Sepasang Naga Penakluk Iblis 12
Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
Wanita itu mendongkol sekali, akan tetapi ia dapat melihat kebenaran ajakan untuk lari ini. Memang ia telah bersikap sembrono sekali. Pihak musuh amat kuat, dan ia tidak tahu siapa lagi yang berada di situ. Kalau ia dikeroyok banyak orang pandai di dalam sarang mereka, hal ini amatlah berbahaya. Maka iapun melepaskan lengannya dan lari sendiri dengan cepatnya. Mereka berdua menghilang ditelan kegelapan bayang-bayang pohon sehingga Hek-sim Lo-mo dan lima orang pembantunya tidak dapat melakukan pengejaran.
"Pemuda pakaian putih itupun muncul......!" kata Jai-hwa Kongcu dengan khawatir dan agak gemetar.
"Cap-sha-kwi telah tewas semua di tangan Liong-li!" kata Kiu-bwe Mo-li dengan gemas.
"Sebaiknya Song Tek Hin itu dibunuh saja. Dia yang menjadi gara-gara sampai Cap-sha-kwi tewas!" kata Gan Siang, seorang dari He-nan Siang-mo.
"Kalian sungguh bodoh!" kata Hek-sim Lo-mo.
"Kalau Cap-sha-kwi mampus, hal itu adalah karena ketololan mereka sendiri, karena mereka telah lengah dan mabok-mabokan. Akan tetapi sungguh bodoh sekali kalau Song Tek Hin itu dibunuh. Dia tetap merupakan umpan yang baik. Bukankah dua ekor ikan itu benar-benar muncul karena ada umpan pemuda itu? Malam ini mereka hanya dapat membunuh Cap-sha-kwi, akan tetapi bukan itu tujuan mereka. Mereka pasti akan datang lagi untuk menolongnya, karena itu tidak boleh dibunuh. Belum waktunya dia dibunuh!"
Demikianlah, Tek Hin masih terlepas dari maut yang sudah mengancamnya dan kini dia disekap dalam kamar, diawasi dengan ketat oleh kelima pembantu utama Hek-sim Lo-mo. Walaupun dia masih diberi makan dan tidak disiksa, akan tetapi kaki tangannya dirantai dan dia tidak diperkenankan keluar dari kamarnya!
?Y?
"Engkau lancang sekali! Kenapa engkau berani menarikku dan membujukku pergi meninggalkan sarang Hek-sim Lo-mo?" Liong-li mencela Cin Hay sambil mengerutkan alisnya. Mereka sudah tiba jauh di luar kota Lok-yang, duduk di tepi sungai kecil di sebuah hutan, di mana terhampar rumput hijau yang tebal dan lunak.
Sinar bulan menimpa air yang berdendang merdu, air yang tidak begitu dalam, namun amat jernih dan yang bermain-main dengan batu-batu kali yang berkilauan tertimpa sinar bulan. Pohon-pohon besar di belakang sana nampak seperti barisan raksasa yang melindungi mereka, dan hamparan petak rumput itu seperti permadani hijau yang amat indah. Malam sudah amat larut dan hawa udara amat dinginnya.
Cin Hay membuat api unggun dan api itu mendatangkan kehangatan dan mengusir nyamuk.
Mendengar ucapan Liong-li yang mencelanya, celaan yang entah ke berapa kalinya karena sejak tadi wanita itu mengomel terus, dia lalu menghadapinya. Mereka duduk di atas rumput. berhadapan, terhalang api unggun. Dari balik api unggun, melihat wajah wanita muda berpakaian serba hitam itu sungguh merupakan penglihatan mentakjubkan.
Wajah yang ayu itu seperti terbuat dari pada emas. Emas yang terukir indah. Matanya seperti sepasang bintang. Dan mulut itu! Agak cemberut, bibirnya agak terbuka. manisnya sukar diceritakan!
"Maafkan aku, nona......"
"Tidak usah nona-nonaan! Engkau bukan pelayanku!" Liong-li yang masih mendongkol itu mencela lagi.
Cin Hay membelalakkan matanya.
"Sungguh membingungkan! Disebut nona tidak mau, dan aku belum mengetahui siapa namamu, habis harus panggil apa?"
"Engkau panggil apa saja, asal jangan nona. Panggilan itu seperti ejekan saja karena engkau bukan kacungku!"
"Baiklah, Liong-li. Sebaiknya tanpa Hek (hitam) karena engkau tidak berkulit hitam, Hanya pakaianmu yang hitam. Maafkan aku tadi, Liong-li. Melihat engkau menandingi Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya di sarang mereka, aku khawatir sekali. Ketahuilah bahwa datuk iblis itu lihai bukan main......"
"Aku tahu! Golok rampasanku tadi patah oleh pedangnya, akan tetapi engkau boleh takut kepadanya, aku tidak!"
"Ah, harap engkau suka bersikap adil dan suka mempertimbangkan, Liong-li. Ini bukan soal takut atau tidak, melainkan kita harus berhati-hati menghadapi orang-orang jahat dan licik seperti mereka. Kalau tadi engkau nekat menghadapi pengeroyokan mereka di sarang mereka, akhirnya engkau tentu akan celaka."
"Hemm, perduli amat engkau apakah aku akan celaka atau tidak? Pula, di sana terdapat pemuda yang gagah berani itu......"
"Ahhh? Kaumaksudkan Song Tek Hin?"
"Namanya Song Tek Hin? Dia seorang yang memiliki ilmu silat sedikit saja, akan tetapi dia sungguh gagah berani menghadapi maut. Tidak lari-lari ketakutan seperti kita tadi!"
Cin Hay tertawa.
"Ha-ha, memang Tek Hin memiliki keberanian yang hebat! Bahkan kalau tidak kebetulan aku melihat dan mencegahnya, dia sudah mengambil nyawanya sendiri. Tentu saja sekarang dia tidak takut mati, karena agaknya memang dia merindukan kematian."
"Ehh? Apakah yang terjadi dengan dia?" Liong-li tertarik sekali. Semua kemarahan lenyap dari mukanya dan kini ia bersikap seolah-olah ia sedang bercakap-cakap dengan seorang sahabat lama.
Dan Cin Hay juga merasa senang melihat sikap ini. Entah bagaimana, dia merasa seolah-olah sudah lama sekali mangenal baik dan menjadi sahabat gadis perkasa ini! Dia merasa cocok sekali dengan Liong-li, bahkan walaupun wataknya angin-anginan, mudah marah, namun watak inipun menarik baginya, karena marahnya gadis itu ada dasarnya.
"Dia itu calon mantu mendiang Pouw Sianseng......"
"Siapa itu Pouw Sianseng dan apa hubungannya......"
"Semua ada hubungannya. Harap dengarkan ceritaku dengan tenang dan sabar, Liong-li. Setelah kita berdua dipilih oleh mendiang kakek Thio Wi Han sebagai ahliwaris-ahliwaris Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam, kiranya sudah sepatutnya kalau kita bekerja sama menghadapi Hek-sim Lo-mo, bukan?"
"Lihat saja nanti perkembangannya. Teruskan ceritamu tentang Song Tek Hin itu."
"Pouw Sianseng adalah orang yang beruntung mendapatkan Kim-san Liong-cu, yaitu batu atau logam pusaka yang diperebutkan......"
"Aku tahu tentang Kim-san Liong-cu," Liong-li memotong.
"guruku menyuruh aku untuk mencari dan mendapatkan Kim-san Liong-cu pula. Bagaimana Kim-san Liong-cu dapat terjatuh ke tangan orang bernama Pouw Sianseng itu?"
"Hal itu aku kurang jelas, sebaiknya kelak kita tanyakan kepada Tek Hin, kalau kita berhasil membebaskannya. Akan tetapi, agaknya Hek-sim Lo-mo tahu akan rahasia itu. Dia menangkap Pouw Sianseng dan puterinya yang menjadi tunangan Song Tek Hin. Puterinya diperkosa oleh anak buah Hek-sim Lo-mo untuk memaksa Pouw Sianseng menyerahkan mustika itu, dan akhirnya Pouw Sianseng pun dibunuh setelah Liong-cu (mustika naga) itu terampas oleh Hek-sim Lo-mo. Puterinya juga tewas."
"Hemm, memang mereka itu iblis-iblis kejam!" kata Liong-li gemas.
"Seperti engkau mungkin sudah dapat menduga, Hek-sim Lo-mo membawa Liong-cu itu kepada kakek Thio Wi Han, ahli pembuat pedang pusaka dan memaksa kakek itu membuatkan sepasang pedang. Anak buahnya berjaga-jaga di rumah suami isteri Thio Wi Han itu. Akan tetapi seperti kita ketahui, agaknya mereka berdua tidak rela menyerahkan pedang-pedang pusaka kepada Hek-sim Lo-mo. Mereka melarikan diri dan bertemu dengan kita."
"Hemm, lalu bagaimana dengan pemuda itu?"
"Wah, agaknya engkau tertarik sekali kepadanya!" Cin Hay berseru.
Wanita itu menatap wajahnya dengan sinar mata tajam, dan polos,
"Memang, aku tertarik kepadanya dan aku suka kepadanya. Dia pemberani, gagah, tidak mementingkan diri sendiri......"
"Dan tampan!"
"Ya, dan tampan," kata pula Liong-li dengan polos.
Cin Hay tersenyum. Dia tidak cemburu atau iri hati, seolah-olah dia mendengarkan seorang adik perempuan memuji-muji seorang kawan pria saja!
"Aku bertemu dengan Song Tek Hin ketika dia hendak membunuh diri di depan kuburan kuno dari Kiang-sun-ong, karena dia merasa berduka telah kehilangan tunangannya, yaitu Pouw Bi Hwa yang tewas bersama ayahnya di tangan Hek-sim Lo- mo dan anak buahnya. Aku sempat mencegahnya dan menasihatinya, dan dia menurut, bahkan kami lalu pergi mengunjungi kakek Thio Wi Han. Sayang, kami berdua tertawan oleh para penjahat itu......"
"Engkau? Tertawan? Aneh, kukira kepandaianmu cukup untuk dapat membela diri dan tidak sampai tertawan!"
"Mereka menangkap Tek Hin dan mengancam sehingga terpaksa aku menyerah dan ditawan bersama dia di dalam rumah mendiang kakek Thio Wi Han. Kemudian, kakek Thio muncul di pagi hari dan menyerahkan pedang Pek-liong-kiam ini kepadaku setelah dia terluka parah. Aku membawanya lari, terpaksa meninggalkan Tek Hin yang kembali mereka tawan."
"Hemm, dan engkau bertemu dengan aku yang menyelamatkan isteri kakek Thio itu, dan agaknya Tek Hin lalu dibawa ke sini oleh Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya."
"Begitulah, Liong-li," kata Cin Hay sambil menambahkan kayu pada api unggun.
"Tentu saja aku tidak dapat membiarkan dia menjadi tawanan, maka aku memang sudah mempunyai niat untuk mencoba membebaskannya sambil menentang Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya. Akan tetapi, engkau mendahului dan aku membayangimu dari jauh. Aku melihat betapa engkau telah menewaskan Cap-sha-kwi, sungguh hebat sekali engkau, Liong-li. Setidaknya, kini kekuatan mereka berkurang."
Menerima pujian itu, kembali Liong-li merasa jantungnya berdebar. Ini aneh, pikirnya. Banyak sudah ia menerima pujian pria, baik untuk kecantikannya maupun untuk kelihaiannya, dan setiap kali menerima pujian, ia merasa jemu dan bahkan dengan senyum mengejek. Ia tahu betapa pria memang paling pandai memuji dan suka mengobral pujian, tentu saja dengan maksud untuk merayu kaum wanita.
Akan tetapi, pujian yang keluar dari mulut Cin Hay ini tidak dianggapnya sebagai rayuan, bahkan berarti besar. Hal ini adalah karena ia tahu benar bahwa kepandaian pemuda ini tidak berada di sebelah bawah tingkatnya! Sejenak mereka saling pandang dari atas api unggun dan jelas nampak betapa masing-masing saling pandang dengan sinar mata penuh kekaguman.
"Kalau engkau tahu bahwa kekuatan mereka berkurang, kenapa engkau mengajak aku lari seperti dua orang anak kecil takut menghadapi setan-setan? Kenapa kita tidak menyerbu saja dan membasmi mereka malam tadi?"
"Aku sudah pernah menjadi tahanan mereka, akan tetapi ketika itu aku ditahan di dalam rumah kakek Thio Wi Han yang bersahaja. Kini, mereka berada di dalam sarang mereka sendiri. Orang-orang seperti mereka yang amat kejam dan jahat, tentu juga amat curang dan licik. Dalam sarang itu tentu dipasangi banyak alat-alat rahasia dan jebakan-jebakan yang berbahaya. Hal itu amat membahayakan keadaan kita sendiri."
"Apakah tidak membahayakan keselamatan Song Tek Hin?"
Cin Hay tersenyum.
"Jangan khawatirkan dia. Kalau memang para iblis itu menghendaki nyawanya, apa sukarnya bagi mereka untuk membunuhnya? Memang begitulah keadaannya yang kadang-kadang amat membingungkan. Orang yang ingin mati, tidak juga menemui kematiannya, sebaliknya orang yang tidak ingin mati, sekali waktu tiba-tiba saja mati! Kalau orang macam Hek-sim Lo-mo tidak segera membunuh Tek Hin dan menahannya, maka hal itu hanya berarti bahwa datuk iblis itu masih membutuhkan Tek Hin hidup-hidup. Dan agaknya aku mengetahui mengapa mereka belum juga membunuhnya, dan sekarangpun kita tidak perlu khawatir dia akan dibunuh tidak secepat itu!"
"Hemm, omonganmu masuk di akal. Akan tetapi apa yang menyebabkan Hek-sim Lo-mo tidak segera membunuhnya?"
"Untuk memancing kedatanganku!"
"Hemm, belum tentu hanya itu, juga memancing kedatanganku!" kata Liong-li tidak mau kalah.
"Ehh? Apakah mereka juga mengenalmu sebagai lawan?"
"Sebelum malam ini, aku pernah bentrok dengan mereka, juga aku telah membunuh Twa-to Ngo-houw anak buah mereka, membunuh pula Tiat-pi Hek-wan, Hek-sim Lo-mo tentu amat membenciku."
"Aihh, dan sekarang engkau membunuh pula Wei-ho Cap-sha-kwi! Hebat, engkau memang hebat, Liong-li. Aku kagum padamu, dan tentu Tek Hin akan merasa girang sekali mendengar bahwa engkau yang membunuh Tiat-pi Hek-wan, karena penjahat itulah yang memperkosa tunangannya sampai mati."
Liong-li termenung. Betapa banyaknya manusia yang baik hidup menderita di dunia ini. Ia teringat akan keadaan hidupnya sendiri. Ia tidak merasa bahwa ia seorang manusia yang baik, akan tetapi setidaknya ia tidak pernah melakukan perbuatan jahat, sampai tiba perubahan hebat pada dirinya semenjak ia secara terpaksa menjadi selir Pengeran Coan Siu Ong.
Ia memandang kepada Cin Hay, diam-diam ia ingin sekali mendengar bagaimana riwayat pendekar muda berpakaian putih ini. Apakah juga pernah menderita sengsara seperti ia dan juga seperti Tek Hin? Akan tetapi untuk menanyakan hal itu, ia merasa rikuh.
"Sekarang, setelah kita melarikan diri dari sana, lalu apa yang akan kita lakukan?"
"Kita menghadapi Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya di luar sarang mereka, agar tidak ada bahaya perangkap dengan alat rahasia."
"Bagaimana kita dapat memancing mereka keluar?"
"Kita tidak memancing mereka, melainkan menantang! Terang-terangan kita tantang Hek-sim Lo-mo untuk mengadu kepandaian di suatu tempat terbuka. Aku yakin seorang datuk iblis seperti dia memiliki watak yang angkuh dan tentu dia merasa malu kalau tidak menerima tantangan kita orang-orang muda."
Liong-li mengangguk-angguk.
"Baik, kaulakukan saja hal itu. Akan tetapi kalau tidak berhasil besok dia keluar memenuhi tantangan kita, aku akan menyerbu ke sana seorang diri!"
Cin Hay tersenyum.
"Harap jangan tergesa-gesa. Berilah waktu sampai dua hari. Aku mengundang dia dengan surat tantangan besok agar besok lusa dia suka datang ke tempat ini, lusa jam sembilan pagi untuk memenuhi tantangan kita. Kalau lusa dia tidak datang, barulah kita menyerbu ke sana."
"Kita?"
"Tentu saja, Liong-li. Kita berdua sudah sama-sama terjun ke dalam urusan ini, sama-sama basah. Apakah engkau tidak sudi bekerja sama dengan aku?"
Beberapa lamanya mereka saling pandang. Api unggun sudah padam, akan tetapi mereka tidak memerlukannya lagi karena sinar matahari pagi sudah mulai mengusir sisa kegelapan malam.
"Mengingat bahwa kita berdua adalah ahli waris sepasang pedang Naga, baiklah, aku mau bekerja sama. Akan tetapi aku tidak mau menjadi anak buahmu yang harus mentaati semua perintahmu."
"Begitukah? Baik, mulai sekarang engkau yang menjadi pemimpinnya, Liong-li, dan aku akan mentaati semua petunjukmu!"
Wajah Lie Kim Cu berubah merah dan mulutnya cemberut.
"Bukan begitu maksudku, kita bekerja sama, setiap tindakan harus dirundingkan dan disetujui bersama. Pendeknya, aku tidak mau menjadi anak buah."
"Aku tidak berkeberatan untuk menjadi anak buah," jawab Cin Hay.
"biar engkau yang menjadi bapak buah...... eh, maksudku ibu buah...eh......"
"Sudahlah, aku setuju dengan maksudmu mengirim surat tantangan tadi. Bagaimana engkau hendak melakukannya?"
"Akan kutulis sebuah surat tantangan berbunyi begini :
Hek-liong-li dan Pek-liong-eng menantang Hek-sim Lo-mo untuk mengadu ilmu. Kalau berani, agar datang di petak rumput tepi sungai dalam hutan sebelah timur kota, besok pagi jam 9.00 pagi. Kami tunggu!"
Liong-li mengangguk-angguk.
"Baik, kalau begitu, aku mau pergi dulu dan besok lusa pagi aku datang ke sini."
"Nanti dulu, Liong-li, masih ada siasat lain yang perlu kubicarakan denganmu."
Liong-li yang tadinya sudah bangkit berdiri, terpaksa duduk kembali dan memandang wajah pemuda itu dengan tajam penuh selidik.
"Siasat apa lagi?"
"Liong-li, engkau tentu tahu bahwa orang semacam Hek-sim Lo-mo adalah lawan yang tangguh sekali, selain tinggi ilmu silatnya, juga tentu licik dan curang. Dia menawan Tek Hin, tentu akan mempergunakan pemuda itu, selain untuk memancing kami, juga mungkin sekali dia hendak mempergunakan dia sebagai sandera untuk memaksa kita menyerah. Oleh karena itu, akan lebih baik kalau kita setelah mengirim surat tantangan, berusaha untuk membebaskan Tek Hin lebih dulu."
"Hemm, caranya?" tanya Liong-li sambil mengelus-elus dagunya.
Diam-diam Cin Hay amat tertarik. Wanita cantik ini kadang-kadang lucu, mengelus dagu seperti kebiasaan banyak pria kalau sedang berpikir. Pada hal dagu itu halus mulus, sama sekali tidak ada jenggotnya!
"Caranya? Kita bekerja sama, maka kuserahkan padamu bagaimana baiknya untuk dapat membebaskan Tek Hin sebelum gerombolan penjahat itu memenuhi undangan kita."
(Lanjut ke Jilid 13)
Sepasang Naga Penakluk Iblis (Seri ke 01-Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo
Jilid 13
Liong-li merasa bahwa ia sedang diuji kecerdikannya oleh Pek-liong-eng, maka iapun berpikir keras dan mengambil keputusan untuk memaksakan siasat yang sedang dirancangnya itu. Ada sepuluh menit ia mengerutkan alis dan termenung itu, dan diam-diam Cin Hay mengerling dan mengamatinya dengan hati tertarik.
"Ah, sudah kudapatkan!" tiba-tiba wanita itu berseru dan wajahnya berseri.
"Bagus, bentangkan rencanamu, Liong-li!" kata Cin Hay, ikut gembira.
"Kalau kita malam ini atau malam besok menyerbu untuk menolong Tek Hin, hal itu tentu tidak ada gunanya karena kita sudah mengirim tantangan memancing mereka keluar dari sarang. Lalu bagaimana kita dapat membebaskan Tek Hin sebelum mereka keluar memenuhi tantangan kita? Hanya ada satu jalan!" Liong-li memandang Cin Hay den keduanya saling pandang seperti hendak menjenguk isi hati masing-masing.
Cin Hay juga sudah mempunyai rencana dan memang tepat seperti dikatakan Liong-li tadi. Hanya ada satu jalan, dan dia ingin sekali tahu apakah jalan pikiran mereka sama.
"Nanti dulu, Liong-li. Tunggu aku tuliskan dulu rencanaku, kemudian disesuaikan dengan rencanamu dan kita rundingkan sematangnya."
Cin Hay cepat mengeluarkan alat tulis yang berupa daun lebar saja yang dipetiknya dari pohon dan sebatang kayu kecil runcing untuk menulis. Dicoret-coretnya di atas beberapa helai daun, kemudian setelah selesai, dia menelungkupkan daun-daun itu dan berkata lagi.
"Nah, sekarang katakanlah bagaimana jalan satu-satunya yang hendak kau tempuh untuk menolong Tek Hin."
"Kita tidak mungkin menolong Tek Hin keluar dari sarang itu selama Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya berada di sana. Kita lihat saja. Kalau lusa dia bawa Tek Hin keluar untuk menyambut tantangan kita, seorang di antara kita serbu Hek-sim Lo-mo dan seorang lagi cepat membebaskan Tek Hin. Kalau mereka meninggalkan Tek Hin di sarang mereka, begitu mereka keluar untuk menyambut tantangan kita, kita menyelundup dulu ke dalam dan membebaskannya, baru kita mengejar gerombolan itu."
Cin Hay tersenyum. Hatinya gembira sekali, gembira dan juga kagum. Ternyata jalan pikiran mereka sama! Sungguh senang sekali bekerja sama dengan wanita yang cantik manis dan cerdik ini.
"Hemm, kenapa kau senyum-senyum?"
Cin Hay menyerahkan tumpukan daun yang ditulisnya tadi kepada Liong-li.
"Kau bacalah sendiri."
Liong-li membaca. Coretan-coretan itu cukup jelas, dan alisnya berkerut ketika ia membaca,
"Kalau mereka membawa Tek Hin, kita serbu di perjalanan, kalau mereka meninggalkannya, kita bebaskan Tek Hin selagi mereka keluar memenuhi tantangan kita."
"Heiii, kau menjiplak saja rencanaku, ya?"
"Aih, Liong-li, bagaimana aku menjiplak kalau aku yang lebih dulu menuliskannya di atas daun-daun ini? Apakah engkau tadi melihat aku corat-coret dan dapat membaca dari gerakanku?"
"Tan Cin Hay!" Liong-li meloncat berdiri dan alisnya terangkat, matanya terbelalak marah.
"Kau menuduh aku menjiplakmu? Hei, laki-laki yang lancang mulut!"
Cin Hay terkejut. Sungguh sukar diduga sebelumnya watak wanita ini, pikirnya. Tiada hujan tiada angin, seperti kilat dan guntur menyambar-nyambar begitu saja. Cepat dia bangkit berdiri.
"Maaf, Liong-li. Aku hanya ingin bergurau. Tentu saja engkau tidak menjiplaknya, seperti akupun tidak menjiplak darimu. Ternyata jalan pikiran kita sama dan ini berarti bahwa memang kita cocok untuk saling kerja sama. Selanjutnya, bagaimana baiknya rencana ini dilaksanakan, terserah kepadamu."
Rasa panas di dada Liong-li menjadi dingin kembali. Wataknya memang pemarah semenjak ia menjadi Liong-li, akan tetapi kesadarannya selalu membuat ia mudah melihat persoalan dan iapun tahu bahwa pemuda itu tidak sengaja menuduhnya menjiplak.
"Sudahlah, sebaiknya kau berhati-hati kalau bicara. Ingat, di antara kita belum ada yang kalah atau menang, maka sekali waktu ingin aku menguji kepandaian kita."
"Wah, lupa lagi kau, Liong-li? Aku pernah terkena pukulanmu, tangan kirimu yang membuat aku panas dingin dan keracunan."
"Hemm, itu belum berarti aku menang. Sudah, mari kita rundingkan dari mana kita dapat mengintai sebaiknya. Tentu mereka akan melalui pintu gerbang sebelah timur, kita mencari tempat persembunyian yang baik di luar pintu gerbang......"
Mereka lalu duduk lagi. Kini api unggun telah padam, dan mereka merundingkan siasat mereka untuk mengirim tantangan dan untuk mengintai rombongan musuh itu kalau mereka keluar esok lusa pagi.
?Y?
Bayangan yang tubuhnya ramping itu bergerak dengan gesitnya, meloncati pagar tembok bangunan rumah Hek-sim Lo-mo. Di punggungnya tergantung sepasang pedang dan ketika bulan menyinari mukanya, nampaklah wajah seorang gadis yang manis, dengan pakaian serba hijau dan matanya bersinar terang ketika ia melompat ke sebelah dalam dan memandang ke kanan kiri penuh selidik.
Agaknya iapun maklum bahwa ia berada di sarang harimau ganas, maka ia mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya, lalu melangkah maju berindap-indap menghampiri bangunan gedung yang besar itu. Ia tidak tahu sama sekali bahwa sejak ia muncul di luar tembok pagar bangunan itu, semua gerak geriknya telah diikuti oleh pandang mata beberapa orang yang mengintai dari dalam gedung.
Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena baru saja menderita kerugian besar dengan terbunuhnya Wei-ho Cap-sha-kwi, dan tahu bahwa di luar terdapat dua orang musuh yang amat lihai, maka Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya bersikap hati-hati sekali. Mereka tidak pernah lengah melakukan penjagaan secara bergiliran dan pada malam hari itu, tentu saja mereka yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi itu dapat melihat gerak-gerik bayangan berpakaian hijau yang melompati pagar tembok.
Malam itu yang melakukan giliran berjaga malam adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng dan Yauw Ban. Mereka berdua bersama belasan orang penjaga yang menjadi anak buah mereka, mengintai dan mengamati gerak gerik bayangan berbaju hijau itu.
Ketika mereka melihat bahwa bayangan itu adalah seorang gadis, tadinya mereka terkejut dan mengira bahwa yang muncul adalah Liong-li. Akan tetapi ketika sinar bulan menimpa wajah gadis itu dan mereka melihat bahwa gadis itu bukan Liong-li, hati kedua orang jagoan ini menjadi besar. Apa lagi Jai-hwa Kong-cu Lui Teng, ketika melihat gadis manis itu, dia tersenyum dan berbisik kepada Yauw Ban.
"Yauw toako, serahkan saja gadis itu kepadaku. Aku akan menangkapnya!"
Yauw Ban mengerutkan alisnya. Dia sudah mengenal benar watak Jai-hwa Kongcu ini, seorang pemuda yang gila perempuan dan tidak pernah mau melepaskan seorang gadis cantik begitu saja tanpa mengganggunya.
"Ingat, kita sedang menghadapi ancaman musuh yang lihai. Jangan pandang rendah gadis ini, dan setelah berhasil menangkapnya, jangan sekali-kali mengganggunya sebelum membawanya menghadap Beng-cu agar ia diperiksa apa maksudnya datang ke sini. Siapa tahu ia adalah teman dari Liong-li atau pemuda baju putih itu."
Jai-hwa Kongcu tersenyum.
"Aku mengerti, toako. Akan kutangkap ia dan kubawa ke depan Beng-cu, kemudian kalau Beng-cu menyerahkan ia kepadaku, hemm......!" Matanya berkejap penuh arti, kemudian sambil menyeringai, Lui Teng berkelebat lenyap di dalam gelap untuk mencari gadis yang sudah masuk ke dalam pekarangan tadi.
Yauw Ban tidak tinggal diam. Bersama anak buah diapun lalu membayangi, setelah berpesan kepada para penjaga lainnya agar tidak lengah dan tetap melakukan penjagaan ketat. Siapa tahu gadis itu hanya merupakan siasat dari dua orang musuh yang lihai itu, untuk memindahkan perhatian mereka, kemudian kalau mereka lengah karena mengejar gadis baju hijau, lalu pemuda baju putih dan Liong-li akan menyerbu masuk!
Gadis baju hijau itu memang manis sekali wajahnya, dan kulit muka dan lehernya nampak putih mulus di balik pakaiannya yang serba hijau. Sepasang pedang yang dicabutnya juga mengeluarkan sinar berkilauan, tanda bahwa itu adalah sepasang pedang yang baik dan cukup ampuh.
Gerakannya ringan sekali ketika dara ini menyelinap di antara pohon-pohon mendekati gedung itu. Ia memasuki gedung itu dari sebuah pintu belakang yang dengan mudah ia dorong terbuka dari luar. Sekali menyelinap masuk, sikapnya amat waspada dan iapun mencari-cari. Yang dicarinya adalah kamar di mana ia akan dapat menemukan Hek-sim Lo-mo karena kedatangannya ini adalah untuk membunuh datuk sesat itu!
Dengan berindap-indap gadis baju hijau itu mengintai dari jendela sebuah kamar. Ia melihat seorang pemuda tampan duduk menghadapi meja dan sedang membaca buku di bawah sinar tiga batang lilin. Ia dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas dan sepasang mata yang jeli itu terbelalak penuh kaget dan keheranan!
"Song-toako......" Terdengar ia berbisik dari luar jendela.
Pemuda itu bukan lain adalah Song Tek Hin yang menjadi tawanan! Semenjak kegagalan Liong-li untuk membebaskannya, pemuda ini merasa kecewa sekali. Setelah berjumpa dengan Liong-li, dia merasa kagum sekali dan merasa heran mengapa kini dia tidak lagi nekat untuk menghadapi kematian.
Kehidupan yang tadinya terasa kosong setelah kematian tunangannya, yaitu Pouw Bi Hwa, yang membuat dia tidak kerasan lagi hidup di dunia, kini berubah. Kehidupan itu berarti kembali! Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada pendekar wanita yang amat perkasa itu, pendekar yang dengan beraninya menyerbu dan menentang Hek-sim Lo-mo dan berusaha untuk membebaskannya.
Sayang sekali bahwa gadis itu gagal dan terpaksa melarikan diri bersama Cin Hay, sedangkan dia tertawan kembali. Untungnya, Hek-sim Lo-mo masih mempergunakan dia sebagai umpan dan tidak membunuhnya. Untuk melenyapkan kekesalan hatinya, dia membaca buku yang memang disediakan oleh tuan rumah untuk dia melewatkan waktu menganggur,
"Song-toako......!"
Song Tek Hin terkejut. Tadi dia sudah mendengar bisikan itu akan tetapi karena perhatiannya tercurah kepada bacaannya, dia tidak memperhatikan dan mengira bahwa dia salah dengar. Akan tetapi sekali ini dia menoleh ke arah jendela dan wajahnya berseri, matanya memandang penuh harapan. Liong-li datang lagi! Datang lagi untuk membebaskannya, pikirnya.
"Liong-li......!" bisiknya kembali dan cepat dia membuka daun jendela dengan hati-hati sekali. Akan tetapi, wajah yang dilihatnya di luar jendela sama sekali bukan wajah Liong-li, walaupun wajah itu juga manis dan menarik sekali.
"Ah, engkau...... Su Hong Ing......?" dalam suaranya terkandung keheranan, kekagetan juga kekecewaan karena yang muncul bukan Liong-li yang amat diharapkan dan dirindukan.
Su Hong Ing ini adalah saudara misan dari mendiang Pouw Bi Hwa, masih keponakan dari ibu tunangannya itu dan Su Hong Ing menjadi murid dari perguruan silat Bu-tong-pai yang amat terkenal pula. Ilmu silat gadis baju hijau ini sudah lumayan tingginya, seimbang dengan tingkat kepandaian Song Tek Hin. Tek Hin mengenal Hong Ing karena pernah gadis ini datang dan tinggal untuk beberapa bulan lamanya di rumah mendiang Pouw Sianseng dan sempat diperkenalkan kepadanya oleh mendiang Pouw Bi Hwa, tunangannya.
Sekali melompat, Hong Ing telah melompati jendela dan telah berada di dalam.
"Song-toako, bagaimana engkau dapat berada di sini?" bisiknya, dan melihat pemuda itu tidak terbelenggu, sama sekali bukan sebagai tahanan bahkan kamarnyapun cukup bagus, ia lalu mengerutkan alisnya.
"Ah, toa-ko, sungguh aku tidak mengerti! Mereka telah membunuh paman dan membunuh adik Bi Hwa, dan engkau malah...... agaknya menjadi sahabat para penjahat itu? Sungguh tak kusangka......!"
"Ssttt, Ing-moi, jangan kau bicara begitu. Engkau tidak tahu, aku di sini sebagai tawanan, sebagai umpan agar dua orang pendekar yang menjadi musuh mereka datang untuk mencoba membebaskan aku, tidak tahunya engkau malah yang muncul! Hong Ing, lekas engkau pergi dari sini selagi masih ada kesempatan. Cepat, mereka itu lihai sekali! Engkau dan aku bukanlah lawan mereka. Pergilah, Ing-moi......!"
"Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari luar jendela.
"Ha-ha-ha, nona manis masuk tanpa diundang, tidak boleh pergi begitu saja sebelum berkenalan dengan aku!"
Tek Hin mengenal suara Jai-hwa Kongcu Lui Teng dan dia terkejut sekali. Si mata keranjang itu merupakan seorang pembantu Hek-sim Lo-mo, seorang di antara para pembantu yang paling lihai!
"Celaka, dia lihai sekali," bisiknya kepada Hong Ing, lalu dia menjengguk keluar jendela dan berkata dengan suara lantang.
"Saudara Lui Teng, harap jangan ganggu. Yang datang ini adalah adikku sendiri yang ingin menjengukku, tidak mempunyai iktikad buruk. Biarkan ia pergi dan harap jangan diganggu!"
"Ha-ha-ha, bagus! Kalau ia adikmu sendiri, maka berarti ia adalah tamu kami. Marilah, nona, mari kuantar engkau menghadap Beng-cu yang menjadi tuan rumah. Silakan keluar!"
Hong Ing mengerutkan alisnya. Ia menyelundup ke tempat itu hanya dengan satu tujuan, yaitu membunuh Hek-sim Lo-mo yang telah membunuh pamannya, Pouw Sianseng dan adik misannya Pouw Bi Hwa. Ia mengandalkan ilmu silatnya sebagai seorang murid Bu-tong-pai yang lihai dan ia percaya bahwa dengan ilmunya yang amat diandalkan, yaitu sepasang pedang, ia akan mampu membunuh datuk sesat itu. Tak disangkanya sama sekali bahwa Song Tek Hin, calon ipar misannya yang ia tahu juga amat lihai, telah menjadi seorang tawanan di situ, kelihatannya amat tidak berdaya walaupun tidak dibelenggu!
Kini, mendengar suara orang di luar itu, tentu saja ia tidak merasa gentar.
"Aku datang hendak bertemu dan membuat perhitungan dengan Hek-sim Lo-mo, bukan ingin bertemu dengan Beng-cu atau siapapun juga!" bentaknya.
Jai-hwa Kongcu Lui Teng tertawa.
"Ha-ha-ha, Song Tek Hin, apakah engkau tidak memberitahu kepada adikmu bahwa locianpwe Hek-sim Lo-mo itu adalah Beng-cu?"
Mendengar ini, Hong Ing menoleh kepada Tek Hin dan pemuda itu mengangguk membenarkan.
"Ing-moi, engkau cepat menerobos keluar dan lari!" bisiknya dengan hati khawatir sekali.
"Tidak, aku harus bertemu dengan Hek-sim Lo-mo!" jawab Hong Ing yang memiliki keberanian luar biasa, tiada bedanya dengan Tek Hin sendiri.
Hanya bedanya, kalau sekarang Tek Hin sudah tahu benar akan keadaan pihak lawan yang sungguh amat lihai sehingga dia sama sekali bukan lawan mereka, sebaliknya Hong Ing yang belum mengetahui keadaan dan kekuatan Hek-sim Lo-mo, masih memandang rendah mereka dan mengira bahwa dengan ilmu kepandaiannya, ia akan mampu membunuh datuk itu untuk membalaskan kematian paman dan adik misannya!
Setelah berkata demikian, dengan kedua tangan masih memegang sepasang pedangnya, Hong Ing melompat keluar dari kamar itu melalui jendela. Di luar jendela, dia disambut oleh seorang laki-laki yang berwajah tampan, memakai pakaian seperti pelajar, sikapnya ramah dan laki-laki itu telah menjura dengan hormat kepadanya.
"Nona, namaku Lui Teng dan marilah kuantar nona untuk bertemu dengan Beng-cu Hek-sim Lo-mo yang tentu akan menyambut nona dengan baik," katanya dengan halus.
Su Hong Ing hanya mengangguk, lalu ia mengikuti Lui Teng melalui lorong menuju ke sebuah ruangan di mana Hek-sim Lo-mo yang sudah dilapori tentang penyusupan seorang gadis baju hijau itu telah duduk menanti.
Ruangan itu luas dan ketika Hong Ing yang mengikuti Lui Teng dari belakang tiba di situ, ia melihat seorang kakek tinggi besar bermuka hitam, matanya lebar, kumis dan jenggotnya lebat, pakaiannya seperti hartawan dan sikapnya berwibawa. Ia menduga bahwa tentu itulah yang disebut Hek-sim Lo-mo, maka begitu berdiri di depan kakek itu, ia lalu bicara dengan suara lantang.
"Apakah engkau yang bernama Hek-sim Lo-mo dan engkau yang telah membunuh paman Pouw dan puterinya, Pouw Bi Hwa?"
Mendengar pertanyaan ini, Hek-sim Lo-mo memandang gadis itu tanpa menjawab, lalu dia berbalik dengan sebuah pertanyaan dengan suaranya yang besar parau.
"Dan engkau siapakah, nona?"
"Namaku Su Hong Ing, aku seorang murid Bu-tong-pai dan aku datang untuk membalaskan kematian pamanku dan adik misanku. Kalau benar engkau Hek-sim Lo-mo, bangkitlah dan mari kita membuat perhitungan!" Berkata demikian, gadis itu sudah memasang kuda-kuda dengan sepasang pedangnya. Ilmu pedang Bu-tong-pai memang terkenal indah dan kuat. Akan tetapi, sikap gadis itu menimbulkan perasaan geli di dalam hati Hek-sim Lo-mo.
Bagaimanapun juga, dia harus memuji bahwa gadis ini memiliki keberanian yang hebat, seperti yang diperlihatkan oleh Song Tek Hin, tawanannya itu. Gadis seperti ini bukan orang sembarangan dan alangkah baiknya kalau ia dijadikan tawanan pula, sehingga dengan demikian, dua orang musuh yang amat dibencinya itu. Liong-li dan Tan Cin Hay, tentu semakin tertarik untuk datang dan berusaha membebaskan Tek Hin dan gadis bernama Su Hong Ing ini!
"Hemm, engkau ini gadis yang masih hijau dan tak tahu diri. Engkau menantang aku? Biar orang nomor satu dari Bu-tong-pai sekalipun, belum tentu akan mampu menandingi aku, apa lagi engkau seorang murid yang masih rendah tingkatmu. Lui Teng, wakililah aku untuk menundukkan gadis angkuh ini, akan tetapi jangan lukai karena ia harus menjadi tawanan kita pula!"
Tentu saja Lui Teng merasa girang sekali diberi perintah untuk menundukkan gadis yang telah menarik hatinya ini. Sekali menggerakkan tubuhnya, dia telah berada di depan Hong Ing sambil tersenyum. Wajahnya memang tampan dan senyumnya menarik, akan tetapi melihat sinar matanya yang genit itu, Hong Ing mengerutkan alisnya dan menjadi marah.
"Hek-sim Lo-mo, engkau majulah sendiri untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang telah membunuh pamanku dan adik misanku yang tidak berdosa, dan jangan menyuruh segala macam manusia tidak berguna untuk menghadapiku!"
Lui Teng tidak menjadi marah dan diapun tertawa.
"Aduh-aduh, orangnya cantik manis sekali, akan tetapi tinggi hati, sombong dan seperti seekor kuda betina liar. Alangkah akan menyenangkan kalau aku dapat menundukkan kuda liar ini. Majulah, nona dan mari kita lihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau berani bersikap seangkuh ini!"
Kini Hong Ing menjadi marah sekali. Mukanya menjadi merah dan ini menambah kemanisan wajahnya. Dengan gerakan yang cepat dan kuat, iapun tanpa banyak cakap lagi sudah maju menyerang, sepasang pedangnya membabat dari kanan kiri untuk menggunting lawan.
Namun, dengan gerakan lincah sekali Lui Teng sudah meloncat ke belakang sehingga serangan sepasang pedang itu tidak mengenai sasaran, kemudian dari arah samping, dengan gerakan cepat dan tidak tersangka-sangka, tangan kanan Lui Teng menjulur ke arah pipinya dengan gerakan menampar atau mencolek. Hong Ing cepat miringkan tubuhnya ke kanan dan hendak menggerakkan sepasang pedangnya untuk membalas, akan tetapi tiba-tiba saja tangan kiri Lui Teng sudah menyelonong ke depan mencengkeram ke arah dadanya!
"Ihhh......!" Hong Ing menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang lalu memutar pedangnya di depan tubuh. Wajahnya menjadi merah sekali karena hampir saja buah dadanya kena dicengkeram lawan yang kurang ajar itu. Kemarahannya memuncak ketika ia melihat Lui Teng tertawa-tawa senang, akan tetapi iapun tahu bahwa ternyata .pria yang tampan dan genit kurang ajar ini lihai sekali! Iapun memutar sepasang pedangnya dan menyerang lagi dengan bertubi-tubi.
Akan tetapi, tingkat kepandaian gadis baju hijau ini memang kalah jauh dibandingkan tingkat kepandaian Jai-hwa Kongcu Lui Teng yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari perguruan Pek-tiauw-pang (Rajawali Putih) di Lu-san. Andaikata ada lima orang Hong Ing, belum tentu akan mampu mengalahkan penjahat cabul ini.
Betapapun juga, tidak mudah bagi Lui Teng untuk menundukkan gadis yang bersenjata sepasang pedang dan yang memiliki keberanian yang nekat itu tanpa melukainya. Setelah dilarang oleh Beng-cu, dia sendiripun tidak ingin melukai gadis ini yang telah diperhitungkannya akan menjadi korbannya dan dia ingin mendapatkan gadis ini dalam keadaan utuh dan tidak terluka.
Sepasang pedang gadis itu menyambar-nyambar, memang tidak terlalu berbahaya baginya, namun menyukarkan dia untuk dapat menundukkan tanpa melukainya. Maka, Lui Teng lalu melolos sabuk putihnya, sabuk sutera putih yang merupakan senjatanya amat ampuh. Begitu sabuk ini dilolosnya, nampak sinar putih bergulung-gulung dan tiba-tiba saja Hong Ing mengeluarkan suara menjerit karena sepasang pedangnya telah terlibat-libat oleh sabuk putih dan tidak dapat ia gerakkan!
Selagi ia menarik-narik sepasang pedang itu untuk melepaskannya, tiba-tiba tangan kiri Lui Teng menyambar dan menotok pundaknya. Gadis itu mengeluh dan terguling dengan kaki tangan lumpuh. Ia tentu akan terbanting jatuh kalau saja Lui Teng tidak dengan cepat menyambut tubuhnya dan memeluknya dengan mesra!
"Beng-cu, apa yang harus saya lakukan dengan ia. Apakah Beng-cu menyerahkannya kepada saya?" tanya Lui Teng sambil mendekatkan mukanya pada wajah yang putih mulus dan berpipi halus itu.
Hong Ing hampir pingsan saking ngerinya dan iapun memejamkan matanya.
"Hemm, jangan engkau main-main, Lui Teng!" Hek-sim Lo-mo membentak sehingga mengejutkan Lui Teng dan dia segera menjauhkan mukanya dari muka gadis yang ditawannya.
"Awas, engkau tidak boleh mangganggunya! Ia harus diperlakukan baik-baik seperti tawanan pemuda itu. Biar ia memperkuat umpan yang kita pasang. Akan tetapi masukkan mereka dalam satu kamar dan jaga baik-baik agar mereka tidak lolos. Akan terlalu merepotkan kalau mereka dipisahkan. Sekali lagi, perlakukan mereka berdua baik-baik sampai umpan itu berhasil mendatangkan ikan-ikan yang kita kehendaki. Kalau sudah begitu, ia akan kuserahkan kepadamu!"
Jai-hwa Kongcu Lui Teng menjadi girang sekali.
"Hemm, nona manis, engkau sungguh beruntung. Beng-cu akan menganggapmu sebagai seorang tamu agung, dan kelak engkau akan menjadi milikku, hidup berbahagia bersama aku, manis."
Hong Ing adalah seorang gadis yang selain pemberani juga amat cerdik. Ia telah mendengar semua percakapan mereka dan tahulah ia bahwa pemuda lihai ini amat takut kepada "beng-cu" itu. Karena jelas bahwa Hek-sim Lo-mo tidak menghendaki ia diganggu, maka iapun berkata dengan galak.
"Bebaskan aku dan jangan pondong aku! Aku mampu berjalan sendiri!"
Lui Teng memandang dengan ragu-ragu, akan tetapi terdengar suara Hek-sim Lo-mo.
"Lui Teng, lepaskan ia dan simpan sepasang pedangnya!"
Lui Teng merasa kecewa sekali. Biarpun dia belum boleh mengganggu gadis itu, setidaknya dia ingin memandang dan mendekapnya, membawanya ke kamar tahanan, bahkan kalau ada kesempatan dia dapat mencumbunya. Akan tetapi, Beng-cu telah memerintahkan agar dia membebaskan gadis itu, maka diapun tidak berani membantah dan dua kali dia menepuk punggung Hong Ing yang segera dapat menggerakkan kaki tangannya. Ia cukup cerdik untuk tidak mengamuk lagi, maklum bahwa di tangan orang-orang pandai ini ia tidak berdaya.
Sekarang tahulah ia mengapa Tek Hin mau dijadikan tawanan dan sama sekali tidak melawan. Melawanpun tidak akan ada gunanya. Baru menghadapi seorang pembantu Hek-sim Lo-mo saja, ia sama sekali tidak berdaya. Apa lagi kalau banyak pembantunya maju. Apa lagi kalau kakek raksasa itu sendiri yang maju! Oleh karena itu, setelah ia mampu bergerak, iapun tidak mau mengamuk lagi dan menurut saja ketika disuruh berjalan dan dikawal oleh Lui Teng menuju ke kamar di mana Tek Hin berada.
Melihat gadis itu dibawa masuk ke dalam kamarnya, Tek Hin mengerutkan alisnya dan segera dia tahu bahwa Hong Ing juga sudah ditaklukkan oleh gerombolan penjahat itu.
"Song Tek Hin, engkau memperoleh seorang teman, gadis cantik manis ini. Akan tetapi awas, jangan engkau mengganggunya. Ia adalah calonku, tahu?" kata Lui Teng sambil meninggalkan mereka dan tertawa mengejek.
Hong Ing menjatuhkan dirinya di atas kursi, tidak menangis melainkan cemberut. Tek Hin juga duduk di atas pembaringannya, memandang kepada gadis itu. Seorang gadis yang cantik manis seperti yang dikatakan Lui Teng tadi, pemberani akan tetapi tinggi hati sehingga memandang rendah lawan.
"Hemm, tentu mereka telah menundukkanmu, bukan?" tanyanya tanpa nada mengejek, hanya menyesal mengapa gadis itu demikian bodoh melakukan penyerbuan terhadap gerombolan penjahat yang amat lihai tanpa perhitungan sama sekali.
Hong Ing menarik napas panjang.
"Tidak kusangka bahwa mereka selihai itu," dan ia memandang kepada Tek Hin.
"Song-toako, apa artinya bahwa engkau dan aku, kita dijadikan umpan? Siapa yang hendak dipancing datang ke sini?"
Tek Hin lalu menceritakan dengan singkat tentang Tan Cin Hay dan Liong-li.
"Tanpa adanya engkau menjadi tawananpun, aku yakin bahwa saudara Tan Cin Hay, terutama sekali nona Liong-li, pasti akhirnya akan muncul untuk membebaskan aku. Tan-taihiap dan nona Liong-li adalah dua orang muda yang amat hebat, terutama sekali nona Liong-li! Mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi dan kiranya hanya mereka berdua itulah yang akan mampu menandingi Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya."
"Toako. engkau selalu memuji-muji nona Liong-li! Orang macam apakah ia itu?"
"Wah, selama hidupku baru satu kali ini aku melihat seorang gadis seperti nona Liong-li! Ia cantik jelita seperti seorang bidadari, ia pemberani dan cerdik bukan main, dan ia memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali. Sungguh, aku kagum sekali pada gadis hebat itu, Ing-moi!"
Diam-diam Hong Ing merasa mendongkol. Teringat ia betapa ia pernah merasa iri kepada mendiang Pouw Bi Hwa yang memperoleh seorang calon suami seperti Song Tek Hin yang tampan, terpelajar dan pandai ilmu silat. Akan tetapi, kiranya pemuda ini tidak memiliki kesetiaan! Baru saja tunangannya mati, dia sudah tergila-gila kepada seorang gadis lain!
"Hemmm, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya dengan suara yang kurang puas.
"Tidak apa-apa, hanya menanti saja. Mudah-mudahan tidak terlalu lama mereka akan muncul untuk membebaskan kita."
"Tinggal sekamar begini? Kita berdua? Aku tidak mau!"
"Eh, Ing-moi, mengapa engkau begitu? Kita tidak ada pilihan lain. Kita diperlakukan dengan baik hanya karena mereka mempergunakan kita sebagai umpan! Kalau tidak karena adanya nona Liong-li dan Tan Taihiap, belum tentu kita dapat diperlakukan begini baik. Bagaimanapun juga, kita adalah tawanan."
"Enak saja bagimu! Engkau seorang laki-laki, akan tetapi aku seorang wanita! Bagaimana mungkin aku tinggal sekamar denganmu? Bagaimana mungkin kita tidur sekamar?"
"Mengapa tidak, Ing-moi? Aih, aku tahu apa yang kaupikirkan! Ing-moi, kita dalam keadaan terpaksa, kita senasib! Kaukira aku ini orang laki-laki macam apa? Jangan khawatir, engkau boleh tidur di atas pembaringan ini dan aku akan tidur di kursi, atau di lantai!"
Mendengar suara pemuda itu agaknya penasaran dan marah, Hong Ing merasa tidak enak hati juga. Ia sudah lama mengenal pemuda ini, seorang pemuda yang gagah dan baik, sehingga tidak mungkin melakukan hal yang tidak pantas terhadap dirinya. Wajahnya berubah merah.
"Bukan maksudku tidak percaya kepadamu, Song-toako. Akan tetapi apakah kita berdua harus mandah begini saja, hanya menunggu dan menerima nasib tanpa berusaha untuk membela diri sama sekali?"
"Hong Ing, aku yakin benar bahwa kita berdua bukanlah lawan mereka. Kalau kita nekat memberontak, hal itu sama saja dengan membunuh diri dan kita tentu akan disiksa sebelum dibunuh. Dari pada begitu, kita menanti saat yang baik. Kalau mereka berdua muncul, kita langsung membantu mereka, sehingga mereka berdua menjadi lebih kuat dan kita memperlihatkan bahwa kita bukanlah orang-orang yang hanya menunggu pertolongan atau menunggu mati saja."
Barulah hati Hong Ing tidak penasaran lagi. Tek Hin lalu turun dari pembaringan, mempersilakan gadis itu duduk di sana dan dia sendiri lalu duduk di atas kursi.
"Orang yang genit tadi sungguh lihai sekali," kata Hong Ing.
"dan aku ngeri melihat sikapnya. Apakah masih ada lagi para pembantu yang lihai seperti itu dari Hek-sim Lo-mo?"
"Ah, dia tadi adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng dan dia hanya seorang di antara para pembantu Hek-sim Lo-mo. Masih ada yang lebih lihai dari dia! Ada Tok-gan-liong Yauw Ban, kemudian Kiu-bwe Mo-li, dan dua orang saudara kembar He-nan Siang-mo dan penjahat cabul tadi. Mereka berlima adalah para pembantu utama yang amat lihai. Melawan mereka seorang saja, kita berdua masih tidak mampu menang, dan belum lagi kurang lebih duapuluh orang penjaga yang rata-rata juga pandai ilmu silat. Dan yang lebih hebat lagi adalah Hek-sim Lo-mo sendiri. Kepandaiannya seperti iblis!" Lalu pemuda itu menceritakan tentang gerombolan penjahat itu seorang demi seorang, mengenai kekejaman dan kelihaian mereka.
Mendengar keterangan ini, Hong Ing bergidik, dan baru ia tahu betapa sembrono dan bodohnya ia, berani memasuki guha harimau yang didiami begitu banyaknya penjahat yang lihai sekali. Mulailah ia merasa khawatir.
"Kalau mereka begitu hebat, bagaimana mungkin Liong-li mu itu akan dapat mengalahkan mereka?"
Mendengar sebutan "Liong-li mu" itu, Tek Hin tersenyum dan baru dia menyadari bahwa gadis ini merasa tidak senang mendengar dia tadi begitu memuji-muji seorang gadis bernama Liong-li!
"Tenangkanlah hatimu, Ing-moi. Aku bukan hanya memuji secara gegabah saja! Gadis yang berjuluk Liong-li itu sungguh hebat dan ilmu kepandaiannya amat tinggi. Tahukah engkau? Aku sendiri menyaksikan betapa ia seorang diri telah membasmi Wei-ho Cap-sha-kwi, yaitu tigabelas orang yang tadinya juga menjadi pembantu utama Hek-sim Lo-mo. Pada hal mereka itu cukup lihai, tingkat kepandaian mereka itu masing-masing mungkin seimbang dengan tingkat kepandaianku. Dan dalam waktu singkat sekali mereka semua tewas di tangan Liong-li, dan aku hanya membantunya sedikit saja! Kemudian, Liong-li dikeroyok oleh lima orang pembantu utama Hek-sim Lo-mo itu! Bayangkan saja! Lima orang yang kepandaiannya rata-rata seperti si penjahat cabul tadi, bahkan lebih lihai, mengeroyok Liong-li dan ia tidak sampai terdesak!"
Hong Ing diam-diam terkejut bukan main dan mulai merasa kagum. Sukar dipercaya ada seorang gadis yang sedemikian lihainya!
"Lalu bagaimana?" desaknya, tertarik.
"Kemudian muncul Hek-sim Lo-mo dan tentu saja Liong-li terdesak. Baiknya muncul Tan-taihiap dan mereka berhasil meloloskan diri dengan selamat. Aku tidak dapat mereka bebaskan karena aku sudah terjatuh ke tangan mereka lebih dulu. Dasar aku yang bodoh dan lemah......"
"Ah, kalau begitu, Liong-li itu benar-benar hebat. Apakah wanita itu sudah tua, toako?"
"Tua? Takkan lebih dari duapuluh dua tahun usianya!"
"Bukan main! Masih begitu muda akan tetapi memiliki kelihaian yang demikian hebat! Dan Tan-taihiap itu? Sudah tuakah dia?"
"Tan-taihiap juga masih muda, mungkin sebaya dengan aku. Dia tampan, terpelajar, halus budi pekertinya, bijaksana, mulia hatinya dan ilmu kepandaiannya amat hebat! Bayangkan saja, karena aku dijadikan sandera, karena dia tidak ingin melihat aku celaka, maka dia pernah menyerahkan diri untuk ditawan oleh gerombolan ini, hanya untuk menyelamatkan aku......"
"Aduh! Kalau begitu dia tentu hebat bukan main! Tidak kalah hebatnya oleh Liong-li mu itu!" Hong Ing berseru kagum.
"Ya, mereka berdua memang sepasang orang muda yang hebat sekali! Entah siapa di antara mereka yang lebih hebat. Kalau mereka maju bersama, tentu Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya akan dapat dibasmi, dan kita akan membantu sekuat tenaga kita."
Terhiburlah rasa hati Hong Ing dan ternyata mereka berdua mendapatkan perlayanan yang amat baik, mendapatkan hidangan yang lezat, bahkan disediakan air untuk mandi oleh para penjaga. Dan seperti telah diduganya, sikap Tek Hin amat baik terhadap dirinya, selalu sopan dan sama sekali tidak pernah menggodanya.
Hal ini membuat Hong Ing diam-diam amat bersyukur dan berterima kasih, dan kembalilah perasaan kagumnya terhadap pemuda itu. Di pihak Tek Hin, diam-diam diapun merasa tertarik dan kagum kepada gadis yang ternyata amat gagah, pemberani dan sedikitpun tidak cengeng ini. Mendapatkan seorang kawan senasib seperti gadis ini sungguh membesarkan hati.
"Keparat jahanam!!" Hek-sim Lo-mo memaki dan tangannya yang kanan mengepal-ngepal sampai terdengar bunyi berkerotokan, tangan kirinya memegangi sehelai kertas yang bertuliskan tinta merah. Sebuah tantangan! Ditulis dengan tinta merah, dengan huruf-huruf yang menyolok dan nadanya menghina pula!
"Kami, Hek-liong-li dan Pek-liong-eng menantang Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya, kalau mereka bukan pengecut-pengecut untuk mengadu ilmu menentukan siapa yang lebih pandai.
Kalau berani, datanglah di petak rumput tepi sungai dalam hutan sebelah timur kota, besok jam 9.00 pagi. Kalau takut pergilah kalian ke neraka.
Tertanda:
Hek-liong-li dan Pek-liong-eng.
Hek-sim Lo-mo memandang kepada lima orang pembantu utamanya yang nampak gentar melihat pimpinan mereka marah besar. Kiu-bwe Mo-li memberanikan diri bertanya.
"Beng-cu, apakah yang terjadi dan surat apakah itu yang membuat Beng-cu marah"marah?"
"Siapa yang tidak marah? Anjing-anjing cilik itu berani menantangku dengan nada menghina!" Hek-sim Lo-mo melemparkan surat itu kepada Kiu-bwe Mo-li.
Kalau bukan wanita ini yang dilempari surat, bisa celaka karena saking marahnya, Hek-sim Lo-mo mengerahkan tenaga ketika melemparkan surat sehingga kertas yang merupakan benda ringan itu meluncur bagaikan anak panah cepatnya ke arah Kiu-bwe Mo-li. Namun wanita ini dapat menangkapnya dari samping, lalu dengan tenang membacanya. Empat orang rekannya yang tidak sabar dan ingin sekali tahu, mendekatinya dan ikut pula membaca surat yang membuat pemimpin mereka marah-marah itu.
Dan begitu membaca, merekapun melotot dengan muka merah karena marah. Yang ditantang bukan hanya Hek-sim Lo-mo seorang, akan tetapi termasuk mereka!
"Beng-cu, harap berhati-hati menghadapi tantangan ini dan tidak baik kalau terburu nafsu. Siapa tahu dengan tantangan ini, mereka menggunakan siasat untuk memancing harimau keluar dari sarang," kata Kiu-bwe Mo-li yang cerdik.
"Aih, Mo-li, mengapa takut? Baru Beng-cu seorang diri saja, mereka berdua tidak akan mampu menandinginya, apa lagi Beng-cu maju bersama kita yang juga ditantang? Kalau dua orang muda itu diam-diam mempersiapkan bantuan, berarti merekalah yang pengecut karena yang menantang hanya mereka berdua! Mari kita bunuh mereka!" kata Gan Siang dengan nada penasaran, sedangkan Gan Siong, adik kembarnya, mengangguk-angguk.
Hek-sim Lo-mo mengangkat tangan melarang mereka ribut mulut sendiri, lalu berkata.
Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalian semua benar. Kita harus berhati-hati menghadapi tantangan ini kalau-kalau menyembunyikan siasat. Akan tetapi kalaupun mereka bersiasat, maka tentu siasat itu dipergunakan untuk mencoba membebaskan dua orang tawanan kita. Juga kita harus memenuhi tantangan itu, dan kita hancurkan mereka, dua budak sombong itu. Kita harus maju serentak untuk membunuh mereka, akan tetapi dua orang tawanan juga tidak boleh ditinggalkan sendiri begitu saja sehingga memudahkan orang luar untuk membebaskan mereka."
"Sebaiknya kita bunuh saja dulu dua orang tawanan itu!" kata Yauw Ban Si Naga Mata Satu mengajukan rencananya.
"Serahkan saja mereka kepadaku!" kata Kiu-bwe Mo-li penuh gairah.
"Tidak, biar aku yang menghabisi mereka!" kata Jai-hwa Kongcu tidak kalah gairahnya.
"Ha-ha, kalau diserahkan Mo-li, tentu hanya yang wanita dibunuh seketika, akan tetapi yang pria akan dikeramnya dan dihisapnya sampai kering! Kalau diserahkan Jai-hwa Kongcu, yang pria akan seketika dibunuh, akan tetapi yang wanita tentu akan diperma"inkan dulu sepuasnya!"
Kembali Hek-sim Lo-mo mengangkat tangan melarang mereka ribut sendiri, dan diapun berkata.
"Mereka tidak perlu dibunuh sekarang. Kita bawa saja serta ke tempat tantangan itu! Kalau mereka itu menyerbu di perjalanan, kita hadapi bersama dan Jai - hwa Kongcu Lui Teng bersama semua anak buah harus membawa para tawanan kembali ke gedung selagi kita mengepung dua orang musuh itu. Dua orang tawanan itu masih berguna bagi kita, merupakan kelemahan dua orang musuh kita yang hendak membebaskan mereka, maka bodohlah kalau kita bunuh sekarang. Mereka dapat kita manfaatkan sewaktu-waktu kalau keadaan mendesak."
Lima orang pembantu itu mengangguk maklum dan merekapun tahu bahwa diam-diam pemimpin mereka ini mulai merasa gentar juga menghadapi dua orang muda yang berani menentangnya itu sehingga perlu membiarkan dua orang tawanan tetap hidup untuk dijadikan sandera, kalau-kalau usaha mereka membunuh dua orang musuh itu gagal.
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi Hek-sim Lo-mo sudah keluar dari gedungnya, ditemani lima orang pembantu dan duapuluh orang anak buah yang menggiring dua orang tawanan itu di tengah-tengah mereka. Tentu saja Liong-li dan Cin Hay yang sudah melakukan pengintaian di dekat tempat itu, menjadi gemas sekali. Kiranya pihak musuh sedemikian cerdiknya sehingga tidak meninggalkan dua orang tawanan itu! Bukan hanya membawanya ke tempat tantangan, bahkan juga mengepung dengan sekian banyaknya penjaga dan pengawal!
Melihat betapa Tek Hin yang menjadi tawanan itu kini berjalan bersama seorang gadis berpakaian hijau yang cantik dan gagah yang kelihatan juga sebagai tawanan, Cin Hay dan Liong-li memandang heran.
"Siapa gadis itu?" bisik Liong-li.
Cin Hay menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya.
"Aku tidak tahu, baru sekarang melihatnya." Dia memperhatikan gadis berbaju hijau yang cantik manis itu, akan tetapi tetap saja dia belum merasa pernah melihat gadis itu.
"Akan tetapi, ia agaknya menjadi tawanan juga. Lihat, ia agaknya akrab dengan Tek Hin."
Liong-li mengerutkan alisnya, berpikir dan mengelus dagunya yang putih mulus.
"Hemm, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Mereka begitu banyak."
"Tidak ada jalan lain, kita melanjutkan rencana kita," kata Cin Hay "Yang terpenting adalah menyelamatkan Tek Hin dan agaknya gadis itu juga. Seperti telah kita rencanakan, kita membagi tugas. Aku menyerbu Hek-sim Lo-mo dan teman-temannya, dan engkau menyerbu dari belakang untuk membebaskan Tek Hin dan gadis baju hijau itu."
Liong-li mengangguk.
"Sudah pasti aku akan membebaskan Song Tek Hin, akan tetapi gadis itu? Aku belum tahu siapa dia, kawan atau lawan."
"Kalau engkau sudah turun tangan, tentu Tek Hin akan memberitahu siapa gadis itu dan perlu diselamatkan atau tidak," kata Cin Hay.
Kini rombongan itu sudah keluar dari kola Lok-yang, melalui pintu gerbang sebelah timur. Cin Hay dan Liong-li hanya membayangi saja dan setelah rombongan itu memasuki hutan menuju ke sungai yang dimaksud dalam surat tantangan, tepat seperti yang telah mereka rencanakan, tiba-tiba saja Cin Hay meloncat keluar dan menghadang di depan Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya.
Pedang Sinar Emas Eps 51 Pedang Sinar Emas Eps 40 Lembah Selaksa Bunga Eps 4