Ceritasilat Novel Online

Dewi Ular 11


Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Bagian 11




"Nona Souw......!" Semua orang berseru girang.

Agaknya Yasuki tidak mau ketinggalan. Dia memang berulah seperti seorang yang pandai, seperti seorang jagoan nomor satu. Dia mengamati dengan penuh perhatian kepada gadis yang baru masuk dan segera terdengar seruannya,

"Po-kiam (Pedang Pusaka) yang baik sekali! Nona manis, lebih baik pedang itu dijual saja kepadaku. Tidak baik bagi seorang gadis cantik untuk membawa pedang, bisa melukai diri sendiri! Berapakah engkau mau menjualnya?"

Semua orang menengok kepada Yasuki dan orang Jepang ini sudah bangkit berdiri dan menuding ke arah pinggang Lee Cin di mana Ang-coa-kiam membelit pinggangnya. Tentu saja ucapan itu lancang sekali, akan tetapi Yasuki agaknya bangga dengan kepandaiannya bicara dalam bahasa Han yang kaku dan lucu kedengarannya.

Tentu saja Lee Cin menjadi marah mendengar ucapan itu. Ucapan yang sungguh memandang rendah kepadanya. Maka dengan alis berkerut ia memandang kepada orang Jepang itu dan menjawab dengan suara ketus,

"Aku tidak menjual pedangku!"

Akan tetapi Yasuki agaknya tidak tahu bahwa gadis itu marah sekali. Dia masih juga membujuknya

"Ah, jual saja kepadaku, Nona. Aku berani membayar dengan harga tinggi. Seorang gadis secantik Nona sebaiknya mempunyai benda lain untuk menjadi permainan. Bukan karena aku suka sekali kepada Po-kiam itu. Dibandingkan dengan samuraiku, tentu saja pedang itu tidak ada artinya, baik ketajamannya maupun kekuatannya. Aku hanya ingin membeli karena pedangmu itu cantik sekali, Nona."

Sebelum Lee Cin menjawab, Tin Han sudah mendahuluinya,

"Yasuki - san (Tuan Yasuki), kau bilang pedang pusaka nona ini tidak ada artinya dibandingkan pedang samuraimu itu? Hayo, kita bertaruh! Kalau engkau dapat mengalahkan Nona Souw dengan pedangnya, menggunakan pedang samuraimu itu, aku berani bertaruh seratus tail emas! Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus minta maaf kepada Nona Souw atas kelancanganmu bicara. Bagaimana?"

"Tin Han......!" Nenek Cia menegur cucunya.

"Aih, Nek. Ini hanya main-main saja. Tentu mereka tidak bertanding sungguh-sungguh, hanya untuk membuktikan keampuhan pedang dan kepandaian bermain pedang masing-masing. Biar Tuan Yasuki yang ahli pedang samurai itu tidak memandang rendah kepada gadis-gadis pendekar kita." Kemudian dia memandang kepada Yasuki

"Bagaimana, Tuan Yasuki, beranikah engkau bertanding pedang dengan Nona Souw?"

Tentu saja Yasuki tidak merasa takut. Dia tidak tertarik oleh hadiah seratus tail emas, akan tetapi dia merasa malu kalau dikatakan tidak berani melawan seorang gadis! Dia lalu bangkit dan sambil menepuk-nepuk pedang samurainya dia menjawab,

"Tentu saja aku berani! Akan tetapi aku sangsi apakah nona ini berani melawan aku?"

"Siapa takut melawanmu? Biar ada sepuluh orang seperti engkau maju bersama, aku tidak akan takut!" jawab Lee Cin yang sudah marah.

Tin Han bertepuk tangan gembira

"Bagus, kedua pihak telah setuju! Ruangan ini pun cukup luas untuk kalian bertanding pedang dan bersiaplah engkau untuk minta maaf kepada Nona Souw, Yasuki-san."

"Engkau yang harus bersiap menyediakan seratus tail emas!" jawab Yasuki sambil tertawa memperlihatkan deretan gigi yang rusak. Dia bangkit berdiri, meninggalkan kursinya sambil mengangkat dada, lalu melangkah ke tengah ruangan yang luas itu. Lee Cin juga melangkah menghadapinya, dengan sepasang mata bersinar tajam.

Nenek Cia mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke atas lantai

"Terlalu engkau Tin Han! Eh, Tuan Yasuki dan Lee Cin, ingat bahwa ini hanya merupakan adu kepandaian saja, bukan perkelahian, maka jangan saling melukai!"

"Ha-ha-ha, Nyonya Tua Cia, jangan khawatir! Aku tidak akan melukai nona manis ini, hanya akan mengalahkannya dalam waktu singkat!" kata Yasuki menyombong. Tin Han memandang sambil tersenyum gembira.

"Nona manis, engkau boleh mulai menggerakkan pedang mainanmu itu!" kata Yasuki.

"Lihat serangan!" Lee Cin sudah menyerang dengan amat cepatnya. Yang nampak hanya sinar merah mencuat dari tangannya, menusuk ke arah dada Yasuki. Orang Jepang ini terkejut sekali. Tak disangkanya nona itu dapat menyerang sedemikian cepatnya. Akan tetapi dia sudah dapat mengelak dengan loncatan ke belakang, kemudian dengan kedua tangannya dia mengayun pedang samurainya yang panjang agak melengkung itu.

"Singggg......!" Pedangnya berdesing saking kuatnya dia rengayun. Akan tetapi dengan mudah saja Lee Cin mengelak dari sambaran pedang itu. Gadis ini selanjutnya hanya mengelak saja. Ia hendak mempelajari dulu ilmu pedang yang aneh dari lawannya. Yasuki menggerakkan samurainya dengan kedua tangan, mengandalkan tenaga dan kecepatan. Namun, dengan gerakan seperti itu, perubahan menjadi lambat karena dia harus mengikuti ayunan pedangnya kalau tidak mengenai sasaran. Setelah mempelajari kekuatan dan kelemahan lawan bermain pedang, Lee Cin mulai membalas. Setiap kali serangan Yasuki tidak mengenai dirinya, ia langsung membalas selagi orang Jepang itu masih melanjutkan ayunan pedangnya yang kuat. Dengan cara ini, setelah berlangsung dua puluh lima jurus, ia mampu mendesak lawannya yang menjadi sibuk sekali setelah gadis itu membalas dengan serangan bertubi-tubi. Yasuki terpaksa memutar samurainya untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan.

Pada suatu saat, ketika melihat kesempatan, Lee Cin berseru nyaring dan membentak,

"Lepaskan pedang!" dan seperti orang yang mentaati perintah ini, Yasuki benar-benar melepaskan samurainya yang jatuh berkerontangan di atas lantai. Ternyata kedua punggung tangannya tergores pedang sehingga mengeluarkan sedikit darah dan terasa perih. Yasuki berdiri terbelalak dan ternganga, ketika Lee Cin sudah melompat mundur dan menyimpan kembali pedangnya. Sama sekali Yasuki tidak mengerti bagaimana kedua punggung tangannya terluka sehingga dia terpaksa melepaskan pedangnya.

"Heii, Yasuki-san! Engkau sudah melepaskan samuraimu, berarti engkau sudah kalah dan yang harus kau lakukan sekarang adalah membayar kekalahanmu dan minta maaf kepada Nona Souw!" teriak Tin Han dengan gembira sekali. Semua anggauta keluarga Cia yang lain hanya memandang dengan alis berkerut, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata. Yasuki menjadi merah sekali mukanya.

Dia mengambil samurainya yang tergeletak di lantai, memasang kembali ke punggungnya, dan dia lalu menjura sangat dalam terhadap Lee Cin sambil berkata dengan suara yang lirih,

"Saya Yasuki minta maaf sebesar-besarnya kepada Nona Souw!" Dia membungkuk sampai dalam.

"Sudahlah, lupakan semua itu!" kata Lee Cin yang tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga di rumah itu. Kedatangannya untuk minta maaf, malah dia yang dimintai maaf!

"Saya berpamit dari keluarga Cia, biar lain kali saja kita bertemu dan bicara!" Setelah berkata demikian, kembali dia membungkuk lalu pergi dari situ dengan cepat.

Setelah orang Jepang itu pergi, Tin Han tertawa gembira,

"Hemm, baru tahu rasa dia, meremehkan Cin-moi!"

"Tin Han, engkau tukang mencari urusan Si Berandal yang hanya membikin ribut!" Nenek Cia berseru

"Hayo minggir kau, dan biarkan kami bicara dengan Nona Souw!"

Tin Han tersenyum dan melangkah mundur, mengambilkan sebuah kursi untuk Lee Cin, lalu mundur kembali dan duduk di atas kursinya yang tadi.

"Silakan duduk, Nona Souw!"

"Terima kasih, kedatanganku ini hanya untuk bicara sedikit kepada keluarga Cia, terutama kepada Saudara Cia Tin Siong."

"Mau bicara apakah. Silakan, kami semua adalah anggauta keluarga Cia, tidak ada orang lain."

"Saya ingin minta maaf kepada semua keluarga Cia, terutama kepada saudara Cia Tin Siong, bahwa saya pernah menuduh dia sebagai Si Kedok Hitam yang tadinya saya cari. Saya hanya ingin agar keluarga Cia dapat menyampaikan kepada Si Kedok Hitam, siapa pun dia, bahwa mulai saat ini saya tidak lagi mencari dan memusuhinya, dan saya telah memaafkan perbuatannya melukai ayah saya. Nah, saya telah cukup bicara. Permisi, saya harus segera melanjutkan perjalanan saya."

"Eh-eh, nanti dulu, Cin-moi. Setelah permusuhan dengan Si Kedok Hitam tidak ada lagi berarti kecurigaanmu terhadap keluarga kami juga sudah tidak ada, mari silakan duduk dan kita rayakan ini dengan makan bersama. Nenek, Ayah Ibu dan para paman sudah tentu setuju."

Semua anggauta keluarga itu mengangguk setuju. Mereka tidak dapat berbuat lain! Akan tetapi Lee Cin tetap tidak mau duduk dan ia memandang kepada Cia Tin Siong dengan perasaan bersalah

"Maafkan, biarlah undangan ini kuterima untuk lain kali saja. Aku harus pergi, selamat tinggal!" Lee Cin cepat pergi dari ruangan makan itu, terus keluar rumah dan hendak meninggalkan kota Hui-cu.

Akan tetapi, baru saja ia tiba di pintu gerbang kota itu, terdengar seruan orang dari belakangnya,

"Cin-moi..... tunggu......!!"

Siapa lagi kalau bukan Tin Han yang mengejarnya. Dengan napas terengah-engah Tin Han lari menghampirinya

"Cin-moi, sebelum engkau benar-benar pergi jauh, aku ingin bicara sedikit denganmu. Mari kuantar engkau keluar kota sambil bicara."

Sikap pemuda itu demikian sungguh-sungguh sehingga tidak ada alasan lagi bagi Lee Cin untuk menampik. Mereka berjalan keluar dari pintu gerbang, dan setelah tiba di tempat yang sunyi, Lee Cin bertanya,

"Apa yang hendak kau bicarakan, Han-ko?"

"Aku hanya ingin menyatakan kepuasan hatiku karena engkau telah menghajar kepada Jepang sombong itu! Benar-benar hatiku girang sekali karena aku amat tidak suka kepadanya."

Lee Cin berhenti melangkah dan memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian dan keheranan

"Mengapa begitu? Bukankah keluargamu, amat menghormati dia bahkan menerimanya sebagai tamu terhormat dan menjamu makanan? Kenapa engkau tidak suka kepadanya?"

"Bukan hanya tidak suka, bahkan aku benci kepadanya."

"Hemm, benarkah itu, Han-ko? Terus terang saja, tanpa kusengaja aku sudah mendengar bahwa keluarga Cia bersekutu dengan Yasuki, juga dengan seorang perwira bernama Phoa-ciangkun. Bukankah begitu?"

Kini Tin Han. yang terbelalak mengamati wajah gadis itu

"Bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Cin-moi?"

"Tanpa kusengaja, aku mendengar percakapan antara kedua orang pamanmu di taman dan Yasuki serta Phoa-ciangkun, bahkan mereka merencanakan untuk menyingkirkan atau membunuh Ji-taijin dan Un-ciangkun. Benarkah itu?"

Pemuda itu masih memandang kepada Lee Cin dengan mata terbelalak, kemudian menghela napas panjang dan berkata,

"Kuakui bahwa keluargaku memang bersahabat dengan Yasuki dan Phoa-ciangkun, akan tetapi tentang rencana itu, baru sekarang aku mendengar darimu. Itulah yang membuat aku merasa tidak senang kepada Yasuki dan Phoa-ciangkun."

"Kenapa tidak senang? Bukankah keluarga Cia sudah bersekutu dengan mereka, berarti engkau pun sudah bersahabat baik dengan mereka?"

"Justeru karena persekutuan itu maka aku membenci mereka! Aku setuju dengan semangat perjuangan nenekku, akan tetapi aku benci kalau mereka mengadakan persekutuan dengan para bajak kaut Jepang itu dan dengan panglima kerajaan yang hendak memberontak. Aku menghendaki perjuangan yang murni, hanya mengerahkan tenaga rakyat jelata yang terjajah, bukan bersekutu dengan segala perkumpulan orang jahat dan dengan pengkhianat. Karena itulah, maka aku sengaja mengadu antara Yasuki dan engkau karena aku yakin bahwa engkau tentu akan dapat mengalahkan dia."

"Hemm, permintaanmu berbahaya sekali, Han-ko. Bagaimana seandainya aku yang kalah?"

"Aku tidak akan mengadu engkau dengan dia kalau aku tidak yakin bahwa engkau pasti menang."

"Bagaimana engkau dapat memastikan hal itu? Engkau tidak mengenal tingkat ilmu silat."

Pemuda itu tersenyum lebar

"Apa kau kira aku sebodoh itu, Cin-moi? Aku yakin engkau dapat menang karena sebelumnya aku bertanya kepada Nenek tentang tingkat kepandaian Yasuki di bandingkan dengan tingkatmu dan tingkat Kakak Tin Siong. Kata Nenek, melawan Siong-ko saja belum tentu Yasuki akan dapat menang, apalagi melawan engkau."

"Ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu, Han-ko, dan kuharap engkau suka berterus terang kepadaku!"

"Tanyalah dan akan kujawab sedapat mungkin."

"Dapatkah engkau memberitahu, siapa sebetulnya Si Kedok Hitam itu? Aku yakin bahwa dia adalah seorang di antara anggauta keluarga Cia."

"Eh? Bukankah engkau katakan bahwa engkau sudah tidak hendak menyelidiki atau mencari dia lagi, bahkan engkau sudah memaafkannya ketika dia melukai ayahmu dan sudah tidak ada permusuhan lagi?"

"Benar, kata-kataku itu masih berlaku. Akan tetapi aku sungguh ingin tahu sekali siapa sebenarnya dia yang begitu lihai. Dia pasti anggauta keluarga Cia, bukan?"

"Kenapa engkau dapat menduga begitu, Cin-moi?"

"Keluarga Cia merencanakan untuk menyingkirkan Ji-taijin dan Un-ciangkun, dan dua kali aku melihat Si Bayangan Hitam hendak memasuki gedung tempat Ji-taijin pada malam hari. Bukankah hal itu sudah cocok sekali? Tentu dia akan melaksanakan rencana itu!"

Tin Han mengerutkan alisnya dan menggosok-gosok dahinya

"Cin-moi, di antara keluarga Cia, orang yang paling tinggi kepandaiannya adalah Nenek Cia dan Kakak Tin Siong. Engkau sudah pernah bertanding dengan keduanya dan engkau pernah pula bertanding dengan Si Kedok Hitam. Nah, siapa di antara kakak dan nenekku itu yang kepandaiannya setingkat dan mirip dengan kepandaian Si Kedok Hitam?"

"Tidak satu pun di antara keduanya. Aku percaya bahwa Si Kedok Hitam bukan nenekmu dan bukan pula kakakmu. Akan tetapi lalu siapakah?"

"Ha-ha-ha, jangan-jangan engkau menyangka aku orangnya! Tidak lucu kalau begitu, Cin-moi, kalau engkau sudah menghilangkan permusuhanmu dengan Si Kedok Hitam, kenapa engkau masih saja bertanya-tanya siapa dia? Jelas dia tidak ingin kau kenal, kenapa engkau masih penasaran?"

Wajah Lee Cin berubah merah

"Aku hanya ingin tahu, Han-ko. Aku ingin sekali mengenal orang yang telah menolongku. Akan tetapi sudahlah kalau engkau tidak tahu. Benar pula katamu. Dia tidak ingin kukenal, mengapa aku mendesaknya?" Gadis itu menghela napas panjang, lalu berkata kepada Tin Han, suaranya menjadi riang kembali,

"Nah, sekarang selamat tinggal, Han-ko. Terima kasih atas segala kebaikanmu padaku."

"Selamat jalan, Cin-moi. Baik-baiklah engkau menjaga dirimu dan kalau engkau kebetulan lewat di daerah ini, jangan lupa untuk singgah di rumah kami."

"Tentu saja, Han-ko. Selamat berpisah." Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan pemuda itu cepat-cepat. Agaknya kalau ia dekat dengan pemuda itu, tidak akan habis-habisnya percakapan di antara mereka. Pemuda itu amat ramah dan merupakan seorang kawan bercakap yang menyenangkan sekali. Ia harus mengakui kepada dirinya sendiri bahwa ia lebih tertarik kepada Tin Han daripada kepada Tin Siong. Berdekatan dengan Tin Han mendatangkan rasa gembira dan tenteram, sebaliknya kalau is teringat akan ancaman Tin Siong kepada Tin Han agar tidak mendekatinya, membuat ia merasa tidak suka kepada Tin Siong yang tampan, lembut dan lihai itu. Akan tetapi ia pun sadar bahwa ia tidak akan dapat serasi dengan Tin Han. Ia seorang pesilat yang kasar, sedangkan Tin Han seorang terpelajar yang demikian lembut, sopan dan gembira walaupun kadang nampak ugal-ugalan. Bahkan kalau Tin Han bersikap akrab dan agak mesra, ia tidak akan tersinggung karena pemuda itu melakukannya dengan sewajarnya, tidak dibuat-buat untuk menarik hatinya, juga ia melihat keberanian yang luar biasa pada diri Tin Han yang tak pandai silat itu.

Souw Hwe Li memandang kepada pemuda itu dengan mata bersinar-sinar menunjukkan kemarahannya. Akan tetapi, Siangkoan Tek, pemuda itu, hanya tersenyum saja.

"Sekali lagi kumohon dengan sangat, marilah kita pergi ke Poa-ting dan kuperkenalkan engkau kepada orang tuaku, Tek-ko," kata Hwe Li dengan suara memohon.

"Dan sekali lagi kukatakan kepadamu bahwa sekarang belum tiba saatnya bagiku untuk berkenalan dengan ayahmu. Bersabarlah dulu, Li-moi. Kelak kalau saatnya sudah tiba tentu aku akan datang menghadap ayah ibumu."

"Sampai kapan lagi, Tek-ko?" tanya Hwe Li penasaran

"Selama hampir setahun aku ikut denganmu, menuruti segala keinginanmu. Sudah semestinya kalau sekarang engkau ikut aku menghadap orang tuaku dan mengajukan pinangan secara resmi."

"Tunggu, kataku! Sekarang aku sama sekali belum memikirkan soal perjodohan!"

"Akan tetapi kita telah berjodoh, Tek-ko! Bukankah aku telah menjadi isterimu walaupun belum resmi? Aku telah menyerahkan segalanya kepadamu, dan sampai sekarang, hampir setahun aku melayani semua kehendakmu, dan belum pernah engkau memperkenalkan aku kepada orang tuamu dan engkau selalu menolak kalau kuajak menghadap orang tuaku. Sebetulnya, apa sih kehendakmu atas diriku, Tek-ko?"

Siangkoan Tek mengerutkan alisnya. Memang tidak ada sedikitpun juga keinginannya untuk memperisteri Hwe Li. Ia hanya ingin mendapatkan Hwe Li, bersenang-senang dengannya tanpa harus menikahinya. Kalau dia hendak menikah tentu dia akan memilih seorang wanita yang benar-benar pantas untuk menjadi isterinya, yang selain cantik tentu juga yang memiliki ilmu silat tinggi dan seorang wanita yang tidak begitu mudah menyerahkan kehormatannya seperti yang dilakukan Hwe Li. Dia tidak mau mempunyai seorang isteri gadis murahan.

"Apa kehendakku, Li-moi? Engkau sudah tahu akan kehendakku dan kehendakmu. Kita saling mencinta, bukan? Aku tidak pernah memaksamu untuk ikut dengan aku. Engkau menyerahkan diri dengan sukarela. Mengapa sekarang banyak menuntut? Kalau engkau sudah bosan denganku dan hendak pulang ke Pao-ting, pulanglah, aku tidak akan menahanmu."

Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan muka yang cantik itu menjadi pucat

"Apa..... apa maksudmu.....?"

"Maksudku sudah jelas. Selama ini, kita saling mencinta dan saling memberi kenikmatan, engkau mau apa lagi? Hubungan antara kita adalah hubungan yang sukarela, tidak ada yang dipaksa atau memaksa. Karena itu, kalau seorang di antara kita menghendaki perpisahan, ia boleh melakukan sesuka hatinya. Kalau engkau sudah tidak suka lagi padaku, pergilah tinggalkan aku."

"Siangkoan Tek, omongan apa yang kau keluarkan ini? Selama setahun aku menyerahkan diri dengan segala kerelaan kepadamu, dan sekarang, setelah engkau puas mempermainkan aku, engkau hendak mengusir aku? Jadi engkau tidak mau bertanggung jawab dan tidak mau mengawini aku?"

"Aku tidak pernah bicara tentang perkawinan, tidak pernah menjanjikan apa-apa padamu. Ingat ini! Dan sekarang diamlah, jangan ribut. Engkau tinggal pilih satu antara dua. Kita tetap berkumpul seperti ini, atau kita menghambil jalan masing-masing. Kalau engkau masih ribut, aku bisa kehilangan kesabaran dan engkau akan kupukul!"

Bukan main terkejut dan marahnya hati Hwe Li. Ia merasa hatinya seperti ditusuk-tusuk. Selama hampir setahun ini ia telah melayani segala keinginan Siangkoan Tek, sebagai seorang kekasih, bahkan sebagai seorang isteri, dengan penuh cinta kasih. Sekarang, setelah hampir setahun ia dipermainkan, bagaikan setangkai bunga yang dihisap madunya oleh seekor lebah, tiba-tiba akan ditinggalkan begitu saja melayu oleh lebah yang sudah kekenyangan madu! Ia meninggalkan ayah ibunya, keluarganya untuk mengikuti pria ini dan sekarang ia hendak dicampakkan begitu saja.

"Siangkoan Tek, keparat kau!!" teriaknya dan ia pun melompat ke depan sambil menusukkan pedangnya yang ia cabut dari pinggangnya. Akan tetapi, sekali tangkis pedang itu terlepas dari pegangan Hwe Li dan di lain saat Hwe Li sudah terjatuh ke dalam pelukannya tanpa dapat meronta lagi! Setelah dibelai dan dicumbu Siangkoan Tek, Hwe Li tidak berkutik lagi! Telah beberapa kali ia membujuk kekasihnya untuk pergi menghadap orang tuanya, akan tetapi selalu berakhir dengan kekalahannya, berakhir di dalam dekapan pemuda itu dan telah menjadi lemah lunglai semua syaraf dan semangatnya.

Akan tetapi mulai mengertilah ia betapa dirinya telah terjatuh ke dalam cengkeraman pemuda yang berhati iblis. Ia sama sekali tidak berdaya dan ia maklum bahwa pemuda itu tidak pernah mau berjodoh dengannya. Hal ini mulai ia rasakan dan hatinya menjadi panik dan gelisah. Bagaimana kalau tiba-tiba Siangkoan Tek meninggalkannya begitu saja? Ke mana ia harus mencarinya, dan andaikata ia dapat mencarinya, apa yang dapat ia lakukan? Ia telah menyerahkan diri dan ia sama sekali tidak dapat memaksa pemuda itu untuk menikahinya. Ia hanya dijadikan benda permainan dan pemuas nafsu belaka. Teringat akan semua ini, barulah Hwe Li sadar akan semua kesalahannya.

Barulah ia menyesal, akan tetapi penyesalannya tidak akan menolongnya. Sedikit demi sedikit rasa sakit hati memenuhi hatinya. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Kepandaiannya kalah jauh sehingga ia tidak mampu berbuat apa-apa untuk memaksa pemuda itu menikahinya. Beberapa kali timbul niat di hatinya untuk membunuh Siangkoan Tek. Akan tetapi, niat itu selalu gagal. Pertama, ia memang telah tergila-gila kepada pemuda itu dan ke dua, apa keuntungannya kalau ia membunuhnya? Ia telah ternoda dan jalan satu-satunya baginya hanyalah bahwa ia harus menikah dengan Siangkoan Tek. Akan tetapi Siangkoan Tek selalu mengingkarinya dan ia juga selalu tunduk kepada pemuda itu. Sikap dan tindakan pemuda itu membuatnya selalu merasa lemah, walaupun kalau diingat amat menyakitkan hatinya.
Hati Hwe Li sakit dan menyesal sekali.

Agaknya sudah tidak ada pilihan lain baginya kecuali menuruti semua kehendak Siangkoan Tek. Kalau ia meninggalkan pemuda itu, ke mana ia hendak pergi? Pulang ke rumah orang tuanya seorang diri dengan membawa noda. Ia merasa malu sekali. Terpaksa ia harus menuruti segala kehendak pemuda itu kepada siapa ia kini menumpangkan dirinya. Ia hanya dapat menangis. Akan tetapi ia tahan sedu-sedannya dan hanya air matanya yang mengalir turun di sepanjang kedua pipinya. Ia bangkit duduk dan memandang wajah Siangkoan Tek yang tertidur pulas di sampingnya. Wajah yang tampan dan gagah, namun wataknya tidak setampan wajahnya.

Kalau ia mengamati wajah itu, hatinya luluh dan harus ia akui bahwa ia amat mencinta Siangkoan Tek. Akan tetapi kalau mengingat betapa ia dipermainkan, dijadikan pemuas nafsu tanpa pemuda itu mau bertanggung jawab, hatinya seperti ditusuk-tusuk pedang beracun. Ingin sekali ia tusuk dada Siangkoan Tek untuk membalas sakit hatinya. Tangannya sudah dijulurkan ke atas meja dekat pembaringan di mana pedangnya berada. Pada saat itu, ingin ia membunuh Siangkoan Tek lalu nekat pulang ke Pao-ting. Kota itu tidak begitu jauh dari rumah tinggal sementara mereka. Siangkoan Tek membeli pondok itu dan sudah selama dua bulan mereka tinggal di pondok sunyi di lereng bukit itu. Ia tahu bahwa kota Pao-ting tidak jauh lagi, hanya perjalanan sehari saja dari situ.

Tangannya sudah dijulurkan, akan tetapi jari-jari tangannya gemetar, menggigil karena perasaannya yang tegang dan serba salah. Rasa cinta dan benci membuatnya bingung, ditambah rasa takut karena pemuda itu lihai bukan main. Ia tidak dapat menentukan apakah pemuda itu pulas ataukah masih sadar.
Suara angin di luar rumah berdesir seolah berbisik-bisik agar ia cepat melaksanakan kehendaknya. Rumah itu sunyi sekali, jauh dari tetangga, bahkan di siang hari itu suasana amat sunyi. Hwe Li masih menjulurkan tangannya tanpa menyentuh gagang pedangnya. Tidak, ia menarik kembali tangannya. Ia tidak tega membunuh pria yang sesungguhnya telah membuat tergila-gila ini, akan tetapi yang sekaligus membuat hatinya tersiksa. Saking jengkelnya terhadap diri sendiri, ia lalu memukuli kepala Siangkoan Tek dengan kedua tangannya!

Siangkoan Tek terkejut dan terbangun dari tidurnya. Melihat Hwe Li sambil menangis memukuli kepalanya, dia melompat dan cepat menangkap kedua pergelangan tangan Hwe Li sambil membentak, Apa engkau sudah gila?"

"Engkau laki-laki jahanam, berhati palsu Hwe Li meronta-ronta dan memaki-maki seperti gila. Siangkoan Tek lalu melepaskan tangan kanannya, menyambar rambut Hwe Li dan menyeret gadis itu keluar dari pondok. Dengan menjambak rambut yang panjang itu, dia setengah mengangkat setengah menyeret tubuh gadis itu sampai agak jauh dari pintu pondok, lalu dihempaskan tubuh itu ke atas tanah.

"Huh, engkau seperti seekor kelenci dan aku seekor garuda! Apa yang dapat kau lakukan padaku? Akan tetapi, garuda ini sudah kekenyangan, maka engkau boleh pergi ke mana pun engkau suka. Pergi, tinggalkan aku! Aku sudah muak padamu!" Setelah berkata demikian, Siangkoan Tek dengan marah membalikkan tubuhnya hendak kembali ke pondok.

Hwe Li bangkit merangkak lalu mengejar, terhuyung-huyung

"Tek-ko, jangan tinggalkan aku......! Aku tidak dapat hidup tanpa engkau......!" Ia dapat menyusul Siangkoan Tek lalu memegang tangan pemuda itu. Siangkoan Tek membalik lalu mendorong tubuh Hwe Li sehingga terjengkang dan roboh kembali.
"Tek-ko......!" Hwe Li kembali merangkak dan mengejar.

Siangkoan Tek menggerakkan kakinya menendang

"Desss......!" Bagaikan sebuah bola tubuh Hwe Li kembali terguling-guling.

"Tek-ko, bunuhlah aku...... akan tetapi jangan usir aku......" Hwe Li bangkit, menghapus darah dari tepi bibirnya dan menangis.

Sepasang mata yang tajam berapi seperti mata seekor rajawali melihat semua peristiwa di luar pondok itu. Ketika memperhatikan wajah Hwe Li, mata itu terbelalak dan mengeluarkan sinar kilat.

"HWE LI""!" bisiknya.

Pemilik mata yang tajam berapi itu adalah seorang gadis cantik yang berpakaian sederhana. Dan ia bukan lain adalah Lui Ceng atau Ceng Ceng! Seperti telah kita ketahui, Ceng Ceng pernah tertawan oleh Ouw Kwan Lok yang tertarik kepadanya dan hendak memaksa gadis itu menjadi kekasihnya. Dalam keadaan yang gawat terancam itu, muncul Thian-tok Gu Kiat Seng, datuk besar dari barat itu yang menolongnya dan berhasil mengusir Ouw Kwan Lok. Dan semenjak saat itu, Ceng Ceng menjadi murid Thian-tok Gu Kiat Seng, datuk yang berusia lima puluh dua tahun itu, Biarpun baru digembleng selama setahun, akan tetapi karena Ceng Ceng sudah memiliki dasar gemblengan pamannya, Souw Can, dan karena gadis itu berbakat baik dan bersemangat besar tekun berlatih.

Maka dalam waktu sependek itu ia telah memperoleh kemajuan pesat sekali, terutama mengenai sin-kang yang amat kuat dan gin-kang yang membuat ia mampu bergerak cepat. Ia masih merantau bersama gurunya ketika pada hari itu secara kebetulan ia tiba di bukit itu dalam perjalanannya menuju ke Pao-ting untuk menjenguk keadaan pamannya. Ketika mendengar suara ribut-ribut di dalam pondok, ia tertarik dan cepat mendekati lalu bersembunyi di balik semak-semak. Ketika Siangkoan Tek menjambak rambut Hwe Li dan menyeretnya keluar, ia melihatnya dan pandang matanya tak pernah melepaskan kedua orang itu sehingga ia melihat apa yang dilakukan Siangkoati Tek kepada gadis itu.

Akan tetapi baru setelah ia mengamati wajah gadis itu dan mengenalnya sebagai Hwe Li, ia terkejut sekali dan cepat ia meloncat dari tempat sembunyi-nya dan membentak nyaring,

"Keparat busuk, berani engkau menghina saudaraku Hwe Li?" sambil membentak Ceng Ceng menggerakkan kebutannya, senjata yang dipelajarinya dari Thian Tok. Kebutan berbulu merah ini menyambar dengan dahsyat, mengeluarkan suara bersuitan ketika menyambar ke arah kepala Siangkoan Tek.

"Suiiit""!" Siangkoan Tek terkejut juga melihat serangan yang dahsyat itu. Dia cepat melompat ke belakang untuk melihat dengan jelas siapa orangnya yang menyerangnya. Dia melihat seorang gadis yang berwajah manis sekali, memegang sebatang kebutan dan memandang dengan mata yang tajam bersinar. Dia tersenyum dan segera berkata dengan suara lembut,

"Wahai nona manis, mengapa engkau menyerangku tanpa sebab? Rasanya aku belum pernah mendapatkan kebahagiaan untuk berkenalan denganmu. Siapakah namamu, nona manis, dan mengapa engkau menyerangku?"

Hwe Li yang terkejut melihat munculnya Ceng Ceng merasa khawatir akan keselamatan saudara misannya itu, maka cepat berseru,

"Ceng Ceng, jangan hiraukan dial Cepat engkau pergi dari sini!"
Ceng Ceng tidak merasa heran mendengar ucapan itu. Ia sudah terbiasa diperintah dan dibentak-bentak saudara misannya. Akan tetapi sekali ini ia melihat sendiri betapa Hwe Li dijambak, dihina, dipukul dan ditendang. Bagaimana mungkin ia dapat tinggal diam saja?

"Aha, namamu Ceng Ceng, Nona? Nama yang indah, seindah orangnya!" kata Siangkoan Tek merayu.

"Hwe Li, jangan khawatir, aku akan membantumu bebas dari manusia keparat ini!" Ceng Ceng sudah membentak dan kembali ia menyerang dengan kebutannya.

Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Siangkoan Tek terpaksa cepat mengelak dan harus ia akui bahwa gadis bernama Ceng Ceng ini memiliki gerakan yang sangat cepat dan dari suara angin sambaran kebutan itu dia pun dapat menilai bahwa gadis itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat.

Ceng Ceng menyerang terus bertubitubi akan tetapi semua serangannya dapat dielakkan oleh Siangkoan Tek. Pemuda ini maklum bahwa gadis ini harus dapat ditundukkan, karena ilmunya lebih tinggi daripada tingkat Hwe Li. Akan tetapi dia pun mengalami kesulitan untuk dapat menundukkan Ceng Ceng dengan cepat. Kebutan itu lihai bukan main.

Dengan gerakan cepat sekali, tangan kanan Siangkoan Tek berhasil menangkap ujung kebutan. Selagi dia hendak menariknya untuk merampas kebutan itu, tiba-tiba Ceng Ceng menotokkan gagang kebutan ke arah pergelangan tangannya.

"Hyaaat......!" Kebutan yang ujung bulunya sudah ditangkap tangan kanan Siangkoan Tek itu, tiba-tiba meluncur dengan cepat menotok pergelangan tangan pemuda itu. Tentu saja Siangkoan Tek menjadi terkejut sekali.

"Ehhh""!!" Terpaksa dia melepaskan pegangannya dan memutar lengannya untuk menangkis totokan gagang kebutan itu.

"Dukk......!" Pertemuan lengan dengan gagang kebutan membuat Siangkoan Tek terhuyung dan tangannya tergetar, sebaliknya Ceng Ceng juga terdorong ke belakang. Maklumlah keduanya bahwa lawan memiliki tenaga sin-kang yang kuat.

Ilmu kepandaian Ceng Ceng memang sudah maju pesat sekali selama satu tahun ini, namun dibandingkan dengan Siangkoan Tek, ia masih kalah. Apalagi ketika Siangkoan Tek yang mengetahui akan kelihaian kebutan itu kini mencabut pedangnya. Terjadilah pertandingan yang hebat sekali namun setelah lewat tiga puluh jurus, mulailah Ceng Ceng terdesak hebat. Pedang Siangkoan Tek berubah menjadi sinar yang menyilaukan mata, bergulung-gulung dan menyambar-nyambar. Ceng Ceng mencoba untuk mengimbanginya dengan gerakan kebutannya yang menjadi gulungan sinar merah. Akan tetapi perlahan-lahan sinar nnerah itu menjadi semakin kecil dan gerakannya hanya untuk melindungi diri saja.

"Nona manis, menyerahlah sebelum pedangku melukaimu! Sayang kalau kulitmu yang halus itu sampai tergores pedangku!" Siangkoan Tek mengejek sambil merayu.

"Ceng Ceng, larilah!" kata lagi Hwe Li dan dengan nekat ia menubruk ke arah Siangkoan Tek. Pemuda itu menyambutnya dengan sebuah tendangan yang membuat Hwe Li terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Maklum bahwa ia tidak akan menang, Ceng Ceng meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri. Ia harus mencari bala-bantuan kalau ingin berhasil menolong Hwe Li.

Gurunya berada di puncak bukit itu menunggunya. Ia berpamit dari gurunya untuk berkunjung ke Pao-ting sebentar dan gurunya akan menunggu sampai tiga hari di sana. Tempat gurunya itu tidak berapa jauh dari lereng itu, akan tetapi watak gurunya amat aneh. Belum tentu gurunya mau membantu untuk menolong gadis yang sama sekali tidak dikenalnya. Kalau gurunya menolak, siapa pun tidak dapat memaksanya. Maka sebaiknya kalau ia minta bantuan ke Pao-ting saja. Dengan pikiran ini, Ceng Ceng lalu berlari cepat menuju ke kota Pao-ting. Demikian cepat ia berlari sehingga menjelang sore ia sudah tiba di pekarangan rumah pamannya, yaitu Souw Can Ketua Kim-liong-pang.

Beberapa orang anggauta Kim-liong-pang yang berada di pekarangan itu menyambut kedatangan Ceng Ceng dengan gembira. Mereka semua sudah mendengar bahwa Nona Liu Ceng telah menjadi murid seorang datuk besar, maka kini kedatangan Ceng Ceng setelah setahun rnereka meninggalkan rumah pamannya, disambut dengan gembira.

"Nona Liu datang!" teriak mereka dan segera berita ini sampai ke dalam rumah induk.
Dari dalam muncul Souw Can dan isterinya, juga Lai Siong Ek. Mereka bertiga muncul dan dapat dilihat betapa wajah ketiganya murung. Tentu ini ada hubungannya dengan keadaan Hwe Li.

"Paman dan Bibi!" Ceng Ceng berseru lirih sambil memandang wajah mereka.

"Ceng Ceng engkau baru kembali?" tanya pula Lai Siong Ek sarnbil memandang gadis itu dengan sinar mata kagum. Dalam pandangannya, sikap gadis itu berubah, tidak lagi merendahkan diri seperti dulu, melainkan ada sikap tegak dan anggun seperti penuh kepercayaan kepada diri sendiri.

"Ceng Ceng, tahukah engkau bahwa Hwe Li!" kata Nyonya Souw sambil menangis.

Ceng Ceng merangkul tubuh bibinya dan berkata menghibur,

"Aku sudah tahu, mari kita bicara di dalam, Paman." Ia menuntun bibinya memasuki rumah itu, diikuti oleh Souw Can dan Lai Siong Ek.
Setelah mereka tiba di ruangan dalam, Souw Can bertanya,

"Ceng Ceng, engkau sudah tahu akan keadaan Hwe Li? Di manakah ia sekarang?"

"Aku justeru datang untuk bicara tentang Hwe Li. Aku hendak minta bantuan Paman untuk merampas kembali Hwe Li dari tangan pemuda jahat itu."

"Merampas Hwe Li dari tangan pemuda jahat itu? Apa yang telah terjadi dengan Hwe Li? Cepat ceritakan!" teriak Lai Siong Ek dengan gelisah.

"Ceritakan, Ceng Ceng. Apa yang telah terjadi dengan Hwe Li dan di mana ia sekarang?"

"Tidak begitu jauh dari sini, Paman. Harap persiapkan bala bantuan karena Hwe Li berada di tangan seorang pemuda yang sangat lihai. Aku telah mencoba untuk membebaskan Hwe Li, akan tetapi aku tidak dapat menandingi pemuda itu?"

"Pemuda yang menculiknya itu? Di mana dia dan Hwe Li? Biar aku menyiapkan pasukan!" kata Lai Siong Ek.

"Tenanglah, Siong Ek. Engkau pergilah cepat untuk mempersiapkan pasukan, lalu bawa ke sini agar kita dapat mengikuti Ceng Ceng yang akan menunjukkan tempatnya," kata Souw Can dengan tenang walaupun hatinya juga gelisah dan tegang. Sudah hampir setahun Hwe Li lenyap diculik orang dan tidak pernah ada kabar berita darinya. Sekarang, tiba-tiba muncul Ceng Ceng yang tahu di mana puterinya itu berada, tentu saja dia menjadi tegang dan gelisah.

Siong Ek cepat keluar, melapor kepada ayahnya dan minta disediakan pasukan seratus orang. Dulu ketika membawa pasukan dan mengejar pemuda yang menculik Hwe Li, pemuda itu dapat membebaskan diri dari kepungan sambil melarikan gadis itu dan sejak itu, tidak ada lagi beritanya tentang Hwe Li walaupun ayahnya sudah mengirim banyak anak buah pasukan untuk mencari.
Selagi Siong Ek keluar dan mereka menanti datangnya pasukan, Souw Can minta kepada Ceng Ceng untuk menceritakan tentang Hwe Li. Ceng Ceng tidak tega untuk menceritakan seluruhnya, betapa Hwe Li disiksa oleh pemuda liha itu. Ia hanya menceritakan bahwa ia melihat Hwe Li dikeram dalam sebuah pondokan di lereng bukit oleh seorang pemuda yang amat lihai.

"Karena aku tidak mampu menandinginya, maka terpaksa aku melarikan diri ke sini untuk minta bala bantuan," demikian Ceng Ceng menutup ceritanya.

Tak lama kemudian, Lai Siong Ek muncul kembali membawa seratus orang perajurit berkuda, dipimpin oleh seorang perwira tinggi. Setelah membuat persiapan, berangkatlah seratus orang perajurit itu dipimpin oleh Sang Perwira, Souw Can, Lai Siong Ek, dan Ceng Ceng sendiri. Mereka semua menunggang kuda dan sore hari itu juga mereka melakukan perjalanan menuju ke bukit di mana Hwe Li dikeram oleh Siangkoan Tek.

Menjelang pagi, rombongan tiba di kaki bukit itu dan Ceng Ceng memberi keterangan agar pasukan dibagi empat dan mereka menghampiri pondok di lereng itu dari empat jurusan. Setelah tiba dekat pondok, para perajurit itu ber-sembunyi dan menanti perintah selanjut-nya. Kuda mereka ditinggalkan di kaki bukit dan dijaga selosin orang perajurit.

Ceng Ceng yang tidak ingin pemuda yang menawan Hwe Li itu dapat meloloskan diri, menanti sampai terang tanah, barulah ia memberi isyarat kepada Souw Can untuk mengikutinya. Lai Siong Ek juga mengikuti untuk membantu dan perwira memimpin pasukan yang sudah siap. Setelah cuaca terang benar dan tidak ada suara atau gerakan apa pun di dalam pondok itu, Ceng Ceng berseru sambil mengerahkan khi-kangnya sehingga suara-nya terdengar melengking tinggi dan terdengar sampai jauh.

"Penculik keparat! Menyerahlah, pondokmu telah dikepung ketat dan engkau tidak dapat meloloskan diri!"

Terdengar gerakan di dalam pondok dan ini dapat didengar karena semua pengepung berdiam diri dan memperhatikan suara dari pondok yang mereka kepung. Terdengar jerit lirih dan tak lama kemudian pintu pondok terbuka lebar dan muncullah Hwe Li yang sebelah tangannya dipegang oleh Siangkoan Tek dan dengan tangan yang lain pemuda itu menempelkan pedangnya di leher gadis itu. Dia sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan tersenyum dan berkata lantang,

"Kalian buka jalan untuk aku keluar dari kepungan, atau Nona Souw Hwe Li ini akan kubunuh di depan kalian sebelum aku mengamuk dan membunuh kalian semua!"

Melihat wajah puterinya yang pucat dan rambut serta pakaiannya yang awuta: awutan hati Souw Can seperti diremas. Dia lalu berteriak lantang,

"Orang muda, siapakah engkat. Di antara kita tidak ada permusuhan, mengapa engkau menculik anak kami?"

Siangkoan Tek hanya menyeringai dan mengulangi permintaannya,

"Hayo, buka kepungan kalau tidak ingin melihat gadis ini kusembelih di depan kalian!"

Mendengar ini dan melihat sikap pemuda yang tersenyum mengerikan itu, Souw Can minta kepada perwira komandan pasukan untuk membuka kepungan.

"Kami membuka kepungan, akan tetapi engkau harus melepaskan Hwe Li!"

Siangkoan Tek mendorong Hwe Li sampai tiba di tempat di mana kepungan itu terbuka, dan dia lalu berkata,

"Hwe Li, engkau boleh pergi sekarang, aku sudah bosan denganmu!" Dan dia mendorong Hwe Li sehingga gadis itu terpelanting. Siangkoan Tek lalu melompat jauh dan melarikan diri.

"Kejar! Kejar jahanam itu!" teriak Ceng Ceng dan ia sendiri ikut mengejar bersama para perajurit. Akan tetapi Siangkoan Tek telah menghilang ke dalam hutan di lereng bukit.

Souw Can lari menghampiri puterinya. Dia membantu puterinya bangkit sambil memeluknya.
"Hwe Li......!"

"Ayah". Ayah......!" Hwe Li merangkul ayahnya dan menangis tersedu-sedu. Demikian sedih hatinya, demikian hancur perasaannya sehingga ia menangis mengguguk kemudian pingsan dalam rangkulan ayahnya.

Souw Can memondong tubuh puterinya dan membawa masuk ke dalam pondok yang sudah ditinggalkan pemiliknya itu. Dia merebahkan tubuh puterinya di atas pembaringan dan dia sendiri duduk di tepi pembaringan, menunggu puterinya siuman dari pingsannya. Dia tahu bahwa Hwe Li pingsan karena kedukaan, maka dia mendiamkannya saja karena tangis dan pingsan merupakan pencurahan dan kesedihan yang mendalam.

Akhirnya, setelah lama Souw Can menunggui puterinya yang kelihatan kurus dan agak pucat itu, Hwe Li siuman dari pingsannya. Bagaikan baru bangun tidur ia mengeluh,

"Jangan tinggalkan aku......!" Ayahnya lalu memegang kedua pundaknya dan mengguncangnya perlahan.

"Hwe Li, ingat, ini ayahmu."

Hwe Li membuka matanya dan ketika ia melihat ayahnya, ia lalu bangkit duduk

"Ayah".. Ayah"..!" Ia menangis lagi, mengguguk.

"Hwe Li, tenanglah, diamlah jangan menangis. Semua itu telah lewat dan engkau telah kembali kepadaku."

Akan tetapi Hwe Li teringat betapa dirinya sudah ternoda, selama setahun ia telah menjadi benda permainan dan pemuas nafsu Siangkoan Tek. Hal itu dianggapnya bukan siksaan kalau saja Siangkoan Tek mau mengawininya karena ia pun tergila-gila kepada pemuda itu. Akan tetapi kenyataannya, Siangkoan Tek membuangnya sebagai barang bekas yang tidak dibutuhkannya lagi! Teringat demikian, ia merasa tidak berharga lagi untuk kembali menjadi puteri ayahnya. Melihat pedangnya menggeletak di atas meja, ia cepat meloncat dan menyambar pedangnya.

"Hwe Li, jangan""!" Souw Can berteriak nyaring sarnbil berusaha merebut pedang itu dari tangan puterinya. Pada saat itu, Lai Siang Ek dan Ceng Ceng memasuki pondok dan melihat Hwe Li sudah mengayun pedang untuk menyerang lehernya sendiri, Ceng Ceng meloncat bagaikan burung terbang dan sekali sambar ia telah berhasil merampas pedang dari tangan Hwe Li.

Melihat ulah Hwe Li yang hendak membunuh diri, Lai Siong Ek lupa keadaan saking haru dan sedihnya. Dia langsung merangkul Hwe Li dan berkata,

"Sumoi, jangan engkau membunuh diri".. aku".. aku cinta padamu, Sumoi."

Hwe Li dengan mata sayu memandang wajah suhengnya. Sejak dahulu ia tahu bahwa suhengnya ini amat mencintanya, akan tetapi selama itu tidak ditanggapi

"Suheng, aku bukan sumoimu yang dulu lagi".. aku".. aku telah ternoda".. aku tidak berharga untukmu dan tidak berharga menjadi puteri Ayah......" Gadis itu rnenangis lagi.

"Tidak peduli, Sumoi. Engkau tetap Sumoi Souw Hwe Li untukku dan aku ingin engkau menjadi isteriku. Betapa selama setahun ini hatiku tersiksa dan sekarang setelah kami dapat menemukan engkau, jangan..... jangan putus asa seperti itu, Sumoi." Hwe Li merasa betapa tulus cinta kasih dari suhengnya itu. Biarpun sudah mendengar pengakuan bahwa ia telah ternoda, tetap saja suhengnya ingin memperisterinya!

"Suheng......!" Ia menangis dalam rangkulan Lai Siong Ek yang merasa bahagia bagaikan menemukan kembali sebuah mustika yang hilang. Setelah tangis puterinya reda dan agaknya Hwe Li sudah tenang kembali, Souw Can bertanya kepada puterinya,

"Sebetulnya siapakah jahanam itu?"

"Dia bernama Siangkoan Tek, dia adalah putera dari datuk besar Siangkoan Bhok, majikan Pulau Naga yang berjuluk Tung-hai-ong, datuk besar timur," kata Hwe Li lirih.

"Ah, pantas dia lihai sekali!" kata Ceng Ceng

"Akan tetapi aku akan tekun memperdalam ilmu silatku dan kelak kalau bertemu dengannya aku pasti akan membalas sakit hatimu, Hwe Li."

"Terima kasih, engkau telah berbuat banyak untukku, Ceng Ceng," kata Hwe Li dan baru ia menyadari betapa dulu, ia dan Siong Ek telah terlalu memandang rendah kepada gadis itu. Ternyata sekarang, yang menyelamatkannya adalah Ceng Ceng. Kalau tidak ada gadis itu, tentu sekarang ia masih menjadi tawanan Siangkoan Tek dan diperlakukan sebagai budak belian!

Setelah Hwe Li tenang kembali, mereka lalu pergi dikawal pasukan kembali ke Pao-ting, di mana Hwe Li disambut dengan rangkulan dan tangisan ibunya. Juga Ceng Ceng diterima dengan baik, apalagi kalau keluarga itu mengingat akan jasanya yang amat besar. Akan tetapi Ceng Ceng hanya tinggal semalam di rumah pamannya.

"Suhu menanti di puncak bukit, aku harus cepat ke sana seperti yang kujanjikan," kata Ceng Ceng ketika keluarga itu hendak menahannya.

"Ah, mengapa engkau tidak mengajak suhumu datang ke sini, Ceng Ceng? Kami ingin sekali bertemu dan memberi hormat kepadanya," kata Souw Can.

"Suhu berwatak aneh, Paman. Dia tidak ingin bertemu dan berkenalan dengan siapa pun. Nah, Paman dan Bibi, aku mohon diri sekarang, Hwe Li dan Lai-suheng, selamat tinggal."

Hwe Li merangkul Ceng Ceng dan berbisik,

"Maafkanlah sikapku yang dahulu amat buruk kepadamu, Ceng Ceng."

Ceng Ceng balas merangkul dan mencium pipi saudara misannya

"Aku sudah melupakan segala masa laluku, Hwe Li. Kuharap engkau juga sudah melupakan semua masa lalumu dan hidup baru dengan penuh kebahagiaan."

Kemudian Ceng Ceng meninggalkan pamannya, melakukan perjalanan secepatnya menuju ke bukit di mana Thian-tok Gu Kiat Seng menunggunya selama tiga hari. Setelah bertemu gurunya, ia menceritakan semua pengalaman yang telah dialaminya dan betapa ia masih kalah dalam menandingi Siangkoan Tek, putera datuk besar Siangkoan Bhok yang berjuluk Tung-hai-ong.

Thian-tok tersenyum

"Tingkat kepandaian Siangkoang Bhok seimbang dengan tingkatku, maka aku disebut Datuk Barat dan dia disebut Datuk Timur. Karena engkau baru setahun menjadi muridku, tentu saja tingkatmu masih kalah dibandingkan tingkat puteranya. Akan tetapi kalau engkau tekun berlatih, aku akan menurunkan ilmu-ilmu simpananku kepadamu dan kalau engkau sudah menguasai ilmu-ilmu itu, kiranya tidak akan mudah putera Siangkoan Bhok itu mengalahkanmu."

Ceng Ceng menjadi gembira dan ia lalu melanjutkan perantauannya bersama gurunya sampai mereka menemukan sebuah bukit yang cocok untuk mereka jadikan sebagai tempat tinggal sementara.

Panglima Song Thian Lee segera menghadap Kaisar Kian Liong ketika Kaisar mengundangnya untuk menghadap ke istana. Setelah tiba di ruangan sidang di istana itu, dia melihat bahwa dua orang panglima lain, yaitu Panglima Tua Bouw Kin Sek dan wakilnya yang bernama Coa Kun telah hadir pula menghadap Kaisar. Kiranya bukan hanya dia seorang yang diundang, akan tetapi dua orang panglima besar lainnya sehingga mudah diduga bahwa Kaisar tentu akan membicarakan soal keamanan. Panglima Tua Bouw Kin Sek adalah seorang Mancu, akan tetapi seperti juga Kaisar Kian Liong, dia telah menyesuaikan diri dengan kehidupan rakyat dijajahnya sehingga sampai ke dalam keluarganya di rumah mereka hidup seperti keluarga bangsawan bangsa Han saja.

Panglima Tua Bouw Kin Sek selain pandai mengatur pasukan dan cerdik dalam siasat perang, juga dia lihai dalam ilmu silat bercampur ilmu gulat bangsa Mancu. Tenaganya besar sekali dan biarpun usianya sudah lima puluh tahun, namun sukar dicari orang yang mampu menandinginya. Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya penuh brewok membuat penampilannya penuh wibawa dan membuat lawan-lawannya menjadi gentar. Wakilnya, Panglima Coa Kun adalah seorang peranakan Han Mancu yang berusia empat puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya agak kepucatan. Biarpun penampilannya tidak mengesankan, namun sesungguhnya Panglima Coa Kun ini seorang yang amat cerdik. Siasatnya dalam perang banyak yang berhasil sehingga Kaisar Kian Liong menghargainya dan mengangkatnya menjadi wakil dari Panglima Bouw Kin Sek. Juga Panglima Coa Kun ini lihai ilmu silatnya, biarpun tidak selihai tingkat Panglima Bouw Kin Sek, akan tetapi dia terkenal sebagai seorang yang memiliki lwee-kang (tenaga dalam) yang kuat sekali.

Setelah memberi hormat kepada Kaisar Kian Liong dan dipersilakan duduk, Panglima Song Thian Lee yang masih amat muda, baru berusia dua puluh tiga tahun, mengambil tempat duduk di sebelah kiri Panglima Bouw Kin Sek. Dia adalah panglima muda yang kedudukannya sebagai panglima besar, walaupun jauh lebih muda dari Panglima Bouw Kin Sek, akan tetapi kedudukannya lebih tinggi.
"Bagus, engkau sudah datang, Song-ciangkun." kata Kaisar Kian Liong sambil memandang kepada panglimanya ini dengan sinar mata gembira.

"Hamba siap siaga untuk melaksanakan segala perintah Paduka," kata Song Thian Lee dengan sikap hormat.

"Kami mengundangmu untuk mengajak bicara tentang pergolakan yang terdapat di daerah pantai timur. Kami mendapat keterangan dari Bouw-ciangkun bahwa keadaan di sana sudah gawat dan sewaktu-waktu dapat timbul pemberontakan besar. Biarlah Bouw-ciangkun sendiri yang menceritakan kepadamu tentang berita yang didapatkannya itu."

Thian Lee menoleh dan memandang kepada Bouw Kin Sek dengan pandang mata bertanya. Dalam kedudukan mereka, kekuasaan mereka terbagi. Bouw-ciangkun menguasai pasukan yang melakukan penjagaan di timur sampai ke laut, sedangkan Thian Lee mengepalai sisa pasukan yang terpencar di utara, barat dan selatan yang tentu saja dipimpin oleh masing-masing panglimanya sebagai pembantu-pembantu Thian Lee. Karena bagian timur bukan bagian kekuasaannya, maka dia tidak mendengar akan pergolakan yang dimaksudkan Kaisar itu.

"Begini, Souw-ciangkun." Panglima Bouw mulai memberi keterangan

"Kami menerima berita dari Un-ciangkun yang bertugas di timur dan bertempat tinggal di kota Hui-cu bahwa ada gerak-gerik rahasia yang menjurus ke arah pemberontakan. Beberapa kali ada usaha gelap untuk membunuhnya setelah dia tidak pernah menghiraukan surat-surat gelap yang diterimanya dan mengajaknya untuk memberontak. Un-ciangkun adalah seorang perwira yang setia maka tentu saja dia tidak menanggapi ajakan itu. Akan tetapi dia melihat banyak mata-mata berbangsa Jepang berkeliaran di sepanjang pantai timur. Orang-orang Jepang itu rata-rata berkepandaian tinggi sehingga tidak pernah ada yang dapat tertangkap. Kami khawatir sekali bahwa di antara para perwira pembantu kami ada yang melakukan hubungan dengan orang-orang Jepang itu, dan ini berbahaya sekali. Melihat gerak-gerik mereka, menurut Un-ciangkun, terdapat banyak orang pandai di antara mereka dan dia merasa seolah selalu dibayangi orang sehingga ia harus melindungi dirinya dengan pasukan pengawal yang menjaga ketat keselamatannya. Karena itulah, dia memberi kabar kepada kami dan kami melapor kepada Sri Baginda Kaisar."

Song Thian Lee mengerutkan alisnya. Dia teringat akan pemberontakan yang pernah dilakukan Pangeran Tua Tang Gi Lok yang dibantu oleh tokoh-tokoh sesat dunia kang-ouw dan perkumpulan-perkumpulan jahat. Ketika pemberontakan itu terjadi tiga tahun yang lalu, dia membantu pemerintah untuk menghancurkan pemberontakan itu sehingga dia berjasa besar dan diberi kedudukan panglima besar oleh Kaisar. Kini dia dihadapkan dengan gejala-gejala pemberontakan yang lain lagi. Setiap pemberontakan hanya merugikan rakyat dan mengacaukan keadaan. Pemberontakan-pemberontak itu bermaksud mengambilalih kekuasaan untuk mengangkat diri sendiri menjadi penguasa, tidak seperti gerakan perjuangan rakyat yang memang membenci pemerintah penjajah.

"Nah, demikianlah keadaannya. Karena gejala pemberontakan itu memperlihatkan gerakan banyak orang-orang lihai, maka tidak ada jalan lain kecuali menyelidiki keadaan mereka yang sesungguhnya. Dan untuk melakukan penyelidikan, harus dilakukan orang yang berkepandaian tinggi. Maka kami ingat padamu, Song-ciangkun. Agaknya hanya engkaulah orangnya yang tepat untuk melaksanakan penyelidikan itu, kemudian mengambil tindakan kalau terdapat bukti bahwa mereka hendak memberontak. Engkau boleh mengerahkan pasukan berapa pun yang kau butuhkan."

Song Thian Lee berpikir. Dia harus rnenyelidiki lebih dulu siapakah yang berada balik gejala-gejala pemberontakan itu, melihat apakah itu hanya pemberontakan biasa ataukah perjuangan para patriot. Kalau hanya perjuangan kecil-kecil saja dia akan berusaha untuk memperingatkan para patriot bahwa usaha mereka akan sia-sia dan hanya mengorbankan nyawa anak buah saja dan mengacaukan kehidupan rakyat jelata. Kalau itu merupakan gerakan bawah tanah dari mereka yang hendak memberontak, dia harus menumpasnya.

"Hamba siap melakukan tugas itu, Yang Mulia."

"Engkau boleh membawa pasukan untuk menyertaimu."

"Hamba kira hal itu tidak perlu, Yang Mulia. Untuk melakukan penyelidikan, harus hamba lakukan sendiri dan menyamar sehingga mereka tidak tahu bahwa ada penyelidikan dari kota raja. Kalau hamba membutuhkan bantuan pasukan, tentu hamba dapat menghubungi Un-ciangkun di Hui-cu."

Kaisar mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada Bouw-ciangkun

"Bagaimana pendapatmu, Bouw-ciangkun?"

"Hamba kira pendapat Song-ciangkun itu benar sekali. Dan hamba juga akan mengirim penyelidik, yaitu Coa-ciangkun, hamba akan memberi sebuah surat untuk Un-ciangkun sehingga sewaktu-waktu dia membutuhkan bantuan, akan mendapatkan bantuan itu dengan mudah."

Kaisar mengangguk-angguk setuju

"Baiklah, sekarang juga engkau harus bersiap dan berangkat ke timur, Song-ciangkun."

"Hamba siap, Yang Mulia."

Persidangan itu dibubarkan dan Panglima Bouw Kin Sek segera menulis sesampul surat untuk Panglima Un di Huicu dan memberikan surat itu kepada Thian Lee. Setelah memesan agar Thian Lee berhati-hati dan panglima muda itu pergi meninggalkannya, Panglima Bouw Kian Sek lalu memanggil wakilnya, yaitu Coa-ciangkun.

"Coa-ciangkun. Sri Baginda Kaisar telah mengutus Thian Lee untuk melakukan penyelidikan di timur. Akan tetapi hatiku masih kurang puas. Aku menghendaki agar engkau pun diam-diam melakukan penyelidikan ke sana, siapa tahu engkau dapat berhasil lebih baik daripada Song-ciangkun."

Perwira yang menjadi wakilnya itu bernama Coa Kun dan dia seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang cerdik sekali. Biarpun atasannya hanya berkata demikian, namun Coa Kun sudah dapat menduga apa isi hati atasannya itu. Dia tahu bahwa atasannya itu, sebagai Panglima tua, tentu merasa iri kepada Song-ciangkun yang disebut Panglima Muda akan tetapi yang kedudukannya lebih tinggi darinya. Daerah timur sampai ke pantai adalah daerah kekuasaannya, di mana dia yang bertanggung jawab. Akan tetapi kini Kaisar mengutus Thian Lee untuk melakukan penyelidikan, seolah tidak percaya kepadanya! Maka, Coa Kun tersenyum dan mengangguk.

"Baiklah, Ciangkun. Akan saya usahakan agar saya dapat mendahului Song-ciangkun dalam membongkar pemberontakan ini dan memadamkannya."

"Bagus. Song-ciangkun akan mendapat bantuan anak buah dari Un-ciangkun secara terbatas, akan tetapi engkau sebagai atasan Un-ciangkun dapat menggunakan pasukannya, berapa saja yang kau kehendaki. Juga kalau perlu engkau dapat menggerakkan pasukan pesisir yang dipimpin oleh Phoa-ciangkun. Kedua perwira itu adalah bawahanmu langsung, maka engkau tentu akan lebih mereka taati daripada Song-ciangkun."

Setelah menerima banyak pesan dan nasihat, Coa Kun lalu berangkat seorang diri menuju ke timur. Dia menanggalkan pakaiannya sebagai seorang perwira tinggi dan menyamar sebagai penduduk biasa. Dengan menggunakan seekor kuda yang baik, Coa-ciangkun ini mendahului Song Thian Lee menuju ke timur. Sementara itu, Song Thian Lee segera pulang ke gedungnya. Setibanya di rumah, dia langsung membuka pakaian dinasnya dan mengenakan pakaian biasa. Baru saja dia selesai berganti pakaian, isterinya memasuki ruangan itu.



Kisah Si Pedang Kilat Eps 14 Gelang Kemala Eps 15 Jodoh Si Naga Langit Eps 13

Cari Blog Ini