Ceritasilat Novel Online

Gelang Kemala 16


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 16




"Huh!" Lee Cin membuang muka lalu meloncat pergi meninggalkan pemuda itu. Thian Lee menarik napas panjang dan sampai lama dia duduk di atas batu yang terbelah dua oleh pedang Lee Cin tadi. Dia termenung. Hubungan antara pria dan wanita memang membutuhkan kejujuran. Apa yang dia lakukan tadi sudah benar. Kalau dia tidak berterus terang, berarti dia memelihara harapan Lee Cin, harapan yang akhirnya akan sia-sia belaka dan membuat gadis itu kelak akan menjadi lebih sedih lagi.

Dan dia pun harus berterus terang kepada Cin Lan. Ya, benar! Dalam urusan cinta dia harus jujur. Mengapa merasa rendah diri? Dalam kesempatan pertama, kalau dia bertemu dengan Cin Lan, dia akan mengakui cintanya! Mungkin juga dia akan mengalami dan merasakan seperti apa yang dialami dan dirasakan Lee Cin. Mungkin cintanya akan ditolak gadis bangsawan itu dan itu lebih baik daripada merahasiakannya, daripada mengharapharapkan hal yang belum tentu. Dia akan mengaku cinta kepada Cin Lan!

Keputusan hatinya ini mendatangkan semangat kepadanya dan mengusir kegundahannya oleh urusan dengan Lee Cin tadi. Dia lalu bangkit dan melanjutkan perjalanannya ke kota raja.

Tidak sukar bagi Thian Lee untuk menemukan di mana tempat tinggal Gui-ciangkun atau Gui Tiong In. Nama pang-lima inl sudah terkenal sekali di kota raja, sebagai seorang panglima yang sudah banyak jasanya dalam menumpas pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah perbatasan. Setelah menemukan alamat Gui-ciangkun, Thian Lee lalu datang berkunjung. Kepada para petugas keamanan dia memberitahukan siapa namanya dan apa kepentingannya hendak bertemu Gui-ciangkun. Dia mengatakan bahwa dia membawa berita dari Souwbengcu.

Begitu mendengar bahwa ada seorang utusan dari Souw-bengcu minta mengha-dap, Guiciangkun segera menemui Thian Lee di sebuah kamar tamu yang tertutup. Setelah bertemu, Thlan Lee memberi hormat dan memandang panglima itu dengan kagum. Seorang panglima yang gagah berwibawa, berusia lima puluh tahun lebih. Sebaliknya, Gui-ciangkun juga mengamati tamunya dan merasa heran bahwa Souw-bengcu mengutus seorang yang masih begitu muda untuk menemuinya.

"Ciangkun, saya Song Thian Lee utus oleh Souw-bengcu untuk menghadap Ciangkun," kata Thian Lee memperkenalkan dirinya.

"Duduklah, Song-sicu dan kataki nlah, pesan apa yang harus kau sampaikan kepadaku," kata Gui-cianekun mempersilakan tamunya duduk.

Thian Lee mengeluarkan sampul surat pertamli yang ditujukan kepada panglima itu, yang diterima oleh tuan rumah lalu dibacanya. Wajah panglima itu nampak serius ketika dia membaca surat itu dan isinya tentu arnat penting karena dia mengulang pembacaannya. Setelah selesai membaca, dia berkata kepada Thian Lee dan pandangannya terhadap pemuda itu sudah berbeda.

"Song-taihiap, saya sudah membaca banyak keterangan Souw-bengcu tentang diri dan kemampuan Tai-hiap, dan tentang pergolakan yang sedang terjadi di kota raja. Memang di sini sedang terjadi pembunuhan-pembunuhan aneh terhadap beberapa orang pangeran dan pejabat tinggi. Kalau benar apa yang dikemuka-kan bengcu ini, sungguh merupakan malapetaka besar. Dalam suratnya, Souw-bengcu menyebutkan bahwa engkau mem-bawa sepucuk suratnya untuk dihaturkan Sri Baginda Kaisar, benarkah?"

"Benar, Ciangkun. Suratnya ada pada saya
.

"Baik, kalau begitu, mari sekarang juga engkau kuhadapkan Sri Baginda. Urusan ini terlalu penting dan berbahaya untuk ditunda-tunda lebih lama lagi."

Demikianlah, Thian Lee lalu diajak Gui-ciangkun untuk menghadap Sri Baginda Kaisar. Sebagai seorang panglima kepercayaan, tidak ada kesukaran bagi Gui-ciangkun untuk menghadap Kaisar sewaktu-waktu. Mendengar bahwa Gui-ciangkun mohon menghadap bersama seorang pemuda, Kaisar Kian Liong dapat menduga bahwa tentu panglimanya itu membawa berita yang amat penting. Kalau tidak penting, tidak mungkin panglimanya itu berani mengganggunya. Diai lalu memerintahkan pengawal untuk membawa kedua orang itu menghadapnya di taman bunga, di mana Kaisar itu sedang mencari angin. Hawa udara pada siang hari itu memang panas. Dia menyuruh para selir dan dayang yang tadi melayani dan menemaninya untuk pergi menjauh karena dia dapat menduga bahwa panglima itu tentu akan membicarakan sesuatu yang teramat penting dan yang tidak selayaknya didengarkan para selir dan dayang. Juga para pengawal pribadinya diharuskan rnenunggu dan ber-jaga di luar pondok taman itu.

Gui-ciangkun dan Thian Lee dibawa oleh para pengawal ke pondok dalam ta-man itu. Thian Lee sebelurnnya telah diberitahu oleh Gui-ciangkun tentang tata-cara menghadap Kaisar, maka ketika dia melihat Gui-ciangkun menjatuhkan diri berlutut, dia pun berlutut di samping panglima itu. Daun pintu terbuka dan muncullah Kaisar. Thian Lee hanya me-lihat ujung sepasang sepatu yang indah dan ujung celana dari sutera halus. Dia tetap menundukkan mukanya dengan sikap hormat.

"Gui-ciangkun dan kau orang muda, kami ijinkan untuk bangkit dan masuk-lah!" terdengar suara yang lembut namun berwibawa. Thian Lee menanti sampai Gui-ciangkun menghaturkan terima kasih dan bangkit, baru dia pun ikut bangkit, dengan kepala tetap ditundukkan. Mereka melangkah masuk, berdiri dengan sikap hormat menanti Kaisar itu duduk.

"Kalian boleh mengambil tempat duduk
.

Barulah kedua orang itu berani duduk. Memang sikap Kaisar Kian Liong berbeda dengan kaisar-kaisar lain. Kalau berhadapan dengan orang kepercayaannya atau orang-orang dunia persilatan, dia menyuruh mereka duduk di kursi sehingga dia dapat mengajak mereka bicara dengan enak, dapat menatap wajah mereka. Hanya dalam sidang pertemuan resmi saja para ponggawa berlutut.

Setelah mengambil tempat duduk, sekilas Thian Lee berani memandang wajah itu. Biarpun hanya sekilas, dia telah dapat melihat gambaran dar! Kai-sar yang amat terkenal sebagai kaisar yang bijaksana itu. Kaisar itu sudah tua, tentu ada. enam puluh tahun usianya, namun masih nampak sehat dan lebih 'nflttdla dari usianya. Sepasang matanya tajam seperti dapat menembus ke dalam lubuk hati yang dipandangnya.

"Nah, Gui-ciangkun, berita apakah yang kaubawa dan siapa pula orang muda ini?
. Kaisar bertanya kepada Gui Ciangkun.

"Mohon ampun, Yang Mulia. Hamba berani menghadap tanpa diperintah. Hamba hendak menghadapkan pemuda ini yang bernama Song Thian Lee dan dia adalah utusan dari Souwbengcu untuk menyampaikan sepucuk surat, dihaturkan kepada Paduka.


"Hemm, Souw-bengcu? Song Thian Lee, cepat serahkan surat dari Souw-bengcu itu kepada kami."

"Baik, Yang Mulia," kata Thian Lee dan dia lalu mengeluarkan surat itu, maju berlutut dan sambil berlutut menyerahkan surat. Setelah surat diterima oleh Kaisar, dia lalu mundur dan duduk lagi di atas kursinya.

Kaisar membaca surat dari Souw-bengcu itu. Alisnya berkerut dan setelah selesai membacanya, dia lalu memandang kepada Thian Lee, lalu berkata, "Song Thian Lee, yakin benarkah engkau akan apa yang kaubicarakan dengan Souw-bengcu tentang Pangeran Tua itu? Bahwa dia telah mengumpulkan orang-orang kang-ouw dengan niat buruk?"

"Hamba belum mendapatkan buktinya Yang Mulia. Akan tetapi melihat banyak tokoh sesat berkumpul di sana, kemudian melihat kenyataan bahwa orang-orang yang mencoba untuk membunuh Pangeran Tang Gi Su ketika hamba kejar melarikan diri ke dalam tempat tinggal Pangeran Tua, maka hamba merasa yakin."

"Kami telah menyerahkan urusan iru untuk diselidiki dan ditanggulangi oleh Pangeran Tang Gi Su. Akan tetapi sampai sekarang belum ada perkembangannya, sementara itu pembunuhan-pembunuhan masih terus berlangsung. Baiklah, engkau kuangkat menjadi panglima dan kutugaskan untuk membantu Pangeran Tang Gi Su melakukan penyelidikan sampai menemukan buktinya dan menghancurkan komplotan gelap ini, Song Thian Lee.

"Ampunkan kalau hamba berani memberi peringatan agar Paduka menjaga diri balk-baik dan berhati-hati terhadap Pak thian-ong Dorhai yang kabarnya telah menduduki jabatan penting di istana, Yang Mulia."

"Hemm, Dorhai telah menjadi seorang penasihat kami. Mengapa engkau berkata demikian?"

"Karena hamba pernah melihat dia berada di rumah Pangeran Tua, bahkan dia berusaha untuk menangkap puteri Pangeran Tang Gi Su." Dengan singkat namun jelas Thian Lee lalu menceritakan pengalamannya ketika dia menolong Cin Lan dari tangan Pak-thian-ong Dorhai.

Mendengar laporan ini, Sri Baginda Kaisar mengerutkan alisnya.

"Ahhh, beta-pa sulitnya mengukur isi hati orang-orang itu! Diberi anugerah kedudukan malah hendak memukul dari belakang. Song Thian Lee, engkau bersama Gu-ciangkun hubungllah Pangeran Tang Gi Su dan bekerja sama dengannya untuk menghancurkan komplotan ini kalau memang benar ada di dalam waktu yang secepat-cepatnya. Song Thian Lee, pangkatmu sekarang menjadi panglima muda keamanan istana dan kau kutugaskan untuk membantu Gu-ciangkun dan Pangeran Tang Gi Su. Nah, berangkatlah kalian dan cepat lakasanakan tugas kalian dengan baik."

Thian Lee berlutut dan menghaturkan terima kasih. Gui-ciangkun lalu mendapat perintah untuk mengatur pemberian perlengkapan pakaian panglima muda bagi Thlan Lee. Keduanya lalu mengundurkap, diri dan keluar dari istana.

"Selamat, Song-ciangkun!" Setelah tiba di luar istana, Gui-ciangkun memberi, selamat kepada rekannya yang masih muda.

"Engkau beruntung sekali. Agaknya Sri Baginda Kaisar telah sangat mempercayai surat Souw-bengcu sehingga tanpa, menguji lagi beliau telah menganugerahkan kedudukan panglima muda kepadamu" Biarlah nanti aku yang mengatur persediaan perlengkapan untukmu."

"Hal itu tidak perlu tergesa-gesa, Gui-ciangkun. Kalau aku bertugas melakukan penyelidikan, bagiku leblh leluasa kalau aku berpakaian biasa saja. Kelak saja kalau keadaan sudah aman, baru aku akan mengenakan pakaian panglima muda itu." Gui Ciangkun mengangguk angguk.

"Akan tetapi, setidaknya engkau harus memegang surat tanda pangkatmu. Biar nanti kubuatkan, agar setiap saat dapat kau pergunakan dan perlihatkan kepada para pejabat lain."

"Harap Ciangkun pulang lebih dulu. Aku ingin menemui seorang sahabatku bernama Lauw Tek. Pendekar inilah yang banyak membantuku dalam menyelidiki gerakan yang dilakukan Pangeran Tua dan dia kini masih selalu menanti berita dariku di sebuah kuil tua," kata Thian Lee. Gui-ciangkun menyetujui.

"Kalau sudah selesai, cepat engkau datang ke rumahku karena engkau harus segera mengadakan hubungan dengan Pangeran Tang Gi Su. Untuk itu aku akan memberi surat perkenalan kepadamu."

Thian Lee mengangguk dan jantungnya berdebar. Dia tentu saja sudah mengenal Pangeran Tang Gi Su karena sudah pernah bertemu dan membayangkan dia akan berkunjung ke istana pangeran itu membuat jantungnya berdebar tegang karena hal itu berarti bahwa dia akan bertemu dengan Tang Cin Lan!

Hari telah sore ketika dia memasuki kuil di mana biasanya Lauw Tek berada. Kuil itu biasanya menjadi tempat pertemuan mereka. Dan benar saja, Lauw Tek teiah berada di situ dan agaknya telah lama menunggunya.

"Ah, engkau sudah kembali, Song-te? Bagaimana kabarnya dengan bengcu? Sudahkah engkau bertemu dengannya?" seru. Lauw Tek gembira melihat sahabatnya itu. Dia tahu bahwa Thian Lee berkunjung ke Hong-san, bahkan dia pun menganjurkan pemuda itu menghubungi bengcu.

"Sudah, Lauw-twako. Sudah kuceritakan semua kepadanya bahkan aku men-dengar banyak dari bengcu." Thian Lee menceritakan pengalamannya bertemu dengan Souw Tek Bun. Akan tetapi dia tidak bercerita tentang Lee Cin. Dia menceritakan betapa dia membawa surat untuk Gui-ciangkun dan untuk Kaisar, dan betapa kini oleh Kalsar dia diangkat rhenjadi panglima muda dan ditugaskan melakukan penyelidikan dan menanggulangi komplotan pemberontak itu.

"Wah, engkau memang patut menjadi panglima, Song-te. Dan aku girang sekali kalau engkau dapat memberantas komplotan pemberontak."

"Aku harus menghubungi Pangeran Tang Gi Su, karena kaisar telah menye-rahkan tugas membongkar komplotan itu kepada Pangeran Tang Gi Su."

"Bagus! Pangeran Tang Gi Su adalah seorang di antara para pejabat yang baik dan adil. Dengan bekerja sama yang baik tentu kalian akan mampu membongkarnya."

"Akan tetapi kami membutuhkan bantuan, Lauw-twako. Sebagai penyelidik, engkaulah yang berjasa dan yang lebih dahulu mengetahui tentang Pangeran Tua. Karena itu, mari ikutlah denganku meng-hadap Pangeran Tang Gi Su."

Setelah dibujuk, akhirnya Lauw Tek menyatakan bersedia membantu dan menghadap Pangeran Tang Gi Su. Demi-kianlah, pada keesokan harinya, dengan berbekal surat dari Guiciangkun, Thian Lee mengajak Lauw Tek untuk berkun-jung ke rumah Pangeran Tang Gi Su.

Ketika Pangeran Tang Gi Su keluar menemui dua orang tamu yang minta bertemu dengan dia, pangeran ini nampak terkejut memandang kepada Thian Lee.

"Kau....? Bukankah engkau... pemuda yang malam hari itu telah mengusir pembunuh....?"

Thian Lee cepat memberi hormat.

"Benar sekali, Taijin. Saya adalah Song Thian Lee. Akan tetapi kedatanganku sekali ini adalah melaksanakan perintah Sri Baginda Kaisar dan ini saya membawa surat pengantar dari Panglima Gui Tiong In." Thian Lee lalu mengeluarkan sepucuk surat dari Gui-ciangkun dan menyerahkan kepada pangeran itu yang masih nampak terkejut dan heran. Ketika Pangeran Tang Gi Su membaca isi surat pengantar Gui-ciangkun yang dikenalnya dengan amat akrab, dia semakin terkejut dan membelalakkan kedua matanya, ke mudian memandang kepada Thian Lee.'

"Ah, Song-ciangkun! Kiranya engkau telah diangkat sendiri oleh Sri Bagind untuk menjadi panglima muda keamanai istana?"

"Benar, Taijin. Dan saya ditugaskar bekerja sama dengan Taijin untuk mem-basmi komplotan pemberontak."

"Akan tetapi kenapa engkau tidaki naiengenakan pakaian panglima?"

"Saya hendak menjadi penyelidik, tentu tidak leluasa kalau mengenakan pakaian seperti itu."

Pangeran Tang Gi Su mengangguk-angguk dan rnemandang kagum. Pemuda yang tadinya pelayan rumah makan inp telah menjadi panglima muda, diai gkat sendlri oleh Kaisar! Akan tetapi, mengingat akan kepandaiannya yang tinggi, memang pantas dia menjadi panglima.

"Persoalannya tidaklah sedemskian mudahnya, akan tetapi,.. siapakah temanmu ini?"

"Maaf, Taijin. Tadi belum sempat memperkenalkan. Dia ini bernama Lauw Tek, seorang pendekar yang juga menen-tang pemberontakan. Dialah yang pertama kali memberitahu kepada saya tentang adanya orang-orang kang-ouw di rumah Pangeran Tua. Lauw-twako ini seorang penyelidik yang ulung, maka saya bawa menghadap Taijin, barangkali Taijin berkenan mempergunakan tenaganya."

Pangeran Tang Gi Su mengangguk-angguk.

"Baik, makin banyak pembantu semakin baik. Mulai sekarang, engkau membantuku melakukan penyelidikan, Lauw Tek."

"Saya siap melaksanakan perintah Taijin," kata Lauw Tek dengan sikap gagah.

"Tadi Taijin mengatakan persoalannya tidaklah sedemikian mudahnya, apa maksud Taijin?"
tanya Thian Lee.

"Maksudku mengenai Pangeran Tua. Sejak dahulu, kakak tiriku itu memang seorang yang cerdik dan selalu berhati-hati. Biarpun kita sudah yakin bahwa semua pembunuhan itu dilakukan oleh oranR-oranR kang-ouw yang dikumpulkan di rumahnya, akan tetapi apa artinya kalau kita tidak mempunyai bukti. Dia pandai sekali berpura-pura dan menyembunyikan semua bukti. Kita harus dapat menemu-kan bukti tentang komplotan pemberon-tak itu. Sri Baginda Kaisar tentu juga tidak
etuiu kalau kita turun tangan menyerbu ke sana tanpa adanya bukti nyata."

"Saya mempunyal akal, Taijin. Di sana, di antara para tokoh kang-ouw, terdapat pula seorang tokoh yang berjuluk Liok-te Lo-mo. Orang ini dahulu pernah saya kenal dengan baik, oleh karena itu, saya akan menemuinya dan ''saya akan menggabungkan diri dengan mereka membantu Pangeran Tua. Kalau saya sudah berhasil menyelundup ke sana dan mengetahui semua rahasianya, tentu akan mudah bagi Taijin untuk turun tangan."

"Sebuah siasat yang baik sekali!" seru Pangeran Tang Gi Su.

"Akan tetapi apakah tidak teramat berbahaya? Bagaimana kalau dia mengetahui bahwa engkau ada-lah seorang panglima muda?"

"Tidak ada yang mengetahui akan pengangkatan saya itu kecuali Gui-ciang-kun, Taijin. Saat ini belum ada orang lain mengetahuinya. Saya yakin siasat itu akan berhasil."

"Baiklah kalau begitu, kita hanya menanti hasil usahamu itu."

Setelah pertemuan itu selesai, Thian Lee memohon diri dan Lauw Tek diting-gal di rumah Pangeran Tang karena sejak saat itu dia telah diterima menjadi pem-bantu pangeran dan diberi tempat tinggal di belakang.

Ketika Thian Lee keluar dari ruangan dalam dan hendak keluar, tiba-tiba terdengar seruan halus, "Song-twako....!"

Dia menengok dan berhadapan dengan Cin Lan! Thian Lee merasa seluruh tubuhnya gemetar dan jantungnya berdebar penuh keharuan dan ketegangan. Gadis itu nampak demikian cantik jelita sehingga dia seperti terpesona dan ttdak mampu mengeluarkan kata apa pun.

"Twako, engkau Song Thian Lee, bukan? Lupakah engkau kepadaku? Aku Cin Lan!"

"Nona, bagaimana aku dapat lupa kepadamu? Tak sedikit pun aku pernah lupa kepadamu!"

"Hemm, engkau sudah lupa, menyebut aku nona. Lupakah engkau bahwa namaku Cin Lan?"

"Maaf, Lan-moi... aku... rasanya tidak "^pHntas orang seperti aku...."

"Sudahlah, aku paling tidak senang kalau engkau sudah merendahkan diri seperti ini. Aku tadi mendengar bahwa Ayah menerima dua orang tamu. Kiranya engkaukah tamunya?"

"Benar, aku dan seorang lagi yang bernama Lauw Tek. Kini Lauw-twako telah diterima menjadi pembantu ayahmu sedaogkan aku... aku mempunyai tugas lain yang amat penting."

"Lee-ko, ada keperluah apa sajakah engkau berkunjung kepada ayahku? Dan bagaimana Ayah menerimamu? Aku masih merasa amat menyesal sekau kalau teringat sikap Ayah dahulu itu kepadamu. Engkau tentu dapat memaafkan, bukan?"

"Hemm, hal itu sudah lama kulupa-kan. Sekarang ayahmu bukan sajc mene-rimaku dengan baik, bahkan kami telah bekerja sama...."

"Bekerja sama? Dalam hal apa?"

"Bekerja sama untuk menyelidiki dan menumpas pemberontak...."

Cin Lan sudah menyambar tangan Thian Lee.

"Ssttt, mari kita bicara di dalam, Lee-ko. Di sini dapat terdengar orang lain. 'Marilah, ikut denganku."

Sebetulnya Thian Lee merasa tidak enak dan takut kalau-kalau Pangeran Tua akan merasa tidak senang, akan tetapi gadis itu telah menarik tangannya se-hingga terpaksa dia mengikutinya. Ter-nyata Cin Lan membawanya ke tanrian bunga. Taman bunga itu luas dan di tengahnya terdapat kolam ikan dan beberapa buah bangku.

"Nah, klta duduk dan bercakap-cakap di sini. Tentu tidak akan terdengar orang lain. Kita dapat melihat keadaan seke-liling dan akan tahu kalau ada orang mendekat," kata Cin Lan. Keduanya duduk di bangku taman, bersanding.

"Aku khawatir ayah ibumu akan marah melihat aku duduk bersamamu di sini, Lan-moi."

"Tidak ada yang akan marah kepadaku, Lee-ko. Biarlah aku yang akan ber-tanggung jawab. Nah, sekarang ceritakan bagaimana engkau sampai dapat bekerja sama dengan Ayah dalam menghadapi komplotan pemberontak. Ayah memang ditugaskan oleh Sri Baginda Kaisar untuk menyelidiki pembunuhan-pembunuhan itu dan membongkar rahasia komplotan. Dan bagaimana engkau sampai dapat diteri-ma Ayah untuk bekerja sama?"

"Aku membawa surat perkenalan dari Gui-ciangkun untuk ayahmu, dan ayahmu menerimaku. Bahkan ayahmu juga menerima seorang kenalanku, Lauw Tek men-jadi pembantunya."

"Aku girang sekali, Lee-ko. Kau tahu, semenjak kepergianmu malam itu, setelah engkau menolong kami dan sikap Ayah yang begitu merendahkanmu, aku selalu merasa bersedih. Aku telah berusaha mencarimu, akan tetapi di rumah makan itu mereka mengatakan bahwa engkau telah keluar dari sana. Tahu-tahu seka-rang engkau telah muncul di sini, bahkan bekerja sama dengan ayahku! Betapa glrang rasa hatiku, Lee-ko!" Sinar mata gadis itu demikian mesra memar dangnya sehingga Thian Lee merasakan hatinya tergetar. Benarkah pandangannya itu? Benarkah sinar mata gadis memandang mesra kepadanya? Apakah ini merupakan tanda bahwa gadis itu pun suka kepadanya? Seberkas cahaya harapan menerangi hatinya. Dia pun menatap wajah gadis ity dan terpesona. Rambut yang hitam panjang itu digelung ke atas dan anak rambut yang berjuntai dan melingkar-lingkar di dahi dan pelipis amatlah manisnya. Alisnya hitam melengkung menambah indahnya sepasang ma ta yang

tajam dan penuh gairah hidup. Hldungnya mancung dan yang paling menarik adalah mulutnya. Bibir yang selalu merah segar dengan lesung pipit di sebelah kiri. Kulit lehernya begitu putih halus tanpa cacat. Tubuh yang padat berisi, pinggang ramping dan leher yang panjang itu.

"Lee-ko, kenapa engkau diam saja?"

Thian Lee seolah baru sadar dan se-perti ditarik kembali ke alam nyata.

"Ehh... ahhh... tidak apa-apa, Lan-mol," katanya gagap,

"Lee-ko, engkau belum menanggapi kata - kataku tadi. Katakanlah betapa girang rasa hatiku bertemu dengan eng-kau di sini dan mendengar engkau bekerja sama dengan Ayah. Apakah engkau tidak senang bertemu denganku, Lee-ko?"

"Wah, senang sekali, Lan-moi. Sudah... lama aku merindukan pertemuan ini...." Dia terkejut sendiri, merasa kelepasan bicara menyatakan isi hatinya.

"Benarkah, Lee-ko? Aku pun rindu sekali kepadamu. Telah berulang kali engkau menolongku, bahkan nienyelamatkan nyawaku, akan tetapi pertemuan kita selalu demikian singkat. Aih, tak dapat kulupakan untuk pertama kali engkau menolongku dari ancaman racun ular di Pulau Ular Emas yang telah menggigltku, aku bahkan mencurigaimu. Entah apa jadinya dengan diriku yang roboh pingsan karena keracunan kalau bukan engkau yang datang melatihku menyalurkan hawa beracun itu. Kemudian, kembali engkau menyelamatkan aku di rumah Pangeran Tua ketika aku terancam oleh jagoan-jagoan di sana. Aku tentu telah tertawan kembali kalau engkau tidak membawaku lari. Dan engkau memakai kedok sehingga aku tidak mengenalimu. Akhirnya, ketika Ayah diserang orang-orang jahat, kembali engkau muncul dan mernbantu kami. Budimu terlampau besar untuk dapat kulupakan saja, Lee-ko."

"Sudahlah, Lan-moi, harap jangan bicara tentang budi. Aku dengar senang hati membantumu, dan keberanianmu sungguh mengagumkan hatiku. Sejak pertama kali, melihat engkau membela gurumu dengan mati-matian mencciri sian-tho, aku sudah kagum sekali kepadamu. Kernudian engkau berani menyerbu ke dalam rumah Pangeran Tua, seperti memasuki sarang harimau. Aku kagum sekali
.

"Aku berhutang budi kepada guruku Pek I Lokai yang budiman. Siapa lagi ka-lau bukan aku yang mencarikan obatnya ketika Suhu terluka parah? Dan berkat obat sian-tho itu, juga berkat pertolong-anmu, Suhu telah sembuh kembali. Tidak perlu engkau memujiku, Lee-ko, akan tetapi engkaulah yang patut dipuji, berulang kali menyelamatkan aku yang tadi-nya sama sekali tidak kaukenal. Maka aku girang sekali engkau kini bekerja sama dengan Ayah. Oh ya, tadi kau katakan bahwa engkau mempunyai tugas yang amat penting. Apakah itu? Apakah ada " hubungannya dengan kerja sama itu, Ko-ko?"

"Sebetulnya hal ini merupakan rahasia, akan tetapi kepadamu akan kujelaskan semuanya, Lan-moi. Untukmu tidak ada rahasia apa pun yang kusimpan. Memang ada hubungannya dengan kerja sama ini. Ayahmu dan aku telah bersepakat bahwa dalam keadaan sekarang ini kami tidak mampu berbuat apa pun terhadap Pangeran Tua karena tidak ada bukti. Karena itu kami harus dapat mencari buktinya dan satu-satunya jalan adalah menyelundup masuk ke dalam sarang musuh dan nienjadi pembantunya. Akulah yang akan menyelundup ke sana dan bekerja kepada musuh."

"Ah, itu berbahaya sekali! Akii tidak setuju, Lee-ko! Engkau bisa celaka kalau berada di antara komplotan itu. Di sana terdapat banyak orang lihai", Cin Lan berseru dengan khawatir.

"Aku dapat menjaga diri, Lan-moi."

"Akan tetapi kalau engkau ketahuan, bagaimana mungkin engkau daps lolos dari sana? Tidak, harus dicari jal un lain. Suruh saia lain anggauta penyelidik yang menyelundup ke sana. Jangan engkau! Kalau terjadi malapetaka menimpamu bagaimana....?"

Melihat sikap gadis itu yang tiba-tiba wajahnya berubah pucat penuh ke-khawatiran, jantung dalam dada Thian Lee berdebar keras. Tak salahkah penglihatannya? Gadis itu khawatir kalau-kalau dia celaka! Thian Lee teringat, pikirnya. Justeru inilah saat terbaik baginya untuk berterus terang, seperti si-kap yang diperlihatkannya kepada Lee Cin. Dia tidak boleh membiarkan hatinya selalu dalam keraguan.

"Lan-moi, kenapa engkau mengkhawa-tirkan diriku? Kenapa engkau begitu memperhatikan diriku?"

Ditanya demikian, tiba-tiba Cin Lan menundukkan mukanya dan suaranya ter-dengar lirih, "Aku... aku tidak ingin melihat engkau celaka, Lee-ko, aku... tidak ingin kehilangan engkau...."

Mendengar ini, Thian Lee merasa betapa seluruh tubuhnya gemetar. Dia duduk mendekat dan memegang kedua tangan gadis itu.

"Lan-moi, mungkinkah ini? Mungkinkah engkau juga mencintaku seperti aku mencintanriu?"

Kepata ttu semakin menunduk akan tetapi Cin Lan tidak menarik kedua ta-ngannya yang digenggam Thian Lee.

"En-tahlah, Lee-ko... aku tidak tahu... hanya semenjak pertemuan kita pertama kali itu, aku... aku tidak dapat melupakanmu apalagi setelah disusul pertemuan berikutnya."

"Lan-moi, engkau juga tidak pernah meninggalkan hatiku sejak pertemuan kita yang pertama. Hanya.. aku meragu.... mungkinkah aku seorang pemuda yatim piatu yang miskin dapat...."

"Sssttt....!" Cin Lan mengangkat tangan kanan dan menutupi mulut pemuda itu.

"Jangan teruskan kata-kata seperti itu!"

Mereka saling pandang dan dapat saling menangkap sinar kasih dalam mata masing-masing.

"Akan tetapi, Lan-moi, engkau puteri pangeran sedangkan aku...."

"Sudahlah, Lee-ko. Kau anggap aku ini orang macam apa? Aku tidak memandang harta atau kedudukan, melainkan pribadinya dan aku amat kagum dan menghormati pribadimu."

Thian Lee kenibali menggenggam kedua tangan yang mungil itu.

"Lan-moi engkau sungguh membuat aku merasa berbahagia sekali!"

"Engkau juga membuat aku berbahagia, Lee-ko."

Akan tetapi mereka cepat saling rnelepaskan tangan mereka ketika mendengar suara orang menghampiri tempat itu. Ketika mereka bangkit dan memandang, ternyata yang datang adalah Pangeran Tang Gi Su sendiri. Tentu saja Thian Lee merasa rikuh dan tidak enak sendiri Akan tetapi pangeran itu tidak kelihatan marah, hanya menegur heran.

"Eh, Song-ciangkun, engkau rnasih berada di sini?"

"Ayah, engkau menyebut dia ciang-kun?" kata Cin Lan dengan heran sekali.

"Tentu saja. Bahkan Sri Baginda Kaisar sendiri yang mengangkatnya menjadi panglima muda keamanan istana!"

Cin Lan memandang Thian Lee dan menegur, "Lee-ko, kenapa tidak kauceritakan hal ini kepadaku?"

"Ah, Lan-moi, akn baru saja diangkat dan hal itu bahkan masih dirahasiakan agar tugasku sebagai penyelidiki dapat i berhasil dengan baik."


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Ayah, kenapa harus Lee-ko yang menyelundup kesana? Hal itu berbahaya sekali. Kenapa tidak menyuruh saja penyelidik yang lain?" kata Cin Lan kepada ayahnya.

"Hal itu adalah atas kehendak Song-ciangkun sendiri, Cin Lan," kata ayahnya.

"Benar, adik Cin Lan. Memang seyo-gianya aku yang melakukannya sendiri agar berhasil. Jangan khawatir, aku mempunyai cara yang baik. Kau tentu tahu Liok-te Lo-mo yang pernah kautantang itu, bukan? Nah, ketika aku masih kecil dia itu pernah menjadi guruku. Melalui dia, aku dapat dengan mudah masuk ke sana menjadi pembantu dan dapat mengetahui semua rahasia mereka."

"Akan tetapi kalau ketahuan, bisa berbahaya sekali, Lee-ko. Kalau saja aku dapat menyertaimu, tentu dapat membantu kalau engkau terancam bahaya."

"Ah, tentu saja tidak mungkin, Lan-moi. Engkau sudah dikenal mereka. Aku dapat menjaga diri dan mari kita membagi tugas, Lan-moi. Nanti kalau saatnya sudah tlba, yaitu kalau tiba saatnya pasukan menyerbu ke sana, engkau boleh membaotu untuk memperkuat penyerbuan mengingat di sana banyak orang kang-ouw yang menjadi kaki tangan Pangeran Tua. Kita bekerja sama, engkau dari luar dan aku dari dalam. Akan tetapi sebelum saatnya tiba, harap engkau jangan sekali-kali berkunjung ke sarang harimau yang berbahaya itu."

"Song-ciangkun berkata benar, Cin Lan. Kita menunggu saja tanda darinya dan aku yakin dia akan dapat menjaga dirinya baik-baik. Kalau dia sudah diangkat menjadi panglima oleh Sri Baglnda Kaisar, hal itu menunjukkan bahwa dia tentu memiliki kemampuan untuk itu."

Thian Lee lalu memberi hormat dan berkata, "Nah, aku berangkat sekarang. Harap jangan lupa menyuruh Lauw-twako menanti saya di tempat pertemuan kami yang biasa, Taijin. Dengan demikian, akan lebih mudah saya mengirim berita, dan tidak menimbulkan kecurigaan."

"Baik, Ciangkun. Semua telah kuatur dengan baik. Selamat bekerja," kata Pa-ngeran Tang Gi Su.

"Lee-ko, berhati-hatilah dan jagalah dirimu baik-baik," kata Cin Lan dengan suara agak gemetar karena hatinya geli-sah memikirkan keselamatan pria yang dicintanya itu.

"Jangan khawatir, Lan-moi," kata Thian Lee dan setelah memberi hormat sekali lagi, dia pun meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Cin Lan.

Sejak tadi Pangeran Tang Gi Su mengamati puterinya yang memandang ke arah perginya Thian Lee dan kini seperti tenggelam dalam lamunan. Kemudian dia duduk di dekat puterlnya dan memanggil.

"Cin Lan
.,.!"

Gadis itu seperti baru diseret turun ke dunia nyata dan dipandangnya wajah ayahnya dengan kaget.

"Ya, Ayah...." katanya.

Pangeran itu tersenyum dan memegang pundak puterinya.

"Kini aku mengerti mengapa engkau dapat akrab dengan pemuda itu. Ternyata dia seorang pemuda yang gagah berani dan tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak begitu, tidak mungkin Sri Baginda Kaisar memberinya anugerah pangkat yang penting dan memberi tugas untuk membantu aku membongkar rahasia komplotan pemberontakan,"

"Dia memang memiliki ilmu yang tinggi, Ayah. Aku sendiri sudah tiga kali melihat kehebatannya. Pertama kali ke-tika aku terkena gigitan ular berbisa dan keracunan, dia menolongku dan meng-ajarkan aku untuk mengendalikan hawa sin-kang yang kacau di tubuhku. Kemudi-an kedua kalinya ketika aku berhadapan dengan orang-orang kang-ouw di rumah Pangeran Tua dan dalam bahaya, dia menolongku dan dapat dengan cepatnya mernbawa aku lari dari tempat berbahaya itu. Dan ke tiga, ketika malam-malam itu dia menolong Ayah dari ancaman orang jahat yang hendak membunuh Avah "

"Hemm, agaknya engkau kagum sekali kepadanya, Anakku."

Wajah Cin Lan berubah kemerahan akan tetapi dengan suara tegas ia berkata, "Aku memang kagum sekali kepadanya, Ayah."

"Dan agaknya engkau tertarik kepada-nya."

Jawaban Cin Lan mengandung tantangan, seolah ia menantang ayahnya jika ayahnya menentang.

"Aku memang tertarik sekali kepadanya!"

Pangeran Tang Gi Su mehghela napas panjang. Bagaimanapun, setelah mendapat kenyataan bahwa Thian Lee telah diangkat menjadi seorang panglima muda ke-amanan istana, tentu saja hatinya tidak-lah begitu benar membiarkan anaknya bergaul dengan pemuda itu. Tidak seperti ketika mendengar bahwa pemuda itu hanya seorang pelayan rumah makan!

"PenoJakanmu atas pinangan putera Pangeran Bian Kun dulu itu memang benar, Cin Lan. Untung aku pun belum menerimanya. Sekarang, melihat gelagatnya bahwa Bian Hok amat dekat hubungannya dengan Tang Boan, aku khawatir Pangeran Bian Kun terlibat pula dalam komplotan itu.

"Ayah, aku menolaknya karena sejak dahulu aku tahu bahwa Bian Hok bukanlah orang baik. Dan aku menilai orang yang akan menjadi jodohku bukan dan harta maupun pangkatya, melainkan dari pribadinya." "Dan menurut penilaianimu, kepribadian Thian Lee itu baik?"

"Dia seorang yang gagah perkasa, berbudi luhur dan memiliki harga diri yang tinggi, juga rendah hati, Ayah." "Dan dia cinta padamu?" "Demikianlah, Ayah," kaanya malu-malu.

"Bagus, mudah-mudahan saja pilihan hatimu itu tidak keliru. Aku tidak akan menghalangimu, Cin Lan."

"Terima kasih, Ayah," jawab gadis itu dengan gembira bukan main dan di dalam hatinya ia berterima kasih telah menda-patkan seorang ayah tiri yang ia ibatau amat menyayangnya. Ketika Thian Lee berkunjung ke istana Pangeran Tua, dia dihadang di pintu gerbang oleh pasukan penjaga yang ber-sikap galak.

"Kau siapa, orang nnuda, dan ada keperluan apakah datang ke tempat ini?" bentak kepala penjaga dengan bengis.

"Maafkan saya," jawab Thian Lee sambil memberi hormat.

"Nama saya Song Thian Lee.

Saya adalah murid dari Liok-te Lo-mo. Mendengar bahwa Suhu berada di sini, maka saya menyusul dan saya ingin berterpu dengan Suhu Liok-te Lo-mo." Mendengar pengakuan pemuda itu, kepala jaga menjadi berkurang kegalakannya, "Hemm, kautunggu di sini sebentar, kami akan melapor ke dalam."

Tak lama kemudian muncullah Liok-te Lo-mo dan Thian Lee masih menge-nalnya dengan baik walaupun kini usia datuk sesat itu sudah semakin tua. Kakek itu memandang Thian Lee dari kaki sampai kepala, kemudian berseru, "Thian Lee....! Engkau bocah bernama Thlan Lee dulu itu?"

Thian Lee lalu menjatuhkan diri berlutut "Suhu, apakah Suhu sudah lupa kepada teecu? Teecu sendiri tidak pernah dapat melupakan budi kebaikan Suhu, maka mendengar bahwa Suhu berada di tempat ini teecu lalu datang mencari Suhu."

"Thian Lee, apakah selama ini engkaa sudah mempelajari banyak ilmu silat?"

"Berkat blmbingan Suhu yang pertama kali, teecu ^udah mempelajari banyak macam ilmu

silat." "Kaupelajari dari Jeng-ciang-kwi?" "Dari dia dan dari lain-lain guru pula, Suhu."

"Hemm, lalusekarang engkau mehcai'l, aku ada keperluan apakah?"

"Suhu terus terang saja aku sedang berada dalam kesulitan. Aku tidak mem-punyai pekerjaan tetap yang menyajikan masa depan yang baik. Ketika aku mendengar berita di dunia kangouw bahwa Suhu berada di sini dan bekerja di sini, aku bergegas mencari Suhu dengan maksud minta pertolongan Suhu agar aku diperbolehkan bekerja di sini pula. Suhu, teecu akan bekerja sebaik mungkin." Liok-te Lo-mo memandang pemuda itu penuh perhatian dan mengangguk-angguk.

"Akan tetapi tidak mudah untuk bekerja di sini, Thian Lee. Engkau harus memiliki kepandaian tinggi dan keberanian besar untuk dapat bekerja membantu Pangeran Tua."

"Jangan khawatir, Suhu. Teecu sudah mempeiajari banyak macam ilmu silat yang tinggi, dan dalam hal keberanian, teecu disuruh melakukan apa pun akan kulaksanakan dengan sebaiknya. Kalau perlu teecu dapat diuji!"

"Hemm... hemmm... kalau begitu mari ikut denganku," katanya dan dia meng-ajak Thian Lee pergi ke sebuah ruangan yang cukup luas di bangunan samping. Ruangan itu adalah sebuah lian-bu-thia (ruangan berlatih silat).

"Aku ingin mengujimu lebih dahulu sebelum menghadapkanmu kepada Pangeran."

"Baik, Suhu. Silakan!"kata Thian Lee dengan sikap tenang.

Liok-te Lo-mo lalu bergerak memukul dengan kedua tangannya bergantian dan Thian Lee maklum bahwa bekas gurunya ini memiliki sin-kang panas dingin yang dilatlhnya dengan api dan es. Maka dia pun lalu mengimbangi, menangkis dengan mengerahkan kedua tenaga yang berlawanan itu.

"Duk! Duk!" Ketika dua pasang lengan -itu bertemu, Liok-te Lo-mo terkejut sekali karena dia merasakan betapa bekas murid ini memiliki tenaga yang mampu mengimbanginya! Dia menjadi tidak ragu-ragu lagi dan segera menyerang dengan tenaga sepenuhnya. Akan tetapi, kakek itu sudah berusia sekitar delapan puluh tahun, tenaganya sudah banyak berkurang. Seandainya tenaganya masih sepenuh dahulu saja dia tidak akan mampu menandingi Thian Lee, apalagi dalam ke-adaannya yang sudah lemah seperti sekarang. Thian Lee dapat mengimbangi dan menghadapi semua serangannya dengan baik, mengelak dan kadang menangkis. Setiap kali dia menangkis kakek itu terhuyung ke belakang.

Melihat betapa muridnya tidak pernah membalas namun dia sama sekali tidak marnpu menyentuh tubuh muridnya, Liok-te Lo-mo rrienjadl kagum dan juga heran sekali. Muridnya telah menjadi seorang yang demikian lihainya.

"Mari kita mencoba dengan senjata!" katanya dan Liok-te Lo-mo sudah melolos sabuk rantainya yang merupakan sen-jatanya yang ampuh.

"Teecu tidak berani mengangkat senjata terhadap Suhu, biar teecu melayani rantai Suhu dengan tangan kosong saja!" kata Thian Lee. Tentu saja kakek itu menjadi semakin terkejut. Muridnya itu berani melawannya yang bersenjata sabuk rantai dengan tangan kosong? Padahal dengan senjata pun, masih jarang ada orang yang akan mampu metawan sabuk rantainya. Hatinya merasa penasaran dan dia segera menyerang dengan dahsyat. Akan tetapl dengan kelincahan kakinya, Thian Lee dapat mengelak dari semua serangan yang datang secara bertubi-tubi.

Bahkan kadang Thian Lee berani menangkis sambaran rantai itu dengan tangannya! Hal ini tentu saja membuat ILiok-te Lo-mo terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi rasa penasaran mem-buat dia menyerang terus sampai pertandingah itu berlarigsung lima puluh jurus lebih dan keringatnya mulai membasahi badannya.

Pada saat rantai itu menyannbar lagi dari kanan, Thian Lee memutar tangan kanannya dan menangkap rantai itu sehingga tidak mampu bergerak lagi. Betapapun Liok-te Lo-mo berusaha melepaskan rantainya, namun dia tidak sanggup dan pada saat itu Thian Lee berkata, "Maaf, Suhu. Sudah cukup, harap Suhu tidak menyerang lagi." Dan dia melepaskan rantainya.

"Bagaimana pendapat Suhu, apakah teecu sudah memperoleh kemajuan dalam ilmu silat dan pantas untuk mengabdi di sini?"'

Liok-te Lo-mo menyimpan rantainya dan menghela napas panjang.

"Hebat, engkau telah majudengan pesat sekali, Thian Lee. Pangeran tentu akan girang kalau engkau dapat membantu. Mari, mari kuajak engkau menghadap Pangeran."

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara orang, "Ha-ha, sungguh hebat pemuda ini. Dan sejak tadi Yang Muljia Pangeran telah melihatnya, Lo-mo!"

Tentu saja Thian Lee sudah sejak tadi mengetahui kehadiran mereka di luar lian-bu-thia, akan tetapi dia pura-pura terkejut dan bersama Liok-te Lo-mo memutar tubuh. Melihat bahwa yang da-tang adalah Pangeran Tua bersama Pak-thian-ong Dorhai dan beberapa orang tokoh kangouw, Liok-te Lo-mo segera memberi hormat,

"Kebetulan sekali Paduka datang, ka-rena hamba memang bermaksud mengajak murid hamba ini menghadap Paduka," kata Liok-te Lo-mo membanggakan muridnya. Dia merasa bahwa dia sendiri tidak mampu menandingi Thian Lee maka dia merasa bangga mengaku pemuda itu sebagai muridnya!

Pangeran Tua memandang Thian Lee penuh perhatian. Tadi Pak-thian-ong su-dah berkata kepadanya ketika mereka menonton pertandingan itu bahwa pemuda itu^lihai sekali, bahkan lebih lihai diban-dingkan Liok-te Lo-mo!

"Liok-te Lo mo siapakah pemuda ini?" tanya Pangeran dan dia lalu duduk di atas kursi dalam lian-bu-thia itu.

Liok-te Lo-mo berdiri dengan sikap hormat dan memperkenalkan.

"Yang Mu-lia, pemuda ini bernama Song Thlan Lee dan dahulu dia adalah murid hamba. Kemudian dia merantau untuk memperdalam ilmunya dan sekarang dia mencari hamba di sini dengan membawa ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Dia mohon untuk mengabdikan dirinya kepada Paduka dan hamba percaya dia akan menjadi pembantu yang baik dan dapat diandalkan."

Beberapa lama Pangeran Tua menatap wajah Thian Lee penuh selidiki. Pemuda? itu bersikap tenang walaupun jantungnya berdebar tegang. Pangeran Tua yang sudah berusia enam puluh lima tahun lebih itu memiliki mata seperti mata elang, begitu tajam penuh selidik. Dia harus berhati-hati sekali berhadapan de-ngan seorang dengan mata seperti itu.

"Song Thian Lee," katanya dengan suara parau dan berwibawa.

"Benarkah engkau ingin mengabdi kepadaku?"

"Benar sekali, Yang Mulia," kata Thian Lee. Hening sejenak dan mata elang itu tetap menatap wajah Thian Lee penuh selidik dan tiba-tiba Pangeran Tua bertanya dengan suara membentak, "Kenapa engkau hendak mengabdi kepadaku, Thian Lee?"

Thian Lee memang sudah waspada dan siap sedia maka dia tidak menjadi terkejut atau gugup. Dengan tenang saja dia memandang wajah pangeran itu dan menjawab, "Karena Suhu Liok-te Lo-mo bekerja di sini, maka hamba ingin pula bekerja di sini, Yang Mulia."

"Engkau sudah tahu apa yang harus kaukerjakan di sini?"

"Belum, Yang Mulia. Suhu belum sem-pat menceritakan kepada hamba. Akan tetapi apa pun perintah Yang Mulia kepada hamba, akan hamba laksanakan sebaiknya."

"Benarkah? Andaikata kami mengutusmu pergi membunuh seorang musuh kami, sanggupkah engkau melakukannya?"

Tentu saja Thian Lee tidak terkejut mendengar akan tetapi dia bersikap seolah tertegun juga, hal yang sudah se-patutnya kalau orang disuruh melakukan pekerjaan membunuh! "Kalau memang Paduka menghendaki kematian seorang musuh, tentu saja hamba sanggup mengerjakannya!" jawabnya lantang dan pasti.

"Paduka harap jangan ragu-ragu mengutus murid hamba ini, Pangeran. Dia seorang murid yang baik dan patuh, serta telah memiliki ilmu kepandaian yang boleh diaridalkan!" kata Llok-te Lo-mo bangga.

"Kalau begitu, berani engkau bersumpah setia kepada kami, Thian Lee?" tanya pula Sang Pangeran yang mulai percaya karena di situ terdapat Liok-te Lo-mo yang seolah menjadi penanggung ja-wab atas kesetiaan dan kemarnpuan pemuda, itu.

"Tentu saj'a haw&i
berani faersumpah," kata Thian Lee.

Pangeran Tua tersenyum.

"Tidak usah bersumpah, karena kami tidak p6rcaya kepada sumpah. Malam ini kami memberi tugas pertama kepadamu, untuk menguji sampai di mana kemampuanmu."

"Hamba siap melaksanakan, Yang Mulia!"

Pak-thian-ong Dorhai lalu mernotong, "Yang Mulia, bagaimana kalau dia ditugaskan untuk menyelesaikan pembunuhan atas din Pangeran Tang Gi Su yang tempo hari gagal dilakukan?"

Diam-diam Thian Lee terkeJut bukan main, akan tetapi dia bersikap tenang saja. Sang Pangeran itu mengangguk-angguk.

"Dialah penghalang satu-satunya yang harus lebih dulu lenyap. Koksu (Pe-nasihat Negara), persiapkan pertemuan dengan semua pembantu, kita mengada-kan rapat darurat untuk mengatur per-siapan sehubungan dengan rencana penyerangan terhadap Pangeran Tan Gi Su!"

"Baiklah, Yang Mulia." Pangeran itu lalu meninggalkan lian-bu-thia, dan Pak-thian-ong Dorhai berkata kepada Liok-te Lo-mo, suaranya memerintah,

"Lo-mo, kau urus muridmu ini dan bawa hadir dalam rapat ya.ng, akan di~ adakan di ruangan rapat."

"Baik, Koksu," jawab Liok-te Lo-mo dengan sikap hormat. Maka semakin yakinlah hati Thian Lee bahwa Pak-thian ong yang sudah mendapat kedudukan sebagai Koksu ini memang diam-diam bersekongkol dengan Pangeran Tua.

Ketlka akhirnya Thian Lee diajak masuk ke dalam ruangan belakang di mana diadakan rapat, hatinya berdebar tegang. Tak disangkanya akan demikian mudahnya dia berhasil melakukan penyelidikan. Memang sudah diperhitungkannya bahwa bekas gurunya itu yang akan men. Jadi jalan baginya untuk menyelundup ke dalam istana Pangeran Tua, akan tetapi tidak disangkanya dalam waktu sehari saja dia sudah diajak dalam suatu rapat rahasia!

Dan di daram rapat yang diadakaft pada malam hari itu, hadir pula semua anggauta komplotan itu! Selain Koksu Pak-thian-ong Dorhai, terdapat pula be-berapa orang pangeran yang berpihak kepada' Pangeran Tua, termasuk Pangeran Bian Kun yang diwakili puteranya, Bian Hok. Dan ada pula dua orang panglima besar yang agaknya sudah dapat dibujuk untuk mempersiapkan pemberontakan! Di samping Llok-te Lo-mo terdapat pula belasan orang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi.

Setelah rapat dibuka oleh Pangeran Tang Gi Lok, Pangeran ini segera mem-perkenalkan Thian Lee kepada semua orang.

"Ketahuilah bahwa kami telah mendapatkan seorang pembantu baru, yaitu murid Liok-te Lo-mo yang memiliki kemampuan tinggi sehingga dia sanggup untuk melakukan pembunuhan atas diri Pangeran Tang Gi Su."

Mendengar ini semua orang memandang kepada Thian Lee, dan pemuda itu merasa jantungnya berdebar tegang. Bagaimana kalau ada yang mengenalnya, terutama sekali orang yang pernah me-nyerbu rumah Pangeran Tang Gi Su dan yang pernah dilawannya dalam membantu pangeran itu dahulu? Andaikata tiga orang itu berada di situ dan mengenal-nya, dia. akan menyangkal keras. Akan tetapi untung baginya bahwa setelah gagal melakukan pembunuhan atas diri Pangeran Tang Gi Su, tiga orang kang-ouw itu lalu dipecat bleh Pangeran Tua.

"Besok malam Thian Lee akan mela-kukan pembunuhan itu. Matinya Pangeran Tang Gi Su merupakan awal gerakan klta. Begitu usaha Thian Lee berhasil, pada keesokan malamnya lagi, kita harus mulai bergerak. Kau, Liok-te Lo-mo, bersama dua orang pembantu membunuh Pangeran Kian Tek. Dan kau, Hek-tung Kai-ong, engkau bersama anak buahmu harus berhasil membunuh Pangeran Kian Tung." Pangeran Tua lalu mem-bagi-bagi tugas untuk membunuhi pange-fan-pangeran dan pejabat yang menen-tangnya. Semua orang dibagi dalam tujuh kelompok untuk melakukan tujuh pem-bunuhan, sehari setelah Thian Lee berhasil membunuh Pangeran Tang Gi u! Tentu saja semua ini dicatat di dalaro hati oleh Thian Lee.

"Kalau semua itu berhasil, biar'ah Kaisar aku sendiri yang akan menangani-nya!" kata Pakthian-ong Dorhai deni an suaranya yang besar dan berat, "Ka au Kaisar sudah tewas, maka selanjutr ya adalah menjadi wewenang Paduka untuk bertindak, Pangeran."

"Kalau semua itu berhasil, aku akan bergerak, didukung oleh pasukan Ban-ciangkun dan Tung Ciangkun menguasai istana," kata Pangeran Tua dan dua orang panglima itu mengangguk setuju.

Mereka ramai membicarakan rencana siasat gerakan besar itu, dan akhirnya Pangeran Tua berkata kepada Thian Lee, "Thian Lee, semua rencana ini akan berhasil hanya kalau usahamu berhasil. Karena itu, engkau harus bekerja dengan baik dan besok malam harus berhasil membunuh Pangeran Tang Gi Su."

"Akan hamba laksanakan dan hamba tanggung pasti berhasil baik!" kata Thian Lee dengan nada sombong

"Hemm, kalau aku menjadi engkau, aku tidak akan seyakin itu, Thian Lee," kata Pak-thianong.

"Ketahuilah bahwa pernah kami mengusahakan pembunuhan atas diri pangeran itu, akan fetapi gagal. Dla memiliki seorang puteri yang lihai sekali dan semenjak usaha pembunuhan yang gagal itu, Pangeran Tang Gi Su menyuruh pasukan melakukan penjagaan di rumahnya secara ketat sekali."

"Akan tetapi aku percaya bahwa muridku Thian Lee akan berhasil melakukan tugas itu!" kata Liok-te Lo-mo sambil mengangguk-anggukkan kepala dengan bangga.

"Thian Lee, kalau engkau membutuhkan bantuan dalam tugasmu itu, katakanlah dan kami akan menyerahkan baiituan secukupnya," kata Pangeran Tua.

"Tidak perlu, Yang Mulia. Banyak orang bahkan akan menyulitkan bahkan mungkin menggagalkan usaha itu. Hamba akan bertindak seorang diri saja," kata Thian Lee penuh kepercayaan kepada diri sendiri.

"Bagus! Aku pun akan bersikap seperti Thian Lee kalau menerima tugas seperti itu. Pembantu hanya akan membuatku tidak leluasa bergerak. Thiar Lee engkau seorang pemuda yang gagah bera-ni. Biarlah aku memberimu selamat dengan beberapa cawan arak!" Setelah berkata demikian, Pak-thian-ong memegang secaWan arak dengan tangan kirinya lalu mengambil guci arak dengan tangan kanan. Dituangkan arak dari guci itu ke dalam cawan arak sampai penuh sekali, hampir meluber, akan tetapi tidak sam-pai tumpah dan arak di cawan itu seperti berubah menjadi benda keras atau seperti telah berubah menjadi es yang membeku! Dia menjulurkan tangannya dan menyerahkan cawan itu kepada Thian Lee sebagai ucapan selamat, ditonton oleh semua orang dengan pandang mata kagum karena mereka maklum bahwa Koksu ini mendemonstrasikan sin-kangnya yang membuat arak menjadi beku!

Akan tetapi Thian Lee menerima cawan arak itu dengan tenang saja dan ketika cawan arak
berada di tangannya, arak itu mencair kembali akan tetapi tetap tidak tumpah, kemudian
diminumnya sekali tengguk.

Pak-thian-ong tertawa.

"Bagus, terimalah secawan lagi!" Dan kini, ketika dia menuangkan arak dari guci itu ke dalam cawan, terdengar suara dan arak dalam cawan itu bergolak seperti mendidih, bahkan mengeluarkan uap! Inilah sin-kang panas dan demikian kuatnya sin-kang itu sehingga arak dalam cawan pitift, sampai mendidih.

Thian Lee menerimanya pura-pura tidak tahu betapa cawan dan arak itu panas sekali. Begitu cawan terpegang olehnya, arak itu terhenti mendidih dan ketika dia membalikkan cawan, arak di dalamnya tidak tumpah seolah telah membeku menjadi es yang melekat pada cawan, Dari keadaan panas mendidih arak berubah menjadi dingin membeku! Kemudian Thian Lee membalikkan lagi cawan arak dan minum arak itu yang menjadi cair kembali seperti biasa.

"Terima kasih, Koksu," kata Thian Lee dengan sikap sederhana, Pak-thian-ong Dorhai terbelalak dan tersenyum.

"Hebat, kepandaianmu hebat juga, orang muda. Aku yakin sekarang bahwa engkau akan berhasil melaksanakan tugasmu yang berat!"

Tentu saja Pangeran Tua menjadi gembira sekali. Kalau Koksu sudah memuji, berarti bahwa pemuda itu memang berilmu tinggi dan besar harapan ctta-citanya akan terkabul. Kalau. Pangeran Tang Gi Su yang dianggapnya paling ber-bahaya itu telah terbunuh, dan semua pangeran yang dikehendaki kematiannya sudah pula ditewaskan, maka selanjutnya persoalannya akan lebih mudah.

Dia sendiri lalu memberi selamat kepada Thian Lee dengan secawan arak dan setelah rapat pertemuan mengatur rencana siasat itu selesai, pertemuan dilanjutkan dengan pesta.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi se-kali Thian Lee sudah berpamit kepada Liok-te Lo-mo, dan berkata, "Suhu, tugas teecu malam ini tidaklah mudah, karena itu pagi ini juga teecu akan melakukan penyelidlkan terhadap penjagaan di gedung Pangeran Tang Gi Su agar malam nanti tidak sampai menjadi gagal."

Tentu saja Liok-te Lo-mo setuju sekali dan demikianlah, Thian Lee lalu keluar dari istana Pangeran Tua dan berjalan-jalan berkeliaran di kota raja. Dia sengaja melakukan ini untuk melihat apakah ada yang membayanginya. Setelah, merasa yakin bahwa tidak ada yang membayanginya, dia lalu menyusup masuk ke dalam kuil tua di mana Lauw Tek telah menantinya.

Di dalann ruangan kuil yang tersembunyi, Thian Lee lalu bercakap-cakap dengan Lauw Tek. Dia menceritakan seluruh rencana siasat yang akan dijalankan oleh Pangeran Tua dan minta Laiw Tek mencatat nama semua pangeran yang terancam pembunuhan pada keesokan malamnya. Juga tentang rencana Koksu yang akan membunuh Kaisar kalau usaha pembunuhan atas diri Pangeran Tang Gi Su berhasil.

"Lalu apa yang harus dilakukan oleh Pangeran Tang?" tanya Lauw Tek, ter-kejut bukan main mendengar laporar
tentang rencana siasat yang amat jahat dari Pangeran Tua itu.

"Kita belum dapat bertindak dan perlu bukti. Karena itu, malam nanti aku akan menyusup ke dalam gedung Pangeran Tang Gi Su, dan ketika aku keluar, kerahkan pasukan untuk menangkapku, akan tetapi membiarkan aku lolos lalu kabarkan bahwa Pangeran Tang Gi Su terbunuh! Dan sejak malam nanti, Pangeran Tang harus menyembunyikan diri, dan boleh menaruh sebuah peti mati untuk mengelabuhi orang. Dengan demikian, tentu Pangeran Tua akan percaya, benar bahwa aku telah berhasil membunuh Pangeran Tang dan rencana mereka tentu akan dilanjutkan. Nah, ketika para orang kang-ouw itu menyerbu rumah para pangeran dan menteri itu, pasanglah perangkap sehingga mereka semua tertangkap. Bukan itu saja, pada malam hari itu juga, ketika para orang kang-ouw me-nyerbu rumah para pangeran, kerahkan pasukan untuk mengepung istana Pangeran Tua, juga kerahkan pasukan menangkap Ban-ciangkun dan Tung-ciangkun, jangan memberi kesempatan kedua panglima itu. menggerakkan anak buah mereka. Juga semua komplotan yang telah kusebut namanya tadi harap dicatat benar-benar dan besok malam dilakukan penangkapan secara serentak untuk menggagalkan semua rencana mereka. Nah, sudahkah jelas, Lauw-twako?"

"Sudah....!" jawab Lauw Tek dengan suara gemetar.

"Wah, urusan ini demikian gawat membuat aku menjadi gugup. Baiklah, kuulangi semua keteranganrnu tadi untuk dilaporkan kepada Pangeran Tang, kalau-kalau ada yang kulupakan." Lauw Tek lalu mengulang semua yang dikemukakan Thian Lee tadi.

"Bagus, engkau telah ingat semuanya Twako. Dan jangan lupa minta kepada Pangeran Tang agar pagi hari ini juga pergi menghadap Kaisar dan membicarakan rencana siasat yang diatur Pangeran Tua itu agar Kaisar juga dapat ber-siap-siap menjaga diri dan melakukan penangkapan atas diri Koksu Pak-thia-ong. Ingat, sesudah malam nanti Pangerang Tang Gi Su harus menyembunyikan, dirinya karena dia dikabarkan tewas."

"Baik, Song-ciangkun. Akan kulaksana-kan sebaik-baiknya," kata Lauw Tek.

Thian Lee lalu meninggalkan kuil tua itu dari belakang sehingga tidak kelihatan oleh orang lain. Dia tidak berani berkunjung ke rumah Pangeran Tang Gi Su karena hal ini kalau diketahui mata-mata Pangeran Tua tentu akan menimbulkan kecurigaan. Ketika dia sedang berjalan dekat pintu gerbang sebelah selatan, dia melihat Lee Cin menunggang kuda keluar dari pintu gerbang itu. Karena ia sedang membawa tugas berat dan tidak ingin sepak terjangnya hari itu diketahui orang maka dia tidak berani memanggil, hanya ikut keluar dari pintu gerbang untuk mengetahui ke mana gadis itu pergi dan apa pula yang hendak dikerjakan. Dia ingin menemui Lee Cin karena bantuan gadis itu sangat dibutuhkan pada waktu yang gawat itu. Kalau Lee Cin suka membantu Cin Lan dalam menghadapi para pemberontak, tentu para pemberon-tak itu akan lebih mudah ditangkap ketika mereka menyerbu rumah para pangeran.

Apakah yang sedang dilakukan Lee Cin di kota raja? Seperti kita ketahui gadis ini meninggalkan Thian Lee dengan hati yang hancur karena pepnuda itu terus terang menyatakan tidak membalas cintanya bahkan telah mencinta gadis lain. Untuk menghibur hatinya ia pergi ke kota raja. Tadinya, kehancuran hatinya membuat ia ingin sekali rnengamuk ke rumah Pangeran Tua akan tetapi ia teringat akan pesan ayahnya betapa bahayanya kalau ia rnelakukan hal itu. Ketika ia tiba di kota raja, ia membeli seekor kuda dan berkeliaran di kota raja menunggang kuda, kadang melewati ru-mah Pangeran Tua. Ketika tadi ia sekali lagi melewati istana itu, ia melihat beberapa orang pengennis yang memegang tongkat hitam berada di sekitar istana itu. Agaknya para anggauta Hek-tung Kai-pang itu mengenalinya karena mere-ka segera membayanginya.

Lee Cin tersenyum seorang diri, teringat akan gelang kemala yang pernah dirampasnya dari seorang anggauta Hek-tung Kai-pang sehingga mereka itu berusaha untuk memintanya kembali darinya. Sekarang agaknya mereka itu mengenalnya dan membayanginya, tentu karena urusan gelang kemala itu. Karena merasa dibayangi terus, Lee Cin lalu membelokkan kudanya keluar dari pintu gerbang sebelah selatan kota raja. la tidak ingin membuat keributan di kota raja dan kalau mereka itu hendak mencari keributan, biarlah hal itu terjadi di luar kotai raja, pikirnya.

Rombongan pengemis yang membayanginya menjadi semakin banyak dan ketika ia keluar dari kota raja, jumlah mereka sudah ada tiga puluh orang! Sete-lah tiba di jalan yang sunyi di luar kota raja, Lee Cin sengaja menghentikan ku-danya dan menanti mereka yang membayanginya itu dengan senyum mengejek. Hatinya sedang kecewa dan kesal, maka kalau ada orang-orang yang mencari keributan, tentu saja ia akan meladeni! Bahkan ia sendiri akan mencari keributan.



Kisah Si Pedang Kilat Eps 23 Dewi Sungai Kuning Eps 2 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 13

Cari Blog Ini