Ceritasilat Novel Online

Sepasang Naga Penakluk Iblis 7


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 7




   "Nona, mari kubantu nona untuk masak udang-udang itu," terdengar suara lirih.

   Kim Cu menengok dan ia tersenyum girang. Kiranya masih ada orang yang berani mendekatinya dan tinggal di situ, yaitu bukan lain adalah nenek penjual ikan dan udang tadi!

   "Bibi, apakah engkau tidak ikut pergi seperti yang lain? Engkau berani menghadapi ancaman Twa-to Ngo-houw?"

   Nenek itu mengerutkan alisnya.

   "Nona, apa lagi yang perlu kutakuti? Mereka itu paling banyak hanya dapat membunuhku dan aku tidak takut mati. Suami dan anak tunggalku juga sudah tewas setelah mereka pukuli. Biarlah mataku yang tua ini melihat mereka mendapat lawan yang tangguh seperti nona, yang akan menghajar mereka yang jahat itu! Mari, nona, mari ikut dengan aku ke rumahku dan aku akan membuatkan udang bakar yang lezat untukmu."

   Kim Cu membantu nenek itu membawa udang dan ikan, lalu mereka berdua menuju ke rumah nenek itu, sebuah rumah gubuk terpencil di tepi sungai. Nenek itu hidup seorang diri dan keadaan gubuknya miskin sekali sehingga Kim Cu merasa terharu.

   Sebaliknya, nenek itu nampak gembira sekali.

   "Nona, udang besar seperti ini paling enak kalau dibakar dalam tanah liat, kemudian dagingnya dimakan dengan kecap dan saus. Biar kubuatkan sausnya, dan tolong kaucarikan tanah liat di tepi sungai sebelah sana!"

   Kim Cu juga merasa gembira. Ia merasa seperti menjadi keponakan nenek itu dan iapun cepat mencarikan tanah liat. Ia membantu nenek itu, atas petunjuk nenek itu, untuk membungkus udang-udang besar itu, lima ekor banyaknya, dengan tanah liat, kemudian tanah liat itu dibakar di dalam api membara, api arang yang panas.

   "Setelah tanah liatnya mengering dan pecah-pecah, baru boleh diangkat. Jangan lupa untuk membolak-balik bungkusan udang itu, nona," pesan sang nenek yang sibuk membuatkan bumbu-bumbu, dan juga menanak nasi.

   Setelah tanah liat yang membungkus udang-udang itu kering dan pecah-pecah, udang bakar itu diangkat dari api. Nenek itu lalu mengupas tanah liat yang sudah kering dan bersama tanah liat itu, terkupas pula kulit udang! Kini yang tinggal hanyalah daging udang yang putih kemerahan, berbau sedap dan nampak menantang mulut sehingga Kim Cu terpaksa harus menelan air liurnya.

   Nasipun sudah matang dan kini ditemani oleh sang nenek, Kim Cu makan dan harus diakuinya bahwa selama hidupnya belum pernah ia merasakan makan nasi sedemikian nikmat dan lezatnya. Bakar udang itu memang lezat bukan main. Gurih dan manis, dan tidak berbau amis. Daging udang sebesar empu jari kaki itu terasa kenyal dan gurih, apa lagi diberi bumbu kecap dan saus. Sedap bukan main, dan ada rasa manis aseli dari daging itu. Tanpa disadari, Kim Cu makan lebih banyak dari biasanya.

   Baru saja mereka selesai makan dan Kim Cu mencuci tangannya dengan daun jeruk untuk mengusir sisa bau amis, terdengar suara gaduh dan ketika ia menengok, ternyata ada lima orang laki-laki menunggang kuda datang ke tempat itu bersama dua di antara empat orang anak buah Twa-to Ngo-houw yang dihajarnya tadi.

   Melihat mereka, nenek itu nampak berubah pucat wajahnya dan iapun menyelinap ke dalam gubuknya sambil berkata.

   "Masa bodoh, nona. Itu Twa-to Ngo-houw sendiri muncul!"

   "Jangan khawatir, bibi, aku akan menghajar mereka untuk membalas sakit hatimu kehilangan suami dan anak," jawab Kim Cu yang sudah bangkit berdiri dan menanti mereka di pekarangan gubuk itu yang terbuka dan luas.

   Sunyi di sekitarnya. Rumah-rumah para tetangga tertutup pintu dan jendelanya, akan tetapi Kim Cu dapat menduga bahwa banyak mata penduduk mengintai dari tempat persembunyian mereka. Iapun berdiri tegak dan dengan sikap tenang menanti datangnya lima orang penunggang kuda itu sambil memandang penuh perhatian.

   Mereka memang menyeramkan. Lima orang laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan pantas kalau disebut Lima Harimau. Usia mereka kurang lebih empatpuluh tahun, dengan pakaian yang mentereng, tubuh yang kokoh kuat dan ada sebatang golok besar terselip di punggung masing-masing. Golok telanjang itu besar dan mengkilat tajam.

   Juga kuda yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda pilihan yang tinggi dan kuat. Dua orang anak buah mereka itu ikut berlari kecil di samping kuda dan melihat Kim Cu, keduanya segera menuding dengan tangan yang masih sehat karena sebelah lengan yang lain dibalut dan patah tulangnya.

   "Itulah ia......!"

   Dengan gerakan yang cekatan sekali lima orang itu berloncatan turun dari atas kuda mereka dan kini dua orang anak buah yang lengannya digantung sebelah itu mengurus lima ekor kuda, dibawa ke bawah pohon-pohon, sedangkan lima orang itu melangkah lebar dan dengan sikap mengancam menghampiri Kim Cu yang masih berdiri tegak dan tenang. Puluhan pasang mata dari para penduduk dusun itu mengintai dari tempat persembunyian mereka.

   Mereka menahan napas dengan hati tegang dan penuh kekhawatiran. Bagaimana mungkin nona yang cantik jelita itu akan mampu menandingi Lima Harimau Bergolok Besar itu? Seorang saja di antara mereka berlima sudah merupakan seorang lawan yang amat kuat, dan para penduduk dusun itu pernah melihat seorang di antara mereka, yang rambut kepalanya botak dan merupakan orang termuda di antara mereka, setahun yang lalu menawan seorang wanita muda dari luar daerah yang kebetulan berkunjung bersama suaminya di dusun itu.

   Tentu saja sang suami dibantu oleh belasan orang temannya, melakukan perlawanan. Terjadilah perkelahian, namun si kepala botak itu merobohkan si suami bersama belasan orang temannya. Mereka semua terluka dan si botak itu melarikan isteri orang seenaknya saja! Baru orang yang termuda itu saja demikian kejam dan lihai, apa lagi kini mereka berlima datang semua!

   Orang termuda dari Twa-to Ngo-houw memang seorang laki-laki mata keranjang yang suka mempermainkan wanita mana saja yang menarik hatinya, tidak perduli ia itu perawan, janda ataukah isteri orang. Kini, melihat betapa gadis yang menurut pelaporan anak buah tadi telah melukai empat orang anak buah, ternyata adalah seorang gadis yang amat cantik jelita dan manis, tentu saja seketika dia tertarik dan timbul gairahnya.

   "Ha-ha-ha, twako, berikan gadis ini kepadaku dan biarkan aku yang akan menghukumnya!" katanya sambil meloncat ke depan menghadapi Kim Cu.

   Orang pertama dari Twa-to Ngo-houw bernama Boan Ke, bermuka hitam bopeng dan melihat Kim Cu, diapun memandang rendah. Tentu akan memalukan kalau Twa-to Ngo-houw, lima jagoan yang merajalela di sepanjang Sungai Kuning daerah itu, kini harus mengeroyok seorang gadis! Maka, mendengar permintaan adiknya termuda, si botak yang bernama Su Leng, diapun mengangguk.

   Memang sebaiknya kalau gadis yang telah lancang melukai empat orang anak buahnya ini diserahkan kepada Su Leng, biar adik keempat ini menyiksa dan mempermainkannya sampai mati untuk menghukumnya. Maka diapun mengangguk sambil tertawa, dan tiga orang adiknya yang lainpun ikut tertawa. Mereka berempat tidak memiliki kesukaan yang sama dengan Su Leng, akan tetapi mereka akan bergembira melihat betapa gadis itu akan dipermainkan dan ditundukkan oleh adik mereka yang termuda.

   Dengan lagak yang membuat hati Kim Cu merasa jijik dan juga geli, kini Su Leng menghampiri Kim Cu. Dipandangnya wanita itu dari kepala sampai ke kaki dan hatinya girang bukan main karena dia mendapat kenyataan betapa wanita ini memang cantik jelita, berkulit mulus dengan tubuh padat dan menggairahkan. Dia menyeringai lebar.

   "Nona manis, engkaukah yang telah main-main dengan empat orang anak buah kami tadi?"

   Kim Cu tersenyum, demikian manisnya senyum ini sehingga Su Leng hampir saja jatuh terkulai karena tubuhnya terasa lemas seketika! "Benar, aku yang telah menghajar empat ekor anjing peliharaanmu itu!"

   Biarpun ia tersenyum dan nada suaranya merdu dan halus, namun isi kata-katanya menusuk perasaan sehingga Su Leng mengerutkan alisnya dan kemarahan menyelinap di hatinya, membuat dia bicara dengan suara kasar.

   "Nona, siapakah sebenarnya engkau? Siapa namamu?"

   "Namaku tidak perlu kalian ketahui dan sebaiknya kalian lekas menggelinding pergi dari sini dan jangan mengganggu aku dan penduduk dusun ini lebih lanjut!"

   Su Leng kini tertawa bergelak, merasa lucu bahwa seorang gadis cantik jelita dan lemah begini berani mengeluarkan ucapan demikian besar dan mengusir mereka, Twa-to Ngo-houw!

   "Aih, nona manis. Agaknya engkau belum mengenal siapa kami, ya?"

   "Tentu saja aku mengenal kalian," kata Kim Cu dan memperlebar senyumnya sehingga nampak deretan giginya yang teratur rapi dan berkilauan putih seperti mutiara.

   "Kalian adalah Lima Anjing Bergolok Tumpul, benarkah?"

   Lima orang itu menjadi merah mukanya dan Su Leng membentak marah.

   "Perempuan sombong! Aku akan mempermainkan kamu sampai habis-habisan, kemudian kau akan kuserahkan kepada empat orang anak buah kami tadi agar kau disiksa sampai mampus!" Berkata demikian, Su Leng sudah menubruk ke depan, tangan kiri mencengkeram ke arah rambut kepala, tangan kanan mencengkeram dada!

   Su Leng masih belum mengeluarkan goloknya karena dia masih memandang ringan lawannya. Pula, dia ingin menangkap wanita itu hidup-hidup, dalam keadaan tidak terluka agar dia akan dapat mempermainkan dan menikmatinya sepuas hatinya sebelum menyerahkan wanita itu kepada empat orang anak buahnya. Gerakannya cepat dan kedua tangannya mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat ketika dia menubruk ke depan itu.

   Namun, bagi Kim Cu, kecepatan dan kekuatan serangan itu bukan apa-apa, bahkan baginya nampak lamban dan lemah. Kalau ia menghendaki, tentu segebrakan saja ia akan mampu merobohkan orang ini dan sekaligus membunuhnya. Tingkat kepandaian Kim Cu jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian lima orang jagoan ini.

   Dengan kecepatan kilat, kedua tangan Kim Cu bergerak menyambut dan mendahului lawan dengan menotok ke arah kedua siku. Totokan itu tidak nampak saking cepatnya dan tiba-tiba saja Su Leng merasa betapa kedua lengannya menjadi lemas kehilangan tenaga, dan pada saat itu, tangan kiri Kim Cu menampar ke depan, dengan punggung tangannya ia menghajar ke arah hidung Su Leng.

   "Prakkk!" Tamparan itu demikian kuatnya sehingga Su Leng merasa kepalanya terputar dan untuk menjaga agar lehernya tidak patah, diapun mengikuti dengan tubuhnya yang berpusing. Ketika putaran tubuhnya terhenti, empat orang kakaknya melihat betapa muka itu penuh darah dan ternyata hidung Su Leng telah remuk!

   Su Leng mengeluarkan suara aneh. Dia memaki-maki kalang kabut, akan tetapi karena bukit hidungnya remuk dan lubangnya tersumbat, suaranya bindeng dan tidak karuan sehingga terdengar lucu dan aneh. Dia lalu mencabut goloknya dan dengan kemarahan meluap dia sudah menyerang Kim Cu dengan golok itu.

   Golok besar di tangannya itu memang berbahaya sekali. Golok itu besar dan berat, juga amat tajam, dan di tangan Su Leng, golok itu seperti hidup, menyambar-nyambar dan bentuk goloknya lenyap berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung! Kemarahan dan sakit hati membuat gerakan golok di tangan Su Leng lebih dahsyat lagi dari pada biasanya.

   Kini, nafsu berahinya yang timbul karena melihat kecantikan Kim Cu lenyap sama sekali, terganti nafsu amarah dan kebencian yang bagaikan api berkobar-kobar dan satu-satunya niat di hatinya kini hanyalah mencincang tubuh wanita yang telah membikin remuk hidungnya itu!

   Namun, hujan serangan golok itu disambut dengan tenang saja oleh Kim Cu. Ia segera mempergunakan Liu-seng-pouw (Langkah Bintang Cemara), satu di antara ilmu yang dipelajarinya dari Huang-ho Kui-bo. Liu-seng atau bintang Liu (semacam cemara) adalah kedudukan enam bintang yang letaknya segi tiga melingkar dan ketika ia mempergunakan langkah ajaib ini, maka tubuhnya nampak selalu menyelinap di antara sambaran golok! Dengan langkah ajaib ini, golok di tangan Su Leng tidak pernah mengenai sasaran, bahkan tak pernah mampu menyentuh ujung baju Kim Cu sama sekali.

   Enak saja gadis itu melangkah ke depan belakang, ke kanan dan ke kiri sesuai dengan kedudukan kelompok Bintang Liu. Hebatnya, ia bukan saja mampu menghindarkan semua serangan golok, bahkan ia masih sempat memutar tubuhnya dan beberapa kali ia berada di belakang lawan! Hal itu membuat Su Leng penasaran sekali. Dia mempercepat gerakan goloknya, namun sia-sia belaka, bahkan tiba-tiba terdengar Kim Cu membentak nyaring.

   "Anjing busuk, pergilah!" Ucapan ini disusul sebuah tendangan kilat yang mengenai pinggul Su Leng, membuat tubuh si botak ini terlempar dan terpelanting, lalu jatuh terbanting dengan keras. Karena dia terbanting dengan kepala lebih dulu, maka kepalanya benjol besar dan diapun menjadi pening tujuh keliling, sampai lama tidak mampu bangkit berdiri, hanya duduk sambil memegangi kepalanya yang berputaran. Bintang-bintang nampak menari-nari di depan matanya!

   Empat orang kakak Su Leng menjadi terkejut, heran dan juga marah sekali. Bagaimana mungkin adik mereka itu dengan golok di tangan demikian mudah dirobohkan oleh gadis yang tidak terkenal, bahkan yang bertangan kosong itu? Tanpa menanti komando, empat orang itu mencabut golok masing-masing dan merekapun mengepung Kim Cu dari empat penjuru dan mulailah mereka menyerang dan mengeroyok!

   Kim Cu maklum bahwa kalau empat orang itu maju berbareng, ia harus lebih waspada. Bagaimanapun juga, empat batang golok yang berat dan bergerak cepat menyambar-nyambar dari empat penjuru itu tidak boleh dibuat main-main. Iapun cepat memainkan ilmu silat tangan kosong yang disebut Bi-jin-kun (Silat Wanita Cantik), satu di antara ilmu yang dipelajarinya dari subonya.

   Bi-jin-kun merupakan ilmu silat yang gerakannya lemas, halus dan indah sekali. Seorang wanita yang kurang cantik sekalipun akan nampak menarik kalau pandai bermain silat ini, apa lagi seorang wanita seperti Kim Cu! Ia memang sudah cantik jelita dan manis, maka begitu ia bersilat Bi-jin-kun, ia nampak seperti seorang bidadari sedang menari-nari dengan lemah gemulai dan amat indahnya!

   Empat orang pengeroyoknya terbelalak kagum dan mereka seperti menghadapi seorang wanita yang menari-nari amat indah. Anehnya, tarian itu bukan sembarang tarian, melainkan mengandung gerakan yang amat cekatan dan lemas, ditunjang tenaga yang amat kuat. Dari manapun datangnya golok yang menyambar, selalu dapat dielakkan oleh wanita cantik itu, dengan gerakan yang amat indah pula, seolah-olah mengejek empat orang pengeroyoknya.

   Kim Cu terus memainkan ilmu silat aneh itu dan selain gerakannya indah sekali, juga ia tersenyum-senyum dan melirik-lirik penuh daya pikat! Ini memang merupakan keharusan dalam memainkan ilmu silat ini, dan akibatnya memang luar biasa sekali.

   Empat orang itu kini kelihatan bingung, gerakan mereka kacau balau. Biarpun mereka berempat bukan laki-laki mata keranjang macam Su Leng, namun melihat wanita yang menari-nari demikian indah dan cantiknya, entah bagaimana, mereka merasa betapa tenaga mereka berkurang, bahkan gerakan mereka menjadi lemas. Senyum dan kerling mata wanita itu seperti mengelus perasaan mereka!

   Memang inilah kehebatan Bi-jin-kun ciptaan Huang-ho Kui-bo. Bukan hanya gerakan ilmu silatnya yang lihai, juga mengandung daya pikat yang luar biasa, yang dapat mengacaukan gerakan lawan, membuyarkan pemusatan perhatian sehingga akan mudah mengalahkan lawan yang sudah kacau itu.

   Tiba-tiba Kim Cu mempercepat gerakannya dan kini tubuhnya lenyap menjadi bayang"bayang yang berkelebatan ke empat penjuru. Terdengar teriakan berturut-turut dan empat orang itupun satu demi satu roboh terkena tendangan atau tamparan tangan Kim Cu yang kecil halus namun mengandung tenaga sinkang ampuh itu! Mereka bergulingan dan menjauhkan diri, lalu berloncatan bangkit.

   Su Leng juga sudah berdiri dan memandang dengan mata terbelalak melihat betapa empat orang kakaknya juga roboh oleh wanita itu, dengan menderita benjol-benjol atau matang biru, bahkan seorang di antara mereka patah tulang pundaknya!

   Boan Ke, orang pertama dari Twa-to Ngo-houw, memandang dengan muka pucat dan dia berkata.

   "Apakah...... apakah engkau yang bernama Hek-liong-li dari...... dari Lok- yang itu?"

   Kim Cu tersenyum. Tak disangkanya bahwa nama julukannya yang baru saja dikenal orang di Lok-yang itu demikian cepatnya sampai di tempat ini dan mereka ini mengenalnya. Ia mengangguk.

   "Benar, aku adalah Hek-liong-li, lalu kalian mau apa?"

   Boan Ke dan empat orang adiknya menjadi pucat. Mereka memang sudah mendengar nama itu, bahkan mereka dipesan oleh atasan mereka untuk mencari gadis dengan julukan Dewi Naga Hitam itu, akan tetapi tadi sama sekali mereka tidak menyangka bahwa mereka berhadapan dengan Hek-liong-li. Baru setelah mereka merasakan kelihaian gadis berpakaian serba hitam itu, timbul dugaan bahwa jangan-jangan gadis berpakaian hitam yang amat lihai ini adalah orang yang dicari oleh atasannya! Dan ternyata memang benar!

   "Hek-liong-li, kalau benar engkau seorang gagah, jangan kau lari. Tunggu, kami akan segera datang kembali untuk membuat perhitungan denganmu!" kata Boan Ke dan dia bersama empat orang adiknya lalu berloncatan menuju ke lima ekor kuda mereka, meloncat ke atas punggung kuda dan tanpa bicara apa-apa lagi mereka melarikan kuda dengan cepat meninggalkan tempat itu!

   Kasihan dua orang anak buah mereka itu yang terpaksa harus berlari-lari dengan lengan dibalut dan digantung karena kedua orang ini ketakutan setengah mati ditinggal oleh pimpinan mereka.

   Kim Cu tidak mengejar, hanya berdiri mengikuti mereka dengan pandang matanya sambil tersenyum mengejek. Dan tak lama kemudian, bermunculanlah para penduduk dusun itu. Mereka tadi menonton dari tempat persembunyian mereka dan dengan penuh kekaguman, akan tetapi juga dengan penuh ketegangan. Mereka melihat betapa nona berpakaian hitam itu benar-benar dapat mengalahkan Twa-to Ngo-houw dan membuat mereka yang kejam dan jahat seperti setan itu melarikan diri terbirit-birit!

   "Hidup Hek-liong-li......!" Teriak beberapa orang di antara mereka yang tadi mendengar juga percakapan di antara Twa-to Ngo-houw dan wanita cantik itu dan kini orang-orang dusun itu menjatuhkan diri berlutut di depan Kim Cu.

   Sementara itu nenek penjual ikan tadi keluar dari dalam gubuknya dan langsung ia merangkul Kim Cu sambil menangis! Begitu terharu hati wanita ini sehingga ia menangis.

   "Terima kasih...... terima kasih, nona......"katanya setelah ia dapat menguasai dirinya dan ikut pula menjatuhkan diri berlutut.

   Kim Cu merasa tidak enak.

   "Harap kalian suka bangkit berdiri dan jangan berlutut seperti itu."

   Ia mengerti betapa hebat penderitaan orang-orang ini, tanpa ada yang mampu membela atau melindungi mereka, maka kini melihat ada orang berani menentang, bahkan telah menghajar para penindas mereka, penduduk dusun ini menjadi kegirangan. Sekarang katakanlah, siapa orang yang disebut Beng-cu dan menjadi atasan dari Twa-to Ngo-houw tadi?"

   Orang yang tadi pernah bercerita tentang Beng-cu, yaitu orang yang biasa melakukan perjalanan sebagai pedagang, lalu maju mendekat.

   "Seperti yang telah saya ceritakan tadi, nona. Beng-cu itu kabarnya bernama atau berjuluk Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang memiliki kepandaian yang amat tinggi, juga mempunyai banyak anak buah yang lihai."

   "Di mana dia tinggal?" Kim Cu bertanya cepat. Ia berpendapat bahwa semua kekejaman yang terjadi dan dilakukan oleh anak buah Beng-cu itu baru akan dapat terhenti kalau kepalanya atau pimpinannya yang paling tinggi dibinasakan.

   "Kabarnya di Lok-yang, nona. Kami sendiri tidak mengetahui......"

   "Ahhh......!" Kim Cu benar-benar tercengang karena tidak pernah disangkanya bahwa seorang di antara Kiu Lo-mo berada di Lok-yang, kota yang baru saja ia tinggalkan. Kota di mana ia untuk pertama kali memperlihatkan kepandaiannya dan nama julukannya dikenal orang.

   "Kalau begitu aku akan mencarinya di Lok-yang. Kalian jangan khawatir, aku akan mencari dan membinasakan iblis jahat itu!"

   Berkata demikian, sekali berkelebat tubuh gadis itu telah lenyap dan ketika semua orang memandang, ternyata ia telah berada jauh dari situ, berlari seperti terbang cepatnya. Semua orang terbelalak, lalu mereka kembali menjatuhkan diri berlutut ketika nenek itu berseru.

   "Ia tentu Kwan-im Pouw-sat yang datang menolong kita......"

   Ketika malam tiba, Kim Cu bermalam di sebuah hutan dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia telah mendaki bukit di depan. Di balik bukit itulah kota Lok-yang. Ia akan kembali ke kota itu, mencari Beng-cu yang berjuluk Hek-sim Lo-mo itu! Akan tetapi ketika ia tiba di puncak bukit dan memandang ke belakang, ia terkejut bukan main melihat asap keluar dari sebuah dusun, di tepi sungai.

   Dari atas nampak jelas. Tentu ada rumah terbakar! Hatinya merasa tidak enak karena ia mengenal dusun itu sebagai dusun yang ditinggalkannya! Jangan-jangan terjadi sesuatu di sana! Maka, tanpa meragu lagi, iapun turun gunung dan berlari cepat kembali ke dusun itu!

   Apa yang dikhawatirkan memang terjadi. Ia melihat para penduduk dusun ketakutan dan mereka berkumpul di tepi sungai. Ada dua buah rumah orang terbakar, ada pula yang telah habis dan menjadi abu. Sekelompok orang, dikepalai seorang nenek yang pakaiannya pesolek, sedang membentak-bentak semua orang dusun.

   "Hayo katakan! Sekali lagi, katakan siapa yang tahu ke mana perginya setan cilik itu! Hek-liong-li datang untuk membantu kalian, bukan? Tentu ia memberitahu kalian ke mana ia pergi! Hayo, kalau tidak ada yang mau mengaku, akan kubakar semua rumah di dusun ini, dan akan kubunuh semua orang yang berada di sini!"

   KIM CU memandang dengan alis berkerut.

   Hatinya terasa panas sekali melihat betapa rumah gubuk nenek yang menjual ikan itu, telah habis menjadi abu dan semakin panas rasa hatinya ketika ia mengenal lima orang Twa-to Ngo-houw yang kini datang bersama seorang nenek. Ia memperhatikan nenek itu.

   Usianya masih belum tua benar, paling banyak empatpuluh dua tahun, akan tetapi, wajahnya seperti nenek-nenek tua yang sudah keriputan! Tubuhnya memang masih padat berisi seperti seorang gadis saja, akan tetapi, mukanya nampak tua sekali walaupun dilapisi bedak tebal dan pemerah pipi dan bibir.

   Wanita ini pesolek, pakaiannya mewah, dan sikapnya genit, karena matanya melirik-lirik dan mulutnya bergerak-gerak ke arah senyum genit, juga ketika melangkah lenggangnya dibuat-buat sehingga pinggulnya menari-nari. Tangan kanannya memegang sebatang cambuk yang ujungnya sembilan batang. Rambutnya panjang dikuncir dan dibiarkan berjuntai di atas pundak terus ke depan. Rambut inilah yang nampak menggelikan. Cara mengatur rambut itu seperti seorang gadis remaja saja!

   Melihat betapa semua penduduk menggigil ketakutan, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka mau mengaku, diam-diam Kim Cu merasa terharu dan juga kagum. Bagaimana lemahpun, penduduk dusun ini sungguh memiliki kesetiaan dan tidak ada yang mau memberitahu bahwa ia pergi ke Lok-yang! Agaknya, wanita itu sudah marah dan tidak sabar lagi. Telah beberapa buah rumah dibakarnya, akan tetapi tak seorangpun di antara penduduk dusun itu mau membuka mulut.

   "Kalian mengira aku menggertak saja, ya? Ingin melihat seorang di antara kalian mampus?" Ia mengangkat cambuknya dan terdengar suara meledak-ledak ketika ia menggerakkan cambuknya di udara. Terdengar sembilan kali ledakan nyaring disusul bentakannya.

   "Aku menghitung sampai tiga! Kalau tidak ada yang mengaku, berarti akan ada sembilan orang yang tewas di ujung cambukku! Satu...:.. dua......"

   "Iblis betina yang kejam, engkau mencari Hek-liong-li? Inilah aku, jangan engkau memaksa penduduk dusun tidak berdosa, yang memang tidak tahu aku berada di mana!"

   Wanita itu adalah Kiu-bwe Mo-li, satu di antara pembantu utama Hek-sim Lo-mo, usianya memang baru empatpuluh tahun lebih, akan tetapi karena ia terlalu menurutkan nafsu dan menjadi seorang wanita gila lelaki, maka wajahnya sudah penuh keriput seperti seorang nenek-nenek berusia enampuluh tahun lebih! Ketika ia membalikkan tubuh dan melihat siapa yang bicara, ia lalu tertawa genit seperti orang yang melihat sesuatu yang amat lucu.

   "Hi-hi-hi-hik, engkau yang berjuluk Hek-liong-li? Heh-heh-hik-hik-hik! Kiranya hanya seorang bocah yang masih ingusan!" Tiba-tiba muka yang penuh tawa itu berbalik menjadi beringas dan ia menoleh ke arah Twa-to Ngo-houw lalu membentak.

   "Dan kalian tidak mampu membunuh anak perempuan ingusan ini! Sungguh tak tahu malu memakai nama Twa-to Ngo-houw! Hayo bunuh anak ini, hendak lihat sampai di mana kelihaiannya!"

   Twa-to Ngo-houw sudah merasakan kelihaian Kim Cu, maka mereka tidak berani memandang ringan. Juga mereka tidak berani membangkang terhadap perintah Kiu-bwe Mo-li yang mereka kenal baik sebagai seorang atasan yang amat kejam dan ringan tangan. Selain itu, mereka juga malu. Biarlah wanita iblis itu melihat sendiri kelihaian Hek-liong-li.

   Boan Ke lalu mengeluarkah bentakan nyaring yang juga menjadi isyarat bagi empat orang adiknya dan mereka lalu mencabut golok masing-masing dan menerjang Kim Cu dengan golok di tangan. Kembali, seperti kemarin, Kim Cu dikeroyok oleh lima orang yang kini bergerak dengan nekat dan besar hati karena di situ terdapat Kiu-bwe Mo-li yang tentu tidak akan membiarkan mereka kalah.

   Sekali ini, biarpun mulutnya masih dihias senyum yang amat manis, namun di dalam hatinya Kim Cu sudah marah sekali. Orang-orang macam ini amatlah jahatnya, membakari rumah rakyat yang tidak berdosa, bahkan mungkin saja penjahat-penjahat seperti mereka itu membunuhi orang-orang tanpa dosa seenaknya.

   Orang-orang seperti ini harus dibasmi, karena kalau dibiarkan hidup hanya akan menyebar kejahatan dan menyengsarakan rakyat. Maka, ketika melihat lima orang itu mengeroyoknya, iapun segera memainkan ilmu silatnya yang luar biasa, yaitu Bi-jin-kun yang amat indah, yang membuat tubuhnya seperti menari-nari, lemah gemulai namun juga amat berbahaya karena dalam setiap gerakan kaki dan tangannya terkandung tenaga sinkang lembut yang amat berbahaya, kaki dan tangan itu seakan-akan merupakan empat buah senjata terbuat dari baja yang amat ampuh dan siap membunuh.

   Tubuh Kim Cu atau Hek-liong-li adalah tubuh seorang wanita yang sedang mekar dan matang, ramping dan lembut. juga lemas sekali, maka ketika ia memainkan Ilmn Silat Bi-jin-kun yang indah itu, ia seolah-olah menari-nari, namun hebatnya, gulungan sinar golok lima orang itu tidak pernah dapat menyentuhnya. Apalagi menyentuh bagian tubuhnya, baru menyentuh ujung pakaiannya pun sukar!

   Hal ini adalah karena kedua kaki wanita cantik dan gagah itu selalu memainkan Liu-seng-pouw, yaitu langkah-langkah ajaib yang membuat semua serangan luput dari sasaran. Kedua kakinya bergerak dengan lincah dan indahnya, bergeser ke depan, belakang, kanan dan kiri, kadang-kadang melompat, kadang-kadang kedua kaki terpentang lebar dan tubuh merendah. Karena gerakan ini dilakukan dengan lincah dan gesit, dengan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, maka tubuhnya seperti berkelebatan di antara lima gulungan sinar golok.

   Dari gurunya, Huang-ho Kui-bo, Hek-liong-li mendapatkan pelajaran bermacam-macam ilmu silat, baik tangan kosong maupun silat senjata seperti memainkan golok, tombak, rantai, dan terutama sekali pedang dan tongkat. Akan tetapi, sampai kini ia tidak pernah menyimpan senjata dan hanya mengandalkan kaki tangan saja, untuk melindungi dirinya dan karena kini ia menghadapi pengeroyokan, lima orang yang cukup berbahaya maka ia memainkan ilmu silat pilihannya, yaitu Bi-jin-kun dengan dibantu langkah-langkah ajaib Liu-seng-pouw.

   Sejak tadi Kiu-bwe Mo-li berdiri dan memperhatikan gerakan gadis berjuluk Dewi Naga Hitam yang dikeroyok oleh lima orang pembantunya itu dan mengertilah ia mengapa Twa-to Ngo-houw sampai kalah. Ternyata Hek-liong-li memang lihai bukan main dan melihat gerakan kaki gadis itu, wajah Kiu-bwe Mo-li berubah agak pucat. Ia pernah melihat langkah-langkah dan gerakan kaki seperti itu!

   Pandang matanya seperti melekat pada kedua kaki gadis cantik itu, mengikuti semua gerakannya. Ia pernah melihatnya, akan tetapi lupa lagi di mana. Begitu indah gerakan kaki itu, begitu gesit dan ringan, dan begitu luar biasa karena gerakan kaki, setiap perubahan membuat kedudukan tubuh gadis itu sukar untuk dapat tercium sinar golok, biarpun ada lima batang golok yang menyambar-nyambar mengeroyoknya. Akan tetapi ia tidak ingat lagi siapa yang pernah memainkan langkah-langkah ajaib seperti itu.

   Kemudian ia mengalihkan perhatiannya dari gerakan kaki Hek-liong-li kepada gerakan tangannya, tubuhnya yang lemah gemulai dalam gerakan seperti, orang menari-nari dengan indahnya. Dan melihat gerakan silat seperti orang menari ini, Kiu-bwe Mo-li seperti tersentak kaget.

   "Bi-jin-kun......! Kalau begitu...... itu Liu-seng-pouw dari...... bibi guru Huang-ho Kui-bo.....!" bisiknya kepada diri sendiri dan ia terkejut bukan main.

   Gadis berpakaian hitam ini memainkan silat-silat sakti dari bibi gurunya yang amat lihai. Bibinya itu amat lihai, lebih lihai dari mendiang gurunya, dan bibinya, Huang-ho Kui-bo, pernah menjadi datuk sepanjang Sungai Huang-ho, ditakuti oleh semua orang golongan kang-ouw.

   Akan tetapi, sudah bertahun-tahun lamanya, bibinya itu lenyap dari dunia ramai. Orang mengira bahwa ia mengundurkan diri karena sudah tua dam mungkin sudah mati. Karena itu, ketika Kiu Lo-mo muncul menguasai dunia kang-ouw, Huang-ho Kui-bo juga tidak kelihatan. Dan kini, tiba-tiba saja ia melihat seorang gadis yang lihai sekali memainkan Bi-jin-kun dan Liu-seng-pouw, ilmu-ilmu yang menjadi andalan Huang-ho Kui-bo!

   Lima orang Twa-to Ngo-houw masih mengeroyok dan mereka yang merasa penasaran sekali, menyerang dengan ganasnya. Lima batang golok itu membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata dan tubuh Hek-liong-li dikepung oleh gulungan sinar, seolah-olah tidak mungkin dapat keluar lagi dengan selamat.

   Namun, Hek-liong-li yang ingin cepat merobohkan lima orang pengeroyoknya yang ia tahu adalah manusia-manusia yang jahat sekali, tiba-tiba mengeluarkan suara melengking panjang dan ia merobah gerakannya. Kini tubuhnya menyambar dengan ganas, menyelinap di antara gulungan sinar golok, kedua tangannya yang kini tiba-tiba berubah menjadi merah itu menyambar-nyambar dan terdengarlah teriakan-teriakan susul menyusul diikuti robohnya tiga orang di antara Twa-to Ngo-houw.

   Orang pertama terpelanting roboh dengan luka di dahinya, tertusuk jari-jari tangan kiri Hek-liong-li dan di dahinya itu hanya nampak ada tapak tiga jari kemerahan, namun begitu terpelanting roboh dia berkelojotan dan tewas seketika! Orang kedua roboh terjungkal, kelihatannya tidak terluka karena tangan kanan Hek-liong-li tadi mencengkeram ke dadanya, akan tetapi kalau bajunya dibuka, akan nampak dadanya sebelah kiri luka akibat cengkeraman itu dan luka itupun berbekas telapak tangan merah yang mengerikan. Dia roboh dan tewas seketika. Adapun orang ketiga, roboh dengan lehernya tertotok tiga buah jari yang meninggalkan tanda bekas kemerahan pula, dan dia pun terjungkal dan tewas.

   Melihat ini, Kiu-bwe Mo-li terbelalak. Ia pernah mendengar bahwa bibi gurunya, Huang-ho Kui-bo, pernah menciptakan sebuah ilmu yang mengerikan, yang disebut Hiat-tok-ciang (Tangan Racun Darah). Inikah ilmu itu? Sungguh mengerikan dan berbahaya sekali.

   Melihat tiga di antara lima orang pembantunya itu roboh dan tewas, Kiu-bwe Mo-li tidak dapat tinggal diam lagi. Tubuhnya melayang ke depan, cambuk ekor sembilan di tangannya digerakkan dan terdengarlah suara ledakan nyaring berkali-kali.

   "Tar-tar-tar-tarrr......" Cambuk itu meledak-ledak dan sembilan ekornya menyambar-nyambar ke arah jalan darah maut di tubuh Hek-liong-li!

   Gadis ini terkejut bukan main dan cepat ia terpaksa menggulingkan dirinya ke atas tanah dan ketika cambuk itu mengejarnya, iapun bergulingan sampai jauh sambil menyambar sebatang golok di antara tiga batang golok lawannya yang telah tewas. Tahulah ia bahwa nenek itu berbahaya sekali dilawan dengan tangan kosong, maka melihat adanya sebatang pohon tumbuh tak jauh dari situ, tubuhnya mencetat ke atas, goloknya menyambar dan ia sudah membabat putus sebatang cabang pohon yang besarnya selengan orang dan panjangnya sama dengan tinggi tubuhnya.

   Cepat ia membersihkan ranting dan daun, dan di tangannya kini terdapat sebatang tongkat yang baik. Golok itupun ia lemparkan ke atas tanah. Tongkat merupakan senjata kedua yang disukanya di samping pedang. Memang gurunya, Huang-ho Kui-bo, terkenal sekali dengan ilmu tongkatnya dan nenek itu ke manapun ia pergi selalu ia membawa sebatang tongkat hitam berbentuk ular dan ia lihai sekali memainkan tongkatnya itu. Tentu saja Hek-liong-li sudah mewarisi ilmu tongkat ular yang amat hebat itu dan kini ia merasa kuat setelah memegang sebatang tongkat dari cabang pohon.

   Dua orang wanita itu kini berdiri dan saling berhadapan, saling pandang seperti dua ekor ayam jago yang sedang saling menilai sebelum keduanya bergebrak dalam perkelahian mati-matian. Hek-liong-li atau Lie Kim Cu memandang penuh perhatian. Senyumnya tak pernah meninggalkan mulutnya sehingga lesung pipit menghias pipinya, membuat ia nampak manis sekali.

   Diam-diam ia menilai wanita yang berdiri di depannya. Seorang wanita yang sebetulnya belum tua benar, belum pantas disebut nenek. Usianya baru empatpuluh tahun lebih, namun wajahnya sudah penuh keriput dan tubuhnya sudah mulai kempot dan bagaikan setangkai bunga yang selalu kepanasan dan kekurangan siraman air, ia nampak jauh lebih tua dari pada usia sebenarnya. Hal ini adalah karena ia terlampau menurutkan.nafsu-nafsunya, ia gila lelaki dan biarpun ia hendak menutupi ketuaannya dengan sikap pesolek dan genit, namun tetap saja ia nampak tua.

   Pakaiannya mewah, rambutnya tersisir rapi dan mengkilap oleh minyak, pakaiannya yang berkembang dan berwarna-warni itu terbuat dari sutera halus, dan dengan potongan yang mencetak tubuhnya yang mulai peyot. Dari pakaiannya, tersiar bau yang wangi menyolok hidung karena minyak wangi sebotol penuh dituangkannya habis-habisan di pakaiannya.

   Rambutnya masih hitam dan panjang, dikuncir tebal, dan dibiarkan tergantung di atas punggungnya, ujungnya diikat dengan pita merah, seperti rambut seorang gadis remaja! Akan tetapi rambut dengan kuncir seperti ini bukan sekedar untuk bersolek, melainkan di samping itu, rambut ini dapat dipergunakan sebagi senjata yang amat ampuh!

   Cambuk berekor sembilan yang berada di tangannya itu amat ampuh, setiap ekor cambuk itu mengandung racun dan di samping senjata ini, iapun pandai mempergunakan segala macam senjata rahasia beracun seperti jarum dan paku. Memang Kiu-bwe Mo-li seorang ahli racun, mewarisi ilmu tentang racun dari subonya yang sudah meninggal dunia. Gurunya itu berjuluk Jeng-tok Kui-bo (Iblis Betina Seribu Racun) dan gurunya itu masih terhitung su-ci (kakak seperguruan) dari Huang-ho Kui-bo! Akan tetapi, gurunya itu lebih ahli tentang racun, adapun mengenai ilmu silat, kabarnya bibi gurunya itu jauh lebih lihai. Dan untuk memperlengkapi ilmu silatnya, selain dari mendiang gurunya, Kiu-bwe Mo-li juga belajar ilmu silat dari bermacam guru.

   "Hek-liong-li, sebelum kita bertanding, aku ingin bicara dulu denganmu," kata Kiu-bwe Mo-li setelah beberapa lamanya mereka saling pandang dengan sinar mata penuh penilaian.

   "Mau bicara apa lagi? Bicaralah!" kata Hek-liong-li dengan sikap tenang.

   "Aku telah melihat ilmu silatmu. Engkau pandai memainkan ilmu langkah Liu-seng-pouw dan ilmu silat Bi-jin-kun, juga kalau tidak salah, engkau merobohkan tiga orang anak buahku dengan Hiat-tok-
(Lanjut ke Jilid 08)
Sepasang Naga Penakluk Iblis (Seri ke 01-Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   
Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jilid 08
ciang. Masih ada hubungan apakah engkau dengan Huang-ho Kui-bo?"

   Hek-liong-li mengerutkan alisnya. Makin yakinlah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan tangguh yang telah mengenal ilmu silatnya, bahkan mengenal pula nama gurunya.

   "Sebelum kujawab pertanyaanmu, katakanlah dulu siapa engkau dan mengapa engkau bertanya tentang Huang-ho Kui-bo," katanya dengan sikap angkuh.

   "Aku disebut Kiu-bwe Mo-li, dan Huang-ho Kui-bo adalah bibi guruku."

   Kim Cu mengangguk-angguk dan senyumnya sinis.

   "Hemm, engkau tentu murid mendiang Jeng-tok Kui-bo, bukan? Su-bo pernah bercerita tentang kau dan gurumu bahkan memperingatkan aku agar berhati-hati terhadap engkau yang katanya amat jahat, keji dan licik, seorang tokoh sesat yang sudah menumpuk banyak dosa."

   Kiu-bwe Mo-li, tidak marah, bahkan tertawa dengan suara genit dan dibuat-buat: "Heh-heh-hi-hi-hik! Kata-katamu menggelikan hatiku, Hek-liong-li. Engkau mengatakan aku tokoh sesat yang jahat. Dan siapakah bibi guru Huang-ho Kui-bo? Seorang malaikat yang suci? Heh-heh, ia adalah datuk nomor satu kaum sesat di sepanjang Sungai Huang-ho sebelum ia menghilang!"

   "Tidak kusangkal, akan tetapi su-bo telah mengundurkan diri, bertapa untuk menebus dosanya, bahkan dengan keras berpesan kepadaku agar aku tidak terjeblos ke dalam dunia kaum sesat, bahkan aku harus menentang mereka," kata Hek-liong-li.

   "Hemm, Hek-liong-li. Engkau adalah murid bibi guruku sendiri, dengan demikian engkau masih terhitung su-moiku (adik seperguruanku). Oleh karena itu, tidak semestinya kita bermusuhan. Kalau tadi engkau sudah terlanjur membunuh tiga orang anak buahku, sudahlah, kuhabiskan sampai di sini saja. Mari kita bekerja sama dan kalau aku yang membawamu, engkau tentu akan diterima dengan baik sekali oleh Beng-cu kami dan mendapatkan kedudukan yang baik."

   "Kiu-bwe Mo-li, dengan membujuk aku mengikuti jejakmu, engkau menambah dosamu saja. Sebaiknya kalau engkau yang mendengar nasihatku, tinggalkan duniamu yang hitam, kembalilah ke jalan benar agar dosa-dosamu tertebus dengan perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan manusia lain."

   Wajah yang tertutup bedak tebal itu berkerut dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar marah, cambuk di tangannya bergoyang-goyang dan telunjuk kiri Kiu-bwe Mo-li menunjuk ke arah muka Hek-liong-li.

   "Hek-liong-li, agaknya engkau memang sudah bosan hidup! Hari ini engkau akan mati di bawah cambukku!"

   Kiu-bwe Mo-li berteriak marah dan tubuhnya bergerak cepat sekali, dan terdengar bunyi meledak-ledak ketika cambuknya sudah terayun ke atas, kemudian dari atas setelah mengeluarkan suara seperti ledakan kecil lalu menyambar ke bawah. Sembilan ekor ujung cambuk itu menjadi satu menyambar ke arah ubun-ubun kepala Hek-liong- li. Setiap ekor cambuk itu sudah merupakam senjata yang ampuh, apa lagi sekarang menjadi satu maka kekuatan yang terkandung dalam serangan ini juga hebat sekali.

   Si Dewi Naga Hitam tidak gentar menghadapi serangan ini. Iapun tidak berani memandang ringan karena ia memang pernah mendengar dari subonya tentang Jeng-tok Kui-bo, si ahli racun dan muridnya ini yang kabarnya amat jahat melebihi gurunya, pandai ilmu silat dan ahli tentang racun.

   Melihat sambaran cambuk yang demikian cepat dan kuat sehingga mendatangkan angin pukulan dan suara bercuitan, ia lalu menggeser kakinya ke kanan, membalik lalu menangkis turunnya sinar cambuk hitam itu dengan tongkatnya, menangkis dari samping, bukan dari bawah sehingga ia tidak mengadu tenaga secara langsung.

   "Takkkk!" Pertemuan antara tongkat dam cambuk itu membuat keduanya meloncat ke belakang karena merasa lengan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tenaga mereka seimbang. Akan tetapi, tiba-tiba tongkat di tangan Liong-li menyambar, bergerak seperti seekor ular berjalan, tidak meluncur dengan lurus melainkan, berlenggang-lenggok sehingga sukar diduga ke mana tongkat itu akan menyerang! Ternyata kemudian bahwa ujung tongkat itu menyerang ke arah perut Kiu-bwe Mo-li.

   Wanita ini cepat mengelak ke samping, akan tetapi sebelum cambuknya membalas serangan lawan, tongkat itu sudah membalik dan ujung yang lain menghantam ke arah kepala Kiu-bwe Mo-li. Wanita inipun maklum akan kelihaian lawannya yang muda, maka ia tidak memandang ringan dan bersikap hati-hati. Maka kecepatan gerakan tongkat itu tidak mengejutkannya dan iapun cepat meloncat ke belakang untuk mengelak, dan kini cambuknya menyambar ke depan, ujungnya terpencar menjadi sembilan ekor seperti ular-ular kecil panjang hidup, sembilan ekor ujung cambuk itu meledak-ledak dan beterbangan ke depan, menyerang ke arah jalan darah Liong-li dengan totokan-totokan maut!

   Cambuk di tangan wanita ini memang berbahaya sekali, lihai bukan main. Setiap ujung dari sembilan ekor itu bukan saja dapat melakukan totokan pada jalan darah yang di antaranya ada yang mematikan, akan tetapi juga masing-masing ujung mengandung racun yang amat kuat. Tidak mengherankan apa bila ia terkenal sekali dengan senjatanya ini dan dijuluki Kiu-bwe Mo-li (lblis Betina Ekor Sembilan).

   Namun, Hek-liong-li telah mewarisi ilmu tongkat yang amat hebat dari subonya. Senjata tongkat merupakan senjata utama subonya, di samping pedang, dan begitu ada tongkat di tangannya, Liong-li merasa seperti seekor harimau yang tumbuh sayap. Tongkat itu menjadi hidup di kedua tangannya, dan menghadapi "pengeroyokan" sembilan ekor ujung cambuk di tangan Kiu-bwe Mo-li, ia tidak menjadi. gentar atau gugup.

   Tongkatnya digerakkan secara aneh dan istimewa, dan ke mana pun ujung cambuk menyambar, selalu bertemu dengan tongkat! Bahkan Liong-li mampu melakukan serangan balasan dengan tak kalah dahsyatnya! Tongkat di tangannya itu, walaupun hanya sebatang cabang pohon namun kini seolah-olah hidup. Senjata sederhana ini dapat membabat, memukul, menusuk, dan kalau diputar menjadi seperti perisai besar yang melindungi seluruh tubuh Liong-li!

   Terjadilah perkelahian yang amat seru antara kedua orang wanita itu. Kiu-bwe Mo-li adalah seorang di antara para pembantu utama Hek-sim Lo-mo, pembantu yang dipercaya karena di samping Tok-gan-liong Yauw Ban, ia merupakan pembantu yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi dan amat diandalkan oleh Hek-sim Lo-mo. Karena itulah, ketika datuk itu mendengar akan munculnya Hek-liong-li di Lok-yang, dia mengutus Kiu-bwe Mo-li untuk mencari dan membunuh gadis lihai itu.

   Kini, setelah bertemu dengan Hek-liong-li, Kiu-bwe Mo-li tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang yang masih terhitung adik seperguruannya, akan tetapi ternyata bahwa su-moi yang masih amat muda itu telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga sukar baginya untuk mendesak dengan cambuknya. Hal ini membuat Kiu-bwe Mo-li menjadi penasaran sekali dan ia mengerahkan seluruh tenaganya, memutar cambuknya dan menghujankan serangan-serangan maut dengan senjata istimewa itu.

   Gerakan tongkat di tangan Liong-li makin lama semakin mantap. Kalau tadi ia masih nampak repot karena harus mengimbangi kecepatan sembilan ekor ujung cambuk, kini agaknya ia sudah mampu menangkap inti gerakan senjata lawan dan ia bergerak lebih tenang dan mantap, bahkan kini dapat membalas serangan lebih gencar dengan tongkatnya.

   Tongkat panjang merupakan senjata yang biarpun hanya sebatang, namun memiliki dua ujung yang dapat dipergunakan secara bergantian untuk menyerang atau menangkis, bahkan bagian tengahnya dapat pula melindungi tubuh sebagai perisai. Tongkat yang dimainkan Liong-li penuh dengan tenaga sin-kang sehingga tongkat itu dalam gerakannya mengeluarkan suara menderu-deru disertai angin yang menyambar-nyambar.

   "Syuuuttt......!" Tongkat menusuk ke arah dada Kiu-bwe Mo-li. Ketika iblis betina ini mengelak dengan miringkan tubuh dan siap untuk membalas serangan, tiba-tiba tongkat itu membalik.

   "Wuuuttt!!" Kini ujung lain dari tongkat itu menghantam dari atas ke arah ubun-ubun kepala Kiu-bwe Mo-li.

   Tentu saja wanita ini terkejut bukan main oleh kecepatan gerakan lawan. Ia melompat ke belakang dan kembali tongkat datang menyerang dengan putaran yang membuat ujung tongkat membentuk gulungan sinar melebar seperti payung. Kiu-bwe Mo-li terpaksa mundur lagi sambil memutar cambuknya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya. Cambuk itu diputar menjadi gulungan sinar hitam yang menjadi semacam perisai yang amat kuat.

   Melihat betapa jagoan mereka sampai sekian lamanya belum mampu mengalahkan Hek-liong-li, bahkan sempat pula terdesak, Boan Ke dan Su Leng, dua orang di antara kelima Twa-to Ngo-houw yang masih hidup, menjadi penasaran sekali. Mereka berdua merasa bersedih karena kematian tiga orang saudara mereka dan mengharapkan agar Kiu-bwe Mo-li dapat membalaskan kematian itu dan merobohkan Hek-liong-li.

   Akan tetapi Si Dewi Naga itu agaknya masih terlampau kuat bagi Kiu-bwe Mo-li, maka dua orang anggauta Twa-to Ngo-houw, yang sejak tadi nonton, menjadi kecewa dan marah. Mereka selama ini mengandalkan kelihaian Kiu-bwe Mo-li dan nama besar Hek-sim Lo-mo, akan tetapi setelah bertemu lawan tangguh, ternyata Kiu-bwe Mo-li tidak mampu mengalahkan seorang gadis muda!

   Dan wanita genit itu selalu menyombongkan dirinya sebagai pembantu utama dari Hek-sim Lo-mo yang katanya tak pernah terkalahkan oleh siapapun juga kecuali Hek-sim Lo-mo! Mereka menjadi kecewa dan penasaran, lalu tanpa minta ijin lagi mereka lalu terjun ke dalam medan pertempuran itu dan mengeroyok Liong-li. Namun gadis ini sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan dengan penuh semangat ia menyambut dua batang golok dari dua orang lawan baru itu dengan tongkatnya.

   Tingkat kepandaian dua orang dari Twa-to Ngo-houw ini memang masih jauh sekali dibandingkan tingkat Kiu-bwe Mo-li, apa lagi dengan tingkat Liong-li. Maka, masuknya dua orang ini sebagai pengeroyok, sama sekali tidak merepotkan Liong-li, bahkan membuat Kiu-bwe Mo-li menjadi terhalang gerakan cambuknya, walaupun diam-diam wanita ini merasa lega bahwa dalam keadaan terdesak tadi ia mendapat bantuan.

   Kini ia menjadi agak longgar, tidak terdesak lagi dan iapun melakukan serangan dengan lebih ganas, mengandalkan bantuan dua orang anak buahnya itu.

   Liong-li menggerakkan tongkatnya dengan lebih cepat lagi, kini mendesak kepada dua orang dari Twa-to Ngo-houw karena ia memang berniat untuk membasmi lima orang tukang pukul yang sudah mendatangkan banyak kesengsaraan kepada rakyat dusun itu.

   Akan tetapi, Kiu-bwe Mo-li telah mendahuluinya. Wanita ini maklum bahwa kalau sampai dua orang pembantunya itu roboh dan ia harus sendirian saja menghadapi Liong-li, keadaannya akan menjadi berbahaya sekali. Harus diakuinya di dalam hati bahwa ilmu kepandaian gadis yang masih terhitung sumoinya ini amat lihai dan ia merasa kewalahan. Ilmu tongkat itu aneh dan juga amat kuat. Maka, selagi masih ada dua orang pembantunya, ia harus menekan sedemikian rupa agar dapat merobohkan Liong-li. Maka, iapun cepat menggerakkan tangan kirinya dan belasan batang paku beracun menyambar ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari gadis itu!

   Liong-li sudah mendengar dari subonya akan keahlian Jeng-tok Kui-bo dan muridnya itu dalam menggunakan senjata rahasia beracun. Oleh karena itu, sejak tadi ia sudah siap siaga, sudah menduga bahwa kalau terdesak, tentu wanita itu akan mempergunakan senjata rahasia beracun itu. Maka, begitu Kiu-bwe Mo-li menggerakkan tangan kirinya, iapun cepat melompat tinggi ke atas sambil memutar tongkatnya. Ketika ia melihat sinar hitam menyambar ke bawah kakinya, ia lalu memukulnya dengan tongkat dan mengarahkan senjata rahasia itu kepada Boan Ke dan Su Leng, dua orang Twa-to Ngo-houw itu.

   "Aduhhhh......!" Su Leng dan Boan Ke terguling. Su Leng yang terkena paku beracun tepat pada pelipisnya itu langsung berkelojotan dan tewas, sedangkan Boan Ke yang cepat mengelak akan tetapi masih terkena pundak kirinya, merasa betapa pundak itu nyeri, panas dan gatal.

   Diapun marah bukan main, apa lagi mengingat bahwa yang melukainya adalah paku yang dilepas oleh Kiu-bwe Mo-li. Celaka, pikirnya, atasan yang amat diandalkan itu bahkan telah mencelakainya dengan paku beracun itu! Dia menjadi nekat dan dengan golok besarnya, dia menubruk ke arah Liong-li, hendak mengadu nyawa dengan gadis yang amat lihai itu! Akan tetapi, tubrukan yang dahsyat ini dapat dielakkan oleh Liong-li sehingga Boan Ke terbuyung ke depan.

   Pada saat itu, kembali Kiu-bwe Mo-li menggerakkan tangan kirinya dan kini jarum-jarum halus yang belasan batang banyaknya menyambar-nyambar ke arah Liong-li. Gadis ini terkejut. Jarum-jarum itu lembut dan lebih berbahaya dibandingkan paku-paku tadi, maka iapun cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan menjauh.

   Pada saat itu, Kiu-bwe Mo-li maklum bahwa kalau dilanjutkan, hanya akan merugikan dirinya, maka melihat lawan bergulingan, ia mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri secepatnya!

   "Kiu-bwe Mo-li pengecut!" bentakan ini keluar dari mulut Boan Ke yang merasa penasaran dan marah melihat betapa atasannya itu meninggalkannya setelah keadaan berbahaya. Dengan nekat dia menggerakkan goloknya menyerang Liong-li.

   "Singgg......!" Golok itu menyambar ganas.

   Liong-li miringkan tubuhnya sehingga bacokan mengenai tempat kosong dan pada saat berikutnya, tongkatnya menyambar ke arah tengkuk lawan.

   "Kekkk!!" Tubuh Boan Ke terjungkal, goloknya terlepas dan dia merintih-rintih kesakitan. Akan tetapi, dia masih marah kepada Kiu-bwe Mo-li yang melarikan diri meninggalkannya.

   "Kiu-bwe Mo-li pengecut besar!" Dia masih mengeluarkan teriakan marah.

   Liong-li memandang ke kanan kiri, mencari ke mana perginya musuh utamanya, yaitu Kiu-bwe Mo-li, akan tetapi tidak melihat bayangan orang itu. Selagi ia hendak pergi, terdengar Boan Ke, orang pertama Twa-to Ngo-houw berseru memanggilnya.

   "Hek-liong-li......!"

   Kim Cu menahan langkahnya dan membalik, lalu menghampiri orang itu yang disangkanya telah mati. Kuat juga orang ini yang terpukul tengkuknya masih belum juga tewas. Setelah dekat ia melihat bahwa keadaan orang itu sudah parah, dan kematian hanya soal waktu saja, waktu yang tidak lama lagi. Akan tetapi daya tahan Boan Ke memang cukup kuat sehingga dia masih mampu bicara, walaupun untuk itu dia harus mengerahkan seluruh sisa tenaganya.

   "Engkau mau apa?" tanya Liong-li.

   "Hek-liong-li, ia Kiu-bwe Mo-li, seorang pengecut besar....., ia meninggalkan aku. Ia hanyalah pembantunya......, yang berkuasa adalah Beng-cu, Hek-sim Lo-mo... kau cari mereka, kau basmi mereka...... Lo-mo berada di Lok-yang..... kalau dia tidak berada di sana, tentu...... dia di rumah ahli pembuat pedang Thio Wi Han, di dusun Gi-ho-cung...... kaki gunung Fu-niu-san... dia telah..... telah mendapatkan mustika naga...... ahhhh....."

   Orang pertama dari Twa-to Ngo-houw itupun terkulai dan tewas. Liong-li memandang kepadanya, lalu kepada empat orang saudaranya yang sudah lebih dulu tewas, dan wanita muda ini menarik napas panjang.

   Ah, kenapa manusia harus melakukan semua kejahatan itu, menjadi seorang penjahat, mengandalkan keberanian dan kenekatan, menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, untuk mencuri, merampok, menipu, bahkan membunuh? Kenapa mereka melakukan itu semua sehingga akhirnya tewas dalam keadaan seperti ini?

   Kembali ia menarik napas panjang, teringat akan nasib dirinya. Demikian banyaknya peristiwa hebat sebagai akibat kejahatan manusia menimpa dirinya. Ia, puteri seorang bangsawan, seorang pejabat tinggi pemerintah yang ketika kecilnya hidup serba kecukupan, terhormat dan mulia, setelah dewasa harus mengalami banyak sekali hal yang amat pahit, penghinaan-penghinaan dan kesengsaraan, banjir air mata, kehilangan ayah bunda dan keluarga sehingga kini hidup sebatang kara, tidak memiliki apa-apa lagi!

   "Tidak!" katanya kepada diri sendiri mengusir kelesuan karena duka melanda batinnya.

   "Aku masih punya ini!" Ia meluruskan kedua lengannya.

   "dan punya ini lagi!" Ditendangkan kedua kakinya bergantian.

   "dan dengan kaki tanganku ini, aku akan memerangi semua penjahat, menantang kejahatan dan menikmati kehidupan ini! Enyahlah duka dan keluh kesah!"

   Ia meraba kedua pipinya yang terasa halus.

   "Engkau masih muda, Kim Cu, masih banyak kesempatan untuk menikmati hidup, melupakan masa lampau yang banyak kepahitan."

   Setelah berkata demikian iapun melompat dan dengan wajah berseri iapun berlari cepat menuju ke Lok-yang. Ia akan mencari Kiu-bwe Mo-li di sana, dan kalau ternyata Hek-sim Lo-mo merajalela dan menyebar banyak kaki tangan untuk melakukan kejahatan, ia akan menentang dan membasmi Hek-sim Lo-mo dengan komplotannya!

   Dan hatinya tertarik sekali mendengar Hek-sim Lo-mo telah memperoleh mustika naga! Dan datuk sesat itu pergi ke dusun Gi-ho-cung di kaki Gunung Fu-niu-san untuk menemui ahli pembuat pedang Thio Wi Han? Hemm, menarik sekali! Bukankah subonya pernah bercerita bahwa mustika naga dari Gunung Emas, yaitu Kim-san Liong-cu itu juga dapat dibuat menjadi pedang yang ampuh?

   Tidak sukar bagi Liong-li untuk mencari tempat kediaman Hek-sim Lo-mo yang bagi semua orang kang-ouw disebut Beng-cu (Pemimpin Rakyat). Akan tetapi ketika ia tiba di sana, benar saja seperti pemberitahuan orang pertama dari Twa-to Ngo-houw sebelum tewas, Hek-sim Lo-mo tidak berada di tempatnya.

   Rumah yang menjadi tempat tinggal Hek-sim Lo-mo besar dan megah, seperti rumah seorang hartawan besar. Rumah besar itu dikelilingi pagar tembok yang tinggi dan selalu ada belasan orang yang bertugas jaga di pinta gerbang, seperti rumah tinggal seorang pembesar tinggi yang penting saja. Hanya bedanya, kalau para penjaga rumah pembesar adalah perajurit-perajurit jaga yang mengenakan pakaian perajurit, maka para penjaga di pintu gerbang rumah Hek-sim Lo-mo adalah orang-orang yang mengenakan pakaian yang ringkas, pakaian ahli silat dan sikap itu galak dan congkak.

   Ketika belasan orang kasar ini melihat seorang gadis cantik menghampiri pintu gerbang, mereka tercengang dan sambil menyeringai dan menjual lagak mereka berlumba untuk menyambut.

   "Hendak mencari akukah, nona manis?"

   "Siapakah namamu, sayang?"

   "Aduh cantiknya, sudah bersuamikah, atau masih perawan?"

   "Kalau janda, mari ikut aku saja, tanggung puas dan senang!"

   Melihat wajah-wajah kasar menyeringai kepadanya dan mendengar kata-kata rayuan kasar dan kurang ajar itu, Liong-li hanya tersenyum. Senyumnya manis bukan main sehingga belasan orang laki-laki itu menjadi semakin tergila-gila dan masing-masing mendapatkan suatu harapan penuh khayal, seolah-olah senyum manis gadis itu ditujukan khusus kepada setiap orang dari mereka!

   Tentu saja sikap para pria ini tidak mengejutkan hati Liong-li. Ia sudah terbiasa oleh rayuan-rayuan halus kasar seperti itu dari kaum pria dan ia memandang rendah semua itu, maklum akan kepalsuan yang tersembunyi di balik nafsu berahi itu.

   "Kalian baik sekali," katanya dan senyumnya melebar, memperlihatkan kilatan gigi seperti mutiara berbaris, dan lidahnya yang jambon menjilat bibirnya yang merah basah.

   

Lembah Selaksa Bunga Eps 5 Pedang Sinar Emas Eps 45 Lembah Selaksa Bunga Eps 4

Cari Blog Ini