Ceritasilat Novel Online

Gelang Kemala 15


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 15




Lee Cin menjadi girang bukan main ketika melihat siapa yang muncul di situ. Thian Lee! Akan tetapi Thian-te Mo-ong mengerutkan alisnya, semakin penasaran dan marah ketika melihat bahwa yang merampas sulingnya hanyalah seorang pemuda yang sederhana! Thian Lee lalu menghampiri Lee Cin dan sekali dia menggerakkan suling itu, tubuh Lee Cin telah dibebaskannya dari totokan dan suling itu dia serahkan kembali kepada Lee Cin.

"Untung engkau segera muncul Thiah Lee. Akan tetapi hati-hatilah, kakek itu adalah Thian-te Mo-ong, Datuk Selatan dan dia lihai sekali."

Thian Lee memandang ke arah tiga sosok mayat yang berserakan di situ dan dia bertanya, "Lee Cin, apakah yang telah terjadi di sini?"

"Aku dikeroyok Coat-beng-kwi dan dua orang kawannya. Agaknya mereka itu dapat meloloskan diri ketika ditangkap dan kebetulan bertemu denganku di sini. Aku dikeroyok tiga dan kewalahan. Lalu muncul Thian-te Mo-ong membunuh mereka bertiga."

"Ah, dia menolongmu dan kenapa kemudian bertanding denganmu?"

"Habis, dia hendak memaksa aku ikut dengan dia sebagai murid. Aku tidak dan dia memaksaku."

Sementara itu, Thian-te Mo-ong menjadi semakin jengkel melihat dua orang muda itu bercakap-cakap berdua tanpa mempedulikan dirinya, seolah dia tidak berada di tempat itu.

"Hei, orang muda, siapakah engkau yang berani menentangku? Mengakulah sebelum engkau mati tanpa nama!" bentaknya dan Thian-te Mo-ong melangkah maju menghampiri Thian Lee.

Pemuda ini lalu menghadapi kakek itu dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada.

"Maafkan aku locianpwe, Bukan sekali-kali aku hendak menentang Locianpwe, melainkan nona ini adalah seorang sahabatku dan aku minta Locianpwe tidak mengganggunya lagi."

"Siapa namamu dan siapa pula gurumu?"

"Namakii Song Thian Lee dan guruku banyak, Locianpwe, di antara mereka adalah Liok-te Lo-mo dan Jeng-ciang-kwi," Thian Lee tidak mau menyebutkan nama Tan Jeng Kun yang tidak ingin dikenal orang, dan dia menyebutkan nama dua orang gurunya yang pertama dan ke dua dengan harapan bahwa nama dua orang tokoh sesat itu akan membuat kakek ini tidak akan mengganggunya lebih lanjut karena telah mengenal guru-gurunya.

"Ah jadi engkau murid Liok-te Lo-mo dan Jeng-ciang-kwi? Hemm, bahkan kedua orang gurumu itu saja tidak akan berani menentangku! Akan tetapi engkau muridnya, sudah berani kurang ajar terhadapku. Aku harus memberi hajaran kepadamu!"

"Locianpwe, aku tidak mencan permusuhan dengan siapapun juga. Harap suka membiarkan kami berdua pfergi dari sini."

"Hemm, tidak semudah itu Engkau harus mengenal dulu kelihaianku, dan kalau Nona itu hendak membantumu mengeroyokku, boleh saja!" Kakek itu menantang dengan sombong.

Lee Cin yang merasa penasaran dan marah kepada kakek itu lalu berkata dengan nada mengejek, "Mo-ong, jangan takabur! Melawan Thian Lee seorang saja engkau tidak akan menang, kalau aku ikut pula maju mengeroyok, tentu dalam belasan jurus saja engkau sudah akan bertekuk lutut. Akan tetapi aku tahu bahwa Thian Lee bukanlah seorang yang suka main keroyokan, maka aku hendak melihat bagaimana engkau akan mampu menandinginya." Lee Cin bukan, hanya mengejek, melainkan ia sudah dapat menyelami watak Thian Lee yang gagah perkasa. Tentu pemuda itu tidak mau kalau ia ikut mengeroyok kakek itu. Demikianlah sifat seorang yang gagan perkasa dan ia tahu bahwa watak Thian Lee adalah watak seorang pendekar yang gagah perkasa.

Thian-te Mo-ong marah sekali.

"Kalau begitu, engkau lihat betapa aku akan menghajar murid Liok-te Lo-mo dan Jeng-ciang-kwi ini. Thian Lee, bersiaplah engkau!"

Thian Lee tidak berani memandang ringan kakek ini. Dia sudah mendengar akan nama besar Empat Datuk Besar di dunia persilatan dan kakek di hadapannya ini adalah seorang di antara mereka. Kalau dia ingin dapat menandingi ilmu kepandaian kakek ini, dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya.

"Aku telah siap, Locianpwe," katanya dengan sikap menghormat.

"Sambutlah ini!" bentak Thian-te Mo-ong. Bentakannya nyaring dan mengandung tenaga khikang sepenuhnya, kemudian tangan kirinya meluncur ke depan dengan cengkeram ke arah muka Thian Lee sedangkan tangan kanan menyusul gerakan pancingan itu menghantam ke arah perutnya. Hantaman tangan kanan kini dilakukan dengan Iwee-kang (tenaga dalam) sepenuhnya sehingga tangan yang terbuka jari-jarinya itu mengeluarkan suara angin menderu.

Namun, dengan ringan sekali Thian Lee mengelak, mula-mula menarik kepalanya ke belakang, lalu memutar tubuh sehingga pukulan lawan ke arah perutnya mengenai tempat kosong. Akan tetapi Thian-te Mo-ong sudah menyusulkan serangan berikutnya dan kini bahkan kedua tangannya menghantam ke arah kepala dari atas bawah. Thian Lee tidak mundur dia memang ingin menguji tenaganya untuk menghadapi tenaga Mo-ong, maka dia mengangkat kedua tangannya menangkis sambil mendorong dengaft tenaga Thian-te Sinkang. Tidak dapat dihindarkan lagi dua pasang lengan itu bertemu di udara.

"Dukkkk!" Dua tenaga yang dahsyat saling bertemu dan akibatnya, tubuh Thian-te Mo-ong agak terpental ke belakang sedangkan kedua kaki Thian Lee masuk ke dalam tanah sampai lima sentimeter! Keduanya maklum bahwa tenaga sin-kang mereka seimbang dan hal ini sungguh mengejutkan Thian-te Mo-ong. Mo-ong tadi telah mengerahkan seluruh tenaganya dan pemuda itu mampu menahan pukulannya. Padahal menurut perhitungannya, bahkan Liok-te Lo-mo atau bahkan Jeng-ciang-kwi sendiri belum tentu akan mampu menahannya! Bagaimana mungkin murid mereka dapat memiliki tenaga yang demikian hebatnya? Tentu saja dia tidak tahu bahwa selain mempunyai dua orang guru itu, Thian Lee masih digembleng oleh orang yang lebih lihai lagi, yaitu Tan Jeng Kun dan bahkan lebih dari itu, Thian Lee telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat dahsyat dari seorang sakti dan telah makan jamur ular belang yang memberinya tenaga yang hebat.

Kini Thlan-te Mo-ong menjadi penasaran sekali dan mulailah dia menyerang pemuda itu dengan ilmu silatnya tangan kosong yang ampuh. Iblis Selatan ini memiliki ilmu silat tangan kosong yang berdasarkan Im dan Yang sehingga terdapat perubahan-perubahan yang saling bertentangan. Kadang pukulannya menggeledek, keras mengandung tenaga kasar yang amat kuat, dan tiba-tiba saja pukulannya berubah lembut namun mengandung tenaga lembut yang berbahaya ka
rena dapat mendatangkan luka dalam tubuh lawan.

Akan tetapi betapa terkejutnya krtika dia melihat pemuda itu dapat menandinginya! Bahkan dalam tenaga sin-kang, pemuda itu pun telah menguasai tenaga kasar dan lemas secara bergantian sehingga dapat melayaninya dengan baik. Kalau dia menggui akan tenaga kasar, pemuda itu pun menyambutnya dengan tenaga kasar dan bagaimanapun juga, dia sudah tua dan melawan seorang pemuda, dia tidak dapat mengandalkan tenaga kasar. Akan tetapi kalau dia menggunakan tenaga lemas, pernuda itu pun menyambutnya dengan tenaga dalam yang halus namun mengandung kekuatan seperti hawa dan air.

Thian Lee juga tidak berani mengalah terhadap kakek yang sakti ini. Dia tahu bahwa balas menyerang menjadi perta-hanan yang baik, maka dia pun nembalas serangan kakek itu sehingga terjadilah pertandingan yang amat menarik. Saling pukul, saling totok, saling cengkeram dan saling menendang. Akan tetapi semua se-rangan, baik dari Mo-ong maupun dari Thian Lee dapat dielakkan atau ditangkis oleh lawan. Mereka sudah bertanding sampai seratus jurus dan belum nampak tanda-tanda siapa yang lebih unggul. Sementara itu, soal usia merupakan ke-nyataan yang tak dapat dielakkan lagi. Thian-te Mo-ong mulai merasa lelah dan kalau pertandingan tangan kosong itu dilanjutkan, dia akan kalah, bukan kalah karena ilmu silat, melainkan kalah karena kehabisan napas!

"Singgg....!" Nampak dua sinar berkelebat dan kakek itu telah mencabut sepasang pedangnya! Akan tetapi agaknya dia masih menjaga nama besarnya sebagai seorang datuk, maka dia tidak segera menyerang, melainkan berdiri tegak dan berkata dengan sikap yang angkuh.

"Orang muda, keluarkan senjatamu!" tantangnya, keringatnya mengucur.

Thian Lee tidak berani memandang rendah lawannya, akan tetapi diam-diam dia girang sekali. Kalau dengan tangan kosong, entah berapa lamanya dia harus bertanding karena kakek itu benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh. Kalau bersenjata, lain lagi karena dia dapat mengandalkan Jit-goat Kiam-sut. Maka dia pun segera menurunkan buntalan pakaiannya yang sejak tadi menempel di punggungnya, lalu mengambil pedangnya. Ketika dia menghunus pedang itu nampak sinar berkilat menyilaukan mata dan pedang Jit-goat Sinkiam telah berada di tangan kanannya sedangkan sarung pedang berada di tangan kirinya. Sarung pedang itu pun terbuat dari baja murni yang tipis namun kuat, sehingga dapat pula dipergunakan sebagai perisai untuk mengimbangi pedang lawan.

"Locianpwe, aku sudah siap!" kata? Thian Lee.

Lee Cin melihat betapa kakek itu agak terengah dan muka serta lehernya basah oleh keringat, sedangkan Thian Lee masih nampak biasa. Hal ini membuatnya semakin kagum. Tadi ketika melihat jalannya perkelahian, dara ini sudah kagum sekali kepada Thlan Lee. Kini melihat betapa jelas kakek itu kewalahan, ia girang bukan main dan ia tidak lupa mengejek, jelas kakek itu kewalahan, ia girang bukan main dan ia tidak lupa mengejek,

"Mo-ong, hati-hati engkau. Sebentar lagi, kalau tidak lehermu yang putus, tentu napasmu! Aku berani bertaruh!"

Thian-te Mo-ong tidak mempedulikan ejekan gadis itu. Dia cukup kaget melihat pedang di tangan Thian Lee. Biarpun dia tidak mengenal pedang itu, akan tetapi sebagai seorang ahli dia mengenal pedang pusaka yang ampuh. Sepasang pedangnya sendiri juga terbuat dari bahan baja yang murni, amat tajam dan juga kuat. Akan tetapi dia mengertii bahwa pedang yang berada di tangan pemuda itu lebih ampuh lagi.


Thian Lee, lihat seranganku!' bentaknya dan cepat sekali kedua pedangnya meluncur ke depan. Thian Lee memutar pedangnya menangkis dan sekaligus dia menangkis kedua pedang itu.

"Trang! Tranggg!" Nampak bunga api berpijar dan kakek itu surut ke belakang untuk melihat keadaan sepasang pedangnya. Biarpun tadi dia merasakan kedua tangannya tergetar hebat, namun dia merasa lega melihat sepasang pedangnya tidak menjadi rusak. Maka dia pun memutar siang-kiam (sepasang pedang) itu dengan hebat dan menerjang maju. Dua gulungan sinar pedang itu bagaikan ombak samudra bergulung-gulung menerpa ke arah Thian Lee.

Namun pemuda ini tidak menjadi gentar. Dengan lincah dia nnengelak dari tamparan pedang yang membabat ke arah lehernya dan menangkis pedang kedua yang menusuk dadanya, kemudian kakinya menendang secepat kilat ke arah tangan yang memegang pedang kanan.. Kakek itu menarik tangannya yang terancam tendangan dan sekali lagi menusukkan pedang kiri ke arah lambung Thian Lee.

"Trangg..." Pedang itu tertangkis sarung pedang yang dipegang oleh tangan kiri Thian Lee. Kemudian pemuda itu membalas, memutar pedangnya menyambar-nyambar bagaikan seekor naga di angkasa. Lawannya cepat memutar sepasang pedang membentuk perisai untuk melindungi dirinya.

Bukan main serunya pertandingan ini. Bahkan Lee Cin sendiri yang sudah memUiki ilmu kepandaian tinggi, menjadi bengong dan terbelalak kagum. la tahu bahwa kalau ia yang harus melawan kakek itu, ia tidak akan mampu bertahan sampai tiga puluh jurus! Akan tetapi Thian Lee bukan saja mampu mengimbangi kakek itu, bahkan kini gulungan sinar pedang yang berkilat-kilat dari pemuda itu mulai mendesak, gulungan sinar pedang itu mulai melebar dan meluas sedangkan dua gulungan sinar pedang Mo-ong makin menyempit! Biar-pun Lee Cin tidak dapat mengikuti pertandingan itu dengan pandang matanya karena terlalu cepat gerakan kedua orang itu, akan tetapi dari gulungan sinar pedang itu ia dapat mengetahui bahwa Thian Lee mulai dapat mendesak lawannya.

"Locianpwe, maafkan aku!" Tiba-tiba terdengar seruan Thian Lee dan pemuda itu meloncat keluar dari medan pertan-dingan. Lee Cin melihat betapa kakek itu telah bermandikan keringatnya sendiri dan baju di dadanya yang bergambarkan Im-yang itu telah terobek! Tahulah ia bahwa Thian Lee tidak mau membunuh atau melukai kakek itu, hanya merobek baju di bagian dadanya. Akan tetapi tentu saja cukup menjadi bukti bahwa pemuda itu telah keluar sebagai pemenang setelah melalui pertandingan pedang yang seru selama seratus jurus lebih dan agaknya Thian-te Mo-ong juga mengetahui hal ini. Dia memandang pemuda itu dengan sinar mata kagum, akan tetapi keangkuhannya melarang dia untuk mengakui kekaiahannya. Pedang di kedua tangannya digerakkan dan pedang-pedang itu telah lenyap ke dalam sarung pedang, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan berjalan cepat sekali pergi dari situ tanpa sepatah pun kata keluar dan mulutnya

"Thiah Lee, engkau sungguh hebat!" Lee Cin menghampiri pemuda itu dan memujinya dengan jujur.

"Aku mernang sudah lama tahu bahwa engkau m se-orang yang lihai sekali, akan tetapi sungguh tak pernah aku dapat membayangkan engkau akan mampu menandingi seorng di antara Empat Datuk Besar Wah, tingkat kepandaianmu sudah melebihi dari tingkat guruku sendiri!'

"Ah, tidak perlu terlalu memujiku, Lee Cin. Hanya karena kebetulan saja kakek itu mengalah dariku. Akan tetapi, bagaimana engkau sampai dapat tiba di tempat ini?"

"Aku memang sengaja pergi ke Hong-san dan tanpa disengaja bertemu dengan tiga orang jahat itu yang mengeroyokku. Mo-ong menolongku membunuh tiga orang ini, akan tetapi ternyata pertolongannya berpamrih. Aku hendak dipaksa menjadi muridnya. Siapa sudi menjadi murid iblis tua itu?"

Thian Lee menghela napas panjang. Agaknya gadis ini sama sekali tidak ingat bahwa gurunya adalah Ang-tok Mo-U yang dalam hal kekejaman belum tentu fcalah oleh Thian-te Mo-ong! "Sudahlah, Lee Cin. Percakapan kita lanjutkan nan-ti. Sekarang lebih dulu harus mengubur jenazah-jenazah itu."

Lee Cin mengerutkan alisnya dan ia malah duduk di atas batu.

"Menguburkan jenazah orang-orang jahat itu? Untuk apa? Mereka itu hanya orang-orang ja-hat, seperti blnatang-binatang buas."

"Hemm, ketika masih hidup mungkin mereka itu melakukan kejahatan. Akan tetapi mereka itu tetap manusia dan sekarang mereka adalah jenazah-jenazah manusia yang harus dlhormati dan dirawat. Aku akan menguburkan mereka

Akan tetapi Lee Cin hanya tersenyurtl dan menonton saja ketika Thian Lee menggali lubang kemudian mengubur tiga jenazah itu. Setelah selesai barulah Thian jsa Lee membersihkan kedua tangannya.

"Sebetulnya engkau ada keperluan apakah datang ke Hong-san, Lee Cin?" tanya Thian Lee sambil menatap wajah yang cantik jelita itu.

Sejak tadi Lee Cin mengikuti semua perbuatan Thian Lee dengan pandang matanya dan kini ia memandang wajah pemuda itu dengan heran.

"Thian Lee, apakah selama hidupmu engkau menjadi orang yang begini baik hati? Apakah lamanya engkau tidak pernah mendendam kepada orang-orang yang berbuat jahat kepadamu dan mudah saja memaafkan kejahatannya?"

"Aku bukan orang baik, hanya orang yang ingin memenuhi kewajibanku sebagai seorang manusia, Lee Cin. Dendam kebencian hanya meracuni hati sendiri, sama sekali tidak ada gunanya dan den-dam kebencian hanya suatu kebodohan manusia yang akan menyeretnya ke da-larn jurang penderitaan. Kalau ada orang kaukatakan berbuat jahat kepada kita lalu kita membalas kejahatannya itu, lalu apa artinya perbuatan kita membalas dendam itu? Apakah lalu tidak sama saja dengan perbuatannya? Kita membalas kekejaman dengan kekejaman, membalas kejahatan dengan kejahatan, menempatkan diri klta di tempat yang sama de-ngan mereka yang kita sebut jahat. Tidak, Lee Cin, semoga dijauhkan Tuhan aku dari segala bentuk dendam kebencian, jahat. Tidak, Lee Cin, semoga dijauhkan Tuhan aku dari segala bentuk dendam kebencian,

"Engkau memang orang aneh sekali, Thian Lee. Kalau aku tidak begitu. Siapa yang baik kepadaku akan kubalas dengan kebaikan pula. Akan tetapi siapa yang jahat kepadaku akan kubalas sesuai de-ngan kejahatannya!"

"Kalau begitu pendapatmu, engkau keliru, Lee Cin. Engkau akan mengikat dirimu dengan pertalian karma yang tiada akan habisnya, dendarn mendendam dan balas-membalas. Kalau engkau berbuat baik kepada orang lain karena untuk membalas budi, itu bukanlah kebaikan lagi namanya, hanya semacam hutang-pihutang belaka. Dan kalau engkau membalas kejahatan dengan kejahatar pula, maka tidak ada bedanya engkau dengan orang yang kauanggap sebagai musuhmu itu."

"Akan tetapi, bukankah engkau sendiri sebagai seorang pendekar menentang kejahatan, berarti engkau membenci penjahat?"

"Tidak, aku tidak membenci penjahat. Yang kutentang hanyalah perbuatannya, yang kucegah hanyalah kejahatannya. Sama sekali aku tidak membenci orangnya. Mereka itu juga manusia seperti se
kita, Lee Cin. Hanya ketika mereka melakukan kejahatan, mereka itu sedang sakit. Yang sakit itu batinnya. Akan tetapi orang sakit dapat saja sembuh, Lee Cin. Yang ini hari disebut penjahat, mungkin saja besok dia disebut orang baik karena dia telah sembuh dari sakitnya. Sebaliknya, yang sehat dapat saja menjadi sakit. Yang hari ini disebut orang baik, mungkin saja sewaktu-waktu dia dianggap jahat karena terserang penyakit itu. Manusia itu selalu berubah karena itu jangan sekali-kali membenci manusianya, melainkan tentanglah kejahatannya."

"Wah, engkau memblngungkan aku, Thian Lee."

"Sudahlah, kelak engkau akan mengerti sendiri. Oya, engkau mencari apakah sampai ke Hong-san ini?"


Hemmm, kalau kuceritakan kepadamu, tentu engkau akan mencelaku dan tidak menyetujui pula," kata Lee Cln yang teringat akan kata-kata Thian Lee tentang pembalasan dendam tadi.

"Kalau engkau hendak melakukan suatu perbuatan yang tidak benar, tentu saja aku tidak setuju, bahkan akan menghalangimu, Lee Cin. Engkau seorang gadis yang baik sekali, bahkan memliki dasar watak yang baik, aku tidak ingin engkau terperosok ke dalam perbuatan yang tidak-benar."

Tiba-tiba Lee Cin penuh perhatian dan menatap wajah tampan gagah itu dengan penuh perhaian.

"Thian Lee, mengapa engkau demikian memperhatikan keadaan diriku? Mengapa? Mengapa engkau peduli apa yang akan kulakukan, baik atau jahat?"

"Mengapa? Tentu saja aku memperhatikan keadaan dirimu. Bukankah kita telah lama saling mengenal, bahkan telah menjadi sahabat balk? Aku kagum dan suka kepadamu, Lee Cin, maka aku tidak ingin melihat engkau berbuat jahat."

"Hanya suka? Tidak cinta?"

"Ah, jangan bicara soal cinta, Lee Cin. Aku tidak mengertl."

"Engkau bodoh atau memang dingin. Enci Ceng itu mati-matian mencintamu, engkau juga tidak mengerti. Dan aku... ah, aku begini bodoh untuk menclntamu, akan tetapi engkau juga tidak peduli. Engkau hanya suka, sebagai sahabat! Ahh, aku mulai benci kepadarnu, Thian Lee'"

Thian Lee memandang blngung. Benci? Baru saja mengatakan cinta dan kini berbalik benci! Apakah benci itu kebalik-an cinta, ataukah hanya permukaan yang lain saja dari cinta? Dia semakin bingung. Dia memang tidak tahu arti cinta. Ada semacam perasaan di hatinya terhadap Cin Lan, dia sendiri tidak tahu apakah itu cinta, akan tetapi setiap kali teringat Cin Lan, ada semacam kelembutan tersendiri terasa di hatinya.

"Kau boleh benci kepadaku, Lee Cin, akan tetapi aku tidak membencimu dan tidak akan pernah membencimu. Nah, engkau belum mengatakan untuk keperlu-an apa engkau datang ke Hong-san ini."

"Aku mencari seseorang untuk mem-balas dendam!" jawab gadis itu dengan suara menantang.

"Sudah, engkau tidak perlu mengetahui lebih banyak!" Setelah berkata demikian, Lee Cin lalu meloncat dan meninggalkan Thian Lee, mendaki Bukit Hong-san.

Thian Lee tertegun. Membalas dendam? Dan orang yang tinggal di puncak Hong-san adalah Souw Tek Bun, bengcu kaum kang-ouw. Bahkan dia sendiri pun hendak menghadap Souwbengcu. Dia pernah diberitahu oleh supeknya, yaitu Souw Can, pangcu dari Kim-liong-pang, bahwa adik Pangcu itu adalah seorang gagah perkasa yang telah diangkat menjadi bengcu oleh semua orang gagah, bahkan direstui oleh Kaisar. Kini, melihat banyaknya orang kangouw yang diperalat oleh Pangeran Tua, dia hendak mencari keterangan kepada bengcu itu dan sekalian minta nasihat apa yang harus dilakukannya. Sebagai seorang bengcu tentu mempunyai pengaruh terhadap orang-orang kang-ouw dan mungkin Souw-beng-cu akan mampu mencegah terjadinya pemberontakan yang dilakukan orang-orang kang-ouw yang diperalat oleh Pangeran Tua.

Selama beberapa hari ini dia telah berhubungan dengao Lauw Tek, pendekar yang setia kepada Kaisar itu, yang mula-mula memberi tahu kepadanya tentang gerakan yang dilakukan oleh Pangeran Tua. Dan atas desakan Lauw Tek pula dia kinl pergi ke Hong-san untuk bertemu dengan Souw Tek Bun. Maka, mendengar niat Lee Cin untuk membalas dendam kepada seseorang di Hong-san, Thian Lee menjadi khawatir sekali. Siapa lagi kalau bukan Souw Tek Bun yang dicari gadis itu? Dia lalu cepat bergerak membayangi Lee Cin yang berjalan cepat mendaki bukit Hong-san.

Souw Tek Bun yang oleh dunia kang-ouw dianggap sebagai bengcu baru itu tinggal di sebuah pondok kecil saja di puncak Hong-san. Dia hidup sebatang kara, tidak berkeluarga dan melihat keadaannya yang sederhana dan menyendiri, sungguh sukar dipercaya bahwa dia adalah bengcu, orang yang dihormati oleh seluruh tokoh dunia kang-ouw. Hidupnya sebagai seorang pertapa, juga petani karena dia bekerja di ladangnya yang berada di belakang pondok. Dari hasil ladang itulah dia makan setiap kali membutuhkannya.

Biarpun hidup seorang diri, namun dia tidak kesepian. Sebagai bengcu, seringkall ada saja orang kang-ouw datang berkunjung, untuk melaporkan sesuatu, atau minta pertimbangan, bahkan ada yang minta keadilan kalau terjadi sengketa antara orang-orang kang-ouw.

Souw Tek Bun, sebelum menjadi beng-cu, adalah seorang pendekar perkasa yang dijuluki Sin-kiam Hok-mo karena ilmu pedangnya yang hebat. Ilmu pedang inl merupakan ilmu keluarga Souw yang dirangkai sendiri oleh Souw Tek Bun ke-mudian terkenal sebagai ilmu pedang keluarga Souw karena tidak ada orang lain yang pernah mempelajarinya. Souw Tek Bun juga tidak mempunyai murid, maka hanya dia seoranglah yang mahir ilmu pedang itu. Seperti diketahui, Souw Tek Bun mempunyai seorang kakak, yaitu Souw Can. Akan tetapi kakaknya itu adalah murid Kun-lun-pai, sedangkan Souw Tek Bun mempelajari banyak macam ilmu silat dari berbagai aliran sampai dia dapat merangkai sendiri ilmu silat dan ilmu pedang. Sepak terjangnya dalam dunia kang-ouw sudah dikenal semua orang dan dia terkenal adii, jujur dan budiman.

Karena itulah maka para tokoh dan datuk kang-ouw memilihnya menjadi bengcu. Untuk menjadi seorang bengcu memang dibutuhkan orang yang Jujur, adil dan dapat dipercaya. Terutama sekali yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah dan Souw Tek Bun adalah seorang pendekar yang sudah mendapat penghargaan dari Kaisar Kian Liong. Dia membantu memadamkan ke-kacauan yang dibuat oleh orang-orang tak bertanggung jawab dan untuk jasanya itu, Souw Tek Bun menerima sebatang pedang Cengliong-kiam dari Kaisar Kian Liong.

Ketika Lee Cin tiba dipuncak tempat tinggal bengcu itu, Souw Tek Bun sedang berlatih ilmu pedang. Biarpun setiap hari dia sibuk di ladang atau di pondok, akan tetapi pendekar ini tidak pernah lupa untuk berlatih ilmu pedangnya. Pedang Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) pemberian Kaisar itu dimainkan dengan ilmu silat Sin-kiam Hok-mo dan merupakan sinar kehijauan bergulung-gulung bagaikan seekor naga hijau bermain-main di angkasa.

Akan tetapi biarpun, dia sedang bermain pedang, pendengaran Souw Tek BUR cukup tajam untuk dapat menangkap gerakan Lee Cin yang datang. Dla segera menghentikan gerakan pedangnya, menoleh ke kiri dan berkata dengan suara mengandung penuh kewibawaan,

"Siapa yang datang berkunjung?

Lee Cin keluar dari balik batang pohon dan bengcu itu terkejut melihat bahwa yang mengunjunginya adalah seorang gadis yang masih amat muda dan cantik. Akan tetapi gadis itu tidak memberi hormat kepadanya seperti layaknya seorang tamu, bahkan segera maju menghampirinya dan bertanya dengan suara lembut.

"Apakah aku berhadapan dengan orang yang bernama Souw Tek Bun?"

"Benar, Nona. Siapakah Nona dan ada keperluan apakah Nona mencariku
.

"Aku bernama Bu Lee Cin, dan aka datang untuk memenuhi perintah suboku untuk membunuhmu, membalaskan dendam sakit hati Subo!" kata Lee Cir sambil melolos pedangnya, yaitu Ang-coa kiam dari libatan pinggangnya.

Akan tetapi Souw Tek Bun menyarungkan pedangnya dan bertanya dengan tenang dan penuh kesabaran.

"Siapakah subomu, Nona?"

"Suboku adalah Ang-tok Mo-li."

Souw Tek Bun memandang gadis itu dengan mata terbelalak dan penuh selidik, mengamati wajah gadis itu seperti sedang menilai dan membandlngkan. Kemudian dia menganggukangguk, dan menggeleng kepala sambil menghela napas panjang.

"Bu Siang... Bu Siang... sampai sekarang hatimu tetap saja amat keras...

Melihat sikap orang itu, Lee Cin menjadi tidak sabar.

"Souw Tek Bun, bersiaplah untuk melawanku. Cabut pedangmu'"

Akan tetapi pendekar itu sama sekali tidak meraba gagang pedangnya, bahkan bertanya, "Namamu Bu Lee Cin? Nona, tahukah engkau siapa nama gurumu itu?"

"Guruku adalah Ang-tok Mo-li, sudah kukatakan itu!" jawab Lee Cin dengan ketus, "Tentu engkau sudah mengenalnya dengan baik karena Subo adalah musuh besarmu!"

"Tentu, aku mengenalnya dengan baik sekali. Akan tetapi, Nona, agaknya engkau tidak tahu bahwa nama gurumu itu adalah Bu Siang. Dan engkau diberinya marga Bu juga? Ah, Bu Siang... setidaknya engkau masih mengakui anakmu...."

Lee Cin mengerutkan alisnya.

"Apa artinya semua ini? Souw Tek Bun, lebih baik engkau cepat mencabut pedangmu daripada bicara ngacau tidak karuan "

"Kalau aku tidak mau mencabut pedang dan tidak mau melawanmu, apakah engkau juga akan membunuhku begitu saja?"

"Hemmm, aku bukan orang macam itu. Aku tidak suka membunuh orang macam itu. Aku tidak suka membunuh orang yang tidak melawanku, akan tetapi aku tidak percaya engkau sedemikian penakut untuk melawan aku!"

"Lee Cin, sampai mati aku tidak akan mungkin melawanmu. Tahukah engkau siapa dirimu sesungguhnya? Yang kausebut subo itu sebetulnya adalah ibu kandungmu, dan aku yang hendak kautantang bertanding ini, aku inl adalah ayah kandungmu."

Lee Cin terbelalak dan mundur dua langkah. Akan tetapi sebentar kemudian ia melangkah maju lagi.

"Aku tidak percaya! Engkau berbohong untuk menggagalkan niatku membalas dendam Subo!" la membentak marah.

"Aihh, Lee Cin, sungguh kasihan engkau, dipermainkan dan diracuni sendiri oleh ibu kandungmu. Engkau ingin mendengar ceritanya? Nah, dengarlah baik-baik kemudian pertimbangkan sendiri apakah engkau sudah sepatutnya menan-tangku bertanding ataukah tidak." Dengan suara tenang, kemudian Souw Tek Bun bercerita, didengarkan oleh Lee Cin yang berdiri termangu dengan muka agak pucatt.

Tujuh belas tahun yang lalu, Souw Tek Bun yang ketika itu masih merupa-kan seorang pemuda yang tampan dan gagah, telah menjalin hubungan cinta dengan Bu Siang. Mereka saling mencinta, melakukan perantauan berdua dan hubungan mereka sudah sedemikian jauhnya. sehingga mereka telah melakukan hubungan suami isteri walaupun belum menikah. Akan tetapi, hubungan yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu muiai retak ketika Souw Tek Bun melihat bahwa Bu Siang, murid seorang datuk sesat, ternyata memiliki watak /ang amat kejam. Bahkan Bu Siang mempelajari ilmu sesat, suka menggunakan racun dan menjadi pawang ular pula. Biarpun dia sudah mencoba untuk menentangnya, akan tetapi Bu Siang tidak peduli, bahkan akhirnya di dunia kang-ouw ia mendapat julukan Ang-tok Mo-Li (Iblis Betina Racun Merah) karena sepak terjangnya yang kejam, membunuh orang tanpa berkedip.

Karena makin lama sepak terjang Ang-tok Mo-li Bu Siang semakin kejam, akhirnya Souw Tek Bun menjauhkan diri. Hubungan mereka putus, padahal ketika itu Bu Siang telah mengandung!

"Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk menyadarkannya, bahkan ketika ia melahirkan seorang puteri, aku berjanji unAuk menikahinya kalau saja ia rela mengubah jalan hidupnya. Akah tetapi, Bu Siang sama sekali tidak mau men-dengarkan permintaanku sehingga akhirnya kami berpisah. Bu Siang pergi membawa anaknya itu, anakku! Aku mendengar saja betapa di dunia kang-ouw, ia menjagoi dan menjadi seorang datuk wanita yang ditakuti. Akhirnya aku bertemu seorang wanita dan menikah de-ngannya. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Bu Siang, ibumu itu, Nona?"

Souw Tek Bun menghela napas panjang dan Lee Cin mendengarkan dengan muka pucat, hatinya bimbang dan ragu. la demikian tertarik oleh cerita itu sehing-ga di luar kesadarannya, ia bertanya, "Apa yang dilakukannya?" "la membunuh isteriku yang baru setengah tahun menjadi isteriku. Ia membunuh wanita yang sama sekali tidak berdosa itu. la sempat bentrok denganku, akan tetapi pada waktu itu ia masih belum mampu menandingiku. Aku mendengar hahwa selama ini ia memperdalam ilmunya. Akan tetapi mengapa ia tidak datang sendiri mengambil nyawaku?

Demikian kejam hatinya sehingga ia menyuruh engkau, anakku sendiri, untuk mewakilinya membunuh aku, ayah kandungmu. Lee Cin, engkau adaldh anak kandungku. Nah, apakah kini engkau masih hendak menantang aku bertanding? Nama margamu bukan Bu, itu nama marga ibumu, akan tetapi engkau bermarga Souw seperti aku."

Lee Cin berdiri bengong dan bingung, tidak tahu apa yang harus diperbuat atau dikatakan. Pedangnya terkulai lema's di tangannya.

"Lee Cin, aku ayahmu. Tegakah engkau membunuh ayahmu sendiri?" Souw Tek Bun kembali berkata dengan lembut.

Pada saat itu terdengar teriakan me-lengking . dan muncullah Ang-tok Mo-li dengan gerakan cepat sehingga yang nampak hanya bayangannya berkelebat, bayangan merah dan tahu-tahu ia sudah berdiri di depan Souw Tek Bun, di dekat puterinya.

"Lee Cin, jangan hiraukan dia, jangan dengarkan omongannya! Hayo cepat gerakkan pedangmu untuk membunuhnya!

Cepat!" seru Ang-tok Mo-li dengan suara memerintah.

Melihat munculnya subonya dan mendengar perintah itu, Lee Cin mengangkat tangan kanannya, siap menusukkan pedangnya ke dada yang bidang itu. Akan tetapi ketika ia melihat wajah yang gagah dan tenang itu, dengan senyum halus, tiba-tiba tangannya terkulai lagi.

"Subo... subo... benarkah apa yang diceritakannya tadi, bahwa Subo adalah ibuku dan dia adalah ayahku?"


Lee Cin, tidak usah banyak cakap. Bunuhlah dia, sekarang juga!" kembali wanita berpakaian merah itu mendesak.

"Bu Siang, engkau boleh membenciku, akan tetapi kenapa engkau demikian membenci anakmu sendiri, menyuruhnya membunuh ayah kandungnya?" kata Souw Tek Bun penuh penyesalan.

"Baiklah, kalau begitu biarkah aku sendiri yang membunuh kalian ayah dan anak!" Ang-tok Mo-li sudah mencabut kebutan merahnya dan meloncat tinggi untuk menyerang Souw Tek Bun dan Lee Cin'

Pada saat itu nampak sinar kilat ber-kelebat menangkis kebutan merah itu dan Ang-tok Mo-li terkejut karena sebagian bulu kebutannya putus! Ketika ia meloncat turun dan memandang, ternyata Thian Lee telah berdiri di depannya.

Kiranya kembali pemuda itu yang me-nandinginya! Hati Ang-tok Mo-li marah bukan main akan tetapi ia pun tahu bahwa ia tidak akan mampu menandingi pemuda yang amat lihai ini. Apalagi di situ terdapat Souw Tek Bun yang tidak boleh dipandang ringan. la lalu mendengus dan membalikkan tubuhnya.

"Lee Cin, mari kita pergi!" la mengajak muridnya.

Lee Cin memandang subonya dengan sinar mata lain dan menjawab, suaranya juga terdengar ketus, "Tidak, engkau... jahat! Aku ingin ikut ayahku!"

Mendengar ini, Ang-tok Mo-li melon-cat dan terdengar lengkingnya. Sementa-ra itu, Souw Tek Bun merasa girang sekali mendengar ucapan Lee Cin dan dia pun merangkul gadis itu sambil ber-kata, "Lee Cin, anakku....!" ''


Ayah...


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Keduanya berangkulan dan keduanya merasa betapa hati mereka penuh dengan kebahagiaan. Kini Lee Cin percaya sepenuhnya bahwa pria itu memang ayah kandungnya. Hal ini diperkuat oleh sikap Ang-tok Mo-li tadi. la pun merasa me-nyesal sekali akan sikap Ang-tok Mo-li. Selama ini ia merasakan kasih sayang Ang-tok Mo-li kepadanya dan baru ia tahu bahwa subonya itu sesungguhnya adalah ibu kandungnya. Akan tetapi alangkah kejam ibu kandungnya itu yang sengaja menyuruh ia melakukan pembu-nuhan terhadap ayah kandungnya sendiri! 3elas perbuatan ibunya itu didorong oleh perasaan benci yang mendalam, dan ke-kejaman yang luar biasa. Pantas saja ayahnya tidak mau menikah dengan ibu-nya karena ibunya memang merupakan seorang iblis betina yang keji. Sebalik-nya, ayahnya adalah seorang pendekar budiman, seorang bengcu yang terhormat! Karena itu, tidak sukar baginya untuk memilih, yaitu memilih ayahnya. Apalagi baru saja tadi ibunya bahkan hendak membunuhnya, bersama ayahnya pula. Andaikata tidak ada Thian Lee, kalau ayahnya tidak melawan, mungkin saja mereka berdua akan tewas di tangan Ang-tok Mo-li yang kejam.

Setelah melepaskan keharuan hati mereka, Lee Cin lalu memperkenalkan Thian Lee kepada ayahnya, "Ayah, pemuda ini adalah Thian Lee, seorang sahabatku."

Thian Lee cepat memberi hormat kepada orang tua itu.

"Locianpwe, telah lama saya mendengar nama besar Lo-cianpwe, terimalah hormat saya."

Souw Tek Bun sejak tadi merasa kagum dan heran melihat munculnya pemuda ini. Gerakannya demikian cepat, pedangnya bergerak sedemikian lihainya ketika menangkis kebutan, bahkan Ang-tok Mo-li sendiri kelihatan gentar menghadapi pemuda ini.

"Orang muda, baru saja engkau telah menyelamatkan kami ayah dan a
ak," katanya memuji.

"Eh, Thian Lee! Jadi engkau tadi membayangiku naik ke puncak ini?" Lee Cin menegur Thian Lee, agak marah walaupun baru saja ia diselamatkan.

"Tidak, Lee Cin. Aku memang sengaja mendaki bukit ini karena aku ingin bertemu dengan Souw-locianpwe."

"Ah, engkau hendak bertemu dengan aku, orang muda. Ada keperluan apakah engkau hendak bertemu dengan aku dan siapa yang menunjukkan tempat ini padamu?"

"Saya mendapat petunjuk dari kakak Locianpwe sendiri, yaitu Souw-pangcu, Ketua Kimliong-pang di Pao-ting."

"Ah, dari Can-toako, Bagaimana keadaan Can-toako sekarang? Apakah perkumpuJannya mendapat kemajuannya?" Souw Tek Bun bertanya dengan nada suara gembira.

"Heee! 3adi kiranya Souw-pangcu itu masih kakak Ayah sendiri? Kalau begitu aku merasa girang sekali pernah mem-bantunya menghadapi pengacauan orang-orang jahat!" seru Lee Cin dan ia segera mencentakan pengalamannya ketika membantu Kim-liong-pang menghadapi musuh-musuh yang terlalu tangguh bagi perkumpulan itu.

Souw Tek Bun mendengarkan cerita anaknya dengan girang, lalu dia mengajak Lee Cin dan Thian Lee untuk bicara dt dalam pondoknya. Thian Lee lalu menje-laskan maksud kedatangannya.

"Mendiang ayah saya bernama Song, Tek Kw dan masih spte dari Supek Souw Can."

"Ah, aku pernah mendengar tentang kegagahan sepak terjang ayahmu itu, Thian Lee," kata Souw Tek Bun dengan ramah dan akrab.

"Lalu, apa maksi(dLa kunjunganmu ini?"

Thian Lee juga bercerita tentang per-golakan yang terjadi di kota raja dan tentang penyelidikannya terhadap Pangeran Tua yang mengumpulkan banyak orang kang-ouw. Juga dia menceritakan penyelidikan yang dilakukan oleh Lauw Tek betapa agaknya Pangeran Tua mempunyai niat untuk memberontak.

"Karena gerakan itu mengenai orang-orang kang-ouw yang akan diperalat oleh Pangeran Tua, maka saya datang berkun-jung untuk melaporkan dan mohon nasi-hat Locianpwe sebagai bengcu."

"Thian Lee, mendiang ayahmu adalah adik seperguruan dari kakakku, karena itu di antara kita adalah orang sendiri, maka jangan menyebut aku Locianpwe, cukup dengan paman saja."

"Baik, dan terima kasih, Paman Souw
.

"Sebetulnya urusan di kota raja Itu sudah banyak aku mendengar dari kawan-kawan, bahkan sempat kumlntakan nasi-hat dari Im Yang Sengcu Ketua Kun-lun-pai dan Hui Sian Hwesio wakil Ketua Siauw-lim-pai. Kami semua sudah setuju untuk menentang orang-orang kangouw yang hehdak membantu pemberontakan itu, dan masing-masing menjaga para anggauta sendiri agar jangan ada yang terjebak dan ikut gerakan yang tidak baik itu. Dan kebetulan sekali engkau datang kepadaku, Thian Lee. Aku melihat engkau seorang pemuda yang memiliki kemampuan tinggi sehingga Ang-tok Mo
li sendiri agaknya jerih melawanmu."

"Wah, Ayah tidak tahu! Thian Lee ini memang lihai bukan main. Subo... eh... Ibu... Ang-tok Mo-Li pernah bertanding melawan Thian Lee dan ia kalah. Bukan itu saja. Mungkin Ayah tidak percaya. Akan tetapi belum lama ini di kaki Bukit Hong-san aku bertemu dengan Thiante Mo-ong...."

Terkejutlah Souw Tek Ekiw "Datuk besar yang juga disebut Iblis Selatan itu
.

"Benar, Ayah. Tadinya aku bertemu dengan tiga orang tokoh sesat yang dulu mengganggu Kim-liong-pang, dan aku bersama Thian Lee pernah mengusir mereka. Mereka bertiga mengenalku dan segera mengeroyokku. Akan tetapi muncul Thian-te Mo-ong dan tiga orang itu lalu dibunuhnya dengan mudah sekali."

"Aku tidak heran. Ilmu kepandaian Thian-te Mo-ong sebagai seorang dari Empat Datuk Besar memang hebat."

"Setelah membunuh tiga orang tokoh sesat itu, Thian-te Mo-ong hendak memaksa aku menjadi muridnya. Aku tidak mau, akan tetapi dia memaksaku dan ke-tika aku melawan, dia menotokku. Lalu muncullah Thian Lee mernbebaskan aku. Wah, kalau saja Ayah menonton pertandlngan itu, antara. Thian L-ee dan Thian-te Mo-ong. Hebat dan seru bukan main, Ayah. Dan akhirnya. Datuk besar itu harus mengakui keunggulan ilrou kepandaian Thlan Lee dan dia melarikan diri." Souw Tek Bun menjadi bengong saking kagum dan herannya. Kalau bukan puterinya yang bercerita, bagaimana mungkin dia dapat percaya bahwa seorang pemuda seperti Thian Lee itu mampu mengalahkan Thian-te Mo-ong, seorang di antara Empat Datuk Besar?"

"Luar biasa!" akhirnya dia berseru setelah menghela napas panjang.

"Masih begini muda sudah dapat menandingi bahkan mengalahkan seorang di antara Empat Datuk Besar! Mengagumkan sekali dan sulit untuk dipercaya! Thian Lee, kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama gurumu yang mulia dan sakti?"

"Suhu adalah seorang pertapa di Hi-malaya yang sama sekali tidak terkenal. Beliau lebih suka mengasingkan diri dan tidak ingin dlperkenalkan namanya karena itu harap Paman maafkan kalau saya tidak dapat menyebut namanya."

Bengcu itu mengangguk-angguk. la mengerti bahwa di dunla persilatan banyak terdapat orang-orang sakti yang lebih suka mengasingkan diri dan menyembunyikan namanya. Bahkan nama besar pendekar sakti yang tadinya amat terkenal di dunia persilatan seperti Pendekar Super Sakti dan kedua isterinya yang saktl pula, lebih suka mengasingkan diri dan tidak ada orang mengetahui dl mana adanya. Hanya dikabarkan bahwa mereka mengasingkan diri dl Pulau Es, sebuah tempat yang penuh rahasia pula dari tidak ada orang lain tahu di mana letaknya. Dia pun tidak mendesak lebih jauh untuk menanyakan di mana dan siapa guru pemuda itu.

"Sekarang lebih mantap hatiku untuk menugaskan engkau membantu pemerin-tah dalam mencegah terjadinya pemberontakan, Thian Lee. Menurut berita yang kuterlma, Pangeran Tua itu me-ngumpulkan tokoh-tokoh kang-ouw dengan niat untuk menyingkirkan para pangeran yang tidak menyetujui dan menentang maksud jahatnya; Akan tetapi sebetulnya hal itu tidaklah terlalu dikhawatirkan. Bukankah di istana Kaisar terkumpul pula banyak jagoan yang berilmu tinggi? Bah-kan seorang di antara Empat Datuk Be-sar, yang paling tekenal, yaitu Pak-thian-ong Dorhai, kini juga menjadi seorang penasihat Kaisar, bukan?"

"Ah, justeru Pak-thian-ong itu yang berbahaya. Saya melihat dia pun berada di istana Pangeran Tua."

"Benarkah itu?" Souw Tek Bun berseru kaget.

"Benar, Paman. Ketika itu, pada suatu malann saya hendak melakukan penyelidikan di rumah Pangeran Tua. Mendadak saya melihat berkelebatnya bayangan orang dan kiranya ia adalah puteri Pangeran Tang Gi Su yang bernama Tang Cin Lan. Gadis itu dengan beraninya masuk ke istana itu untuk menantang seorang di antara jagoan yang berada di situ bernama Liok-te Lo-mo. Nah, pada saat itulah muncul Pak-thian-ong menandingi gadis itu. Melihat keadaan berbahaya, saya lalu menyelamatkan gadis puteri pangeran itu dan melarkannya keluar."

Thian Lee, gadis itu nampaknya gagah perkasa juga, sampai ia berani memasuki istana Pangeran Tua. Berarti memasuki guha harimau'" seru Lee Cin kagum.

"Memang ia seorang yang gagah perkasa, murid dari Pek I Lokai," jawab Thian Lee.

"Wah, pantas saja ia gagah pferkasa. Aku mengenal Pek I Lokai sebagai seorang tokoh yang berllmu tinggi. Bahkan Empat Datuk Besar juga tidak berani sembarangan menghadapi dia. Dan kalau gadis itu berani, juga tidak terlalu mengherankan. Selain sebagai murid Pek I Lokai tentu ia lihai sekali, juga ayahnya, Pengeran Tang Gi Su, adalah se-orang pejabat tinggi yang dipercaya benar oleh Sri Baginda Kaisar. Para peja-bat tinggi juga takut kepadanya karena dia adalah seorang pengawas para pejabat tidak segan-segan akan bertindak kalau ada pejabat yang menyeleweng. Dia adalah adik dari Pangeran Tua yang bernama Tang Gi Lok."

"Agaknya Paman mengetahui banyak tentang para pangeran dikota raja," kata Thian Lee kagum.

"Sekarang engkau jangan terlalu lama di sini, Thian Lee. Kebalilah ke kota raja dan aku akan memberimu
dua buah surat. Yang pertama untuk seorang panglima bernama Gui Tiong In. Gui-ciangkun ini dahulu juga seorang pendekar yang berjuluk Hok-liong-kiam (Pedang Penakluk Naga) dan dialah yang mewakili kerajaan hadir ketika diadakan pemilihan bengcu. Surat yang ke dua adalah untuk dihaturkan kepada Sri Baginda Kaisar sendiri."

Thian Lee terkejut. Membawa surat untuk Kaisar? Agaknya Souw-pangcu melihat kekagetan pemuda itu.

"Jangan khawatir, Thian Lee. Lebih dulu serahkan suratku untuk Gui-ciangkun itu. Dialah yang akan membawamu menghadap Kai-sar dan menyerahkan suratku. Kaisar adalah seorang yang amat bijaksana dan beliau menghormati orang-orang dunia persilatan. Setelah engkau menghadap Sri Baginda Kaisar, selanjutnya engkau hanya memenuhi perintahnya saja."

"Baiklah, Paman," kata Thian Lee.


Ayah, aku akan ikut Thian Lee. Aku dapat membantunya dalam pekerjaan yang berbahaya itu," kata Lee Cin. Souw Tek Bun sudah dapat menyelami watak puterinya ini, maka dia pun tidak melarangnya karena dalam suara gadis itu sudah terkandung tekad yang pasti dan tidak mungkin dapat dibantah. Selain itu, dia pun maklum akan kelihaian puterinya sehineea pantas kalau membantu ThianLee.

"Bagus, aku girang sekali kalau engkau juga membaktikan dirimu kepada Sri Baginda Kaisar. Akan tetapi engkau jangan sembrono dan melakukan tindakan sendiri, Lee Cin. Karena engkau menjadi pembantu Thian Lee, dalam segala hal engkau harus menurut apa yang dikata-kan oleh Thian Lee."

"Jangan khawatir, Ayah. Aku akan menjadi pembantu yang taat!" kata gadis itu dengan girang. Di dalam hatinya, Thian Lee sebetulnya kurang setuju di-bantu oleh Lee Cin yang suka bertindak ugal-ugalan, akan tetapi untuk menolak tentu saja dia merasa sungkan, terutama sekali terhadap Souw Tek Bun yang kini menjadi ayah Lee Cin.

Demikianlah, setelah dua buah surat itu ditulis oleh bengcu itu, pada hari itu juga Thian Lee bersama Lee Cin menuruni kembali Pegunungan Hong-san dan melakukan perjalanan kembali ke kota raja.

Di sepanjang perjalanan dari Hong-san ke kota raja yang memakan waktu beberapa hari itu, Lee Cin memperlihatkan perasaan hatinya kepada Thian Lee dalam sikap dan pelayanan. la selalu memperlihatkan perhatiannya, dan di waktu mereka makan, ia yang memilihkan warung makan, bahkan kalau terpaksa harus menyediakan makanan sendiri di perjalanan yang jauh dari kota atau du-sun, ia mencari binatang hutan dan di-panggangnya. la memilihkan daging yang paling enak untuk Thian Lee. Bahkan ia menyediakan dirinya untuk mencucikan pakaian Thian Lee yang kotor. Semua sikap yang manis ini sungguh membuat Thian Lee merasa terharu sekali. Kalau saja hatinya tidak terikat oleh Cin Lan yang membuatnya tak pernah dapat melupakannya, agaknya tidak terlalu sukar baginya untuk menanggapi kasih sayang yang diperlihatkan seorang gadis seperti Lee Cin. Akan tetapi kini dia sudah hampir merasa yakin bahwa dia rnencinta Cin Lan.

Buktinya, tak pernah dia dapat melupakan dan dia amat merindukannya. Sungguh bodoh, kadang dia memaki diri sendiri. Bagainana dia dapat mengharapkan seorang gadis puteri pangeran? seorang gadis bangsawan tinggi yang kaya raya? Sedangkan dia itu apa? Miskin dan sebatang kara, tidak memiliki apa-apa yang patut dibanggakan. Baru ayah gadis itu saja sudah memandang rendah kepa-danya. Dia tahu betapa bodohnya untuk jatuh cinta kepada puteri pangeran
akan tetapi agaknya hatinya tidak menurut. Hatinya selalu merindukan gadis bangsawan itu. Sebetulnya Lee Cin lebih pantas baginya. Lee Cin juga seorang gadls petualang, biarpun kini menjadi puteri bengcu, namun ayahnya pun hanya se-orang pertapa yang hidup sederhana. Mereka berdua sama-sama petualang di dunia kang-ouw, tidak seperti Cin Lan yang hidup di dalam sebuah istana!

Cinta asmara memang sesuatu yang aneh. Tidak mengenal siapa saja, dapat diserangnya. Tidak mengenal waktu, tem-pat atau keadaan. Dalam keadaan bagai-manapun orang dapat jatuh cinta. Kalau sudah jatuh cinta, maka tidak ada lagi harta, kedudukan, atau bahkan rupa. Bagi seorang yang mencinta, segalanya yang ada pada diri orang yang dicinta itu selalu baik, selalu indah dan menarik.

Kalau menurut perhitungan, Thian Lee semestinya memilih Lee Cin daripada Cin Lan. Banyak hal yang mendorongnya memilih Lee Cin, kalau menurutkan akal sehat, Lee Cin keadaannya cocok dengan dirinya, sama-sama orang kecil yang bukan hartawan bukan bangsawan, sama-sama petualang kang-ouw. Juga Lee Cin tidak kalah cantik jelitanya dibandingkan Cin Lan. Lebih dari itu, Lee Cin mencintanya. Mau apa lagi? Akan tetapi, hatinya yang sudah tertusuk panah asmara itu lebih memilih Cin Lan.

Padahal menurut perhitungan akal, tidaklah mungkin bagi dia untuk mempersunting Cin Lan. Gadis itu puteri pangeran, puteri bangsawan yang kaya raya, dan lebih dari itu, gadis itu pun belum tentu mau kepadanya, belum tentu mencinta-nya, bahkan rasanya tldak mungkin seorang puteri pangeran dapat jatuh cinta kepada seorang yatim piatu miskin seperti dia!

Kini, dalam perjalanan ke kota raja sikap Lee Cin jelas sekali memperlihatkan cintanya kepadanya. Dia merasa kasihan sekali kepada Lee Cin dan merasa berkewajiban untuk menghentikan sikap itu. Dia harus mengaku terus terang kepada Lee Cin, bukan saja bahwa dia tidak mencinta Lee Cin melainkan suka sebagai seorang sahabat saja. Lebih lagi, dla harus mengaku terus terang bahwa dia mencinta gadis lain. Kalau hal ini tldak segera dia lakukan, maka siap Lee Cin akan terus seperti itu dan hal ini merupakan gangguan besar sekali baginya. Benar dia harus mengaku terus terang!

Mereka tiba di sebuah bukit kecil yang sunyi. Matahari telah naik tinggi dan mereka sejak pagi telah melakukan perjalanan mendakl bukit-bukit yang melelahkan.

"Kita beristirahat sebentar, Lee Cin."

"Ah, lelahkah engkau, Thian Lee? Kalau begitu, sebaiknya kita beristirahat dulu. Itu di sana ada pohon yang teduh, kita mengaso di sana," kata Lee Cin dan mereka menuju ke bawah pohon yang memberi keteduhan itu.

"Ini ada batu yang licin dan bersih, Thian Lee. Kau duduklah di sini!" kata pula Lee Cin sambil menyapu sebuah batu besar dengan tangannya.

Thian Lee menghela napas lalu duduk di atas batu itu.

"Lee Cin, engkau selalu bersikap manis dan penuh perhatian se-lama beberapa hari ini kepadaku. Kenapa engkau begini baik kepadaku, Lee Cin?" Thian Lee bertanya dan sudah siap untuk bicara terus terang.

"Masih perlukah engkau bertanya lagi, Thian Lee? Aku cinta padarnu, itulah sebabnya. Haruskah kujawab lagi? Engkau tentu sudah mengetahui akan perasaan hatiku kepadamu, Thian Lee," kata Lee Cin seolah menegur. Keterlaluan pemuda itu, pikirnya. Masih bertanya lagi tentang sikap baiknya!

Thian Lee menghela napas.

"Lee Cin, aku tahu dan karena itulah maka aku minta penjelasan darimu. Semua ini harus kauhentikan, Lee Cin. Bersikaplah wajar saja, sebagai seorang sahabat biasa. Ketahuilah bahwa aku hanya suka kepadamu, bukan mencinta. Aku suka dan kagum kepadamu, rasa suka seorang sahabat, Lee Cin. Engkau harus tahu benar akan hal ini."

Lee Cin menatap wajah pemuda itu dan tersenyum manis.

"Engkau sudah mengatakan hal itu dan aku cukup mengerti, Thian Lee. Akan tetapi aku tidak putus asa. Dari kesukaanmu itulah aku harapkan dapat berkembang menjadi rasa cinta, demikian kuharapkan, Thian Lee. Siapa tahu pada suatu saat engkau akan benar-benar merasa cinta kepadaku seperti perasaanku kepadamu."

Thian Lee menggeleng kepala.

"Tidak mungkin, Lee Cin. Tidak mungkin aku jatuh cinta kepadamu atau kepada gadis manapun juga, karena aku...."

"Karena mengapa?" Lee Cin mengejar dengan alis berkerut.

"Karena aku sudah memiliki seorang pilihan hati, aku telah mencinta seorang gadis maka tidak mungkin aku mencinta gadis lain. Tidak mungkin aku mencintamu dan ini harus kukatakan terus terang agar jangan engkau dipermainkan oleh harapanmu yang takkan tercapai. Maafkan aku, Lee Cin."

Thian Lee melihat betapa sepasang mata yang indah itu terbelalak dan muka itu berubah pucat sekali. Dia tidak tega melihat ini dan ia menundukkan mukanya agar jangan terlihat olehnya wajah yang diselimuti kedukaan, kekecewaan dan keputus-asaan itu.

Tiba-tiba tangan Lee Cin bergerak ke arah pundak Thian Lee. Dan begitu jari tangannya menotok jalan darah di kedua pundak, tiba-tiba saja tubuh Thian Lee menjadi lemas terkulai dan dia rebah miring di atas batu itu. Bagaimana Thian Lee yang demikian lihai itu sampai dapat tertotok dengan mudah? Sebetulnya Thian Lee dapat merasakan gerakan tangan Lee Cin tadi, akan tetapi sama sekali dia tidak menyangka bahwa Lee Cin hendak menotoknya. Kalaupun Lee Cin menotoknya, dia pun akan dapat melindungi tubuhnya dengan kekebalan sin-kangnya. Sama sekali dia tidak tahu dan tidak menduga bahwa Lee Cin menotoknya dengan ilmu It-yang-ci! Ilmu totokan It-yang-ci yang dipelajari Lee Cin dari In Kong Thaisu Ketua Siauw-li-pai itu memang merupakan ilmu yang luar biasa sekali. Biarpun Lee Cin belum sempurna benar melatih ilmu itu, namun daya to-tokannya sudah sehebat itu sehingga Thian Lee yang tangguh dapat juga di-buat tidak berdaya dan, roboh lemas di atas batu.

"Hayo katakan siapa perempuan membentak Lee Cin kepada Thian Lee.

Thian Lee memandang kepada Lee Cin dengan mata penuh penyesalan. Tak disangkanya Lee Cin akan berbuat begitu.


LeeCin, apa yang kaulakukan ini? Cepat bebaskan totokanmu," katanya sabar dan tenang.

"Tidak, engkau telah menghancurkan harapanku. Engkau orang yang tidak tahu dicinta orang, tak mengenal budi! Hayo katakan siapa perempuan itu kepadaku!

"Hemm, kalau kuberltahukan, engkau mau apa?" tanya Thian Lee.

"Mau apa? Mau membunuhnya! Tidak ada perempuan lain di dunia ini yang boleh memilikimu!" bentak Lee Cin.

"Hem, aku akan melindunginya dan mencegahnya," kata Thian Lee.

"Boleh kaucoba! Hayo cepat katakan kepadaku, siapa namanya dan di mana tempat tinggal perempuan itu!"

"Aku tidak akan memberitahukan ke-'padamu, Lee Cin," kata Thian Lee dengan sikapnya yang masih tenang. Diam-diam dia mencoba menggerakkan hawa tenaga saktinya di bawah pusar, namun belum juga berhasil. Totokan itu memang istimewa, membuat seluruh tubuhnya tak dapat digerakkan, kecuali mulut dan matanya.

"Kalau tidak kauberitahukan, aku akan membunuhmu! Kalau aku tidak dapat memilikimu, seluruh wanita di dunia ini pun tidak akan dapat nnemilikimu!" Setelah berkata demikian, sekali tangarinyei bergerak, ia telah melolos pedang yang dibuat sabuk melilit pinggangnya.

"Singgg....!" Pedang itu telah meno-dong dada Thlan Lee.

"Thian Lee, sekali lagl aku bertanya. Maukah engkau melu-pakan perempuan itu dan berjodoh dengan aku?"

"Tidak, Lee Cin!"

"Kalau begitu, matilah engkau!" Pedang itu ia tusukkan, akan tetapi tepat pada saat ujung pedang sudah menyentuh baju Thlan Lee, gerakan itu dihentikan dan Lee Cin mengeluh.

"Lee Cin, engkau tidak akan mampu melakukan ini. Engkau bukan seorang wanita jahat, jangan berpura-pura menjadi wanita sesat yang kejam. Engkau tidak seperti ibumu, melainkan lebih menuruni watak gagah dari ayahmu!" kata Thian Lee, sedikit pun tidak merasa gentar walaupun tadi nyawanya telah bergantung pada sehelai rambut.

"Ihhh....!" Lee Cin kemball rnengeluh, kemudian ia memejamkan matanya dan menahan napas. Tiba-tiba pedangnya diangkatnya tinggi-tinggi dan ia memben-tak, "Matilah kau, Thian Lee!" Pedang itu menyambar dengan kuat dan cepatnya ke bawah dengan sebuah bacokan.

"Crakkk!" Batu itu terbelah dan tubuh Thian Lee terguling ke atas tanah karena batu itu terbelah dua tepat di samping tubuhnya. Kiranya pada saat terakhir, Lee Cin bukan membacok tubuh Thian Lee melainkan membacok batu itu.

Thian Lee kini rebah telentang dan dia dapat melihat betapa gadis itu menu-tupi mata dengan kedua tangannya sam-bil menangis tersedu. Dia merasa kasihan sekali.

"Lee Cin, maafkan aku...." katanya lirih dan ucapan ini membuat Lee Cin ynenangis semakin sedih, sampai terisak-isak.

"Lee Cin, aku tahu bahwa engkau seorang gadis yang baik sekali. Seandainya aku belum jatuh cinta kepada seorang gadis lain, kiranya tidak ada gadis yang leblh baik darimu bagiku, Lee Cin. Engkau gadis yang cantik, berilmu tinggi, dan berbudi baik. Percayalah, kelak eng-kau akan mendapatkan jodoh seorang pemuda yang jauh lebih baik dariku, terutama sekali pennuda yang dapat rnencintamu sepenuh hatinya. Engkau akan menemukan jodohmu sendiri, Lee Cin." Pada saat itu, Thian Lee merasa ada gerakan di tan-tian (bawah pusar), maka dia lalu menekan hawa sakti itu ke atas untuk membebaskan totokan pada dirinya.

Lee Cin masih terisak dan menurunkan kedua tangan, menyimpan pedangnya.

"Thian Lee, aku... aku benci padamu. Aku tidak mau lagi bersamamu!" la memandang dan terbelalak melihat betapa pemuda itu sudah bangkit duduk.

"Kau... kau sudah bebas dari totokan?"

"Kebetulan saja aku mampu menembus totokanmu dan membebaskannya, Lee Cin." Hal itu sebetulnya dapat terjadi karena Lee Cin masih kurang sempurna melatih ilmu barunya, belum memperoleh tenaga yang tepat sehingga totokannya juga kurang mengandung tenaga yang diperlukan.

"Aku... aku benci padamu!" kata lagi Lee Cin sambil mengusap air matanya.

"Percayalah kepadaku, Lee Cin. An-daikata engkau tadi jadi membunuhku, engkau akan benci sekali kepada dirimu sendiri."



Dewi Sungai Kuning Eps 2 Jodoh Si Naga Langit Eps 15 Kisah Si Naga Langit Eps 19

Cari Blog Ini