelak akan membalaskan sakit hati ini!" kata Yang Cien mengepal tinju.

   "Sekarangpun pin-ni akan menuntut kepada Koksu!" kata Im-yang To-kouw setelah merebahkan tubuh muridnya yang sudah menjadi mayat dan ia bangkit berdiri.

   "Maaf, lo-cian-pwe, saya kira tidak ada manfaatnya, bahkan akan merugikan. Mereka itu licik sekali. Kalau lo-cian-pwe menuntut dan marah di sana, mereka akan menuduh lo-cian-pwe mencari keributan atau akan memberontak terhadap orang pemerintah."

   "Akan tetapi ini buktinya mereka telah membunuh muridku!".

   "Mereka dapat saja mengatakan bahwa murid lo-cian-pwe yang menyerbu ke sana dan menyerang lebih dulu dan hal itu mungkin terjadi. Lalu apa yang hendak lo-cian-pwe katakan? Lo-cian-pwe tentu tidak tega untuk membeberkan aib yang telah menimpa diri nona Kwe, bukan? Sudahlah, kita rawat jenazah ini dan kita terpaksa bersabar sampai pemilihan bengcu selesai. Masih banyak waktu untuk membalas dendam. Ingat, urusan perjuangan jauh lebih penting dari pada urusan pribadi bukan?".

   Im-yang To-kouw merangkap kedua tangannya.

   "Sian-cai... engkau memang seorang muda yang bijaksana sekali, taihiap. Engkau telah menyadarkan pin-ni dari perbuatan bodoh yang terburu nafsu. Mari kita rawat jenazah ini.

   Yang Cien lalu memondong jenazah itu dan membawanya kembali ke perkemahan Thian-li-pang, di sambut dengan kesedihan oleh para murid Thian-li-pang. Pemakaman di lakukan secara sederhana di perkemahan itu juga.

   Saat yang din anti-nanti oleh semua orang itu pun tiba. Kini tempat itu sudah penuh tamu yang membuat perkemahan di sekitar panggung itu. Tepat pada hari itu setelah matahari naik, Cu Lokai sebagai pihak yang mengirim undangan naik ke atas panggung. Setelah memberi hormat kepada semua tamu yang sudah memenuhi sekitar panggung itu, bermacam-macam, Cu Lokai lalu berkata dengan suara lantang.

   "Cu-wi yang terhormat, sayalah mewakili Hek I Kaipang yang mengambil kehormatan mengundang cu-wi sekalian ke tempat ini untuk mengadakan pemilihan beng-cu. Karena ini kepentingan kita semua, maka kami bukanlah penyelenggara, hanya pengundang saja dan selanjutnya biarlah lebih dahulu kita semua memilih seorang untuk dijadikan pengatur pemilihan beng-cu. Harap saudara sekalian memilih wakil masing-masing agar dapat dibentuk suatu kelompok yang akan mengatur jalannya pemilihan bengcu dan menjaga tata-tertib."

   Segera terdengar sambutan suara-suara yang mengajukan calon wakil masing-masing. Cu Lokai mengangkat tangannya minta agar semua orang tenang.

   "Harap mengajukannya satu demi satu agar kami di sini dapat mencatat dan mendengarnya dengan baik."

   Pihak para ketua perkumpulan pengemis segera berteriak menyebut nama Cu Lokai.

   "Ah, ada yang mengusulkan agar saya sendiri menjadi wakil mereka. Baiklah, saya terima pengangkatan ini, dan siapa lagi yang di usulkan?".

   "Toat-beng Giam-ong Lui Tat!" Terdengar suara dan di ikuti pula oleh suara banyak orang yang mendukungnya.

   "Yang dimaksud tentu Lui Koksu yang berkenan hadir pula di sini?" kata Cu Lokai.

   "Silahkan lo-cian-pwe Toat-beng Giam-ong untuk naik ke panggung untuk bersama kami memimpin pemilihan bengcu ini!".

   Terdengar suara tawa dan sesosok tubuh melayang naik ke atas panggung dan ketika tiba di atas panggung sama sekali tidak terdengar suara injakan kakinya, menunjukkan betapa lihainya orang itu yang bertubuh tinggi besar, tubuhnya tinggi besar kulit mukanya hitam dan sikapnya angkuh. Semua orang memandang, terutama mereka yang sudah lama mendengar nama besar tokoh ini, baik sebagai datuk Toat-beng Giam-ong maupun sebagai Koksu Lui Tat yang tersohor. Sambil tersenyum Giam-ong mengangguk ke empat penjuru, di sambut tepuk tangan mereka yang mendukungnya.

   "Masih ada lagi? Kami kira boleh seorang lagi untuk menjadi anggota pimpinan rapat besar ini. Sesudah itu, barulah kita semua mengajukan nama calon bengcu masing-masing yang di pilih!" kata Cu Lokai dengan suara lantang.

   Terdengar teriakan wanita.

   "Kami usulkan Im Yang To Kouw!".

   "Bagus, kami sudah mendengar nama Im Yang To Kouw sebagai tokoh besar ketua Thian-li-pang. Silahkan Im Yang To Kouw maju ke atas panggung!".

   Im-Yang To-kouw yang masih berduka atas kematian muridnya tidak dapat menolak, juga ia pikir dengan menjadi anggota pimpinan yang memimpin pemiluhan bengcu, ia dapat ikut mengawasi agar jangan terjadi kecurangan di pihak Koksu dan rekan-rekannya. Maka, ia pun meloncat dan nampak berkelebatnya sesosok tubuh dan tahu-tahu tokouw yang berusia lima puluh tahun membawa kebutan putih, sudah berdiri di atas panggung.

   "Sian-cai, terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada pin-ni," katanya.

   "Nah, cu-wi yang terhormat. Sekarang kami bertiga di sini sudah siap untuk melakukan pendaftaran para calon yang akan di ajukan sebagai calon bengcu. Siapakah yang akan mendaftar nama agar kami catat."

   Dari pihak pengikut Koksu segera terdengar seruan, kami mengajukan Thian-te Ciu-kwi sebagai calon bengcu!".

   Cu Lokai mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Thian-te Ciu-kwi adalah pembantu Koksu, maka dengan di ajukannya orang itu jelas ada maksud dari Koksu agar kedudukan bengcu di pegang oleh orangnya sendiri. Akan tetapi karena pemilihan bengcu itu bebas dan Thian-te Ciu-kwi juga seorang tokoh kang-ouw yang terkenal, dia tentu saja tidak dapat berkata apa-apa.

   "Kami mendaftar nama Thian-te Ciu Kwi sebagai pendaftar pertama!" seru Cu Lokai.

   "Siapa lagi yang akan di ajukan sebagai calon beng-cu?".

   Tiba-tiba terdengar suara yang parau dan nyaring.

   "Aku Hek-liong-ong mengajukan diri sebagai calon bengcu!".

   Suara itu menggeledek dan mengejutkan orang, terutama sekali Lui Koksu terkejut. Dia tahu siapa Hek-liong-ong, majikan Pulau Naga yang lihai bukan main. Kalau kakek itu mengajukan diri sebagai calon bengcu, akan sukarlah bagi orang lain untuk dapat mengalahkannya, Kalau sampai terjadi pertandingan adu kesaktian. Maka diapun segera membisikkan kepada Lai Seng.

   "Pendaftar kedua adalah Hek-liong-ong! Kami sudah mencatatnya!" teriak pula Cu Lokai yang diam-diam juga mengkhawatirkan, karena diapun sudah mendengar akan kesaktian kakek raksasa hitam itu.

   "Kami mengusulkan Sin-to Kwi-ong menjadi calon bengcu!" kini Lai Seng berteriak memenuhi bisikan Koksu tadi. Sin-to Kwi-ong, mertua Lai Seng kini sudah dia ajukan untuk memperkuat pencalonan Thian-te Ciu-kwi. Dengan adanya dua calon dari mereka yang maju, maka kesempatan untuk meraih kedudukan bengcu lebih banyak lagi.

   Munculnya tiga orang datuk ini saja sebagai calon bengcu sudah membuat orang-orang lain menjadi gentar. Partai-parta besar seperti Kun-lun-pai, Gobi-pai, Kong-thong-pai dan lainnya tidak berambisi untuk menguasai dunia kang-ouw, maka mereka datang hanya sebagai penonton dan sebagai saksi saja. Mereka semua itu merasa tidak suka melihat bahwa orang-orang yang menjadi calon bengcu sepatutnya seorang pendekar yang bijaksana dan budiman. Kalau bengcunya seorang datuk sesat, salah-salah dunia kang-ouw akan di seret ke dalam kesesatan!.

   "Cu-wi yang terhormat. Apakah masih ada lain calon lagi untuk di ajukan?" Tanya Cu Lokai lantang.

   Kini dari kelompok pengemis terdengar suara nyaring.

   "Kami dari seluruh kai-pang yang berada di sini mengajukan seorang calon beng-cu, yaitu taihiap Yang Cien!".

   Terdengar tepuk tangan dan sorak sorai menggegap gempita dari seluruh anggota kaipang yang hadir untuk menyambut nama ini.

   Cu Lokai lalu mengangkat tangan meminta agar suasana menjadi tenang, lalu dia berteriak.

   "Calon ke empat adalah taihiap Yang Cien! Mungkin banyak yang belum mengenalnya, akan tetapi di kalangan para kaipang namanya sudah amat di kenal. Apakah masih ada lagi calon yang akan di ajukan?".

   Ternyata tidak ada lagi calon yang di ajukan. Yang tadinya mempunyai niat menjadi mundur teratur ketika melihat sederetan nama para datuk tadi, karena mereka menjadi gentar.

   "Kalau sudah tidak ada lagi calon yang di ajukan, kami minta kepada para calon untuk maju seorang demi seorang. Sekarang peserta atau calon pertama, kami minta agar Thian-te Ciu-kwi maju ke atas panggung!".

   
Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ha-ha-ha-ha.....!" terdengar suara tawa bergerak dan nampak sesosok tubuh berjungkir balik di udara dan turun ke atas panggung. Di atas panggung itu nampak seorang tua berusia enam puluh tahun bertubuh kecil kurus dan dia begitu tiba di situ meminum araknya dari sebuah guci arak.

   "Thian-te Ciu-kwi sebagai calon pertama di persilahkan berbicara kepada semua peserta rapat pemilihan beng-cu, silahkan!" kata Cu Lokai.

   Thian-te Ciu-kwi kembali meminum araknya, kemudian dia memandang ke sekeliling dan berseru dengan suaranya yang tinggi.

   "Aku sudah berdiri di sini. Apalagi yang akan di bicarakan? Aku ingin menjadi bengcu untuk memimpin kalian semua menjadi warga Negara yang baik, membantu Kerajaan dan mencari kedudukan dan kemuliaan. Kita kaum kang-ouw sudah sepatutnya membantu kerajaan, menyumbangkan tenaga dan menuntut imbalan jasa!".

   Ucapan ini di sambut sorak sorai para anak buah Koksu, akan tetapi mereka mendengar apa yang akan dilakukan calon itu kalau sudah menjadi beng-cu.

   Jelas bahwa calon ini berpihak kepada Kerajaan Toba yang menjajah, dan tentu saja sesuai dengan kedudukan Koksu yang menjadi seorang di antara pimpinan pemilihan beng-cu itu.

   "Apakah sudah selesai pembicaraan peserta calon pertama?" Tanya Cu Lokai.

   "Sudah," jawab Thian-te Ciu-kwi.

   "Aku tidak mempunyai ucapan apa-apa lagi."

   "Kalau begitu anda dipersilahkan untuk mundur dan kami memberi kesempatan kepada calon kedua untuk maju memperkenalkan diri dan bicara. Silahkan calon kedua, Hek-liong-ong!".

   Raksasa hitam itu muncul di atas panggung dengan suatu lompatan yang membuat jubahnya berkibar seperti sayap burung rajawali, dan kedua kakinya hinggap di panggung tanpa suara. Kakek berusia enam puluh tahun ini berdiri tegak dan kokoh seperti bukit karang dan suaranya juga terdengar keras.

   "Aku adalah Hek-liong-ong Poa Yok Su Majikan Pulau Naga di Laut Timur. Aku mengajukan diri sebagai calon bengcu karena aku melihat kekacauan terjadi di mana-mana. Kalau aku di pilih menjadi bengcu, aku akan memimpin kalian semua untuk menantang kelaliman pemerintah, dan untuk menghancurkan mereka yang mendatangkan kekacauan di antara rakyat. Kini sudah tiba saatnya kita bangkit, mengandalkan kepandaian kita untuk mendatangkan ketentraman dan menghalau semua pengacau dari permukaan bumi!" ucapan itu gagah sekali dan terdengar penuh dengan kekerasan.

   Sementara itu, Akauw yang ikut datang bersama Hek-liong-ong, tadi merasa terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Yang Cien. Akan tetapi dia belum tahu apakah yang di sebut itu benar Yang Cien suhengnya ataukah bukan. Namun, dia menjadi tegang sekali, juga gembira karena mungkin dia akan bertemu dengan suhengnya yang sudah bertahun-tahun tidak dijumpainya. Ketika gurunya, Hek-liong-ong menyatakan diri menjadi calon, dia merasa senang dan siap untuk membantu gurunya. Dia telah berhasil membujuk gurunya agar menyadari akan buruknya pemerintahan penjajah sehingga gurunya kini ingin menjadi bengcu dan memimpin para kang-ouw untuk memberontak.

   Ucapan Hek-liong-ong juga mendapat sambutan sorak-sorai dari mereka yang setuju. Kemudian dia diminta mundur untuk memberi kesempatan bicara kepada calon ketiga, yaitu Sin-to Kwi-ong. Sin-to Kwi-ong yang bertubuh tinggi besar, mukanya bengis, rambutnya riap-riapan itupun melompat ke atas panggung.

   

Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 22 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 14 Asmara Si Pedang Tumpul Eps 15

Cari Blog Ini