Asmara Si Pedang Tumpul 15
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
"Wah, engkau keliru, Lili. Buktinya, baru saja aku dan kakanda pangeran diserang dan hendak dibunuh musuh! Selain menjaga keselamatan, juga seorang pengawal pribadi kubutuhkan sebagai seorang sahabat yang setia dan baik, yang tidak segan-segan untuk menegur dan mengeritik kalau aku melakukan kesalahan."
Raja Muda Yung Lo lalu menceritakan keadaan dirinya dan penghuni istananya, juga tentang para pembantunya di utara untuk memperkenalkan keadaan di Peking kepada Lili yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Jelas nampak perbedaan yang amat menyolok antara raja muda ini dan kakaknya, sang pangeran mahkota. Memang ada persamaan bentuk wajah, keduanya sama tampan dan berwibawa. Namun kalau pangeran mahkota nampak lemah dan kurang semangat, sebaliknya raja muda ini nampak kokoh kuat, gagah dan penuh semangat.
Mereka berdua meninggalkan perkemahan dan berjalan seiring tanpa bicara sedikitpun, namun keduanya seperti bersepakat saja, berjalan menuju ke tepi sungai yang sunyi dan akhirnya, masih tanpa bicara, mereka berdiri berhadapan di atas rumput tebal di tepi sungai, dalam cuaca yang remang-remang karena fajar mulai menyingsing dan malam itu terlewat tanpa terasa karena banyaknya peristiwa menegangkan terjadi. Sudah terdengar bunyi kokok ayam di kejauhan, akan tetapi di tepi sungai itu masih terdengar pula sisa bunyi binatang malam kerik jengkerik dan koak katak. Mereka hanya saling pandang, kemudian terdengar Sin Wan dahulu berkata.
"Sumoi...".." akan tetapi dia hanya mengeluarkan sepatah kata panggilan itu, tidak tahu harus bicara apa.
"Suheng..."" Kui Siang juga memanggil, suaranya lirih dan jelas bahwa suara itu gemetar. Kembali hening karena keduanya hanya saling pandang.
Sin Wan tidak berani lancang bicara karena dia belum tahu akan isi hati sumoinya, masih mengira bahwa sumoinya tetap membencinya dan enggan bicara dengannya.
Sebaliknya, Kui Siang juga merasa sulit untuk bicara. Selama ini ia merindukan suhengnya dan merasa bersalah kepada pemuda itu. Ingin ia minta maaf atas semua sikapnya yang tidak adil dan membenci suhengnya, satu-satunya pria yang selama ini dicintanya, akan tetapi setelah berhadapan, ia merasa sukar untuk mengeluarkan kata-kata. Hatinya dicekam keharuan yang membuat lehernya seperti dicekik rasanya.
"Sumoi, sudah bertahun-tahun kita tidak saling jumpa...." Suara Sin Wan tersendat.
"Ya, sudah lama sekali, suheng....." Kui Siang menyambung.
"Sumoi, bagaimana keadaanmu selama ini? Baik-baik sajakah? Suara Sin Wan mulai lancar ketika mendengar nada suara sumoinya tidak seperti orang marah.
Kui Siang menarik napas panjang dengan hati lega. Agaknya suhengnya ini tidak mendendam sakit hati oleh sikapnya dahulu.
"Aku baik-baik saja, suheng. Dan bagaimana dengan engkau?"
"Akupun dalam lindungan Allah Yang Maha Kasih, sumoi. Bagaimana pendapatmu dengan perintah Raja Muda Yung Lo tadi, sumoi? Aku..... aku tidak ingin melihat engkau repot dan tidak senang dengan pekerjaan itu..."...."
Hening sejenak, kemudian terdengar suara Kui Siang, suara yang lirih dan sukar sekali keluarnya, seperti bercampur isak.
"Suheng...".. apakah engkau tidak marah kepadaku......"
"Marah? Aku? Kenapa aku harus marah kepadamu, sumoi?"
Kui Siang menundukkan mukanya.
"Suheng...., dahulu aku telah menghinamu, aku memakimu anak penjahat, aku mengatakan.... bahwa aku membencimu..." suheng, aku.... aku......." Kui Siang menangis, suaranya terputus, terganti suara isak tangisnya.
Sin Wan tertegun, hampir ia melonjak kegirangan dan tanpa disadarinya, kedua kakinya bergerak menghampiri gadis itu sampai mereka berdiri dekat sekali.
"Sumoi, kalau begitu...".... engkau tidak lagi menganggap aku anak penjahat, engkau tidak lagi....... membenciku?"
Dia memegang kedua pundak gadis itu, mendorong gadis itu tegak dan memandangnya. Kui Siang mengangkat mukanya dan air matanya bercucuran membasahi kedua pipinya.
"Suheng, kau..... maafkan aku, suheng......" Gadis itu berkata di antara isak tangisnya.
"Sumoi...".." Sin Wan merangkul dan mendekap kepala itu yang kini bersandar ke dadanya "Ya Allah, terima kasih atas karuniaMu...... ah, sumoi, betapa rinduku kepadamu, betapa cintaku kepadamu......."
"Suheng, maafkan aku......." Gadis itu mengulang.
Sin Wan mendorong dengan lembut pundak gadis itu sehingga dia dapat melihat mukanya, muka yang basah air mata, mata yang mengandung penuh penyesalan dan diapun menggunakan jari-jari tangannya mengusap air mata yang membasahi kedua pipi itu.
"Sumoi, engkau tidak bersalah apa-apa kepadaku. Memang aku pernah menjadi anak tiri penjahat yang telah menghancurkan keluarga ayahmu. Sudah sepatutnya engkau membencinya, dan karena aku anak tlrinya, sudah sepantasnya pula engkau membenci aku. Jangan minta maaf kepadaku. Tuhan Allah Maha Pengampun, sumoi, marilah kita mohon ampun atas segala kesalahan kita kepadaNya."
"Suheng......," Kui Siang kembali merebahkan mukanya di dada pria yang selama ini dirindukannya, pria yang lebih dipilihnya dari pada Raja Muda Yung Lo!
Sampai beberapa lamanya mereka terbenam dalam suasana yang asyik masyuk ini, lupa diri lupa keadaan, seolah menjadi satu. Bersatunya dua buah hati yang saling mencinta. Setelah keharuan yang tadi melanda hati keduanya lewat, barulah Sin Wan melepaskan rangkulannya dan berkatalah dia dengan suara yang lembut.
"Sumoi, kita mengucap syukur kepada Tuhan Maha Pengasih yang mempertemukan kita dalam keadaan seperti ini. Aku merasa berbahagia sekali, sumoi. Sekarang, bagaimana pendapatmu tentang perintah Raja Muda Yung Lo agar engkau membantuku melakukan penyelidikan ke selatan?"
"Beliau mengeluarkan perintah itu memang sengaja agar kita dapat bersatu suheng."
"Ehh? Apa maksudmu?"
"Suheng, beliau pernah menyatakan cinta kepadaku dan ingin memperisteriku. Akan tetapi aku menolaknya dan mengatakan bahwa cintaku hanya kepadamu. Beliau dengan bijaksana dapat menerima alasan itu dan beliau berjanji untuk mempersatukan kita. Ternyata beliau memegang janjinya, suheng."
Sin Wan kembali mendekap gadis itu dengan penuh kasih sayang. Bukan main sumoinya ini, pikirnya. Menolak pinangan Raja Muda Yung Lo dan memilih dia! Betapa bangga dan besar rasa hatinya.
"Kalau begitu, engkau menerima perintah itu? Kita melakukan perjalanan bersama ke selatan?"
"Tentu saja, suheng. Mulai detik ini, aku tidak sudi lagi berpisah darimu, biar seharipun! Kita hidup dan mati bersama. Aku tidak ingin engkau melakukan perjalanan didampingi gadis lain seperti yang terjadi dengan Lili itu. Rasanya masih panas dadaku kalau mengingat betapa akrabnya engkau dengannya."
Sin Wan tertawa.
"Ihh, engkau cemburu? Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak mencintanya, walaupun ia seorang gadis yang baik pula? Kautahu, sumoi, Lili adalah puteri kandung panglima Bhok Cun Ki."
Dengan singkat Sin Wan lalu bercerita tentang Lili dan Bhok Cun Ki. Kui Siang senang mendengarnya dan ia percaya sepenuhnya bahwa kekasihnya ini tidak pernah mencinta gadis lain kecuali ia seorang. Sambil bergandeng tangan, akhirnya mereka kembali ke perkemahan di mana Raja Muda Yung Lo masih nampak bercakap-cakap dengan Lili.
Melihat dua orang muda itu masuk ke dalam perkemahan sambil bergandeng tangan, Raja Muda Yung Lo tersenyum lebar dan bangkit menyambut mereka dengan sinar mata gembira.
"Selamat, selamat. Perpisahan telah berakhir, dua hati yang saling mencinta telah bertemu dan berkumpul kembali!" kata bangsawan itu dengan kegembiraan yang wajar.
"Akupun ikut bergembira, Sin Wan. Ternyata penolakanmu terhadap adikku Ci Hwa bukan alasan kosong karena memang engkau sudah mempunyai pilihan hati sendiri. Kionghi (selamat)!" kata pula Lili.
Sin Wan dan Kui Siang merasa terharu dan kagum bukan main. Sin Wan merasa kagum kepada Lili yang demikian jujur dan dapat menerima kenyataan, sedangkan Kui Siang juga kagum terhadap Raja Muda Yung Lo. Dua orang itu benar-benar merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan luas dan kejujuran yang terbuka, bukan hanya membuta karena nafsu mementingkan diri sendiri belaka.
Sin Wan dan Kui Siang cepat memberi hormat dan mengucapkan terima kasih mereka.
"Yang Mulia, saja mohon diri untuk segera kembali ke kota raja dan melaksanakan tugas penyelidikan yang penting itu."
"Dan sayapun dengan senang hati mematuhi perintah paduka untuk membantu suheng membongkar rahasia jaringan mata-mata Mongol di kota raja, Yang Mulia."
Raja Muda Yung Lo mengangguk-angguk dan tersenyum ramah.
"Berita ini sungguh amat menggembirakan hati kami, dan memang sebaiknya kalau kalian cepat pergi ke selatan melaksanakan tugas itu. Akan tetapi ada berita lain yang juga amat menggembirakan, yaitu bahwa nona Lili telah menerima permintaanku untuk menggantikan kedudukan Kui Siang, menjadi pengawal pribadiku."
Sin Wan dan Kui Siang saling pandang dan tersenyum gembira.
"Sungguh, kiranya tidak ada lain orang yang lebih cocok untuk menjadi pengawal pribadi paduka kecuali Lili, Yang Mulia!" kata Sin Wan.
"Ucapan suheng benar sekali! Sayapun merasa gembira karena saya sudah mendengar dari suheng tentang adik Lili dan memang ia cocok sekali untuk menjadi pengawal pribadi paduka!" sambung Kui Siang.
"Nah, mengenai Lili, kami akan menitipkan surat ini kepadamu, Sin Wan, agar kau serahkan kepada Panglima Bhok Cun Ki, di mana kami minta persetujuannya agar puterinya bekerja sebagai pengawal pribadiku."
"Ada sebuah hal lagi yang amat menggelisahkan hati kami, dan hanya kepada kalian bertigalah aku mau membicarakannya karena aku percaya kepada kalian. Duduklah dan dengarkan baik-baik, akan tetapi jangan sampai kalian membocorkan kepada orang lain apa yang kalian dengar dari mulutku ini," kata Raja Muda Yung Lo dan melihat kesungguhan sikap, pandang mata dan suara raja muda itu, Sin Wan, Lili dan Kui Siang segera mengambil tempat duduk dan mendengarkan penuh perhatian.
"Telah terjadi perubahan besar sekali di kota raja, terutama perubahan atas diri ayahanda Sribaginda Kaisar dan Kakanda Pangeran Mahkota." Dia mulai bicara dengan pandang mata sedih.
"Sribaginda Kaisar yang dahulu dikenal sebagai seorang pemimpin besar, pendiri Kerajaan Beng dan pengusir penjajah Mongol, sekarang telah berubah dalam usia tuanya. Dahulu beliau seorang ayah yang mencinta putera-puteranya, akan tetapi sekarang? Beliau menjadi orang yang selalu gelisah, selalu curiga, bahkan terhadap para putera sendiri beliau tidak percaya. Beliau merasa seolah dikepung musuh-musuh dan hampir tidak ada orang yang beliau percaya lagi. Dan kecurigaan ini membuat beliau suka berbuat kejam dan tidak adil. Entah berapa banyaknya panglima dan pejabat yang dihukum mati hanya karena beliau menaruh curiga."
"Sesungguhnya, Paman Bhok Cun Ki pernah menyinggung keadaan itu dalam percakapannya berdua dengan saya, Yang Mulia. Ketika Sribaginda menghukum mati tiga orang panglimanya yang setia, kemudian menghukum mati pula seorang menteri yang mencoba mengingatkan beliau dan memprotes, maka para pejabat lainnya mundur dan tidak berani mencampuri. Juga Paman Bhok Cun Ki sendiri tidak berdaya. Bahkan dua orang Jenderal besar yang dipercaya Sribaginda, yaitu Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti, tidak mampu mengingatkan beliau," kata Sin Wan.
Raja Muda Yung Lo menghela napas panjang.
"Memang beliau telah berubah sama sekali. Aku ingat benar ketika aku masih kecil, ayahanda sering bercerita tentang masa lalunya. Beliau merasa bangga menceritakan ketika beliau masih muda, pernah menjadi penggembala kerbau, pernah menjadi kacung di kuil, pernah pula menjadi gelandangan yang tak berumah, menjadi anggauta kai-pang (perkumpulan pengemis) dan memimpin orang-orang kangouw. Semua itu diceritakan dengan gembira. Beliau bangga bahwa dari rakyat kecil biasa, beliau berhasil menjadi pemimpin besar menghalau penjajah dan mendirikan kerajaan baru. Akan tetapi sekarang menjadi sebaliknya, kalau ada yang bicara sedikit saja tentang masa lalu beliau, dianggap penghinaan dan orang itu akan dihukum mati!"
"Saya kira paduka tidak perlu terlalu menyusahkan keadaan Sribaginda itu, Pangeran. Mungkin beliau mempunyai alasan kuat untuk menjatuhkan hukuman," kata Lili.
Raja Muda Yung Lo tersenyum dan mengangguk.
"Engkau benar, Lili. Akupun sudah seringkali menghibur diri. Bagaimanapun juga, Sribaginda Kaisar adalah orang yang paling berjasa bagi tanah air dan bangsa."
"Dan perubahan apa yang terjadi pada diri Pangeran Mahkota, Pangeran?" Lili bertanya.
"Lili, tentu engkau tahu sendiri bagaimana sekarang ini kakanda pangeran hanya mengejar kesenangan, hanya mengumbar nafsu tidak memperdulikan akan pemerintahan. Padahal, beliau adalah pangeran mahkota yang kelak menggantikan ayahanda Kaisar. Engkau mengalami sendiri betapa untuk menuruti nafsunya, beliau sampai lupa diri dan melakukan hal-hal yang tidak patut, seperti yang coba beliau lakukan terhadap dirimu. Sungguh memprihatinkan sekali kalau aku ingat kepada ayahanda dan kakanda di kota raja."
"Lalu apa yang paduka ingin kami perbuat sehubungan dengan dua hal itu, Yang Mulia?" kata Kui Siang yang merasa kasihan kepada raja muda itu.
"Aku ingin agar kalian dalam penyelidikan kalian di kota raja, menyelidiki pula apa hubungan perubahan pada ayahanda dan kakanda itu dengan kegiatan jaringan mata-mata Mongol. Kami khawatir kalau-kalau perubahan itu akibat ulah para mata-mata yang tentu ingin menghancurkan Kerajaan Beng."
Sin Wan dan Kui Siang mengerti dan setelah menyanggupi, mereka lalu berangkat meninggalkan tempat itu. Pada hari itu juga, Raja Muda Yung Lo kembali pula di Peking bersama pasukannya.
"Aku harus membuat perhitungan dengan Si Kedok Hitam si jahanam itu!" Tung-hai-liong Ouwyang Cin mengepal tinju.
"Tidak saja dia hendak memperalat aku dengan menawanmu, akan tetapi juga dia kurang ajar sekali, menguasai orang-orang kangouw yang dahulu tunduk kepadaku. Kita harus menyelidiki dan menangkap dia!"
Datuk para bajak laut di timur ini marah bukan main karena hampir saja dia, muridnya, dan puterinya yang sudah tertawan Si Kedok Hitam, celaka di tangan pemimpin mata-mata Mongol itu.
"Akan tetapi, suhu. Bukankah mereka itu menjanjikan kedudukan raja muda kepada suhu kalau perjuangan mereka berhasil?" Maniyoko bertanya.
"Persetan! Belum apa-apa, dia hendak memaksa kita untuk melakukan pembunuhan terhadap dua orang pangeran, seolah kita ini anak buahnya saja. Lebih lagi, dia menawan Akim, itu bukan kerja-sama namanya. Siapa sih dia itu hendak memperalat aku?"
"Kita memang harus mencarinya dan menghajarnya, ayah," kata Akim marah.
"Kalau saja tidak ada Sin Wan, tentu kita celaka."
"Hemm, pemuda itu? Akim, bagaimana engkau bisa mengenal pemuda itu dan siapa dia?"
"Namanya Sin Wan, ayah. Memang aku telah mengenal dia sebelumnya, dia murid Sam-sian dan menjadi wakil gurunya melaksanakan tugas dari Kaisar untuk memerangi jaringan mata-mata Mongol."
"Hemm, agaknya sumoi akrab sekali dengan pemuda itu!" Maniyoko berkata dengan nada suara dingin.
Sepasang mata yang indah itu mencorong.
"Aku mau akrab dengan dia ataupun dengan siapa juga, apa sangkut pautnya denganmu!" bentaknya.
Dibentak begitu, Maniyoko terdiam dan mukanya berubah merah. Diam-diam dia merasa marah dan cemburu sekali. Teringat dia betapa dahulu pernah dia menawan Lili, akan tetapi pemuda itu pula yang menentangnya, merampas Lili yang telah ditawannya dan mengalahkan dia. Sekarang, pemuda itu agaknya akan merebut Akim darinya.
Mendengar ucapan puterinya itu, Tung-hai-liong bertanya,
"Akim, apakah engkau dan pemuda murid Sam-sian itu saling mencinta?"
"Kalau aku dan dia saling mencinta, apakah ayah hendak melarang?" Akim balas bertanya, sikapnya menantang.
Tung-hai-liong tertawa.
"Sebetulnya aku ingin melihat engkau menjadi isteri suhengmu, akan tetapi kalau engkau dan murid Sam-sian itu saling mencinta, akupun tidak keberatan engkau menjadi jodohnya asal Sam-sian sendiri yang mengajukan pinangan kepadaku."
"Tidak, ayah! Aku tidak mau menjadi isteri suheng, juga aku tidak sudi menjadi isteri laki-laki yang tidak mencintaku melainkan mencinta wanita lain seperti Sin Wan. Aku benci! Aku benci dia!" Gadis itu lalu lari meninggalkan ayahnya dan suhengnya.
Melihat muridnya seperti orang yang kecewa dan agaknya perasaannya terpukul oleh sikap Akim, Tung-hai-liong Ouwyang Cin menghiburnya.
"Maniyoko, engkau beruntung bahwa Akim tidak sudi menjadi jodoh Sin Wan, berarti ia masih bebas dan kelak dapat kubujuk untuk mau menjadi jodohmu. Sekarang, biarkan ia bertualang. Kita harus pulang karena setelah anak itu pergi, di rumah tidak ada orang."
"Kalau suhu mengijinkan, teecu (murid) ingin mencari sumoi dan diam-diam membayangi dan melindunginya. Jaringan mata-mata Mongol itu berbahaya, teecu khawatir sumoi akan terjebak dan tertawan lagi. Kalau suhu hendak pulang lebih dahulu, silakan."
Kakek itu mengangguk.
"Begitupun baik. Aku tidak sudi menjadi hamba dari orang-orang Mongol."
Guru dan murid inipun berpisah. Tung-hai-liong Ouwyang Cin kembali ke timur, sedangkan Maniyoko mencari sumoinya yang tadi lari ke selatan, tentu menuju ke kota raja.
Biarpun dia berhasil menyusul sumoinya, Maniyoko tetap tidak mau memperlihatkan diri. Sumoinya sedang kesal hatinya dan dia mengenal benar watak sumoinya. Kalau sedang dalam keadaan seperti itu, sumoinya amat sukar didekati dan kalau dia memperlihatkan diri, besar kemungkinan sumoinya akan menjadi semakin kesal dan marah. Maka diapun membayangi saja dari jauh sampai akhirnya mereka tiba di luar pintu gerbang kota raja Nan-king. Di Jalan raya itu, dia melihat rombongan Pangeran Mahkota yang dikawal ketat memasuki kota raja, dan nampak jelas Jenderal Yauw Ti dalam sebuah kereta yang mengiringkan di belakang, dikawal oleh pasukan berkuda.
Tiba-tiba, seorang yang mengenakan kedok biru menghampirinya. Maniyoko sudah siap siaga untuk menyerang orang itu, akan tetapi si kedok biru memberi isyarat kepadanya, lalu berkata singkat,
"Yang Mulia mengundang saudara Maniyoko untuk bertemu. Mari!"
Maniyoko tertarik. Dia teringat akan kunjungan utusan yang menyerahkan hadiah kepada gurunya dan utusan itupun mengatakan bahwa pimpinan mereka hanya dikenal dengan sebutan Yang Mulia. Dia masih kecewa akan penolakan gurunya bersekutu dengan orang-orang Mongol yang menjanjikan kedudukan mulia, maka kini dia ingin tahu apa yang akan dikatakan pimpinan mata-mata Mongol itu kepadanya. Dia mengikuti bayangan itu yang bergerak amat cepat memasuki hutan kecil di sebelah timur jalan.
Setelah tiba di tengah hutan, si kedok biru berhenti dan Maniyoko berhenti pula di belakangnya. Ternyata di situ telah berdiri dua orang yang aneh dan juga menyeramkan. Yang seorang adalah seorang pria yang usianya sudah enampuluh tahun akan tetapi masih nampak muda dan tampan, bertubuh tinggi tegap dengan muka yang merah sekali, seolah muka itu dilumuri darah.
Pakaiannya dari sutera putih yang halus mengkilap dan di punggungnya tergantung sebatang golok gergaji. Adapun orang ke dua, juga sedikit lebih muda namun masih ramping dan cantik, hanya warna kulit mukanya yang mengerikan karena pucat seperti muka mayat. Juga pakaian wanita ini terbuat dari sutera putih halus dan di pinggang yang ramping melingkar seekor ular yang sebetulnya senjata sabuk ular yang sudah mati.
Maniyoko tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan dua orang datuk sakti yang lihai sekaii, yaitu Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, sepasang iblis yang amat lihai dan kejam, yang kini telah menjadi kaki tangan Si Kedok Hitam, membantu gerakan para mata-mata Mongol. Akan tetapi karena di situ dia tidak melihat adanya Si Kedok Hitam, dia menduga bahwa dua orang ini tentulah pembantu pimpinan mata-mata itu, maka dia tidak berani bersikap angkuh dan tetap waspada karena dia belum tahu apa maksud mereka mengundangnya, padahal belum lama ini dia dan suhunya serta sumoinya menentang mereka dan bertempur dengan mereka di atas perahu.
"Apa maksudnya aku diundang ke sini?" tanya Maniyoko sambil menoleh kepada si kedok biru yang tadi mengajaknya ke tempat itu.
Ang-bin Moko tertawa.
"Engkau murid Tung-hai-liong dan namamu Maniyoko? Ingin tahu mengapa kami mengundangmu atas nama Yang Mulia? Lihatlah di sana itu!" Dia menuding ke arah belakangnya dan Maniyoko mengangkat muka memandang dan terkejutlah dia. Di sana, sekira seratus meter dari situ, nampak Ouwyang Kim berdiri terikat pada sebatang pohon dan melihat betapa kepala gadis itu terkulai, dia dapat menduga bahwa sumoinya tentu dalam keadaan pingsan atau tertotok lemas.
"Apa yang kalian lakukan kepada sumoi? Hayo cepat bebaskan sumoi!" katanya dan diapun sudah mencabut pedang samurainya dari punggung, siap untuk menerjang mereka.
"Tenanglah, orang muda dan simpan kembali pedangmu. Sejak semula, Yang Mulia menawarkan kerja sama dengan Tung-hai-liong, namun karena dia keras kepala, maka kerja sama itu gagal."
"Tapi kalian telah menawan sumoi di perahu itu, tentu saja kami menentang kalian! Dan sekarang, kalian kembali menawan sumoi!" kata Maniyoko marah.
Pria dan wanita yang aneh itu tertawa.
"Hi..hik, orang muda yang tampan. Kalau kami menawan puteri Tung-hai-liong, hal itu kami lakukan karena ia yang menyerang kami. Akan tetapi kami masih ingat akan persahabatan, maka kami tidak membunuhnya. Lihat, kami sekarang menawannyapun dengan maksud baik, agar ia berhutang budi kepadamu, agar engkau meningkat dalam pandangan sumoimu. Bukankah engkau menghendaki agar sumoimu itu kelak dapat membalas cintamu dan menjadi isterimu?"
Maniyoko terkejut. Kiranya wanita yang mukanya seperti mayat itu telah mengetahui isi hatinya. Tentu mereka itu telah mengintai dan mendengar percakapan antara dia dan gurunya.
"Apa maksud kalian? Sebenarnya, mau apa kalian menawan sumoi?"
Pek-bin Moli mendekati pemuda itu dan berbisik-bisik. Maniyoko mengangguk-angguk. Tak lama kemudian, sepasang iblis itu memberi isyarat dan muncullah enam orang laki-laki yang berpakaian seragam seperti perajurit kerajaan yang memang sudah menerima perintah dari sepasang iblis itu. Enam orang itu lalu menghampiri Akim yang terbelenggu pada pohon, sedangkan sepasang iblis itu menghilang di balik pohon-pohon. Maniyoko juga menyelinap di balik semak belukar dan mengintai.
Enam orang itu mengambil air dan menyiram kepala dan muka Akim dengan air. Gadis itu akhirnya siuman dan melihat betapa ia terbelenggu pada pohon dan ada enam orang perajurit kerajaan berdiri di depannya, ia berusaha meronta untuk melepaskan diri. Akan tetapi, enam orang itu sudah mencabut pedang dan menodongkan senjata mereka kepadanya.
"Aihhh, jangan mencoba untuk melepaskan diri, nona, atau pedang kami akan melumatkan tubuhmu."
Akim berhenti dan memandang kepada mereka dengan mata mendelik penuh kemarahan. Tadi, ketika ia berjalan hendak menuju ke pintu gerbang kota raja, ia mendengar suara orang memanggilnya dari hutan itu. Ia memasuki hutan dan diserang dua orang kakek dan nenek yang amat lihai. Ia melakukan perlawanan namun akhirnya ia roboh tertotok dan tidak sadar lagi, pingsan.
"Siapa kalian dan mau apa kalian menangkapku? Lepaskan aku!"
Seorang di antara mereka yang berkumis tebal menjawab sembar" tertawa,
"Ha..ha, engkau masih bertanya lagi? Lihat pakaian seragam kami. Kami adalah anak buah Panglima Bhok Cun Ki. Kami mendapat tugas menangkapmu dan menghukummu karena engkau telah berani menggoda calon mantu Bhok-ciangkun."
"Menggoda calon mantu Bhok-ciangkun? Kalian gila! Aku tidak mengenal calon mantu Bhok-ciangkun!" Akim membentak marah. Brarpun ia sudah terbelenggu dan ditodong pedang dalam keadaan tidak berdaya, namun sedikitpun ia tidak memperlihatkan rasa takut.
"Lepaskan aku!"
"Ha..ha..ha, Bhok-ciangkun telah mengijinkan kami untuk berbuat apa saja terhadap dirimu dan kami tidak akan melepaskanmu begitu saja, manis! Jangan berpura-pura. Calon mantu Bhok-ciangkun bernama Sin Wan, apakah engkau hendak menyangkal lagi?"
Sepasang mata itu terbelalak. Sin Wan? Dan dia calon mantu Bhok Cun Ki? Tentu saja ia tidak dapat menyangkal bahwa ia mencinta Sin Wan walau kini cintanya berubah menjadi perasaan sedih dan marah karena pemuda itu tidak membalas cintanya. Akan tetapi baru sekarang ia tahu bahwa Sin Wan adalah calon mantu Bhok Cun Ki. Ia teringat akan pembelaan pemuda itu terhadap keluarga Bhok.
"Nah, engkau tidak akan menyangkal, bukan? Itulah sebabnya maka kami disuruh menangkapmu dan membunuhmu. Akan tetapi kami akan mengajakmu bersenang-senang dulu sebelum membunuhmu. Ha..ha..ha!" Enam pasang tangan itu bergerak, agaknya hendak meraba tubuh Akim yang terbelenggu.
"Jahanam, jangan ganggu sumoi!" terdengar bentakan nyaring dan Maniyoko datang menyerbu dengan pedang samurai di tangan. Enam orang itu terkejut, menggerakkan pedang untuk mengeroyok Maniyoko. Akan tetapi pemuda itu mengamuk dengan pedang samurainya sehingga para pengeroyoknya menjadi gentar, apalagi setelah tiga orang dirobohkan oleh tendangan-tendangan Maniyoko dan yang tiga orang lagi terpaksa melepaskan pedangnya yang patah-patah ketika bertemu pedang samurai. Mereka berenam lalu melarikan diri dan Maniyoko tidak mengejarnya, melainkan cepat menghampiri sumoinya dan melepaskan tali pengikatnya.
Tentu saja Akim girang bukan main. Baru saja ia terlepas dari pada ancaman bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut sendiri.
"Terima kasih, suheng. Syukur engkau datang, kalau tidak...".."
"Sudahlah, sumoi. Siapakah mereka itu dan bagaimana engkau sampai dapat tertawan oleh orang-orang itu?"
Akim memungut pedangnya yang oleh para penawannya dilempar ke atas tanah, lalu mengikatkan lagi pedangnya di punggung dan iapun mengepal tinju.
"Kalau hanya mereka itu yang mengeroyokku, tak mungkin aku dapat mereka tawan. Akan tetapi yang mengeroyokku adalah dua orang kakek dan nenek yang lihai bukan main. Dan yang lebih menggemaskan, mereka itu disuruh oleh Bhok Cun Ki untuk menangkap, menghina dan membunuhku. Keparat Bhok Cun Ki! Aku harus membuat perhitungan dengan dia!"
"Siapakah Bhok Cun Ki dan mengapa pula dia menyuruh anak buahnya menawanmu, sumoi?"
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia seorang panglima di kota raja. Sombongnya bukan main! Baru aku ketahui bahwa dia adalah calon mertua Sin Wan, dan dia menangkapku karena aku dianggap menggoda Sin Wan. Keparat! Siapa ingin merebut mantu orang? Aku harus membuat perhitungan, sekarang juga!"
"Tenanglah, sumoi. Memang penghinaan ini harus dibalas, akan tetapi mengingat dia seorang panglima, kita harus berhati-hati dan menyerbu ke sana dengan diam-diam, jangan sampai kita dikepung ratusan orang perajurit. Aku akan membantumu, Akim."
"Baik, terima kasih suheng. Dan bagaimana suheng dapat berada di sini? Di mana ayah?".
"Suhu telah pulang dan suhu yang mengutus aku untuk menyusulmu dan agar dapat membantu dan menemanimu! Dua orang kakak beradik seperguruan ini dengan hati penuh dendam lalu melanjutkan perjalanan memasuki kota raja.
Tentu saja Maniyoko tidak menceritakan kepada sumoinya tentang pertemuannya dengan Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, tidak menceritakan betapa dia kini telah bergabung dan bekerja sama dengan anak buah Yang Mulia dan bahwa tugasnya yang pertama adalah membantu Akim untuk membunuh Panglima Bhok Cun Ki yang dianggap berbahaya dan musuh besar Yang Mulia!
Bhok Cun Ki pulang dengan wajah pucat dan tubuh lesu. Baru saja dia dipanggil oleh Sribaginda Kaisar dan di persidangan itu, di mana hadir pula Jenderal Shu Ta dan para menteri, Kaisar marah-marah dan memaki-maki Bhok Cun Ki yang dianggap tidak mampu menjaga keamanan sehingga jaringan mata-mata semakin mengganas. Bahkan hampir saja Pangeran Yen atau Raja Muda Yung Lo dan Putera Mahkota terbunuh oleh penyerbuan anak buah jaringan mata-mata musuh. Berita yang sampai kepada Kaisar adalah berkat ketangkasan Jenderal Yauw Ti dan pasukannya, maka usaha pembunuhan itu dapat digagalkan!
"Bagaimana sih usahamu menghancurkan jaringan mata-mata di kota raja? Uhh, sampai kami tidak dapat tidur karena siapa lagi yang dapat kami percaya? Seolah-olah diri kami dikurung oleh mata-mata musuh, tidak tahu lagi kami siapa kawan siapa lawan!" demikian antara lain Sribaginda Kaisar Thai-cu yang kini selalu nampak gelisah itu memarahi Bhok Cun Ki.
"Bhok-ciangkun, kalau dalam waktu sebulan engkau belum juga mampu menghancurkan jaringan mata-mata di sini, kami mulai curiga jangan jangan engkau telah diperalat pula oleh mereka. Sebulan engkau harus mampu menghancurkan mereka, atau kau kami anggap pemberontak dan pengkhianat dan sekeluargamu akan kami suruh jatuhi hukuman mati!"
Ucapan Kaisar ini terasa bagaikan kilat menyambar di hari panas, amat mengejutkan, akan tetapi juga bagaikan ujung pedang menusuk jantung. Selama puluhan tahun dia mengabdi dengan penuh kesetiaan dan kesungguhan, sudah tak terhitung banyaknya jasa yang disumbangkan untuk negara dan sekarang dia menerima hadiah ancaman seberat itu dari Kaisar!
Memang dia tahu bahwa selama beberapa tahun ini terjadi perubahan hebat atas diri Kaisar, sikapnya dan perangainya berubah sama sekali. Pejuang besar Chu Goan Ciang yang kini menjadi Kaisar itu, yang pada mulanya memerintah dengan bijaksana dan baik, akhir-akhir ini berubah menjadi pemarah, selalu curiga, tidak mempercayai lagi orang-orang yang tadinya setia kepadanya, dan juga kejam bukan main, mudah menjatuhkan hukuman mati kepada orang-orang yang tadinya amat dekat dengannya, yang tadinya amat setia kepadanya.
Setelah tiba di rumah, Bhok Cun Ki tidak menceritakan ancaman Kaisar itu kepada keluarganya. Dia tahu bahwa terutama, sekali Cu Sui In yang baru saja menjadi isterinya yang sah dan tinggal di rumahnya sebagai isteri terkasih, tentu akan penasaran dan marah sekali kalau mendengar akan peristiwa di istana tadi. Cu Sui In tentu akan marah dan mungkin melakukan hal-hal yang bahkan akan membuat Kaisar semakin curiga kepadanya. Oleh karena itu, dia hanya menceritakan tentang peristiwa di luar kota Cin-an ketika Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota mengadakan pesta pertemuan, tentang penyerbuan mata-mata yang dapat digagalkan.
"Kita tinggal menunggu pulangnya Lili. Pasti ia akan membawa keterangan yang lebih lengkap mengenai peristiwa itu," kata Bhok Cun Ki.
"Sebaiknya kalau mulai hari ini kalian berdua ikut waspada dan berjaga-jaga, karena agaknya gerombolan mata-mata semakin nekat dan mengganas," pesannya kepada Ci Han dan Ci Hwa.
Entah mengapa, setelah kembali dari istana, hati Bhok Cun Kl merasa tidak tenang dan tidak enak, seolah sikap Kaisar itu ada kaitannya dengan kegiatan jaringan mata-mata. Timbul kekhawatirannya bahwa mungkin saja semua ini sengaja diatur oleh musuh, dan bukan tidak mungkin musuh mengirim pembunuh ke rumahnya! Tentu saja dia tidak khawatir, karena selain dia sendiri dan dua orang anaknya yang memiliki kepandaian cukup untuk membela diri, di sampingnya kini terdapat pula isterinya, Cu Sui In yang boleh diandalkan, bahkan lebih lihai darinya.
Pada malam berikutnya, lewat tengah malam, Ci Han yang melakukan perondaan di sekitar rumah
(Lanjut ke Jilid 16)
Asmara Si Pedang Tumpul (Seri ke 02 - Serial Si Pedang Tumpul)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16
keluarganya, menggantikan adiknya, Ci Hwa yang bertugas jaga sejak sore sampai tengah malam. Mereka hanya berjaga-jaga dan kadang meronda, kalau-kalau ada musuh yang menyusup ke dalam karena di luar pekarangan rumah mereka sudah terdapat pasukan penjaga yang siang malam menjaga keamanan rumah keluarga panglima itu.
Ketika Ci Han berkeliling sampai di taman keluarga yang berada di belakang rumah, tiba-tiba dia berhenti melangkah karena dia melihat bayangan orang berkelebat. Akan tetapi tidak terdengar suara apapun, maka dia meragu, mengira bahwa mungkin itu permainan bayangan pohon yang digerakkan angin malam. Biarpun demikian, dia memasuki taman untuk memeriksa. Taman itu cukup terang karena di sana sini terdapat lampu gantung. Akan tetapi udaranya dingin bukan main.
Dengan tangan kanan di gagang pedang yang tergantung di pinggang kiri, Ci Han melangkah dengan hati-hati ke dalam taman bunga itu. Tiba-tiba dia terkejut karena dari balik rumpun bunga yang tebal muncul dua bayangan orang yang gerakannya gesit sekali. Di bawah sinar lampu dia sempat melihat bahwa dua orang itu adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik.
Dia merasa pernah mengenal wajah gadis cantik itu, akan tetapi belum sempat dia menegur, dua orang itu telah menyerangnya dengan gerakan yang amat cepat. Ci Han mencabut pedangnya, akan tetapi baru saja pedangnya tercabut, gadis itu telah berhasil menotok pundaknya dan diapun terpelanting. Pemuda itu menyambar tubuhnya, lalu memanggul tubuhnya yang lemas tak berdaya.
"Kita bawa dia keluar. Cepat!" kata si gadis dan pemuda itu lalu meloncat, mengikuti gadis itu yang bergerak cepat dan ringan seperti burung terbang saja.
Mereka adalah Ouwyang Kim dan suhengnya, Maniyoko. Seperti kita ketahui, Akim telah terkena siasat yang dilakukan secara cerdik oleh para pemberontak, yang menyamar perajurit anak buah Bhok Cun Ki yang menawannya dan mengancamnya hendak memperkosanya lalu membunuhnya. Sudah diatur oleh mereka yang berhasil memperalat Maniyoko sehingga pemuda inilah yang menyelamatkan sumoinya. Tentu saja Akim marah dan mendendam kepada Bhok Cun Ki dan Maniyoko beraksi membantunya, pada hal memang telah diatur agar Ouwyang Kim membunuh Bhok-ciangkun dibantu Maniyoko.
Kalau sampai usaha ini berhasil, tentu saja pihak musuh untung karena Bhok Cun Ki merupakan lawan dan penghalang yang berbahaya. Andaikata terbalik dan Ouwyang Kim dan Maniyoko yang tewas di tangan panglima yang lihai itu, pihak pemberontak juga untung karena tentu akan terjadi permusuhan antara Bhok-ciangkun dan Tung-hai-liong Ouwyang Cin!
Ci Han yang tak mampu bergerak lagi itu dilarikan ke dalam sebuah pondok di dalam hutan, di luar kota raja. Agaknya memang telah diatur sehingga Akim dan suhengnya, dengan Maniyoko sebagai penunjuk jalan, dapat lolos keluar dari kota raja dengan mudahnya. Mereka meloncati pagar tembok dan seolah-olah sengaja dibiarkan saja oleh para penjaga, atau memang mereka itu tidak melihat gerakan dua orang yang amat cepat itu.
Maniyoko melemparkan tubuh Ci Han ke atas sebuah dipan dan sekali dia menotok, Ci Han dapat bergerak. Pemuda ini menggosok-gosok kedua lengannya yang terasa masih lemas, matanya mencorong memandang kepada kedua orang itu di bawah sinar lampu yang cukup terang.
"Siapakah kalian dan mengapa pula kalian menawanku?" tanya Ci Han, sikapnya tenang dan gagah, sedikitpun tidak memperlihatkan perasaan takut.
"Keparat, sudah menjadi tawanan kami masih bersikap sombong? Engkau perlu dihajar sedikit agar tidak bersikap angkuh!" kata Maniyoko dan diapun menampar ke arah pipi Ci Han. Ci Han yang sudah terbebas dari totokan tentu saja tidak membiarkan dirinya di tampar begitu saja. Dia telah mempelajari ilmu dari ayahnya sejak kecil, maka cepat diapun menangkis dengan pengerahan tenaganya.
"Dukk!" Dua lengan bertemu dan akibatnya, Ci Han terjengkang saking kuatnya lengan lawannya sehingga dia terkejut bukan main. Kiranya kedua orang penawannya itu lihai bukan main. Tadipun demikian cepatnya gadis itu menotoknya roboh dan kini, sekali mengadu tenaga, diapun terjengkang oleh pemuda itu.
"Suheng, hentikan itu!" tiba-tiba gadis itu berseru dan Maniyoko yang sudah siap menghajar, menarik kembali tangannya dan hanya berdiri bersungut-sungut.
"Sumoi, menghadapi bocah bangsawan sombong ini tidak perlu memberi hati!" Maniyoko mengomel. Akan tetapi dia tidak bergerak lagi karena dia tidak berani menentang kehendak sumoinya.
Setelah Ci Han bangkit lagi dan berdiri tegak, biarpun terkejut namun dia sama sekali tidak takut, Ouwyang Kim menghampirinya dan sejenak mereka saling pandang dengan sinar mata penuh perhatian.
"Engkau tentu yang bernama. Bhok Ci Han, bukan?" tanyanya dengan sikap angkuh dan dingin.
"Benar, dan siapa engkau, nona? Apa pula artinya semua ini?"
"Hemm, aku menawanmu sehubungan dengan maksudku untuk membunuh Bhok Cun Ki."
Ci Han tidak merasa heran kalau ada orang-orang memusuhi ayahnya. Ayahnya, sebagai seorang panglima petugas keamanan yang telah membasmi banyak sekali gerombolan penjahat, tentu saja dimusuhi banyak orang kangouw. Akan tetapi kalau yang memusuhi seorang gadis secantik ini dan suhengnya yang juga gagah dan tampan, dia sungguh merasa amat heran.
"Nona, ayahku adalah seorang panglima pembasmi kejahatan, dia bukan orang jahat......" Dia memancing untuk mengetahui keadaan gadis itu.
"Tentu saja engkau sebagai anaknya tidak mengatakan dia jahat. Akan tetapi, baru kemarin dulu dia telah menghinaku, mengutus orang-orang untuk menangkapku dan membunuhku! Kau bilang perbuatan itu tidak jahat? Aku harus membalasnya, dan aku menangkapmu untuk memaksanya datang ke sini menyerahkan nyawanya kepadaku! Ayahmu seorang pengecut, mengirim orang-orang untuk mengeroyokku, menawanku, bahkan menyuruh orang-orang itu memperkosaku sebelum membunuhku!"
"Tidak mungkin! Tidak mungkin ayah berbuat seperti itu! Kalau dia menangkap gerombolan penjahat, tentu akan diadili dulu, dan tidak mungkin sama sama sekali dia menyuruh anak buahnya membunuh orang, apalagi memperkosa wanita, aku tidak percaya!" Ci Han membantah keras dan merasa penasaran sekali.
"Huh, ayahnya anjing, anaknya tentu anjing pula!" Maniyoko membentak.
"Tutup mulutmu yang kotor!" Ci Han balas membentak.
"Kami adalah keluarga terhormat, orang-orang yang setia kepada pemerintah, juga selalu menentang kejahatan, tidak mungkin kami sudi berbuat jahat. Ini tentu fitnah!"
"Bhok Ci Han, bagaimanapun engkau menyangkal, aku sendiri yang mengalaminya. Engkau percaya atau tidak terserah. Sekarang, engkau harus menulis surat kepada ayahmu, minta agar dia datang ke sini seorang diri. Kalau dia tidak mau datang, engkau akan kubunuh!"
"Aku tidak sudi!" bentak Ci Han dengan berani.
"Nona, pikir baik-baik. Apa yang kaulakukan ini adalah suatu kejahatan! Engkau telah ditipu orang, ayahku, kena difitnah. Aku berani bertaruh dengan nyawaku bahwa bukan ayah yang menyuruh orang-orang menawanmu."
"Mereka berpakaian seragam perajurit, mengaku disuruh ayahmu..."."
"Bisa saja penjahat memalsukannya. Buktinya, di Cin-an, para penyerbu yang hendak membunuh Pangeran Mahkota dan Raja Muda Yung Lo juga menyamar sebagai perajurit! Ingatlah, nona, sekali ini mungkin nona ditipu orang. Seorang yang berilmu tinggi seperti nona, sebaiknya waspada dan jangan sampai melakukan perbuatan jahat yang kelak hanya akan menimbulkan penyesalan dalam kehidupanmu."
"Sumoi, biar kuhajar mulut orang ini!" Maniyoko sudah bangkit berdiri dan menghampiri Ci Han yang masih berdiri tegak.
"Jangan, suheng!" Akim juga membentak suhengnya. Diam-diam Akim mulai mempertimbangkan ucapan pemuda yang tampan dan gagah itu. Rasanya tidak mungkin seorang yang bersalah bersikap seberani itu. Dan kemungkinan pemalsuan dan fitnah itu memang ada.
"Bhok Ci Han, katakan, bukankah Sin Wan merupakan calon mantu ayahmu?"
Mendengar pertanyaan ini, Ci Han tertegun dan tiba-tiba mendengar disebutnya nama Sin Wan, diapun teringat siapa gadis ini.
"Ah, sekarang aku ingat. Engkau tentu nona Ouwyang Kim yang dulu pernah datang ke rumah kami bersama Sin Wan!"
Akim tersenyum mengejek, hatinya semakin panas diingatkan peristiwa itu karena pada waktu itu, ia masih mencinta Sin Wan dan mengharapkan pemuda itu membalas cintanya.
"Memang aku Ouwyang Kim. Nah, jawablah pertanyaanku tadi. Bukankah Sin Wan calon mantu ayahmu?"
"Ya, dulunya memang begitu, akan tetapi...." Ci Han merasa ragu-ragu karena tidak perlu dia menceritakan urusan keluarganya kepada orang luar.
"Sumoi, sudah jelas bahwa para perajurit itu adalah anak buah Bhok Cun Ki. Perlu apa lagi bertanya-tanya? Paksa dia menulis surat. Biar aku yang menyiksanya dan memaksanya!" Maniyoko berkata.
Mendengar jawaban sepotong tadi, Akim merasa yakin bahwa tentu Bhok Cun Ki yang menyuruh anak buahnya menangkapnya karena mengira ia hendak menggoda Sin Wan. Hatinya menjadi panas sekali dan ia menatap wajah Ci Han dengan sinar mata mencorong.
"Katakan kepada ayahmu, aku tidak sudi menggoda calon suami orang! Aku tidak serendah itu. Tunggu saja, kuberi waktu sampai besok pagi. Kalau engkau belum juga mau menulis surat kepada ayahmu, aku akan menyerahkan engkau kepada suhengku ini dan jangan katakan bahwa aku kejam!"
Setelah berkata demikian, ia menoleh kepada suhengnya.
"Suheng, aku pusing dan hendak beristirahat. Jaga dia baik-baik, akan tetapi jangan ganggu, tunggu sampai besok pagi." Gadis itu lalu memasuki ruangan dalam pondok itu dan merebahkan diri di dipan yang sederhana.
Maniyoko memandang kepada Ci Han dan senyumnya membayangkan kekejaman.
"Aku akan senang sekali kalau engkau mencoba untuk melarikan diri agar aku mendapat alasan untuk menyiksa dan membunuhmu sekarang juga." Setelah berkata demikian, Maniyoko duduk bersila dan memejamkan mata, seolah memberi kesempatan kepada Ci Han untuk mencoba melarikan diri.
Ci Han bukan pemuda bodoh. Dari pertemuan tenaga tadi dia tahu bahwa pemuda ini kuat dan lihai sekali. Kalau dia nekat melarikan diri, berarti dia membunuh diri. Apalagi gadis yang lihai itupun berada dekat. Gadis itu adalah puteri Tung-hai-liong Ouwyang Cin, demikian keterangan yang pernah dia dengar dari Sin Wan. Dan tentu pemuda pendek ini murid datuk itu. Sungguh berbahaya, dan diapun menjadi gelisah memikirkan ayahnya. Ayahnya difitnah, ataukah kedua orang ini sengaja berpura-pura agar dapat memancing ayahnya di situ untuk mereka bunuh?
Sayang, dia menghela napas panjang. Gadis ini kelihatan demikian manis, bahkan dari sikapnya ketika melarang suhengnya bersikap kasar terhadap dirinya, dia tidak percaya bahwa gadis seperti itu berhati jahat. Dia maklum bahwa melarikan diri tidak ada gunanya, maka diapun duduk pula bersila untuk menghimpun tenaga yang mungkin dia perlukan pada hari esok.
Karena menderita tekanan batin, Akim gelisah di atas dipan. Diam-diam harus diakuinya bahwa pemuda tawanan itu amat menarik hatinya. Pemuda itu demikian tabah, pemberani dan gagah, terutama sekali pandang matanya yang demikian lembut namun mengandung keberanian luar biasa. Seorang yang jantan, pikirnya, dan hal ini membuat ia semakin gelisah.
Andaikata benar Bhok Cun Ki yang menyuruh anak buahnya menawannya karena panglima itu marah kepadanya, mengira ia menggoda Sin Wan, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan Bhok Ci Han. Akhirnya, ia dapat jatuh pulas pula dan diganggu mimpi tentang seorang pemuda yang wajahnya berubah-ubah, seperti wajah Maniyoko, kemudian Sin Wan, dan akhirnya wajah Bhok Ci Han.
Tiba-tiba ia dikejutkan dan dibangunkan oleh suara ribut-ribut. Ketika ia membuka matanya, ia mendengar suara orang berkelahi di ruangan depan. Cepat ia meloncat turun dan keluar dari ruangan dalam. Dilihatnya Maniyoko sedang mendesak Bhok Ci Han dengan serangan-serangan maut yang membuat Ci Han repot sekali melindungi dirinya.
"Dukk!" Akhirnya, sebuah pukulan mengenai dada kanan Ci Han, membuat pemuda itu terpelanting.
"Suheng, tahan!" Akim membentak dan meloncat ke depan, melerai.
"Sumoi, biar kubunuh jahanam ini! Dia tetap tidak mau menulis surat. Biar kusiksa dia sampai dia mau menulisnya!"
Maniyoko melompat ke depan lagi hendak menghajar Ci Han yang sudah bangkit duduk sambil menekan dada kanannya yang terasa nyeri. Tangan Maniyoko sudah menyambar hendak mencengkeram rambut Ci Han, akan tetapi Akim cepat bergerak ke depan.
"Plakk!" tangan Maniyoko terpental oleh tangkisan Akim.
"Suheng, engkau hendak melawanku?" bentak Akim marah sekali. Maniyoko mengendur.
"Aihh, sumoi, bagaimana engkau masih mau melindungi pemuda ini? Dia adalah putera Bhok Cun Ki yang telah menghinamu!"
"Cukup, suheng! Ini adalah urusanku, engkau tidak berhak mencampuri. Kalau engkau tidak suka, pergilah dan biar kuselesaikan sendiri urusan ini!" Akim menantang dan Maniyoko bersungut-sungut.
"Baiklah, baiklah...... aku tidak akan mencampuri, sumoi......" katanya dan diapun berdiri di sudut sambil memandang kepada Ci Han dengan sinar mata penuh kemarahan.
Melihat Ci Han menyeringai kesakitan, Akim segera menghampiri dan membantunya bangkit, lalu membawanya duduk ke atas bangku.
"Parahkah lukamu?" tanyanya lembut sehingga membuat Ci Han merasa heran bukan main. Dia menggeleng kepalanya.
"Nah, Bhok Ci Han, engkau akan rugi sendiri kalau tidak mau memenuhi permintaanku. Aku tidak akan memusuhimu, aku hanya ingin berhadapan dengan Bhok Cun Ki untuk minta pertanggung jawabnya atas perbuatan anak buahnya kepadaku kemarin dulu. Tulislah surat itu, undang dia ke sini dan engkau tidak akan kuganggu lagi."
Melihat betapa kembali nona penawannya itu menyelamatkannya dari ancaman penyiksaan dan pembunuhan suheng nona itu, dan mendengar kata-katanya yang lembut, Ci Han menghela napas panjang.
"Nona Ouwyang, kalau aku disuruh menulis surat kepada ayah untuk memancing dan menjebaknya ke sini, biar aku disiksa sampai matipun tidak akan kulakukan. Kalau aku diharuskan menulis surat kepada ayah, akan kuceritakan semua yang telah kualami, dan kuperingatkan agar dia berhati-hati. Jadi, percuma saja. Kalau memang engkau hendak membunuhku, silakan, akan tetapi aku tidak mau mencelakai ayah."
"Bhok Ci Han, jangan dikira bahwa aku seorang pengecut yang curang! Aku ingin berhadapan dengan ayahmu sendiri, bukan menjebaknya."
"Sumoi, kalau kaubiarkan dia menulis surat seperti itu, tentu ayahnya akan datang membawa pasukan besar dan kita akan celaka," kata Maniyoko.
"Bhok Ci Han, aku tidak menjebaknya, hanya ingin dia datang seorang diri agar aku dan dia membuat perhitungan atas perbuatan anak buahnya!" kata lagi Akim.
Pada saat itu terdengar suara dari luar rumah.
"Nona, aku sudah datang seorang diri. Keluarlah kalau ingin bicara denganku!"
"Ayah..."! sudah datang!" kata Ci Han, gembira akan tetapi juga khawatir. Dia bangkit dan hendak keluar. Maniyoko bergerak hendak menangkapnya, akan tetapi dicegah Akim. Gadis ini lalu memegang lengan Ci Han dan berkata,
"Mari kita keluar, aku hanya tidak ingin ayahmu berbuat curang!"
Ketika mereka bertiga keluar, benar saja yang berdiri di situ adalah Bhok Cun Ki, seorang diri. Kiranya ketika Ci Han ditawan dan dilarikan Maniyoko dan Akim, ada seorang penjaga yang melihat bayangan mereka dan penjaga ini yang tidak sempat mengejar, segera melapor ke dalam. Mendengar ini, Bhok Cun Ki cepat melakukan pengejaran sendiri, demikian pula Cu Sui In. Ci Hwa dilarang melakukan pengejaran, disuruh menjaga dan melindungi ibunya di rumah. Bhok Cun Ki dan Cu Sui In melakukan pengejaran secara berpencar.
Setelah semalam itu berputar-putar mencari jejak orang-orang yang menculik puteranya, akhirnya Bhok Cun Ki pada keesokan harinya, melihat pondok di dalam hutan itu dan dia merasa curiga. Ketika dia menghampiri dan mengintai, dia sempat mendengarkan percakapan antara seorang gadis dan puteranya yang menjadi tawanan, maka diapun segera berteriak memanggil.
Melihat Ci Han keluar digandeng seorang gadis cantik dan diiringkan seorang pemuda tampan yang pendek, Bhokciangkun merasa lega melihat puteranya dalam keadaan selamat.
"Nona muda, aku Bhok Cun Ki telah datang dan berhadapan denganmu, kenapa engkau tidak segera melepaskan puteraku?" tanya Bhok Cun Ki, suaranya tenang dan berwibawa.
"Bhok Cun Ki, aku tidak akan melanggar janji. Setelah engkau berhadapan seorang diri denganku, tentu Bhok Ci Han ini akan kubebaskan. Akan tetapi aku belum yakin apakah orang seperti engkau ini dapat dipercaya. Siapa tahu engkau datang bersama pasukanmu dan begitu puteramu kubebaskan, pasukanmu akan datang menyerbu."
"Nona," Ci Han memprotes,
"kenapa nona memandang rendah ayahku seperti ini? Ayahku adalah seorang panglima, seorang pendekar, seorang gagah yang tidak sudi melakukan kecurangan!"
"Hemm, kita lihat saja nanti," kata Akim tanpa melepaskan tangannya yang memegang lengan pemuda itu sehingga nampaknya mereka seperti bergandengan dengan mesra.
"Bhok Cun Ki, kenapa engkau kemarin dulu mengutus seorang kakek dan seorang nenek berpakaian putih, dan enam orang perajurit, menangkap aku dan menyuruh mereka membunuhku setelah menghina dan menyiksaku lebih dahulu? Kalau tidak ada suhengku ini yang datang menolong, tentu sekarang aku telah menjadi korban kekejianmu!"
Bhok Cun Ki mengerutkan alisnya dan matanya mencorong.
"Nona, omongan apa yang kaukeluarkan ini? Aku Bhok Cun Ki selamanya tidak pernah melakukan perbuatan sehina itu! Aku selamanya tidak mengenalmu, mengapa aku harus melakukan hal seperti itu?"
"Ayah, ia adalah nona Ouwyang Kim, puteri Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan dia itu murid Tung-hai-liong," kata Ci Han.
Bhok Cun Ki tertegun.
"Aih, kiranya puteri Ouwyang Cin. Sudah lama aku mengenal nama besar Ouwyang Cin dan biarpun dia seorang datuk sesat, namun belum pernah aku mendengar dia melakukan hal-hal yang kurang patut, apalagi menentang pemerintah. Di antara kami tidak pernah bermusuhan, kenapa aku harus melakukan perbuatan hina seperti itu kepada puterinya? Nona Ouwyang, tuduhanmu itu tidak berdasar."
"Tapi.... orang-orang yang menawanku itu, mereka berpakaian perajurit dan mengaku anak buahmu, suruhanmu......."
"Semua orang bisa saja mengaku demikian, nona."
"Sumoi, jangan percaya padanya! Mana ada maling teriak maling! Bhok Cun Ki, menyerahlah engkau kalau engkau tidak ingin melihat puteramu mati di ujung pedangku!" Maniyoko sudah mencabut samurainya dan menodongkan senjata itu di punggung Ci Han.
"Suheng, jangan...""!"
"Sumoi, jangan lemah. Mereka adalah musuh-musuh kita. Ingat betapa mereka telah menghinamu. Kalau tidak ada aku yang datang menolong, tentu engkau sudah diperkosa mereka beramai-ramai sebelum dibunuh!"
"Tapi.... tapi...." Akim menjadi bingung dan ragu. Kalau teringat akan apa yang dialaminya kemarin dulu, hatinya panas bukan main, akan tetapi melihat sikap Ci Han dan Bhok Cun Ki, timbul keraguan di dalam hatinya. Sikap ayah dan anak itu bukan sikap orang yang bersalah.
Maniyoko yang maklum sepenuhnya akan kelihaian Bhok-ciangkun, merasa khawatir sekali melihat keraguan sumoinya. Kalau sampai sumoinya tidak berpihak kepadanya dan panglima itu turun tangan, dia akan celaka. Dia sudah mendengar betapa panglima Bhok ini memiliki tingkat kepandaian yang seimbang dengan gurunya!
"Bhok Cun Ki, sekarang saatnya maut menjemputmu!" bentaknya dan ini merupakan isyarat kepada sekutunya untuk turun tangan.
Terdengar suara tawa ha..ha..ha..hi..hi dan muncullah Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, juga enam orang yang pernah menyamar sebagai perajurit anak buah Bhok Cun Ki.
Melihat sepasang iblis itu, Bhok Cun Ki terkejut. Ang-bin Moko tertawa dan menudingkan golok gergajinya ke arah muka panglima itu.
"Bhok Cun Ki, saatnya tiba bagimu untuk membayar hutangmu kepada kami, ha..ha..ha!"
"Hem, kiranya Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli yang berdiri di belakang layar. Dua orang datuk besar, sepasang iblis yang pernah mengguncang dunia kang-ouw, kini agaknya telah menjadi anjing penjilat orang-orang Mongol! Betapa menjijikkan!"
Akim terbelalak memandang kepada delapan orang itu.
"Akan tetapi..." kalian.... kalian yang menawan aku dan mengaku disuruh Bhok Cun Ki...".."
Pek-bin Moli, wanita bermuka pucat itu terkekeh genit.
"Maniyoko, pemuda ganteng, cepat kaubunuh dulu putera panglima itu!"
Maniyoko menggerakkan pedang samurainya, membacok tubuh Ci Han dari belakang. Pemuda ini menggeser kaki mengelak dan Akim menggerakkan pedangnya.
"Trang..."!!" Pedang itu menangkis pedang samurai suhengnya dan sepasang mata Akim mencorong penuh kemarahan.
"Suheng! Kau.... kau bersekongkol dengan mereka??"
"Sumoi, aku hanya melanjutkan usaha suhu untuk bekerja sama dengan mereka!" Maniyoko membantah.
"Biarkan aku membunuh dia!" Maniyoko menyerang lagi ke arah Ci Han, akan tetapi pedang Akim menyambar dan terpaksa Maniyoko menyambut dan terjadilah perkelahian seru antara suheng dan sumoi ini.
"Bantu aku menangkapnya!" Maniyoko berteriak kepada sekutunya karena dia kewalahan menghadapi Goat-im-kiam yang mendatangkan hawa dingin itu. Enam orang anak buah sepasang iblis itu segera membantunya dan mengeroyok Akim
"Jangan bunuh, tangkap ia hidup-hidup!" seru Maniyoko yang merasa sayang kalau gadis yang membuatnya selama ini tergila-gila itu sampai terbunuh. Melihat Akim dikeroyok, Ci Han lalu membantu Akim.
"Ci Han, kau pergunakan pedang ini!" kata ayahnya dan Ci Han meloncat ke dekat ayahnya, menerima sebatang pedang.
Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiranya Bhok Cun Ki telah dipancing oleh sepasang iblis yang telah menduga bahwa Ci Han tentu tidak dapat dipaksa menulis surat. Oleh karena itu, mereka membuat surat kepada Bhok Cun Ki dan minta agar panglima itu datang sendiri ke situ. Akan tetapi malam itu, mereka melihat Bhok Cun Ki berkeliaran di hutan, maka mereka hanya mengintai dan menanti, untuk membantu Akim dan Maniyoko.
Ketika melakukan pengejaran terhadap para penculik puteranya, Bhok Cun Ki sengaja membawa pedang cadangan. Dia dapat menduga bahwa setelah dapat diculik, tentu puteranya itu tidak membawa senjata lagi, maka dia sengaja membawakan sebatang pedang untuk puteranya dan sekarang, benar saja puteranya membutuhkannya.
Dengan pedang di tangan, kini Ci Han membantu Akim mengamuk. Karena tingkat kepandaiannya masih jauh dibandingkan Maniyoko dan Akim, maka diapun hanya membendung pengeroyokan enam orang anak buah sepasang iblis sehingga Akim dapat mencurahkan tenaga untuk menghadapi suhengnya.
Sementara itu, melihat betapa Akim dan Ci Han sudah dikeroyok, sepasang iblis itu tertawa lagi.
"Bhok Cun Ki, belasan tahun yang lalu, kami pernah kalah olehmu, akan tetapi sekarang tibalah saat pembalasan kami. Juga, engkau harus mati karena engkau merupakan gangguan bagi gerakan Yang Mulia," kata Ang-bin Moko.
"Anjing penjilat Mongol!" Bhok Cun Ki membentak dan diapun sudah mencabut Ceng-kong-kiam. Nampak sinar kehijauan menyilaukan mata ketika pedangnya tercabut. Bhok Cun Ki adalah seorang ahli pedang Butong-pai yang telah memiliki tingkat tinggi. Selain mahir pedang Butong-pai, juga dia merupakan seorang ahli yang telah memiliki banyak sekali pengalaman bertanding sehingga gerakannya telah matang dan tangguh. Akan tetapi, yang dihadapi sekarang adalah sepasang iblis yang amat berbahaya. Tingkat kepandaian seorang di antara dua iblis itu saja sudah setingkat dengan dia, maka kini dikeroyok dua, apalagi kini sepasang iblis telah melatih diri dengan ilmu-ilmu keji, maka dia tahu bahwa dia terancam bahaya dan harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk dapat mengimbangi mereka.
Pedang Sinar Emas Eps 28 Pedang Sinar Emas Eps 21 Pedang Sinar Emas Eps 33