Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Naga Langit 19


Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 19




Puteri Moguhai dan Thian Liong segera melompat ke dalam dan Thian Liong mengikuti Pek Hong Nio-cu atau Moguhai itu memasuki istana. Para perajurit pengawal kaisar yang melihat sang puteri, juga bersorak gembira. Mereka semua telah mendengar bahwa pasukan Pangeran Kuang sudah berada di luar dan sedang menyerang pasukan pemberontak.

Moguhai dan Thian Liong memasuki ruangan di mana keluarga istana berkumpul. Melihat puterinya, Tan Siang Lin lari menyambut.

"Moguhai""!"

"Ibu......!" Mereka berangkulan.

"Semua keluarga selamat, bukan?"

Tan Siang Lin mengangguk dan tersenyum, gembira sekali melihat puterinya datang bersama pasukan Pangeran Kuang. Ternyata isi surat yang melayang masuk tadi benar. Dan ia tahu siapa yang menulis surat itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang tadi merobohkan dua orang penyerang suaminya dengan sambitan daun?

"Di mana Sri Baginda?" tanya Moguhai ketika tidak melihat ayahnya, di antara mereka.

Permaisuri yang juga menghampiri dan merangkul Moguhai karena lega dan gembira hatinya, berkata,

"Moguhai, ayahmu sedang memimpin sendiri pasukan melawan serbuan pemberontak."

"Ah, mari ikut aku keluar, Thian Liong!" kata Puteri Moguhai kepada pemuda itu.

Mereka berdua lalu cepat keluar dan benar saja, gadis itu melihat kaisar sendiri sedang memberi perintah kepada para perwira pasukan yang mempertahankan benteng. Serbuan Pasukan yang datang membuat kaum pemberontak panik dan yang sedang menyerbu ke dalam juga sudah mendengar akan datangnya pasukan Pangeran Kuang itu. Hal ini melemahkan semangat mereka dan mereka didesak keluar oleh pasukan yang berada di dalam benteng istana.

"Sri Baginda......!" seru Puteri Moguhai dengan hati bangga melihat betapa ayahnya sendiri maju memberi dorongan semangat kepada para perajurit.

Kaisar menengok dan wajahnya yang berkeringat itu berseri melihat puterinya.

"Ah, Moguhai! Kedatanganmu bersama Pangeran Kuang membawa pasukan sungguh tepat pada waktunya! Kami semua merasa gembira sekali!"

"Biarlah pasukan Paman Pangeran Kuang menghancurkan pasukan pemberontak, tidak. perlu paduka sendiri bersusah payah. Harap paduka mengaso dan saya bersama sahabat saya Souw Thian Liong ini yang akan membantu pasukan menyerbu keluar!"

Kaisar mengangguk-angguk ketika Thian Liong memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada dan membungkuk sampai dalam.

"Baiklah, kukira kini bahaya sudah lewat," kata Kaisar dan dia lalu kembali ke dalam istana, diikuti lima orang pengawal pribadi yang sejak tadi tidak pernah meninggalkannya dan selalu mengikuti dari jarak dekat ke manapun kaisar pergi.

Puteri Moguhai dan Thian Liong lalu membantu pasukan dan dengan mudah mereka mendesak para pemberontak keluar dari benteng. Kini para pemberontak dihimpit dari dalam dan luar. Mereka menjadi panik dan banyak di antara mereka terluka atau tewas.

Panglima Kiat Kon yang tinggi besar, gagah dan mukanya penuh brewok itu mengamuk seperti seekor harimau terluka. Dia sudah merasa kepalang tanggung. Ambisinya adalah umntuk menjadi panglima besar kalau Pangeran Hiu Kit Bong berhasil menduduki singgasana. Tadi penyerbuan mereka sudah hampir berhasil. Akan tetapi tiba-tiba muncul pasukan yang dipimpin Pangeran Kuang sehingga kini pasukannya terjepit antara pasukan dari luar dan dalam. Dia sendiri mengamuk di tengah-tengah pertempuran dekat benteng istana, tidak mungkin keluar dari pertempuran. Juga dia tidak ingin melarikan diri. Sudah kepalang karena andaikata dia dapat melarikan diri, keluarganya tentu tidak luput dari hukuman. Maka dia mengamuk dengan pedangnya yang besar dan berat dan sudah banyak perajurit pembela kaisar yang roboh dan tewas terkena babatan pedangnya.

Tiba-tiba pedangnya tertangkis ketika dia membabatkan ke arah seorang perajurit musuh berikutnya.

"Trangggg......!" bunga api berpijar dan Kiat Kon merasa betapa tangan kanannya tergetar hebat. Telapak tangannya yang memegang pedang terasa panas sekali sehingga hampir dia melepaskan pedangnya. Akan tetapi dia masih sempat mempertahankan pedangnya dan cepat memandang ke kanan untuk melihat siapa yang menangkis pedangnya itu. Ketika dia melihat siapa orang yang memegang pedang bengkok menangkis serangannya, mukanya berubah pucat. Kiranya Puteri Moguhai yang berdiri di depannya dengan mata bersinar penuh kemarahan.

"Puteri...... Moguhai"..!" dia berseru gagap.

"Panglima Kiat Kon, pengkhianat tak mengenal budi!" bentak Pek Hong Nio-cu atau puteri Moguhai.

"Sri Baginda telah memberi kedudukan tinggi kepadamu, akan tetapi apa balasanmu? Engkau malah menjadi pengkhianat dan pembantu pemberontak! Aku tidak dapat mengampunimu lagi?" Setelah berkata demikian, Pek Hong Nio-cu lalu menerjang dengan dahsyat.

Panglima Kiat Kon sudah tahu akan kelihaian puteri ini, maka dia menjadi gugup dan gentar. Akan tetapi tidak ada jalan keluar lagi baginya. Pasukan pembela kaisar sudah berada di mana-mana dan kiranya tidak mungkin melarikan diri dari Puteri Moguhai. Puteri itu memang pernah belajar ilmu silat dari dia sendiri. Akan tetapi itu dulu ketika Puteri Moguhai masih remaja. Sekarang ia telah memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaiannya sendiri. Maka Kiat Kon lalu melawan mati-matian.

Sementara itu, Thian Liong melihat betapa tak jauh dari situ, seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus, berjenggot panjang dan berkumis pendek, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang bangsawan tinggi, sedang berdiri dengan pedang di tangan. Lima orang pengawal melindunginya, melawan para perajurit istana yang mengepung bangsawan tinggi itu. ternyata lima orang pengawal itu cukup lihai dan banyak perajurit istana yang roboh oleh amukan lima orang yang memegang golok besar itu.

Ketika melihat bangsawan itu, Thian Liong teringat akan Pangeran Hiu Kit Bong seperti yang pernah digambarkan oleh Pek Hong Nio-cu. Tinggi kurus berjenggot panjang berkumis pendek. Tentu inilah pangeran yang menjadi biang keladi pemberontakan itu. Dia cepat melompat ke arah orang itu. Dua orang pengawal menyambutnya dengan golok mereka. Akan tetapi dua kali tangan Thian Liong menampar dan dua orang itu terpelanting roboh. Kemudian Thian Liong menerjang ke depan. Pangeran Hiu Kit Bong mencoba untuk membacoknya dengan pedangnya. Akan tetapi sekali menampar dengan tangan kirinya, pedang itu terlepas dari pegangan sang pangeran dan secepat kitat Thian Liong menotoknya sehingga Pangeran Hiu Kit Bong tidak mampu bergerak lagi. Thian Liong lalu membawa tubuh Pangeran itu melompat ke atas tembok benteng dan dari tempat tinggi itu dia berseru sambil mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya terdengar lantang sampai jauh.

"Haiii! Para perajurit pemberontak! Lihatlah ke sini! Pemimpin kalian sudah ditawan, kalian yang tidak ingin mati cepat lempar senjata dan menyerah!!"

Suara itu lantang sekali dan terdengar oleh semua orang. Akan tetapi karena semua perajurit pemberontak tidak mengenal pemuda di atas tembok benteng yang menawan Pangeran Hiu Kit Bong, maka mereka menjadi ragu. Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat, melompat ke atas tembok benteng dan ternyata ia adalah Pek Hong Nio-cu. Puteri ini telah berhasil merobohkan Panglima Kiat Kon dengan sebuah tusukan yang menewaskan panglima pemberontak itu. Setelah berdiri di dekat Thian Liong, yang merangkul Pangeran Hiu Kit Bong yang sudah tidak mampu bergerak, puteri itu berteriak melengking.

"Semua perajurit pengikut Pangeran Hiu Kit Bong, lepaskan senjata kalian dan menyerahlah. Kalau tidak, kalian akan dibasmi habis! Lihat pemimpin pemberontak telah kami tawan dan Panglima Kiat Kon juga sudah tewas!"

Semua perajurit pemberontak tentu saja mengenal Puteri Moguhai dan melihat betapa Pangeran Hiu Kit Bong benar-benar telah ditawan, mereka menjadi putus asa. Tanpa ragu lagi mereka membuang senjata mereka dan menjatuhkan diri berlutut tanda menyerah.

Melalui para perwira pembantunya, Pangeran Kuang lalu menyerukan agar para perajurit pemberontak tidak dibunuh. Mereka lalu ditawan dan digiring ke benteng pasukan yang tadi membela kaisar.

Pertempuran berhenti. Para tawanan dibawa ke dalam benteng. Para perajurit melakukan penangkapan-penangkapan teradap mereka yang menjadi kaki tangan Pangeran Hiu Kit Bong, di bawah pimpinan para panglima yang setia kepada kaisar. Ada pula yang bertugas membersihkan benteng istana, merawat yang terluka dan mengurus penguburan mereka yang tewas.

Pangeran Hiu Kit Bong dan beberapa orang pembesar yang menjadi anak buah dan sekutunya, dengan kedua tangan diborgol, dihadapkan kepada kaisar, diikuti oleh Pangeran Kuang, Puteri Moguhai dan Thian Liong. Semula Thian Liong tidak ingin menghadap kaisar karena dia tidak mengharapkan imbalan jasa untuk bantuannya. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu memaksanya. Sambil menarik tangan Thian Liong Puteri Moguhai berkata.

"Hayolah, Thian Liong. Kau ikut denganku menghadap ayahku. Engkau telah membantu kami, sudah sepantasnya kalau ayah bertemu dan mengenalmu. Pula, sekali ini engkau yang membantu aku, nanti aku akan membantumu mencari gadis berpakaian merah yang telah mencuri kitab itu. Marilah!"

Thian Liong merasa tidak enak kalau menolak, maka diapun ikut Puteri Moguhai dan Pangeran Kuang menggiring tawanan yang jumlahnya tujuh orang itu menghadap kaisar kerajaan Kin. Dia merasa janggal. Dia memasuki istana Kaisar Kin yang merupakan kerajaan yang telah mengusir Kerajaan Sung, menjajah tanah air bangsanya. Akan tetapi Thian Liong tidak merasa bersalah. Dia pasti tidak akan membantu Kerajaan Kin sekiranya kerajaan ini berperang melawan kerajaan Sung. Kalau sekarang dia membantu kerajaan Kin adalah karena dia memihak yang benar dan menentang para pemberontak yang tentu saja merupakan pihak yang tidak benar karena memberontak. Apalagi kalau diingat bahwa, Pangeran Hiu Kit Bong, pengkhianat dan pemberontak itu bersekongkol dengan Perdana Menteri Chin Kui yang harus ditentangnya karena pembesar itu hendak menguasai dan menanamkan pengaruh buruk kepada Kaisar kerajaan Sung.

Ketika mereka semua memasuki ruangan di mana Kaisar menerima mereka, Puteri Moguhai lalu berlari menghampiri ibunya dan duduk di dekat ibunya. Pangeran Kuang memberi hormat kepada kakak tirinya dengan sikap gagah sebagai seorang panglima. Para tawanan segera didorong dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar.

Thian Liong meragu. Kalau berhadapan dengan kaisar bangsanya sendiri, kaisar kerajaan Sung, dia tidak akan ragu-ragu untuk menjatuhkan diri berlutut sebagai penghorrmatan. Akan tetapi dia berhadapan dengan kaisar kerajaan Kin, kerajaan bangsa Nuchen yang menjajah. Maka dia hanya mengangkat kedua tangan depan dada sambil membungkuk sebagai penghormatan. Moguhai sudah mendekati kaisar dan berkata lirih.

"Sri Baginda, pemuda itu adalah Souw Thian Liong yang membantu kita dan dia pula yang menangkap Pangeran Hiu Kit Bong sehingga perlawanan pasukan pemberontak dapat dihentikan."

Kaisar telah mendengar akan bantuan seorang pendekar bangsa Han itu. Dia tersenyum dan memandang kepada Thian Liong lalu mengangguk-angguk.

"Souw sicu, silakan duduk di kursi itu. Engkau juga, Pangeran Kuang!"

Kemudian Kaisar menjatuhkan hukuman kepada para pimpinan pemberontak. Kaisar kerajaan Kin ini setelah mengambil Tan Siang Lin sebagai selir terkasih banyak mengalami perubahan. Kalau dahulu dia terkenal keras, kini dia berubah menjadi lebih lunak. Banyak nasihat dia terima dari Tan Siang Lin sehingga dia menjadi seorang penguasa yang bijaksana tidak lalim. Semua orang tentu mengira bahwa kaisar akan menghukum mati pimpinan pemberontak itu

Akan tetapi kenyataannya tidak. Seperti yang diharapkan Siang Lin, Pangeran Hiu Kit Bong dan para sekutunya tidak dijatuhi hukuman mati, melainkan dihukum buang bersama keluarga mereka di daerah utara, hidup dalam pengasingan dengan suku-suku yang masih terbelakang di sana sehingga tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.

Setelah tawanan itu dibawa pergi, Pangeran Kuang melaporkan gerakannya menumpas pemberontak, dimulai dari kunjungan Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong yang membawa tawanan, yaitu Ngo-heng Kiam-tin dan belasan orang perajurit yang diutus Pangeran Hiu Kit Bong untuk membunuh Moguhai, sampai pengerahan pasukan yang dia pimpin ke kota raja dan berhasil membasmi para pemberontak pada saat yang tepat.

Setelah Pangeran Kuang selesai bercerita, tiba giliran Puteri Moguhai untuk menceritakan pengalamannya bersama Souw Thian Liong. Cerita Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai menarik perhatian semua keluarga istana yang hadir di situ. Mereka merasa kagum sekali. Setelah mendengar betapa Souw Thian Liong, seorang pemuda pribumi Han menolong kerajaan Kin dan berjasa besar, Kaisar segera berkata sambil memandang kepada Thian Liong dengan senyum ramah.

"Souw-sicu, jasamu besar sekali dan kami mengucapkan banyak terima kasih kepadamu. Katakan, apa yang kau inginkan dari kami? Permintaanmu pasti akan kami penuhi demi membalas budi dan jasamu."

Thian Liong cepat memberi hormat.

"Maafkan hamba, Sri Baginda. Harap Paduka tidak salah paham. Hamba sama sekali tidak menginginkan sesuatu. Apa yang hamba lakukan itu sama sekali bukan perbuatan jasa atau pelepasan budi, apalagi berpamrih mendapatkan imbalan, melainkan sudah menjadi kewajiban hamba untuk melakukannya. Bukan sekali-kali hamba menolak anugerah dari Paduka, hanya hamba tidak mengharapkan imbalan apa pun."

"Sri Baginda harap jangan menghadiahkan apa-apa kepada Souw Thian Liong. Dia seorang pendekar sejati, dan memberi hadiah kepadanya sama saja dengan merendahkan, bahkan menghinanya. Hamba mempunyai cara yang terbaik untuk membalas budinya. Dia sedang mencari seorang gadis berpakaian merah yang telah mencuri sebuah kitab darinya, dan dia juga bertugas untuk menentang Perdana Menteri Chin Kui di kerajaan Sung. Untuk kedua hal itu, hamba akan membantunya, dengan demikian hamba dapat membalas budi kebaikannya," kata Puteri Moguhai kepada kaisar.

Kaisar mengerutkan alisnya mendengar nama Perdana Menteri Chin Kui dlisebut. Bagaimanapun juga, Chin Kui dahulu merupakan orang yang berjasa bagi kerajaan Kin. Chin Kui yang mencegah balatentara Sung yang dipimpin Jenderal Gak Hui, jenderal yang amat pandai dan ditakuti kerajaan Kin, melanjutkan gerakannya menyerang ke utara untuk menghalau kerajaan Kin yang menguasai setengah dari daratan Cina bagian utara. Chin Kui yang berhasil membujuk Kaisar Sung untuk berdamai dengan kerajaan Kin, bahkan kerajaan Sung mengirim upeti tahunan kepada kerajaan Kin. Akan tetapi akhir-akhir ini dia melihat kecurangan Perdana Menteri Chin Kui yang mengurangi sebagian dari upeti kerajaan Sung itu untuk dirinya sendiri. Hal ini membuat hubungan mereka merenggang.

"Kenapa Perdana Menteri Chin Kui dari kerajaan Sung hendak ditentang?" tanyanya sambil memandang kepada puterinya.

Puteri Moguhai mengerti jalan pikiran ayahnya.

"Sri Baginda, Souw Thian Liong hendak menentangnya karena Chin Kui terkenal sebagai seorang pembesar yang korup dan khianat terhadap kerajaan Sung. Selain itu, ternyata dia juga menjadi sekutu Paman Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak kepada paduka."

Kaisar mengerutkan alisnya.

"Bersekutu dengan pemberontak?" Dia memandang puterinya dengan sinar mata penuh keheranan.

"Apa buktinya kalau dia bersekutu dengan pemberontak?"

"Buktinya sudah jelas, Sri Baginda," kata Puteri Moguhai.

"Cin Kui memang diam-diam menjalin persekutuan dengan Pangeran Hiu Kit Bong dan yang paling jelas buktinya, dia mengirim seorang utusan yang bernama Cia Song untuk menangkap hamba. Hamba hendak ditangkap dan dijadikan sandera untuk memaksa paduka menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Hiu Kit Bong."

Kaisar mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya.

"Hemm, aku memang sudah tahu bahwa Chin Kui adalah seorang yang licik dan curang, sama sekali tidak boleh dipercaya. Pernah dia minta kepada kami agar kami mengirim pasukan untuk membantu dan merebut tahta kerajaan Sung dari tangan Kaisar Kao Tsu, akan tetapi aku tidak mau mengkhianati perdamaian yang sudah diadakan antara kerajaan Kin dan kerajaan Sung."

"Kakanda Kaisar, bagaimana kalau hamba membawa pasukan untuk menghukum Chin Kui yang bersekongkol dengan pemberontak itu?" tiba-tiba Pangeran Kuang mengusulkan.

Kaisar menggeleng kepala.

"Tidak boleh, adinda pangeran. Kalau engkau membawa pasukan ke selatan, hal itu akan dapat menimbulkan salah paham dengan kerajaan Sung. Kalau di sana Chin Kui hendak mengadakan pemberontakan, biarlah Kaisar Sung Kao Tsu sendiri menghadapinya. Itu adalah urusan dalam negeri kerajaan Sung dan kita tidak berhak mencampurinya."

"Benar sekali, Sri Baginda. Akan tetapi kalau hamba seorang diri yang pergi membantu Souw Thian Liong, hamba tidak mewakili kerajaan kita, melainkan sebagai tindakan pribadi hamba. Hamba ingin membalas budi kebaikan Souw Thian Liong dan harap paduka tidak melarang hamba."

"Ha-ha-ha, siapakah yang dapat melarangmu, Moguhai? Apakah ayahmu ini pernah melarangmu selama ini? Engkau merantau ke sana sini sehingga mendapat julukan Pek Hong Nio-cu, dan aku tidak pernah melarangnya. Baiklah, engkau pergilah membantu Souw-sicu, akan tetapi jangan lupa untuk segera pulang. Engkau harus ingat bahwa engkau kini sudah dewasa, usiamu sudah hampir duapuluh tahun dan sudah tiba masanya bagimu untuk menikah!"

"Aihh"" paduka"..! Hamba".. belum ingin menikah," kata Pek Hong Nio-cu tersipu dan tergagap sehingga ditertawakan semua anggauta keluarga istana.

Atas permintaan Pek Hong Nio-cu, Souw Thian Liong terpaksa tinggal di istana selama beberapa hari karena gadis itu ingin melepaskan kerinduannya kepada keluarganya lebih dulu sebelum meninggalkan mereka untuk melakukan perjalanan dengan Souw Thian Liong menuju ke selatan.

Pada malam hari itu, Puteri Moguhai bercakap-cakap dengan ibunya di dalam kamarnya. Ibunya, Tan Siang Lin, merasa berat dan khawatir mendengar puterinya akan pergi ke selatan membantu Thian Liong menentang Perdana Menteri Chin Kui.

"Moguhai, anakku, aku benar-benar merasa gelisah sekali mendengar engkau akan pergi ke selatan. Kalau orang-orang kerajaan Sung mendengar bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kin, tentu engkau akan dimusuhi dan amatlah berbahaya bagimu."

Moguhai merangkul ibunya.

"Jangan khawatir, ibu. Di dalam istana ini, aku adalah Puteri Moguhai. Akan tetapi di luar sana, aku dikenal sebagai Pek Hong Nio-cu. Di selatan nanti orang-orang akan mengenal aku sebagai Pek Hong Nio-cu dan tak seorangpun akan mengetahui bahwa aku adalah Puteri Moguhai."

"Akan tetapi pemuda she Souw itu mengetahuinya. Bagaimana kalau dia memberitahukan kepada orang-orang lain?"

"Tidak mungkin, ibu. Dia seorang sahabat yang baik dan setia. Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah tertimpa malapetaka. Dia boleh dipercaya, ibu."

Tan Siang Lin menghela napas panjang.

"Bagaimana pun juga, aku tetap merasa khawatir. Biarpun engkau telah memiliki ilmu silat yang tinggi dan tangguh, namun di selatan sana banyak terdapat penjahat yang sakti."

Moguhai tersenyum.

"Ibu tidak perlu khawatir. Selain aku sendiri mampu membela dan menjaga diri, juga ada Souw Thian Liong yang memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dariku. Dia lihai sekali, ibu. Lihai dan bijaksana. Dan tahukah ibu siapa gurunya? Gurunya adalah seorang sakti yang amat terkenal, yaitu bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin!"

Wajah Tan Siang Lin berubah. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan seruan,

"Ahh......!" ketika ia mendengar disebutnya nama itu. Akan tetapi ia lalu menundukkan mukanya dan diam saja.

Moguhai memperhatikan sikap ibunya.

"Ibu, ada satu hal yang merupakan kejutan besar."

"Hemm, apakah itu, anakku?"

"Aku telah bertemu dengan paman Sie!"

"Eh? Benarkah? Bagaimana engkau mengetahui bahwa yang kautemukan itu Paman Sie?"

"Aku tidak lupa akan wajahnya, ibu. Aku pernah melihat dia ketika dia datang menemui ibu di taman beberapa tahun yang lalu itu. Dia benar-benar paman Sie yang telah memberi kitab-kitab dan perhiasan rambut ini kepadaku melalui ibu. Dan dialah yang menyelamatkan kami ketika aku dan Thian Liong tertawan kaki tangan pemberontak."

"Ah......!" Selir kaisar itu memandang wajah puterinya.

"Dan dia menemuimu, bicara denganmu?"

"Sayang sekali tidak, ibu. Aku hanya melihat dia di kejahuan, lalu dia menghilang setelah menolong aku dan Thian Liong." Kini gadis itu memandang wajah ibunya dengan tajam.

"Dan ada satu lagi kejutan besar, ibu."

Tan Siang Lin agaknya telah dapat menguasai perasaannya. Ia memandang puterinya sambil tersenyum dan berkata,

"Ah, engkau ini penuh dengan kejutan. Apa lagi yang hendak kauceritakan, Moguhai?"

"Paman Sie itu ternyata adalah Tiong Lee Cin-jin, guru Souw Thian Liong!"

Moguhai melihat betapa kini tidak ada perubahan pada wajah ibunya. Ia tahu bahwa hal ini jelas menunjukkan bahwa ibunya pasti telah tahu bahwa paman Sie adalah Tiong Lee Cin-jin. Dan Tan Siang Lin masih tersenyum ketika bertanya kepada puterinya.

"Bagaimana engkau dapat memastikan bahwa paman Sie itu Tiong Lee Cin-jin?"

"Ketika dia muncul setelah menyelamatkan Thian Liong dan aku, Thian Liong berseru memanggilnya dengan sebutan suhu. Suhunya adalah Tiong Lee Cin-jin, maka jelaslah bahwa paman Sie adalah Tiong Lee Cin-jin. Benarkah itu, ibu? Ibu tentu lebih mengenal dan mengetahui, bukan?"

Tan Siang Lin menghela napas dan diam saja tidak menjawab dan hanya menundukkan mukanya, kemudian malah melamun dan kedua matanya menjadi basah! Puteri Moguhai merangkul ibunya. Ia biasanya manja kepada ibunya, akan tetapi melihat ibunya seperti orang yang berduka, ia merasa gelisah dan ingin sekali menghiburnya. Ia amat menyayang ibunya.

"Ibu, ada apakah, ibu? Ibu agaknya menyimpan rahasia! Ceritakanlah kepadaku, ibu."

Tan Siang Lin menggeleng kepalanya.

"Tidak, tidak ada apa-apa, anakku. Hanya aku merasa terharu mendengar sahabat baikku itu, Paman Sie itu, telah menyelamatkan engkau. Diapun sudah menyelamatkan ayahmu ketika ayahmu terancam oleh dua orang pengawal yang agaknya menjadi kaki tangan Pangeran Hiu Kit Bong."

"Ah, benarkah ibu? Kenapa Sri Baginda tidak bercerita tentang hal itu!" kata Moguhai, ikut gembira karena bagaimanapun juga, ia merasa dekat dengan "Paman Sie" yang telah memberi tiga kitab pelajaran ilmu silat tinggi dan perhiasan rambut, dan menganggap dia sebagai gurunya walaupun ia belum pernah bertemu dan bercakap-cakap.

"Mungkin ayahmu belum sempat bercerita karena masih banyak persoalan yang harus diurus ayahmu berhubung dengan pemberontakan itu."

"Ibu saja yang bercerita! Bagaimana terjadinya peristiwa itu, Ibu?"

"Malam kemarin, ketika kami berkumpul di ruangan dalam, dalam keadaan tegang karena pada siang harinya terjadi pertempuran dan pasukan kita terdesak mundur sehingga hanya menjaga di dalam benteng istana dan pintu gerbang ditutup rapat. Malam itu tidak terjadi pertempuran akan tetapi kami semua dapat menduga bahwa besok paginya para pemberontak tentu akan menyerang lagi.

Tiba-tiba dua orang pengawal pribadi ayahmu, dengan golok di tangan, menyerang ayahmu. Mereka telah menjadi antek Pangeran Hiu Kit Bong. Karena serangan itu dilakukan tiba-tiba maka agaknya tidak ada yang akan dapat menyelamatkan ayahmu, akan tetapi tiba tiba dari luar jendela ada dua sinar hijau meluncur masuk dan mengenai dua orang penyerang itu yang senjata mereka terlepas dan mereka sendiri lalu terpelanting. Mereka ditangkap para pengawal lainnya dan ternyata yang menancap di tangan mereka hanyalah dua helai daun hijau!"

Moguhai memandang ibunya dengan sinar mata kagum.

"Hebat! Bukan main! Daun basah dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia! Alangkah saktinya!"

"Aku tahu bahwa hanya paman Sie saja yang mampu melakukan hal itu. Aku memandang keluar jendela dan aku yakin melihat bayangannya berkelebat di luar jendela. Kemudian, selagi ayahmu bertanya-tanya di mana adanya engkau, tiba-tiba dari luar jendela melayang sehelai kertas bersurat." Tan Siang Lin lalu mengambil sebuah lipatan kertas dari ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Moguhai.

"Inilah suratnya, masih kusimpan."

Moguhai yang sudah merasa kagum sekali cepat menerima surat itu dan membuka lipatan lalu membacanya.

"Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke kota raja dengan pasukannya. Pertahankan istana sampai mereka datang."

"Ibu yakin bahwa surat inipun dilayangkan oleh Paman Sie?" tanya puteri itu.

Ibunya mengangguk.

"Aku yakin sekaIi. Aku mengenal tulisannya yang indah itu."

Diam-diam Moguhai menduga bahwa tentu hubungan antara ibunya dan Paman Sie amat akrab, kalau tidak begitu tentu ibunya tidak akan dapat mengenal tulisan Paman Sie! Apakah mereka itu pernah saling bersurat-suratan? Moguhai tidak berani menanyakan ini karena takut menyinggung perasaan ibunya dengan dugaan yang terlalu jauh itu.

"Ibu menurut cerita Thian Liong, Tiong Lee Cin-jin itu melakukan perantauan jauh ke barat sampai belasan tahun dan ketika dia kembali, dia membawa banyak kitab milik aliran-aliran persilatan yang dulunya hilang. Dia mengembaIikan kitab-kitab itu kepada pemilik aselinya. Paman Sie juga telah memberi tiga jilid kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi kepadaku. Juga ilmu kepandaian mereka berdua itu amat tinggi. Aku kira mereka berdua itu hanya satu orang saja. Benarkah bahwa paman Sie itu adalah Tiong Lee Cin-jin?"

Tan Siang Lin menghela napas.

"Mungkin sekali demikian, Moguhai. Dia tidak pernah mengatakan kepadaku bahwa dia juga disebut Tiong Lee Cin-jin walaupun"" eh, dia juga telah pergi selama belasan tahun lamanya dan kami tidak pernah saling berjumpa."

"Hemm, dan ibu baru berjumpa padanya di taman itu setelah belasan tahun saling berpisah?"

Tan Siang Lin mengangguk dan kembali menghela napas.

"Sudahlah, Moguhai. Jangan banyak membicarakan dia, tidak enak kalau didengar orang lain, disangkanya nanti ada apa-apa"..."

"Jangan khawatir, ibu. Aku selalu merahasiakan Paman Sie seperti yang ibu pesan dulu."

"Baik sekali kalau begitu, anakku. Ingat saja bahwa Paman Sie itu adalah gurumu dan dulu, dulu sekali dia adalah sahabat baik ibumu."

Moguhai amat menyayang ibunya. Setelah ibunya berkata demikian iapun membelokkan percakapan tentang hal lain dan tidak menyinggung nama Paman Sie lagi. Setelah melepaskan kerinduannya kepada keluarga istana selama tiga hari, Moguhai lalu ikut Thian Liong melakukan perjalanan ke Selatan.

Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu, lebih tepat kita sebut Pek Hong Nio-cu karena selama melakukan perjalanan bersama Thian Liong ia tidak pernah mengaku sebagai Puteri Moguhai, menunggang kuda di sebelah Thian Liong. Mereka telah melakukan perjalanan jauh dan kini sudah mulai memasuki wilayah kerajaan Sung setelah kemarin mereka menyeberangi Sungat Yang-ce.

Selama perjalanan mereka di wilayah kerajaan Kin, yaitu di seberang utara Sungai Yang-ce, mereka tidak menemui banyak kesulitan. Pek Hong Nio-cu selalu disambut dengan penuh kehormatan setelah para pembesar setempat mengetahui, dari pedang kekuasaannya, bahwa ia adalah puteri kaisar. Dan perjalanan itu dipergunakan pula oleh Pek Hong Nio-cu menyelidiki para pembesar. Kalau menemukan pembesar yang sewenang-wenang terhadap rakyat, jahat dan korup, seperti raja kecil yang lalim, ia segera turun tangan memberi hajaran dan memperingatkan mereka dengan keras.

Pada suatu pagi mereka memasuki Kota Ciu-siang, kota pertama wilayah kerajaan Sung yang berada di daerah barat. Mereka tidak langsung memasuki wilayah Kerajaan Sung dari timur yang sebetulnya lebih dekat dan mereka dapat langsung tiba di Lin-an (Hang-chouw) yaitu kota raja Sung karena daerah timur itu merupakan tempat yang gawat, perbatasan dijaga kedua pihak sehingga melakukan perjalanan lewat daerah itu akan mengalami banyak gangguan dan bahaya.

Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo



Karena malam tadi mereka berdua melakukan perjalanan setengah malam di bawah sinar bulan purnama, mereka dan juga kuda mereka telah lelah. Pek Hong Nio-cu mengajak Thian Liong yang kini menjadi penunjuk jalan di daerah Sung yang lebih dikenalnya, untuk mencari rumah penginapan agar mereka dapat beristirahat. Sebelum memasuki daerah kerajaan Sung, atas nasihat Thian Liong, Pek Hong Nio-cu mengganti pakaiannya dengan pakaian yang biasa dipakai para gadis pribumi Han. Hal ini amat penting karena kalau ia mengenakan pakaian gadis bangsawan bangsa Nu chen (Yuchen), hal itu akan menimbulkan banyak masalah dan mungkin saja ia akan dimusuhi oleh rakyat pribumi.

Pek Hong Nio-cu yang memang sudah mempersiapkan pakaian pengganti, memakai pakaian gadis Han, akan tetapi tetap saja pakaian itu dari sutera putih dan perhiasan burung Hong di kepalanya masih dipakainya, hanya gelung rambutnya disesuaikan dengan bentuk gelung rambut gadis pribumi Han. Penampilannya tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali karena wajah puteri itu memang lebih mirip gadis pribumi Han daripada bangsa Nuchen. Hanya saja, karena ia memang amat cantik jelita, maka di mana saja, orang-orang, terutama para pria, yang melihatnya akan memandang dengan kagum.

Mereka berdua turun dari atas punggung kuda mereka di pelataran sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan segera menyambut dan mengurus kuda mereka. Mereka lalu berjalan memasuki ruangan depan rumah penginapan itu dan minta kamar kepada pengurus penginapan yang duduk di belakang meja penerima tamu.

Agaknya memang menjadi peraturan di kota dekat perbatasan itu bahwa para tamu harus memperkenalkan namanya. Ketika ditanya, Thian Liong menjawab tenang.

"Namaku Souw Thian Liong dan nona ini adalah adikku, Souw-siocia (Nona Souw). Kami hendak pergi ke kota raja.

Mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingan. Mereka lalu memasuki kamar masing-masing untuk tidur karena merasa lelah dan mengantuk. Setelah matahari naik tinggi, keduanya terbangun dengan tubuh terasa segar kembali. Setelah mandi dan menukar pakaian, mereka berdua pergi ke rumah makan yang berada di samping rumah penginapan dan memesan makanan.

Se!agi mereka minum air teh sehabis makan, tiba-tiba mereka dan semua orang yang sedang makan dalam rumah makan itu dikejutkan oleh masuknya serombongan orang yang ternyata adalah perajurit-perajurit berpakaian seragam dan jumlah mereka ada belasan orang, dipimpin oleh seorang perwira yang bertubuh tinggi besar.

Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu bersikap tenang dan memandang kepada perwira yang memimpin pasukan kecil itu. Mereka melihat pula pengurus rumah penginapan yang juga tampak memasuki rumah makan dan orang ini mendekati sang perwira dan menudingkan telunjuknya ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Mengikuti petunjuk pengurus rumah penginapan, perwira itu segera melangkah lebar menghampiri Thian Liong, diikuti belasan orang anak buahnya.

Para tamu rumah makan menjadi ketakutan dan mereka bergegas meninggalkan rumah makan itu setelah cepat-oepat menghentikan makan mereka dan membayar harga makanan di meja pengurus rumah makan. Berdasarkan pengalaman, kalau pasukan datang, tentu terjadi keributan dan mereka tidak ingin tersangkut.

Tak lama kemudian, hanya tinggal Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu yang masih tinggal di rumah makan itu. Para pelayan rumah makan juga sudah keluar dan berkumpul di pelataran, menonton dari kejauhan.

Biarpun maklum bahwa perwira yang diikuti serombongan perajurit itu menghampiri meja mereka, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu masih tenang saja. Bahkan Pek Hong Nio-cu dengan sikap acuh mengangkat cangkir air tehnya dan minum.

Setelah tiba dekat meja, Thian Liong, perwira yang berusia kurang lebih empatpuluh tahun, tinggi besar dan mukanya brewok, matanya lebar itu memandang kepada Thian Liong lalu bertanya dengan suara parau dan sikapnya kasar.

"Hei, apakah kamu yang bernama Souw Thian Liong?"

Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnys dan merasa tak senang, akan tetapi Thian Liong memberi isyarat kepadanya agar diam, lalu dia sendiri dengan sikap tenang menjawab.

"Benar, aku bernama Souw Thian Liong. Ada apakah, ciang-kun (perwira)?"

"Bagus!" Perwira itu mencabut pedangnya, diikuti belasan orang anak buahnya yang juga mencabut golok mereka.

"Souw Thian Liong, menyerahlah, kami harus menangkapmu. Jangan melawan agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan!"

Thian Liong masih tetap duduk tenang. Pek Hong Nio-cu bahkan lebih tenang lagi. Tanpa memperdulikan pasukan kecil itu yang mengepung dan semua mata ditujukan kepadanya dengan mata penuh marah dan mulut menyeringai kurang ajar, ia menuangkan air teh dari poci memenuhi cangkirnya.

"Aku tidak mempunyai kesalahan apapun, ciangkun. Kenapa engkau hendak menangkap aku? Katakan dulu apa kesalahanku, kalau aku memang bersalah, tentu aku menyerah dengan senang hati untuk kautangkap," kata Thian Liong, tidak menunjukkan rasa penasaran di hatinya dalam ucapan atau sikapnya.

Perwira tinggi besar itu tertawa.

"Ha-ha-ha, engkau masih pura-pura bertanya? Engkau adalah seorang buruan pemerintah. Engkau seorang pengkhianat yang menjadi antek kerajaan Kin, tentu engkau hendak memata-matai daerah ini, bukan? Nah, menyerahlah kutangkap dan kuhadapkan kepada jaksa! Dan Nona inipun akan kami tangkap karena ia berada bersamamu, apalagi engkau mengaku bahwa ia adikmu, tentu tersangkut dengan pengkhianatan dan kejahatanmu!" Perwira itu lalu menoleh kepada anak buahnya.

"Belenggu kedua tangan pengkhianat ini!"

Akan tetapi pada saat itu, Pek Hong Nio-cu sudah menggerakkan cangkir tehnya dan air . teh dari cangkir itu menyiram muka si perwira dengan cepat sekali.

"Ah...... aduh......!" Perwira itu meraba mukanya yang terasa perih seperti ditusuki jarum dan matanya pedas tersiram air teh yang masih panas! "Serang mereka!" bentaknya sambil menggosok-gosok matanya yang belum dapat dibuka.

Belasan orang perajurit itu lalu menerjang maju dan menggerakkan golok mereka menyerang Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu!

"Nio-cu, jangan bunuh orang!" Thian Liong berseru kepada gadis itu.

Pek Hong Nio-cu menendang meja di depannya. Meja melayang dan menimpa para perajurit sehingga empat orang kena hantam meja dan roboh. Dua orang muda itu lalu melompat dan kaki tangan mereka bergerak cepat. Terdengar teriakan teriakan mengaduh disusul golok beterbangan lepas dari tangan para perajurit dan tubuh mereka berpelantingan menabrak meja kursi dalam ruangan rumah makan itu!

Si perwira yang belum sempat dapat membuka matanya, disambar sebuah kaki mungil Pek Hong Nio-cu.

Tendangan itu mengenai perutnya, terdengar suara berdebuk dan tubuh perwira itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai. Dia mengaduh dan memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa mulas melilit-lilit. Mungkin usus buntunya kena tendang Pek Hong Nio-cu. Dua orang muda itu mengamuk dan dengan tamparan dan tendangan, dalam waktu pendek saja belasan orang perajurit itupun sudah dapat mereka robohkan.

"Kita pergi!" kata Thian Liong dan mereka berdua cepat meninggalkan rumah makan, kembali ke rumah penginapan, bermaksud mengambil buntalan pakaian mereka. Akan tetapi ternyata buntalan pakaian itu sudah tidak ada lagi!

Mereka cepat keluar dan Thian Liong sudah menangkap leher baju pengurus rumah penginapan dan membentak,

"Katakan di mana buntalan pakaian kami!" Dia mengguncang orang itu yang menjadi ketakutan.

"Maaf...... kami...... kami tidak berdaya...... buntalan-buntalan itu telah disita perajurit......!"

"Keparat!" Pek Hong Nio-cu berseru marah.

"Sudahlah, kita pergi, ambil kuda!"

Mereka berlari ke kandang kuda. Untung bahwa pedang dan bekal perhiasan Pek Hong Nio-cu tadi dibawa ketika makan sehingga yang tersita hanya pakaian saja. Setelah tiba di kandang kuda, mereka melihat empat orang perajurit seclang menuntun kuda mereka. Mereka menjadi marah dan melompat ke depan, merobohkan empat orang perajurit itu dengan mudah lalu keduanya melompat ke atas punggung kuda dan membalapkan kuda mereka keluar dari kota Ciu-siang.

Setelah jauh meninggalkan kota Ciu-siang ke arah timur, menyusuri sungai Yang-ce tiba di kota Ki-bun. Mereka berhenti di tempat yang sepi di luar kota yang sudah tampak tak jauh di depan, lalu melompat turun dari kuda dan duduk di atas batu di tepi jalan. Mereka tadi telah membalapkan kuda selama beberapa jam. Matahari mulai condong ke barat.

Pek Hong Nio-cu menghapus keringat dari dahi dan lehernya, menggunakan sehelai saputangan.

"Ah, aku merasa tidak enak kepadamu, Thian Liong. Agaknya pemerintah Kerajaan Sung telah menganggap engkau menjadi pengkhianat dan menjadi mata mata Kerajaan Kin. Ini tentu akibat engkau membantu kami di sana."

"Tidak perlu merasa begitu, Nio-cu. Aku membantu kerajaan ayahmu untuk menentang pemberontakan di sana, bukan untuk memusuhi kerajaan Sung. Ini tentu fitnah belaka. Akan tetapi sungguh heran, bagaimana mereka bisa tahu?"

Pek Hong Nio-cu tersenyum.

"Aku tahu, Thian Liong. Pasti suhengmu yang jahat itu yang menyebarkan fitnah ini sehingga engkau dicap sebagai buronan pemerintah kerajaan Sung."

"Hemm, kalau benar-benar demikian, sungguh jahat sekali Cia Song. Dia memutar-balikkan kenyataan. Dialah sesungguhnya pengkhianat yang sangat jahat, antek Perdana Menteri Chin Kui. Akan tetapi, aku masih sangsi. Jangan-jangan hanya pembesar di kota Ciu-siang saja yang entah bagaimana memang membenciku."

"Mari kita mencoba lagi. Kita memasuki kota di depan itu, sekalian kita membeli pakaian pengganti karena pakaian kita telah habis disita di kota Ciu-siang."

"Baik, mari kita memasuki kota di depan itu. Kalau tidak salah, itu adalah kota Ki-bun."

"Akan tetapi sebaiknya kalau kuda kita ditinggal di luar kota, Thian Liong. Kalau benar dugaanku bahwa namamu sudah dicap sebagai buronan pemerintah sehingga di kota Ki-bun engkau juga akan dikejar-kejar, kita lebih mudah untuk melarikan diri," kata Pek Hong Nio-cu.

Thian Liong menyetujui usul ini dan mereka menemukan sebuah rumah petani di luar kota. Mereka lalu menitipkan kuda dan pedang mereka kepada nenek petani pemilik rumah itu, kemudian mereka berdua berjalan memasuki kota Ki bun. Mereka meninggalkan pedang agar tidak menarik perhatian orang.

Benar saja, mereka memasuki kota Ki-bun dengan aman dan Pek Hong Nio cu mengajak Thian Liong berbelanja pakaian di toko. Setelah membungkus pakaian mereka dalam buntalan dan mereka gendong di punggung, Thian Liong mengajak Pek Hong Nio-cu pergi ke sebuah rumah penginapan dan dengan sengaja Thian Liong memperkenalkan nama lengkapnya kepada pengurus rumah penginapan. Mereka lalu makan di rumah makan dan kembali ke rumah penginapan untuk melewatkan malam dalam dua buah kamar yang mereka sewa.

Malam itu, mereka tidur dalam keadaan siap siaga. Buntalan pakaian sudah dipersiapkan di atas meja dan mereka merebahkan diri dengan pakaian lengkap berikut sepatu agar kalau ada apa-apa mereka dapat cepat melarikan diri membawa buntalan pakaian yang baru mereka beli sore itu. Mereka menunggu dengan tenang-tenang saja dan dapat tidur pulas walaupun mereka tetap waspada sehingga biarpun tertidur, mereka peka sekali.

Ternyata mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Seperti yang mereka duga, umpan pancingan Thian Liong berhasil. Pengurus rumah penginapan itu memang sudah mencatat nama Souw Thian Liong sebagai buronan pemerintah, seperti juga para pengurus semua penginapan. Begitu mengetahui bahwa tamunya bernama Souw Thian Liong, pengurus penginapan segera melaporkan kepada komandan pasukan keamanan setempat. Komandan itu segera membawa tigapuluh orang anak buahnya dan pasukan ini mengepung dua kamar di mana Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berada.

Komandan pasukan lalu menggedor daun pintu kamar Thian Liong.

"Tok-tok-tok! Souw Thian Liong, keluar dan menyerahlah!"

Mendengar gedoran pintu dan teriakan ini, Thian Liong segera menyambar buntalan pakaian dan digendongnya. Demikian pula yang dilakukan Pek Hong Nio-cu. Mereka berdua, hampir bersamaan membuka daun pintu dan menerjang keluar.

"Tangkap! Serang mereka!" Komandan pasukan itu memberi aba-aba.

Tigapuluh orang anak buahnya bergerak dengan golok di tangan. Akan tetapi, seperti sudah mereka sepakati, Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong tidak melayani mereka berkelahi. Dua orang itu menerjang keluar, merobohkan siapa saja yang menghadang dengan tamparan atau tendangan. Mereka yang berani menghadang roboh terpelanting dan dua orang muda itu bagaikan dua ekor burung saja lalu melompat jauh ke depan, keluar dari rumah penginapan itu. Komandan pasukan berteriak-teriak, memberi aba-aba pengejaran dan mereka semua mengejar keluar. Akan tetapi Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mempergunakan ilmu berlari cepat dan sebentar saja mereka sudah menghilang dalam kegelapan malam karena bulan belum muncul. Para pengejar kehilangan jejak dan arah. Dengan ngawur mereka menggeledahi rumah-rumah sehingga penduduk kota Ki-bun menjadi geger.

Yang dikejar dan dicari sudah berada di luar kota. Pek Hong Nio-cu memberi hadiah dua potong perak kepada nenek petani itu yang menerimanya dengan gembira sekali. Dua potong itu baginya merupakan jumlah yang amat banyak.

Nenek janda ini berulang-ulang mengucapkan terima kasih dan merasa heran akan tetapi tidak berani bertanya ketika dua orang tamunya itu malam-malam begitu melanjutkan perjalanan mereka.

Sekarang yakinlah mereka berdua bahwa nama Souw Thian Liong memang sudah disiarkan di semua kota sebagai buruan pemerintah, sebagai pengkhianat yang jahat dan berbahaya!

"Heran sekali! Kalau benar Cia Song yang melakukan fitnah ini, bagaimana dia dapat menyiarkan fitnah itu ke semua kota, dan bagaimana pula para pembesar setempat percaya akan keterangan palsunya itu?" kata Thian Liong ketika mereka berdua melanjutkan perjalanan setelah meninggalkan kota Ki-bun.

"Kenapa heran, Thian Liong? Tentu saja Cia Song tidak menyiarkan fitnah itu oleh dia sendiri. Lupakah bahwa dia adalah antek dari Perdana Menteri Chin Kui yang berkuasa? Tentu dia melaporkan segala hal yang terjadi di kerajaan kami itu kepada Chin Kui dan Chin Kui yang menyebarluaskan fitnah itu melalui para pembesar. Dengan kekuasaan dan pengaruhnya yang besar, tentu saja dia dapat memerintahkan para pembesar untuk menangkapmu. Mungkin juga dia sudah membujuk Kaisar Sung Kao Tsu dengan meyakinkan hati kaisar itu bahwa engkau benar-benar seorang pengkhianat sehingga kaisar sendiri yang mengeluarkan perintah penangkapan atas dirimu."

Thian Liong mengerutkan alisnya dan mengepal tinjunya.

"Ah, alangkah jahatnya Cia Song dan Perdana Menteri Chin Kui!"

"Karena itu, kita harus berhati-hati, Thian Liong. Menurut pendapatku, sebaiknya engkau jangan ke kota raja lebih dulu karena kalau sampai engkau ketahuan memasuki kota raja dan pasukan bergerak untuk menangkapmu, tentu akan berbahaya sekali bagimu. Bagaimana engkau, dibantu olehku sekalipun, akan dapat melawan pasukan besar kota raja, apalagi di sana terdapat banyak jagoan jagoan yang tinggi ilmunya?"

"Hemm, agaknya pendapatmu itu ada benarnya, Nio-cu. Akan tetapi kalau aku tidak pergi ke kota raja, lalu bagaimana aku dapat melakukan tugasku menentang Perdana Menteri Chin Kui? Dan akupun harus mencari Cia Song. Orang itu ternyata jahat dan palsu. Dia adalah seorang pengkhianat Siauw-lim-pai dengan menjadi murid Ali Ahmed datuk sesat itu dan juga telah mengkhianati kerajaan Sung. Malah dia juga membantu pemberontakan di kerajaan Kin. Aku harus menangkapnya dan membawanya ke Siauw-lim-pai agar dia mendapatkan keputusan peradilan di Siauw-lim-pai."

"Akan tetapi, ketika dahulu kita akan ditangkap itu, Cia Song mengatakan bahwa engkau akan ditawan dan dibawa ke Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai untuk menerima hukuman. Apa artinya kata-kata itu?"

"Hemm, aku sendiri juga tidak tahu apa yang dia maksudkan. Aku tidak merasa melakukan kesalahan apapun terhadap Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai. Akan tetapi aku masih bingung, karena sekarang aku dinyatakan buronan oleh pembesar Kerajaan Sung, lalu bagaimana aku dapat pergi ke kota raja?"

"Kita mencari jalan nanti, Thian Liong. Yang penting, sekarang kita harus menghindari kota-kota besar. Tidak mungkin pejabat kecil di desa sudah mendengar bahwa engkau dinyatakan buron oleh pemerintah. Kita melewati desa-desa saja, dan kita mencoba untuk mencari gadis baju merah yang telah mencuri kitabmu. Nanti kita mencari jalan untuk melakukan penyelidikan di kota raja tentang Chin Kui dan Cia Song. Kurasa untuk menentang Perdana Menteri itu tidak mungkin kaulakukan seorang diri saja. Dia tentu mempunyai banyak pendukung dan pasukan."

Thian Liong mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum kepada puteri ini. Ternyata selain lihai ilmu silatnya dan baik budinya, Pek Hong Nio-cu juga berpandangan luas dan agaknya dapat membuat perhitungan dengan teliti. Masih begitu muda namun agaknya pengertiannya tentang seluk beluk pemerintahan dan lawan-lawannya cukup luas.

"Ah, Nio-cu. Kalau tidak ada engkau yang membantuku, entah apa yang akan kulakukan. Aku sendiri menjadi bingung melihat pemerintah menganggap aku seorang pengkhianat yang harus ditangkap."

"Tenanglah, Thian Liong. Bukankah engkau sendiri yang pernah menasihatiku bahwa orang yang benar dilindungi Tuhan? Setidaknya kita berdua tahu benar bahwa engkau bukan pengkhianat, bukan mata-mata kerajaan Kin, engkau tidak bersalah. Ini semua hanya fitnah yang dilakukan seorang yang jahat, yaitu Cia Song yang dibantu oleh seorang pembesar lalim seperti Chin Kui. Kita akan lawan mereka dan kita harus yakin bahwa akhirnya kita akan dapat mengalahkan mereka."

Bagaimanapun juga keadaan dirinya yang menjadi orang buruan pemerintah tanpa melakukan kesalahan apapun itu membuat Thian Liong menjadi murung. Dia berhutang budi kepada gurunya dan dia selalu menaati perintah gurunya. Tiong Lee Cin-jin menyuruh dia menyerahkan kitab-kitab kepada mereka yang berhak. Perintah pertama ini belum dilaksanakan semua, bahkan mengalami kegagalan karena sebuah kitab milik Kun lun-pai dicuri gadis baju merah dan sampai sekarang dia belum dapat menemukannya kembali untuk diserahkan kepada Kun-lun-pai. Kemudian, perintah kedua agar dia membela kerajaan dan menentang Perdana Menteri Chin Kui, belum dia laksanakan malah sekarang dia dianggap pengkhianat oleh kerajaan Sung dan menjadi orang buruan yang dikejar-kejar dan hendak ditangkap pemerintah.

Hal ini membuat dia murung dan kecewa kepada diri sendiri. Dia merasa malu kepada gurunya yang demikian baiknya. Bahkan ketika dia dan Pek Hong Nio-cu terancam bahaya dan tertawan oleh pemberontak kerajaan Kin, gurunya itu muncul dan menyelamatkannya! Dia yakin bahwa gurunya yang berilmu tinggi itu pasti sudah tahu akan semua kegagalannya dan hal ini membuat dia merasa malu sekali.

Melihat wajah Thian Liong yang muram dan tidak bahagia, Pek Hong Nio-cu merasa iba.

"Thian Liong, sudah lama sekali, ketika masih kanak-kanak, ibuku bercerita kepadaku tentang keindahan sebuah telaga yang disebutnya See-ouw (Telaga Barat). Aku ingin sekali melihat keindahan telaga itu. Maukah engkau mengajak aku ke sana?"

Ucapan itu dikeluarkan dengan nada suara yang manis dan membujuk sehingga Thian Liong merasa tidak tega untuk menolak. Maka, mereka mengurungkan perjalanan mereka menuju Lin-an, kota raja Kerajaan Sung Selatan, melainkan membalik, menuju ke arah Telaga Barat.

Sepasang suami isteri yang menunggang kuda, menjalankan kudanya perlahan-lahan menyusuri sepanjang tepi See ouw (Telaga Barat) yang cukup luas itu.

Pagi itu matahari yang baru muncul dari balik bukit, tampak berseri dan cahaya yang masih lembut itu menghangatkan tubuh dan hati kedua orang suami isteri yang menunggang kuda dengan santai itu. Mereka menikmati keindahan alam pagi hari itu, tidak pernah merasa bosan walaupun sudah bertahun-tahun mereka seringkali melakukan perjalanan seperti itu.

Yang pria berusia sekitar empatpuluh lima tahun, akan tetapi dia tampak lebih tua daripada umurnya. Rambut di atas kedua telinganya sudah memutih dan ada garis-garis duka pada wajahnya. Wajahnya biasa saja, tidak terlalu tampan namun tidak pula jelek, akan tetapi pada mata dan mulut itu, juga pada sikap tubuh dan penampilannya, membayangkan kejantanan dan kegagahan. Sebatang pedang yang berada di pungungnya menambah kegagahannya. Dia memang seorang yang gagah perkasa, bahkan pernah menjadi komandan Pasukan Halilintar, sebuah pasukan dalam barisan yang dipimpin mendiang Jenderal Gak Hui yang amat terkenal itu. Pria ini bukan lain adalah Han Si Tiong yang sudah kita kenal dalam bagian awal kisah ini.

Adapun isterinya, yang menunggang kuda di sampingnya, adalah Liang Hong Yi, berusia sekitar tigapuluh delapan tahun. Wajahnya cantik manis, berbentuk bulat telur, terutama sekali bibirnya yang membuat ia tampak menarik sekali, apa lagi ada tahi lalat di dagu yang menambah kemanisannya. Juga wanita ini membawa pedang di punggungnya.

Pada awal kisah ini diceritakan betapa Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, duabelas tahun yang lalu, ikut berjuang sebagai bawahan mendiang Jenderal Gak Hui, melawan pasukan-pasukan Kin di perbatasan. Suami isteri ini dengan Pasukan Halilintarnya membuat kemenangan dan jasa, akan tetapi tiba-tiba saja mendiang Jenderal Gak Hui menerima perintah dari kaisar untuk menarik mundur pasukannya. Ini adalah akibat dari bujukan Perdana Menteri Chin Kui kepada Kaisar yang menghentikan perang terhadap kerajaan penjajah Kin. Bahkan kemudian Perdana Menteri Chin Kui berhasil membujuk Kaisar dan menjatuhkan fitnah kepada Jenderal Gak Hui sehingga panglima yang gagah perkasa dan setia ini dihukum mati.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi dalam sebuah pertempuran berhasil menewaskan Pangeran Cu Si, pangeran Kerajaan Kin. Mereka mengambil pedang bengkok pangeran Kin ini untuk oleh-oleh puterinya, Han Bi Lan, yang ketika itu berusia kurang lebih tujuh tahun dan yang memang memesan kepada ayahnya agar dioleh-olehi pedang bengkok itu. Akan tetapi ketika mereka berdua pulang ke Lin-an, mereka mendapatkan bahwa Lu-ma, pengasuh Bi Lan, tewas terbunuh orang dan puteri mereka itu lenyap diculik pembunuh itu!

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi merantau untuk mencari puteri mereka yang hilang. Namun semua usaha bertahun-tahun mereka sia-sia. Dan mereka mendengar betapa Jenderal Gak Hui telah dijatuhi hukuman mati. Hal ini membuat mereka berduka sekali dan mereka tidak mau kembali ke kota raja, tidak mau mengabdi kepada Kaisar. Setelah bertahun-tahun mencari puterinya dengan sia-sia, akhirnya mereka tinggal di sebuah dusun Kian-cung dekat Telaga Barat. Mereka membeli tanah, mendirikan rumah sederhana dan menjadi petani.

Seringkali suami isteri ini menunggang kuda berjalan-jalan di waktu pagi menyusuri tepi telaga. Tidak ada seorangpun penduduk daerah telaga itu yang mengetahui bahwa Han Si Tiong, yang mereka sebut Han-sicu dan Liang Hong Yi yang mereka sebut Han-toanio adalah suami isteri yang dulu pernah memimpm Pasukan Halilintar yang terkenal. Para penduduk hanya mengenal mereka sebagai seorang gagah yang memberantas kejahatan di telaga sehingga daerah itu menjadi aman dan tidak ada lagi perampok yang suka mengganggu penduduk pedusunan. Mereka dihormati semua orang yang tinggal sekitar Telaga Barat.

Pagi itu, seperti biasa, Han Si Tiong dan Liang Hong Yi berjalan-jalan menunggang kuda di tepi telaga. Ketika mereka tiba di bagian yang sepi karena daerah itu berhutan yang panjangnya sekitar dua lie (mil) di tepi telaga dan melewati sebuah pohon besar, tiba-tiba kedua ekor kuda tunggangan mereka meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas dengan ketakutan.

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi cepat melompat turun agar tidak sampai terjatuh dan mereka memegang kendali kuda, berusaha menenangkan kuda mereka. Akan tetapi pada saat itu, seekor ular kobra melompat dari depan dan dengan cepat sekali, seperti anak panah menyambar, ular itu menggigit kaki kedua ekor kuda itu. Kuda-kuda itu meringkik keras, meronta sehingga kendali yang dipegang Han Si Tiong dan Liang Hong Yi putus. Dua ekor kuda itu melompat, akan tetapi baru beberapa tombak jauhnya mereka Iari, mereka lalu roboh terguling dan tewas seketika!

Han Si Tiong dan Liang Hong Yi marah sekali melihat kuda mereka tewas digigit ular kobra. Mereka mencabut pedang dan bermaksud membunuh ular kobra itu. Akan tetapi tiba-tiba ular kobra itu melayang ke bawah pohon besar.

Suami isteri itu memandang dan mereka terbelalak kaget dan heran melihat betapa ular kobra itu ditangkap seorang kakek dan setelah berada di tangan kakek itu ular kobra yang tadi menggigit mati dua ekor kuda mereka, kini berubah menjadi sebatang tongkat ular kobra kering! Suami isteri itu, dengan pedang masih di tangan, memandang kepada kakek itu dengan penuh perhatian.

Kakek itu sudah tua, tentu sudah lebih dari tujuhpuluh tahun usianya. Rambut, kumis dan jenggotnya yang lebat sudah putih semua. Kepalanya yang berambut putih itu ditutupi sebuah topi yang biasa dipakai oleh suku bangsa Uigur. Tubuhnya sedang, agak kurus namun masih membayangkan ketegapan dan kekuatan. Wajah yang berkumis dan berjenggot lebat itu tampak menyeramkan, terutama karena sepasang matanya liar, bergerak gerak ke kanan kiri dan bersinar tajam dan mengandung kekuatan dan wibawa.

Kakek yang tadinya duduk bersandar batang pohon besar itu kini terkekeh aneh dan bangkit berdiri, bertopang pada tongkatnya yang ternyata merupakan seekor ular kobra kering yang tentu saja sudah mati dan kaku keras. Sepasang suami isteri itu menatap ke arah tongkat itu dan hati mereka merasa ngeri.

Bagaimana mungkin seekor ular kobra yang sudah mati, kaku dan kering, tiba tiba dapat hidup kembali dan menggigit dua ekor kuda mereka sampai mati keracunan? Mereka berdua adalah ahli-ahli silat yang pandai, akan tetapi menghadapi peristiwa tadi, mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang ahli sihir yang berbahaya. Hanya dengan kekuatan sihir saja ular yang mati dapat menyerang seperti ular hidup! Han Si Tiong maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka diapun mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan, diturut oleh isterinya.

Kisah Sepasang Naga Eps 5 Pedang Ular Merah Eps 5

Cari Blog Ini