Kemelut Kerajaan Mancu 13
Kemelut Kerajaan Mancu Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
Untuk melampiaskan kemarahan mereka, mereka merusak perabot-perabot rumah, membiarkan dua losin anak buah mereka mengambil dan merampok barang berharga sesuka hati mereka dari rumah itu, kemudian mereka menyuruh anak buah mereka membakar gedung itu untuk melampiaskan kemarahan mereka! Setelah itu, dengan sorak sorai kemenangan menutupi kekecewaan dua orang pimpinan mereka dan juga gembira karena pasukan yang berubah menjadi gerombolan perampok itu telah memperoleh "hasil" lumayan dari gedung Pangeran Ciu Wan Kong, mereka menuju ke istana Pangeran Bouw Hun Ki untuk membantu pasukan besar yang menyerbu ke sana.
Ketika Thio Kwan dan Yu Kok Lun tiba di depan istana Pangeran Bouw Hun Ki, hati mereka gembira melihat betapa pasukan pendukung Pangeran Cu Kiong sedang mendesak pasukan pemerintah yang mempertahankan istana Pangeran Bouw. Akan tetapi mereka berdua juga melihat perkelahian mati-matian terjadi agak jauh dari pertempuran para prajurit, yaitu antara jagoan-jagoan pendukung Pangeran Cu Kiong melawan para pendekar yang membela kerajaan!
Memang seru dan menarik sekali perkelahian antara para ahli silat tingkat tinggi itu, jauh lebih seru dan menegangkan dibandingkan dengan pertempuran antara para prajurit kedua pihak yang saling tumpas dengan ngawur itu.
Seperti telah direncanakan oleh para pemberontak, yang memimpin pasukan yang menyerbu istana Pangeran Bouw Hun Ki diperkuat dengan orang-orang sakti seperti Lam-hai Cin-jin, Ngo-beng Kui-ong, Mong Lai dan para perwira tinggi. Akan tetapi setelah melihat para pendekar tidak ada yang menyambut mereka dan hanya pasukan kerajaan saja yang menyambut, maka Lam-hai Cin-jin mengajak para jagoan untuk membantu penyerbuan ke istana yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Cu Kiong yang dibantu oleh Ang-mo Niocu Yi Hong.
Setelah tiba di depan istana kaisar, barulah mereka mendapat sambutan dahsyat. Lam-hai Cin-jin segera diterjang Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa tanpa banyak cakap lagi dan mereka segera bertanding mati-matian. Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki atau yang ketika masih gadis merupakan seorang pendekar wanita berjuluk Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti) bernama Souw Lan Hui, begitu melihat Ngo-beng Kui-ong segera menerjang kakek mayat hidup ini karena ia dapat menduga tentu kakek ini lihai bukan main seperti yang diceritakan Thian Hwa dan mereka pun segera terlibat perkelahian dahsyat.
Ang-mo Niocu Yi Hong segera diserang oleh Bu Kong Liang yang kini membenci wanita yang ternyata berwatak jahat dan palsu itu. Mong Lai, tokoh Mongol yang ahli ilmu silat campur gulat, juga memiliki kekuatan ilmu sihir, diserang oleh Bouw Kun Liong, putera Pangeran Bouw. Thio Kwan dan Yu Kok Lun yang baru datang ke depan istana itu setelah membakar rumah Pangeran Ciu Wan Kong yang ternyata kosong, juga sudah diserbu dua orang gadis cantik, yaitu Bouw Hwi Siang dan Gui Siang Lin. Adapun Pangeran Cu Kiong yang tadinya hanya memberi semangat kepada para jagoannya, tiba-tiba harus menghadapi Pangeran Bouw Hun Ki!
"Cu Kiong, apakah engkau tidak malu berhadapan dengan nenek moyang kita setelah engkau mati nanti sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak?"
"Bouw Hun Ki, engkau orang tua yang tidak tahu malu! Engkau sudah bekerja sama dengan penjahat wanita Huang-ho Sian-li untuk menguasai tahta kerajaan. Pada lahirnya saja engkau mengaku sebagai pelindung dan pendamping Pangeran Kang Shi, akan tetapi siapa tidak tahu akan isi perutmu? Engkau ingin menguasai Pangeran yang masih kanak-kanak itu sehingga engkaulah yang berkuasa atas pemerintahan!" Setelah berkata demikian, Pangeran Cu Kiong menerjang dan menyerang dengan pedangnya.
"Tranggg...!" Pangeran Bouw Hun Ki menangkis dengan pedangnya dan dua orang pangeran yang paman dan keponakan ini sudah saling serang dengan pedang mereka. Biarpun Pangeran Bouw Hun Ki baru setelah menikah dengan Souw Lan Hui belajar ilmu silat dari isterinya itu, namun karena isterinya memiliki kepandaian silat yang hebat, maka pangeran ini pun memiliki pertahanan yang cukup kuat dan serangan balasannya juga cukup berbahaya bagi lawannya karena Pangeran Cu Kiong juga bukan seorang ahli silat yang terlalu pandai.
Setelah pertempuran berlangsung, barulah Pangeran Cu Kiong dan para pembantu dan pendukungnya, merasa terkejut dan kecelik. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa rencana siasat mereka telah dihadapi dengan persiapan yang amat kuat oleh pihak lawan, bahkan pasukan yang mendukung pemberontak jumlahnya jauh kalah besar.
Yang menjadi puncak perkelahian antara para ahli silat itu adalah pertandingan antara Lam-hai Cin-jin melawan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa, dan antara Ngo-beng Kui-ong melawan Sin-hong-cu Souw Lan Hui atau Nyonya Bouw. Mereka inilah yang memiliki tingkat ilmu silat paling tinggi di antara para tokoh kedua pihak.
Bouw Hujin menghadapi lawan yang amat tangguh. Nyonya yang berusia lima puluh satu tahun ini adalah murid Bu-tong-pai yang lihai. Senjatanya siang-kiam (sepasang pedang) bergerak cepat sekali membentuk dua gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga sakti berlomba saling berebut mustika. Juga ia memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Akan tetapi sekali ini ia bertanding melawan Ngo-beng Kui-ong yang merupakan datuk tua paling dahsyat ilmunya di seluruh daerah selatan!
Tadi sebelum Nyonya Bouw dan para pembantunya keluar menyambut lawan, Ngo-beng Kui-ong ini, di samping keponakan muridnya, yaitu Lam-hai Cin-jin, mengamuk dan telah membunuhi setiap orang perwira maupun prajurit yang berani dekat dengan mereka. Entah sudah berapa puluh orang tewas di tangan Ngo-beng Kui-ong. Kini pun, Nyonya Bouw masih sering mendapat bantuan prajurit atau perwira yang merasa memiliki ilmu silat lumayan. Namun, mereka itu bagaikan laron menyerang api, begitu tersentuh sinar tongkat ular di tangan Ngo-beng Kui-ong mereka sudah berpelantingan dan tewas!
Melihat betapa banyaknya prajurit dan perwira yang menjadi korban kelihaian kakek yang seperti mayat hidup itu, Nyonya Bouw menjadi marah sekali. Ia mengeluarkan pekik melengking dan tangan kirinya bergerak. Tiga benda berkeredepan seperti kilat menyambar ke arah tenggorokan, ulu hati, dan pusar tubuh Ngo-beng Kui-ong! Itulah tiga batang Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak) yang dilepas secara dahsyat oleh tangan kiri Nyonya Bouw! Biarpun Ngo-beng Kui-ong merupakan seorang yang memiliki ilmu silat tingkat tinggi dan lihai sekali, walaupun dia mampu menghindarkan diri dari serangan maut ini, tidak urung dia terkejut bukan main. Dia melempar diri ke belakang dan bergulingan sehingga serangan tiga batang piauw itu luput.
Ketika dia bergulingan itu, dia melihat betapa pasukan pengikut Pangeran Cu Kiong sudah terdesak mundur dan banyak di antara mereka yang tewas. Kakek ini memang cerdik dan licik. Dia sudah memperhitungkan jauh-jauh bahwa kalau Pangeran Cu Kiong kalah, agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan dirinya, sukar untuk keluar dari kota raja. Maka sekarang, selagi ada kesempatan, dia harus mempergunakannya untuk menyelamatkan diri. Keselamatan dirinya adalah yang paling utama baginya. Maka begitu dia melompat bangun, dia melemparkan tongkat ularnya ke atas dan senjata itu melayang seperti seekor ular hidup ke arah leher Nyonya Bouw!
Nyonya Bouw maklum akan kelihaian tongkat ular yang kini bergerak seolah hidup itu, dapat menduga bahwa itu merupakan ilmu sihir yang jahat, maka ia pun cepat menggerakkan sepasang pedangnya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya. Terdengar suara nyaring berdentangan ketika tongkat ular itu mengamuk dan selalu bertemu dengan sepasang pedang yang dimainkan oleh Nyonya Bouw dengan cepat sehingga membentuk lingkaran sinar bergulung-gulung seperti payung besar yang dibuka dan menjadi perisai.
"Trang-trang-trak-trakk!" Ketika Nyonya Bouw membuat gerakan menggunting dengan kedua pedangnya dari kanan kiri, tiba-tiba tongkat itu seperti kehilangan kekuatannya dan dapat terpotong-potong oleh sepasang pedang Nyonya Bouw. Ternyata Ngo-beng Kui-ong menghentikan kekuatan sihirnya yang tadi mengendalikan tongkat itu, karena dia menggunakan kesempatan itu untuk tidak mempedulikan tongkatnya lagi, melainkan melompat dengan cepatnya ke arah Pangeran Bouw Hun Ki yang masih berkelahi melawan Pangeran Cu Kiong dengan sengitnya.
Pada saat itu, perkelahian antara dua orang pangeran tua dan muda itu masih berlangsung seru. Agaknya para prajurit masih sungkan terhadap wibawa dua orang pangeran yang paman dan keponakan sendiri ini sehingga tidak ada prajurit yang mau melakukan pengeroyokan atau mencampuri perkelahian itu.
Karena tempat mereka berdua berkelahi menjadi terbuka tanpa adanya pengeroyokan, Ngo-beng Kui-ong sekali loncat dapat menyambar tubuh Pangeran Bouw Hun Ki. Begitu menotok punggung Pangeran Bouw Hun Ki sehingga pangeran itu terkulai lumpuh, dia terus mengempit dan membawanya melompat jauh. Melihat ini, para panglima pendukung kerajaan terkejut dan hendak menolong, akan tetapi mereka tidak berani bergerak ketika melihat Ngo-beng Kui-ong mendekatkan jari-jari tangan membentuk cakar kepada kepala Bouw Hun Ki sambil berseru.
"Siapa berani menghalangiku, kuhancurkan kepalanya!"
Bahkan Nyonya Bouw yang melihat betapa suaminya ditangkap Ngo-beng Kui-ong yang secara licik meninggalkannya tadi, perbuatan yang sama sekali tidak ia sangka-sangka, menjadi pucat dan marah sekali. Akan tetapi wanita perkasa ini pun bukan seorang berbatin lemah yang tidak mampu mengendalikan perasaannya sendiri. Dia maklum bahwa Ngo-beng Kui-ong tidak mempunyai alasan lain dalam menculik suaminya kecuali untuk mempergunakannya sebagai sandera agar dia dapat meloloskan diri. Tidak ada alasan lain karena kakek yang seperti mayat hidup itu hanyalah merupakan orang kiriman Jenderal Wu Sam Kwi untuk membantu gerakan Pangeran Cu Kiong. Jadi, kurang kuat alasannya untuk membunuh Pangeran Bouw. Pasti hanya untuk sandera agar dia dapat meloloskan diri keluar kota raja. Maka, ia pun cepat melakukan pengejaran, hanya membayangi saja, tidak berani terlalu dekat karena khawatir hal itu akan membahayakan nyawa suaminya.
Tidak ada yang tahu akan peristiwa terculiknya Pangeran Bouw Hun Ki oleh Ngo-beng Kui-ong lalu dikejar Nyonya Bouw keluar dari medan pertempuran karena semua orang sibuk sendiri bertempur menghadapi lawan masing-masing yang cukup tangguh. Pertempuran terus berlanjut dan sudah banyak korban dari kedua pihak berjatuhan.
Sementara itu, tiga puluh orang prajurit yang ditinggalkan di istana Pangeran Cu Kiong untuk menjaga agar tawanan Si Han Bu tidak sampai lolos, merasa gelisah. Mereka tahu bahwa Pangeran Cu Kiong dan semua anak buahnya sedang mencoba untuk merebut tahta kerajaan dan kini sedang bertempur melawan pasukan kerajaan. Dari tempat mereka berkumpul di rumah tahanan yang berada di belakang istana, mereka dapat mendengar suara orang bertempur yang bergemuruh. Mereka menjadi gelisah sekali. Bukan hanya mereka yang merasa gelisah, akan tetapi juga seluruh penghuni istana, yaitu para keluarga Pangeran Cu Kiong dan para pelayan dan pembantu rumah tangga. Mereka tinggal menanti berita. Kalau pihak Pangeran Cu menang mungkin kemuliaan menanti mereka, akan tetapi sebaliknya kalau usaha pemberontakan itu gagal, malapetaka menanti mereka!
Si Han Bu yang duduk di atas pembaringan, bersila dan tampak tenang saja. Dia memang tidak merasa khawatir sama sekali, bukan hanya karena dia maklum bahwa Ngo-beng Kui-ong yang menawannya hendak menggunakan dia untuk membujuk gurunya agar membantu Jenderal Wu Sam Kwi, akan tetapi terutama sekali karena pemuda ini tidak pernah merisaukan sesuatu. Dia menghadapi segala hal yang menimpa dirinya dengan tenang. Apa pun yang terjadi, terjadilah! Dia kini ditawan musuh, ini merupakan sebuah kenyataan. Perlu apa dirisaukan lagi? Yang penting tetap tenang dan waspada, tanpa mengkhawatirkan dan membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan datang. Dia ditawan, ini merupakan sebuah kenyataan yang tak dapat disangkal atau diubah lagi.
Tidak perlu disusahkan, tiada gunanya dikhawatirkan. Dia ditawan musuh, titik. Dalam keadaan tenang, pikirannya menjadi jernih dan hatinya tenang menghadapi apa pun yang akan terjadi. Sekarang dia masih hidup dan selama masih hidup, dia tidak akan pernah putus asa. Tentu saja sudah menjadi kewajiban setiap orang manusia yang hidup di dunia ini mempertahankan keadaan dirinya, mempertahankan kehidupannya. Ikhtiar itu wajib. Kalau lapar mencari makanan, kalau haus mencari minuman, kalau mengantuk tidur, kalau sakit mencari obatnya. Setiap orang harus menjaga kehidupan dirinya sendiri, bahkan setiap mahluk harus melakukannya, kalau ia masih ingin hidup.
Sekarang pun dia harus berupaya untuk dapat meloloskan dari tahanan. Tidak perlu mengotori otaknya dengan semua ketakutan, kesusahan, atau kekhawatiran dengan membayangkan masa depan yang belum tiba. Otak harus bersih untuk dapat berdaya upaya menolong dirinya sendiri. Maka ia duduk bersamadhi, untuk menenangkan hati dan akal pikirannya, dan untuk menghimpun tenaganya yang mungkin kalau peluangnya ada, akan dia perlukan.
Kita kembali ke medan pertempuran yang kini semakin menjauhi istana kaisar karena pemberontak mulai terdesak mundur dan keluar dari daerah istana. Yang berkelahi dengan seru dan mati-matian terutama sekali adalah Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa melawan Lam-hai Cin-jin, jagoan paling lihai dari pihak pemberontak setelah Ngo-beng Kui-ong yang sudah melarikan diri menculik Pangeran Bouw Hun Ki dan dikejar Nyonya Bouw keluar kota raja.
Dengan pedangnya, Thian Hwa melawan mati-matian karena harus diakuinya bahwa Lam-hai Cin-jin merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Tingkat kepandaian Koksu (Guru Negara) dari Yunnan-hu ini hanya berada di bawah Ngo-beng Kui-ong, itu pun selisihnya tidak banyak walaupun kakek mayat hidup itu merupakan paman gurunya. Senjata di tangan Lam-hai Cin-jin amat menyeramkan. Sebuah tongkat ruyung berduri yang mengandung racun sehingga lawan dapat terbunuh hanya oleh luka yang tidak berbahaya karena racunnya akan menjalar ke dalam tubuh korban. Selain tongkat ruyung berduri yang ganas itu, juga tangan kiri Lam-hai Cin-jin menyelingi serangan ruyungnya dengan pukulan jarak jauh Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam). Setiap tangan kirinya melancarkan serangan ini, telapak tangannya berubah hitam dan dari telapak tangan itu menyambar uap hitam beracun!
Thian Hwa harus bekerja keras menghadapi pukulan Hek-tok-ciang dan sambaran ruyung berduri itu. Ia mula-mula mainkan Kwan-im Kiam-sut (Ilmu Pedang Kwan Im) yang lembut indah dan kokoh pertahanannya. Namun lama-lama ia maklum bahwa menghadapi lawan seperti Lam-hai Cin-jin yang demikian lihainya, kalau hanya bertahan saja akhirnya ia sendiri yang akan terancam bahaya. Melawan seorang yang demikian lihainya, menyerang merupakan pertahanan yang lebih menguntungkan. Maka ia lalu mengubah ilmu pedangnya. Kini ia mainkan Huang-ho Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sungai Kuning) yang tidak selembut Kwan-im Kiam-sut namun Huang-ho Kiam-hoat ini memiliki gerakan yang dahsyat penuh dengan serangan yang bergelombang. seperti membanjirnya air Sungai Kuning yang terkenal itu.
"Cring-tranggg...!" Bunga api berpijar-pijar ketika pedang itu untuk ke sekian kalinya bertemu dengan ruyung.
"Wuuuuttt...!" tangan kiri Lam-hai Cin-jin menyambar dan uap hitam meluncur ke arah kepala Thian Hwa. Gadis perkasa itu miringkan tubuhnya dan cepat menggunakan tangan kiri untuk menangkis.
"Dukk...!" Lengan tangan kiri Thian Hwa yang berkulit putih halus dan mungil itu bertemu dengan lengan yang besar pendek dipenuhi bulu kasar. Biarpun Thian Hwa sudah dapat menduga akan kekuatan lawan dan dara ini tadi sudah mengerahkan sin-kang sekuatnya, tetap saja tubuhnya terpental dan terhuyung ke belakang saking kuatnya pertemuan tenaga sakti mereka. Thian Hwa terkejut karena dia tidak menduga bahwa pukulan tangan kiri Lam-hai Cin-jin sedahsyat itu. Pada saat itu, Lam-hai Cin-jin sudah melompat ke depan dan ruyungnya menyambar ke arah kepala Thian Hwa!
Dalam keadaan yang amat gawat itu, berkelebat bayangan putih dan sebuah sinar pedang meluncur dan menangkis ruyung itu.
"Singg... trranggg...!"
Lam-hai Cin-jin terkejut sekali ketika ruyungnya tertangkis sebatang pedang dan yang membuat tangannya tergetar hebat. Pada saat itu ada hembusan angin kuat menyambar. Kiranya ada kipas yang menyerangnya. Dia tahu berhadapan dengan lawan kuat. Cepat dia melempar diri ke belakang dan berjungkir balik tiga kali. Ketika dia memandang, seorang wanita berpakaian putih, berusia empat puluh tahun lebih namun masih cantik, telah berdiri, pedang di tangan kanannya dan kipas di tangan kirinya.
"Im-yang Sian-kouw...!" katanya kaget dan maklum bahwa akan sulit menghadapi pengeroyokan dua orang wanita sakti itu dia lalu melompat jauh menghilang di antara para prajurit yang sedang bertempur.
Thian Hwa tidak mengejar karena mengejar pun percuma mencari seorang di antara demikian banyaknya prajurit yang bertempur. Pula ia amat tertarik mendengar disebutnya nama tadi. Ia menghampiri wanita itu dan bertanya.
"Apakah... Bibi ini Im-yang Sian-kouw...?"
Im-yang Sian-kouw mengangguk dan sejak tadi pun ia sudah kagum melihat sepak terjang gadis muda yang berani melawan Lam-hai Cin-jin dengan demikian gigihnya. Ia mengangguk sambil tersenyum, akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa sudah berkata dengan hati tegang.
"Bibi, cepat, Bibi. Kita harus pergi menolong murid Bibi...."
"Muridku?"
"Ya, bukankah Si Han Bu itu murid Bibi?"
Im-yang Sian-kouw terkejut.
"Benar, di mana dia? Apa yang terjadi dengan dia?"
"Nanti saja kuceritakan, Bibi. Sekarang yang terpenting kita harus menolong dan membebaskannya. Mungkin dia tertawan di rumah Pangeran Cu Kiong, Si Pemberontak itu. Mari, Bibi!"
Huang-ho Sian-li melompat dengan cepat sekali sehingga Im-yang Sian-kouw harus mengerahkan gin-kang untuk menyusul gadis itu. Hatinya tentu saja merasa gelisah mendengar murid yang disayang seperti anak sendiri itu tertawan musuh.
Setelah mereka berlari secepat terbang, Im-yang Sian-kouw mendapat kenyataan betapa gadis itu dapat berlari cepat sekali, tidak kalah olehnya!
"Apa... apa dia masih hidup?" tanyanya khawatir.
"Mudah-mudahan saja, Bibi!"
Ketika mereka tiba di istana Pangeran Cu Kiong, keadaan di situ sunyi. Maklum, pasukan telah meninggalkan tempat itu untuk ikut menyerbu istana kaisar.
"Tempat tahanan berada di belakang, mari kita ke sana, Bibi!" kata Thian Hwa dan dua orang Wanita perkasa itu melayang ke atas wuwungan istana dan menyelidiki di bagian belakang. Ketika tiba di ruangan tahanan yang telah dikenal baik oleh Thian Hwa, mereka berdua melihat tiga puluh orang prajurit sibuk melepaskan anak panah ke dalam sebuah kamar tahanan melalui jeruji besi yang kokoh kuat.
Di dalam ruangan itu, mereka melihat seorang pemuda yang bukan lain adalah Si Han Bu, bergerak-gerak lincah, mengelak dan menangkisi puluhan batang anak panah yang menyambar dari depan. Masih untung baginya bahwa di belakangnya adalah dinding sehingga para prajurit itu tidak dapat mengepung dan menyerangnya dari belakang atau samping, hanya dari depan. Ternyata tiga puluh orang prajurit yang ditinggalkan Pangeran Cu Kiong untuk menjaga tawanan itu semakin gelisah mendengar berita bahwa pasukan pendukung Pangeran Cu Kiong tampaknya terdesak. Maka, karena mereka ingin sekali segera pergi dari situ, baik untuk membantu perang ataupun untuk lari menyelamatkan diri, mereka serentak mengambil keputusan untuk membunuh tawanan dengan menyerang dengan anak panah dari luar ruangan tahanan!
Betapa pun lihainya Si Han Bu, dihujani anak panah oleh tiga puluh orang prajurit tanpa dia memegang senjata untuk melindungi dirinya, sungguh merupakan hal yang merepotkannya. Sudah ada dua batang anak panah yang melukai pundak dan pahanya. Walaupun dua batang anak panah itu tidak menembus pundak dan paha, namun tetap saja dua bagian tubuhnya itu lecet-lecet dan berdarah. Han Bu lalu melompat dan mengangkat dipan yang menjadi tempat tidurnya, dan setelah dia menggunakan dipan untuk melindungi diri dari keroyokan anak panah, keadaannya agak membaik. Dia tidak repot sekali, namun tetap saja dia sama sekali tidak mampu membalas.
Tiba-tiba terdengar bentakan suara wanita.
"Pertahankan, Han Bu!"
"Subo...!" Han Bu girang sekali mendengar suara gurunya dan dia menjadi lebih gembira melihat Huang-ho Sian-li juga datang bersama subonya. Tentu saja Han Bu sudah tahu, bahkan sudah merasa yakin bahwa Im-yang Sian-kouw sesungguhnya dulu bernama Cui Eng, puteri dari Cui Sam atau ibu kandung dari Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa!
Dua orang wanita itu lalu mengamuk. Begitu mereka melayang turun dari atas genteng, tubuh mereka berkelebatan bagaikan dua ekor burung rajawali menyambar-nyambar dan para prajurit itu berpelantingan roboh! Dalam waktu sebentar saja, dua belas orang prajurit sudah roboh dan tak dapat bangun lagi. Yang lainnya menjadi panik dan ketakutan. Mereka tanpa dapat dikomando lagi lalu melarikan diri meninggalkan bangunan tempat tahanan, bahkan terus melarikan diri keluar dari istana Pangeran Cu Kiong.
Im-yang Sian-kouw cepat membuka pintu kamar tahanan dan Han Bu keluar sambil tersenyum.
"Wah, untung Subo dan Huang-ho Sian-li datang menolong. Kalau tidak tentu aku akan mati!"
"Bagaimana luka di pundak dan pahamu?" Im-yang Sian-kouw memandang ke arah baju bagian pundak dan celana di paha yang robek dan berdarah.
"Tidak apa-apa, Subo, hanya lecet sedikit."
"Bibi dan Si Han Bu, mari kita cari senjata kita yang dirampas, lalu cepat kembali ke istana membantu pasukan yang bertahan terhadap serbuan para pemberontak!"
Mendengar ucapan Huang-ho Sian-li, guru dan murid itu mengangguk dan mereka cepat mencari pedang Kwan-im-kiam dan kantung Pek-hwa-ciam milik Thian Hwa yang dirampas, juga pedang Im-yang-kiam dan kipas Im-yang-po-san milik Si Han Bu. Mereka tidak mempedulikan keluarga dan para pelayan Pangeran Cu Kiong yang ketakutan dan setelah mencari di kamar Pangeran Cu Kiong, gadis dan pemuda itu menemukan senjata mereka. Dengan girang mereka lalu membawa senjata mereka dan bersama Im-yang Sian-kouw cepat kembali ke tempat pertempuran yang masih berlangsung. Mereka tidak sempat untuk bicara karena pertempuran masih berlangsung dan Huang-ho Sian-li mendesak guru dan murid itu untuk bergegas ke istana dan membantu pasukan kerajaan.
Pertempuran masih berlangsung ramai walaupun pasukan pemberontak terus terdesak mundur. Juga terjadi perubahan besar dalam pertempuran antara jagoan-jagoan pendukung pemberontak melawan para pembela kerajaan. Setelah pihak pemberontak ditinggalkan jagoan yang paling sakti, yaitu Ngo-beng Kui-ong, maka banyak di antara teman-temannya yang menjadi jerih. Ang-mo Niocu Yi Hong yang cerdik dan licik itu merasa gentar setelah melihat Ngo-beng Kui-ong melarikan diri sambil menculik Pangeran Bouw Hun Ki.
Ia melihat betapa gurunya, Lam-hai Cin-jin, juga hanya mampu mendesak Thian Hwa akan tetapi lalu muncul seorang wanita setengah tua cantik yang amat lihai yang membuat gurunya lari terbirit-birit! Lam-hai Cin-jin dan Ngo-beng Kui-ong sudah melarikan diri, tidak ada harapan lagi untuk menang! Ang-mo Niocu yang cerdik berpikir. Biarpun pemberontakan itu gagal, setidaknya ada keuntungannya bagi Jenderal Wu Sam Kwi, pertama karena pemberontakan itu melemahkan Kerajaan Mancu.
Kedua kalinya, ia telah memiliki Tek-pai dari Kaisar Shun Chi dan ia percaya Tek-pai ini amat berguna bagi pemimpinnya. Kalau ia serahkan Tek-pai itu kepada Jenderal Wu Sam Kwi, tentu ia mendapatkan pahala besar! Maka, untuk apa membahayakan dan mengorbankan nyawanya hanya untuk membela Pangeran Cu Kiong yang bagaimanapun hanya seorang pangeran penjajah Mancu? Maka, sambil berteriak melengking ia menusukkan payung pedangnya dan ketika ditangkis, mendadak dari ujung payung pedang itu meluncur Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) sebanyak tujuh batang menyerang ke arah Bu Kong Liang yang menjadi lawannya!
Murid Siauw-lim-pai yang tangguh itu cepat memutar siang-kek (sepasang tombak pendek bercabang) sambil melompat tinggi ke atas lalu berjungkir balik ke belakang sehingga sebagian jarum-jarum merah itu tertangkis dan sebagian lagi dapat dielakkannya. Ketika dia turun kembali, Ang-mo Niocu sudah tidak berada di depannya. Wanita ini merasa ketakutan ketika ia melihat Huang-ho Sian-li dan Im-yang Sian-kouw yang tadi membuat gurunya lari terbirit-birit sudah datang lagi di tempat itu. Maka ia cepat menyelinap di antara para prajurit dan menghilang!
Thio Kwan yang bertanding melawan Bouw Hwi Siang, dapat mengimbangi gadis itu, bahkan tampak lebih kuat. Demikian pula Yu Kok Lun dapat mendesak Gui Siang In. Akan tetapi Bu Kong Liang yang ditinggal lari Ang-mo Niocu segera membantu dua orang gadis itu sehingga Thio Kwan dan Yu Kok Lun terkejut dan terdesak terus. Tak lama kemudian, kedua orang dari Kam-keng Chit-sian (Tujuh Dewa Kam-keng) yang mengabdi kepada Pangeran Cu Kiong itu, tewas pula. Kam-keng Chit-sian kini habis, tinggal seorang saja, yaitu Ciang Sun, akan tetapi sudah lama dia meninggalkan Pangeran Cu Kiong.
Bouw Hwi Siang, Gui Siang In, dan Bu Kong Liang kini membantu Bouw Kun Liong yang masih bertanding ramai melawan Mong Lai. Orang Mongol ini memang tangguh sekali. Selain bertenaga gajah, ilmu silat campur ilmu gulatnya juga berbahaya, ditambah lagi dia menguasai ilmu sihir sehingga tadi dia sempat membuat Bouw Kun Liong kewalahan. Akan tetapi setelah tiga orang itu maju mengeroyok, Mong Lai menjadi repot dan akhirnya dia pun roboh dan tewas.
Melihat Pangeran Cu Kiong masih saja berteriak-teriak memberi semangat kepada pasukannya tanpa melihat kenyataan bahwa tiga orang jagoannya, Thio Kwan, Yu Kok Lun, dan Mong Lai telah tewas, sedangkan mereka yang dia andalkan, Ngo-beng Kui-ong, Lam-hai Cin-jin, dan Ang-mo Niocu juga sudah melarikan diri meninggalkan pertempuran, Si Han Bu melompat dengan sigapnya dan sekali tangannya menampar, Pangeran Cu Kiong tidak mampu menghindarkan diri dan dia tertampar roboh. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi Han Bu sudah menggerakkan pedangnya.
"Si Han Bu, jangan bunuh dia!" terdengar Huang-ho Sian-li berseru dari belakang dan ia pun menolak lengan kanan Han Bu sehingga pedang yang sudah ditodongkan itu menjauh dari leher Pangeran Cu Kiong!
"Ha-ha-ha!" Pangeran Cu Kiong tersenyum getir.
"Huang-ho Sian-li, apakah engkau masih ada perasaan cinta kepadaku sehingga tidak tega melihat aku terbunuh?"
Mendengar ini, Thian Hwa merasa sedih juga karena harus ia akui bahwa Pangeran Cu Kiong adalah cinta pertamanya! Walaupun kini ia tidak mempunyai perasaan cinta kepada pangeran yang licik, kejam dan berkhianat itu, namun tetap saja kemesraan dalam hatinya yang dulu masih membekas.
"Pangeran Cu Kiong, dosamu sudah bertumpuk dan sebetulnya sudah sepatutnya kalau engkau dibunuh. Akan tetapi aku mau menukar jiwamu dengan Tek-pai milikku pemberian Kaisar. Kembalikan Tek-pai padaku dan aku tidak akan membunuhmu!"
Tiba-tiba Pangeran Cu Kiong tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, jangan harap mendapatkan Tek-pai itu, Huang-ho Sian-li! Tek-pai itu telah dibawa pergi Ang-mo Niocu Yi Hong untuk diserahkan kepada Jenderal Wu Sam Kwi!"
"Aku akan mengejar dan mengambilnya kembali!" Tiba-tiba Si Han Bu berkata dan tubuhnya berkelebat, pergi dari situ.
"Si Han Bu...!" Huang-ho Sian-li melarang, akan tetapi Im-yang Sian-kouw tersenyum.
"Biarkan saja, anak itu sukar dihalangi kalau sudah mempunyai kehendak. Dia dapat menjaga diri dan aku hampir yakin dia akan mampu mengambil Tek-pai itu kembali."
THIAN HWA lalu bergerak cepat, menotok jalan darah di tubuh Pangeran Cu Kiong sehingga tidak mampu bergerak lagi. Kemudian, tiba-tiba ia memanggul tubuh pangeran itu dan membawanya melompat ke atas. Setelah tiba di puncak menara, di bawah sinar matahari yang telah naik tinggi, ia berseru dengan pengerahan khi-kang sehingga suaranya terdengar nyaring dan menggema ke seluruh penjuru.
"Para pasukan pemberontak, dengar dan lihatlah! Pangeran pemberontak Cu Kiong yang berkhianat terhadap kerajaan telah kami tawan. Juga semua kaki tangannya telah ditumpas, banyak yang mati dan sebagian melarikan diri. Kalau kalian, yang masih prajurit pasukan kerajaan, membuang senjata, berlutut dan menyerah, masih bisa diharapkan pengampunan bagi kalian. Kalau nekat bertempur tanpa pimpinan lagi, kalian semua pasti binasa!"
Tadinya para prajurit pemberontak ragu-ragu, akan tetapi begitu ada seorang prajurit yang membuang senjata dan berlutut, hal itu seperti merupakan komando dan akhirnya mereka semua berlutut dan membuang senjata mereka.
Berakhirlah perang saudara itu dan pemberontakan Pangeran Cu Kiong itu gagal sama sekali! Para prajurit yang ikut memberontak dan kini menyerahkan diri mendapat pekerjaan berat, yaitu mengurus ratusan mayat yang menjadi korban pertempuran dan merawat lebih banyak lagi mereka yang luka-luka. Juga mereka diharuskan melakukan pembersihan di bekas tempat pertempuran yang dinodai darah. Rakyat penduduk kota raja yang tadinya banyak melarikan diri mengungsi, perlahan-lahan kembali ke rumah masing-masing.
***
Kini baru Im-yang Sian-kouw sempat berhadapan dengan Huang-ho Sian-li. Setelah membiarkan Si Han Bu pergi mencari Tek-pai dan Huang-ho Sian-li membawa Pangeran Cu Kiong naik ke menara dan gadis perkasa itu berhasil mengakhiri perang dan membuat semua prajurit pemberontak menyerahkan diri, Im-yang Sian-kouw memandang gadis itu dengan sinar mata penuh kagum. Pangeran Cu Kiong telah diserahkan kepada panglima untuk ditahan dalam penjara.
"Nona, ketika mula-mula tiba di kota raja dan mendengar akan nama besar Huang-ho Sian-li, aku masih belum percaya bahwa ada seorang gadis yang masih muda seperti engkau ini selain memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali, juga dapat bersikap tegas dan bijaksana seperti seorang panglima perang! Nona, siapakah gurumu?"
"Guruku bernama Thian Bong Sianjin, Bibi. Akan tetapi, Bibi Im-yang Sian-kouw, ilmu kepandaianmu lebih hebat lagi, bahkan kalau tidak ada muridmu Si Han Bu yang menolongku keluar dari tahanan, mungkin sekarang aku sudah mati."
"Aih, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi, Nona. Sudah semestinya orang-orang segolongan dan sehaluan saling membantu tanpa pamrih. Eh, apa artinya ucapan Pangeran Cu Kiong itu? Benarkah bahwa engkau... mencintanya? Maafkan pertanyaanku ini karena sungguh aku merasa bingung mendengarnya. Apakah hubunganmu dengan pangeran pemberontak itu?"
Huang-ho Sian-li tersenyum menghela napas panjang.
"Sebetulnya kami masih merupakan saudara sepupu, Bibi. Dia itu putera Pamanda Kaisar Shun Chi, sedangkan aku adalah puteri seorang pangeran...."
"Wah! Kiranya engkau ini puteri pangeran? Ah, pantas kalau begitu. Siapakah ayahmu, kalau aku boleh mengetahui?" Dalam suara Im-yang Sian-kouw terdengar getaran aneh dan sinar matanya kini dengan tajam penuh selidik menatap wajah Thian Hwa.
"Ayahku bernama Ciu Wan Kong, seorang adik Kaisar Shun Chi.... eh, kenapa Bibi...?"Thian Hwa hampir saja meloncat untuk menangkap tubuh Im-yang Sian-kouw yang tiba-tiba terhuyung dan wajahnya tampak pucat sekali.
Siapa yang akan dapat bertahan mendengar pengakuan seorang gadis cantik jelita dan gagah bahwa gadis itu adalah puteri suaminya? Akan tetapi Im-yang Sian-kouw adalah seorang wanita gemblengan yang sudah banyak mengalami hal-hal yang amat hebat sehingga batinnya sudah menjadi kuat. Ia tersenyum, memandang Thian Hwa dan menggelengkan kepalanya dengan lembut.
"Tidak apa-apa... tidak apa-apa... engkau... eh, siapakah namamu, anak yang baik?"
"Namaku Ciu Thian Hwa, Bibi."
Im-yang Sian-kouw terdiam sejenak. Ia sengaja tidak mengeluarkan suara lagi karena jantungnya berdebar kencang dan ia tahu bahwa sekuat-kuat hatinya, pada saat itu tetap saja suaranya akan terdengar gemetar penuh perasaan haru dan sangsi. Ya, ia masih sangsi bahkan tidak percaya akan dugaannya yang muncul bahwa gadis ini adalah puterinya! Tidak, tidak mungkin! Pasti anak ini merupakan keturunan lain dari Pangeran Ciu Wan Kong, atau tentu ada keterangan lain. Tidak mungkin sama sekali gadis ini adalah anaknya yang ketika masih bayi bersama ia dan ayahnya hanyut terbawa arus air Sungai Kuning yang demikian dahsyatnya.
"Engkau kenapa, Bibi?" kembali Thian Hwa bertanya melihat wanita itu kini diam saja termenung.
"Thian Hwa, maukah engkau memperkenalkan aku dengan keluargamu?" tanyanya lirih.
"Tentu saja, Bibi! Murid Bibi itu pun sudah bertemu dengan ayahku. Mari, Bibi, kita pergi ke rumah Ayah, akan tetapi maklum, aku tadi mendengar kabar bahwa rumah Ayah dirampok dan dibakar oleh gerombolan pemberontak. Ayah sudah mendahului ke sana untuk memeriksa dan membereskannya."
Im-yang Sian-kouw tidak banyak bicara lagi dan kedua kakinya bergerak cepat, bagaikan melayang ia meninggalkan tempat itu. Thian Hwa cepat mengejarnya dan gadis ini sampai lupa dan tidak memperhatikan bahwa wanita cantik itu langsung menuju ke arah rumah ayahnya! Tentu saja hal ini tidak aneh karena Im-yang Sian-kouw yang dulu bernama Cui Eng itu sudah hafal akan letak rumah Pangeran Ciu Wan Kong yang juga menjadi tempat tinggalnya!
Setelah tiba di depan gedung tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong, Im-yang Sian-kouw berhenti dan berdiri dengan hati diliputi keharuan. Ia tentu saja mengenal benar rumah besar itu, di mana ia tinggal sejak kecil sampai menjadi dewasa, bekerja sebagai pelayan, kemudian menjadi kekasih Pangeran Ciu Wan Kong. Pot-pot bunga seruni yang berjajar di depan gedung itu masih berdiri dan pada saat itu sedang berbunga. Akan tetapi bagian kanan rumah itu terdapat bekas terbakar, hangus dan barang-barang berserakan. Ia melihat banyak prajurit sedang membersihkan tempat itu.
"Bibi, biar aku mencari Ayah dan memberitahukan akan kedatanganmu," kata Thian Hwa.
Im-yang Sian-kouw tidak menjawab, masih berdiri seperti patung memandang rumah itu.
Thian Hwa berlari memasuki gedung dan ia menemukan ayahnya sedang mengumpulkan barang-barang berharga yang dapat diselamatkan dari kebakaran, menyusunnya dalam kamar ayahnya, dibantu oleh Cui Sam, kakeknya.
"Ayah! Kong-kong!"
"Thian Hwa, rumah ayahmu dirampok dan dibakar jahanam-jahanam itu!" kata Kakek Cui Sam gemas.
"Ah, tidak mengapa. Ini masih baik karena bagaimanapun juga, pihak pemberontak berhasil dihancurkan, bukan begitu, Thian Hwa?" kata Pangeran Ciu Wan Kong dengan wajah gembira. Dia tadi mendengar akan sepak terjang puterinya yang hebat mengagumkan, yang telah menawan Pangeran Cu Kiong dan membawanya ke puncak menara di mana dengan gagah beraninya Thian Hwa berhasil membuat para sisa pemberontak membuang senjata dan menakluk! Perbuatan itu amat hebat dan menjadi buah bibir dan pujian seluruh rakyat.
"Harta benda hilang bisa dicarikan penggantinya, yang terpenting adalah nama dan kehormatan keluarga dan engkau telah menjunjung tinggi sekali nama dan kehormatan keluarga kita, Anakku!" kata pula Pangeran Ciu Wan Kong.
"Ayah, aku datang bersama seorang tamu."
"Eh? Mana tamunya? Siapa?"
"Bibi Im-yang Sian-kouw, Ayah."
"Im-yang Sian-kouw?" Tanya pangeran itu ragu karena merasa tidak mengenal nama itu.
"Hemm, agaknya Ayah telah lupa lagi akan keterangan pemuda bernama Si Han Bu itu."
"Si Han Bu...? Ah, ya, maksudmu guru Si Han Bu yang katanya tahu di mana adanya ibumu itu? Ah, cepat persilakan ia masuk ke sini. Thian Hwa." Lalu dia berkata kepada Cui Sam.
"Gak-hu (Ayah Mertua), mari kita bersihkan tempat ini dan persiapkan untuk menerima tamu kita. Ia akan memberitahu tentang Cui Eng!" kata Pangeran Ciu Wan Kong dan mereka berdua segera sibuk membereskan ruangan tamu untuk menyambut Im-yang Sian-kouw.
Baru saja mereka selesai membersihkan kamar tamu yang tidak ikut terbakar itu, Thian Hwa dan Im-yang Sian-kouw muncul di ambang pintu.
"Ayah, inilah Bibi Im-yang Sian-kouw yang telah menyelamatkan nyawaku ketika aku terancam oleh Lam-hai Cin-jin!" kata Thian Hwa.
Pangeran Ciu Wan Kong sedang memegang sebuah vas kembang dan membersihkannya dari debu. Dia memutar tubuh memandang dan...
"pyarrr...!" vas itu terlepas dan terjatuh pecah berkeping-keping di atas lantai. Dia berdiri bengong terlongong dengan wajah pucat. Thian Hwa terkejut, memandang Im-yang Sian-kouw dan melihat betapa wanita itu menundukkan mukanya yang pucat dan perlahan-lahan butiran air mata menuruni kedua pipinya!
"Cui Eng...! Cui Eng... Ya Tuhan... benar-benar engkaukah ini...? Cui Eng, isteriku...?" Suara ini terdengar menggigil, bahkan kedua lengan pangeran itu pun menggigil.
"Pangeran...." suara Im-yang Sian-kouw lirih dan sesenggukan.
"Cui Eng...! Engkau benar Cui Engku...!" Tiba-tiba Pangeran Ciu Wan Kong tersaruk-saruk maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu! "Cui Eng, ampunkan aku... Aku demikian lemah sehingga tidak berani menentang kehendak orang tuaku... aku telah berdosa kepadamu, telah membuat hidupmu, hidup Gak-hu (Ayah Mertua) dan hidup anak kita menderita... ampunkan aku, Cui Eng...."
Im-yang Sian-kouw menahan perasaan harunya.
"Pangeran, bangkit dan berdirilah. Kalau engkau menyadari bahwa dulu engkau amat lemah, mengapa sekarang tidak berubah dan masih amat lemah?"
"Cui Eng... terima kasih engkau telah kembali...."
Kemelut Kerajaan Mancu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berdirilah, Pangeran. Dengar, aku tidak ingin kembali kepadamu yang sudah mengusirku. Aku hanya datang untuk mendengar tentang ayah dan anakku...."
"Cui Eng, aku di sini..,." Tiba-tiba Cui Sam yang sejak tadi hanya melongo saja di sudut ruangan, kini maju menghampiri puterinya.
"Ayah...!" Cui Eng berseru dan ia segera berlutut di depan kaki Cui Sam. Kakek itu mengangkatnya dan mereka pun berangkulan sambil menangis.
"Cui Eng, inilah anak kita, Ciu Thian Hwa. Thian Hwa, cepat beri hormat kepada ibumu!" kata Pangeran Ciu Wan Kong yang sudah bangkit berdiri.
Sejak tadi Thian Hwa berdiri dengan muka pucat, tidak bergerak seperti patung. Sama sekali ia tidak pernah menduga bahwa Im-yang Sian-kouw adalah Cui Eng ibunya! Bagaimana ia dapat menduganya? Ia mendengar dari kakek dan ayahnya bahwa Cui Eng adalah seorang wanita lemah yang sama sekali tidak paham ilmu silat. Sedangkan Im-yang Sian-kouw merupakan seorang wanita yang demikian sakti! Maka biarpun ayahnya menyuruh ia memberi hormat kepada Im-yang Sian-kouw sebagai ibunya, ia masih ragu-ragu dan hanya memandang dengan sinar mata mencorong penuh selidik. Sebaliknya, Im-yang Sian-kouw juga belum dapat menerima dan percaya begitu saja bahwa Huang-ho Sian-li adalah anak kandungnya yang dulu belum ia beri nama ketika terlepas dari pondongan dan hanyut dalam Sungai Kuning.
"Pangeran Ciu Wan Kong! Ayah, harap jangan membohongi aku. Bagaimana mungkin anak ini adalah anakku yang ketika bayi hanyut di air Sungai Huang-ho? Bagaimana mungkin...?" Suara wanita itu kini tergetar mengandung isak.
Tiba-tiba Cui Sam berkata dengan suara seorang ayah yang marah dan menegur puterinya.
"Cui Eng! Jangan keraskan hatimu karena dendam kebencian! Ketahuilah bahwa Ciu Wan Kong juga menderita, bahkan tidak kalah menderitanya dibandingkan kita! Dia bahkan tidak pernah menikah dan telah dikenal sebagai orang yang sinting karena duka memikirkan dirimu! Panjang ceritanya bagaimana anakmu ini dapat selamat bahkan kini menjadi seorang pendekar wanita. Apa anehnya? Engkau sendiri juga dahulu seorang wanita lemah dan kini telah menjadi seorang wanita sakti. Pandanglah baik-baik, andaikata pikiranmu yang penuh dendam kepada Pangeran Ciu itu mencoba untuk menyangkal, pandanglah muka Ciu Thian Hwa! Tidakkah engkau dapat melihat, apakah matamu telah buta untuk dapat melihat betapa anakmu ini memiliki wajah seperti kembar dengan wajahmu? Thian Hwa, inilah Cui Eng, ibumu yang selama ini kau rindukan!"
Mendengar ucapan Cui Sam yang marah itu, bagaikan bendungan air pecah, kedua orang wanita itu mengeluarkan rintihan jerit hati dan mereka tersedu-sedu lalu entah siapa yang lebih dulu, mereka saling tubruk dan saling rangkul.
Dua orang wanita ini hampir tidak dapat mengeluarkan suara.
"Ibu...!"
"Anakku... Anakku...!"
Keduanya menangis tersedu-sedu, bagaikan air bah yang membanjir setelah bendungannya bobol. Im-yang Sian-kouw merangkul, menciumi muka Thian Hwa yang basah dengan air mata mereka, lalu menekan muka anaknya itu ke dadanya seperti seorang ibu hendak menyusui bayinya.
Dapat dibayangkan betapa mendalam rasa haru di dalam dada hati dua orang wanita itu. Keduanya sama sekali tidak pernah mengira bahwa mereka akan dapat saling bertemu. Thian Hwa yang sejak bayi terpisah dari ibunya dan ditemukan Thian Bong Sianjin hanyut di air Sungai Huang-ho, menganggap ibunya tentu sudah tewas. Demikian pula, seujung rambut pun tidak pernah mengira bahwa anaknya yang masih bayi dapat selamat dari air sungai yang besar dan ganas itu. Keharuan yang mendalam itu timbul dari perasaan duka, sakit hati, juga rasa bahagia yang luar biasa. Selama ini Cui Eng atau Im-yang Sian-kouw tidak mau pergi ke kota raja untuk menemui suaminya karena ia merasa sakit hati sekali atas pengusiran terhadap dirinya. Yang membuat ia mendendam terutama sekali karena ia kehilangan anaknya. Ia menganggap bahwa Pangeran Ciu Wan Kong telah memusnahkan semua kebahagiaannya, membunuh anaknya dan membunuh ayahnya, membuat ia merana dan hampir mati kalau saja tidak ditolong Bu Beng Kiam-sian.
Betapa pun hebatnya perasaan haru mencekam perasaan hati Huang-ho Sian-li dan Im-yang Sian-kouw, namun mereka berdua adalah wanita-wanita yang gagah perkasa dan sudah tergembleng lahir batinnya sehingga selain tenaga badan mereka amat kuat, juga tenaga batin mereka kokoh dan tidak mudah dilumpuhkan perasaan sendiri. Tak lama kemudian keduanya sudah dapat menguasai hati dan ketenangan mereka, lalu Im-yang Sian-kouw melepaskan rangkulannya kepada puterinya dan menghampiri Cui Sam, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya itu.
"Ayah...!"
Cui Sam membungkuk dan merangkul puterinya, ditariknya agar berdiri dan kakek ini pun memandang puterinya dengan sepasang mata basah.
"Cui Eng, alangkah bahagianya kita sekeluarga dapat bertemu dan berkumpul kembali seperti ini...."
"Apa yang dikatakan Gak-hu benar, Eng-moi... sekarang tidak ada lagi penghalang bagi kita untuk hidup bersama dengan bahagia, sekeluarga menjadi satu dan tidak akan terpisah lagi," kata Pangeran Ciu Wan Kong.
Akan tetapi Im-yang Sian-kouw memandang wajah pangeran itu dengan sinar mata mencorong dan mulut bergaris keras.
"Pangeran Ciu Wan Kong, setelah apa yang kaulakukan terhadap aku dan keluargaku dua puluh tahun yang lalu, bagaimana mungkin aku dapat hidup bersamamu lagi? Tidak, aku tidak mau!"
Cui Sam, Thian Hwa, dan terutama sekali Pangeran Ciu Wan Kong terkejut bukan main mendengar ucapan yang keras dan tegas penuh kepahitan dari Im-yang Sian-kouw. Akan tetapi ucapan itu sekaligus menikam perasaan Pangeran Ciu Wan Kong seperti ujung sebatang pedang ditusukkan ke ulu hatinya.
"Cui Eng, engkau jangan berkata begitu! Aku menjadi saksinya bahwa yang mengusir kita dulu adalah orang tua Pangeran Ciu, bukan dia. Dia hanya terlalu taat kepada orang tuanya dan tidak berani menentang kehendak mereka. Dan aku tahu betapa dia amat menderita. Dia tidak pernah menikah dan...," kata Cui Sam.
"Aih, Eng-moi, aku mengerti sekarang...!" Pangeran Ciu Wan Kong tiba-tiba memotong.
"Aku memang tidak pernah menikah, akan tetapi engkau... mungkin saja engkau telah menikah dengan laki-laki lain...." Suaranya terdengar sedih sekali.
"Huh, memikirkannya juga aku tidak pernah!" bentak Im-yang Sian-kouw.
Tiba-tiba Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa merangkul ibunya dan menangis.
"Ibu... Ibu... selama aku hidup baru sekarang ini aku ingin memohon sesuatu kepada ibuku. Ibu, aku mohon sukalah kiranya Ibu mengasihani dan memaafkan kelemahan Ayah dahulu, sudilah Ibu kembali kepada Ayah dan hidup bersama kami, Ibu...."
"Memaafkan manusia yang kejam ini? Manusia yang begitu angkuh akan kedudukan dan keturunan, yang memandang rendah rakyat kecil dan miskin seperti aku? Memaafkan manusia yang telah menghancurkan hidupku, yang membuat Ibu Anak dan kakekmu menderita dan hampir tewas? Dan engkau, yang sejak kecil dipisahkan dari ayah ibumu dan kakekmu, yang bahkan tidak sempat diberi nama oleh ibumu, engkau yang sudah digembleng menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, engkau malah membujuk aku memaafkan manusia yang jahat ini?"
Thian Hwa menjatuhkan diri berlutut dan menciumi kaki ibunya.
"Ibu, harap dengarkan dulu kesaksianku, Ibu. Ketika pertama kali aku mendengar cerita Kakek Cui Sam tentang apa yang Ibu alami di keluarga Ciu, aku juga marah dan bahkan mengambil keputusan untuk membantai keluarga Ciu yang dulu mengusir Ibu. Akan tetapi, orang tua Ayah, yaitu mereka yang dulu mengusir Ibu, telah tiada. Aku marah kepada Pangeran Ciu Wan Kong dan bermaksud menghajarnya. Akan tetapi ketika aku tiba di sini dan melihat Ayah meratapi dan menangisi gambar Ibu seperti orang yang hilang ingatan, aku menyadari bahwa Ayah bukanlah orang jahat. Dia hanya lemah dan tidak berani menentang orang tuanya. Ibu, jahatkah orang yang taat dan tidak mau menentang Ayah Ibunya? Memang, Ayah lemah, akan tetapi sama sekali tidak jahat. Selain itu, aku berani memastikan bahwa Ayah amat mencinta Ibu, sejak dahulu sampai sekarang. Karena itu, sekali lagi, Ibu kembalilah kepada Ayah. Aku ingin sekali melihat Ayahku dan Ibuku hidup rukun dan saling mencinta. Apalagi Kakek Cui Sam juga sudah berada di sini, Ibu. Kita semua dapat merupakan sebuah keluarga lengkap yang hidup berbahagia."
Dengan air mata bercucuran Pangeran Ciu Wan Kong kini berlutut pula di dekat puterinya.
"Eng-moi.... kalau engkau tidak mau memaafkan aku... kalau engkau memang demikian sakit hati kepadaku, aku mohon maaf... bunuhlah aku agar aku dapat menebus semua kesalahanku kepadamu...."
Im-yang Sian-kouw Cui Eng sesungguhnya tidak pernah membenci suaminya ini. Ia memang menderita sakit hati yang hebat, akan tetapi bukan kepada suaminya melainkan kepada kedua mertuanya yang sekarang telah tiada. Ia tahu bahwa suaminya amat mencintanya dan ia pun selalu mencinta suaminya. Kini melihat suaminya, anaknya, juga ayahnya semua memintakan maaf atas kelemahan suaminya, dan melihat suaminya berlutut minta dibunuh, hatinya menjadi cair dan dengan air mata bercucuran ia membangunkan suaminya.
"Bangkitlah, Pangeran, tidak baik seorang suami berlutut di kaki isterinya. Aku... aku memaafkan semua kelemahanmu dahulu."
Empat orang itu bertangis-tangisan, akan tetapi tangis terakhir ini adalah tangis kebahagiaan. Setelah luapan keharuan mereka mereda, Pangeran Ciu Wan Kong lalu memerintahkan pelayan untuk menyediakan pesta makan keluarga dan mereka makan minum dengan gembira menyambut persatuan kembali keluarga itu.
Selesai makan, barulah mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing. Pangeran Ciu Wan Kong tidak mengalami banyak hal, selama itu seolah dia mati walaupun jasmaninya masih hidup. Dia tidak melakukan kegiatan apa pun, hanya menyesali dan menangisi kepergian Cui Eng dan anaknya. Baru setelah muncul Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa dalam hidupnya, gairah hidupnya bangkit kembali dan dia bahkan terlibat dalam urusan menghadapi para pangeran yang memberontak.
Kemudian Kakek Cui Sam menceritakan pengalamannya. Ketika mereka bertiga, Kakek Cui Sam, Cui Eng, dan bayinya yang sedang pergi menuju dusun tempat asal mereka, terbawa hanyut air Sungai Huang-ho yang deras, dia kehilangan puteri dan cucunya. Dia sendiri berhasil menyelamatkan diri dan dalam keadaan sengsara dia kembali ke kota raja dan diterima sebagai pelayan di istana Pangeran Cu Kiong sampai dia bertemu dengan Ciu Thian Hwa yang segera dikenalnya karena wajah gadis itu persis wajah puterinya, Cui Eng. Kemudian betapa akhirnya dia dibawa Thian Hwa untuk tinggal bersama Pangeran Ciu Wan Kong, mantunya.
Ketika giliran Ciu Thian Hwa tiba, gadis ini menceritakan semua pengalamannya dengan panjang lebar. Karena Kakek Cui Sam dan Pangeran Ciu Wan Kong sudah pernah mendengar ceritanya, maka yang amat memperhatikan dan mendengarkan dengan hati tertarik sekali adalah Im-yang Sian-kouw. Thian Hwa bercerita betapa ketika ia yang masih bayi terseret air Sungai Kuning, ia diselamatkan oleh Thian Bong Sianjin dan kemudian menjadi muridnya.
"Aih, jadi engkau murid Thian Bong Sianjin? Aku pernah mendengar namanya disebut mendiang guruku, Bu Beng Kiam-sian!" seru Im-yang Sian-kouw girang dan kagum. Pantas puterinya menjadi seorang pendekar wanita yang amat terkenal, kiranya ia menjadi murid, bahkan dirawat dan dibesarkan oleh tosu itu.
"Dan diakah yang memberimu nama Thian Hwa?"
"Benar, Ibu. Kong-kong (Kakek) atau Suhuku itu memberiku nama Thian Hwa."
"Dan julukan Huang-ho Sian-li itu?"
Wajah Thian Hwa berubah kemerahan.
"Ah, itu hanya sebutan dari para penduduk dusun-dusun di sepanjang Huang-ho. Karena aku sering menolong mereka, maka mereka menyebutku demikian." Gadis itu juga bercerita tentang Ui Yan Bun yang menjadi sahabat baiknya, bahkan juga terhitung suhengnya karena Ui Yan Bun mendapat gemblengan pula dari Thian Bong Sianjin.
"Siapa kau bilang nama pemuda sahabatmu dan Suhengmu tadi?" Im-yang Sian-kouw memotong.
"Namanya Ui Yan Bun, Ibu."
"Nanti dulu... apakah dia seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun, berpakaian serba biru, wajahnya bersih dan sikapnya sopan, tubuhnya tinggi sedang dan senjatanya pedang?"
Kini Thian Hwa memandang ibunya dengan mata terbelalak dan wajah berseri.
"Ibu mengenalnya? Benar, dia adalah pemuda seperti yang Ibu gambarkan!"
"Aku pernah bertemu dengan Ui Yan Bun. Ketika itu, dia datang ke Beng-san bersama seorang gadis bernama Wan Kim Hui. Maksud kedatangan mereka mencarikan obat bagi ibu gadis itu yang terkena pukulan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin. Mereka ingin minta obat itu dari guruku, akan tetapi karena Bu Beng Kiam-sian telah tiada, maka aku memberikan obat penawar racun Hek-tok-ciang itu kepada mereka." Dengan singkat Im-yang Sian-kouw menceritakan tentang pertemuannya dengan Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui itu.
Kemudian Thian Hwa melanjutkan ceritanya ketika ia meninggalkan perguruan untuk mencari pengalaman dan untuk mencari orang tuanya sampai ia tiba di kota raja dan mula-mula ia membantu Pangeran Cu Kiong yang disangkanya seorang pangeran yang baik budi. Setelah tahu bahwa pangeran itu memiliki cita-cita yang tidak benar, ia lalu meninggalkannya. Kemudian ia memperdalam ilmunya di bawah gemblengan kedua dari Thian Bong Sianjin dan ketika turun gunung ia terlibat dalam urusan di istana. Setelah bertemu ayah dan kakeknya dan dipercaya oleh Kaisar yang masih paman-tuanya sendiri, ia secara langsung berhadapan dengan pemberontak yang dipimpin oleh Pangeran Cu Kiong. Semua pengalaman itu ia ceritakan dan ibunya mendengarkan dengan penuh keharuan akan tetapi juga bangga.
Setelah Thian Hwa selesai bercerita, Pangeran Ciu Wan Kong memandang isterinya dan berkata.
"Eng-moi, sekarang engkau harus menceritakan semua yang kaualami. Aku masih terheran-heran dan sulit untuk percaya bahwa engkau, yang dulu lemah, bahkan pernah menolak untuk membunuh seekor tikus yang mengacau di dapur, tiba-tiba muncul sebagai seorang wanita sakti!"
Cui Eng menghela napas panjang.
"Memang, pengalaman seseorang terkadang amatlah aneh, tidak kalah aneh daripada dongeng-dongeng. Pengalaman Thian Hwa tadi juga sudah aneh sekali dan sekarang giliranku bercerita. Aku tidak ingin menceritakan tentang segala penderitaanku karena hal itu hanya akan membangkitkan kenang-kenangan lama yang tidak enak. Singkatnya, ketika aku hanyut di sungai, dalam keadaan pingsan aku diselamatkan mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian (Dewa Pedang Tanpa Nama). Aku dibawa ke Beng-san, dirawat sehingga sembuh lalu menjadi muridnya. Nah, sejak saat itu aku hanya hidup untuk belajar ilmu silat dan ilmu pengobatan dari Suhu. Kemudian, Suhu menolong seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, yaitu Si Han Bu yang kemudian oleh Suhu diserahkan kepadaku untuk menjadi muridku."
"Akan tetapi mengapa engkau mengubah namamu menjadi Im-yang Sian-kouw, Eng-moi?" tanya suaminya.
"Aku ingin mengubur nama lama itu yang hanya mendatangkan kesengsaraan dan Suhu pula yang memberi aku julukan Im-yang Sian-kouw, disesuaikan dengan ilmu silat Im-yang Sin-kun yang kupelajari sampai mendalam. Han Bu merupakan satu-satunya penghibur bagiku, apalagi setelah Suhu tiada. Dia menjadi murid akan tetapi juga pengganti keluarga sehingga sudah kuanggap sebagai anak sendiri. Maka, begitu dia turun gunung, aku merasa kesepian dan timbul niatku untuk pergi ke kota raja...."
Jodoh Si Naga Langit Eps 5 Kisah Si Pedang Kilat Eps 22 Kisah Si Pedang Kilat Eps 13