Ceritasilat Novel Online

Sepasang Naga Lembah Iblis 4


Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 4




   "Oh, engkau, Koksu. Bangkit dan duduklah dan juga kalian berdua yang datang bersama Kok-su."

   "Terima kasih Yang Mulia," kata mereka hamper berbarengan.

   Kini mereka menghadap Kaisar yang duduk di atas kursi berukir indah itu dengan berdiri saja, berdiri dengan kepala di tundukkan dan sama sekali tidak boleh kepala itu di angkat kalau tidak sedang di ajak bicara oleh Kaisar. Juga setiap kali bicara, kedua tangan harus di rangkap di depan dada sebagai tanda penghormatan.

   "Lui-koksu, siapakah yang kau bawa menghadap ini? Tadi pengawal memberitahu akan tetapi kami kurang memperhatikan."

   "Yang Mulia, ini adalah seorang sahabat hamba di waktu muda. Julukannya adalah Thian-te Ciu-kwi, dan dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Yang muda ini adalah muridnya, bernama Cian Kauw Cu yang biasa di sebut Akauw. Mereka berdua ini menawarkan tenaga mereka untuk membantu paduka, untuk bekerja dengan hamba. Mengingat bahwa kepandaian mereka boleh di andalkan, maka hamba sengaja mengajak mereka untuk menghadap paduka, untuk mohon perkenan paduka agar mereka di perbolehkan membantu hamba dan di angkat sebagai panglima."

   "Hemmm, kami percaya dengan semua keteranganmu, Koksu. Akan tetapi kau tahu tidak mudah begitu saja mengangkat seseorang menjadi panglima sebelum kami melihat sendiri kemampuan mereka." Kaisar lalu bertepuk tangan dan bermunculan pengawal thaikam dari pintu dalam. Agaknya para pengawal itu biarpun tidak diperbolehkan memasuki kamar, namun selalu mereka siap diluar pintu sehingga sekali di panggil mereka akan bermunculan dalam waktu cepat sekali.

   "Coba panggil Ngo-heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima unsur) dan suruh mereka bersiap di lian-bu-thia (tempat berlatih silat)!" kata kaisar memerintah kepada para pengawal. Mereka memberi hormat dan pergi.

   "Koksu, kami hendak melihat apakah guru dan murid ini akan mampu menghadapi Ngo-heng Kiam-tin!" kata Kaisar kepada Lui-Koksu. Tentu saja Toat-beng Giam-ong sudah tahu siapa itu Barisan Pedang Lima Unsur, maka dia menjawab.

   "Hamba kira sobat Ciu-kwi akan mempu menghadapi mereka, Yang Mulia."

   Mereka semua lalu mengikuti Kaisar pergi ke ruangan yang amat luas. Ruangan yang memang biasanya dipergunakan untuk berlatih silat. Seperti di ketahui, Kaisar Julan Khan sendiri adalah seorang yang kuat, ahli gulat dan ahli silat.

   Ketika mereka tiba di sana, sudah menanti lima orang yang berpakaian aneh. Pakaian mereka itu saling berbeda warnanya. Ada yang serba merah, serba biru, serba kuning, hitam dan putih. Lima macam warna! Kaisar muncul, mereka berlima lalu menjatuhkan diri berlutut.

   "Bangkitlah!" perintah kaisar dan setelah mereka semua bangkit berdiri, kaisar berkata.

   "kalian harus menguji kemampuan dua orang guru dan murid ini yang mencalonkan diri sebagai panglima pembantu Koksu," katanya dan seorang thaikam segera mengangkat kursi kaisar ke belakang kaisar yang segera duduk dengan wajah gembira. Kaisar ini memang suka sekali menonton orang bertanding mengadu ilmu silat.

   Sementara itu, Lui Koksu sudah membisiki Ciu-kwi bahwa biarpun kepandaian lima orang itu tidak berapa hebat, akan tetapi karena merupakan barisan pedang yang bekerja sama dengan baik sekali, maka cukup berbahaya. Akan tetapi dia percaya bahwa dengan tangan kosong saja dia atau Akauw mampu mengatasi mereka!.

   Mendengar bisikan sahabatnya itu, Thian-te Ciu-kwi lalu berkata kepada Kaisar.

   "Yang Mulia, kalau paduka mengijinkan, hamba akan lebih dahulu maju menghadapi Ngo-heng Kiam-tin ini dengan tangan kosong, baru sesudah hamba murid hamba akan menandingi mereka."

   Mendengar ini, Kaisar mengerutkan alisnya. Dia tahu akan kemampuan Ngo-heng Kiam-tin, dan kakek kecil kurus seperti orang pemadatan ini hendak menandingi dengan tangan kosong saja. Ini hanya ada dua kemungkinan. Kakek itu memang sakti atau sombong. Kalau sombong, biarlah mendapat hajaran keras dari Ngo-heng Kiam-tin.

   "Dengan tangan kosong, Ciu-kwi. Ingat, lima batang pedang itu dapat melukaimu!".

   "Kalau memang demikian, sudah nasib hamba, Yang Mulia."

   "Baiklah, kalau begitu Ngo-heng Kiam-tin, kalian siap menandingi Thian-te Ciu-kwi yang bertangan kosong!".

   Lima orang itu lalu berloncatan membentuk lingkaran segi lima. Tubuh mereka rata-rata tinggi besar dan dengan pakaian mereka yang saling berbeda warna itu, gerakan mereka tadi kelihatan indah sekali seperti lima orang penari. tahu-tahu mereka telah mencabut pedang mereka dan siap dengan bermacam pasangan kuda-kuda. Ada yang melintangkan pedang di depan dada, ada yang mengacungkan pedang di atas kepala, ada yang menyembunyikan pedang di bawah lengan. Mereka semua sudah siap untuk menyerang kakek yang berdiri seenaknya itu. Akan tetapi,lima orang ini tidak berani memandang rendah. Nama besar Thian-te Ciu-kwi sudah pernah mereka dengar sebagai datuk kang-ouw dari pantai timur dan kabarnya lihai bukan main.

   "Apakah engkau sudah siap, Ciu-kwi?" Tanya kaisar.

   "Sejak tadi hamba sudah siap, Yang Mulia."

   "Kalau begitu, mulailah!" kata kaisar, di tujukan kepada lima orang itu. Mereka adalah jagoan-jagoan istana, merupakan anggota pasukan pengawal pribadi kaisar.

   Mendengar seruan kaisar ini, lima orang itu mulai bergerak melangkah dengan teratur mengelilingi Ciu-kwi yang kelihatan masih berdiri dengan santai saja. Tiba-tiba seorang di antara mereka, yang berpakaian putih dan agaknya menjadi pemimpin Ngo-heng Kiam-tim, mengeluarkan bentakan nyaring.

   "Thian-te Ciu-kwi, lihat pedang!".

   Dan diapun sudah menyerang dari depan dengan gerakan dahsyat. Dua orang lain menggerakkan pedang mereka memperkuat serangan baju putih dan dua orang lagi menggerakkan pedang menjaga kalau lawan membalas serangan.

   Ciu Kwi mengeluarkan kecepatan gerakannya. Dengan mudah saja dia mampu menerobos di antara sambaran tiga batang pedang itu, berloncatan ke sana sini seperti orang mabok dan tahu-tahu kedua kakinya yang kecil itu mengirim tendangan, bukan membalas serangan tiga orang itu melainkan menyerang dua orang orang yang tadi berjaga-jaga. Dua orang itu terkejut, maklum lihainya tendangan itu dan berlompatan ke belakang. Mereka mengepung lagi dan dengan bergantian pedang mereka menyerang bertubi-tubi, namun tidak ada pedang yang mampu melukai Ciu-kwi. Dia mengelak, berloncatan dan kadang dengan tangannya menyapok pedang dari samping. Ciu-kwi memperlihatkan ilmu yang menjadi andalannya, yaitu Thian-te Sin-kun (Silat Sakti Langit Bumi) dan mencampurnya dengan gerakan Dewa Mabok untuk mengelak dan mengacaukan lawan.

   Ngo-heng Kiam-tin memang kuat sekali. Mereka itu saling tunjuang, saling bantu dan saling melindungi. Mereka dapat bekerja sama dengan rapid an teratur sehingga Ciu-kwi seperti melawan lima orang dengan satu hati dan pikiran. Namun, karena memang tingkatnya jauh lebih tinggi dari mereka, dia dapat selalu menghindarkan diri dan balasan serangannya beberapa kali membuat barisan pedang menjadi kacau.

   Setelah lewat tiga puluh jurus, Ciu-kwi mengeluarkan bentakan melengking dan begitu kedua tangannya berputar dan memukul ke depan angina pukulan dahsyat menyambar dan lima orang itu terhuyung ke belakang, bahkan dua di antara mereka terjengkang.

   Ciu-kwi cepat melangkah mundur dan memberi hormat kepada Sri Baginda." Harap paduka maafkan hamba."

   Sri Baginda bertepuk tangan memuji.

   "Bagus, bagus sekali, Ciu-kwi. Engkau memang pantas menjadi sahabat dan pembantu Kok-su! Dan bagaimana dengan muridmu itu?."

   "Hamba kira dengan menggunakan pedangnya, Akauw akan mampu menandingi Ngo-heng Kiam-tin."

   Mendengar ucapan Ciu-kwi, Sri Baginda menjadi gembira sekali. Orang yang mampu mengalahkan Ngo-heng Kiam-tin merupakan orang yang sakti dan tentu saja dia dapat mempergunakan tenaga orang-orang seperti itu. Akan tetapi Lui-Koksu tidak heran karena dia sudah mendengar dari Ciu-kwi bahwa Akauw memiliki ilmu aneh dan juga memiliki Hek-liong-kiam yang ampuh.

   "Akauw, lawanlah mereka dengan pedangmu. Akan tetapi jangan sekali-sekali melukai mereka," pesan Ciu-kwi kepada muridnya.

   "Baik, suhu," kata Akauw yang telah melihat gerakan lima orang itu dan merasa dapat mengatasi mereka dengan pedangnya. Dia lalu memberi hormat kepada Kaisar.

   "Mohon perkenan paduka, Yang Mulia."

   "Baik, bangkit dan lawanlah Ngo-heng Kiam-tin dengan pedangmu, orang muda," kata kaisar gembira.

   Akauw lalu bangkit berdiri, mencabut Hek-liong Po-kiam dari sarungnya dan nampaklah sinar hitam yang menyeramkan. Bahkan kaisar sendiri berseru kagum.

   "Po-kiam yang hebat!".

   Ngo-heng Kiam-tin kini sudah maju lagi mengepung. Dalam pertandingan melawan Ciu-kwi tadi, jelas mereka telah kalah, akan tetapi tak seorang pun dari mereka mengalami luka sehingga kini mereka dapat maju dengan lengkap dan tenaga mereka masih tidak berkurang. Hanya mereka agak gentar menghadapi pedang hitam di tangan pemuda tinggi besar itu. Mereka pun dapat menduga bahwa pemuda itu memegang sebatang pedang pusaka yang ampuh.

   Lima orang itu, seperti tadi mengepung Akauw dengan berbagai macam kuda-kuda. Akauw sendiri dengan tenang berdiri dengan pedang melintang di depan dada, seluruh saraf di tubuhnya menengang dalam keadaan siap siaga.

   Kembali si baju putih mengeluarkan bentakan.

   "Lihat pedang!" Dan dia mulai menyerang, di susul teman-temannya Kadang mereka menyerang bertubi-tubi, susul menyusul, kadang mereka menyerang berbarengan dan menyatukan tenaga dalam pedang mereka.

   Namun Akauw telah maklum akan gerakan mereka. Kalau mereka menyerang bertubi-tubi, dia pun mengandalkan kelincahan tubuhnya untuk menghindar, kalau mereka menyatukan pedang mereka, diapun menangkis dengan pengerahan tenaga. Memang agak repot juga baginya kalau mengadu dengan tenaga lima orang yang menggabungkan tenaga mereka itu. Di keroyok oleh lima orang, tenaganya tidak kuat bertahan dan beberapa kali dia terpaksa melangkah mundur. Akan tetapi, setelah lewat dua puluh lima jurus, Akauw mengubah gerakan pedangnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang membelit dan memutar.

   "Kraakk!" terdengar suara keras dan pedang si baju putih patah menjadi dua ketika dia berani menangkis dengan langsung sambaran sinar hitam yang bergulung-gulung itu. Kepatahan pedang baju putih sebagai pemimpin ini mengacaukan yang lain dan Akauw menggunakan kesempatan ini untuk menyambar pedangnya dan empat batang pedang yang lain juga patah semua! Tentu saja Ngo-heng Kiam-tin menjadi rusak dan mereka berlima terpaksa berlompatan ke belakang karena sudah tidak ada senjata di tangan mereka.

   Sri Baginda Kaisar Julan Khan bertepuk tangan memuji.

   "Bagus, Kiam-sut (ilmu pedang) yang bagus! "dia memuji lalu berkata kepada Lui-koksu, kami telah melihat ilmu Ciu-kwi dan Akauw. Mereka boleh kau terima menjadi panglima untuk membantu pekerjaanmu."

   Ciu-kwi dan Akauw segera menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih. Mereka bertiga meninggalkan istana dengan gembira dan semenjak hari itu, Ciu-kwi menjadi pembantu Koksu dan Akauw menjadi seorang panglima muda yang di perbantukan pula kepada Kok-su. Mereka berdua untuk sementara tinggal di tempat kediaman Kok-su.

   Sudah terlalu lama kita meninggalkan Yang Cien. Seperti telah diceritakan di bagian depan. Yang Cien tinggal seorang diri di dalam guha besar bawah tanah itu setelah di tinggal pergi oleh Akauw. Dia segera dapat menghilangkan perasaan kesepiannya di tinggalkan sutenya itu, dan dengan tekun dia melanjutkan latihannya, mempelajari ilmu Bu-tek Cin-keng yang ternyata amat sulit di latih itu. Dia tahu bahwa sutenya telah hafal akan semua gerakan ilmu silat itu, akan tetapi tanpa petunjuk kitab, ilmu yang di miliki sutenya itu hanyalah kulitnya saja, tanpa isi. Dia berjanji pada diri sendiri bahwa kelak kalau dia bertemu kembali dengan sutenya, dia akan mengajarkan ilmu itu secara yang semestinya agar sutenya juga menguasai Bu-tek Cin-keng secara benar.

   Setiap hari Yang Cien tekun berlatih, hidup secara sederhana sekali, tidak pernah berhubungan dengan manusia lain. Dia seolah menjadi seorang pertapa yang hidup menyendiri di tempat sunyi itu, di Lembah Iblis.

   Tiga tahun telah lewat tanpa terasa. Yang Cien telah menyelesaikan pelajaran ilmu itu dan kini akibat racun jarum di kitab itu sudah hilang sama sekali. Tanpa di sadarinya sendiri, dia telah menguasai ilmu yang amat dahsyat, yang di pelajari dan di latihnya selama lima tahun di tempat itu! Juga dia tidak menyadari bahwa kini dia telah menjadi seorang pemuda yang sudah dewasa benar, pemuda yang berusia dua puluh lima tahun!.

   Pada halaman terakhir kitab Bu-tek Cin-keng itu terdapat tulisan yang mengharuskan murid yang mempelajari kitab itu sampai habis, agar menutup guha itu.

   "Gulingkan batu yang berada di atas tebing dan hujan batu besar akan menutup guha ini untuk selamanya," demikian bunyi pesan itu. Yang Cien melangkah keluar guha. Biasanya, hanya untuk mencari makan saja dia keluar dari guha itu, paling banyak sekali dua kali dia keluar guha dalam sehari. Dia tidak begitu memperhatikan di atas tebing dan baru sekarang dia berdongak memperhatikan keadaan di atas tebing. Tebing itu tinggi dan permukaan dinding tebing memang penuh dengan batu besar yang kalau tertimpa batu dari atas tentu akan dapat terlepas dan runtuh ke bawah. Tentu itu yang di maksudkan pesan dalam halaman terakhir kitab itu. Dia masuk kembali lalu menjatuhkan diri berlutut di depan meja sembahyang, menghadap kerangka yang berada di kursi itu. Kedudukan kerangka yang berada di kursi itu pun ternyata membantunya memecahkan rahasia dari jurus terakhir sebagai penutup kitab pelajaran itu. Tadinya, sampai berhari-hari dia bingung, tidak dapat mengerti dengan baik gerakan jurus penutup. Baru setelah dia melihat kedudukan kerangka itu, memperhatikan kedudukan kedua tangan dan kakinya, dia mengerti. Kerangka itu justeru berkedudukan seperti yang di kehendaki dalam jurus terakhir tadi.

   "Suhu, siapapun adanya suhu, teccu (murid) menghaturkan banyak terima kasih atas semua petunjuk suhu sehingga teecu dapat menyelesaikan pelajaran Bu-tek Cin-keng ini. Karena khawatir kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat, kitab ini teecu tinggalkan di sini bersama suhu, dan pedang Pek-liong-Po-kiam teecu bawa sedangkan Hek-liong-Po-kiam di bawa sute Akauw.

   "Setelah berlutut dan memberi hormat delapan kali, di atas meja dan dia membawa Pedang Naga Putih keluar, bersama buntalan pakaiannya.

   Kemudian dia mendaki tebing itu ke atas dan baru dia mengetahui betapa mudahnya hal itu dilakukannya. Padahal, tadinya dia mengira bahwa memanjat tebing itu akan sukar sekali karena tebing itu terjal. Namun setelah kakinya memanjat, dia merasa ringan dan mudah saja! Dia sendiri tidak menyadari bahwa latihan-latihan itu telah meningkatkan sinking dan ginkangnya sehingga dia mampu bergerak seperti seekor cecak merayap dinding!.

   Setelah tiba di atas tebing, dia lalu mencari batu yang terbesar. Di temukan batu itu, sebesar gajah. Tadinya diapun meragukan apakah dia akan mampu, menggulingkan batu sebesar gajah itu, apakah tidak lebih baik memilih yang lebih kecil. Akan tetapi, begitu dia mencoba untuk menggerakkan batu itu, ternyata terasa tidak terlalu berat baginya dan dengan mudah dia mampu mendorong dan menggelindingkan batu ke tepi tebing, tepat di atas guha besar yang selama lima tahun menjadi tempat tinggalnya itu.

   Begitu batu terguling, terdengar suara gemuruh dan ketika dia melongok ke bawah, benar saja, batu itu menghantam batu-batu di bawah sehingga terlepas dari dinding tebing dan hujan batu besar terjadi di depan guha sehingga guha itu tertutup sama sekali oleh ratusan, bahkan mungkin ribuan batu besar! Tidak mungkin lagi bagi seorang atau beberapa orang manusia untuk membongkar batu-batu itu. Guha itu benar-benar telah menjadi kuburan bagi gurunya yang tak di kenal namanya itu.

   Kemudian, dia menuruni tebing kembali dan memasuki guha yang penuh emas. Sampai lama dia mengamati emas-emas yang menempel di dinding guha. Sekali waktu benda berharga ini akan berguna juga, entah kapan dan untuk apa, dia belum mampu membayangkan. Dia lalu mengambil secukupnya untuk bekal. kemudian mencari batu besar dan menggulingkan batu itu menutupi guha kecil itu sehingga tidak nampak sama sekali dari luar. Hanya dia yang tahu bahwa di balik batu besar itu terdapat sebuah guha penuh emas. Dalam guha-guha lain yang berjajar di daerah itu tidak terdapat apa-apa lagi, kecuali guha pertama yang penuh dengan arca yang tidak begitu penting untuk di sembunyikan.

   Setelah selesai menutup kedua guha yang di rahasiakannya itu, Yang Cien lalu pergi meninggalkan tempat itu. Beberapa kali dia menoleh untuk memandang tempat yang di jadikan tempat tinggalnya selama lima tahun itu. Menduga-duga kapan kiranya dia akan dapat kembali ke tempat itu. Lembah Iblis! Dia tidak mengerti mengapa rakyat di wilayah itu menamakannya Lembah Iblis. Padahal baginya, lembah itu amat indah dan menjadi tempat dia menghabiskan waktunya bertahun-tahun. Sejak dia memasuki lembah itu bersama kakek nya, tidak kurang lebih sepuluh tahun dia tinggal di sana, lima tahun tinggal di gubuk atas pohon seperti kera, dan lima tahun tinggal di guha seperti pertapa. Dan kini, dia memasuki dunia ramai. Apakah yang menanti dia di depan? Dia tidak tahu, dan menyerahkan diri kepada kekuasaan Tuhan.

   Nasib? Menurut pelajaran tentang kehidupan yang dia dapatkan dari kakeknya, dia tidak mau menggantungkan diri kepada nasib. Nasib tidak datang bagitu saja, nasib hanya merupakan mata rantai dari sebab akibat. Kalau orang menanam bibit baik lalu menuai hasil panen baik, itu bukan nasib namanya! Juga kalau menyebar bibit baik, itu juga dapat memetik panen baik, itu juga bukan nasib karena pasti ada penyebabnya! Entah karena pemupukannya kurang baik, atau penjagaannya kurang baik sehingga terusak oleh hujan atau oleh burung-burung atau hama lainnya. Jelas bukan karena nasib buruk dan sebagainya!.

   Kekuasaan Tuhan memang mutlak. Akan tetapi Kekuasaan Tuhan juga adil! Jadi tidak ada yang di sebut nasib baik atau nasib buruk karena semua yang terjadi sudah semestinya demikian, sesuai dengan hokum karma masing-masing. Dan karma itu siapa penyebabnya, siapa pembuatnya? Kita sendiri! Karena itu, setiap perbuatan adalah menyebar benih, setiap peristiwa yang terjadi menimpa diri adalah penuaian dari penyebaran benih tadi, atau akibat dari perbuatan kita. Maka orang bijaksana tidak mengeluh kalau sesuatu menimpa dirinya karena sadar bahwa itu adalah hasil dari perbuatannya sendiri, lama atau baru, sedangkan kalau melakukan sesuatu, maka pekerjaan itu dilakukan tanpa pamrih imbalan apapun. Demikianlah apa yang telah dipelajari Yang Cien dari kakek nya, oleh karena itu, dia pun tidak gentar menghadapi apapun karena maklum bahwa segalanya tergantung dari padanya sendiri.

   Pemandangan di Telaga Tai-hu amatlah indah. Di tengah telaga yang besar itu terdapat beberapa pulau kecil dan banyak orang yang berpesiar naik perahu di telaga di samping perahu-perahu nelayan penangkap ikan. Ada pula orang-orang berpakaian sastrawan yang naik perahu kecil, menghadapi kitab sambil minum arak atau sambil memancing ikan.

   Seorang pemuda berpakaian sederhana naik sebuah perahu kecil dan mandayungnya mendekati sebuah pulau. Dia tertarik sekali kepada seorang laki-laki yang juga berperahu seorang diri sambil membaca sajak. Pemuda ini selain pakaiannya yang sederhana, juga gerak-geriknya amat sederhana. Rambutnya yang di gelung ke atas itu tertutup sebuah caping lebar, bajunya dari kain kasar berwarna biru dan potongannya seperti yang biasa di pakai para petani. Wajahnya yang terlindung caping itu tampan, berbentuk persegi dan berkulit putih. Alisnya tebal melindungi sepasang mata yang mencorong seperti mata naga, hidungnya mancung dan mulutnya selalu mengembangkan senyum yang ramah. Wajah yang menyenangkan, akan tetapi juga mengandung wibawa yang kuat.

   Pemuda itu adalah Yang Cien. Dia menyembunyikan Pedang Pusaka Naga Putih di dalam buntalan pakaian yang di gendongnya. Pemuda ini dalam perjalanannya merantau telah membeli beberapa potong pakaian baru yang di gendongnya dalam buntalan kain kuning.

   Ketika melakukan perjalanan merantau karena sampai selesai melatih diri dengan Kitab Bu-tek Cin-keng sutenya belum juga pulang, dia tiba di Telaga Tai-hu dan menyewa sebuah perahu. Tertarik oleh pemandangan yang amat indah itu. Ketika tadi mendengar orang membaca sajak, dia tertarik oleh kata-kata dalam sajak itu.

   "Pohonku dikuasai burung gagak

   Sarangku terancam musnah

   Namun apa dayaku?

   Semua burung dara pergi ketakutan

   Tidak ada yang berani melawan gagak

   Tiada harapan kecuali menanti munculnya

   Sang Garuda

   Pengusir burung gagak dari pohonku "

   Dia tertarik sekali karena dia dapat menangkap inti dari sajak atau nyanyian itu. Pohon dikuasai burung gagak, yaitu termasuk burung liar seperti yang terjadi sekarang. Cina bagian utara sepenuhnya di kuasai bangsa Mongol (Toba) dan semua burung dara pergi ketakutan. Bukan hanya ketakutan bahkan banyak penduduk pribumi yang menghambakan dirinya kepada kekuatan asing itu. Bahkan mendiang ayahnya juga menghambakan dirinya kepada kaisar Toba. Hal ini sebetulnya tidak di setujui kakeknya. Kakeknya seringkali menyesalkan hal itu.

   Bagaimanapun juga, seorang patriot haruslah menentang penjajahan, bukannya membantu kaum penjajah untuk memakmurkan rakyat," kata kakek nya.

   Di dalam sajak di sebutkan bahwa semua burung dara tidak ada yang berani melawan gagak, maka di harapkan munculnya sang garuda untuk mengusir burung gagak. Mengusir Bangsa Toba dari tanah air? Bukan pekerjaan mudah!.

   "Ayahmu salah langkah," kata kakeknya dahulu.

   "sepatutnya dia membantu mereka yang menentang Kaisar Toba, bukan menghambakan diri kepadanya. Di bawah kekuasaan Kaisar Toba, para pejabat melakukan koropsi dan penindasan terhadap rakyat. Mereka tidak memperdulikan nasib rakyat jelata karena menganggap tidak perlu bekerja dengan sungguh-sungguh mengingat bahwa pemerintahan itu adalah Kerajaan Mongol. Semua pejabat berlomba untuk menggendutkan diri, menebalkan kantung sendiri dan berlomba untuk mewah-mewahan.

   Para pendekar yang berjiwa patriot melihat penindasan oleh Bangsa Mongol merasa prihatin sekali. Namun pasukan Kerajaan Toba amat kuat sehingga setiap pemberontakan mengalami kegagalan. Para pejabat yang bekerja dengan sungguh-sungguh untuk kesejahteraan rakayt, seperti mendiang ayahmu, malah di musuhi oleh pejabat-pejabat tinggi yang berkuasa. Nah, mendiang ayahmu telah salah langkah, dan tidak seharusnya engkau mengikuti jejaknya itu."

   "Kakek pernah mengatakan bahwa yang membunuh ayah ibu adalah Koksu."

   "Benar. Anak buah Toat-beng Giamh-ong Lui Tat yang kini menjadi Koksu itu yang telah mengeroyok dan membunuh ayah ibumu. Dia tidak senang melihat ayahmu membela rakyat yang terindas dan berani memprotes kenaikan pajak dan kerja paksa. Pemeritah penjajah memang sifatnya menindas dan memeras, dan ayahmu telah berani menentang arus. Akan tetapi, singkirkan dendammu pribadi itu, Yang Cien. Engkau harus mempergunakan segala daya dan kepandaianmu untuk mempersatukan rakyat, mempersatukan semua kekuatan agar tidak terpecah-belah dan hanya dengan persatuan saja kiranya penjajah Mongol akan dapat di halau dari negeri kita."

   Demikianlah, percakapan itu mengiang di telinga Yang Cien ketika dia tertarik mendengar bunyi sajak yang mengandung semangat menantang penjajah itu. Dia lalu mendayung perahunya mendekat perahu orang itu. Ternyata yang membaca sajak tadi adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun yang berpakaian seperti pengemis! Kakek itu menghadapi seguci arak dan dia tadi membaca sajak sambil di seling minum arak. Yang Cien dapat menduga bahwa kakek itu tentulah bukan seorang pengemis biasa saja. Mana ada seorang pengemis berperahu, menikmati arak sambil membaca sajak?

   "Lo-cianpwe, sajakmu tadi sungguh indah!" katanya memuji.

   Kakek itu menoleh dan melihat bahwa yang memujinya seorang pemuda tampan gagah berpakaian sederhana dan bercaping lebar, dia tersenyum ramah.

   "Orang muda, kalau engkau suka sajak dan minum arak, naiklah ke perahuku. Berdua lebih menggembirakan daripada seorang diri saja."

   "Baik, lo-cianpwe dan terima kasih," kata Yang Cien gembira.

   Akan tetapi pada saat dia mengikatkan tali perahunya pada perahu kakek pengemis itu, tiba-tiba saja datang sebuah perahu besar. Perahu itu sudah dekat sekali dan dari perahu besar itu meluncur banyak anak panah ke arah mereka!.

   Kakek itu cepat menangkis dengan kedua tangannya sambil berseru "Jahanam penjilat Mongol yang busuk!" dan tubuhnya sudah melompat ke atas perahu besar. Melihat kegagahan kakek itu, Yang Cien khawatir kalau kakek itu akan menghadapi pengeroyokkan, maka diapun ikut pula melompat ke atas perahu besar.

   Benar seperti yang di khawatirkannya, kakek itu telah di kepung dan di keroyok oleh belasan orang yang memegang golok. Kakek pengemis itu menggerakkan tongkat bambunya dan mengamuk.

   Yang Cien kagum karena kakek itu ternyata lihai sekali. Biarpun dia hanya bersenjatakan sebatang tongkat bamboo sedangkan para pengeroyoknya menggunakan golok tajam, namun dia dapat menghindarkan semua serangan dengan elakkan atau tangkisan, bahkan sebentar saja sudah merobohkan empat orang pengeroyok dengan tendangan atau totokan tongkat bambunya.

   Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Kam-lokai, mata-mata busuk, kalau engkau tidak menyerah, akan mampus di tangan kami!" Dan seorang laki-laki jangkung kurus meloncat ke depan lalu menggerakkan senjatanya yang menyeramkan, yaitu sepasang kapak yang besar dan berkilauan saking tajamnya.

   "Gu-Mo-ko, kiranya engkau sudah menjual dirimu kepada orang Mongol!" Bentak kakek itu dan diapun menerjang ke arah orang kurus yang bersenjatakan sepasang kapak itu. Entah bagaimana orang tinggi kurus begitu mendapat julukan Gu Mo-ko (Setan Kerbau), mungkin sekali karena matanya yang besar seperti mata kerbau itu, atau sepasang kapaknya itu dapat di umpamakan sepasang tanduk kerbau. Akan tetapi ternyata Gu Mo-ko in ilihai sekali. Begitu dia menyerang dengan sepasang kapaknya yang berat, kakek itu segera terdesak karena Gu Mo-ko masih di bantu belasan orang anak buahnya.

   Melihat itu, sekarang Yang Cien tidak meragu lagi untuk membantu. Tadi dia melihat kakek itu tidak terdesak, maka dia pun tidak membantu dan hanya menonton. Akan tetapi sekarang, kakek itu sungguh terdesak hebat, maka diapun sudah mengambil pedangnya dari buntalan pakaiannya dan meloncat ke depan. Dia segera dihadang lima orang anak buah Gu Mo-ko yang menyerangnya dengan golok. Akan tetapi begitu memutar Pek-liong-Po-Kiam, terdengar suara nyaring berturut-turut dan lima batang golok patah menjadi dua! Tentu saja lima orang itu terkejut bukan main, dan Yang Cien hendak melompat maju.

   Pada saat itu terdengar kakek Kam Lo-kai (Pengemis Tua Kam) mengeluh dan dia terhuyung ke belakang, pundaknya terbabat sebatang kapak dan dia terluka parah.

   Kapak kedua menyusul membabat ke arah lehernya, akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan biru dan "tranggg..." "kapak yang menyambar leher Kam Lo-kai itu pun patah menjadi dua! Tentu saja Gu Mo-ko terkejut dan meloncat ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan Yang Cien untuk menyambar tubuh Kam Lo-kai dan membawanya meloncat ke bawah, ke perahunya sendiri, merebahkan kakek itu di dalam perahu dan dia cepat mendayung perahunya meninggalkan perahu besar.

   Beberapa batang anak panah menyambar dari perahu besar. Yang Cien menyampok dengan tangannya dan menangkap sebatang anak panah, kemudian melontarkan ke atas perahu dan terdengarlah seorang pemanah menjerit dan roboh terkena anak panahyang di lemparkan Yang Cien. Melihat kehebatan anak muda itu, semua orang di atas perahu besar menjadi gentar dan mereka tidak melakukan pengejaran, membiarkan Yang Cien pergi membawa kakek yang sudah terluka parah itu.

   Setibanya di darat, Yang Cien menalikan perahunya dan terdengar kakek itu merintih. Yang Cien berlutut di perahu.

   "Bagaimana, lo-cianpwe, keadaanmu?"

   Kakek itu menggeleng kepala dan ketika Yang Cien memeriksa dia terkejut. Pundah itu putus terbabat kapak dan lukanya parah sekali sampai ke dada. Keselamatan orang yang terluka seperti itu sukar di pertahanankannya.

   "Orang muda.... Siapapun adanya engkau.... Bantulah kami yang berusaha mengusir penjajah dari tanah air.... Kausampaikan suratku... ambil surat itu dari saku bajuku....

   "Yang Cien mengambil sepucuk surat itu dari saku dalam baju pengemis itu.

   "Untuk apa surat ini, lo-cianpwe?".

   "Kauberikan.... Surat... kepada..... Gubernur Gak di Nam-kiang...""..

   "kakek itu terkulai dan tewas.

   Yang Cien menghela napas panjang dan menutupkan kedua mata yang masih terbuka itu. Kemudian dia memondong jenazah itu dan membawanya ke darat.

   Dia merebahkan mayat itu di atas tanah di tepi danau, lalu menggali lubang sambil termenung. kakek itu, walaupun melihat namanya memang seorang tokoh pengemis kang-ouw, ternyata mempunyai jiwa patriot. Agaknya dia menjadi mata-mata untuk memata-matai pemerintah. Dan agaknya Gubernur Gak di Nam-kiang juga seorang pejuang. Dia sendiri, seorang yang tadinya tidak mempunyai sangkut paut dengan perjuangan, kini tiba-tiba saja menjadi seorang yang membantu para pejuang! Akan tetapi dia belum mengambil keputusan untuk membantu Gubernur Gak karena dia belum mengerti dan belum tahu apa yang diperjuangkan oleh Gubernur Gak. Pada saat ini dia hanya membantu Kam Lo-kai yang di anggapnya seorang sahabat yang kebetulan bertemu di Tai-hu dan yang hanya mengharapkan pertolongannya menyampaikan sepucuk surat kepada Gubernur Gak.

   Setelah selesai mengubur jenazah itu dan memberi hormat sekadarnya dengan sederhana tanpa upacara sembahyang, Yang Cien lalu meninggalkan tempat itu, menuju ke selatan.

   Ketika Yang Cien berjalan tiba di lereng sebuah bukit, tiba-tiba saja dari balik semak belukar berloncatan banyak orang dan nampak tiga orang tinggi besar bersama dua belas orang anak buahnya telah menghadang perjalanannya!.

   Yang Cien sudah menduga bahwa mereka itu memang menghadangnya, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan hendak melangkah terus. Akan tetapi tiga orang tinggi besar itu menghalangi jalannya dan berseru keras.

   "Orang muda, berhenti kau!"

   Yang Ciean berhenti dan memandang mereka penuh perhatian. Tiga orang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu seperti tiga orang raksasa, sekepala lebih tinggi darinya dan wajah mereka nampak bengis. Seorang yang tertua memegang sebatang golok, orang kedua memegang sebatang pedang dan orang ketiga memegang sebatang ruyung besi.

   Mereka nampak kuat sekali dan orang pertama yang memegang golok maju ke depan. Mereka bertiga itu terkenal dengan julukan Huang-ho Sam-how (Tiga Harimau Sunagi Kuning), terdiri dari tiga orang kakak beradik bernama Ceng Hauw, Ceng Kiat dan Ceng Lung.

   Ceng Hauw orang tertua berkata dengan suaranya yang parau kasar.

   "Orang muda, engkaukah yang telah membantu Kam Lo-kai dan mengubur mayatnya?".

   "Benar, aku yang mengubur jenazah Kam Lo-kai," jawab Yang Cien.

   "Hemmm, siapakah namamu, orang muda?"

   "Namaku Yang Cien."

   "Kami masih menyayangi usia mudamu. Yang Cien, sebaiknya engkau cepat menyerahkan surat yang kau terima dari Kam Lo-kai itu kepada kami!".

   "Mendiang Kam Lo-kai tidak pernah menitipkan surat kepadaku untuk di serahkan kepada kalian!" kata Yang Cien dengan suara sungguh-sungguh.

   "Memang bukan untuk kami. Surat itu untuk Gubernur Gak, bukan? Nah, serahkan kepada kami, cepat!".

   "Kalau kalian tahu bahwa surat itu bukan untuk kalian, mengapa kalian memintanya? Itu tidak sopan dan tidak benar."

   Tiga orang Huang-ho Sam-houw itu menjadi marah.

   Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Toako, bunuh saja bocah ini dan rampas suratnya!" kata Ceng Kiat.

   "Benar, hajar saja dia!" kata pula Ceng Lung

   "Hem, aku merasa sayang karena sebetulnya dia tidak tersangkut hanya kebetulan saja menerima surat dari Kam Lo-kai. Orang muda, ku harap engkau menyerahkan surat itu. Kalau tidak, tubuhmu akan menjadi seperti ini!" Berkata demikian, Ceng Houw mengayun goloknya membabat sebatang pohon dan batang pohon itu roboh seketika, terpotong oleh golok tajam yang di gerakkan dengan tenaga amat kuatnya itu.

   "Atau seperti ini!" kata pula Ceng Kiat dan sebatang pohon lain tumbang oleh sabetan pedangnya.

   "Atau ini?" bentak Ceng Lun dan terdengar suara keras, batu gunung sebesar kepala kerbau itu remuk di hantam ruyungnya. Melihat ini, Yang Cien tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki tenaga besar dan merupakan lawan cukup tangguh. Namun, tentu saja dia tidak takut dan tidak ingin menyerahkan surat yang seolah baginya merupakan wasiat seorang yang telah meninggal dunia.

   "Maaf, sam-wi tidak berhak menerima surat itu, terpaksa saya tidak dapat menyerahkan."

   "Engkau mencari mampus!" bentak tiga orang tinggi besar itu dan mereka sudah menggerakkan senjata untuk menyerang. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan dua orang dan muncullah seorang to-kouw (Pendeta perempuan) dan seorang gadis cantik berdiri di situ. Tokouw itu memegang sebuah kebutan yang bulunya putih.

   "Tahan senjata!" seru Tokouw itu dengan suara nyaring.

   "Kalian ini orang-orang banyak hendak memaksa seorang pemuda? Kalau dia tidak mau menyerahkan sesuatu, tidak semestinya kalau kalian memaksanya."

   Huang-ho Sam-houw mengerutkan alisnya.

   "Tokouw, harap engkau jangan mencampuri urusan kami!" bentak Ceng Hauw marah.

   "Pergilah dan jangan usil."

   "Kami tidak usil, dan tentu saja kami akan campur tangan kalau melihat kejahatan dilakukan orang. Kalian tidak boleh memaksa pemuda ini melakukan sesuatu yang tidak dia sukai."

   Ceng Haouw memberi aba-aba kepada anak buahnya.

   "Serang...""! "

   Dua belas orang anak buahnya mengepung sambil menghunus senjata golok atau pedang mereka. Akan tetapi, nampak dua sianr berkilat ketika To-kouw dan gadis itu mencabut pedang mereka dan segera terjadi pertempuran yang berat sebelah. Dalam waktu singkat saja, gadis dan tokouw itu sudah merobohkan enam orang. Melihat ini, Huang-ho Sam-houw menjadi marah. Dengan teriakan ganas mereka menerjang dengan senjata mereka. Ceng Haouw yang bergolok dan Ceng Kiat yang berpedang menyerang tokouw itu, sedangkan Ceng Lun menggunakan rutungnya untuk menerjang gadis yang memegang pedang dengan ronce merah. Sisa enam orang anak buah gerombolan itu pun ikut pula mengeroyok, akan tetapi dari jarak jauh karena mereka gentar menghadapi pedang tokouw dan nona itu.

   Yang Cien yang berdiri di pinggiran memandang dengan kagum. Dia melihat betapa tokouw dan nona itu amat lihai sehingga tidak perlu di bantu. Maka dia pun hanya menonton saja. Tokouw itu amat lihainya, bukan saja pedangnya mampu menahan golok dan pedang lawan, akan tetapi juga kebutan di tangan kiri nya merupakan senjata yang ampuh sekali. Bulu-bulu hudtim (kebutan pendeta) itu kadang dapat menjadi tegang dan keras oleh kekuatan sinking yang terkandung di dalamnya. Dapat pula dipakai melibat, dapat pula di pakai menotok.

   Baru belasan jurus saja, Ceng Haouw dan Ceng Kiat terdesak hebat. Tiga orang anak buah yang mencoba-coba untuk membantu, sudah lebih dulu roboh.

   Pertandingan antara Ceng Lund an gadis itu pun tidak seimbang. Ruyung di tangan Ceng Lun itu memang berat dan di gerakkan dengan tenaga gajah sehingga berbunyibersiutan ketika menyambar. Batu saja remuk kena hantaman ruyung ini, apalagi tubuh gadis cantik itu. Akan tetapi nyatanya, gerakan gadis itu cepat seperti seekor burung wallet sehingga semua sambaran ruyung tidak pernah mengenai sasaran dan sebaliknya. Serangan balik dari pedang di tangan gadis itu beberapa kali hampir saja mengenai leher dan dada Ceng Lun.

   Juga tiga orang anak buah yang membantunya sudah lebih dulu roboh di sambar sinar pedang gadis itu.

   Akhirnya, Huang-ho Sam-houw maklum bahwa kalau di lanjutkan, mereka tidak akan menang. Mereka lalu berteriak memberi aba-aba dan semua anak buahnya melarikan diri secepatnya, ada yang terpincang, ada yang berloncat-loncatan, bahkan ada yang merangkak pergi. Huang-ho Sam-houw sendiri sudah melarikan diri dengan cepat meninggalkan tokouw dan gadis yang berbahaya itu.

   Tokouw dan gadis itu tidak mengejar, hanya mengikuti mereka yang melarikan diri sambil tersenyum. Kalau mereka mengejar, tentu semua anak buah itu dapat mereka bantai karena lari mereka tidak cepat.

   Yang Cien cepat memberi hormat kepada mereka.

   "Ji-wi telah menolong saya. Untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih."

   "Orang muda, siapakah engkau? Siapa namamu?"

   "Nama saya Yang Cien, Sian-kouw "

   "Perkenalkan, pin-ni (aku yang bodoh) di sebut Im-yang Tokouw dan aku adalah wakil ketua dari Thian-li-pang, dan ini adalah murid pin-ni bernama Kwe Sun Nio.

   Yang Cien, kami melihat engkau tadi menguburkan jenazah Kam Lo-kai, engkau mempunyai hubungan apakah dengan Kam Lo-kai?".

   "Tidak ada hubungan apapun, Sian-kouw. Kami hanya bertemu ketika kami berdua berperahu di Tai-hu, kemudian dia tewas di keroyok orang jahat dank arena dia tidak mempunyai siapa-siapa aku lalu menguburkan jenazahnya. Tentu sangat sederhana, di tepi telaga."

   "Bagus, engkau seorang yang berperikemanusiaan, Yang Cien. Dan sebelum Kam Lo-kai meninggal dunia, dia memesan apa kepadamu?".

   Yang Cien mengerutkan alisnya.

   "Sian-kouw, maafkan aku. Pesanan seorang mati merupakan wasiat, apalagi dia berpesan agar aku tidak memberitahukan siapapun, oleh karena itu terpaksa aku juga tidak dapat memberitahukan kepadamu."

   "Begini, Yang Cien, engkau harus dapat membedakan mana orang baik dan mana orang jahat. Kami yakin engkau menerima pesan penting dari mendiang Kam Lo-kai dan kalau kau pertahankan pesan itu untukmu sendiri, bagaimana kalau nanti bermunculan orang jahat seperti tadi? Tidak aman kalau berada padamu. Oleh karena itu, berikan saja kepada pin-ni yang tentu pesan itu akan di sampaikan dengan selamat kepada yang berhak menerimanya.

   "Sekali lagi maaf, Sian-kow. Aku tidak dapat memberitahukan apa-apa atau memberikan kepadamu. Apa yang terjadi antara Kam Lo-kai dan aku merupakan rahasia yang tidak akan ku katakana kepada siapa pun juga."

   "Yang Cien, engkau sungguh keras kepala, Bagaimana kalau aku memaksamu?"

   "Terserah kepadamu, Sian-kouw. Tetap tidak akan ku berikan."

   "Engkau berani menentangku?".

   "Apa boleh buat, engkau yang memaksaku."

   "Bocah sombong, rasakan ini!" Tokouw itu lalu menggerakkan kebutannya. Bulu kebutan menjadi tegang dan meluncur dengan totokan ke arah pundak Yang Cien.

   Yang Cien merasa penasaran juga. Ternyata tokouw ini juga menghendaki surat dari Kam Lo-kai itu. Akan tetapi, bagaimana pun, tokouw dan nona ini tadi sudah membantunya, bagaimana kini akan menjadi lawannya. Totokan kebutan itu di elakkannya dengan mudah, akan tetapi agaknya tokouw itu ingin mengujinya atau memang marah. Kebutannya sudah bergerak lagi, berputaran dan mendatangkan gulungan sinar putih melakukan totokan berulang-ulang. Yang Cien terpaksa mengerahkan tenaga dan sekali tangannya menangkis dengan sentilan jari tangannya, kebutan itu membalik dan beberapa helai bulunya rontok!.

   "Ihhh.....! "Sian-kouw itu terkejut bukan main, hampir tidak percaya bahwa sentilan jari tangan itu dapat membuat kebutannya membalik dan merontokkan bulu kebutannya. Akan tetapi ketika di lihatnya, pemuda itu telah melompat jauh dan gerakannya sedemikian cepatnya sehingga dengan beberapa kali lompatan saja tubuhnya sudah lenyap.

   Im Yang Sian-kouw menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya.

   "Hebat...".! Tak ku sangka pemuda itu demikian hebatnya. Kalau begitu, kita tidak perlu khawatir surat itu akan dapat terampas orang, hanya siapa tahu pemuda itu tidak akan menyampaikannya kepada Gubernur Gak?"

   Yang Cien memang mempergunakan ilmunya berlari secepat terbang meninggalkan Im Yang Sian-kouw dan Kwe Sun Nio karena dia tidak ingin berkelahi melawan kdeua orang itu.

   Ketika tiba di Nam-kiang dengan mudah saja dia dapat menemukan rumah Gubernur Gak, akan tetapi seperti biasanya, tidak mungkin setiap orang dapat menemui orang yang tertinggi kedudukannya di daerah itu. Yang Cien di tahan oleh para penjaga di depan pintu gerbang gedung tempat tinggal Gubernur Gak.

   "Tidak mungkin menghadap Gubernur Gak. Lebih dulu daftarkan nama dan keperluannya, baru kami laporkan ke dalam dan kalau Gubernur berkenan menerimamu, baru engkau boleh pergi menghadap," kata kepala jaga. Yang Cien menghela napas panjang. Betapa sulitnya bertemu orang besar, pikirnya. Dia lalu mendaftarkan namanya dan untuk keperluannya dia menerangkan bahwa dia mohon menghadap Gubernur Gak untuk menyampaikan pesan dari Kam Lo-kai.

   Ternyata nama Kam Lo-kai itu amat berpengaruh. Kepala jaga yang melihat nama ini di sebut, segera membawa daftar itu ke dalam untuk melapor kepada Gubernur Gak dan tak lama kemudian dia keluar lagi dan sikapnya berubah ketika dia mempersilahkan Yang Cien masuk dan menunggu di kamar tamu.

   Terdengar langkah kaki dari dalam, akan tetapi bukan hanya satu orang. Muncullah seorang laki-laki setengah tua d\yang dari pakaiannya saja Yang Cien dapat menduga bahwa orang inilah gubernurnya. Akan tetapi yang membuat dia kaget dan bengong adalah dua orang yang ikut datang bersama gubernur itu. Im Yang Sian-kouw dan Kwee Sun Nio! Dengan sendirinya semua urat syaraf di tubuh Yang Cien menegang dan alisnya berkerut, matanya dengan tajam menatap kedua orang wanita itu.

   "Engkaukah yang bernama Yang Cien dan membawa pesan dari Kam Lo-kai untuk kami?" Tanya Gubernur itu.

   Yang Cien baru menyadari sikapnya dan dia cepat memberi hormat kepada gubernur itu.

   "Benar, taijin. Saya bernama Yang Cien dan hendak menyampaikan pesan dari mendiang Kam Lo-kai, akan tetapi..."" "dia memandang kepada dua orang wanita itu.

   "Jangan heran, Yang Cien. Ketahuilah bahwa Im Yang Sian-kouw hanya hendak mengujimu, hendak mengetahui apakah engkau setia kepada mendiang Kam Lokai dan apakah engkau memiliki kemampuan untuk mempertahankan surat pesanan itu. Iam Yang Sian Kouw adalah utusan kami untuk menjemput Kam Lokai akan tetapi dia dan muridnya terlambat."

   Barulah Yang Cien mengerti dan dia pun menceritakan pertemuannya dengan Kam Lokai sampai terlukanya Kam Lokai dan tewasnya pengemis tua itu, juga tentang pesan yang diberikan kepadanya. Lalu dia mengeluarkan surat itu dan menyerahkannya kepada Gubernur Gak.

   Gubernur membuka surat itu dan membacanya. Dia mengerutkan alisnya dan nampak gelisah, kemudian dia memandang kepada Yang Cien.

   "Yang Cien, kami berterima kasih sekali atas bantuanmu ini. Engkau telah berjasa dan kami akan memberi hadiah besar kepadamu."

   "Ah, bukan hadiah yang saya harapkan, taijin. Saya melakukan ini untuk mendiang Kam Lokai, bukan untuk taijin. OLeh karena itu saya tidak mengharapkan hadiah sama sekali. Nah, sesudah saya menyampaikan surat ini kepada yang berhak menerimanya, perkenankan saya berpamit, taijin."

   "Engkau benar tidak ingin menerima hadiah, Yang Cien?".

   "Terima kasih, taijin. Saya tidak menghendaki apapun. Selamat tinggal."

   Yang Cien lalu mengundurkan diri, keluar dari ruangan tamu itu.

   Setelah Yang Cien pergi, Gubernur Gak memuji.

   "Seorang pemuda yang baik. Akan tetapi kita tidak boleh membiarkan dia mengetahui urusan kita, karena siapa tahu dia berdiri di pihak mana. Dia tentu seorang yang berwatak pendekar, akan tetapi mungkin saja dia tidak setuju dengan pendirian kita."

   "Benar, taijin. Kalau belum yakin betul tentang watak dan sikapnya, tentu saja tidak semestinya kita memberitahu kepadanya. Taijin maaf, apakah pesan yang di bawa Kam Lokai itu?".

   "Penting sekali. Ternyata kini Koksu telah menghimpun tenaga, bahkan Kaisar Julan Khan telah menerima seorang yang lihai dan mengangkatnya menjadi pembantu Koksu."

   "Siapakah dia, taijin?"

   "Dia seorang datuk dari timur, julukannya Thian-te Ciu-kwi."

   "Ah, dia? Kalau begitu, kedudukan Koksu kini menjadi semakin kuat. Kalau dia mengumpulkan datuk-datuk persilatan untuk memperkuat kedudukannya, maka pengaruhnya akan menjadi semakin besar."

   "Koksu dan Perdana Menteri Ji memang merupakan penghalang besar dari gerakan kita, taijin. Sebelum menghancurkan kedua orang itu dan para pembantunya, kiranya akan sukar untuk mengusir penjajah Toba dari tanah air."

   "Dan lebih celaka lagi, Kaisar telah memanggil pulang Coa-ciangkun dan menarik mundur pasukan. Aku heran, mengapa kaisar tiba-tiba saja melakukan sesuatu hal ini? Apakah dia sudah mendengar sesuatu yang membuat dia sudah mendengar sesuatu yang membuat dia curiga kepada Coa-ciangkun?".

   "Pin-ni khawatir bahwa ini adalah ulah Perdana Menteri Ji dan Koksu Lui. Sejak dahulu mereka berdua ini tidak akur dengan Coa-ciangkun. Bahkan Coa-ciangkun sampai di kirim ke selatan adalah karena kaisar makan bujukan mereka berdua agar Coa-ciangkun jauh dari kota raja dimana Coa-ciangkun suka menentang peraturan yang menindas rakyat. Akan tetapi kenapa sekarang tiba-tiba Panglima Coa di panggil pulang?".

   "memang mencurigakan sekali. Sekarang harap tokouw suka pergi ke perbatasan menemui Panglima Coa, juga melaporkan tentang masuknya datuk sesat Thian-te Ciu-kwi menjadi pembantu Koksu. Kalau mungkin, harap bujuk agar Panglima Coa tidak kembali ke kota raja karena aku khawatir sekali bahwa panggilan ini merupakan jebakan bagi Panglima Coa."

   "Baik, taijin. Mari Sun Nio, kita berangkat sekarang juga."

   Guru dan murid itu lalu meninggalkan gedung Gubernur Gak untuk melaksanakan tugas mereka mendatangi Panglima Coa di garis depan, perbatasan dengan Kerajaan Sun.

   Yang Cien berjalan-jalan seorang diri di kota Nam-kiang. Ketika melihat sebuah rumah makan, dia pun merasa lapar dan memasuki rumah makan itu. Begitu dia memasuki rumah makan, bukan pelayan yang menghampirinya, melainkan seorang berpakaian satrawan yang usianya sekitar tiga puluh tahun.

   "Selamat siang, sobat. Apakah engkau ingin makan minum?".

   "Benar," jawab Yang Cien dengan heran, karena tidak mungkin kalau orang ini pelayannya. Pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang terpelajar.

   "Aku melihat engkau datang seorang diri, dan kebetulan sekali akupun seorang diri sedang makan minum di sini.

   Sejak tadi aku mencari-cari seorang kawan untuk makan minum karena aku merasa kesepian sekali. Kebetulan engkau muncul, maka kalau engkau tidak berkeberatan, aku mengundangmu untuk makan minum bersamaku sambil mengobrol. Maukah engkau, sobat?".

   Ajakan itu sungguh ramah dan orang itupun kelihatan sopan terpelajar. Yang Cien menjadi tertarik sekali dan diapun mengangguk sambil tersenyum.

   "Terima kasih, sobat. Tentu saja aku merasa senang sekali."

   Orang itu lalu membawa Yang Cien ke sebuah meja yang penuh makanan dan belum di jamah.

   "Nah, silahkan makan minum bersamaku, saudara..."..."

   "Yang Cien, namaku Yang Cien."

   "Bagus, saudara Yang Cien. Namaku Thio Swi," orang itu memperkenalkan dirinya. Dia lalu menuangkan arak ke dalam cawan di depan Yang Cien, juga di depannya sendiri.

   Pada saat itu, masuklah seorang berpakaian pengemis yang membawa tongkat dan mangkok retak, meminta-minta sedekah dari para tamu. Dan dia mendekati Yang Cien menadahkan tangannya kepada pemuda itu. Gerakan tangan itu menarik perhatian Yang Cien karena seperti gerakan silat dan ketika dia memandang dia melihat dua buah. Dan huruf-huruf itu mengejutkan hatinya karena tertulis ARAK BERACUN.

   Akan tetapi Yang Cien telah melatih diri sehingga dia mampu menguasai dirinya. Pengemis setengah tua itu sudah pergi lagi tanpa satrawan itu mengetahui bahwa diam-diam pengemis ini memberi peringatan kepada Yang Cien.

   "Saudara Yang Cien, mari kita minum untuk pertemuan dan persahabatan."

   "Maafkan, saudara Thio Swi. Aku sedang berpantang minum arak. Aku baru saja bersumpah kepada ibuku untuk tidak minum arak setetespun. Aku tidak berani, biar aku minum the saja."

   "Eh, kenapa begitu? Kenapa engkau bersumpah kepada ibumu tidak akan minum arak setetespun?".

   Yang Cien tersipu.

   "Aku pulang dalam keadaan mabok keras. Ibuku marah dan menyuruh aku bersumpah bahwa selama tiga bulan aku tidak akan menyentuh arak dan tidak minum setetespun. Baru berjalan satu bulan, masih dua bulan lagi aku berpantang minum arak."

   Sastrawan itu kelihatan mengerutkan alisnya dan sekarang berubahlah sikapnya yang tadinya sopan.

   "Aih, saudara Yang Cien. Kalau engkau minum secawan ibumu juga tidak akan tahu. Asal engkau tidak minum sampai mabok. Ini hanya untuk merayakan pertemuan kita.....

   "kata Thio Swi sambil mengangkat cawannya, mengajak Yang Cien minum.

   "Maaf, saudara Thio Wi. Aku tidak berani."

   "Yang Cien, kalau engkau tidak mau minum, berarti engkau tidak menghormatiku, tidak menerima maksud baikku, bahkan menghinaku!".

   Yang Cien bangkit berdiri.

   "Kalau begitu, biarlah aku duduk di meja lain dan tidak akan mengganggumu, saudara Thio Wi."

   Thio Swi mendadak bangkit berdiri dan menggebrak meja.

   "Engkau bahkan berani menolak undanganku yang bermaksud baik? Sungguh engkau menghinaku, engkau menantangku!".

   Dan Thio Swi melemparkan arak dalam cawannya ke arah muka Yang Cien. Namun Yang Cien telah waspada dan dengan mudah dia miringkan kepalanya mengelak.

   Akan tetapi Thio Swi semakin marah. Dia melompati meja dan menyerang dengan pukulan tangan kanan. Gerakannya gesit dan ringan, pukulannya juga mengandung tenaga yang kuat. Yang Cien menggerakkan tangan menangkis.

   "Dukkk!" Kedua lengan bertemu dan akibatnya Thio Swi menyerengai karena merasa lengannya nyeri seolah tulangnya akan patah. Dia lalu mencabut pedangnya dan menyerang dengan dahsyat.

   Kiranya dia menyembunyikan pedang di balik jubah sastrawan yang longgar itu. Kembali Yang Cien mengelak dan dia di serang secara bertubi-tubi oleh sebuah bangku dan melontarkan bangku itu ke depan. Thio Swi membacok bangku itu sehingga terpotong menjadi dua, akan tetapi pada saat itu kaki Yang Cien telah mencuat dan mengenai pahanya.

   "Desssss! Tubuh Thio Swi terlempar ke belakang dan menimpa meja. Thio Swi terbelalak, agaknya sama sekali tidak dapat mengerti bagaimana dia yang berpedang dapat di robohkan demikian mudah nya oleh lawan. Sementara itu, perkelahian telah menarik perhatian banyak orang dan para pelayan dan pemilik rumah makan berteriak-teriak membujuk agar mereka jangan berkelahi di tempat itu. Thio Swi yang maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang amat berbahaya, setelah dapat bangkit berdiri lalu mengambil langkah panjang meninggalkan rumah makan itu.

   Yang Cien dengan tenang memanggil pemilik rumah makan dan berkata.

   "Harap paman hitung semua kerugian yang di akibatkan keributan ini. Aku akan mengganti semua kerugian ini. Aku akan mengganti semua kerugian itu!" Dan dia pun mengambil secawan arak yang di suguhkan kepadanya, lalu mencelupkan telunjuknya lalu menjilat telunjuk itu.

   Dia dapat merasakan sesuatu yang keras pada lidahnya dan tahulah dia bahwa pengemis tadi tidak berbohong. Arak itu beracun! Dia menuangkan arak ke atas lantai dan setelah kerugiannya di hitung, Yang Cien mengeluarkan sepotong emas dan membayar kerugian yang di derita rumah makan itu. Kemudian dia keluar dari rumah makan tanpa memesan makanan apa-apa karena dia tidak ingin menjadi perhatian orang.

   Ketika tiba di sebuah tikungan, dia melihat pengemis yang tadi memberi peringatan kepadanya berdiri di tepi jalan sambil menadahkan tangannya yang memegang mangkok retak. Di dalam mangkok itu telah terdapat beberapa uang receh. Yang Cien menghampirinya dan dia berkata.

   "Sobat, banyak terima kasih atas peringatanmu tadi."

   Pengemis itu berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, dia memandang ke kanan kiri setelah mendapat kenyataan tidak ada orang lain yang memperhatikan mereka, dia lalu berbisik.

   "Taihap kami semua ingin berkenalan dan menghaturkan terima kasih kepada taihap atas apa yang taihiap lakukan terhadap mendiang Kam Lokai. Karena itu, apabila taihiap tidak merasa rendah mari ikuti aku ke tempat kami, taihiap."

   Yang Cien terkejut. Dia heran sekali melihat apa yang telah di alami selama ini di daerah selatan ini. Agaknya di tempat ini tersebar banyak mata-mata yang tahu belaka akan gerak-geriknya. Huang-ho Sam-houw, kemudian mereka yang menghadangnya di hutan, dan tokouw bersama muridnya itu, selanjutnya pemuda sastrawan bernama Thio Swi dan yang terakhir pengemis ini. Mereka itu semua telah mengetahui apa yang telah dia lakukan tanpa dia tahu sama sekali mengenai mereka. Agaknya dia akan mendapat keterangan yang jelas dari pengemis ini. Mengingat bahwa semua peristiwa itu berawal dari pertemuannya dengan seorang kakek pengemis, maka sebaiknya di akhiri dengan pertemuannya dengan pertemuannya dengan para pengemis, agas emua persoalannya menjadi jelas

   "Baiklah," katanya dan diapun mengikuti pengemis itu yang keluar dari kota Nam-kiang. Pengemis itu tanpa menoleh terus berjalan di ikuti dari jarak jauh oleh Yang Cien agar tidak menarik perhatian orang lain. Ketika tiba di kaki sebuah bukit, pengemis itu berbelok ke kiri dan mendaki sebuah bukit itu. Bukit yang penuh dengan hutan bamboo dan akhirnya mereka tiba di sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi di lereng bukit itu. Dan di situ nampak banyak sekali pengemis, semua tinggal di gubuk-gubuk yang di dirikan di sekitar lereng bukit itu.

   Yang Cien di terima di ruangan kuil yang luas dan sudah kosong. Mereka semua duduk di atas lantai bertilamkan jerami kering. Seorang pengemis berusia lima puluh tahun, berjenggot panjang dan memegang sebatang tongkat hitam, diperkenalkan sebagai ketua mereka. Pengemis itu nampak berwibawa sekali walaupun pakaiannya dari kain hitam yang penuh tambalan.

   "Selamat datang di tempat kami, Yang Taihiap.

   "Kembali orang ini sudah mengenal namanya, pikir Yang Cien, tidak heran lagi.

   "Engkau siapakah, paman?" tanyanya karena tadi diperkenalkan tanpa menyebut nama.

   "Aku bernama Song Pa, ketua dari perkumpulan pengemis di sini. Perkumpulan kami memakai nama Hek I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Pakaian Hitam) dan aku adalah ketua cabang Nam-kiang. Pusat kami berada di Nan-king. Dan Kam Lo-kai yang tewas itu adalah seorang tokoh dari pusat."

   "Ahhhh...""! "Kini mengertilah Yang Cien mengapa dia menjadi pusat perhatian. Kiranya kakek pengemis yang di tolongnya itu merupakan tokoh besar di antara mereka.

   "Duduklah, taihiap," kata Song Pa, dan Yang Cien ikut bersama mereka duduk di lantai, bersila.

   "Kami semua menghaturkan terima kasih atas semua kebaikan yang taihiap lakukan kepada Kam Lokai!" Dan tiba-tiba ketua cabang itu berlutut di turut oleh semua anak buah nya.

   Tentu saja Yang Cien menjadi gugup sekali.

   "Ah, jangan begitu, pangcu. Yang ku lakukan itu adalah secara kebetulan saja karena aku merasa kagum kepada Kam Lokai yang pandai bersajak. Harap jangan bersikap begini, atau aku akan meninggalkan tempat ini!".

   Semua orang bangkit dari berlutut dan duduk kembali.

   "Semenjak taihiap menguburkan jenazah Kam Lokai, anak buah kami selalu membayangi taihiap sehingga sempat menolong taihiap ketika taihiap terancam oleh Thio Swi itu."

   
Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Akan tetapi, aku menjadi bingung dengan semua rentetan peristiwa yang ku alami, pangcu. Maukah engkau memberi penjelasan kepadaku? Siapakah Kam Lokai dan apa pekerjaannya yang berhubungan dengan surat yang di sampaikan kepada Gubernur Gak itu. Dan siapa pula orang-orang yang membunuhnya, dan orang-orang yang menghadangku untuk merampas surat? Kemudian, siapa pula Thio Swi dan apa hubungan kalian dengan Gubernur Gak? Apa artinya surat itu dan apakah yang sesungguhnya sedang terjadi?".

   

Asmara Si Pedang Tumpul Eps 5 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 14 Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 4

Cari Blog Ini