Ceritasilat Novel Online

Si Pedang Tumpul 5


Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Bagian 5




   Akhirnya, karena kegagahan dan kepandaiannya, karena bakatnya menjadi pemimpin, setelah bertualang di dunia kang-ouw, dia berhasil diangkat menjadi seorang beng-cu (pemimpin rakyat). Dia telah menjadi dewasa, berpengalaman dan berpengetahuan luas, sudah lenyap sama sekali bekas-bekas kehidupan petani di pedesaan.

   Dia memperkuat kedudukannya, memperkuat para pengikut yang dihimpunnya menjadi pasukan, melatihnya dan dalam usia duapuluh delapan tahun, dia sudah demikian kuatnya dan memperoleh dukungan dari rakyat jelata, dari golongan rendah sampai menengah, memberontak terhadap kekuasaan Kerajaan Mongol yang telah menjajah Cina selama hampir seratus tahun.

   Dia memimpin pasukan rakyatnya menyerbu dan menguasai Nan-king yang kemudian menjadi pusat kekuasaannya, bahkan kemudian menjadi kotarajanya. Dan dalam tahun 1368, dalam usia empatpuluh tahun, dia telah berhasil menguasai seluruh wilayah kekuasaan Mongol di daratan Cina. Dia lalu mendirikan dinasti baru, yaitu Dinasti Beng dan dia menjadi kaisar pertamanya yang bernama Kaisar Thai-cu.

   Semenjak itu, Kaisar Thai-cu terus mengadakan pembersihan, mengirim pasukan di bawah pimpinan Jenderal Su Ta, yaitu seorang panglima yang menjadi tangan kanannya, jauh ke utara dan barat untuk mengejar sisa-sisa pasukan Mongol dan bahkan membakar kotaraja Karakorum, kota raja lama yang dulu menjadi pusat kekuasaan pendiri Kerajaan Mongol, yaitu Jenghis Khan.

   KETIKA Sam Sian dan Sin Wan diperkenankan menghadap kaisar untuk menyerahkan pusaka-pusaka yang berhasil ditemukan kembali oleh Tiga Dewa itu, Kaisar Thai-cu telah tujuh tahun menjadi kaisar (1375). Tentu saja Kaisar Thai-cu gembira bukan main ketika menerima Sam Sian dan melihat betapa semua pusaka yang dicuri maling itu telah dapat ditemukan kembali. Kaisar yang sebelum menjadi kaisar sudah banyak bertualangan di dunia kang-ouw ini tahu benar bahwa mengandalkan pasukan saja, akan sulit untuk dapat menemukan kembali pusaka-pusaka yang hilang. Oleh karena itulah maka dia mengutus Sam Sian untuk mencari dan membawa kembali pusaka-pusaka itu. Ular

   Saking gembiranya Kaisar Thai-cu menawarkan kedudukan kepada mereka bertiga. Ketika Sam Sian menolaknya dengan halus, Kaisar Thai-cu yang sudah mengenal watak-watak para tokoh dan datuk persilatan, tidak menjadi marah.

   "Kalau begitu, kalian pilih sebuah di antara pusaka-pusaka yang dapat ditemukan kembali ini. Pilihlah sebuah yang paling disukai, dan kami hadiahkan pusaka itu kepada kalian."

   Karena seorang demi seorang yang ditawari, Dewa Arak berkata.

   "Hamba tidak membutuhkan pusaka, karena kesukaan hamba hanyalah minum arak."

   Kaisar Thai-cu tertawa dan dia lalu mengutus seorang petugas untuk mengambilkan sebuah guci arak yang merupakan benda pusaka pula karena guci itu terbuat dari semacam batu kumala yang berkhasiat. Bukan saja arak yang disimpan dalam guci itu akan menjadi semakin lezat, juga kalau ada racun terkandung dalam minuman atau makanan, begitu dimasukan ke dalam guci yang warnanya putih kebiruan itu akan menjadi hitam! Tentu saja Dewa Arak merasa gembira sekali menerima guci arak yang ada gantungannya itu, apalagi guci itu diisi arak yang paling tua di istana. Dia cepat menghaturkan terima kasih.

   Ketika tiba giliran Dewa Rambut Putih, dia memberi hormat.

   "Hamba juga tidak membutuhkan pusaka, karena kesukaan hamba hanyalah membaca kitab dan meniup suling membuat sajak."

   Kaisar Thai-cu mengangguk-angguk senang dan memandang kagum. Lalu dia mengutus petugas lain untuk mengambilkan sebuah kitab kumpulan huruf-huruf (semacam kamus) dan sebuah suling yang terbuat dari perak dan mempunyai suara yang amat nyaring dan merdu. Mendapatkan hadiah yang baginya lebih bernilai dari pada segala macam pusaka. Dewa Rambut Putih menghaturkan terima kasih dengan hati gembira.

   Tinggal Dewa Pedang yang ditawari memilih sebuah di antara pusaka yang ditemukan kembali. Bagi seorang ahli pedang seperti Kiam-sian, tentu saja ia mengincar pedang yang dianggapnya paling hebat di antara pusaka-pusaka itu, yaitu Gin-kong-kiam (Pedang Sinar Perak) yang pernah dipergunakan mendiang Se Jit Kong melawan pedangnya, yaitu Jit-kong-kiam dan ternyata pedang pusaka kerajaan itu tidak kalah ampuhnya dibandingkan pedangnya sendiri.

   Akan tetapi, dia teringat akan Sin Wan. Pernah Sin Wan bercerita kepadanya tentang Pedang Tumpul, yaitu pedang buruk yang pernah dilihat anak itu dan bahkan Se Jit Kong pernah menceritakan riwayat pedang itu kepada Sin Wan. Sin Wan mengatakan kepadanya bahwa anak itu amat suka dengan Pedang Tumpul. Ketika ditanya mengapa menyukai pedang tumpul yang tentu kurang bermanfaat sebagai pedang, anak itu membantah.

   "Suhu, teecu sudah bersumpah kepada ibu bahwa teecu tidak akan menjadi jahat dan kejam seperti mendiang Se Jit Kong. Bahkan teecu di depan makam ibu bersumpah tidak akan melakukan pembunuhan. Pedang tumpul itu cocok sekali untuk teecu. Karena tidak tajam, dan tidak runcing, maka pedang itu tidak berbahaya bagi nyawa lawan, akan tetapi cukup baik untuk dipakai membela diri. Apa lagi menurut mendiang Se Jit Kong, pedang itu dahulunya bernama Pedang Asmara yang sudah dirombak, pedang yang menjadi lambang kasih sayang."

   Kini, ketika Kaisar Thai-cu menawarkan sebuah di antara pusaka-pusaka itu untuk dipilihnya, diapun memberi hormat.

   "Kalau paduka mengijinkan, hamba mohon diberi hadiah Pedang Tumpul ini." Dia menunjuk ke arah pedang di antara tumpukan pusaka itu.

   "Apa? Pedang yang buruk ini pilihanmu, totiang (bapak pendeta)?" Kaisar bertanya sambil mengangkat pedang yang amat buruk itu, kemudian menghunusnya.

   "Aih, pedang ini bukan saja gagang dan sarungnya amat sederhana, akan tetapi pedangnya sendiri tumpul dan buruk!"

   "Ampun, Sribaginda. Keburukan melahirkan kebaikan, dan kebaikan melahirkan keburukan, keduanya tak terpisahkan. Akan tetapi hamba memilih yang buruk kulitnya akan tetapi baik isinya, daripada yang baik kulitnya akan tetapi buruk isinya."

   Kaisar Thai-cu tertawa senang.

   "Ha-ha-ha, totiang benar. Pedang ini memang gagal pembuatannya sehingga nampak buruk, akan tetapi kabarnya pedang ini terbuat dari pada batu bintang hijau. Nah, terimalah, totiang, dan mudah-mudahan bukan saja isinya yang baik, akan tetapi juga kegunaannya."

   Kiam-sian menerima pedang itu dengan gembira dan menghaturkan terima kasih. Kemudian mereka mendapat ijin untuk mengundurkan diri. Diam-diam Sin Wan yang diajak guru-gurunya menghadap kaisar, kagum bukan main. Selama hidupnya, belum pernah dia melihat gedung yang demikian indah seperti istana itu, dan melihat perabot-perabot dan barang"barang yang luar biasa sehingga dia merasa seperti dalam mimpi saja.

   Ketika Sam Sian dan Sin Wan keluar dari pintu gerbang istana yang terakhir dan menghadap ke jalan umum, di luar pintu gerbang itu terdapat seorang anak perempuan yang ditemani seorang wanita setengah tua. Begitu melihat Sam Sian, anak perempuan itu segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah di tepi jalan.

   "Sam-wi lo-cianpwe (tiga orang tua gagah), saya Lim Kui Siang mohon agar diterima sebagai murid sam-wi."

   Tentu saja tiga orang kakek itu saling pandang dan merasa heran. Mereka mengamati anak perempuan itu. Seorang anak perempuan yang usianya sembilan atau sepuluh tahun, wajahnya yang cantik manis dengan kulit putih mulus itu nampak berduka, pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang anak bangsawan atau hartawan.

   "Nona kecil, jangan begitu. Kami tidak menerima murid, dan jangan berlutut di tepi jalan, nanti menjadi tontonan orang." kata Dewa Arak dan menghampiri anak itu hendak mengangkatnya bangun.

   "Sam-wi lo-cianpwe, sebelum sam-wi menerima saya sebagai murid. Saya akan tetap berlutut di sini sampai mati!"

   Tentu saja ucapan ini membuat tiga orang kakek itu terkejut bukan main, akan tetapi mereka lalu tersenyum dan di dalam hati mereka tidak percaya bahwa anak perempuan yang jelas anak seorang bangsawan ini akan benar-benar senekat itu.

   "Nona, sudah kami katakan bahwa kami tidak menerima murid. Bangkitlah dan pulanglah, nona," kata pula Dewa Arak dan kepada wanita setengah tua yang berpakaian pelayan itu diapun berkata.

   "Ajaklah nonamu pulang. Tidak baik membiarkan ia bersikap seperti ini di tempat umum."

   Akan tetapi wanita pelayan itu memberi hormat dan berkata dengan suara sedih.

   "Sudah sejak di rumah tadi saya mencoba untuk membujuk siocia (nona), bahkan paman-paman dan bibi-bibinya membujuk. Akan tetapi siocia berkeras hati."

   "Kalau begitu, biarkan sajalah kalau ia ingin berlutut di sini sampai mati," kata pula Dewa Arak dan diapun memberi isyarat kepada dua orang rekannya untuk meninggalkan pintu gerbang itu, tidak mau menoleh lagi.

   Sin Wan yang beberapa kali menoleh! Melihat betapa anak itu masih tetap berlutut, tidak bergerak sama sekali, dia merasa kasihan sekali.

   "Kenapa suhu bertiga membiarkan ia berlutut di sana terus? Bagaimana kalau ia benar-benar tidak mau bangkit lagi dan akan berlutut terus di sana sampai mati seperti yang ia katakan tadi?"

   "Ha .. ha .. ha!" Dewa Arak berkata.

   "Ia anak bangsawan yang tentu sejak kecil dimanja dan setiap keinginannya harus dipenuhi. Ia hanya menggertak saja."
"Siancai ..... pinto (aku) belum pernah mendengar, apalagi melihat ada anak sekecil itu demikian teguh hati akan berlutut terus sampai mati kalau tidak dipenuhi permintaannya," kata Kiam-sian si Dewa Pedang.

   "Ia tentu dibuai khayal, mendengar bahwa kita telah berhasil menemukan kembali pusaka-pusaka itu, dan ia bermimpi untuk kelak menjadi seorang pendekar wanita. Seorang anak bangsawan yang biasa hidup mewah dan senang, mana mungkin dapat menghadapi kehidupan sulit di pertapaan?" kata pula Si Dewa Rambut Putih.

   Akan tetapi Sin Wan tidak setuju dengan pendapat tiga orang gurunya. Dia tadi melihat betapa anak perempuan itu nampak bersedih dan sinar matanya seperti orang yang putus harapan. Dalam keadaan seperti itu tidak akan aneh kalau anak itu berlaku nekat dan benar-benar akan berlutut di sana sampai mati!

   "Suhu, hati teecu merasa tidak enak. Bagaimana kalau ia benar-benar berlutut di sana sampai mati? Kalau hal itu terjadi, apakah suhu bertiga tidak akan merasa berdosa dan menyesal?"

   Tiga orang kakek itu berhenti melangkah. Pintu gerbang istana itu sudah tertinggal jauh dan tidak nampak lagi, akan tetapi mereka menengok ke belakang seolah hendak melihat apakah anak perempuan itu masih berlutut di sana.

   "Hemmm, Sin Wan., Apakah engkau hendak mengatakan bahwa kami harus menerima anak itu menjadi murid?" tanya Dewa Pedang sambil menatap tajam wajah Sin Wan.

   Wajah Sin Wan menjadi kemerahan dan dia menjawab.

   "Tentu saja keputusan itu terserah kepada suhu bertiga. Teecu hanya hendak mengatakan bahwa anak itu bersikap seperti tadi tentu ada alasan dan sebabnya yang kuat. Setidaknya, alangkah baiknya kalau suhu bertiga mengetahui sebabnya, dan sebelum kita meninggalkannya, kita dapat membujuk agar ia tidak bersikap nekat seperti itu."

   Tiga orang kakek itu saling pandang. Mereka bukanlah orang-orang yang bersikap acuh dan kejam. Merekapun tertarik melihat sikap anak perempuan itu, akan tetapi mereka tadi bersikap seolah-olah mereka acuh justeru untuk menguji dan mengetahui bagaimana Sin Wan menghadapi peristiwa itu.

   "Ha .. ha .. ha, kalau begitu, biar kita tunggu dan lihat nanti. Kalau ia hanya berlutut selama semalam ini saja, kurasa ia tidak akan mati karena itu. Besok pagi-pagi baru kita lihat apakah ia masih berada di sana. Ha .. ha .. ha agaknya memang sudah takdir bahwa kita harus tinggal semalam lagi di kota raja."

   Mereka tidak mau bermalam di rumah penginapan. Berita tentang mereka yang berhasil menemukan kembali pusaka istana yang hilang tentu sudah tersiar dan kalau mereka bermalam di tempat umum, tentu hanya akan menarik perhatian orang.

   Dewa Arak yang banyak pengalamannya di kota raja lalu mengajak dua rekannya dan Sin Wan melewatkan malam itu di sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi, terletak di daerah pinggiran yang terpencil. Kuil tua itu kini menjadi tempat bermalam para pengemis dan mereka yang tidak mempunyai rumah, atau pendatang dari luar kota raja yang tidak mampu membayar sewa kamar yang mahal.

   Malam itu Sin Wan gelisah tidak dapat pulas. Bukan karena tempatnya yang buruk.

   Semenjak mengikuti tiga orang gurunya, dia sudah terbiasa hidup seadanya, tidur di mana saja, bahkan di tempat terbuka. Bukan karena tempat itu yang membuat dia tidak dapat tidur, melainkan dia selalu teringat kepada anak perempuan itu! Akan tetapi, tiga orang gurunya tidur dengan nyenyaknya!

   Dia tidak bermaksud melakukan sesuatu di luar tahu guru-gurunya. Akan tetapi mereka sudah pulas dan dia tidak ingin mengganggu mereka. Maka, dengan hati-hati Sin Wan meninggalkan ruangan di bagian belakang kuil itu, mengambil jalan dari samping agar tidak mengganggu mereka yang tidur di ruangan tengah dan depan, lalu meninggalkan kuil itu, pergi menuju ke arah istana!

   Begitu dia keluar, hujan turun rintik-rintik, akan tetapi Sin Wan melanjutkan perjalanannya melalui pinggir rumah ke rumah sehingga tidak basah kuyup pakaiannya. Akhirnya, dia tiba di depan pintu gerbang istana yang menghadap jalan raya.

   Anak perempuan itu masih di sana! Jantungnya seperti ditusuk karena haru dan iba. Anak perempuan itu masih berlutut seperti tadi siang!

   Pelayan wanita setengah tua tadipun masih di belakangnya, kini memegang sebuah payung terbuka untuk memayungi anak perempuan itu, melindunginya dari air hujan rintik-rintik. Akan tetapi, anak perempuan itu tidak perduli, masih berlutut pada hal air hujan telah menggenangi tempat ia berlutut sehingga kaki dan pakaiannya menjadi basah dan kotor oleh lumpur.

   "Siocia marilah kita pulang dulu. Hari sudah malam, hujan turun. Besok, boleh siocia lanjutkan lagi," berulang kali pelayan itu membujuk dengan suara hampir menangis.

   Akan tetapi anak perempuan itu sama sekali tidak bergerak atau menjawab.

   Sebuah kereta berhenti di dekat tempat itu dan empat orang turun dari kereta. Mereka adalah dua pasang suami isteri yang berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, berpakaian seperti hartawan. Empat orang itu menghampiri si gadis kecil dan merekapun membujuk-bujuk, mengajak anak perempuan. itu pulang.

   Akan tetapi anak itu tetap tak bergerak dan tidak menjawab. Ketika dua orang pria yang menyebutkan diri sendiri sebagai paman kepada anak perempuan itu hendak memaksanya, menarik lengannya untuk dipaksa pulang, pelayan wanita ini mencegah dengan suara memohon.

   "Harap siocia jangan dipaksa. Tadi siocia mengatakan kepada saya bahwa kalau ia dipaksa pulang, sampai di rumah siocia akan, membunuh diri!"

   Mendengar ucapan itu, dua orang pria itu terkejut dan melepaskan tangan anak perempuan itu yang terus berlutut dan menundukkan mukanya. Akhirnya, karena hujan turun semakin deras, dua pasang suami isteri itu naik ke dalam kereta dan kereta itupun meninggalkan tempat itu. Anak perempuan itu masih, berlutut dan pembantunya masih berdiri di belakangnya sambil memayunginya.

   Sin Wan tak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun nekat menempuh hujan, menghampiri anak perempuan itu. Dilihatnya anak itu masih berlutut seperti arca, sama sekali tidak bergerak dan mukanya menunduk. Biarpun wanita itu memayunginya, namun angin membuat air hujan menyiram dari samping dan pakaian anak itu sudah basah kuyup, demikian pula rambutnya dan air menetes-netes dari dagunya yang hampir menempel dada.

   "Nona, kenapa engkau berkeras hendak menjadi murid tiga orang lo-cianpwe itu?"

   Anak perempuan itu diam saja, mengangkat mukapun tidak, apa lagi menjawab.

   "Nona, tidak baik menyiksa diri seperti ini. Engkau bisa masuk angin dan jatuh sakit. Kalau hanya ingin belajar ilmu silat, bukankah di kota raja ini terdapat banyak guru silat? Kenapa nona berkeras hendak belajar dari tiga orang lo-cianpwe itu?" Sin Wan kembali bertanya, suaranya lembut. Namun yang ditanyanya tidak menjawab, bergerakpun tidak.

   "Orang muda, harap jangan ganggu siocia. Siapapun yang mengajaknya bicara, ia tidak akan mau menjawab, kecuali kalau tiga orang kakek tadi yang datang bicara dengannya," kata pelayan yang memayungi.

   Akhirnya Sin Wan meninggalkan anak itu, di dalam hatinya mencela tiga orang gurunya yang dianggap kejam dan acuh terhadap seorang anak yang mempunyai tekad sedemikian hebatnya.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Sin Wan yang sama sekali tidak tidur malam itu, sudah menyambut tiga orang gurunya yang baru bangun dengan permintaan agar mereka segera menengok anak perempuan yang berlutut di depan pintu gerbang istana!

   "Marilah, suhu. Kasihan anak perempuan yang berlutut semalam suntuk di sana, pada hal semalam hujan turun ....."

   Dewa Arak tertawa.

   "Ha .. ha .. ha. bagaimana engkau tahu bahwa ia masih berada di sana, Sin Wan ? Siapa tahu semalam ia sudah pulang dan tidur nyenyak di kamarnya yang indah dan hangat."

   "Tidak suhu. Ia memang semalam suntuk berlutut di sana, Maaf, semalam teecu menengok ke sana. Teecu tidak dapat memberi tahu kepada suhu bertiga karena suhu sudah tidur pulas. Teecu bahkan membujuknya agar ia menghentikan kenekatannya, namun sia-sia. Ia tidak akan mau bangkit sebelum suhu bertiga datang dan mengajaknya seperti yang dikatakannya kemarin."

   Tentu saja tiga orang sakti sudah mengetahui akan semua ini. Semalam mereka mempergunakan kepandaian mereka untuk membayangi murid mereka, dan merekapun melihat semuanya. Kalau kini mereka berpura-pura, hal itu mereka lakukan untuk menguji sampai di mana kejujuran murid mereka.

   "Hemm, baiklah. Mari kita pergi ke sana," kata Dewa Rambut Putih dan Sin Wan ingin bersicepat, bahkan berjalan paling dulu untuk segera tiba di pintu gerbang itu.

   Benar saja. Anak perempuan itu masih berlutut di situ! Pelayan wanita juga masih di sana, menangis! Dan mulailah banyak orang datang merubung karena tentu saja amat menarik melihat seorang anak perempuan bangsawan berlutut di situ, apa lagi mendengar bahwa anak itu berlutut disitu sejak kemarin siang, dan semalam bahkan berhujan-hujan di situ!

   Sam Sian menghampiri anak itu dan Dewa Arak menyentuh kepala anak perempuan itu.

   "Hemm, engkau sungguh keras hati, anak baik. Marilah kita bicara tentang dirimu sebelum kami mengambil keputusan. Mari, bangkitlah!" Dewa Arak memegang tangan anak itu dan menariknya berdiri.

   Anak itu sudah lemas dan tentu akan roboh kalau tangannya tidak digandeng Dewa Arak. Wajahnya yang manis itu agak pucat, akan tetapi matanya bersinar cerah ketika ia memandang kepada tiga orang kakek itu. Ia menurut saja ketika dibimbing menuju ke sebuah rumah makan yang buka pagi-pagi menjual sarapan bubur ayam dan teh panas.

   Dewa Arak memesan bubur ayam untuk dia, Sin Wan, anak perempuan itu dan pelayan wanita yang terus mengikuti nonanya, sedangkan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih memesan bubur tanpa daging ayam.

   "Makanlah dulu, baru kita bicara," kata Dewa Arak kepada anak perempuan itu yang tanpa membantah segera makan bubur ayam. Sarapan hangat ini penting sekali bagi kesehatannya, setelah ia berlutut sejak kemarin, semalam berhujan-hujan di tempat terbuka, tidak makan tidak minum.

   Setelah mereka makan, barulah Dewa Arak bertanya.

   "Nah, sekarang katakan mengapa engkau bersikap seperti itu? Siapakah engkau dan mengapa pula engkau ingin menjadi mu-rid kami?"

   Anak itu ingin menjawab, akan tetapi hanya bibirnva yang bergerak gemetar dan iapun menundukkan mukanya, menangis! Pelayannya yang duduk di sebelahnya merangkul nonanya dan iapun mewakili nonanya menceritakan riwayat anak itu.

   "Siocia (nona) bernama Lim Kui Siang, berusia hampir sepuluh tahun. Saya adalah pelayan dan pengasuhnya sejak ia masih bayi. Siocia ini puteri dari keluarga Lim, bangsawan dan pejabat tinggi yang tadinya menjabat sebagai pengurus gudang pusaka istana.

   Ketika terjadi pencurian pusaka-pusaka itu, Lim-taijin (pembesar Lim) tewas pula dibunuh pencuri. Ibunya, yang sedang menderita sakit, terkejut mendengar akan tewasnya suaminya, apalagi keluarga Lim harus bertanggung jawab mengenai kehilangan itu. Maka, kedukaan akhirnya membuat ibu siocia ini meninggal pula."

   "Hemm ......, apa hubungannya semua itu dengan kenekatannya untuk menjadi murid kami?" Dewa Arak bertanya.

   "Saya tidak tahu ...... nona, ceritakanlah sendiri mengapa nona bersikeras untuk belajar ilmu dari mereka ......."

   Arak perempuan itu, Lim Kui Siang, sudah dapat menguasai kesedihannya dan iapun mengangkat muka memandang kepada tiga orang pendeta itu. Wajahnya tidak begitu pucat lagi dan sinar matanya penuh harapan.

   "Saya telah menjadi yatim piatu. Kedua orang paman saya, adik dari ibu saya, bersikap baik, akan tetapi saya tahu bahwa mereka itu berbaik kepada saya karena menghendaki harta warisan orang tua saya. Saya muak dengan kepalsuan mereka semua itu. Kematian ayah dan ibu membuat saya kehilangan sagala-galanya. Saya mendendam kepada pembunuh ayah yang menjadi pembunuh ibuku pula. Saya mendengar bahwa Sam-wi lo-cianpwe telah berhasil menemukan kembali pusaka-pusaka itu. Ini berarti bahwa sam-wi lebih pandai dari pada pencuri itu. Maka saya bertekad untuk berguru kepada sam-wi!" katanya dengan suara mantap dan tegas.

   "Ho .. ho .. ha .. ha .. ha !" Dewa Arak tertawa.

   "Kalau engkau ingin bersusah payah mempelajari ilmu untuk membalas dendam, jerih-payahmu itu akan sia-sia belaka, nona. Ketahuilah bahwa orang yang kau musuhi itu, pencuri yang membunuh ayahmu itu, dia telah mati!"

   Akan tetapi anak perempuan itu tidak kelihatan kaget.

   "Biarpun dia telah mati, saya tetap ingin mempelajari ilmu dari sam-wi lo-cianpwe," katanya tegas.

   "Ehh? Untuk apa seorang anak perempuan bangsawan seperti engkau mempelajari ilmu silat, sedangkan orang yang kau musuhi itu sudah tidak ada?" tanya Dewa Arak, tertarik oleh kekerasan dan kesungguhan hati anak itu.

   "Ayahku tewas karena dia tidak pandai ilmu silat, ibuku juga meninggal dunia karena tubuhnya lemah. Saya ingin menjadi orang yang pandai silat sehingga saya dapat membela diri, melindungi orang-orang yang tidak bersalah, menentang penjahat-penjahat keji, dan saya ingin mempunyai tubuh kuat tidak seperti ibu. Nah, saya mohon sam-wi sudi menerima saya sebagai murid."

   Dan kembali anak perempuan itu menjatuhkan diri berlutut.

   "Sekali ini saya tidak akan nekat berlutut seperti kemarin, akan tetapi kalau sam-wi menolak, selamanya saya akan menganggap sam-wi tidak mempunyai belas kasihan kepada seorang anak yatim piatu seperti saya."

   Tiga orang kakek itu saling pandang. Anak ini memang lain dari pada yang lain. Kecuali keras hati dan bersemangat, juga pandai bicara!

   "Siancai .....! Kami suka saja menjadi gurumu, akan tetapi bagaimana dengan keluargamu? Bagaimana dengan rumah peninggalan orang tuamu? Tentu banyak sekali harta peninggalan orang tuamu. Kalau kau tinggalkan, bagaimana dengan semua warisan itu?"

   "Saya tidak perduli! Paman-paman saya dan keluarga mereka sudah selalu mengincar harta itu. Biarlah mereka bagi-bagi. Saya tidak butuh harta, saya butuh ilmu dari sam-wi suhu (guru bertiga)!"

   "Ha .. ha .. ha, sungguh aneh mendengar ucapan itu keluar dari mulutmu, nona kecil. Kalau bagi kami bertiga, memang kami tidak membutuhkan harta karena kami suka hidup di tempat sunyi, tldak membutuhkan apa-apa lagi. Akan tetapi, engkau adalah seorang anak perempuan, puteri seorang bangsawan. Kelak engkau akan membutuhkan untuk keperluan hidupmu. Kebetulan aku mempunyai seorang kenalan di kota raja, yaitu Ciang-ciangkun. Biar kutitipkan semua harta peninggalan orang; tuamu itu kepadanya untuk dilindungi, agar kelak engkau dapat menerimanya kembali darinya."

   Anak perempuan itu memandang kepada tiga orang kakek itu dengan wajah berseri.

   "Ini berarti bahwa sam-wi suhu menerima saya sebagai murid!"

   Tiga orang itu saling pandang dan tersenyum, lalu mengangguk. Jarang ditemukan seorang anak perempuan seperti itu. Mereka sudah mengambil Sin Wan sebagai murid, tidak apa ditambah seorang murid perempuan lagi.

   "Suhu .......!" Anak perempuan itu lalu memberi hormat kepada mereka bertiga secara bergantian. Lalu ia bangkit dan merangkul wanita setengah tua yang menjadi pengasuhnya sejak ia masih kecil.

   "Kiu-ma, engkau sudah mendengar sendiri. Aku diterima menjadi murid ketiga orang suhu ini dan aku akan pergi mengikuti mereka. Kiu-ma, engkau pulanglah dan kalau engkau masih suka, tinggallah di rumah keluargaku. Kalau tidak, engkau boleh pulang ke dusun dan semua yang kuberikan kepadamu itu dapat kaubawa pulang."

   "Siocia .....ah, siocia ......!" Wanita itu merangkul dan menangis sedih.

   "Sudahlah Kiu-ma. Peristiwa ini amat membahagiakan hatiku, kenapa engkau sambut dengan tangis? Jangan mendatangkan kesedihan bagiku, Kiu-ma. Kalau aku sudah selesai belajar ilmu kelak, tentu kau akan kucari dan kita akan dapat bertemu kembali."

   Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya pelayan yang setia ini meninggalkan nonanya dan menyerahkan buntalan pakaian yang memang sudah dipersiapkan lebih dulu oleh Kui Siang. Anak perempuan ini memang sudah mengambil keputusan tetap, maka ketika meninggalkan rumah untuk menghadang tiga orang kakek itu di depan pintu gerbang, ia telah membawa bekal, bahkan sudah meninggalkan banyak emas kepada Kiu-ma, pelayannya yang setia.

   Pada keesokan harinya, Dewa Arak mengajak Kui Siang pergi ke gedung Ciang-ciangkun (perwira Ciang), seorang komandan pasukan yang terkenal gagah perkasa. Perwira ini pernah ketika terjadi perang menumbangkan kekuasaan Mongol, dan dia sedang memimpin pasukannya, dia terjepit dan terkepung musuh. Dia dengan belasan orang pengawalnya saja dikepung ratusan orang perajurit Mongol dan kalau tidak muncul Dewa Arak yang menyelamatkannya, sukarlah bagi perwira itu untuk menghindarkan diri dari kematian. Inilah sebabnya mengapa Dewa Arak mengenal perwira Ciang itu.

   Kunjungannya pada pagi hari itu diterima oleh Ciang-ciangkun yang kini berusia empatpuluh tahun itu dengan penuh kehormatan dan kegembiraan. Biarpun kini dia sudah memperoleh kedudukan tinggi, panglima ini tidak melupakan orang yang pernah merenggutnya dari cengkeraman maut.

   Ketika Dewa Arak menerangkan bahwa Lim Kui Siang, puteri dari mendiang bangsawan Lim akan ikut dengan dia menjadi muridnya, dan bahwa Dewa Arak menitipkan harta kekayaan anak itu sebagai peninggalan orang tuanya dalam pengawasan Ciang-ciangkun, perwira itu menerimanya dengan penuh kesungguhan hati.

   "Jangan khawatir, totiang. Saya mengenal baik mendiang Lim-taijin, seorang pembesar yang baik dan jujur. Memang amat malang nasibnya, akan tetapi sungguh beruntung puterinya dapat menjadi murid totiang. Saya akan menjaga semua harta milik nona Lim Kui Siang dan kelak, kalau ia sudah kembali ke sini tentu akan saya serahkan semua hak miliknya kepadanya."

   Anak perempuan itu lalu disuruh membuat pernyataan tertulis mengangkat perwira Ciang menjadi kuasanya untuk mengurus dan menguasai seluruh harta peninggalan orang tuanya Setelah itu, Dewa Arak mengajak muridnya meninggalkan perwira Ciang dan mereka bergabung dengan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, bersama Sin Wan meninggalkan kota raja.

   Ketika Kui Siang dan Sin Wan saling bertemu dan saling pandang, Sin Wan tersenyum dan berkata.

   "Sumoi, aku girang sekali kita dapat menjadi saudara seperguruan."

   "Aku juga girang sekali, suheng."

   Hanya itulah ucapan mereka karena mereka belum saling mengenal. Kelak kalau mereka sudah akrab, keduanya semakin merasa suka karena memiliki nasib yang sama, yaitu keduanya sudah yatim piatu. Akan tetapi ketika menceritakan riwayatnya kepada sumoi (adik seperguruan) itu, Sin Wan tidak pernah menyinggung tentang Se Jit Kong, hanya menceritakan bahwa ayahnya bernama Abdullah dan ibunya Jubaedah, keduanya Bangsa Uighur dan sudah meninggal dunia.

   Sam Sian atau Tiga Dewa membawa dua orang murid mereka ke sebuah puncak yang diberi nama Pek-ln-kok (Lembah Awan Putih), satu di antara lembah Pegunungan Ho-lan-san yang terletak di pantai barat Sungai Kuning. Pek-in-kok inilah yang menjadi tempat Sam Sian mengasingkan diri selama ini.

   Lembah yang berada dekat puncak ini berhawa sejuk dan bertanah subur. Akan tetapi untuk mencapai tempat itu merupakan hal yang amat sulit karena melalui dinding karang yang terjal dan sulit didaki orang biasa. Ini sebabnya maka tempat itu tidak pernah dikunjungi orang luar dan menjadi tempat pertapaan yang benar-benar amat tenang dan tenteram.

   Di sebeIah timur kaki Pegunungan Ho-lan-san terdapat sebuah kota di tepi Sungai Kuning. Kota ini cukup besar dan ramai, yaitu kota Yin-coan dan sedikitnya sebulan sekali, Sin Wan dan Kui Siang mendapat kesempatan turun gunung dan berkunjung ke kota ini untuk membeli keperluan untuk mereka berlima. Selain itu, mereka tidak pernah berhubungan dengan orang luar dan setiap hari, kedua orang anak itu menerima gemblengan ilmu-ilmu silat yang tinggi dari tiga orang guru mereka.

   Waktu merupakan suatu kenyataan yang amat aneh. Segala sesuatu di dalam kehidupan manusia di dunia ini, akhirnya menyerah kepada sang waktu kesemuanya, satu demi satu akan menyerah untuk ditelan habis oleh Sang Waktu! Waktu merupakan bukti akan kekuasaan Tuhan, merupakan bahwa segala sesuatu di permukaan bumi ini tidak abadi adanya. Hanya Tuhan yang abadi, tanpa awal tanpa akhir. Segala sesuatu akan berubah menjadi permainan sang waktu.

   Apabila tidak diperhatikan, sang waktu melesat cepat melebihi cahaya, melebihi kecepatan apapun juga sehingga seorang kakek yang mengenang masa kanak-kanaknya akan merasa betapa sang waktu lewat sedemikian cepatnya sehingga puluhan tahun bagaikan baru kemarin dulu saja! Sebaliknya, kalau orang menanti sesuatu dan memperhatikan sang waktu akan merangkak atau merayap seperti seekor siput.

   Waktu juga mempermainkan pikiran dengan pembagiannya sebagai kemarin, hari ini dan esok atau masa lalu, saat ini dan masa depan. Pikiran yang mengenang masa lalu hanya mendatangkan dendam, duka den penyesalan. Sedangkan pikiran yang membayangkan masa depan hanya mendatangkan rasa malu, rasa takut dan khayalan muluk. Masa lalu sudah lewat, hanya kenangan, masa depan belum ada, hanya khayalan. Menghadapi saat ini, detik demi detik, berarti menghadapi kenyataan dan itulah hidup.

   
Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hidup merupakan tantangan setiap saat yang harus kita hadapi, yang hanya kita tanggulangi. Bagi yang hidup, dari saat ke saat bebas dari masa lalu dan masa depan. Saat ini adalah pelaksanaan hidup, saat ini adalah cara hidup, jalan hidup, sedangkan besok hanyalah ambisi, khayalan. Yang lalu sudah mati, yang kelak belum datang. Sekarang benar, nantipun benar. Benar dan tidak terletak pada saat sekarang ini!

   Tuhan sudah menciptakan kita dalam keadaan sempurna, serba lengkap dengan perabot dan alat yang dapat kita pergunakan untuk menghadapi dan menanggulangi hidup, lengkap dengan jasmani yang serba lengkap, panca indera, hati dan akal budi. Semua itu masih ditambah lagi dengan kekuasaan Tuhan yang meliputi diri kita luar dan dalam, kekuasaan Tuhan yang melindungi, membimbing, asal kita mendasari semua ikhtiar dengan penyerahan kepada Tuhan Maha Kasih dengan sabar, tawakal dan ikhlas! Semua kehendak Tuhan jadilah!

   Tanpa terasa lagi sepuluh tahun telah lewat sejak terjadinya peristiwa-peristiwa yang telah diceritakan di bagian depan. Pagi itu udara amat cerah di Pek-in-kok (Lembah Awan Putih) biarpun sinar matahari pagi masih terlampau lunak untuk dapat mengusir hawa yang dingin sejuk dan terasa menusuk tulang bagi mereka yang tidak biasa tinggal di tempat yang berhawa dingin.

   Sudah sejak subuh tadi Sin Wan dan Kui Siang meninggalkan lembah dan pergi ke kota Yin-coan. Tahun baru tinggal sebulan lagi dan tiga orang guru mereka menyuruh mereka pergi ke Yin-coan untuk membeli pakaian baru untuk kedua orang murid itu.

   "Akan tetapi, suhu. Untuk apa teecu berdua harus membeli pakaian baru?" tanya Sin Wan yang kini telah menjadi seorang pemuda berusia duapuluh tahun.

   Pemuda ini bertubuh tegap dan sedang, dengan dada lebar dan kaki tangan kokoh kuat. Dahinya lebar, rambutnya hitam panjang digelung ke atas, alisnya tebal berbentuk golok melindungi sepasang mata yang besar dan bersinar cerah. Hidungnya mancung agak besar, dan mulutnya membayangkan keramahan dengan dagu yang berlekuk membayangkan keteguhan hati. Seorang pemuda yang gagah dan ganteng, dengan kulit yang agak gelap.

   "Teecu juga heran. Kenapa teecu berdua diharuskan berbelanja pakaian baru? Pakaian teecu masih baik dan masih cukup banyak." Kui Siang juga membantah.

   Dewa Arak yang mewakili dua orang rekannya menyuruh dua orang murid itu, tersenyum. Tiga orang pertapa yang di juluki Sam Sian (Tiga Dewa) itu kini telah tua. Usia mereka sudah enampuluh tahun lebih, akan tetapi mereka masih nampak sehat dan kuat. Terutama sekali Ciu-sian Tong Kui. Dewa Arak yang memiliki pembawaan gembira ini nampak lebih muda dari dua orang rekannya. Usianya yang enampuluh dua tidak meninggalkan bekas. Nampaknya dia belum ada limapuluh tahun!

   "Sin Wan dan Kui Siang, kalian adalah orang-orang muda. Kalian sudah sepatutnya hidup penuh gairah, mengenakan pakaian yang bersih dan rapi. Menjelang tahun baru ini, kalian harus mempunyai pakaian baru untuk dipakai pada hari-hari tahun baru!"

   "Tapi, suhu. Teecu sudah sepuluh tahun berada di sini dan teecu tidak pernah mengikuti tahun baru seperti para penduduk di bawah lembah," bantah Sin Wan.

   "Dan pula, untuk apa teecu mengenakan pakaian baru di hari tahun baru? Hendak dipamerkan kepada siapa? Teecu tidak saling berkunjung dengan keluarga," bantah pula Kui Siang.

   "Siancai, murid-muridku yang baik," kata Dewa Pedang. Kiam-sian Louw Sun ini termasuk orang yang berpakaian paling bersih di antara Tiga Dewa itu.

   "Mengenakan pakaian baru di hari tahun baru bukan sekedar untuk berpamer, melainkan mempunyai arti yang mendalam. Tahun baru mengingatkan kita bahwa usia kita bertambah setahun lagi. Kita wajib mawas diri, menyadari semua kesalahan di tahun yang lewat, mengubur semua kenangan masa lalu sehingga tidak ada tertinggal dendam di hati. Hati harus bersih, seolah tahun baru membawa pula kehidupan baru yang ditandai dengan pakaian baru. Jadi, pakaian baru melambangkan hati yang baru, cara hidup yang baru, yang bersih seperti juga pakaian yang baru. Bersih itu pangkal sehat, bukan? Nah, siapa bilang mengenakan pakaian baru di hari tahun baru hanya untuk pamer belaka?"

   Karena alasan yang dernikian kuat, dua orang murid itu tidak mampu membantah lagi. Pula, di sudut paling dalam di hati mereka, harus mereka akui bahwa pakaian baru juga menarik dan menyenangkan hati mereka. Hal itu menandakan bahwa memang ada gairah dalam hati dua orang muda ini, hal yang wajar bagi orang muda.

   Ketika Sin Wan dan Kui Siang pertama kali naik ke Pek-in-kok, mereka baru baru usia kurang lebih sepuluh tahun. Kini mereka telah dewasa. Sin Wan telah menjadi seorang pemuda dewasa yang gagah dan ganteng, sedangkan Kui Siang juga telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis. Tubuhnya sedang dan langsing berisi mengarah montok, kulitnya putih mulus.

   Wajahnya bulat telur dengan dagu runcing dan di dagu kanan terhias tahi lalat hitam kecil. Matanya lembut akan tetapi kadang sinarnya mencorong. Bibirnya merah segar. Mata dan mulutnya merupakan daya tarik terbesar pada diri gadis ini. Sikapnya halus dan anggun dan pembawaan ini mungkin karena ia adalah puteri bangsawan yang ketika kecilnya terbiasa melihat sikap yang demikian.

   Pada waktu dua orang muda kakak beradik seperguruan itu menuruni lembah di bagian timur, di luar tahu mereka tentu saja, dari barat terdapat dua orang yang mendaki lembah bukit itu dengan gerakan yang ringan dan cepat sekali. Mereka itu adalah seorang wanita cantik berpakaian mewah yang kelihatan baru berusia tigapuluhan tahun, dan seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang lebih cantik lagi. Wanita itu bukan lain adalah Bi-coa Sian-li (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In. sedangkan gadis manis itu adalah muridnya yang bernama Tang Bwe Li dan yang biasa dipanggil Lili oleh gurunya.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, guru dan murid yang keduanya galak ini pernah mencoba untuk merampas pusaka-pusaka istana yang dibawa oleh Sam Sian, namun Dewi Ular Cantik itu tidak mampu mengalahkan Sam Sian. Terpaksa ia mengajak muridnya pergi dengan marah dan hatinya penuh dendam kepada Sam Sian yang telah mengalahkannya.

   Apalagi ketika ia mendengar bahwa pusaka-pusaka itu oleh Sam Sian telah dikembalikan kepada kaisar. Ia segera mengajak muridnya pergi ke barat untuk mengunjungi ayahnya, yaitu seorang datuk besar bernama Cu Kiat dan berjuluk See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat). Datuk besar ini tinggal di puncak Bukit Ular di Pegunungan Himalaya ujung timur dan sudah belasan tahun dia tidak lagi terjun ke dunia ramai.

   Namun nama besar See-thian Coa-ong pernah menggemparkan dunia persilatan karena wataknya yang aneh dan ilmunya yang tinggi. Dia seorang datuk aneh, tidak condong kepada golongan sesat, tidak pula condong kepada para pendekar. Dia berdiri di tengah-tengah dan menentang siapa saja yang tidak cocok dengan seleranya.

   Kepada ayahnya yang juga menjadi gurunya, Bi-coa Sian-li Cu Sui In mengadukan kekalahannya terhadap Sam Sian dan ia ingin memperdalam ilmunya agar dapat menebus kekalahannya itu.

   Kakek yang tinggi kurus itu mengelus jenggotnya dan mulutnya yang biasanya selalu dibayangi senyum mengejek itu kini tertawa. Matanya yang sipit dengan lindungan alis hitam tebal itu semakin sipit ketika dia tertawa, matanya yang tajam bersinar-sinar gembira.

   "Ha .. ha .. ha, engkau dikalahkan Sam Sian bertiga? Ha .. ha .. ha, Sui In, engkau tidak perlu penasaran. Ayahmu sendiripun tidak akan menang kalau maju sendiri menghadapi pengeroyokan mereka bertiga. Mereka itu masing-masing memiliki ilmu yang khas dan lihai sekali. Pusaka-pusaka itu telah dikembalikan kepada kaisar. Sudahlah, tak perlu dibuat kecewa."

   "Tapi, ayah. Aku merasa terhina sekali. Aku harus membalas kekalahan itu, dan aku ingin memperdalam ilmuku. Karena itulah aku datang menghadap ayah!" kata wanita cantik itu dengan tegas.

   "Teecu juga harus membalas penghinaan yang teecu alami dari Si Kerbau-sapi-kuda-anjing-kucing anak setan sialan itu!" kata pula Tang Bwe Li atau Lili, tak kalah marah dan galaknya dibanding gurunya. Datuk yang usianya sekitar limapuluh lima tahun itu memandang kepada Lili dengan mata terbelalak, kemudian mengerutkan alisnya dan bertanya.

   "Siapakah bocah ini?"

   "Ia muridku bernama Tang Bwe Li, ayah."

   "Sukong (kakek guru), aku Lili menghaturkan hormat kepada sukong!" kata Bwe Li atau Lili sambil menjatuhkan diri berlutut di depan ayah dari subonya itu.

   "Hemm, Sui In! Kalau engkau akan mengambil murid, kenapa tidak memilih seorang murid laki-laki? Anak perempuan seperti ini, mana mampu mewarisi ilmu kita yang tinggi?" tegur kakek itu sambil memandang kepada Lili dengan alis berkerut dan mulut mengejek.

   Sebelum Dewi Ular Cantik menjawab, Lili sudah mengangkat muka memandang kepada kakek itu dengan mata bersinar penuh kemarahan, kemudian terdengar jawabannya lantang.

   "Kenapa sukong berkata begitu? Lupakah sukong bahwa subo, puteri sukong, juga seorang wanita? Apakah sukong hendak mengatakan bahwa subo juga tidak mampu mewarisi ilmu dari sukong?"

   Cu Sui In tenang saja mendengar bantahan muridnya kepada ayahnya itu. Ia sudah mengenal benar watak muridnya. Justeru watak yang keras, berani dan jujur itulah yang membuat ia suka sekali kepada Lili. Akan tetapi tidak demikian dengan datuk besar See-thian Coa-ong Cu Kiat. Kakek ini terbelalak, mulutnya masih tersenyum mengejek, akan tetapi sinar matanya membayangkan perasaan kaget, penasaran dan juga kagum.

   "Hemm, hendak kulihat apakah engkau benar bernyali naga, ataukah hanya berlagak saja!" katanya dan dari mulutnya keluar suara mendesis, tak lama kemudian, terdengar suara desis yang sama dari dalam rumah dan muncullah seekor ular yang besar sekali. Ular itu panjangnya ada lima meter, besarnya sepaha orang dewasa. Ular itu keluar sambil mendesis-desis. See-thian Coa-ong si Raja Ular itu terus mengeluarkan desis yang makin meninggi seperti bersiul dan tiba-tiba ular itu lalu bergerak maju menyerang Lili!

   Anak perempuan berusia sembilan tahun itu tidak nampak terkejut ataupun takut. Ia sudah meloncat berdiri dan begitu ular menyerangnya, ia sudah melompat ke samping dan ketika kepala ular meluncur lewat, ia menggerakkan kaki menendang ke arah kepala ular dari samping belakang.

   "Plakkl" Kepala ular kena ditendang, akan tetapi kepala ular itu keras sekali sehingga Lili merasa kaki di dalam sepatunya nyeri.

   Ular itu terkejut, membalik dan dengan moncongnya yang dibuka lebar dia menerjang lagi. Dengan gesit, Lili meloncat lari ke samping. Akan tetapi la tidak sempat menendang lagi karena kepala ular itu sudah membalik dan melanjutkan serangannya yang bertubi-tubi. Bukan hanya kepalanya saja yang menyerang, juga ular itu menggerakkan ekornya untuk menyambar kaki anak perempuan itu. Lili terpaksa harus meloncat ke sana sini dan ia menjadi marah sekali.

   "Ular keparat, kaukira aku takut padamu?" bentaknya dan ketika ular itu menyerang lagi dengan moncongnya. ia mengelak ke kiri, kemudian ia meloncat dan menerkam leher ular itu dari belakang, mencengkeram leher itu dengan kedua tangannya! Gerakan ini selain tangkas, juga berani sekali. Hal ini tidak begitu mengherankan. Lili adalah murid Dewi Ular Cantik, seorang yang biasa bermain dengan ular.

   Sejak kecil Lili sudah dibiasakan oleh gurunya untuk bermain dengan ular yang menjadi dasar dari ilmu-ilmunya, maka Lili tidak pernah takut berhadapan dengan ular. Hanya belum pernah berkelahi dengan ular sebesar itu!

   Biarpun dua buah tangan itu kecil saja, dengan jarl-jari yang mungil dan tidak panjang, namun cekikan kedua tangan pada leher ular itu cukup kuat. Ular itu meronta-ronta hendak melepaskan leher yang dicekik. Demikian kuat ular itu meronta sehingga tubuh Lili terbawa dan terbanting, terguncang ke kanan-kiri.

   Namun, bagaikan seekor lintah, anak perempuan itu tak pernah mau mengendurkan, apa lagi melepaskan cekikannya. Ular itu kini menggerakkan ekornya dan tubuh ular yang panjang besar dan licin dingin itu membelit-belit tubuh Lili! Lilitan ular itu kuat sekali.

   Seorang laki-laki dewasapun takkan dapat tahan kalau dililit ular itu, akan patah-patah dan remuk tulang-tulangnya. Akan tetapi, desis yang keluar dari mulut Raja Ular merupakan isyarat atau perintah yang amat dipatuhi ular besar itu. Lilitannya bukan untuk membunuh, melainkan untuk membuat anak perempuan itu tidak mampu bergerak. Seluruh tubuh anak itu dililit ular, kedua kaki dan kedua lengannya pula. Akan tetapi, kedua tangannya masih tetap mencekik leher ular, walaupun tenaganya banyak berkurang karena kedua lengannya dililit ular. Lili tidak mampu bergerak lagi.

   "Subo!" ia memandang subonya, akan tetapi wanita cantik itu acuh saja seolah muridnya tidak terancam bahaya. Lili hanya satu kali memanggil, tanpa berkata minta tolong.

   "Ha .. ha .. ha, anak bandel! Menangislah, minta ampunlah, dan ular ini tentu akan melepaskanmu," kata See-thian Coa-ong Cu Kiat penuh kemenangan.

   Akan tetapi, biarpun lilitan ular itu semakin kuat dan membuat dadanya terasa sesak, Lili bertahan dan memandang kepada kakek gurunya dengan mata bersinar-sinar.

   "Sukong, subo tidak pernah mengajarkan aku untuk merengek dan menangis dengan cengeng! Aku tidak bersalah apa-apa, aku tidak akan menangis, tidak akan minta ampun!"

   "Hemm, kalau begitu, ularku akan membunuhmu!"

   "Aku tidak percaya. Subo akan melarangnya, dan sukong juga tidak mungkin membunuh cucu murid sendiri. Andaikata dibunuh juga, aku tidak takut!"

   Kembali kakek itu mengeluarkan suara mendesis dan lilitan ular itu semakin kuat.

   Lili sudah tidak mampu menggerakkan kaki tangan. Akan tetapi ia tidak mau menyerah begitu saja. Ia masih dapat menggerakkan lehernya. Melihat betapa dadanya semakin sesak, ia lalu menunduk dan membuka mulutnya, dan menggigit leher ular yang berada di dagunya, menggigit dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Giginya yang kuat itu menembus kulit ular dan lidahnya segera merasakan darah yang asin amis!

   Ular itu terkejut kesakitan dan lilitannya mengendur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Lili untuk meronta, melepaskan diri dan meLoncat keluar dari lilitan ular itu. Ia rneloncat ke dekat subonya.

   "Subo, tolong teecu (murid) pinjam pedangnya sebentar untuk membunuh ular keparat itu teriaknya kepada subonya.

   "Hushh!", bentak Cu Sui In.

   "Kalau ayah menghendaki, sudah sejak tadi engkau mati, tulang tulangmu remuk dalam lilitan ular. Atas perintah sukongmu, ular itu hanya mengujimu, bukan hendak membunuhmu, dan engkau malah menggigit dan melukai lehernya!"

   Mendengar keterangan gurunya, Lili terkejut. Ia memandang dan melihat kakek itu dengan penuh sikap menyayang, memeriksa luka di leher ular dan mengobatinya dengan obat bubuk putih. Ia merasa bersalah dan segera ia menjatuhkan diri berlutut di depan See-thian Coa-ong Cu Kiat.

   "Sukong, aku bersalah. Kalau sukong hendak menghukum dan membalas dengan menggigit leherku, silakan!"

   Raja Ular Itu memandang kepadanya, lalu tertawa bergelak.

   "Ha ha ha, Sui In. Sekarang aku mengerti mengapa engkau memilih setan cilik ini sebagai murid. Ia memang pantas menjadi muridmu. bahkan patut menjadi muridku, ha ha ha!"

   Mendengar ini, Cu Sui In tersenyum.

   "Lili, cepat kau menghaturkan terima kasih kepada suhumu. Mulai saat ini engkau menjadi murid ayah, dan aku menjadi sucimu (kakak seperguruanmu)!"

   Lili adalah seorang wanita yang cerdas sekali. Ia segera memberi hormat dan menyebut suhu kepada Si Raja Ular yang tertawa bergelak karena girangnya memperoleh seorang murid yang menyenangkan. Dan mulai saat itu, Lili menyebut suci kepada bekas ibu gurunya. Hal itu amat menyenangkan hati Sui In, wanita yang selalu nampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya, dan yang selalu ingin dianggap muda.

   Dengan tekun See-thian Coa-ong Cu Kiat menggembleng Tang Bwe Li atau Lili dengan ilmu-ilmunya, dan juga Sui In memperdalam ilmunya di bawah bimbingan ayahnya. Sepuluh tahun kemudian, dalam usia sembilanbelas tahun dan menjadi seorang dara yang cantik manis, Lili telah menguasai ilmu-ilmu dari Si Raja Ular. Bahkan dibandingkan dengan tingkat kepandaian bekas guru yang kini menjadi sucinya, ia hanya kalah pengalaman saja dan selisihnya tidak jauh!

   Demikianlah, pada saat Sin Wan dan Kui Siang menuruni lembah Pek-in-kok di bagian timur, di pagi hari itu, Bi-coa Sian-li Cu Sui In dan bekas murid yang kini menjadi sumoinya (adik seperguruannya) mendaki lembah bukit dari barat. Sui In dan Lili mempergunakan ilmu berlari cepat dan bagaikan melayang saja mereka mendaki lembah bukit yang bagi orang biasa merupakan daerah yang amat sukar dilalui itu.

   Mereka mendaki Pek-in-kok hanya dengan satu tujuan, yaitu untuk membalas atau membalas kekalahan mereka sepuluh tahun yang lalu. Dewi Ular Cantik Cu Sui In memiliki watak seperti ayahnya, yaitu tidak pernah dapat menelan kekalahan dari orang lain. Oleh karena itu, ketika dalam usaha memperebutkan pusaka-pusaka istana ia kalah oleh Sam Sian, ia merasa terhina dan hatinya sakit sekali.

   Urusan pusaka sudah tidak diingatnya lagi, akan tetapi kekalahan yang dideritanya selalu menghantuinya dan ia tidak akan merasa tenang sebelum dapat membalas dan menebus kekalahannya itu. Dan agaknya Lili yang kini menjadi sumoinya, juga tidak pernah dapat melupakan penghinaan yang dialaminya dari anak laki-laki yang agaknya murid Sam Sian itu.

   Anak laki-laki yang tidak dikenal namanya itu, yang dinamakannya Si Kerbau-sapi-kuda-anjing-kucing-babi itu, telah menangkapnya, memaksanya menelungkup di atas pangkuannya dan menampari pinggulnya sepuluh kali seolah-olah seorang ayah yang menghukum anaknya yang nakal saja! Sampai mati ia tidak akan dapat melupakan penghinaan itu! Ia akan membalas penghinaan itu dengan pukulan sampai seratus kali biar pantat orang itu hancur menjadi bubur! Setiap kali membayangkan peristiwa itu, muka Lili menjadi merah sekali dan kemarahan seolah-olah membuat matanya berkilat dan napas yang keluar dari hidung dan mulutnya mengandung api!

   Ketika dua orang wanita cantik itu tiba di depan pondok-pondok bambu yang sederhana namun rapi dan bersih itu, Sam Sian sedang duduk bersila di depan pondok, menikmati sinar matahari pagi yang hangat dan udara pagi yang segar. Mereka duduk bersila di atas batu-batu datar yang halus, menghadap ke timur, ke arah matahari pagi yang masih lembut sinarnya. Ketika dua orang wanita itu muncul dan berloncatan ke depan mereka, tiga orang kakek itu memandang dengan heran.

   Melihat mereka dapat naik ke Pek-in-kok saja sudah dapat mereka ketahui bahwa dua orang wanita itu bukanlah orang-orang lemah, dan yang membuat mereka heran adalah sikap dan wajah mereka, terutama sinar mata mereka yang membayangkan kemarahan besar.

   Tiga orang pertapa itu adalah orang-orang yang sudah dapat membebaskan diri dari kekuasaan nafsu, maka tiada lagi dendam atau ganjalan dalam hati dan pikiran mereka. Tidak ada lagi kenangan yang hanya menimbulkan suka duka, dendam dan budi. Maka, tentu saja mereka tidak ingat lagi siapa adanya dua orang wanita cantik ltu. Bahkan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih sudah memejamkan mata dan menundukkan muka, tidak memperdulikan dua orang wanita yang muncul sebagai pengganggu ketenteraman mereka. Hanya Dewa Arak yang memandang mereka dengan mulut tersenyum ramah. Seperti biasa, dalam menghadapi urusan apa saja, Ciu-sian Tong Kui ini selalu mengandalkan araknya. Dia meneguk arak dari guci yang selalu berada di dekatnya, guci arak pusaka pemberian kaisar yang isinya tentu saja sudah habis karena arak yang diterima dari kaisar sepuluh tahun yang lalu itu sudah dihabiskannya dalam waktu kurang dari seminggu! Kini tinggal gucinya yang diisi arak biasa.

   "Heh .. heh .. heh, angin apakah yang meniup kalian dua orang wanita cantik ke Pek-in-kok ?"

   "Angin dari Bukit Ular Pegunungan Himalaya." jawab Sui In dengan singkat dan ketus.

   "Bukit Ular di Himalaya? Wah ..wah .. wah, bagaimana kabarnya dengan sobat See-thian Coa-ong Cu Kiat? Kalian diutus oleh Raja Ular itu, bukan?" Dewa Arak meneguk kembali guci araknya.

   "Ayahku tidak ada sangkut-pautnya dengan kedatanganku ini. Aku datang untuk urusan pribadi dengan Sam Sian!"

   "Ho .. ho .. ho, kami tiga orang tua bangka tidak pernah mempunyai urusan pribadi, apa lagi dengan wanita muda dan cantik." kata Dewa Arak dengan sikapnya yang seenaknya.

   "Mudah-mudahan saja Sam Sian yang terkenal sebagai pinisepuh dunia persilatan itu bukan hanya pengecut-pengecut yang pura-pura melupakan apa yang mereka lakukan. Sam Sian, ingatkah kalian peristiwa sepuluh tahun yang lalu? Aku, Bi-coa Sian-li Cu Sui In pernah kalian kalahkan. Nah, inilah aku, datang untuk menantang kalian, untuk membalas kekalahanku yang dulu. Sekali ini, mudah-mudahan saja Sam Sian bukan tiga orang laki-laki licik dan curang yang main keroyokan terhadap lawannya seorang wanita. Aku tantang kalian untuk main satu demi satu mengadu kepandaian!"

   "Wah ..wah .. wah, engkau terlambat nona. Dahulu engkau menantang kami untuk merebut pusaka-pusaka istana itu, bukan? Sekarang, pusaka-pusaka itu telah kami kembalikan kepada kaisar. Kalau engkau menginginkannya, datanglah ke kota raja dan minta saja kepada kaisar. Kami tidak tahu menahu lagi ......"

   "Aku tidak butuh pusaka! Aku datang untuk menebus kekalahanku sepuluh tahun yang lalu. Aku sudah cukup kaya, akan tetapi kalian telah menghinaku sepuluh tahun yang lalu, meruntuhkan nama dan kehormatanku. Hari ini kalian harus membayarnya!"

   "Siancai ..... , kalau ada yang terang, mengapa memilih yang gelap? Ada yang jernih mengapa memilih yang keruh? Ada yang tenang, mengapa memilih kekacauan?" Yang berkata itu adalah Dewa Pedang. Kemudian terdengar Dewa Rambut Putih juga bicara dengan suaranya yang lembut sambil tersenyum ramah.

   "Nona, sepuluh tahun yang lalu, ketika berhadapan denganmu, kami adalah petugas-petugas utusan kaisar untuk mendapatkan kembali pusaka yang tercuri. Setelah pusaka itu kami kembalikan, kami sudah mencuci tangan dan mengundurkan diri, dan bagi kami, perlstiwa dengan nona sepuluh tahun yang lalu sudah tidak ada lagi," kata-katanya lembut, lalu disusul kakek ini menyanyikan ayat-ayat yang diambilnya dari kitab To-tik-keng, yaitu kitab suci Agama To.

   "Tariklah tali gendewa anda sepenuhnya
gendewa dapat patah dan sesalpun tiada guna.
Asahlah pedang anda setajam-tajamnya
mata pedang dapat aus dan takkan bertahan lama.

   Tumpuklah emas permata di kamar anda
dan anda akan bersusah payah menjaganya.
Membanggakan kekayaan dan kehormatan harga diri

   

Pedang Sinar Emas Eps 32 Iblis Dan Bidadari Eps 3 Pedang Sinar Emas Eps 51

Cari Blog Ini