Ceritasilat Novel Online

Sepasang Naga Lembah Iblis 5


Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 5




   Ketua pengemis itu mengelus jenggot panjangnya dan berkata.

   "Agaknya taihiap adalah seorang pendekar yang baru saja memasuki dunia kang-ouw dan yang secara kebetulan dan tidak di sengaja terlibat dalam urusan ini. Ketahuilah bahwa Kam Lokai seperti kami katakan tadi adalah seorang tokoh Hek I Kaipang, dan perkumpulan kami adalah perkumpulan yang mendukung usaha para pendekar patriot yang hendak membebaskan tanah air dari penjajahan bangsa Toba. Karena itu, Kam Lokai tidak menolak ketika di mintai bantuan oleh Coa-ciangkun, seorang yang menjadi Panglima bangsa Toba, untuk menyelidiki keadaan di kota raja, terutama keadaan Koksu dan Perdana Menteri. Ketahuilah, taihiap, bahwa sebetulnya kaisar Julan Khan adalah seorang kaisar yang tidak becus dan berenang dalam kemewahan. Bahwa sebetulnya yang berkuasa penuh adalah Perdana Menteri Ji Sun Cai dan Koksu Lui Tat.

   Terutama Koksu Lui Tat adalah seorang yang besar kekuasaan nya dan dia pun seorang yang amat pandai dan lihai, dengan julukan Toat-beng Giam-ong".

   Diam-diam Yang Cien terkejut bukan main mendengar nama julukan ini karena yang membunuh orang tuanya adalah Toat-beng Giam-Ong dan yang mengejar-ngejar dia dan kakeknya dahulu juga adalah orang ini, atau tentu saja anak buahnya.

   "Hemmm, nama Toat-beng Giam-ong itu pernah ku dengar, pangcu. Lalu bagaimana?".

   "Nah, Kam Lokai mendapat tugas itu lalu melakukan penyelidikan. Tentu saja dengan bantuan anak buah Hek I Kaipang yang banyak pula berada di kota raja karena perkumpulan kita memiliki cabang hamper di seluruh negeri. Dia mendengar bahwa Koksu telah memperoleh bantuan seorang yang juga amat lihai bernama Thian-te Ciu-kwi bersama seorang muridnya. Dengan demikian, maka tentu saja kekuatan Koksu itu semakin besar dan inilah yang di sampaikan dalam surat itu oleh Kam Lokai. Kebetulan dia bertemu taihiap ketika di serang oleh anak buah Koksu dan dapat menitipkan surat itu kepadamu."

   "Hem jadi pembunuh Kam Lokai adalah anak buah Toat-beng Giam-ong?"

   "Benar, taihiap. Juga mereka yang menghadang taihiap untuk minta surat itu adalah anak buahnya. Dia memiliki mata-mata dan anak buah di mana-mana dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Juga Thio Swi itu adalah seorang di antara kaki tangannya, seorang anak buah kami melihat taihiap di undang makan minum, dia segera memberi peringatan kepada taihiap tentang arak beracun."

   Yang Cien mengangguk-angguk maklum.

   "Dan siapa pula Im Yang Tokouw dan muridnya itu?".

   "Mereka? Mereka adalah tokoh-tokoh Thian-li-pang, sebuah perkumpulan yang berjiwa patriot yang sedang mempersiapkan kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan Toba."

   Yang Cien tertarik sekali. Memang mendiang kakeknya juga berulang kali berpesan agar dia berusaha untuk mempersatukan semua kekuatan untuk mengusir Bangsa Toba dari tanah air.

   "Kapan akan di adakan gerakan perjuangan itu?" tanyanya.

   Song Pancu menghela napas dan mengepal tinju.

   "Tidak mudah, sama sekali tidak mudah, taihiap. Memang bangsa kita banyak yang masih bodoh. mudah tergiur oleh harta dan kemuliaan, banyak pula yang berambisi ingin mencari kesenangan sendiri. banyak sekali panglima dan pasukan yang bahkan membantu bangsa Toba, seperti halnya Perdana Menteri Ji dan Kok su Lui itu. Hanya sedikit saja yang seperti Coa-ciangkun. Maka kekuatan masih jauh tak berimbang. Selain banyak bangsa kita rela di perbudak oleh bangsa Toba dengan mendapatkan kedudukan dan harta benda, juga masih terdapat banyak sekali orang keras kepala yang tidak mau bersatu, bahkan merajalela berdiri sendiri. Bukan saja gubernur-gubernur dan raja-raja muda berdiri sendiri, tidak mau bersatu untuk mengusir bangsa asing, bahkan juga perkumpulan-perkumpulan dijadikan rebutan karena ingin memperoleh kekuasaan. Ahhh, kalau di pikirkan sungguh menyedihkan sekali."

   Yang Cien teringat akan sajak yang di nyanyikan Kam Lokai. Semua burung dara pergi ketakutan tidak berani melawan burung gagak, dan menanti munculnya sang garuda untuk mengusir burung gagak!.

   "Kenapa mereka saling berebutan kekuasaan?".

   "Inipun merupakan siasat yang dilakukan Koksu yang licik itu. Dia sengaja melempar fitnah ke sana sini, mengadu domba antar golongan dan antar perorangan di antara tokoh kangouw. Bahkan diapun menggunakan kaki tangannya untuk menyusup ke dalam tubuh Hek I Kaipang kami. Baru saja ketahuan seorang diantara tokoh yang di calonkan untuk menggantikan aku menjadi ketua cabang di sini karena aku hendak di tarik ke pusat, ternyata adalah seorang mata-mata pemerintah, anak buah Koksu. Dia sempat melarikan diri, oleh karena itu hari ini kami hendak mengadakan pemilihan ketua baru untuk cabang Nam-kiang. Kebetulan sekali taihiap dapat hadir dan menjadi saksi."

   Pertemuan untuk mengadakan pemilihan pangcu cabang itu di lakukan di halaman belakang yang lebih luas, dimana di dirikan sebuah panggung darurat. Semua anggota cabang Nam-kiang yang jumlahnya seratus lebih orang itu sudah terkumpul di situ. Di panggung kehormatan duduk Song Pangcu dan para pembantunya, yaitu calon-calon yang akan di angkat menjadi penggantinya. Juga Yang Cien mendapat kehormatan di atas panggung. Pemilihan itu di lakukan atas dasar suara para anggota, jadi bukan ketua yang menentukan.

   Ketua hanya menunjuk calon-calonnya, di ukur dari ilmu kepandaian silat dan juga ilmu pengetahuan dan kecerdikannya. Yang di pilih menjadi calon di antara para pembantu Song Pancu itu ada tiga orang, yaitu Kiang Si Gun, Phang Kim dan Ciok Kui.

   Setelah Song pangcu melihat semua orang berkumpul, dia lalu bangkit berdiri dan mengangkat tangan ke atas minta agar semua anggota tidak rebut.

   "Saudara-saudara sekalian, hari ini kita tentukan pemilihan pangcu yang baru. Seperti kalian sudah mengetahui, oleh ketua pusat aku akan di tarik ke sana untuk tugas-tugas yang lebih penting. Oleh karena itu haruslah diadakan pemilihan pangcu baru untuk menggantikan aku. Dan menurut wawasanku, di pandang dari sudut ilmu kepandaian, pengalaman dan kebijaksanaan, aku menunjuk tiga orang calon yang sudah kalian ketahui baik sifat baik buruknya. Mereka itu adalah Kiang Si Gun, Phang Kim dan Ciok Kui. Sekarang terserah kepada kalian untuk menentukan pilihan, siapa di antara tiga calon itu yang di angkat menjadi pangcu baru. Sekarang kami minta agar kalian memberikan suaranya. kami mulai dengan Kiang Si Gun lebih dulu. Siapa yang memilih dia menjadi ketua?".

   Banyak tangan di acungkan dan Song-Pangcu sendiri menghitung suara itu. Dari banyak tangan yang di acungkan itu, setelah di hitung jumlah nya ada empat puluh dua.

   "Sekarang, siapa yang memilih Phang Kim menjadi ketua?" Kembali banyak tangan mengacung dan ketika di hitung jumlahnya ada empat puluh.

   "Dan siapa memilih Ciok Kui menjadi ketua?" Kembali tangan yang mengacung di hitung dan jumlahnya ada tiga puluh tujuh.

   "Kiang Si Gun mendapatkan empat puluh dua suara, Phang Kim mendapatkan empat puluh dan Ciok Kui mendapatkan tiga puluh tujuh. Berarti bahwa pemilihan terbanyak jatuh kepada Kiang Si Gun. Kalian sendiri yang menentukan, maka hari ini Kiang Si Gun..."."

   "Maaf, pangcu!" terdengar teriakan dan yang berdiri di antara semua orang yang duduk di atas tanah itu adalah seorang pengemis muda yang usianya sekitar

   Dua puluh tiga tahun.

   "Saya ingin mengajukan protes!".

   Song-pangcu memandang penuh perhatian.

   "Siapa engkau? Anggota baru?"

   "Saya bernama Lai Seng, pangcu. Memang saya anggota baru, baru sekitar enam bulan menjadi anggota Hek I Kai-pang. Akan tetapi, saya sudah mempelajari peraturan di Hek I Kai-pang bahwa seorang ketua baru haruslah memiliki kelihaian yang melebihi semua anggota kalau tidak, bagaimana kalau ada anggota yang bertindak salah? Apakah pangcu itu akan mampu menghukumnya? Juga, menurut peraturan, semua orang dapat saja di angkat menjadi ketua asalkan dia anggota Hek I Kaipang. Sekarang pangcu mengangkat tiga calon tanpa memberi kesempatan kepada para anggota, apakah ini adil? Bagaimana kalau ada anggota yang ternyata lebih lihai dan pandai dari pada calon itu?".

   Semua orang terkejut dan heran mendengar ini, akan tetapi juga banyak mengangguk gembira karena ucapan itu memang tepat sekali. Orang merasa heran karena Lai Seng itu biasanya pendiam, dan baru beberapa bulan menjadi anggota dan jarang sekali bicara dengan rekan-rekannya. Kini, tahu-tahu pemuda itu berani memrotes kepada ketua! Benar-benar merupakan kejutan yang menegangkan.

   "Ucapanmu memang benar, Lai Seng. Akan tetapi ketahuilah bahwa ketika kami mengangkat mereka bertiga menjadi calon, kami telah mengetahui dengan baik kepandaian mereka masing-masing, dan kami rasa kepandaian mereka lebih tinggi tingkatnya dari semua anggota kaipang."

   "Bagaimana hal itu dapat di pastikan tanpa di uji lebih dahulu, pangcu?"

   "Di uji bagaimana maksudmu?" Tanya Song-pangcu penasaran bahwa ada seorang muda begini cerewet.

   "Di uji oleh para anggota, yaitu apa bila ada anggota yang merasa mampu, maka dia boleh menguji calon ketuanya. Kalau calon ketua itu kalah oleh seorang anggota, maka anggota itulah yang lebih pantas di calonkan menjadi Ketua, bukan?"

   "Hemmm, memang sepantasnya begitu. Akan tetapi siapa di antara anggota yang hendak menguji Kiang Si Gun? Silahkan kalau ada yang berani."

   "Saya akan mengujinya, pangcu. Biar hati ini tidak menjadi penasaran, dapat mengetahui sampai dimana kelihaian ketuanya yang baru."

   "Baik, aku perkenankan engkau maju untuk menguji kepandaian Kian Si Gun!".

   "Kiang Si Gun, engkau di tantang oleh Lai Seng, seorang anggota baru, berilah dia bukti bahwa engkau mampu menjadi ketua!".

   Kiang Si Gun juga sudah menjadi merah mukanya. Kalau yang mengajukan protes itu seorang anggota Hek I Kaipang yang lama dan sudah berpengalaman, dia masih akan dapat mengerti. Akan tetapi, bocah ini, anggota baru, berani mengujinya? Dia harus memberi hajaran kepada pemuda itu!.

   "Lai Seng, aku di calonkan oleh Song-pangcu dan di pilih oleh para anggota, dan engkau masih tidak percaya kepadaku? Kalau engkau hendak mengujiku, majulah dan coba keluarkan kepandaianmu!".

   Kini Kiang Si Gun sudah berdiri di tengah panggung, tongkat hitamnya di tangan. Orang ini berusia empat puluhan tahun, tubuhnya kurus namun tubuhnya nampak kuat dengan otot-otot yang menonjol. Dia merupakan sute dari Song Pang-cu, maka semua orang tidak meragukan lagi kepandaiannya. Semua orang menduga bahwa Kiang Si Gun, seperti juga Song Pang-cu, tentu mahir sekali dengan ilmu Hek tung hoat (Ilmu Tongkat Hitam) yang amat lihai.

   Lai Seng dengan sikap tenang lalu naik ke atas panggung, dan dia memberi hormat kepada Kiang Si Gun.

   "Kiang-twako harap tidak tersinggung. Saya melakukan ini justru untuk membuktikan bahwa twako memang pantas menjadi ketua. Coab bayangkan kalau melawan aku saja twako tidak mampu menang, apakah mungkin twako di jadikan ketua cabang yang memimpin seratus orang anggota lebih?".

   "Lai Seng tidak perlu banyak cakap lagi. Kami semua sudah mendengar omonganmu dan mengerti akan maksudmu. Nah, keluarkan tongkatmu dan mari kita mengadu kepandaian!".

   "Kiang-twako, engkau sudah memegang tongkat, akan tetapi biarlah aku bertangan kosong saja, hendak ku lihat sampai dimana tingkatmu dalam ilmu Hek-tung-hoat!" kata pemuda itu dan diapun sudah berdiri di depan Kiang Si Gun dengan sikap yang sigap, namun tenang sekali.

   Kiang Si Gun menjadi merah mukanya. Dia di tantang oleh seorang anggota biasa yang hendak melawan tongkatnya dengan tangan kosong saja!.

   "Bagus, semua orang mendengar dan menjadi saksi akan kesombonganmu. Nah sambutlah tongkatku ini! "Kiang Si Gun sudah menggerakkan tongkatnya menghantam ke arah kepala pemuda itu. Namun dengan lincahnya pemuda yang bernama Lai Seng itu telah dapat mengelak dengan mudahnya. Melihat serangannya luput, Kiang Si Gun menyusulkan serampangan tongkatnya ke arah kedua kaki lawan, akan tetapi kembali Lai Seng dapat menghindar dengan lompatan tinggi ke atas. Tubuhnya naik dan menukik sambil kedua tangannya menyerang kepala Kiang Si Gun yang menjadi terkejut bukan main melihat gerakan yang seperti seekor burung saja cepatnya itu. Terpaksa dia melempar tongkatnya untuk melindungi kepala sehingga serangan Lai Seng juga gagal.

   Karena merasa penasaran Kiang Si Gun lalu mainkan Hek-tung-hoat dengan gencar, melakukan gerakan Hek-tung-ta-kouw (Tongkat Hitam Pemukul Anjing), gerakannya cepat dan tongkat itu mengeluarkan suara berdesir ketika menyambar-nyambar secara bertubi-tubi. Akan tetapi dia menjadi semakin terkejut ketika pemuda itu menangkis tongkat dengan kedua lengannya. Terdengar suara dak-duk yang keras seolah kedua lengan pemuda itu berubah menjadi baja dan Kiang Si Gun merasa betapa kedua tangannya tergetar ketika tongkatnya bertemu lengan pemuda itu. Dia terkejut lalu memutar kembali tongkatnya, melanjutkan serangannya dengan jurus Hek-liong-hoan-bwe (Naga Hitam mengubah ekor), tongkatnya menyambar dengan pukulan ke arah pinggang lawan.

   Kembali Lai Seng melompat tinggi dan kembali dia menukik untuk menyerang kepala sehingga Kiang Si Gun terdesak dan harus berlompatan mundur.

   Lai Seng menyerang terus dengan pukulan dan tendangannya yang dahsyat. Biar pun Kiang Si Gun berusaha untuk menangkis namun tetap saja dia terkena tendangan sehingga tubuhnya terpental dari atas panggung! Baru belasan jurus saja calon ketua ini telah di kalahkan oleh seorang anggota muda.

   "Ah, Cuma sebegitu saja kemampuan seorang calon ketua?" Lai Seng mengejek.

   Yang Cien merasa tidak senang. Pemuda ini sombong sekali. Memang dia melihat tadi bahwa ilmu silat pemuda itu lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Kiang Si Gun, suatu hal yang amat mengherankan. Kiang Si Gun adalah sute dari ketua Song Pa, dan pemuda itu hanyalah anggota atau anak buah yang kepandaiannya tentu hanya setingkat dengan murid sang ketua.

   "Lai Seng!" Kini Song Pangcu melompat ke atas panggung.

   "Darimana engkau mempelajari ilmu silat yang kau pakai mengalahkan Kiang Si Gun tadi?"

   "Song-pangcu, sebelum menjadi anggota Hek I Kaipang, saya sudah mempelajari banyak ilmu silat. Apakah hal ini tidak boleh!".

   Song-pangcu marah sekali.

   "Boleh, boleh, dan aku sendiri ingin menguji kepandaianmu!".

   "Aih, pangcu, lebih baik jangan. Kalau sampai pangcu kalah, tentu pangcu akan kehilangan muka dan..."..

   "

   Pada saat itu, Yang Cien yang maklum bahwa pemuda itu lihai dan memang tidak semestinya seorang ketua melawan anak buahnya sendiri, telah maju dan berdiri dekat Song-pangcu.

   "Pangcu, apa yang di katakana Lai Seng ini benar. Dia hanya seorang anggota biasa, bagaimana akan melawan ketuanya? Kalau pangcu menghajarnya, tentu pangcu hanya akan menjadi buah tertawaan karena melawan seorang anggota muda. Aku bukan anggota, akan tetapi sahabat Hek I Kaipang, biarlah aku yang menghadapinya. Eh, orang she Lai, kalau aku mewakili Song-pangcu maju untuk menandingimu, apakah engkau berani?".

   Yang Cien bersikap cerdik. Dia sengaja bertanya apakah Lai Seng berani karena dengan pertanyaan seperti itu, tentu Lai Seng tidak dapat mengajukan alasan apapun dan akan merasa malu kalau menolak, di sangka tidak berani.

   "Baik, akan tetapi karena engkau mewakili Song-pangcu, kalau engkau kalah berarti aku telah mengalahkan Song-pangcu dan dengan begitu, akulah yang berhak menggantikan dia menjadi pangcu di cabang Nam-kiang ini kalau dia pergi ke pusat."

   Song-pangcu sudah maklum atau setidaknya dapat menduga bahwa tamunya itu lihai sekali, maka tanpa banyak pikir lagi dia menjawab.

   "Baik, Lai Seng kalau engkau mampu mengalahkan Yang-Taihiap, biarlah engkau yang menjadi ketua cabang menggantikan aku. Engkau memang pantas untuk kedudukan itu."

   Wajah Lai Seng berseri dan dia lalu menantang Yang Cien.

   "Orang asing, engkau bukan anggota Hek I Kaipang, sebelum kita bertanding, aku ingin lebih dulu mengenal namamu. Dalam pertandingan, mungkin saja orang roboh dan tewas, maka jangan sampai ada yang tewas tanpa nama."

   Bukan main sombongnya, pikir Yang Cien. Akan tetapi pemuda ini pandai mengatur kata-kata sehingga ucapannya yang memandang rendah itu tidak terdengar kasar.

   "Dengarlah Lai Seng, namaku Yang Cien. Nah engkau majulah!".

   "Engkau yang menantangku, engkau yang maju lebih dulu, Yang Cien!" kata Lai Seng. Sikap ini saja menunjukkan bahwa pemuda ini memang lihai, tahu bahwa dalam suatu pertandingan antara orang setingkat kepandaiannya, siapa maju lebih dulu berarti rugi karena setiap penyerangan berarti pula membuka diri untuk dapat di serang lawan.

   Yang Cien tersenyum dan dengan sembarangan saja dia maju dan berseru.

   "Lihat pukulan!" tangan kirinya meluncur dan menampar ke arah pipi kanan lawan. Melihat pukulan yang sederhana ini, Lai Seng mengeluarkan suara dengus mengejek. Dia menarik mukanya ke belakang dan tiba-tiba saja dari bawah, kaki nya sudah mencuat dan mengirim tendangan kilat ke arah pusar Yang Cien.

   Semua orang terkejut karena serangan pertama ini benar-benar amat berbahaya sekali.

   Namun hati mereka lega melihat betapa Yang Cien juga dapat menghindarkan diri dengan amat mudah. kakinya melangkah ke kiri dan dengan sedikit miringkan tubuh, tendangan itu hanya mengenai angina belaka.

   "Wuuuttt....!" kaki itu melayang cepat dan di ikuti pula oleh kaki kedua yang juga melayang dan mengejar ke mana tubuh Yang Cien bergerak. Kiranya pemuda itu melakukan tendangan berantai dan tubuhnya seperti terbang saja ketika kedua kakinya melakukan tendangan bertubi.

   "Plak! Plak! "Tangan Yang Cien menangkis dan tubuh Lai Seng agak terhuyung karena kedua kakinya terdorong dengan amat kuat. Dia terkejut dan kini senyum mengejek itu hilang dari mukanya karena dia tidak lagi berani memandang rendah lawannya.

   "Bagus, engkau berisi juga!" bentaknya dan kini dia sudah menyerang kalang kabut dengan kedua tangan dan kedua kakinya. memukul dan menendang seperti singa mengamuk.

   Namun, dengan tenang Yang Cien melayani dengan elakan dan tangkisan, bahkan sempat pula membalas dan dapat di tangkis pula oleh lawannya.

   "Haaiiiitttttt...!" Tiba-tiba pemuda itu mengubah gerakannya dan kini tubuhnya bergerak ke sana sini dalam bentuk pat-kwa (segi delapan) dan pukulannya mengeluarkan angina yang dahsyat.

   Itulah ilmu Pat-hong-hong-I (Pukulan delapan angina hujan) yang amat dahsyat.

   Namun dengan ilmunya Bu-tek Cin-keng Yang Cien dengan mudah dan tenang dapat menghalau semua serangan itu. Bahkan dengan dorongan kedua telapak tangannya dia sempat membuat Lai Seng bertolak ke belakang dan terhuyung dua kali.

   Lai Seng menjadi semakin penasaran. Selama ini memang dia yang mengambil peran sebagai penyerangn namun selalu gagal. Tiba-tiba dia melompat dan menubruk sambil menggereng seperti seekor harimau. Itulah jurus Go-houw-poksit (Macan kelaparan sambar makanan) yang dahsyat sekali. Tubuhnya melayang di udara, kaki tangannya seperti kaki harimau yang mencengkram. Kedua tangannya membentuk cakar dan kedua kakinya siap untuk menendang.

   "Bagus....! "kata Yang Cien dan ia pun dengan jurus Kong-ciak khay-peng (Merak membuka sayap) dia menghadapi serangan itu, lalu menyambut kedua tangan itu dengan tangkisan ke kanan kiri sedangkan tubuhnya bergeser ke kanan dan dari arah itu dia membalas dengan dorongan jurus Te-tiu-kim-ciang (Mendorong roboh lonceng emas). Kembali tubuh Lai Seng tidak kuat menerima hawa dorongan itu dan diapun terhuyung ke samping.

   Dia menjadi marah, begitu tubuhnya sudah dapat memulihkan keseimbangannya, dia menyerang dengan gerakan Siauw-cu-twi (Tendangan berantai). Kedua kakinya seperti kitiran, kanan kiri terus menendang tanpa dapat di hentikan.

   Yang Cien menjadi gemas juga. Sudah beberapa kali dia membuat lawan ini terdorong dan terhuyung, akan tetapi Lai Seng tetap tidak mau mengaku kalah dan bahkan menyerang lebih dahsyat. Dia lalu mengerahkan tenaga Bu-tek Cin-keng, menangkis kedua kaki itu sambil mendorong.

   "Brukkk..."!" Tubuh Lai Seng terpelanting dan terdorong roboh terjengkang. Sorak-sorak dan tepuk tangan riuh rendah menyambut kemenangan Yang Cien ini. Akan tetapi agaknya Lai Seng adalah seorang pemuda yang tinggi hati dan selama ini tidak pernah menemui tanding. Juga dia kecewa karena dia sudah memperhitungkan bahwa kalau Song-pangcu yang maju, dia pasti menang. Kini, tanpa di sangka-sangka, muncul seorang pemuda asing yang mengalahkannya. Dia meloncat lagi dan ketika tangannya bergerak ke bawah bajunya, dia telah mencabut sebatang suling perak yang berkilauan putih.

   "Yang Cien, dalam hal ilmu tangan kosong, aku kalah setingkat. Akan tetapi aku menantangmu untuk menggunakan senjata. Engkau boleh memilih senjata apa saja!" tantangnya dengan sikap congkak, agaknya suling perak itu merupakan senjata yang amat di andalkan dan ampuh.

   Yang Cien juga maklum bahwa sebetulnya pemuda ini memiliki ilmu yang tinggi. Kalau dia tidak mempelajari Bu-tek Cin-keng, tentu diapun akan kalah. Kini, pemuda itu mengeluarkan senjata suling, tentu senjata itupun ampuh sekali.

   Maka, tanpa ragu dia mengeluarkan pedangnya dari buntalan pakaian yang di tinggalkan di atas meja. Begitu dia mencabut pedangnya, semua orang berseru kagum. Sinar putih berkelebat dan pedang putih berkilauan, bahkan lebih menyilaukan dibandingkan suling perak di tangan Lai Seng.

   "Nah, Lai Seng, aku sudah siap!" kata Yang Cien sambil melintangkan pedangnya di depan dada dan mengangkat tangan kirinya ke atas menunjuk langit.

   "Lihat senjata!" bentak Lai Seng dan dia mulai memainkan sulingnya yang panjangnya sama dengan pedang itu. Terdengar suara melengking nyaring ketika suling itu bergerak dan berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung. Akan tetapi sinar putih kedua juga bergulung-gulung dan kini beberapa kali terdengar suara berdentingan dan nampaklah bara api berpijar-pijar menyilaukan mata. Kedua orang pemuda itu sudah saling serang dengan hebat. Sebetulnya, kalau Yang Cien menghendaki, dengan tangan kosong pun dia akan mampu mengalahkan lawannya yang memegang suling. Akan tetapi dia tidakmau kelihatan congkak seperti lawannya, maka dia melayaninya dengan Pek-liong Po-kiam di tangan. Setelah lewat belasan jurus, Yang Cien mengerahkan tenaga Bu-tek Cin-keng dan menggerakkan pedangnya. Pedang menyambar dahsyat bertemu dengan suling dan terdengar suara keras.

   "Traaanngggg.... Traakkk....!" Lai Seng memekik, melompat mundur dan terhuyung, tangannya berdarah karena terluka dan sulingnya patah menjadi dua potong. Ternyata dia hanya mampu bertahan sampai belasan jurus saja. Dengan mata mencorong dia memandang Yang Cien kemudian dia melompat dari atas panggung, melompat jauh dan melarikan diri dari tempat itu.

   "Haiii, tunggu.....!!" Teriak Song Pangcu yang hendak mengejar, akan tetapi Yang Cien berkata.

   "Tak usah di kejar, pangcu. Ku rasa dia itu bukan anggota Hek I Kaipang yang sesungguhnya."

   "Ahh.... Benar katamu itu taihiap! Ilmunya begitu hebat, dan sekarang aku baru menyadari bahwa dia tentulah seorang mata-mata dari Kok-su yang menyeludup. Lima bulan yang lalu dia di bawa seorang anggota yang mengatakan bahwa pengemis muda itu menyatakan hendak bergabung dan masuk menjadi anggota Hek I Kaipang. Karena sikapnya amat baik dan sopan, kami pun merasa tidak berkeberatan untuk menerimanya sebagai anggota dan selama ini diapun nampak baik dan tidak mencurigakan. Siapa tahu, agaknya dia mengincar kedudukan ketua cabang dan hanya menanti kesempatan saja. Aku yakin bahwa dia tentulah seorang anak buah Koksu yang memang banyak tersebar di mana-mana."

   "Hemm, kalau di cabangKok-su mengirim orang untuk menguasai kedudukan ketua, apalagi di pusat. Bagaimana kau pikir, Song-pangcu?".

   Song-pangcu menjadi berubah air mukanya.

   "Aah, aku belum berpikir sejauh itu, taihiap. Akan tetapi Cu Lokai, yaitu pangcu dari Hek I Kaipang pusat di kota raja, memanggil aku untuk membantunya, aku merasa heran juga. Entah apa maksud Cu Lokai memanggil aku. Sekarang, mendengar pendapatmu tadi, aku merasa khawatir juga."

   "Song-pangcu, kapan engkau akan berangkat ke kota raja?".

   "Sekarang juga dan sudah ku putuskan bahwa Kiang Si Gun menjadi ketua cabang, di bantu oleh Phang Kim dan Ciok Kui, agar kedudukannya lebih kuat."

   "Kalau begitu, aku akan menyertaimu, pangcu. Aku juga ingin melihat-lihat keadaan di kota raja."

   "Bagus sekali kalau begitu, taihiap. Kekhawatiranku jadi lenyap seketika dan aku yakin bahwa engkau yang akan dapat membantu apa bila terjadi kesulitan menimpa Hek I Kaipang."

   Demikianlah, setelah mengatur perkumpulan itu dan meninggalkan pesan-pesan, Song-pangcu lalu berangkat bersama Yang Cien meninggalkan Nam-kiang menuju ke kota raja.

   Lui Koksu duduk di ruangan dalam bersama Thian-te Ciu-kwi dan Cian Kauw Cu.

   "Aku baru saja kembali dari istana dank arena tugas kita sekali ini berat, maka aku memanggil kalian untuk ku ajak berunding."

   "tugas apakah itu, Giam-ong?" Tanya Thian-te Ciu-kwi yang biasa menyebut Koksu itu Giam-ong begitu saja kalau sedang berada berdua saja. Kalau di depan umum, tentu saja dia menyebut Koksu untuk menjaga martabat dan kehormatan sang Koksu.

   "Kami mendengar bahwa Gubernur Yen di timur sedang mengumpulkan kekuatan secara diam-diam dan hal ini amat mencurigakan. Kalau sampai Gubernur Yen memberontak, maka amatlah berbahaya. Karena itu sebelum hal ini terjadi, kita harus lebih dahulu menyelidiki sampai dimana kebenaran berita itu. Kalau sudah yakin benar barulah kita akan menggempurnya sebelum dia sempat bertindak lebih jauh. Dan untuk tugas ini sebaiknya ku serahkan kepada Kauw Cu. Kalau engkau yang pergi, Ciu-kwi, engkau di timur sudah di kenal sebagai datuk dan gerak-gerikmu tidaklah leluasa lagi. Aku sudah berunding dengan Perdana Menteri Ji dan beliau juga sudah menyetujui kalau aku mengutus Kauw Cu yang melakukan penyelidikan."

   "Hemm, muridku ini dalam hal ilmu silat memang sudah boleh sekali di andalkan, akan tetapi dalam urusan menyelidik, dia kurang pengalaman."

   "Justeru sekarang dia memperoleh pengalaman. Kauw Cu, beranikah engkau melaksanakan tugas ini? Engkau menyelidiki keadaan Gubernur Yen, apa betul die mempersiapkan pasukan besar dan apa betul dia memiliki rencana untuk memberontak terhadap kerajaan."

   "Tentu saja saya berani, taijin. Suhu, saya akan melaksanakan tugas dengan baik dan saya akan berhati-hati," kata Akauw gembira karena dia merasa bosan kalau harus menganggur saja di kota raja. Dengan tugas itu, dia akan memperoleh pengalaman yang menarik. Apa sih cukarnya melakukan penyelidikan? Bertanya-tanya, mendengar dan melihat!

   "Baiklah, kalau memang engkau merasa sanggup. Akan tetapi berhati-hatilah, Akauw. Karena di Timur banyak terdapat orang pandai. Kalau kalau sewaktu engkau mengalami kesukaran, asalkan engkau menyebut namaku sebagai guru, kiranya tidak sembarang orang akan berani mengganggumu."

   "Baik, suhu."

   Demikianlah, setelah berkemas, membawa pakaian, Pedang Naga Hitam, sejumlah uang untuk bekal di perjalanan dan berpakaian biasa bukan sebagai panglima melainkan sebagai petani biasa, berangkatlah Akauw meninggalkan kota raja.

   Pemuda ini tidak menarik perhatian orang. Seorang pemuda tinggi besar yang bertubuh kokoh kekar, kulit mukanya kecoklatan gelap, menggendong buntalan pakaian warna kuning! Alisnya tebal dan hitam melindungi sepasang mata yang lebar dan sinarnya tajam mencorong, hidungnya mancung dan besar, dengan mulut dan bibirnya menunjukkan kekerasan hatinya. Dagunya berlekuk dan tulang pipinya menonjol. Wajahnya jantan, daya tariknya terletak kepada kejantanan dan kekerasannya. Pakaiannya seperti seorang petani biasa. dan pedangnya dia sembunyikan di dalam buntalan pakaian itu. Langkahnya tegap, seperti langkah harimau dan sikapnya membuat orang jahat berpikir dua kali sebelum berani mengganggunya.

   Belum dua li meninggalkan pintu gerbang timur kota raja, melalui jalan yang sunyi, terdengar orang memanggilnya.

   "Akauw.... Berhenti dulu, Akauw....!".

   Akau berhenti dan menengok, wajahnya berseri karena dia mengenal suara itu. Suara yang sudah lama dia rindukan, suara seorang sahabat baiknya yang hanya sempat dikenalnya dalam waktu singkat saja.

   "Bi Soan..."!" teriaknya dengan girang ketika dia melihat pemuda remaja itu berlari-lari mendatangi. Pemuda remaja itu nampak sehat, akan tetapi pakaiannya lebih bersih daripada biasanya, walaupun masih penuh tambalan. Wajahnya berseri ketika dia memandang kepada Akauw.

   "Hei, Akauw, engkau hendak kemanakah?".

   "Aku? Aku hendak pergi ke Lok-yang dan engkau kemana saja selama ini, Bi Soan? Kenapa ketika aku melihatmu dulu, ku panggil-panggil engkau malah melarikan diri?".

   "Benarkah engkau memanggilku? Aku tidak mendengarnya. Mau apa engkau ke Lok-yang, Akauw?".

   "Merantau, mau apa lagi? Aku memang perantau dan senang berpesiar."

   "Akauw, aku ikut denganmu!".

   Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Wajah Akauw berseri tanda bahwa dia merasa gembira sekali.

   "Betulkah? Baik, aku senang sekali kalau engkau mau pergi bersamaku, Bi Soan. Ada temanku dalam perjalanan."

   "Akauw, aku kau anggap sebagai teman?".

   "Ya, tentu saja. Temanku yang paling baik, sahabatku yang selama ini ku kenang dank u rindukan."

   "Eh? Kenapa?"

   "Kenapa apa?".

   "Kenapa seorang pemuda merindukan pemuda lain?".

   "Apa tidak boleh? Aku senang sekali bergaul denganmu, maka aku rindu kepadamu. Dan sekarang, engkau ingin melakukan perantauan bersamaku, tentu saja aku senang sekali."

   "Akauw, engkau percaya kepadaku?"

   "Tentu saja, engkau sahabat baik, ingat ketika kita di kejar-kejar orangnya jaksa gendut itu?".

   Bi Soan tertawa dan Akauw menganggumi sederetan gigi yang seperti mutiara itu. Pemuda remaja yang pakaiannya tambal-tambalan dan mukanya kusut dengan rambut awut-awutan itu ternyata memiliki wajah yang tampan sekali.

   "kalau engkau percaya, ku harap engkau menceritakan riwayat dirimu. Engkau darimana, asal mana, siapa orang tuamu dan bagaimana bisa sampai ke Tiang-an? Ayo ceritakan semua, kalau tidak berarti engkau tidak percaya padaku dan aku akan marah."

   "Eh, jangan marah Bi Soan. Tentu saja aku mau bercerita. Akan tetapi aku takut engkau tidak percaya dan marah kepadaku. Aku khawatir engkau tidak percaya kepadaku."

   "Ah, mengapa begitu? Orang seperti engkau ini pasti jujur dan tidak suka berbohong."

   "Bagaimana kalau kita berteduh di bahwa pohon sana itu? Dengan duduk berteduh, akan lebih enak aku bercerita, tidak sambil berjalan begini."

   "Baiklah, mari kita duduk di sana. matahari telah naik tinggi dan panasnya bukanmain."

   Mereka duduk di bawah pohon dan Akauw mengeluarkan sebuah guci dari dalam buntalannya.

   "Engkau haus? Minumlah!" Dia menawarkan.

   "Ah, aku tidak begitu suka minum arak, apalagi dalam keadaan cuaca panas begini."

   "bukan arak, biarpun gucinya guci arak, isinya air the!" kata Akauw sambil tertawa dan Bi Soan juga tertawa lalu minum dari mulut guci. Setelah Bi Soan minum, Akauw juga minum, barulah dia bercerita.

   "Pertama-tama, namaku Cian Kauw Cu, biasa di sebut Akauw saja, dan orang tuaku.... Aku tidak pernah mengenalnya."

   "Ah, masa? Engkau bohong..."..!"

   "Nah, nah. Apa kataku tadi, aku khawatir engkau menganggap aku berbohong, baru satu kalimat ku keluarkan engkau sudah menuduhku bohong!" kata Akauw sedih. Melihat wajah yang gagah itu tiba-tiba berubah sedih, Bi Soan lalu memegang tangan Akauw.

   "Maafkan, bukan makduku menuduh, tapi..."" bagaimana mungkin orang tidak pernah mengenal ayah ibunya sendiri?

   "Sungguh mati, aku tidak pernah mengetahui siapa ayah ibuku, tidak pernah melihat mereka dan tidak tahu mereka itu siapa."

   "Lalu, kenapa engkau mempunyai nama dan mempunyai nama keluarga Cian?".

   "Oh, itu? Nama keluargaku di ambil dari kalung yang ku pakai ini. Aku menemukan kalung ini, ku pakai dan selanjutnya oleh Aki aku di sebut Cian Kauw Cu."

   "Aki, siapa pula itu?".

   "Namanya Boan Ki, akan tetapi aku biasanya memanggilnya Aki. Dialah manusia pertama yang ku jumpai dan yang mengajarku bicara."

   "Eh? Apa pula ini? Manusia pertama..... mengajarmu bicara... apa sih artinya?".

   "Dengarkan sajalah Bi Soan, dan engkau akan mengerti. Kalau selalu kau potong-potong begini, takkan ada habisnya ceritaku nanti. nah sebenarnya begini, sejak kecil sekali, sejak aku dapat ingat, aku adalah anak seekor kera besar..."".

   "

   "Waahhh, mana mungkin!" Bi Soan berteriak, sedemikian kerasnya sampai Akauw sendiri kaget mendengarnya.

   "Nah, nah, mulai lagi!".

   "ya, sudahlah, berceritalah. Seperti dongeng saja riwayatmu, Akauw! Akauw....? Namamu ini.... Akauw....

   "

   "memang, namaku juga Kauw-cu (monyet), sesuai dengan keadaanku waktu itu. Ku lanjutkan ceritaku. Aku tidak tahu apakah aku ini anak monyet, yang jelas, sejak kecil aku hidup di antara kera-kera besar. Aku tentu saja mempunyai kebiasaan seperti kera, dalam hal makan, berloncatan ke pohon-pohon, bahkan bicara dank era-kera itu memberi nama aku... Kercak."

   "Apa?"

   "Kercak!" ketika mengeluarkan kata atau nama itu, suara Akauw memang suara monyet sehingga sukar di tangkap oleh Bi Soan.

   "Ya sudahlah, lalu bagaimana?"

   "Sejak kecil sekali sampai berusia kurang lebih sepuluh tahun aku hidup seperti monyet. Aku menemukan kalung ini pada tulang kerangka manusia dan ku pakai kalung ini, juga aku menemukan sebatang golok. Setelah aku berusia sepuluh tahun, aku melihat dua rombongan manusia masuk ke Lembah Iblis dan mereka bertempur saling serang. Banyak orang tewas dan setelah mereka yang menang pergi, ada seorang di antara mayat-mayat itu yang tidak mati. Dia adalah Aki dan sejak itu, Aki yang mengajarku bicara seperti manusia, bahkan memberi nama Cian Kauw Cu kepadaku."

   "Ahhh, luar biasa sekali! Kisahmu ini seperti dongeng dan kalau bukan aku, tentu orang tidak akan percaya kepadamu."

   "Jadi, kau percaya padaku, Bi Soan?"

   "Percaya sekali!".

   Tiba-tiba sepasang lengan yang panjang dan besar itu memeluk tubuh Bi Soan yang kecil sehingga tubuh itu tenggelam ke dalam rangkulan dan di tekan-tekan seperti akan remuk rasanya. Akan tetapi sekali meronta, Bi Soan dapar terlepas dari rangkulan itu dan mukanya berubah merah sekali matanya mencorong ketika dia bangkit berdiri.

   "Akauw, aku larang engkau memeluk aku seperti itu lagi! Kalau sekalai lagi kau lakukan itu, aku akan pergi meninggalkanmu!".

   Akauw terbelalak.

   "Ah, tidak.... Tidak akan ku lakukan lagi. Akan tetapi kenapa, Bi Soan? Aku memelukmu karena kegirangan bahwa engkau percaya kepadaku."

   "Girang ya girang, akan tetapi jangan memeluk seperti itu. Di rangkul dan di tekan seperti itu, bisa remuk semua tulangku, tahu? Sudah, lanjutkan ceritamu yang menarik tadi."

   "Sampai tiga tahun lamanya Aki tinggal bersamaku di hutan, akan tetapi aku semakin tahu setelah dia mengajari aku bicara dan tentang segala kehidupan manusia, bahwa dia seorang yang jahat. Malah suatu hari, dia bermaksud untuk membunuhku!".

   "Ihhh, engkau yang menolong sehingga dia tetap hidup, lalu dia hendak membunuhmu? "Bi Soan berseru kaget.

   "Betapa jahatnya? Akan tetapi kenapa dia hendak membunuhmu Akauw?."

   Hampir saja Akauw bercerita tentang emas, akan tetapi dia teringat akan pesan suhengnya agar tidak bercerita kepada siapapun juga tentang guha-guha itu, maka dia lalu menjawab.

   "Mungkin dia bosan dengan aku dan hendak hidup sendiri. Akan tetapi untung sekali pada saat yang gawat itu muncul lah suhu dan suheng."

   "Kau punya suhu dan suheng? Siapa mereka?"

   "Tadinya tidak punya. Seorang kakek tua dan seorang pemuda muncul menolongku dari ancaman Aki yang kemudian tewas terjatuh ke dalam jurang. Aku lalu berguru kepada kakek itu dan si pemuda menjadi suhengku. Guruku itu bernama Yang Kok It dan suhengku itu cucunya, bernama Yang Cien."

   "yang Kok It? Hemmm, rasanya nama itu tidak asing bagiku, seperti pernah aku mendengarnya. Lalu bagaimana, Akauw? Ceritamu semakin menarik saja."

   Karena menerima pujian dari sahabatnya yang amat di sayangnya itu, Akauw menjadi semakin bersemangat untuk bercerita.

   "Aku dan suheng belajar ilmu silat dari Suhu Yang Kok It sampai suhu meninggal dunia karena usia tua. Kemudian, aku masih tinggal lagi berdua saja dengan suheng di Lembah Iblis, kemudan aku pergi merantau sampai di sini."

   "Dan di sini engkau bekerja membantu Koksu, ya?".

   Akauw terkejut. Dia sedang bertugas dalam penyelidikan, maka dia harus merahasiakan pekerjaannya. Tak di sangka bahwa sahabatnya ini telah mengetahuinya.

   "Eh, bagaimana engkau dapat tahu?".

   Bi Soan tersenyum mengejek.

   "Tentu saja aku tahu segalanya, aku mempunyai banyak sahabat di antara kaum pengemis. Akauw, belum lama ini kita bicara tentang para pembesar dan pejabat yang korup dan menindas rakyat dan sekarang engkau menjadi seorang pembesar!" suaranya terdengar mencela.

   " Aku tidak menjadi pembesar! Aku.. aku hanya terpaksa ikut dengan suhu dan di perbantukan kepada Koksu Lui. Aku bersumpah tidak akan melakukan kejahatan, tidak akan membantu kalau Koksu menindas rakyat."

   "Hem, engkau agaknya belum tahu orang macam apa Koksu Lui itu. Dan sekarang ini, engkau melaksanakan tugas apakah?".

   "Bi Soan, sahabatku, jangan bertanya tentang tugasku, ini tugas rahasia. Tak boleh seorangpun boleh mengenal bahwa aku bekerja untuk Koksu Lui, apalagi nanti di Lok-yang."

   "Hemm, aku sudah tahu tanpa kau beritahu. Dan kita akan melakukan perjalanan bersama ke Lok-yang, bukan? Bagaimana aku dapat membantumu kalau aku tidak mengetahui apa tugasmu? Aku harus tahu karena kalau tugas itu untuk menindas rakyat aku tidak sudi bekerjasama denganmu!".

   "Tidak, tidak, Bi Soan-te (adik Bi Soan). Aku hanya mendapat tugas untuk melakukan penyelidikan terhadap Gubernur Yen di Lok-yang karena menurut para penyelidik, Gubernur Liu itu bermaksud untuk menyusun kekuatasn dan memberontak terhadap pemerintah."

   "Benarkah itu, Akauw?" Kini sikap Bi Soan nampak sungguh-sungguh.

   "Begitulah yang di katakana oleh Koksu. Oleh karena itu Koksu dan suhu mengutus aku pergi ke Lok-yang dan melakukan penyelidikan seksama akan kebenaran berita itu. Kalau memang benar gubernur itu hendak memberontak, sebelum dia bergerak, akan lebih dulu di serbu dan di gagalkan pemberontakannya."

   Bi Soan mengangguk-angguk.

   "Wah, kalau begitu tugasmu itu penting sekali, Akauw. Apakah engkau pernah ke Lok-yang? Sudahkah engkau mengenal keadaan dan daerah itu?".

   Akauw memandang bodoh dan menggeleng kepalanya. Bi Soan menarik napas panjang.

   "Aih, kenapa Lui Koksu begitu bodoh menyuruh seseorang yang sama sekali belum mengenal medannya? Sudahlah, biar aku menyertai dan membantumu Akauw. Aku sudah hafal betul keadaan di Lok-yang."

   Bukan main girangnya hati Akauw.

   "Terima kasih, Bi Soan. Aku tahu sejak semula bahwa engkau adalah seorang sahabat sejati yang amat baik kepadaku.

   "Nah, sekarang engkau yang mendapat giliran menceritakan riwayat hidupmu kepadaku, agar akupun dapat mengenal dirimu dengan baik."

   "Aku? Ah, tidak ada apa-apanya yang menarik mengenai diriku. Aku hidup sebatangkara, seorang gelandangan yang tidak tentu tempat tinggalnya, hidup bebas lepas seperti seekor burung gereja.

   "Bi Soan bangkit berdiri, mengembangkan kedua tangannya seperti seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya.

   "Mari kita lanjutkan perjalanan, Akauw."

   "Eh, nanti dulu, Bi Soan. Engkau belum menceritakan siapa orang tuamu dan dimana mereka tinggal!" kata Akauw yang ikut pula berdiri.

   "Aku Bi Soan tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai siapapun di dunia ini kecuali mempunyai seorang sahabat yang bernama Akauw! Nah, itulah Bi Soan yang kau kenal, Akauw dan jangan Tanya apa-apa lagi karena engkau hanya membuat hatiku menjadi sedih saja."

   Akauw merasa terharu.

   "Aih, kasihan sekali engkau, Bi Soan."

   "Karena engkau tidak mempunyai orang tua lagi."

   "Dan engkau? Engkaupun tidak mempunyai orang tua. Sudahlah, jangan merasa iba kepada orang lain kalau keadaan mu sendiri sama. Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan agar jangan terlalu lama membuang waktu di sini."

   Akauw terpaksa melepaskan kedua tangan Bi Soan yang dipegangnya tadi karena dia merasa iba kepada kawan ini, karena Bi Soan kini merenggutkan kedua tangannya dan pemuda remaja itu sudah berjalan meninggalkannya.

   "Heeiii, tunggu Bi Soan," kata Akauw yang terpaksa mengerahkan tenaganya karena ternyata Bi Soan dapat berlari cepat sekali. Dia terkejut juga dan menduga bahwa kawannya itu agaknya mengerti pula ilmu silat dan belum menceritakan tentang ilmunya itu, dan siapa pula gurunya.

   Akauw merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan Bi Soan dan melakukan tugasnya di bantu oleh pemuda remaja itu. Karena andaikata tidak di bantu Bi Soan, tentu dia akan mengalami banyak kesukaran. Bi Soan mengenal baik kota Lok-yang dan ternyata pemuda remaja yang mengaku gelandangan ini cerdik bukan main. Bahkan setelah mereka berada di Lok-yang, Bi Soan lah yang seolah menjadi pemimpin. Karena kepandaian Bi Soan yang cerdik, maka Akauw dapat melakukan penyelidikan dengan baik. dan benar saja, dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa banyaknya pemuda-pemuda dusun yang berbondong-bondong datang untuk mendaftarkan dirii sebagai prajurit. Gubernur Yen benar-benar hendak memperkuat pasukannya di Lok-yang, tentu saja dengan bekerjasama dengan para panglima di Lok-yang.

   Akan tetapi, ini saja belum menjadi bukti bahwa gubernur itu hendak memberontak. Padahal inti tugas Akauw adalah untuk menyelidiki apakah benar gubernur itu akan memberontak dan dia harus dapat memperoleh buktinya.

   "Jangan khawatir, kita harus tekun dan sabar menanti dan mengintai, siapa tahu akan tiba saatnya kita dapat peroleh bukti itu," kata Bi Soan ketika Akauw menyatakan kekesalannya karena dia tidak melihat suatu cara untuk mendapatkan bukti itu. Tadinya dia bermaksud memasuki rumah gubernur itu sebagai pencuri dan memeriksa ke kamarnya untuk mencari bukti, akan tetapi keinginannya ini di larang oleh Bi Soan.

   "Kau gila? Memasuki rumah gubernur sedangkan rumah itu di jaga ketat! Selain amatlah sukar untuk dapat memasuki kamarnya, juga besar sekali kemungkinan engkau akan di tangkap dan kalau hal itu terjadi, bahkan baru dipergoki saja, maka gagallah semua usahamu."

   "Habis, bagaimana kita dapat memperoleh bukti itu, Soan-te?"

   "Kauw-ko (Kakak Kauw), kiranya ada satu jalan saja yang memungkinkan engkau berhasil. Kita mendaftarkan diri sebagai prajurit!".

   "Ahhh...??? Bukankah itu malah berbahaya sekali?"

   "apa bahayanya? Kau lihat, banyak pemuda mendaftarkan diri, dari segala golongan bahkan terbanyak dari dusun, Kita mengaku dari dusun dan mendaftarkan diri, kalau di uji kau jangan menonjolkan kekuatan atau kepandaianmu, biasa-biasa saja. Nah, kalau kita sudah menjadi calon prajurit, tentu akan mudah bagi kita untuk melihat dan memperoleh bukti."

   "Wah, kalau begitu bagus sekali, Soan-te (Adik Soan). Mari kita mendaftarkan diri sekarang juga "

   "Akan tetapi janji, kita tidak boleh berpisah dan kalau memperoleh kamar di barak, kita harus sekamar."

   "Tentu, tentu."

   "Dan seperti biasa, engkau tidur di bawah dan aku di atas."

   "Engkau ini memang aneh. Di rumah penginapan pun engkau selalu mengusir aku dari pembaringan. Engkau ini pemuda remaja yang amat aneh."

   "Tidak aneh. Engkau tahu sendiri bahwa aku tidak bisa tidur kalau ada teman di dekatku. Kalau engkau tidak mau turun dari pembaringan, biar aku yang tidur di bawah dan pembaringannya boleh kau pakai sendiri."

   "Wah, jangan nagmbek, Soan-te. Engkau ini kadang membuat aku tidak mengerti. Tidur tidak mau di dekati, bahkan kalau mandi engkau minta terpisah."

   "Engkau yang tidak tahu malu. Kita bukan kanak-kanak lagi, bagaimana mungkin mandi bersama? Ih, memalukan!"

   Bi Soan kelihatan marah.

   "Sudahlah, maafkan aku, Soan-te. Aku tidak akan memaksamu mandi dan tidur bersama. Nah, mari kita mendaftarkan "

   Keduanya lalu ikut dengan rombongan pemuda yang berbondong itu menuju ke benteng untuk mendaftarkan diri. Mereka ikut berdiri dalam antrian panjang dan setelah mereka di daftar sebagai Cian Kauw Cu dan Bi Soan, mereka memperoleh sebungkus pakaian tentara dan mendapatkan petunjuk dimana letak kamar di barak. Ternyata tidak di adakan ujian sama sekali dan ini berarti bahwa siapa saja dapat di terima sebagai prajurit dan agaknya Gubernur Yen benar-benar membutuhkan pasukan yang sebesar-besarnya.

   Baru setelah mereka tinggal di barak, mereka memperoleh latihan dari seorang perwira. Latihan berbaris,latihan gerakan silat dalam pertempuran.

   Akauw memandang kagum ketika temannya mengenakan pakaian tentara. Memang kecil tubuhnya, akan tetapi dia nampak tampan sekali! Dan dalam latihan pertempuran, juga Bi Soan kelihatan lincah dan tidak kalah oleh yang lain.

   Setelah berada di benteng, mulailah mereka bertanya-tanya tentang maksud dikumpulkannya banyak tentara suka rela itu. Akan tetapi semua rekan mereka juga tidak tahu. Mereka semua tertarik untuk masuk tentara karena dengan demikian akan terjamin makan dan pakaian mereka, juga mereka memperoleh gaji. Sedangkan kehidupan di luar sedemikian sukarnya. Rakyat kecil di himpit pajak, lintah darat dan tuan tanah, di tambah lagi dengan kerja paksa membangun tembok besar. Hidup di luar membuat mereka sukar sekali mengisi perut dengan teratur, sedangkan di benteng itu mereka dapat makan kenyang dan pakaian mereka tidak robek dan butut.

   Pada suatu malam, selagi Bi Soan dan Akauw bersama rekan-rekan lain melakukan penjagaan mereka melihat gubernur datang ke benteng langsung masuk ke bangunan yang besar yang menjadi tempat tinggal panglimanya. Gubernur Yen berusian lima puluh tahun dan tubuhnya tinggi besar gagah. Panglima menyambutnya di luar rumah dan mengiringkannya masuk ke dalam rumah besar itu.

   Yang menarik perhatian Akauw dan Bi Soan adalah munculnya beberapa orang tamu aneh. Tamu-tamu ini, yang jumlahnya ada tujuh orang, mengenakan pakaian pengemis dan ternyata mereka di terima dengan hormat pula oleh panglima-panglima yang keluar untuk menyambut dalam suasana yang bersahabat.

   Tentu saja melihat ini Akauw dan Bi Soan tertarik sekali. Akan tetapi mereka sedang bertugas jaga.

   "Kauw-ko, dengar baik-baik. Engkau menyelinap pergi dari sini dan menyelidik mereka itu, kalau ada yang bertanya akan ku katakana bahwa engkau sakit perut dan pergi ke belakang. Aku yang akan melakukan penjagaan di sini."

   "Baik, Soan-te."

   "Berhati-hatilah, Kauw-ko."

   "Engkau juga, Bi Soan. Tunggu aku kembali membawa berita."

   Setelah keadaan memungkinkan, yaitu para penjaga lain sedang meronda, Akauw lalu meloncat dan menyelinap lenyap ke dalam kegelapan malam. Dengan kepandaiannya yang tinggi dan nalurinya yang peka mudah saja baginya untuk menyusup-nyusup menghampiri bangunan induk itu, kemudian dia meloncat ke atas genteng dan berhasil masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia sudah mengintai mereka yang berada di ruangan itu. Gubernur Yen, beberapa orang panglima dan tujuh orang berpakaian pengemis itu.

   "Benarkah para pimpinan Hek I Kaipang dari seluruh penjuru di panggil ke kota raja dan banyak di antara mereka yang hilang tidak kembali?" Tanya Gubernur Yen.

   "Benar, taijin. Kami semua mencurigai bahwa ini adalah perbuatan Koksu Lui yang hendak memperlemah Hek I Kaipang karena dia tahu bahwa kami adalah perkumpulan yang menentang pemerintah Mongol."

   "Ah, dan kita belum dapat bergerak. Kita sedang menghimpun tenaga dan tenaga bantuan itu belum terlatih baik, belum dapat di andalkan dalam pertempuran. Bersabarlah, saudara-saudara Kaipang, kalau sudah tiba saatnya, kita mempersatukan tenaga yang ada dan menggempur kota raja!".

   "Kami sudah tidak sabar lagi, taijin. Yang kami prihatinkan bukan para anggota kami karena hanyalah pengemis-pengemis yang hidup dari belas kasihan orang. Yang kami prihatinkan adalah kehidupan rakyat jelata di pedusunan. Mereka terhimpit oleh para pejabat daerah yang memeras mereka dengan kerja paksa, dengan pajak. Kalau pemerintah Mongol yang kejam ini tidak segera di robohkan, rakyat akan hidup sengsara."

   "Kami mengerti, saudara. Akan tetapi harus di ketahui bahwa kekuatan pasukan pemerintah besar sekali. Apalagi di sana terdapat Koksu yang licik dan lihai, juga Perdana Menteri Ji amat pandai mengatur siasat. Kalau tergesa-gesa, dapat gagal seluruhnya. Jangan khawatir, kami sedang memperkuat diri dan kalau saatnya tiba, pasti kami akan mengajak kalian semua dan para pendukung lain untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan dari tangan penjajah Toba."

   Akauw sudah merasa cukup mendengarkan percakapan itu. Jelas sudah, bahwa Gubernur Yen memang ingin memberontak dan sedang mengumpulkan kekuatan, bahkan bersekutu dengan perkumpulan pengemis Hek I Kaipang. Dia harus cepat memberitahu Bi Soan. Maka dengan hati-hati diapun meninggalkan tempat itu. Selagi dia berjalan di atas genteng, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan terdengar bentakan seorang perwira yang kebetuln mengadakan perondaan di atas atap.

   
Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapa di situ!"

   Akauw terkejut sekali, akan tetapi dengan cekatan tubuhnya sudah melompat dan melayang ke atas pohon besar, kemudian dari pohon di taman itu dia melompat ke pohon lain dan sebentar saja tubuhnya sudah lenyap di telan kegelapan malam. Sang perwira mencoba untuk mengejar, akan tetapi segera kehilangan jejak sehingga perwira itu meragu apakah benar dia melihat ada orang, ataukah hanya bayangan burung atau pohon saja. Kalau memang orang, tidak mungkin bergerak sedemikian cepatnya dan menghilang.

   Akauw sudah kembali kepada Bi Soan yang sudah khawatir kenapa kawannya lama benar. Dia sudah tiga kali di Tanya penjaga lain tentang Akauw yang dikatakannya sakit mencret dan berulang kali pergi ke belakang.

   "Bagaimana, Kauw-ko?" bisiknya ketika pemuda itu berada di dekatnya.

   "Wah, gawat, Soan-te. memang benar akan terjadi pemberontakan." Dengan berbisik-bisik, Akauw lalu menceritakan semua yang di lihat dan di dengarnya, di dengarkan penuh perhatian oleh Bi Soan.

   "Hemmm, gubernur tak tahu diri itu hendak memberontak, ya? Kita harus menghalanginya, Kauw-ko. Pemberontakan sama sekali tidak akan membebaskan rakyat dari pada kesengsaraan, bahkan menambahnya. Perang hanya akan mencelakakan rakyat."

   "Soan-te, jadi menurut engkau, lebih baik kalau tanah air ini di perintah oleh Bangsa Mongol?".

   "Bukan begitu maksudku. Akan tetapi, sudah menjadi kenyataan bahwa setelah di pegang bangsa Toba, barulah Negara ini menjadi kuat. Kalau memang ingin membahagiakan rakyat, banyak jalannya. Jadilah pejabat yang adil dan bijaksana, dan rakyat akan berbahagia. Biarpun Kaisarnya bangsa Toba, akan tetapi kalau para pejabatnya berbangsa Han dan bertindak adil dan bijaksana bukankah rakyat juga dapat hidup Makmur? Biarpun kaisarnya bangsa Han sendiri, akan tetapi kalau para pejabatnya brengsek, kaisarnya lalim, rakyat juga menderita."

   Akau sendiri merasa asing dengan urusan pemerintahan. Baginya pegangannya hanya satu, yaitu yang ditekankan oleh kakek Yang Kok It dan suhengnya, jangan melakukan kejahatan dan harus selalu membela keadilan dan kebenaran. Dia tidak mengerti tentang pemberontakan, dan dia mau membantu Koksu asal jangan di suruh melakukan perbuatan jahat. Kini mendengar ucapan Bi Soan, die mengangguk-angguk dan menganggap ucapan Bi Soan itu benar.

   Pada keesokan harinya, karena tugasnya sudah selesai, Akauw dan Bi Soan menggunakan kesempatan selagi mendapat waktu luang, mereka keluar dari benteng dan melarikan diri kembali ke kota raja. Dalam perjalanan itu, Bi Soan memancing pendapat Akauw tentang ayahnya yaitu tentang Perdana Menteri Ji Sun Cai.

   "Kauw-ko, pernahkan engkau bertemu dengan Perdana Menteri Ji Sun Cai yang ku tahu adalah seorang sahabat baik Lui Koksu?"

   "Ah, pernah aku sekali di ajak ke sana oleh Lui-Koksu, bersama suhuku."

   "Hemm, bagaimana pendapatmu tentang dia?".

   "Dia? Biasa saja. Karena aku tidak mengenalnya dengan baik. Hanya puterinya.....

   "

   "Puterinya? Ah, ya, puterinya? Siapa nama puterinya itu? "

   "Namanya Ji Goat."

   "Bagaimana pendapatmu tentang ia?".

   "Ia seorang gadis yang luar biasa. Ilmu silatnya tinggi..."."

   "Bagaimana engkau tahu bahwa ia memiliki ilmu silat yang tinggi?".

   "Ia mengajakku latihan silat dan ternyata ia memang lihai sekali, dan selain itu.... Hemmm, ia cantik jelita."

   Akauw tidak tahu betapa senangnya hati Bi Soan mendengar pujian itu. Gadis mana yang tidak akan senang hatinya mendengar dirinya di puji pandai dan cantik, apalagi pujian itu keluar dari mulut seorang pemuda yang menarik hatinya?

   "Ah, masa? Aku mendengar puteri Perdana Menteri Ji itu orangnya buruk, galak dan tidak menyenangkan hati."

   "Siapa bilang? Yang berkata demikian itu belum pernah melihatnya atau matanya buta, atau memang sinting. Ji-siocia itu seorang gadis yang luar biasa cantik menariknya dan ilmu silatnya juga lihai sekali. Ia tidak galak dan amat menyenangkan hati."

   "Senangkah engkau kepadanya, Kauw-ko?".

   "Senang? Tentu saja senang!".

   "Hemmm, engkau tentu mencintanya, ya?".

   "Wahh, mana aku berani? Aku memang senang melihatnya, akan tetapi aku ini siapa berani mencinta puteri Perdana Menteri?"

   "Kenapa? Apa salahnya? Engkau seorang pemuda dan ia seorang gadis, apa salahnya kalau engkau mencintanya?".

   "Aku tidak berani. Tentu ia akan merasa terhina sekali kalau mendengar bahwa aku mencintanya. Sudahlah, Soan-te, jangan bicarakan hal itu, hal yang tidak akan mungkin terjadi. Soan-te, apa jadinya kalau kita lapor kepada Kok-su tentang Gubernur Yen itu?".

   "Engkau yang lapor, bukan aku."

   "Oya, aku sampai lupa. Aku akan melapor apa yang telah ku lihat dan ku dengar,lalu apa akibatnya?"

   "Mungkin Koksu akan mengirim pasukan untuk menangkap gubernur itu. dan mungkin saja engkau pula yang di utus untuk memimpin pasukan dan menangkapnya. Tentu akan terjadi sedikit pertempuran, akan tetapi karena gubernur itu belum siap dengan pasukannya tentu dia dapat di hancurkan."

   Setelah tiba di kota raja, Bi Soan berkata "Nah engkau pergilah menghadap Koksu,Kauw-ko. Aku harus pergi."

   "Nanti dulu, Soan-te. bagaimana kalau aku ingin berjumpa denganmu? kemana aku harus mencarimu?".

   "Kau tahu kuil tua di luar kota itu? Nah, ke sanalah kau cari aku."

   "kalau engkau tidak berada di sana?".

   "Pergilah di waktu malam hari kalau bulan sedang purnama, aku pasti berada di sana. Nah, selamat berpisah Kauw-ko. Perjalanan ke Lok-yang itu sungguh menyenangkan."

   "Selamat berpisah, Soan-te. Banyak terima kasih atas bantuan-bantuanmu."

   Mereka berpisah dan Akauw segera pergi ke rumah Kok-su. Kok-su Lui dan gurunya, Thian-te Ciu-kwi, merasa gembira sekali mendengar laporannya.

   "Sudah ku duga memang benar gubernur itu hendak memberontak. Dan bersekutu dengan Hek I Kaipang, memang perkumpulan itu sudah lama ku incar, bahkan banyak pemimpin mereka sudah ku jebloskan dalam tahanan, tinggal menanti pelaksanaan hukuman saja," kata Toat-beng Giam-ong Lui Tat.

   "Sekarang juga aku akan menghadap kaisar dan mari kalian ikut. Akauw harus melapor sendiri kepada Kaisar agar kaisar yakin benar dan dapat memberi perkenan kalau kita mengirim pasukan untuk menangkap Gubernur Yen."

   Mereka bertiga lalu bergegas pergi ke istana menghadap kaisar Julan Khan. Kaisar merasa girang mendengar laporan Akauw, lalu berkata kepada Koksu.

   "Koksu, kalau begitu sudah jelas bahwa Gubernur Yen hendak memberontak, bagaimana baiknya sekarang menurutmu?".

   "yang Mulia, usaha pemberontakan harus cepat di tindas sebelum mereka menjadi kuat. Sebaiknya kalau paduka memberi ijin kepada hamba untuk mengerahkan pasukan dan mengutus panglima untuk menyerbu ke Lok-yang dan menangkap gubernur pemberontak itu."

   

Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 15 Sepasang Naga Penakluk Iblis Eps 14 Asmara Si Pedang Tumpul Eps 16

Cari Blog Ini