Pedang Naga Kemala 11
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
"Semua ini gara-gara engkau, Kui Eng. Kenapa engkau tidak dapat menahan diri dan sampai melukai pengawal Wang-taijin, bahkan membikin malu Ma-Ciangkun yang menjadi sahabat baikku? Mereka adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi di Kan-ton! Engkau mencari perkara saja!" Kui Eng mengerutkan alisnya, tidak senang disalahkan oleh Ayahnya.
"Ayah, apakah aku harus membiarkan saja orang menghinaku dan kurang ajar kepadaku? Jangankan baru para pembesar Kanton, biar dia dari istana sekalipun, kalau kurang ajar tentu akan kuhajar dia!"
"Ssttt, tahan tuh mulutmu!" Ayahnya membentak, akan tetapi tidak melayani anaknya yang sudah pergi meninggalkan ruangan itu dengan marah. Dia tahu akan kekerasan hati puterinya dan melihat betapa lihainya anak itu sekarang, diapun tidak mau membikin ribut. Bagaimanapun juga, setelah Tee-tok pergi, dia harus mengandalkan kepandaian puterinya itu untuk keselamatan dirinya dan keluarganya.
"Harap kalian suka bermalam di sini, dan besok tolong kirimkan candu yang pilihan kepada Lai-taijin. Hatiku masih tegang dan khawatir, harap kalian temani aku malam ini." Pada sore hari itu, seorang pemuda memasuki sebuah rumah makan di kota Tung-kang. Pemuda ini berpakaian sederhana sekali, membawa sebuah buntalan pakaian, tubuhnya sedang tegap, dadanya bidang dan wajahnya yang tampan membayangkan kesabaran dan kebijaksanaan. Pakaiannya seperti pakaian seorang petani, akan tetapi melihat gerak-geriknya, dia seperti bukan petani dusun dan cara dia menerima sambutan pelayan dan duduk di kursinya menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang sopan. Pemuda ini memang bukan orang sembarangan walaupun nampak sederhana sekali karena dia adalah Tan Ci Kong!
Baru saja Ci Kong memasuki kota Tung-kang, tempat kelahirannya dan begitu memasuki pintu gerbang kota itu, hatinya dicekam rasa haru. Dia langsung mengunjungi makam Ayahnya. Akan tetapi dia tidak menangis ketika bersembahyang di depan kuburan Ayahnya yang sederhana. Juga dia tidak berjanji apa-apa karena bimbingan yang bijaksana dari manusia sakti Siauw-bin-hud membuat batin Ci Kong bersih dari pada benci dan dendam. Dia tahu bahwa Ayahnya tewas dalam tahanan karena berani menentang pemerintah, dan dia masih ingat betapa Ayahnya disiksa oleh seorang perwira gendut di rumah hartawan Ciu di kota Tung-kang. Akan tetapi dia tidak menaruh hati dendam. Berulang kali Siauw-bin-hud memberi wejangan kepadanya, meyakinkan hatinya bahwa dendam dan benci adalah penyakit yang meracuni badan dan batin sendiri.
Sebagai seorang pendekar tentu saja dia boleh bertindak mempergunakan kepandaiannya untuk menentang yang jahat dan membela yang benar, akan tetapi semua tindakan itu sama sekali salah kalau dilandasi kebencian dan dendam. Setelah duduk bersila sampai berjam-jam lamanya di depan kuburan Ayahnya, dan tahu-tahu siang telah berganti senja, diapun meninggalkan makam itu dan karena perutnya terasa lapar, dia lalu memasuki sebuah rumah makan di ujung jalan. Tidak ada seorangpun di kota itu yang mengenalnya. Dia dahulu baru berusia tujuh tahun ketika pergi meninggalkan kota itu, dan kini dia telah berusia hampir dua puluh tahun. Tentu saja tidak ada yang tahu bahwa pemuda sederhana ini adalah putera tunggal Tan Siucai atau Tan Seng yang namanya dikenal oleh seluruh penduduk Tung-kang,
Bahkan terkenal pula sampai ke Kan-ton sebagai seorang sasterawan miskin yang gagah berani dan patriotik. Terutama sekali kau m patriot dan orang-orang gagah, amat menghormati nama Tan Siucai itu. Restoran itu tidak begitu ramai. Ketika Ci Kong masuk dan duduk di sudut, di situ hanya ada empat orang yang sedang makan minum di meja tengah, akan tetapi ketika mereka menyebut-nyebut nama Ciu Wan-gwe mengingatkan dia akan hartawan yang pernah memukuli Ayahnya bersama seorang perwira gendut, dan nama Ciu Wan-gwe memang dikenal di seluruh penduduk Tung-kang, termasuk dia sendiri. Sambil diam-diam makan pesanan nasi dan sayur, tanpa menoleh, Ci Kong memasang telinga mendengarkan.
"Luar biasa sekali puteri Ciu Wan-gwe itu. Betapa mudahnya ia mengalahkan pria-pria yang lihai itu!"
"Benar, ia memang cantik jelita, lihai dan kaya raya. Akan tetapi aku berani tanggung ia tidak akan mudah memperoleh jodohnya."
"Eh, kenapa kau bilang begitu, A-kao?"
"Byangkan saja. Siapa berani sembarangan melamar anak orang yang paling kaya di Tung-kang? Pula, kepandaiannya demikian hebat, salah-salah yang menjadi suaminya bisa dibunuhnya!" Terdengar empat orang itu tertawa lirih.
"Dan Ayahnya tentu tidak mengijinkan ia menikah."
"Lho! Kenapa begitu?"
"Masa kau tidak tahu, A-piu! Ayahnya masih gila perempuan, tentu memikirkan diri sendiri, mana mau memikirkan jodoh anaknya?"
"Kabarnya banyak korban gadis-gadis dan istri-istri muda di tangan Ciu Wan-gwe," terdengar suara lirih akan tetapi masih dapat ditangkap oleh telinga Ci Kong.
"Bhkan Enci adik Phoa yang menjadi kembang di kampung belakang pasar itupun kini menjadi miliknya."
"Memang benar, baru beberapa hari yang lalu. Habis, Ayahnya menjadi setan candu sih, maka anak-anaknya ditukar dengan candu."
"Menjijikkan benar! Kaki tangan Ciu Wan-gwe itu selalu mengincar keluarga yang ada wanita-wanita cantiknya, lalu kepala keluarga dilolohi candu sampai menjadi ketagihan dan kalau sudah begitu, anak atau bininya sendiri akan dijual untuk memperoleh candu."
"Bnyak orang bunuh diri setelah dipaksa melayani hartawan itu, yang oleh suaminya ditukar dengan candu."
"Ssttt, sudahlah. Untuk apa membicarakan hal itu? Kalau terdengar anaknya, hiiiih, sekali tangan yang kecil mungil itu bergerak, nyawa kita akan melayang!"
Mendengar percakapan ini, timbul kemarahan dalam hati Ci Kong. Kiranya hartawan Ciu itu masih saja mengedarkan candu yan dulu amat ditentang Ayahnya. Dan di sepanjang perjalanan bersama susiok-couwnya, diapun mendengar betapa candu makin mencengkeram kehidupan rakyat jelata. Ayahnya juga tewas akibat menentang candu yang merusak rakyat. Diam-diam dia mengepal tinju. Aku harus memperingatkan Ciu Wan-gwe itu, pikirnya. Bukan untuk membalas dendam Ayahnya. Sama sekali tidak. Hanya untuk memperingatkan hartawan itu agar jangan mengedarkan candu di antara rakyat jelata, dan membuka mata hartawan itu betapa buruk akibatnya bagi rakyat. Kalau hartawan itu tidak mengindahkan peringatannya, baru dia akan turun tangan menghajarnya agar jera dan menurut.
Akan tetapi, Ci Kong tidak mau bertindak sembrono. Sebelum melaksanakan niatnya, malam itu dia melakukan penyelidikan, bertanya-tanya pada penduduk di perkampungan. Dan apa yang didengarnya dari keterangan orang-orang kampung bahkan melampaui apa yang didengarnya di restoran itu. Ciu Wan-gwe memang menjadi semacam raja kecil di Tung-kang, mengandalkan hartanya, mengandalkan jagoan-jagoan dan tukang pukulnya, dan mengandalkan pengaruhnya terhadap semua pembesar setempat, bahkan para pembesar di kanton. Hampir semua penduduk membencinya, tentu saja kecuali mereka yang memperoleh keuntungan dari hartawan ini. Dan makin sedih hati Ci Kong mendengar dan melihat kenyataan bahwa sebagian besar penduduk Tung-kang telah tercengkeram candu! Dan tempat pemadatan tersebar di seluruh kota.
Bahkan ketika dia berjalan-jalan, bau madat terbakar menyambut hidungnya di mana-mana, bau yang memuakkan sekali. Banyak pula dilihatnya orang-orang yang kurus kering, dengan pandang mata sayu, dengan senyum aneh di bibir, berjalan seperti mayat hidup tanpa semangat. Mereka itulah pecandu-pecandu yang sudah berat keadaannya, karena racun candu sudah memenuhi tubuh sampai ke darahnya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ci Kong sudah keluar dari rumah penginapan di mana dia bermalam. Buntalan pakaiannya dia tinggalkan di kamar penginapan itu dan dia lalu berjalan kaki menuju ke rumah gedung megah milik Ciu Wan-gwe. Pernah satu kali dia memasuki gedung itu, duabelas tahun yang lalu, ketika dia mohon ampun untuk Ayahnya yang disiksa di situ. Dia mengepal tinju dan menekan hatinya.
"Tidak, bukan untuk itu aku datang ke sana!" bantahnya sendiri. Ketika dia tiba di depan pintu gerbang gedung itu, ternyata pintu gerbang itu telah terbuka. Dengan tabah dia lalu masuk begitu saja karena tidak nampak ada orang. Dia akan berterus terang minta bertemu dengan Ciu Lok Tai dan langsung saja memberi peringatan kepada hartawan itu untuk menyadarkannya.
"Heii! Siapa kamu dan mau apa kamu masuk kesini?" Tiba-tiba terdengar teguran suara yang bengis. Ci Kong mengangkat muka dan melihat dua orang laki-laki baru saja keluar dari dalam gedung. Seorang yang bertubuh tinggi besar, di pinggangnya tergantung sebatang pedang, sikapnya angkuh dan galak.
Orang ke dua bertubuh gendut, menyeringai dengan penuh ejekan dan di pinggang orang ini tergantung sebatang payung sehingga nampak lucu sekali. Mereka ini berusia kurang lebih lima puluh tiga tahun dan melihat pakaian mereka yang rapi, dengan topi batok hitam, mudah diduga bahwa mereka tentu orang-orang yang memiliki kedudukan. Yang gendut itu membawa sebuah peti kecil yang berukir indah, dan yang menegurnya adalah si tinggi besar yang galak. Ci Kong tidak tahu bahwa dua orang ini adalah jagoan-jagoan yang pernah bekerja sebagai pengawal-pengawal Ciu Wan-gwe dan yang kini sudah menjadi pengawal di kota Kanton. Mereka adalah Gan Ki Bin, yang tinggi besar, dan Lok Hun, yaitu yang berperut gendut. Dengan sikap tenang Ci Kong menjura kepada dua orang itu dan menjawab dengan suara tenang pula,
"Maaf, karena tidak ada orang maka saya masuk ke dalam pintu gerbang. Saya datang untuk bertemu dengan Ciu Lok Tai, harap ji-wi suka membantu saya dan memberi tahu kepada Ciu Wan-gwe."
"Kau datang mau pinjam uang?" tanya Lok Hun yang gendut perutnya. Pandang matanya menghina sekali. Tentu saja Ci Kong merasa marah, akan tetapi dia tetap tenang. Sebagai murid Siauwbin-hud, tidak mudah kemarahan menguasai batin pemuda ini. Dia menggeleng kepalanya tanpa menjawab.
"Kalau tidak mau hutang, apakah mengemis?" kini Gan Ki Bin yang membentak setelah mengamati pakaian pemuda itu. Seorang petani saja mau apa minta bertemu dengan Ciu Wangwe kalau bukan mau hutang atau mengemis? Pertanyaan ini lebih menyakitkan hati lagi, akan tetapi sungguh luar biasa pemuda itu. Dia tetap tenang dan sama sekali tidak kelihatan marah. Akan tetapi, seperti juga tadi, dia menggeleng kepala.
"Bocah dusun! Kalau bukan hutang atau mengemis, habis mau apa orang macam engkau ini berani pagi-pagi datang mengganggu Ciu Wan-gwe? Agaknya engkau mempunyai niat busuk. Mau mencuri, ya?"
"Urusan saya tidak ada sankut pautnya dengan ji-wi. Harap tolong panggilkan Ciu Wangwe, biar saya bicara sendiri dengan dia."
"Aku tidak sudi memanggilkan!" bentak Gan Ki Bin.
"Dan aku tidak memperbolehkan kau masuk!" bentak Lok Hun, keduanya siap untuk memukul pemuda dusun yang berani mengganggu sepagi itu. Mereka baru saja keluar dari dalam gedung Ciu Wan-gwe sambil membawa peti berisi candu murni untuk diserahkan kepada Laitaijin, wakil kepala daerah Kanton. Karena pintu gerbang itu terbuka lebar-lebar, maka keributan yang terjadi itu menarik perhatian orang-orang yang lewat dan sebentar saja sudah banyak orang berdiri di luar pintu dan nonton keributan itu. Di antara mereka terdapat seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan berpakaian seperti seorang ahli silat. Pemuda ini berusia kurang lebih dua puluh tahun, tubuhnya tinggi besar, sepasang matanya mencorong penuh wibawa dan dia tersenyum-senyum melihat keributan yang terjadi di sebelah dalam pintu gerbang itu.
Pemuda itu bukan lain adalah Ong Siu Coan! Seperti kita ketahui, Ong Siu Coan diijinkan turun gunung oleh Thian-tok dan bersama sutenya, Gan Seng Bu, dia turun gunung dan melakukan perjalanan berpisah. Dia hendak mencari Koan Jit, suhengnya yang melarikan Giok-liong-kiam. Akan tetapi di sepanjang perjalanan, Ong Siu Coan mendengar tentang pemberontakan yang terjadi dimana-mana. Juga dia banyak mendengar tentang orang-orang kulit putih yang menyelundupkan candu dan meracuni rakyat dengan benda itu. Sejak kecil dia terlahir di antara orang-orang yang berjiwa patriot, yang menentang pemerintah Mancu yang dianggap sebagai penjajah. Maka, melihat kelakuan orang-orang kulit putih itu, dia menjadi marah sekali. Apa lagi melihat betapa madat telah mendatangkan kesengsaraan yang amat hebat bagi rakyat jelata.
Dia yang sejak kecil bercita-cita menjadi patriot, merasa tidak senang dan terutama hal ini ditujukan kepada pemerintah Mancu yang dianggapnya bersekongkol dengan orang-orang kulit putih untuk meracuni dan merusak rakyat demi untuk keuntungan mereka sendiri. Ketika dia tiba di kota Tung-kang, dia melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa Ciu Wan-gwe menjadi orang terpenting dan terkaya, orang yang menjadi pedagang candu dan suka berhubungan dengan para pejabat dan orang-orang kulit putih. Dia menjadi tertarik dan ingin menyelidiki. Kebetulan sekali, pada pagi hari itu dia melihat ribut-ribut ketika lewat di depan gedung Ciu Wan-gwe dan ketika dia menyelinap di antara rombongan orang yang berkerumun di luar pintu gerbang, dia melihat pula keributan yang terjadi di antara seorang pemuda gagah dengan dua orang yang agaknya merupakan petugas-petugas keamanan di gedung itu.
Maka dengan hati tertarik sekali dia mengikuti peristiwa keributan itu, di mana si pemuda gagah ingin bertemu dengan Ciu Wan-gwe dan disambut dengan ucapan-ucapan bernada menghina oleh dua orang petugas itu. Melihat peristiwa itu, segera timbul kecondongan di hati Siu Coan untuk membantu pemuda gagah itu, akan tetapi dia hanya nonton sambil tersenyum karena dia dapat menduga bahwa pemuda yang nampak tenang dan berani itu tentu bukan orang sembarangan. Bukan orang sembarangan kalau sudah berani menentang Ciu Wan-gwe yang amat ditakuti oleh penduduk kota itu. Maka diapun hanya menyelinap ke depan saja untuk dapat nonton lebih jelas. Sementara itu, melihat sikap dua orang yang kasar dan menghinanya, Ci Kong mengerutkan alisnya akan tetapi dia tetap tenang dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa tidak senangnya.
"Bukankah ji-wi hanya merupakan orang-orangnya Ciu Wan-gwe saja? Kenapa ji-wi bersikap begini kasar? Aku ingin berjumpa dan bicara dengan Ciu Wan-gwe sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan ji-wi. Kalau ji-wi tak mau memanggilkan juga tidak mengapa, aku bisa masuk dan mencarinya sendiri."
"Apa? kau berani memaksa masuk?" bentak Gan Ki Bin yang bertubuh tinggi besar.
"Apa kau sudah kepingin mampus?"
"Hayaaaa, bocah petani busuk ini perlu apa dilayani?" Lok Hun menyeringai.
"Pukul saja biar dia tahu rasa. Anjing kalau tidak cepat dipukul tentu akan menggonggong terus, pukul dia biar dia lari sambil mengempit buntutnya, ha-ha!" Gan Ki Bin yang memang wataknya berangasan, mendengar kata-kata kawannya itu mengayun tangan kirinya yang besar dan berat, menampar ke arah muka Ci Kong sambil berkata,
"Pergilah, kau menjemukan kami!" Tamparan itu kuat sekali dan kalau mengenai pipi orang tentu akan membuat pipi itu bengkak, bahkan mungkin giginya akan rontok. Memang Gan Ki Bin ini memiliki tenaga yang besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, dan karena dia memiliki ilmu silat lumayan, maka gerakannya itu selain kuat, juga amat cepat.
"Wuuuttt...!" Akan tetapi pukulan itu lewat di samping muka Ci Kong karena pemuda ini dengan sedikit miringkan kepala saja sudah dapat mengelak. Karena tamparannya luput, Gan Ki Bin menjadi marah sekali. Dia tahu bahwa di luar pintu gerbang banyak orang nonton dan memang dia dan kawannya sengaja membiarkan orang-orang itu nonton agar mereka melihat betapa dia dan kawannya menghajar pemuda lancang ini. Akan tetapi, tamparannya luput dan hal ini dianggap memalukan dirinya.
"Bocah kampungan, berani engkau melawanku!" Bentaknya dengan berang. Demikianlah watak orang yang mengandalkan kekuasaan untuk menekan yang bawah. Orang dupukul mengelak dianggap melawan. Maunya sih orang-orang macam Gan Ki Bin dan Lok Hun ini, kalau memukul orang lain supaya orang itu menerima saja, jangan sekali-kali mengelak atau membakang! Karena tamparannya luput, Gan Ki Bin menjadi semakin marah dan kini tangan kanannya yang dikepal besar dan kuat itu menonjok! Jotosan yang amat keras meluncur ke arah dagu Ci Kong yang kalau tepat mengenai sasaran dapat membuat orang seketika roboh pingsan dengan tulang rahang retak atau patah-patah!
"Wuuuttt...!" Untuk kedua kalinya, pukulan itu luput karena dapat dielakkan dengan amat mudahnya oleh Ci Kong. Hal ini membuat Gan Ki Bin menjadi semakin marah.
"Hemm, engkau manusia yang tidak patut dikasihani lagi!" bentaknya dan majulah dia dengan berangnya, menghujankan serangan pukulan dan tendangan. Mengalah ada batasnya, demikian pikiran Ci Kong dan melihat sebuah pukulan keras menuju ke arah dadanya, dia menyambutnya dengan sentilan jari telunjuk.
"Tukk...!" Telunjuk itu menyentil ke arah kepalan tangan dan tiba-tiba orang tinggi besar itu memekik kesakitan.
"Aduh-duh-duhh...!" Dengan tangan kirinya dia memegang dan menggosok-gosok kepalan tangan kanan yang kena disentil jari telunjuk pemuda itu karena terasa nyeri bukan main, rasa nyeri yang menjalar melalui lengan itu dan seperti menusuk-nusuk jantung.
"Aku tidak ingin ribut dengan ji-wi, melainkan hendak bertemu dengan Ciu Wan-gwe." Ci Kong masih mencoba mengendurkan mereka dengan kata-kata. Akan tetapi kini Lok Hun yang gendut itupun sudah menjadi marah sekali melihat betapa kawannya tidak berhasil malah kesakitan dan melihat betapa wajah orang-orang yang berada di luar pintu gerbang berseri dan senyum-senyum bermunculan di antara mereka!
"Anjing ini tidak boleh diberi ampun!" Bentaknya dan tangan kanannya sudah melolos senjata payungnya yang aneh! Juga Gan Ki Bin sudah mencabut pedangnya! Kini dua orang itu menghadapi Ci Kong dengan senjata di tangan dan sikap mereka mengancam sekali!
Melihat betapa keributan itu kini memuncak dan dua orang yang mereka kenal amat galak dan kejam itu kini mencabut senjata, semua penonton merasa khawatir akan keselamatan pemuda itu. Hanya Siu Coan yang masih nonton sambil tersenyum karena dia mengenal orang pandai dan yakin bahwa biarpun bersenjata, dua orang galak itu tidak akan mampu manandingi pemuda tenang itu. Yang menarik perhatian Siu Coan adalah peti kecil yang dikempit di tangan kiri si gendut. Dia dapat menduga bahwa peti kecil itu tentu berisi benda yang amat berharga dan timbul niatnya untuk memiliki peti kecil itu. Dia mulai sekarang harus mengumpulkan harta kekayaan karena dia maklum bahwa perjuangan yang dicita-citakannya melawan penjajah membutuhkan banyak tenaga pasukan dan untuk itu diperlukan sekali harta untuk pembiayaannya.
"Hemm, kalian mencari penyakit sendiri," kata Ci Kong, kini maklum bahwa sikap lembut dan damai tidak mungkin dapat mempengaruhi dua orang galak ini. Diapun bersiap untuk menghajar dua orang ini agar jera, agar lain kali tidak lagi bersikap sewenang-wenang menghina orang lain. Dua orang pengawal itu tadinya mengharapkan pemuda itu ketakutan agar mereka dapat menghinanya untuk menebus kekalahan tadi. Akan tetapi melihat sikap Ci Kong malah menantang, keduanya segera menggerakkan senjata dengan niat membunuh!
Gan Kin Bin sudah menggerakkan pedangnya membacok ke arah kepala Ci Kong, sedangkan dari sebelah kiri, Lok Hun menggerakkan senjata payungnya yang menyembunyikan pedang sebagai gagang itu untuk menusuk perut pemuda itu! Serangan maut yang dilakukan hampir berbareng. Akan tetapi, betapapun lihainya, tentu saja dua orang kasar ini sama sekali bukan tandingan pemuda yang sudah digembleng oleh Siauw-bin-hud sampai matang itu. Biarpun diserang dengan pedang dan payung pedang, Ci Kong tidak menjadi gentar atau gugup. Sikapnya masih tenang saja, akan tetapi ketika kedua senjata itu sudah dekat menyambar tubuhnya, tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan lenyap dari depan kedua orang pengeroyoknya. Dia telah mempergunakan ginkang yang amat hebat dan tahu-tahu dua orang pengeroyok yang kehilangan lawan itu,
Sebelum mereka sempat menarik kembali senjata mereka, mengeluarkan pekik kaget dan disusul suara berkerontangan karena senjata mereka terlepas dari tangan yang tiba-tiba saja menjadi lemas kehilangan tenaga ketika Ci Kong menampar pundak kanan mereka. Ci Kong yang memang ingin memberi hajaran kepada dua orang kasar itu, melanjutkan dengan tamparan pada leher Gan Ki Bin yang kembali mengeluarkan pekik kesakitan dan tubuhnya terpelanting ke atas lantai. Lok Hun juga terkejut, akan tetapi tahu-tahu lututnya telah ditendang dan diapun roboh menelungkup, peti kecil yang dikempitnya tadi terjatuh. Dia teringat akan benda itu dan dengan nekat dia lalu menubruk petinya. Gan Ki Bin sudah bangkit lagi, menubruk dan dia disambut dengan sebuah tamparan yang membuat dia roboh kembali dengan kepala menghantam tihang.
(Lanjut ke Jilid 11)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)
Jilid 11
"Brukkk...!" Tiba-tiba semua orang menjadi kaget, termasuk Ci Kong karena seperti seekor burung saja, dari luar pintu gerbang melayang tubuh seorang gadis cantik. Dari luar pintu gerbang, tubuh itu melayang seperti terbang melampaui kepala para penonton di depan pintu, dan kini tubuh itu langsung menerjang Ci Kong dengan bentakan nyaring dan halus tadi. Ci Kong masih mencengkeram punggung baju Lok Hun dengan tangan kanan, dan melihat serangan yang demikian aneh dan cepat, diapun menyambut dengan tonjokan tangan kirinya.
Gadis yang cantik jelita dengan pakaian mewah itu cepat mengembangkan kedua lengannya, yang kiri memukul ke arah dada dengan tangan terbuka, sedangkan tangan kanannya siap menotok atau menangkis. Sekali ini Ci Kong terkejut. Gadis itu memiliki ginkang yang amat luar biasa, dan itu saja sudah membuktikan bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang lihai bukan main. Dan dia terpesona oleh kecantikan yang menyolok itu. Dalam keadaan tubuh di udara, gadis itu kini malah mengancamnya dengan serangan tangan kiri ke arah dada, bukan sembarangan serangan karena dari tangan kiri gadis itu keluar tenaga yang mendatangkan angin bercuitan! Terpaksa dia melemparkan tubuh Lok Hun ke kanan.
"Bresss...!" Dengan kerasnya tubuh si gendut itu menabrak dinding dan diapun terkulai lemas, pingsan seperti temannya yang juga sudah setengah mampus itu.
"Dukkk!" Dua tenaga sinkang yang sama kuatnya, yang disalurkan melalui tangan masing-masing, bertemu di udara dan akibatnya, tubuh dara itu terpental sampai jauh ke belakang di mana secara indah sekali ia berjungkir balik dan turun ke atas tanah dengan tegak. Ci Kong sendiri merasa betapa tangannya tergetar hebat oleh pertemuan tenaga tadi dan mengertilah dia bahwa gadis itu benar-benar lihai bukan main. Di lain pihak, gadis itupun terkejut dan maklum bahwa pemuda yang mampu menghajar dua orang kepercayaan Ayahnya sampai jatuh pingsan ini adalah seorang yang amat lihai maka iapun mengamati dengan penuh perhatian.
"Keparat, berani kau mengacau rumah kami! Siapa kau ?" bentak gadis itu yang ternyata adalah Ciu Kui Eng. Sebagai murid datuk sakti Tee-tok yang sudah tamat belajar, tentu saja ia lihai sekali dan tingkat kepandaiannya tidak berada terlalu jauh di bawah tingkat Ci Kong. Ci Kong juga merasa heran. Kiranya gadis cantik yang amat lihai ini masih keluarga Ciu Wan-gwe dan tiba-tiba saja teringatlah dia akan peristiwa duabelas atau tigabelas tahun yang lalu.
Ketika Ayahnya pergi memenuhi panggilan Ciu Wan-gwe untuk membuatkan tulisan indah, dia menyusul dan melihat Ayahnya dihajar oleh Ciu Wan-gwe dan seorang perwira. Ayahnya itu agaknya akan dibunuh dan mungkin dia sendiripun akan dibunuh oleh perwira itu kalau saja tidak muncul seorang anak perempuan yang dengan beraninya menentang hartawan yang menjadi Ayahnya itu untuk melepaskan Ayahnya dan dia sendiri! Dan gadis cilik itu dahulu mencelanya karena dia berlutut mintakan ampun untuk Ayahnya. Mengertilah dia bahwa agaknya inilah gadis cilik yang sudah menunjukkan sikap hebat dahulu itu, kini telah menjadi seorang dara yang selain cantik jelita, juga amat gagah perkasa. Maka, wajah Ci Kong menjadi merah dan diapun cepat menjura.
"Maaf, aku datang bukan untuk mengacau. Aku ingin bertemu dan bicara dengan Ciu Wan-gwe, akan tetapi dua orang ini selain melarangku, juga menghina bahkan menyerangku." Terdengar suara hiruk-pikuk dan bermunculanlah pengawal-pengawal dari depan dan belakang yang jumlahnya belasan orang. Mereka itu sudah mencabut senjata dan mengurung pendapa gedung itu. Melihat datangnya banyak pengawal, para penonton di depan pintu gerbang menjadi panik dan tadipun para pengawal sudah mendorong mereka ke kanan kiri ketika sebagian dari mereka datang dari luar. Para penonton itu menjauhkan diri, masih nonton akan tetapi dari jarak jauh.
"Bohong! Dia bohong, nona!" tiba-tiba terdengar si gendut Lok Hun berseru. Si gendut ini hidungnya berdarah dan dahinya membenjol sebagai akibat menubruk dinding tadi dan kini dia sudah siuman dan begitu sadar tadi dia mencari-cari peti kecil terisi madat murni. Akan tetapi peti kecil itu telah lenyap. Karena itu, dia cepat membantah ketika Ci Kong membela diri di depan nona majikannya.
"Dia datang tentu untuk merampas peti kecil berisi madat murni yang kami bawa itu!" Kui Eng mengerutkan alisnya. Dia tiba-tiba memandang penuh perhatian kepada pemuda ini, seorang pemuda petani akan tetapi yang ternyata memiliki kepandaian amat tinggi. Dan anehnya, ia merasa seperti pernah mengenal pemuda ini, namun lupa lagi entah kapan dan di mana.
"Benarkah engkau datang hanya untuk mencuri sepeti kecil madat?" bentaknya kepada Ci Kong. Ci Kong menggeleng kepala.
"Aku paling benci madat, untuk apa aku merampas madat?" Sementara itu, Lok Hun yang kehilangan madat itu menjadi khawatir sekali, lalu dia keluar bertanya-tanya. Di antara penonton ada yang melihat bahwa peti kecil itu tadi dilarikan seorang pemuda yang sebaya dengan Ci Kong. Mendengar ini, Lok Hun berlari memasuki pintu gerbang di mana Ci Kong masih dihadapi Kui Eng dan dikurung oleh para pengawal.
"Nona, benar saja! Dia sengaja melawan kami dan seorang temannya telah mengambil madat itu dan dilarikan. Keroyok dia! Tangkap dan paksa dia mengaku di mana candu itu disembunyikan temannya!" Teriakan ini menggerakkan para pengawal yang segera mengeroyok Ci Kong. Mereka menggunakan golok dan pedang, dan bagaikan hujan senjata-senjata tajam itu menyambar-nyambar ke arah Ci Kong. Karena merasa tidak perlu lagi berdebat, Ci Kong mengamuk. Kaki tangannya bergerak seperti angin cepatnya dan sebentar saja, enam orang pengawal terlempar ke kanan kiri. Melihat ini, Kui Eng merasa kagum dan tertarik, maka iapun cepat maju sendiri, menyerang pemuda itu dengan kedua tangan kosong.
Akan tetapi dua tangan kosongnya itu jauh lebih lihai dari pada belasan golok dan pedang para pengawal. Kedua tangan bercuitan seperti melengking-lengking ketika menyambar dan tubuh dara itupun bergerak secepat burung walet menyambar-nyambar. Ci Kong terpaksa harus mencurahkan seluruh perhatiannya menghadapi serangan-serangan gadis ini yang benar-benar amat berbahaya, sedangkan serangan para pengawal yang mengeroyoknya cukup dihalaunya kalau sudah dekat saja. Terjadilah pengeroyokan yang seru, di mana Ci Kong yang berkelahi dengan Kui Eng itu dikeroyok dan dikurung dengan ketat. Bahkan kini datang sepasukan keamanan kota yang telah diberi tahu dan pemuda itu dikurung oleh musuh yang tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya.
Andaikata di situ tidak ada Kui Eng, agaknya dengan mudah Ci Kong akan merobohkan seluruh pengeroyoknya. Akan tetapi, kelihatan Kui Eng membuat dia terdesak dan terhadap gadis puteri Ciu Wan-gwe ini Ci Kong tidak sampai hati untuk menggunakan tangan maut! Dia masih teringat bahwa bagaimanapun juga, dapat dikatakan bahwa gadis ini pernah menyelamatkan nyawanya dan nyawa Ayahnya di gedung ini duabelas tahun yang lalu. Sementara itu, Ong Siu Coan yang melarikan peti kecil, setelah tiba di sebuah parit yang sunyi, lalu membuka peti dan memeriksa isinya. Tadipun dia melihat peti itu terbuka dan isinya benda hitam-hitam yang tidak dikenalnya. Kini dia memeriksanya dan bukan main kecewanya ketika mendapat kenyataan bahwa peti itu tidak terisi benda berharga seperti yang diduganya, melainkan benda yang diduganya tentu candu yang dihebohkan itu.
Dia pernah mendengar tentang madat, maka walaupun belum pernah melihat sendiri, dia dapat menduga dari baunya bahwa ini tentu madat. Dia sudah hendak membuang peti itu ketika nampak tumpukan tahi kering di parit itu. Dia tersenyum nakal, lalu sebagian dari candu itu dibuangnya di parit dan sebagai gantinya, dia menggunakan kayu untuk mengambil kotoran itu dan mencampurnya dengan sisa madat. Karena benda itu warnanya hitam, maka kotoran itupun dapat bercampur dan tidak kelihatan lagi. Peti kecil itu masih penuh madat, hanya bedanya, madatnya kini tidak murni lagi bahkan telah bercampur tahi kering! Ketika Siu Coan kembali ke tempat tadi, dia terkejut melihat betapa pemuda perkasa itu telah dikurung oleh puluhan orang pengawal.
Dan perkelahian sengit dan seru masih terjadi antara pemuda itu dengan gadis cantik yang tadi datang menyerang. Siu Coan meloncat ke depan, melemparkan peti kecil ke tempat semula dan tanpa diminta diapun mengamuk. Tubuh para pengeroyok bergelimpangan seperti sekumpulan daun diamuk badai! Dan akibat amukannya memang hebat dan menggetarkan hati para pengeroyok. Berbeda dengan Ci Kong yang merobohkan para pengeroyok tanpa membunuh atau mendatangkan luka parah, semua orang yang roboh oleh hantaman Siu Coan ini tentu roboh untuk tidak bangun kembali karena mereka tewas oleh pukulan-pukulan maut yang disebar Siu Coan! Tentu saja para pengawal menjadi gentar dan kepungan itupun menjadi kocar-kacir.
"Sobat yang gagah, jangan takut aku membantumu!" Siu Coan berseru dengan gembira ketika dia berhasil mendekati pemuda itu dan diapun menubruk ke depan menyerang Kui Eng.
Gadis ini terkejut. Kiranya pemuda ke dua yang baru datang ini tidak kalah lihai dibandingkan pemuda pertama. Ketika ia menangkis pukulan pemuda jangkung itu, lengannya terasa dingin sampai meresap ke tulang. Dara inipun maklum bahwa kepandaian dua orang pemuda ini sungguh hebat dan kalau ia sendiri yang melawan mereka, akan sukar memperoleh kemenangan. Melihat munculnya seorang pemuda bertubuh jangkung yang membantunya dan membunuh banyak pengawal, Ci Kong terkejut dan tidak senang. Pemuda yang datang ini memang gagah perkasa, akan tetapi hatinya terlalu kejam, menyebar maut seperti itu, pikirnya. Diapun diam saja tidak menjawab, hanya mengambil keputusan untuk segera pergi saja agar pemuda jangkung itu tidak membunuh orang lebih banyak lagi.
"Dar-darr...!!" Siu Coan dan Ci Kong terkejut sekali dan cepat mereka menggunakan ginkang untuk berloncatan mengelak ketika terdengar letusan-letusan itu. Mereka menengok dan kiranya dari dalam gedung itu keluar seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih, berpakaian mewah dan di tangan kanan orang ini nampak sepucuk pistol yang masih mengeluarkan asap. Orang itu membidik-bidikkan pistolnya, mencari-cari dua orang pemuda itu yang dengan cerdik telah berloncatan di antara para pengawal sehingga sukarlah bagi orang itu untuk menembak lagi.
"Ayah, jangan...!" Kui Eng, gadis itu berteriak karena ia khawatir kalau-kalau peluru pistol Ayahnya nyasar ke mana-mana. Sementara itu Siu Coan mengajak Ci Kong untuk pergi dari tempat berbahaya itu.
"Sobat, mari kita pergi. Tunggu apa lagi?" teriaknya. Ci Kong sudah mendengar pula dari susiok-couwnya tentang senjata api yang amat berbahaya itu.
Dia tidak gentar menghadapi senjata itu, akan tetapi di situ terdapat gadis yang lihai itu dan banyak pengawal, kini ditambah lagi tuan rumah yang pandai mempergunakan senjata api. Maka diapun mengikuti Siu Coan yang sudah melompat pergi keluar dari halaman gedung Ciu Wan-gwe. Setelah berada jauh dari kota Tung-kang, di kaki bukit yang sunyi, barulah mereka berhenti dan ternyata tidak ada yang mengejar mereka lagi. Siu Coan berhenti dan memandang kepada Ci Kong penuh perhatian. Tadi dia telah mempergunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi pemuda yang nampaknya seperti seorang petani ini mampu mengimbangi kecepatan larinya. Hal itu membuat dia penasaran dan dia mengerahkan tenaganya sehingga tubuhnya bergerak cepat meluncur seperti terbang saja. Akan tetapi, pemuda itu tetap saja berada di sampingnya!
"Sobat, engkau sungguh lihai sekali. Akan tetapi kalau perkelahian itu dilanjutkan, salah-salah kita bisa menjadi makanan peluru panas. Senjata api itu amat berbahaya, apa lagi di tangan morang yang tidak terlatih, tembakannya bisa ngawur sehingga kalau dielakkan malah terkena. Dan gadis itupun lihai bukan main!" Ci Kong juga memandang pemuda tinggi besar itu dengan penuh perhatian. Jelas bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar yang tangguh, akan tetapi pendekar ini terlalu kejam dan mudah membunuh orang. Teringat betapa pemuda di depannya ini tadi telah membunuh banyak orang, mungkin sampai belasan orang, diam-diam dia bergidik dan tidak menyetujui perbuatan itu.
"Sobat yang gagah perkasa, kenapa engkau tadi membunuhi orang? Prajurit-prajurit itu hanya petugas, kenapa kau bunuhi mereka yang tidak bersalah itu?" tegurnya dengan suara penuh penyesalan. Ong Siu Coan mengerutkan alisnya dan memandang dengan heran.
"Kenapa tidak? Kalau bisa, aku bahkan akan membunuh semua orang tadi! Makin banyak dapat membunuh pasukan pemerintah lebih baik. Bukankah pasukan yang datang belakangan tadi adalah pasukan keamanan, antek-antek pemerintah penjajah? Aku ingin membasmi penjajah, aku ingin mengusir penjajah Mancu dari tanah air kita!"
Tiba-tiba saja pemuda tinggi besar itu mengepal tinju, matanya bersinar-sinar dan sikapnya penuh semangat. Ci Kong sudah banyak mendengar tentang para pendekar yang berjiwa patriot, yang ingin menentang dan mengusir penjajah Mancu dan dia menduga bahwa tentu di depannya ini seorang di antara para pendekar seperti itu. Tiba-tiba Siu Coan memandang tajam kepadanya seperti teringat akan sesuatu dan pemuda tinggi besar itu lalu memegang pergelangan tangannya. Ci Kong cepat mengerahkan tenaganya karena tangan yang mencengkeram itu kuat sekali. Bisa patah-patah tulang lengannya kalau dia tidak mengerahkan tenaga untuk melindungi lengannya.
"Kau...! Ah, kau murid Hwesio gendut Siauw-bin-hud...!" tiba-tiba pemuda jangkung besar itu berseru nyaring. Ci Kong juga teringat sekarang, akan tetapi dia bersikap tenang-tenang saja dan menjawab,
"Bukan murid beliau, melainkan cucu murid. Engkau adalah murid Thian-tok, dan engkau telah membantuku tadi." Ci Kong mengingatkan, merasa aneh juga karena yang membantunya keluar dari kepungan pasukan tadi adalah murid Thian-tok, seorang datuk sesat, seorang iblis di antara Empat Racun Dunia yang sudah amat terkenal kejahatan mereka.
"Aku lupa bertanya! kau siapakah? Apakah engkau orang yang pro kepada pemerintah Mancu?" Tiba-tiba sinar matanya menjadi bengis sekali, mendekati kebuasan sinar mata seekor harimau.
"Engkau bukan memusuhi pemerintah, melainkan memusuhi hartawan itu? Kenapa? Siapa engkau?" Ci Kong memandang ke arah lengannya yang dicengkeram, sikapnya tenang dan dengan lembut dia berkata,
"Bukan begini caranya orang bicara dengan sikap bersahabat," katanya. Siu Coan melepaskan cengkeramannya dan tersenyum.
"Engkau memang hebat. Nah, mari kita bicara, sebelumnya lebih baik kita saling berkenalan. Namaku Ong Siu Coan, dan engkau tentu sudah dapat menduga bahwa aku membenci penjajah Mancu. Sekali waktu aku akan menyusun pasukan untuk menghantamnya dan mengusirnya dari tanah air. Sekarang katakan, siapa engkau dan apa yang kau lakukan tadi di gedung hartawan itu?"
"Namaku Tan Ci Kong, seorang pengembara yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Di Tung-kang aku mendengar tentang Ciu Lok Tai yang menjadi pedagang madat. Aku melihat kesengsaraan rakyat oleh madat yang terkutuk itu, maka aku ingin menegur dan memperingatkan Ciu Lok Tai agar dia menghentikan pengedaran madat yang meracuni rakyat jelata."
"Ha, engkau seorang pendekar pembela rakyat?" Ci Kong menggeleng.
"Aku tidak berani memakai sebutan pendekar, akan tetapi aku akan selalu membela yang lemah tertindas, membela kebenaran dan menentang kejahatan, di manapun aku berada. Untuk itulah bertahun-tahun aku mempelajari ilmu silat." Ong Siu Coan mengangguk-angguk, lalu tersenyum mengejek.
"Engkau hanya mengurus soal-soal kecil. Apa artinya tindakan orang-orang sepertimu ini yang disebut pendekar? Di negara ini entah terdapat berapa puluh ribu hartawan pedagang candu seperti she Ciu itu. Bagaimana engkau akan dapat memperingatkan mereka semua? Pula, apakah kau yakin mereka akan mentaati dan mundur? Dan berapa puluh laksa lagi mereka yang sudah kecanduan madat. Apakah engkau akan mendatangi mereka satu demi satu untuk dibujuk agar jangan menghisap madat lagi, dan apakah mereka akan mau mentaatimu? Ah, sobat yang gagah, bukan begitu caranya kalau mau menolong rakyat."
"Lalu bagaimana?"
"Marilah, bantu aku membentuk pasukan. Kita tentang pemerintah penjajah, karena pemerintah penjajah yang bersalah, penjajah Mancu yang mendatangkan orang-orang kulit putih itu, yang mendatangkan candu. Kita basmi penjajah Mancu dan sekaligus membasmi orang-orang kulit putih, maka candu tidak akan masuk ke negara kita dan rakyat akan terbebas dari pengaruh racun itu. Bukan dengan cara menentangnya satu demi satu!" Ci Kong mendengarkan denga hati penuh kagum. Orang ini memiliki cita-cita yang amat besar dan muluk, dan bagaimanapun juga dia dapat melihat kebenaran ucapan itu, dapat menghormati cita-cita itu. Akan tetapi, urusan pemberontakan tidak menarik hatinya.
"Dalam hal ini, jalan hidup kita bersimpang, kawan. Aku belum pernah berpikir tentang perjuangan dan pemberontakan, akan tetapi aku hanya ingin mengulurkan tangan kepada mereka yang tertindas dan menentang si penindas dan mereka yang melakukan kejahatan. Akan tetapi, aku berjanji bahwa kalau ada kesempatan kita saling bertemu, aku tentu akan membantumu." Ong Siu Coan menarik napas panjang.
"Sayang, tenagamu amat berharga untuk suatu perjuangan. Akan tetapi, yang dipentingkan dalam perjuangan melawan penjajah adalah semangat, bukan sekedar ilmu berkelahi. Baiklah, dan apakah yang kau lakukan tadi di gedung hartawan itu?"
"Sudah kukatakan bahwa aku hanya akan memperingatkan hartawan itu agar jangan mengedarkan candu."
"Hanya itu?"
"Hanya itu," kata Ci Kong sambil meraba-raba hati sendiri apakah ada terbawa rasa dendam mengingat betapa Ayahnya dahulu pernah dipukuli di rumah hartawan Ciu, akan tetapi dengan lega dia melihat kenyataan bahwa dendam itu tidak ada pada hatinya. Ong Siu Coan tertawa.
"Ha-ha-ha, semua jerih payahmu itu tiada gunanya. Kukira apa yang kulakukan tadi lebih berguna."
"Membunuhi pasukan itu?"
"Bukan hanya itu. Tadi ketika engkau berkelahi, peti kecil yang dipegang si gendut terjatuh. Aku mengambil peti kecil itu dan tahukah engkau apa isinya?" Ci Kong menggeleng.
"Isinya candu murni! Dan aku membuang setengahnya, lalu kuganti dengan tahi kering yang kuaduk menjadi satu dengan candu. Ha-ha, ingin aku melihat muka orang yang menghisap candu itu sekarang, ha-ha!" Ci Kong juga tertawa, akan tetapi dia memandang heran. Orang ini bercita-cita besar dan muluk, akan tetapi apa yang dilakukannya itu, mencampuri candu dengan tahi kering, sungguh kekanak-kanakan sekali. Dan mengingat bahwa orang gagah ini adalah murid seorang datuk sesat seperti Thian-tok, diam-diam diapun menjadi bingung sendiri. Murid datuk sesat menjadi patriot?
"Sudahlah, sobat Ong Siu Coan. Aku akan pergi sekarang dan selamat tinggal. Mudah-mudahan cita-citamu yang tinggi itu akan dapat berhasil."
"Tentu saja berhasil. Eh, Tan Ci Kong, apakah engkau diutus oleh gurumu yang gendut itu untuk mencari Giok-liong-kiam?" Pertanyaan yang tiba-tiba ini mengejutkan Ci Kong, akan tetapi dengan tenang dia menggeleng.
"Tidak, akan tertapi kalau aku bertemu dengan saudara seperguruanmu itu, tentu akan kucoba untuk merampas kembali Giok-liong-kiam untuk dikembalikan kepada yang berhak." Ong Siu Coan mengangguk-angguk. Sejenak timbul keinginan hatinya untuk menyerang pemuda murid Siauw-bin-hud ini, akan tetapi keinginan ini ditekannya. Tidak perlu menanam permusuhan dengan pemuda ini, dan diapun belum yakin benar akan dapat mengalahkannya.
"Hemm, biarlah di lain kesempatan saja aku akan menguji kelihaianmu. Aku masih mempunyai urusan yang lebih besar. Selamat tinggal!" Siu Coan lalu membalikkan tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan Ci Kong. Pemuda ini lalu melanjutkan pula perjalanannya, menuju Kanton. Apa yang dikatakan Ong Siu Coan kepada Ci Kong, yaitu bahwa perbuatannya mencampur madat dengan tahi kering itu lebih penting dari pada tindakan Ci Kong, memang terbukti. Perbuatannya yang nakal kekanak-kanakan itu telah menimbulkan akibat yang amat hebat terhadap keluarga hartawan Ciu Lok Tai. Dan juga ketika dia mengatakan bahwa dia ingin sekali melihat muka orang yang menghisap madat bercampur kotoran itu, andaikata dia benar-benar menyaksikan,
Tentu dia akan merasa puas dan geli karena yang menjadi korban kenakalannya justeru adalah seorang pembesar Mancu yang dibencinya! Seperti kita ketahui, dua orang kepercayaan Ciu Wan-gwe, yaitu Gan Ki Bin dan Lok Hun, sedang berangkat meninggalkan rumah gedung hartawan itu untuk melaksanakan tugas mengantarkan sepeti kecil madat kepada wakil kepala daerah Kanton yang oleh Ciu Wan-gwe diharapkan untuk dapat melindunginya dan membantu meredakan kemarahan Wang Taijin dan Ma-Ciangkun yang merasa terhina dalam pesta itu oleh Kui Eng. Dan baru saja mereka muncul dari dalam gedung pagi itu, mereka berjumpa dengan Ci Kong sehingga terjadilah keributan. Setelah keributan itu selesai dengan larinya dua orang pemuda yang mengacau itu, mereka berdua menemukan kembali peti candu.
Giranglah hati mereka melihat bahwa peti itu masih penuh. Bergegas mereka berganti pakaian lalu melaksanakan tugas yang tertunda itu, naik kuda menuju ke Kanton. Ketika Gan Ki Bin dan Lok Hun tiba di rumah gedung Lai-taijin, yaitu wakil kepala daerah Kanton, mereka disambut dengan kegembiraan besar oleh Lai-taijin. Pembesar ini adalah seorang pecandu yang sudah tidak ketolongan lagi, sudah mendarah daging. Agaknya racun madat sudah menyusup sampai ke tulang sumsum, sehingga sehari saja tidak mengisap madat, dia akan tersiksa hebat. Dia sudah kehabisan madat yang baik, dan sudah berhari-hari dia terpaksa mengisap madat yang tidak murni lagi, kurang memuaskan. Oleh karena itu, melihat kedatangan dua orang utusan Ciu Wan-gwe yang membawa sepeti kecil madat murni, kegirangannya memuncak.
"Cepat ambilkan pipaku, akan kunikmati sekarang juga, ha-ha!" katanya dan para pembantunya cepat mengambilkan pipa madat yang segera diisi dengan tembakau yang dicampuri madat murni yang diambil dari peti kecil itu. Dua orang utusan Ciu Wan-gwe masih berlutut di situ.
Mereka berdua juga merasa girang sekali, dengan wajah berseri mereka melihat betapa pembesar itu bergembira dan segera mencoba madat murni yang mereka bawa. Tak salah lagi, sebentar lagi mereka tentu akan keluar dengan saku berat dan sarat oleh hadiah-hadiah berharga! Jari-jari tangan orang yang ketagihan madat tak dapat bergerak tetap, melainkan agak gemetar, dan kedua tangan wakil kepala daerah itupun gemetar ketika dia sendiri mencampurkan madat murni dari peti itu dengan tembakau, lalu dimasukkanya ke dalam mulut pipanya. Mencampur tembakau dengan madat, lalu memasukkan tembakau madat itu ke dalam pipa, semua ini dilakukan dengan jari-jari tangan yang terlatih dan terbiasa, dan di dalam pekerjaan inipun terkandung kenikmatan besar! Terdapat keluwesan dan seolah-olah mengandung "seni" tersendiri.
Memasukkan tembakau madat ke mulut pipa, tidak boleh terlalu padat karena hal itu akan menyukarkan penyedotan dan terbakarnya ramuan itu kurang lancar, juga tidak boleh terlalu sedikit sehingga sudah habis terbakar sebelum isapan penuh memasuki paru-paru. Kemudian menyalakan tembakau itu dengan mendekatkan mulut pipa pada api lilin yang tersedia. Lilinnya juga terbuat dari api sumbu lemak, tidak berbau malam. Semua gerakan ini disertai bayangan betapa akan nikmat rasanya kalau asap candu itu memasuki paru-paru. Hangat-hangat menyusup melalui kerongkongan, memasuki paru-paru dan dari dada yang terasa hangat itu akan menjalar rasa nikmat ke seluruh tubuh. Kalau hawa itu sudah memasuki kepala, maka tubuh akan terasa ringan melayang-layang, pikiran akan menjadi kosong dan bebas seperti seekor burung dara yang terbang di angkasa,
Panca indera akan menjadi demikian tajam dan peka sehingga warna-warna akan nampak lebih cerah di mata, suara-suara akan terdengar lebih merdu di telinga, dan hidung akan mencium keharuman dan kesedapan suasana yang biasanya tidak pernah terasa. Sorga di dunia! Dua orang utusan dari Tung-kang itu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum mengikuti semua gerak-gerik pembesar itu yang duduk di kursi. Dengan kedua mata dipejamkan, akhirnya Lai-taijin membakar mulut pipa pada api kecil di atas meja, lalu disedotnya pipa itu. Tembakau madat terbakar, nampak bara api pada mulut pipa itu dan tercium bau asap yang aneh. Lai-taijin menyedot terus, sekuatnya karena dia menginginkan agar semua tembakau itu cepat terbakar dan asapnya memenuhi rongga dadanya.
"Eh-ehh... okhh... ugh-ugh-uuggghhh...!" Tiba-tiba pembesar itu tersentak, duduknya tegak dan matanya mendelik, terbatuk-batuk dan tangan kirinya mencekik leher. Asap yang keluar dari mulutnya berbau aneh dan memuakkan, dan pembesar itu terus batuk-batuk sampai kemudian muntah-muntah. Tentu saja para pengawal menjadi terkejut sekali, juga dua orang utusan itu memandang dengan muka pucat.
"Pranggg...!" Cawan terisi minuman itupun terpukul oleh tangan pembesar itu dan jatuh ke atas lantai.
"Prakkk...!" Pipanya dibantingnya dan pembesar itu dengan muka merah seperti udang direbus dan mata melotot, mulut masih mengeluarkan liur, segera memeriksa isi peti kecil. Merabanya, lalu menciumnya dan kembali dia muntah-muntah.
"Keparat! Jahanam busuk! Tangkap mereka, cambuk sampai mereka mengaku bagaimana mereka berani memberi madat bercampur kotoran busuk ini kepadaku!" perintahnya. Kasihan sekali dua orang utusan itu. Dengan tubuh menggigil mereka minta ampun akan tetapi para pengawal telah menyeret mereka dan merekapun menjadi korban cambukan sampai kulit belakang tubuh mereka pecah-pecah dan mereka roboh pingsan saking tak kuat menahan nyeri.
"Brakk...!" Lai Taijin menggebrak meja.
"Keparat Ciu Lok Tai! Berani sekali menghinaku dengan mengirim madat bercampur kotoran!" Peristiwa itu menimbulkan akibat yang amat hebat, sama sekali tidak disangka oleh Ong Siu Coan sendiri yang membuat ulah. Karena merasa amat malu, marah dan menganggap bahwa hartawan Ciu sengaja menghinanya, Lai Taijin lalu pergi menghadap Wang Taijin yang menjadi atasannya. Tentu saja dia tidak bicara tentang peristiwa candu kiriman itu, melainkan bicara tentang Ciu Wan-gwe yang dianggap kurang ajar berani menghina para pembesar dan pejabat Kanton.
"Kalau aku tidak ingat bahwa dia telah banyak melakukan kebaikan terhadap kita, tentu aku sudah mencapnya sebagai pemberontak dan mengerahkan pasukan untuk menangkap dan menghukumnya," demikian Wang Taijin berkata setelah mendengar pancingan wakilnya tentang peristiwa di gedung Ciu Wan-gwe itu.
"Akupun mendapatkan malu besar sekali ketika kepala pengawalku dipermainkan oleh anak perempuannya. Sungguh keterlaluan sekali gadis itu."
"Akan tetapi, walaupun dia telah banyak melakukan kebaikan terhadap kita, sebaliknya kalau tidak ada kita yang mendukung, apakah dia mampu menjadi pedagang madat yang memonopoli pemasukan madat dari orang-orang kulit putih? Agaknya, yang dia berikan kepada kita belum ada seperseratus keuntungan yang didapatkannya karena dukungan kita," bantah Lai Taijin.
"Orang seperti dia itu patut dihajar!"
"Kuharap engkau dapat bersabar," kata Wang Taijin.
"Hartawan Ciu mempunyai pengaruh yang cukup besar. Tanpa sebab tidak dapat kita bertindak apa-apa terhadap dia karena di Kota Rajapun dia mempunyai hubungan. Sebaiknya kita mulai sekarang waspada dan mencari kesempatan baik untuk membalas penghinaannya."
"Harap taijin tidak usah khawatir. Saya akan menghubungi komandan Ma Cek Lung. Biarpun tadinya Ma-Ciangkun merupakan sahabat baik Ciu Wan-gwe, akan tetapi peristiwa penghinaan terhadap dirinya di depan umum dalam pesta itu tentu membuat Ma-Ciangkun malu dan tentu dia berpihak kepada kita."
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Demikianlah, Lai Taijin yang merasa sakit hati sekali itu mulai membuat persekutuan dengan Wang Taijin dan Ma-Ciangkun untuk menanti kesempatan baik agar mereka dapat membalas dendam terhadap Ciu Wan-gwe yang mereka anggap telah melakukan penghinaan besar terhadap diri mereka. Dan kesempatan itupun tidak lama kemudian tibalah! Pada waktu itu, madat telah tersebar luas dan mencengkeram makin banyak korban di antara rakyat, juga menyusup ke Kota Raja dan mempengaruhi para pembesar. Akan tetapi, yang paling parah keadaannya adalah daerah Kanton, di mana orang-orang kulit putih berada dan kota ini merupakan sarang mereka, merupakan sumber penyebaran candu.
Bukan hanya mempengaruhi badan, akan tetapi juga dengan adanya candu, para pembesar berkomplot dengan para pedagang candu yang amat menguntungkan itu. Para pejabat menerima sogokan, para pedagang candu menumpuk keuntungan besar, dan rakyat yang menjadi korban. Hal ini membuat rakyat menjadi semakin gelisah. Kekayaan dikuras, ditukar dengan candu yang makin banyak dibutuhkan orang. Para tuan tanah menekan ke bawah dan rakyat petani yang dicekik agar menghasilkan uang lebih banyak. Madat memang merupakan racun yang amat berbahaya. Akibatnya bukan hanya merusak tubuh, akan tetapi juga merusak watak dan kepribadian bangsa. Para pembesar menjadi korup, penyogokan terjadi di mana-mana. Orang yang sudah dicengkeram racun madat, sukar untuk dapat pulih kembali.
Dan madat merupakan satu-satunya kebutuhan mereka karena benda inilah yang dapat membuat mereka seolah-olah merasakan sorga selagi hidup di dunia. Kalau orang sedang menghisap madat, asap madat itu membuat tubuh melayang-layang rasanya, segala kekhawatiran, segala kedukaan, segala macam penderitaan batinpun lenyaplah. Batin menjadi kosong dan bebas, seperti gelembung sabun yang indah melayang-layang di udara, dan perasaan kosong dan bebas ini mendatangkan kenikmatan yang luar biasa, mendatangkan kebahagiaan yang selama ini didambakan orang. Racun madat itu sesungguhnya hanya memabokkan orang. Hanya membuat penghisapnya mabok, lupa segala dan dalam keadaan batin kosong memang orang dapat merasakan kebebasan dan kebebasan batin inilah pangkal rasa bahagia itu.
Bebas dari segala macam perasaan takut, iri, marah, senang, susah dan sebagainya lagi. Akan tetapi, kebebasan yang diciptakan oleh pengaruh madat ini hanyalah sementara saja. Keburukannya jauh lebih banyak dari pada kebaikan yang diberikannya. Karena badan dan batin menjadi kecanduan, kalau tidak diberi madat, tersiksalah badan dan batin itu, bahkan bisa membawa kematian mengerikan. Kebebasan macam itu hanyalah kebebasan buatan, yang diciptakan karena keadaan mabok dan lupa diri. Keadaan yang kacau ini terasa sampai ke Kota Raja dan sampai pula ke dalam istana. Para penasihat Kaisar Tao Kuang cepat menghadap kaisar dan melaporkan tentang keadaan yang amat parah itu.
"Menurut penyelidikan hamba, rakyat sudah menjadi gelisah sekali, para pejabat kehilangan kesetiaan mereka dan mudah digosok oleh para pedagang. Kalau dibiarkan berlarutlarut, hamba khawatir kalau pemberontakan di antara rakyat makin menjadi-jadi. Pula, harta kekayaan rakyat akhirnya akan dikuras habis oleh orang-orang kulit putih, ditukar dengan madat yang hanya mendatangkan malapetaka."
Demikian antara lain para menteri itu melapor dan menasihati kaisar. Setelah mendengarkan banyak peringatan dan nasihat para menterinya, akhirnya Kaisar Tao Kuang mengambil keputusan yang tegas. Keputusan yang kemudian terkenal sekali dalam sejarah sebagai permulaan perang yang dinamakan Perang Madat. Kaisar Tao Kuang mengangkat seorang jenderal yang bernama Lin Ce Shu sebagai seorang penguasa, seorang Gubernur untuk membawa pasukan besar pergi ke Kanton dan bertindak terhadap pengedar candu yang memang tadinya sudah dilarang itu. Lin Ce Shu adalah seorang pembesar yang paling benci dengan perdagangan candu yang dimasukkan oleh para pedagang kulit putih.
Oleh karena itu, begitu menerima kekuasaan, dia bergerak cepat. Dikerahkannya pasukan besar yang secara kilat dan serentak tanpa ada kebocoran, menuju ke Kanton! Gedung itu bagus sekali, coraknya masih merupakan gedung hartawan di kota Kanton, akan tetapi perabot-perabot rumahnya sudah berlainan sama sekali dengan gedung para hartawan Kanton. Perabot-perabot rumah itu asing, kursinya besar-besar, ruangannyapun lebar-lebar. Melihat keadaan perabot dan hiasan rumah itu, mudah diketahui bahwa yang tinggal di situ bukanlah seorang penduduk aseli Kanton, melainkan seorang asing. Memang demikianlah. Pada waktu itu, banyak pedagang besar Inggeris yang tinggal di Kanton dengan jabatan-jabatan tertentu, mewakili Persatuan pedagang Inggeris yang disebut English East India Company.
Pada waktu itu, kekuasaan Inggeris di India mulai ditanamkan dan pasukan-pasukan Inggeris di India mulai merebut kemenangan-kemenangan dan wilayah kekuasaannya di India semakin meluas. Karena di India terdapat banyak bahan pembuatan madat, maka mengalirlah madat itu ke Kanton dan di sinipun terdapat perwakilan dari Persatuan pedagang itu. Rumah gedung itu ditinggali oleh keluarga Hell-way. Tuan Hellway ini seorang opsir yang menjadi pembantu kapten Charles Elliot yang pada waktu itu menjadi penguasa Inggeris di Kanton. Opsir Hellway bertugas menghubungi pedagang-pedagang Kanton, oleh karena itu dia pandai berbahasa daerah dan sudah belasan tahun dia tinggal di Kanton bersama isteri dan seorang puterinya.
Rajawali Hitam Eps 1 Gelang Kemala Eps 13 Dewi Ular Eps 13