Pedang Naga Kemala 14
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
Ketika Siu Coan mendekati, tentu saja ia sambut dengan ramah. Siu Coan adalah suheng dari Seng Bu dan ternyata bahwa suheng dari sahabat baiknya ini adalah seorang yang demikian pandainya, tidak saja pandai ilmu silatnya, akan tetapi juga luas pengetahuannya dan enak diajak bicara. Bahkan tidak seperti Seng Bu yang agak pendiam dibandingkan dengan sang suheng ini. Lambat laun Seng Bu maklum juga bahwa di antara Sheila dan suhengnya terdapat jalinan persahabatan yang akrab. Akan tetapi diapun tidak menentang, karena dia merasa tidak berhak melarang Sheila bergaul dengan siapapun juga, apa lagi dengan suhengnya sendiri. Memang ada perasaan cemburu di dalam hatinya, akan tetapi perasaan ini segera dibantahnya sendiri dan diusirnya. Dia tidak berhak untuk cemburu! Apanyakah Sheila itu? Hanya seorang sahabat!
Biarpun selama berbulan-bulan ini hidup bersama di dalam suatu kelompok, biarpun antara dia dan Sheila terdapat hubungan yang manis dan nampak mesra, namun belum pernah mereka menyinggung soal asmara. Dan dia selalu menghormati Sheila, tidak pernah menggodanya dengan kurang ajar, bahkan tidak pernah berani memperlihatkan gejolak hatinya yang sebetulnya sudah jatuh cinta sejak pertemuan pertama dahulu! Bukan hanya jasmani Sheila yang menarik perhatian Siu Coan. Ada suatu hal lain lagi yang amat menarik hatinya ketika dia mulai mendekati Sheila seringkali bercakap-cakap dengan gadis itu. Hal yang amat menarik hatinya ini adalah tentang Agama Kristen! Di dalam percakapan itu, mereka berdua menyinggung soal agama dan Sheila lalu bercerita tentang agamanya.
Dan sungguh aneh sekali, Siu Coan tertarik bukan main. Mula-mula memang menjadi taktiknya saja untuk mendekati gadis itu, membicarakan soal agama gadis itu. Akan tetapi, makin lama dia semakin tertarik dan banyak bertanya tentang pelajaran dalam agama itu. Dengan senang hati Sheila menceritakan segalanya, bahkan gadis itu lalu memberi tahu kepada Siu Coan tentang Alkitab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa daerah! Dan karena Siu Coan mendesak untuk dapat membaca kitab itu, Sheila memberi tahu bahwa ada beberapa orang di Kanton yang memiliki kitab terjemahan itu, yaitu mereka yang sudah masuk Agama Kristen. Semenjak waktu itu, mulailah Siu Coan tertarik kepada Agama Kristen dan diam-diam dia melakukan banyak hubungan dengan pemuka-pemuka Kristen di Kanton,
Yaitu bangsa sendiri yang sudah memeluk agama itu dan dari merekalah dia memperoleh kitab terjemahan. Pada waktu itu, terjemahan Alkitab dalam Bahasa Tiongkok amatlah buruknya. Tanpa bimbingan seorang pendeta atau seorang ahli, tidak mudah menangkap arti terjemahan itu. Akan tetapi Siu Coan yang memiliki watak tinggi hati dan menganggap diri sendiri paling pintar, tidak membutuhkan bimbingan dan dia mempelajari sendiri kitab terjemahan itu. Dia sendiri yang membuat penafsirannya dan mulailah dia menganut agama baru yang dicampuradukkan dengan agama-agama lain yang pernah dipelajarinya. Mulailah orang muda yang memang berwatak aneh, cerdik dan luar biasa ini membentuk sebuah agama baru yang aneh, pencampuran dari Agama Kristen dan agama-agama yang lebih dulu.
Atau semacam Agama kristen yang berbahu pengaruh pelajaran Agama-agama Buddha, Tao, dan Khong-hu-cu! Masih dicampuri lagi dengan segala macam tradisi turun-temurun. Di dalam dada pemuda ini mulai dipengaruhi dua unsur yang amat kuat. Pertama adalah cita-cita menentang penjajah Mancu, kebencian yang mendalam terhadap penjajah Mancu, dan ke dua adalah pembentukan Agama Kristen yang tanpa disadarinya telah menyimpang dari pada prlajaran yang sebenarnya itu. Kebanyakan dari kita, terutama di dunia modern akhir-akhir ini, condong untuk menilai seseorang melalui agamanya, atau kebangsaannya, kesukuannya, kelompoknya, kedudukannya, pendidikannya, atau bahkan dari kekayaannya! Karena penilaian seperti itu, tentu saja lalu bermunculan konflik-konflik antar agama, antar suku, antar kelompok dan sebagainya.
Masing-masing pihak tentu saja menilai pihak sendiri paling baik dan paling benar, sedangkan pihak lain yang paling salah dan paling buruk! Padahal, seperti dapat kita lihat dari kenyataan, bukan dari teori, baik buruknya seseorang sama sekali tidak tergantung dari agamanya, kebudayaannya, dan sebagainya itu. Baik buruknya seseorang tergantung dari perbuatannya dan batinnya, karena perbuatan itu mencerminkan keadaan batin. Agama, kebangsaan, kedudukan dan sebagainya adalah pakaian yang dikenakan pada seseorang manusia. Betapapun indah dan bersihnya pakaian itu, kalau manusia yang memakainya kotor dan buruk, tentu saja akan tetap kotor dan buruk, dan bukan tidak mungkin bahwa pakaian yang bersih itu akan terbawa menjadi kotor. Agama hanyalah suatu pelajaran bagi manusia agar hidup menurut jalur yang benar dan baik,
Akan tetapi tentu saja bukan agamanya yang menentukan, melainkan manusianya sendiri karena dapat saja dia menyeleweng dari pada jalur itu. Sayang bahwa banyak yang tidak melihat kenyataan ini. Kita terlalu mementingkan pakaian-pakaiannya sehingga melupakan manusia itu sendiri. Banyak pertikaian timbul di antara manusia karena pakaian itu, karena agama, karena suku, karena bangsa, karena kedudukan dan kekayaan, dan semua ini bersumber kepada keakuan yang ingin senang, ingin benar sendiri. Demikian pula yang terjadi dengan Ong Siu Coan, dia bukan orang sembarangan. Sejarah membuktikan bahwa Ong Siu Coan (1814-1864) kelak menjadi seorang pemimpin besar dari kelompok pejuang yang pernah menggegerkan Tiongkok dengan gerakan yang terkenal dengan nama Tai-peng!
Akan tetapi sungguh patut disesalkan bahwa manusia Ong Siu Coan yang terbuai oleh cita-cita, terbuai oleh segala macam pelajaran yang diciptakannya sendiri sehingga dia menjadi tersesat. Dia demikian tertarik kepada Sheila dan mulai bermimpi untuk menjadi seorang pemimpin rakyat seperti yang dicita-citakan, memimpin rakyat bangkit menentang penjajah dengan Sheila sebagai isteri di sampingnya, dan dia bersama Sheila akan menyebarkan agama barunya! Terdorong oleh perasaan ini, pada suatu pagi dia mencari Sheila. Gadis itu sedang mencuci pakaian bersama para wanita lain di anak sungai yang jernih airnya, di lereng bukit. Dengan amat ramah Siu Coan lalu membantu gadis itu mencuci pakaian. Tentu saja Sheila tidak mau menolak bantuan ini, akan tetapi sambil tertawa Siu Coan berkata,
"Sheila, apakah pakaianmu terlalu kotor maka engkau malu kalau aku membantumu mencucinya?" Ucapan ini tentu saja membuat Sheila tidak dapat menolak lagi dan terpaksa memberikan beberapa baju luar yang sedang dicucinya, sedangkan ia mencuci pakaian dalamnya. Tentu saja perbuatan Siu Coan ini memimpin suara ketawa tertahan dan senyum simpul para wanita yang sedang mencuci pakaian. Bagi mereka, mencuci pakaian adalah pekerjaan wanita dan kalau ada laki-laki yang ikut mencuci pakaian, apa lagi pakaian wanita yang dicucinya, maka hal itu sungguh lucu dan juga tidak pantas! Hal ini agaknya disadari oleh Siu Coan, dan pemuda yang cerdik ini lalu mendapatkan kesempatan untuk mempropagandakan kepercayaan barunya.
"Kenapa kalian mentertawakan aku? Karena aku membantu cucian Sheila? Ah, tentu kalian berpikir bahwa mencuci pakaian tidak pantas bagi pria? Itu adalah pikiran yang kuno dan kotor yang harus dibuang. Di dalam pandangan Tuhan, derajat pria dan wanita sama saja. Kalau wanita boleh mencuci pakaian pria, kenapa pria tidak boleh mencuci pakaian wanita? Pria bukanlah manusia istimewa yang harus dibedakan dan lebih tinggi derajatnya dari pada wanita. Kalian harus mempelajari agama baruku, maka kalian akan dapat berpikiran maju seperti aku dan derajat kalian akan sama dengan pria."
Ucapan Siu Coan tentang derajat, tentang persamaan hak antara pria dan wanita itu pada waktu itu terdengar amat janggal dan lucu, maka ramailah orang-orang perempuan itu terkekeh mentertawakan. Akan tetapi Siu Coan hanya tersenyum saja dan memang pemuda ini pandai sekali membawa diri sehingga banyak wanita yang suka dan kagum kepadanya. Setelah selesai mencuci pakaian, Siu Coan mengantarkan Sheila pulang membawa cuciannya. Kesempatan inilah dipergunakan Siu Coan untuk mengajaknya bicara berdua saja. Di tengah perjalanan, dia mengajak gadis itu berhenti.
"Ada apakah, Siu Coan? Engkau kelihatan ada sesuatu yang amat penting untuk dibicarakan denganku?" tanya Sheila.
"Memang tepat dugaanmu, Sheila. Aku ingin menyampaikan sesuatu yang amat penting, sesuatu yang amat suci dan untuk itu, semalam aku telah menerima petunjuk sendiri dari Tuhan."
"Ahhh, benarkah?" Sheila sendiri kadang-kadang terkejut dengan pernyataan Siu Coan. Pernah pemuda itu menceritakan betapa semalam dia digoda setan dan setan itu diusirnya dengan kekuatan doa. Pernah pula suatu kali dia mengatakan bahwa semalam dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar dia bertemu dengan Jesus!
"Aku tidak membohong, Sheila. Dan petunjuk itu mengatakan bahwa kelak aku akan menjadi raja..."
"Ehh...?"
"Bukan raja seperti kaisar penjajah sekarang, melainkan raja di antara rakyat untuk membebaskan rakyat dari penjajah, untuk menuntun rakyat ke jalan terang, untuk mengajak dan membawa rakyat ke kaki Tuhan..."
"Hemm, itu bagus sekali, Siu Coan."
"Dan di sampingku ada engkau, Sheila. Engkau lah yang membantuku, bahkan engkau yang memperkuat imanku, mempertebal keberanianku dan memperteguh tekadku, menambah semangatku."
"Aku, Ah, itupun baik sekali," kata Sheila yang mengira bahwa Siu Coan tentu hanya menceritakan mimpinya saja dan apa salahnya kalau ia juga dimasukkan ke dalam mimpi itu?
"Baik sekali, Sheila? Benarkah itu?" Dan tiba-tiba Siu Coan memegang tangan Sheila dengan lembut.
"Benarkah engkau menganggapnya baik sekali?" Barulah Sheila gelagapan. Pegangan Siu Coan demikian kuatnya sehingga menakutkan hatinya. Juga naluri kewanitaannya merasakan hal tidak wajar. Apa lagi ketika ia menyambut pandang mata pemuda itu, melihat betapa sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang aneh, sinar mata seorang laki-laki yang penuh berahi! Sheila gemetar dan dengan hati-hati ia menarik tangannya terlepas dari genggaman tangan Siu Coan dan hatinya merasa lega karena pemuda itu tidak menahannya.
"Tentu saja aku menganggapnya baik. Bukankah hal itu baik sekali? Dan pula, bukankah hal itu hanya mimpi saja, Siu Coan?"
"Bukan, bukan mimpi, Sheila! Melainkan petunjuk yang kulihat nyata sekali. Peristiwa yang akan terjadi kelak, akan tetapi yang sudah dapat kulihat dengan jelas sekarang ini. Sheila, karena itulah pagi-pagi ini aku menemuimu, dan aku ingin bertanya kepadamu. Maukah engkau berada di sampingku selalu? Maukah engkau membantuku, Sheila?" Pertanyaan itu diajukan dengan suara menggigil dan mengandung getaran aneh sehingga Sheila memandang dengan mata terbelalak. Sepasang mata yang biru laut itu memandang penuh selidik, lalu ia bertanya,
"Apa yang kau maksudkan, Siu Coan? Bicaralah yang jelas dan terus terang!" Siu Coan menghela napas panjang. Dia tidak merasa heran kalau ada orang tidak mengerti maksud hatinya, karena kadang-kadang suara hatinya "terlampau tinggi" untuk orang lain dan harus dijelaskan.
"Baiklah, Sheila, dengan kata-kata biasa, aku hendak mengatakan bahwa aku cinta padamu dan bahwa aku ingin sekali engkau dapat menjadi isteriku." Kini Sheila benar-benar terkejut. Hal itu sama sekali tak pernah disangkanya.
Memang ia suka bergaul dengan pemuda ini, suka bercakap-cakap karena selain Siu Coan mempunyai sikap yang menarik dan menyenangkan, juga pemuda ini pandai sekali. Lebih-lebih karena Siu Coan menaruh perhatian demikian mendalamnya tentang Agama Kristen. Akan tetapi sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa Siu Coan menaruh hati kepadanya. Bukankah sudah jelas bagi Siu Coan dan bagi semua orang bahwa ia dan Seng Bu mempunyai pertalian hati yang mendalam? Bukankah merupakan hal yang jelas bahwa ia dan Seng Bu saling mencinta? Dan tiba-tiba saja gadis itu teringat betapa ia dan Seng Bu belum pernah mengatakan cinta itu satu sama lain, walaupun tentu saja mereka dapat saling merasakan tentang hal itu melalui sinar mata, melalui senyum dan getaran kata-kata.
"Ah, tidak, Siu Coan! Hal itu tidak mungkin!" Siu Coan menerima tamparan pada jantungnya ini dengan tenang, hanya matanya saja yang mengeluarkan sinar mata aneh dan wajahnya tetap biasa, mulutnya tetap tersenyum.
"Sheila, mengapa engkau menolak? Aku cinta padamu dan mengharapkan engkau menjadi isteriku, kenapa engkau menolak?"
Siu Coan baru saja terjun ke dalam pemikiran yang dianggapnya bebas seperti pikiran barat, seperti pikiran pembawa Agama Kristen itu, yaitu orang-orang dari barat yang berkulit putih. Maka diapun penasaran kalau ada wanita menolak cintanya, karena dia masih memandang wanita seperti keadaan nenek moyangnya, lupa bahwa Sheila adalah seorang wanita barat yang sudah benar-benar bebas dalam hal memilih jodoh! Betapapun juga, tidak enak bagi Sheila untuk mengatakan terus terang bahwa ia tidak mencinta Siu Coan, maka iapun hanya menggeleng kepalanya saja, lalu menundukkan muka karena ngeri melihat sinar mata pemuda itu berobah sedemikian aneh dan liar, seolah-olah dari situ terpancar ancaman yang amat hebat walaupun sikap pemuda itu masih tenang dan halus seperti biasa.
"Sheila, engkau menolakku karena engkau mencinta Seng Bu sute, bukan? Karena engkau dan dia sudah ada ikatan batin untuk kelak menjadi suami isteri?"
Pertanyaan yang tiba-tiba ini seperti todongan pistol pada dadanya dan amat mengejutkan karena hal itu sesungguhnya merupakan rahasia hatinya dan belum pernah diutarakan, bahkan kepada Seng Bu sekalipun belum pernah ia menyatakan isi hatinya, walaupun ia tahu bahwa Seng Bu mencintanya dan ia yakin pula bahwa pemuda gagah perkasa itupun dapat menduga akan isi hatinya. Kini ditanya seperti itu, Sheila tidak membantah dan untuk menghindarkan desakan selanjutnya dari pemuda itu, iapun mengangguk.
"Benar, aku mencinta Seng Bu, jawabnya lirih karena diam-diam iapun merasa kasihan kepada Siu Coan karena terpaksa cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Siu Coan menarik napas panjang, nampak kecewa sekali akan tetapi sinar matanya masih berkilauan aneh.
"Sheila, sudah kau pikir masak-masakkah hal itu? Apakah engkau tidak keliru pilih? Ingat, sute adalah seorang kafir, tidak seagama denganmu, pengikut setan!" Sheila mengerutkan alisnya. Memang, di antara bangsanya yang beragama Kristen, banyak yang menganggap bahwa orang-orang pribumi yang tidak beragama kristen sebagai orang-orang yang ingkar, orang-orang yang tidak beriman, bahkan dianggap orang-orang biadab. Akan tetapi ia sudah banyak bergaul dengan mereka ini, dengan pelayan-pelayan rumah keluarganya, dan sudah banyak menyelami dan mempelajari kebudayaan mereka sehingga ia memperoleh kenyataan bahwa dalam hal kebudayaan, dalam hal ketata-susilaan dan peradaban, penduduk pribumi yang sederhana itu tidak kalah oleh orang-orang kulit putih. Bahkan filsafat hidup yang mereka anut amat tinggi.
"Siu Coan, harap engkau tidak berkata demikian. Biarpun Seng Bu bukan seorang yang beragama Kristen, namun dia adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, seorang pria yang budiman, sopan dan terhormat. Engkau tentu mengenal watak dari sutemu sendiri. Dan aku cinta padanya, mencinta orangnya, bukan agamanya. Kelak, perlahan-lahan aku akan dapat menuntunnya agar dia dapat masuk agamaku."
"Hemm, kau pikirkan dulu baik-baik, Sheila, agar kelak engkau tidak akan menyesal namun sudah terlambat. Terus terang saja, biarpun sute juga seorang pria yang gagah perkasa, namun dia sama sekali tidak sepadan menjadi jodohmu. Dia bodoh, pengetahuannya sempit, jalan pikirannya sederhana, tanpa cita-cita, dan engkau akan hidup melarat dengan dia. Nah, biarlah lain kali kalau engkau sudah memikirkan hal ini masak-masak, kita bicara lagi." Wajah gadis itu berobah merah dan matanya memancarkan sinar kemarahan mendengar pemuda kekasih hatinya dijelek-jelekkan oleh Siu Coan.
"Siu Coan, tidak perlu kau memburuk-burukkan sutemu sendiri di depanku. Aku mencintanya, dan cinta tidak memandang kemelaratan dan kebodohan. Tak perlu kupikirkan lagi, dan mengenai hubungan antara kita tidak perlu dibicarakan lagi!" Siu Coan menggoyangkan kedua pundaknya lalu meninggalkan gadis itu dengan cepat karena pada saat itu dia melihat berkelebatnya bayangan Seng Bu yang datang dari jauh. Ketika dia pergi dengan berlari cepat, agaknya baru saja meninggalkan Sheila, Seng Bu menegur ramah,
"Suheng...!" Akan tetapi yang ditegur terus lari, menolehpun tidak sehingga Seng Bu merasa heran, akan tetapi dia mengira bahwa tentu suhengnya itu tidak mendengar seruannya dan diapun melanjutkan larinya menghampiri Sheila. Dia mengerutkan alisnya dengan hati khawatir ketika melihat Sheila masih berdiri di situ dan wajah gadis itu nampak masih merah dan wajah itupun membayangkan ketegangan hati.
"Sheila, apakah yang telah terjadi? Bukankah suheng tadi dari sini?" Sheila memandang wajah Seng Bu, lalu menarik napas panjang dan mengangguk.
"Benar, dia baru saja meninggalkan aku dengan marah agaknya."
"Eh? Kenapakah? Apa yang telah terjadi antara kalian sehingga suheng menjadi marah kepadamu?" Sheila mengaku terus terang.
"Dia kecewa karena cintanya kutolak." Seng Bu terbelalak dan menatap wajah Sheila penuh selidik. Wajah gadis itu segar dan manis sekali karena tadi sambil mencuci pakaian gadis itu mandi dan menggosok kulit mukanya dengan batu halus seperti yang dilakukan oleh wanita-wanita lain. Apa lagi kini gadis itu merasa tegang, kedua pipinya menjadi merah sekali dan sepasang mata yang indah lebar itu bersinar-sinar seperti sepasang bintang pagi.
"Apa... apa maksudmu?" sama sekali dia tidak mengira bahwa suhengnya juga mencinta gadis kulit putih ini, maka tentu saja pengakuan Sheila tadi mengejutkan hatinya. Sheila tersenyum untuk menenangkan hatinya sendiri, juga hati Seng Bu, lalu berkata dengan halus,
"Seng Bu, tadi suhengmu itu mengatakan bahwa dia cinta padaku dan bahwa dia ingin aku menjadi calon isterinya." Biarpun pemberitahuan pertama tadi sudah dimengertinya, namun penjelasan ini tetap saja amat mengherankan dan mengejutkan hati Seng Bu. Suhengnya? Kelihatan sama sekali tidak memperlihatkan perasaan itu terhadap Sheila, dan suhengnya tahu benar bahwa dia mencinta Sheila.
"Dan... dan kau ...?"
"Tentu saja aku menolaknya dan dia kelihatan kecewa, lalu pergi meninggalkan aku."
"Akan tetapi... kenapa, Sheila? Kenapa kau ... kau menolaknya? Suheng adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan dia mempunyai cita-cita yang besar untuk menjadi seorang pemimpin besar." Tentu saja Seng Bu sudah tahu benar akan cita-cita suhengnya yang selalu didengung-dengungkan itu.
"Kenapa? Karena aku tidak cinta padanya."
"Mengapa engkau tidak cinta padanya, Sheila?" Seng Bu bertanya, di dalam suaranya terkandung nada mendesak yang aneh dan kini pemuda itu menatap wajah Sheila dengan tajam, penuh selidik.
"Ouhhh... Seng Bu, alangkah kejam hatimu mengajukan pertanyaan seperti itu. Seng Bu, perlukah kita berpura-pura lagi? Perlukah selama ini kita saling menyembunyikan perasaan? Engkau tentu tahu mengapa aku tidak bisa mencinta orang lain. Engkau tentu tahu bahwa aku hanya mencinta seorang pria saja di dunia ini dan aku tahu pula bahwa dia mencintaku sepenuh hatinya. Akan tetapi... pria itu masih berpura-pura lagi, bertanya mengapa aku tidak mencinta pria lain! Betapa kejamnya engkau..."
Dan Sheila lalu terisak menangis. Hati Seng Bu diliputi keharuan dan melihat Sheila menangis, suatu dorongan kuat membuat dia melangkah maju dan di lain saat, entah siapa yang memulai gerakan itu, tahu-tahu Sheila telah berada dalam dekapannya. Gadis itu merebahkan mukanya di dada yang bidang itu dan merasa aman sentausa penuh kedamaian. Kedua matanya menitikkan air mata dan kedua lengannya memeluk leher, sedangkan kedua lengan Seng Bu melingkari tubuhnya dalam rangkulan ketat, seolah-olah pemuda itu khawatir kalau-kalau tubuh yang dirangkulnya itu akan terlepas.
"Maafkan aku, Sheila. Aku tahu bahwa engkau cinta padaku dan bahwa akupun cinta padamu, bahwa tanpa kata sekalipun kita sudah yakin akan cinta kita masing-masing. Akan tetapi aku... aku selalu khawatir akan kehilangan engkau, Sheila. Aku...aku merasa betapa aku ini kesasar, bodoh dan miskin, merasa tidak layak berada di sampingmu... karena itu... tadi aku meragu..." Ah, sudahlah Seng Bu. Aku hanya mencinta engkau seorang, sejak pertema kita saling jumpa dan aku takkan mau berpisah lagi dari sisimu..."
"Dan aku... aku hanya memiliki engkau seorang..."
Mereka saling dekap dan Sheila yang memulai lebih dahulu ketika mereka saling mencium, karena Seng Bu takkan berani mendahuluinya, apa lagi dia seorang pemuda yang sama sekali belum pernah berdekatan dan berhubungan dengan seorang wanita. Pada saat itu, mereka merasa merasa semakin yakin akan cinta kasih masing-masing, perasaan cinta yang terasa sampai jauh sekali di dasar hati masing-masing, kemesraan yang membuat semua bulu di tubuh mereka meremang. Suara cekikikan para wanita yang tadi mencuci pakaian bersama Sheila, menyadarkan dua orang muda itu dari keadaan yang asyik masyuk itu. Mereka cepat saling melepaskan rangkulan dan keduanya menjadi jengah kemalu-maluan, wajah mereka kemerahan dan mereka membiarkan para wanita itu lewat tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.
"Ada orang melihat kita, Sheila, ini berarti bahwa kita harus cepat-cepat menikah agar tidak menjadi pergunjingan orang. Maukah engkau menikah denganku?" Sheila mencium pipi dan dagu pemuda itu dengan hidungnya, kelembutan yang membuat Seng Bu hampir menitikkan air mata saling saking bangga, haru dan bahagianya.
"Engkau masih bertanya lagi? Setiap saat aku bersedia, Seng Bu, setiap saat. Sudah sejak lama aku merasa bahwa aku adalah milikmu, seluruhnya, aku telah menyandarkan seluruh kehidupanku kepadamu." Sambil menggandeng tangan Sheila, Seng Bu lalu menemui kawan-kawan seperjuangannya dan mengumumkan bahwa dia hendak melangsungkan pernikahannya dengan Sheila di dalam hutan itu juga. Semua kawan seperjuangannya yang merasa kagum kepada Seng Bu akan kegagahannya, bersorak gembira dan mereka lalu bergotong royong membuat persiapan untuk pesta sekedarnya menyambut pernikahan itu.
Diam-diam Ong Siu Coan tentu saja merasa iri hati dan marah sekali, akan tetapi pada lahirnya, dia juga menyambut dengan gembira ketika Seng Bu minta pendapatnya dan doa restunya. Demikianlah, pernikahan antara Seng Bu dan Sheila terjadi di dalam hutan itu, dirayakan oleh para pejuang. Suasana cukup meriah dan gembira malam itu walaupun tidak ada pesta besar seperti kalau pernikahan dirayakan di kota dalam suasana damai dan tenteram. Malam itu dengan penerangan api unggun dan beberapa belas lampu minyak, para pejuang merayakan pesta pernikahan itu. Seng Bu mengenakan pakaian bersih, dan Sheila mengenakan pakaian pengantin yang dipinjamkan dari seorang wanita.
Ia nampak cantik jelita dalam pakaian mempelai yang baginya lucu itu, dan sepasang mempelai dipertemukan oleh para wanita dan diberi selamat oleh para pejuang. Malam itu pesta sederhana dirayakan para pejuang sampai menjelang tengah malam. Tiba-tiba terdengar suara tambur dan terompet dan semua pejuang terkejut setengah mati ketika tiba-tiba nampak banyak sekali pasukan pemerintah menyerbu. Kiranya hutan itu sudah dikepung oleh pasukan pemerintah yang jumlahnya ratusan orang! Tentu saja suasana menjadi panik. Para pejuang cepat memadamkan api unggun, juga lampu-lampu dan dalam keadaan remang-remang, hanya diterangi cahaya bulan sepotong, para pejuang melakukan perlawanan mati-matian. Dalam keadaan kacau itu, tentu saja Seng Bu juga terkejut dan cepat dia siap siaga membantu teman-teman.
(Lanjut ke Jilid 14)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)
Jilid 14
"Sheila, engkau bersembunyi di pondok kita, aku akan membantu kawan-kawan mengusir pasukan pemerintah," kata Seng Bu setelah tadi menggandeng tangan isterinya dan membawanya ke pondok yang disediakan untuk mereka oleh kawan-kawan mereka. Sheila yang bermuka pucat dan ketakutan itu mengangguk, akan tetapi masih memegangi tangan suaminya,
"Jangan lama-lama... cepat ambil aku kembali... aku tidak mau berpisah lama darimu..." Seng Bu mencium isterinya lalu melompat ke luar, siap dengan penuh semangat membantu teman-temannya menghadapi pasukan pemerintah yang datang menyerbu. Dia tidak tahu bagaimana pasukan pemerintah dapat mengetahui tempat persembunyian para pejuang itu dan menyerbu di malam itu, kebetulan ketika pernikahannya sedang dirayakan. Akan tetapi belum jauh dia berlari, tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku saking kagetnya. Dia mendengar jeritan Sheila! Bagaikan dikejar setan, Seng Bu lalu membalikkan tubuh dan berlari cepat kembali ke pondok. Dapat dibayangkan betapa rasa kaget, heran dan juga marahnya ketika dia melihat suhengnya meloncat keluar dari pondok sambil memondong tubuh Sheila.
"Suheng!!" bentaknya marah sekali dan segera dia melompat menghadang.
"Eh, sute. Aku datang untuk menyelamatkan Sheila!" kata Siu Coan gugup dan diapun melepaskan tubuh Sheila yang dipondongnya secara paksa tadi. Sheila lalu lari merangkul suaminya, menahan tangisnya.
"Aku... aku tidak mau dia larikan, dan dia memaksaku...!"
"Aku hanya ingin menolong dan menyelamatkannya, keadaan gawat sekali." Kembali Siu Coan berkata. Seng Bu mengerutkan alisnya. Marah dia melihat betapa tadi dengan paksa tubuh isterinya dipondong oleh suhengnya. Biarpun dengan alasan menolong dan ingin menyelamatkan, akan tetapi tidak pantas kalau suhengnya memaksa orang yang mau ditolong. Tentu ada sesuatu yang tidak pantas.
"Suheng!" bentaknya.
"Tidak pantas kau maksa isteriku!" Siu Coan yang tertangkap basah itu menjadi malu dan kini dia menjadi marah.
"Eh, sute, apa maksudmu? Aku datang untuk menyelamatkan isterimu dan engkau marah-marah? Engkau sungguh kurang ajar!"
"Suheng, bukan aku yang kurang ajar, melainkan engkau yang tidak tahu sopan!" Seng Bu juga membentak marah.
"Keparat, sudah berani engkau melawanku?" Siu Coan berseru dan diapun menerjang maju dan mengirim pukulan hebat ke arah kepala sutenya. Seng Bu yang juga sudah menjadi marah cepat menangkis dan membalas. Berkelahilah suheng dan sute ini dan Seng Bu mendapat kenyataan yang mengejutkan dan juga membuatnya marah bahwa suhengnya menyerangnya dengan penuh kesungguhan dan kebencian, melancarkan pukulan-pukulan maut!
Agaknya, semua perasaan iri yang terpendam di dalam batin Siu Coan, saat itu hendak diluapkan maka dia menyerang bertubi-tubi penuh kemarahan. Seng Bu yang sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya akan menyerang seperti itu, terkejut dan sebuah tendangan menyerempet pahanya, membuatnya terhuyung ke belakang. Dan melihat sutenya terhuyung, Siu Coan agaknya semakin nekat dan melanjutkan serangannya dengan pukulan bertubi-tubi. Tentu saja Seng Bu yang sedang terhuyung itu menjadi terdesak terus dan hanya main mundur, menangkis sambil mengelak. Siu Coan menyeringai girang. Ada alasan dan kesempatan baginya untuk membunuh sutenya dan merampas Sheila yang membuatnya tergila-gila!
Sesungguhnya, dia tidak begitu tergila-gila kepada Sheila karena pada hakekatnya, Siu Coan lebih gila kedudukan dan cita-cita dari pada wanita. Akan tetapi, melihat Sheila menolaknya dan memilih Seng Bu, dia merasa iri dan iri inilah yang mendorongnya menjadi nekat untuk membunuh sutenya dan merampas Sheila. Seng Bu tentu saja sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya untuk membela diri. Untung baginya bahwa tentu saja dia mengenal semua gerakan serangan suhengnya, sehingga betapapun hebat dan dahsyat datangnya serangannya, dan biarpun dia sedang terhuyung, akan tetapi dalam keadaan terdesak itu dia masih mampu menghindarkan diri dari serangkaian pukulan dan tendangan maut. Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras.
"Darrr...!" Tubuh Siu Coan terhuyung dan tangan kirinya menekan pundak kanan yang berdarah.
Seng Bu terkejut dan menengok. Kiranya Sheila telah menembakkan pistol kecil. Pistol ini memang tak pernah terpisah dari badan gadis itu, selalu disembunyikan dalam lipatan bajunya dan kini, melihat suaminya terdesak, iapun dengan nekat lalu mengeluarkan pistolnya dan menembak ke arah Siu Coan. Gadis ini memang pernah dilatih menggunakan pistol oleh Ayahnya, dan pistol itupun pemberian Ayahnya, maka ia dapat menembak dengan cepat. Gerakan Siu Coan yang berusaha mengelak secara refleks ketika letusan terdengar membuat peluru yang ditujukan ke arah dada itu hanya mengenai ujung pangkal lengan. Akan tetapi cukup membuat kulit terkupas dan daging menonjol di ujung pundak juga tertembus peluru, nyerinya bukan kepalang karena luka itu seperti terbakar oleh besi panas.
"Sheila jangan tembak lagi!" Seng Bu berseru kaget melihat suhengnya terluka. Dia mengira bahwa suhengnya terluka dadanya, karena darah mengalir dan membasahi baju suhengnya itu. Dan pada saat itu, belasan orang anggauta pasukan pemerintah datang menyerbu! Seng Bu yang melihat suhengnya masih lemah terhuyung, terancam tusukan tombak seorang perajurit, melompat ke depan dan sekali tendang, perajurit itu roboh dan suhengnya terbebas dari ancaman maut. Melihat ini, Siu Coan tersenyum.
"Orang berhati lemah..." katanya dan karena pada saat itu, lebih banyak lagi datang pasukan yang menyerbu, terpaksa diapun membela diri dengan sebelah tangannya saja, yaitu tangan kiri karena tangan kanannya tidak dapat digerakkan karena nyeri. Seng Bu lalu menyambar sebatang pedang lawan setelah dia kembali merobohkan lawan berpedang itu, dan memutar pedangnya sambil berseru,
"Sheila, ke dinilah kau ! Suheng, larilah, aku melindungimu!"
"Dar-darr...!!" Kembali Sheila meletuskan pistolnya dua kali. Seorang pengeroyok roboh dan yang lain mundur karena jerih terhadap senjata api. Seng Bu melompat mendekati Sheila, bangga dan kagum melihat ketabahan isterinya. Kembali dia berkata kepada Siu Coan,
"Suheng, mari kita lari. kau lebih dulu. Aku dan Sheila melindungimu dari belakang!"
Siu Coan tersenyum pahit. Melihat kenyataan betapa kini malah dilindungi oleh dua orang calon korbannya, benar-benar merupakan pel pahit baginya. Akan tetapi diapun maklum akan ancaman bahaya. Pihak pasukan itu terlalu besar dan kini kawan-kawan seperjuangan mereka juga sudah terdesak dan cerai berai. Maka tanpa mengeluarkan sepatah katapun, dia meloncat dan lari ke barat, diikuti oleh Seng Bu dan Sheila. Mereka dihadang lagi dan setelah tiga kali meletuskan pistolnya sehingga pelurunya dalam pistol habis, Seng Bu lalu memondong isterinya dengan lengan kiri, tangan kanannya memegang pedang dan sambil melindungi isterinya dalam pondongan dan suhengnya yang terluka, akhirnya dia berhasil membawa mereka berdua lolos dari kepungan dan tiba di luar hutan itu dalam cuaca yang gelap.
"Suheng, kita berpisah di sini dan maafkan kami, maafkanlah segala yang telah terjadi." Setelah berkata demikian, Seng Bu yang memondong isterinya lalu meloncat dan berlari cepat menuju ke barat.
Siu Coan berdiri bengong, lalu menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, biar Sheila telah melukainya dengan pistol, hal yang sama sekali tak pernah disangkanya, namun Sheila dan Seng Bu tadi telah melindunginya mati-matian pula! Sudahlah, pikirnya, ia bukan jodohku. Menurut pelajaran agama barunya, memaafkan orang lain adalah perbuatan mulia, bahkan terdapat pelajaran yang menganjurkan agar kalau kita dipukul pipi kiri kita, kita harus menyerahkan pipi kanan kita! Siu Coan tersenyum seorang diri. Biarlah dia memaafkan Seng Bu dan Sheila, bahkan menurut pelajaran agamanya, dia harus mencinta musuh-musuhnya, maka biarlah dia melepaskan mereka dengan hati mencinta. Dan Siu Coan tersenyum, merasa betapa hatinya mekar, penuh dengan kebanggaan, penuh dengan harapan untuk menerima pahala karena dia telah berbuat jasa.
Betapa banyaknya di antara kita memiliki kebanggaan dan harapan seperti yang dimiliki Siu Coan itu. Semua agama mengajarkan agar kita hidup sebagai manusia yang baik, karena hanya hidup baik ini yang menjadikan kita bermanfaat bagi dunia, bagi manusia. Akan tetapi kita mau hidup baik karena di balik itu terdapat harapan dan pamrih agar kita memperoleh pahala, memperoleh hadiah, baik hadiah itu dinamakan Sorga atau Nirwana ataukah kesempurnaan atau segala macam kata kata yang muluk lagi. Karena adanya ancaman hukum bagi yang berbuat jahat, dan janji pahala bagi yang berbuat baik, maka kita condong untuk berbuat baik. Memang inilah tujuannya, akan tetapi, hal ini pula yang membuat kita menjadi manusia-manusia palsu,
Menjadi munafik, menjadi srigala-srigala berkedok domba, yang berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat HANYA karena kita ingin memperoleh pahala dan ingin dijauhkan dari pada hukuman. Kebaikan yang dilakukan dengan sengaja ini tentu berpamrih, dan pamrih membuat kita menjadi munafik, membuat perbuatan kita adalah palsu, karena perbuatan itu bukan perbuatan baik, melainkan suatu cara bagi kita untuk memperoleh pahala, cara untuk menghindarkan hukuman! "Cintailah musuh-musuh" adalah serangkaian kata-kata yang amat indah dan suci kalau kita dapat menangkap maknanya. Kalau tidak, tentu akan menimbulkan keraguan karena di situ terdapat dua kata yang berlawanan, yaitu "Cinta" dan "musuh." Biasanya, cinta berkaitan dengan sahabat, dan yang berkaitan dengan musuh adalah benci.
Maka, cintailah musuhmu seakan-akan mengandung makna yang berlawanan atau saling bertolak belakang. Akan tetapi sesungguhnya pelajaran ini mengandung makna yang sekaligus menghapuskan benci dari dalam hati berdasarkan kasih. Bukan berarti suatu waktu kita mencintai musuh kita dan di lain waktu kita siling berbunuhan dengan musuh itu! Ini sama sekali tak masuk akal dan omong kosong. Akan tetapi, kita dapat mencintai orang yang memusuhi kita! Mungkin banyak orang memusuhi kita, membenci kita, tidak senang kepada kita, karena mungkin iri hati, dengki, salah paham dan sebagainya lagi. Biarlah mereka itu membenci kita, akan tetapi orang yang memiliki sinar kasih dalam batinnya, tidak akan membalas kebencian itu, tidak membalas permusuhan itu, melainkan menghadapi mereka yang memusuhi kita dengan cinta kasih antara manusia!
Tidaklah ini indah, besar dan mulia sekali? Kita dapat melihat cinta kasih seperti itu, cinta kasih Tuhan melalui sinar matahari, melalui harumnya bunga, melalui tanah, air, hawa, udara. Biar ada manusia yang mengutuk dan membenci alam dan semua kekuasaan Tuhan, namun tetap saja semua itu memberikan dengan rela, kepada siapa saja tanpa pilih kasih, kepada mereka yang membenci sekalipun. Orang yang sejahat-jahatnya sekalipun, yang segala tindakannya berlawanan dengan kebaikan, akan tetap memperoleh hawa udara, memperoleh sinar matahari, dapat menikmati keharuman bunga, sama seperti orang yang paling baik, paling saleh sekalipun. Akan tetapi, seperti Ong Siu Coan kita selalu ingin untung, lahir maupun batin,
Oleh karena itu berbondong-bondong orang lari ke agama dengan dasar ingin untung itulah. Ingin memperoleh hiburan batin karena pahitnya kehidupan, ingin memperoleh jaminan keadaan yang enak menyenangkan setelah mati kelak, ingin memperoleh berkah sebanyaknya. Lenyapkanlah janji-janji pahala dan hadiah ini dari agama, dan para munafik itu tentu akan mundur meninggalkannya dan yang tinggal hanyalah mereka yang benar-benar sadar dan waspada akan segala kekotoran yang memenuhi batin sendiri, karena hanya mereka inilah yang akan dapat berobah. Orang yang sadar akan kekotoran diri sendiri sajalah yang akan dapat berobah menjadi bersih, tanpa ada usaha membersihkan karena usaha membersihkan ini akan menumpuk pamrih dan menciptakan kemunafikan.
Semua agama tentu mengajarkan kebaikan, akan tetapi bagi kehidupan manusia, yang penting adalah manusianya, bukan agamanya. Semua manusia di dunia ini mengaku beragama atau mempunyai pegangan sesuatu yang menggariskan jalan hidup yang harus ditempuhnya. Semenjak ribuan tahun semua pelajaran kerohanian ini tersebar di antara seluruh manusia di dunia. Akan tetapi, bagaimana hasilnya? Manusia tetap saja hidup dalam lembah kesengsaraan, hidup dalam neraka dunia yang penuh dengan kebencian, iri hati, dengki, kemurkaan, permusuhan sehingga cinta kasih makin muram kehilangan sinarnya karena tertutup oleh segala macam hawa nafsu angkara yang merupakan debu-debu kotor hitam tebal itu. Permusuhan terjadi bukan hanya antara perorangan, bukan hanya antara suku dan antara kelompok,
Bahkan meluas menjadi antara bangsa, antara negara sehingga timbullah perang yang amat kejam, pembunuhan dan pembantaian semena-mena yang lebih biadab dari pada perbuatan golongan yang dianggap masih liar dan buas sekalipun! Jelaslah di sini bahwa manusianya yang menentukan, bukan agamanya. Dan jelaslah bahwa yang dapat merobah manusia adalah diri sendirimasing-masing, dengan pengenalan diri sendiri sehingga nampak segala kekotoran yang membutakan mata hati, yang menulikan telinga hati. Demikianlah halnya dengan Ong Siu Coan. Pemuda ini memiliki cita-cita yang muluk, dan makin besar cita-cita seseorang, makin besar pulalah "Aku"nya dan makin besar pamrihnya sehingga semua perbuatannya ditujukan dengan pamrih untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri sebesar-besarnya.
Perbuatan itu mungkin di mata umum bisa disebut perbuatan buruk atau perbuatan baik, akan tetapi apapun macam perbuatan itu, selalu di belakangnya terkandung pamrih untuk kepentingan diri pribadi. Tidak ada seorangpun mengetahui bahwa penyerbuan pasukan pemerintah di malam hari itupun adalah hasil perbuatan Ong Siu Coan! Dialah yang diam-diam mengirim berita tempat persembunyian para pejuang itu kepada pihak pasukan pemerintah! Dia rela berkhianat untuk kepentingan diri sendiri, untuk melampiaskan iri hatinya terhadap Seng Bu, kemarahannya terhadap Sheila, dan untuk membuka kesempatan agar dia dapat merampas Sheila dengan dalih menyelamatkanya, dan kalau mungkin membunuh sutenya sendiri.
Tentu saja pihak pasukan pemerintah tidak tahu bahwa yang mengirim berita itu adalah Ong Siu Coan. Dan memang bukan maksud Siu Coan untuk membantu pasukan pemerintah. Sama sekali tidak! Dia membenci pemerintah Mancu, dan dia bercita-cita untuk membasmi pemerintah penjajah itu. Kalau dia dapat berbuat khianat pada malam hari itu adalah karena ada pamrih terhadap Seng Bu dan Sheila. Karena serbuan itu, beberapa orang pejuang tewas dan selebihnya cerai berai dan kacau balau, kocar kacir. Dan Siu Coan melarikan diri ke selatan, dan beberapa hari kemudian dia sudah bergabung kembali dengan orang-orang Thian-te-pang dan dia memperoleh perawatan dengan baik. Untung tidak ada yang tahu tentang peristiwa antara dia dan Seng Bu, dan mereka mengira bahwa tembakan yang mengenai ujung pundak Siu Coan itu dilakukan oleh seorang opsir pasukan pemerintah.
Peristiwa pembakaran madat di Kanton itu tidak berhenti sampai di situ saja. Pembakaran madat yang lebih dari satu juta kilogram banyaknya itu juga mulai menyalakan api perang yang kemudian terkenal dengan sebutan Perang Madat selama tiga tahun ( tahun 1839-1842). Peristiwa pembakaran madat disusul pembunuhan terhadap orang kulit putih yang sesungguhnya dilakukan oleh golongan-golongan yang anti kulit putih, bukan oleh pemerintah Mancu, dianggap oleh pemerintah Inggris sebagai suatu penghinaan terhadap bangsanya. Apa lagi ada laporan dari Kapten Charles Elliot yang didesak oleh para pedagang untuk minta bantuan pasukan, maka pemerintah Inggris lalu mengirim armada ke timur.
Kapal-kapal perang dengan pasukan-pasukan yang cukup kuat dikirim dan Kanton diserang dari lautan, dihujani peluru meriam. Pasukan-pasukan Inggris berusaha untuk mendarat akan tetapi usaha mereka itu selalu menemui perlawanan yang amat kuat. Dalam hal ini, tanpa persekutuan yang syah, pemerintah penjajah Mancu menerima bantuan yang amat besar dari rakyat, dari perkumpulan-perkumpulan para patriot yang tidak suka melihat bangsa kulit putih hendak menguasai tanah air. Para pendekar segera bangkit dan untuk sementara menghentikan kegiatan mereka memusuhi pemerintah Mancu karena mereka kini menganggap bahwa ancaman pasukan asing itu lebih berbahaya. Terjadilah perang di mana-mana, perang antara senjata api melawan anak panah dan senjata-senjata tajam.
Pasukan Inggris tidak pernah berhasil mendarat karena perlawanan yang amat kuat. Panglima Lim Ce Shu memimpin pasukannya dan melakukan perlawanan matimatian, dan penyerbuan pasukan Inggris itu akhirnya hanyalah kandas di pantai-pantai saja, di mana akibat-akibat perang terjadi. Perampokan-perampokan, pembunuhan-pembunuhan dan perkosaan-perkosaan terjadilah di pantai-pantai terhadap penduduk yang berada di sekitar pantai. Namun, pasukan-pasukan kulit putih itu akhirnya harus mengakui bahwa kekuatan kekuatan pihak musuh di daratan terlalu sukar untuk dapat ditembus. Setelah peperangan yang kacau ini berlangsung hampir tiga tahun lamanya, Ingggris hanya berhasil menduduki Pulau Hongkong yang letaknya di depan kota Kanton.
Pulau ini dijadikan pangkalan oleh armada Inggris, namun semua penyerangan mereka di daerah pantai timur daratan Tiongkok selalu mengalami kegagalan. Kalau pasukan Inggris yang dipukul mundur melarikan diri ke kapal-kapal perang mereka, maka perang masih juga terjadi di darat, yaitu pasukan-pasukan para patriot yang anti pemerintah penjajah lalu berbalik dan menyerang pasukan pemerintah sendiri! Memang mereka ini sejak dahulu ingin menjatuhkan kekuasaan Mancu, dan mereka ikut menghalau orang kulit putih bukan untuk membantu pemerintah, melainkan khawatir kalau-kalau bangsa kulit putih akan menguasai tanah air mereka. Tentu saja pukulan-pukulan bertubi dari orang kulit putih yang datang dari luar, dan pukulan-pukulan para pemberontak dalam negeri membuat pasukan pemerintah Mancu menjadi lemah.
Hal ini diketahui dengan baik oleh para mata-mata yang disebar oleh Inggris. Akhirnya dalam tahun 1842, Inggris dengan cerdik lalu menyelundupkan kapal-kapalnya melalui Sungai Yang-ce-kiang, berlayar mudik. Pemerintah Mancu di Peking terkejut bukan main. Dengan dikuasainya sungai besar itu oleh orang kulit putih, maka hubungan antara Lembah Yang-ce-kiang dan Peking tertutup dan terancam. Keselamatan keluarga kaisar di Peking dapat terancam kalau begitu. Istana menjadi gentar dan panik, dan melalui menteri-menteri yang memang condong untuk berbaik dengan orang-orang kulit putih yang mendatangkan banyak keuntungan kepada mereka melalui madat, akhirnya pemerintah Mancu membujuk Inggris menghentikan perang!
Tentu saja hal ini sama dengan pernyataan tunduk dan kalah! Sebagai pihak pemenang yang ditakuti, Inggris mempergunakan kesempatan itu sebaikbaiknya! Kemenangan dalam tahun 1842 ini membuat mereka dapat memaksa kaisar untuk melakukan hal-hal yang membikin panas hati dan perut para patriot. Pertama-tama, untuk menyenangkan hati orang-orang kulit putih itu, kaisar memecat Panglima Lim Ce Shu dan membuangnya! Kemudian, Hongkong di serahkan kepada Inggris begitu saja! Pelabuhanpelabuhan di Tiongkok Selatan, termasuk Kanton, dibuka lebar-lebar dan diperbolehkan menerima pedagang-pedagang kulit putih untuk masuk dan berdagang di situ dengan bebas, juga diperbolehkan untuk bertempat tinggal di situ sebagai pedagang-pedagang yang dihormati.
Bahkan orang-orang kulit putih lainnya, seperti orang-orang Portugal dan orang-orang Perancis, ikut-ikutan membonceng kemenangan Inggris ini dan ikut-ikutan menuntut agar merekapun diperbolehkan membuka perdagangan di pelabuhan-pelabuhan itu. Sebagai negara yang kalah perang, pemerintah Mancu yang sudah tidak berdaya itu terpaksa menuruti tuntutan-tuntutan itu. Makin banyaklah perjanjian-perjanjian"perdamaian" dibuat, yang sesungguhnya merupakan perjanjian yang menguntungkan orang-orang kulit putih dan terpaksa disetujui oleh pemerintah Mancu. Yang merasa tidak puas dan marah adalah para pendekar yang mewakili rakyat untuk mempertahankan tanah air dari kekuasaan asing. Pemerintah Mancu adalah pemerintah asing yang menjajah. Pemerintah itu belum juga dapat dihalau,
Dan sekarang sudah bertambah lagi dengan bercokolnya orang-orang asing kulit putih yang menjajah melalui perdagangan! Tentu saja hal ini menambah adanya pemberontakan-pemberontakan dan kekacauankekacauan. Dan orang-orang kulit putih, untuk melindungi diri sendiri di tempat yang tidak aman itu, membentuk pasukan-pasukan keamanan sendiri, memperlengkapi diri dengan senjata api dan melalui para pedagang itu, mulailah orang kulit putih mendirikan pangkalan-pangkalan militer dengan dalih menjaga keamanan para warganya yang berdagang di negeri itu. Perang madat memang berakibat luas sekali. Perang madat ini menunjukkan bahwa kekuatan pemerintah Mancu yang sudah hampir duaratus tahun menjajah Tiongkok itu mulai kehilangan sinarnya, mulai lemah dan nampak awal-awal keruntuhannya.
Dan perang itupun membuka pintu bagi orang asing kulit putih untuk memperluas cengkeraman mereka terhadap negara itu melalui perdagangan yang dipaksakan oleh senjata api. Dan hal ini lambat laun akan menjadi penjajahan-penjajahan. Kekuasaan Kerajaan Mancu digerogoti, daerah-daerah kekuasaannya mulai dikuasai oleh orang-orang asing itu. Seperti dapat tercatat dalam catatan sejarah, Bangsa Perancis saja kelak dalam tahun 1862 akan menguasai Kamboja, kemudian dua puluh tahun kemudian menguasai An-nam (Viet-nam) setelah lebih dulu menguasai Cochin China pada tahun 1863. Juga Portugal kemudian menguasai Macao. Inggrispun bukan hanya puas dengan memiliki Hongkong, melainkan meluaskan kekuasaannya sampai akhirnya menduduki Birma yang tadinya mengakui kekuasaan pemerintah Ceng di jaman Kaisar Kian Liong.
Sejarah yang membuktikan bahwa pemerintah yang tidak disukai oleh rakyatnya, akan kehilangan kekuatannya. Betapapun kuatnya bala tentara yang dimiliki sebuah pemerintahan, namun tanpa dukungan rakyat, kekuatan itu akan rapuh. Sebaliknya, kalau pemerintah didukung rakyat, tidak akan mudah bagi kekuatan luar untuk merobohkannya. Hal ini adalah karena ajang yang dijadikan arena pertempuran adalah tempat dan milik rakyat, dan bantuan-bantuan rakyat inilah yang paling menentukan. Pihak lawan akan selalu dirongrong dan akan menjadi lemah kalau rakyat setempat setia kepada pemerintah yang disukainya, dan tidak akan dapat menguasai tempat yang telah direbutnya itu sepenuhnya.
Sebaliknya pasukan-pasukan pemerintah yang didukung oleh rakyat, dimanapun akan memperoleh bantuan-bantuan sehingga kedudukan mereka menjadi kuat. Dalam perang yang terjadi sebagai akibat dibakarnya madat yang amat banyak itupun nampak jelas sekali betapa manusia pada umumnya menjadi hamba daripada angkara murka yang dipupuk oleh nafsu ingin senang sendiri. Pamrih untuk menyenangkan diri sendiri inilah yang menghalau semua kesadaran dan kebijaksanaan, menimbulkan kekejaman, haus kemenangan dengan cara apapun juga. Dan melalui tindakan sewenang-wenang, sedangkan yang kalah hanya akan menurut, tentu saja dengan terpaksa dan dengan dendam kebencian mulai tumbuh di dalam hati,
Dan dendam ini akan terus tumbuh di dalam hati, dan dendam ini akan terus tumbuh membesar dan kelak tentu akan pecah menjadi lawanan dan pembalasan! Kita tinggalkan dulu keadaan pemerintah Ceng yang mulai lemah itu, dan marilah kita menengok peristiwa lain yang terjadi di sebuah puncak di Pegunungan Tapie-san. Seorang gadis dan seorang Kakek berjalan bersama-sama mendaki puncak itu. Mereka itu kelihatannya seperti seorang Kakek pengemis bersama seorang gadis yang pakaiannya juga penuh tambalan, seperti orang biasa saja yang banyak berkeliaran pada waktu itu, orang-orang yang miskin dan setengah terlantar sebagai akibat perang dan pemberontakan yang terjadi di mana-mana. Banyak rakyat yang pada waktu itu terpaksa pergi mengungsi, meninggalkan kampung halaman, rumah dan semua harta miliknya.
Kalau sudah merasa aman dan kembali, banyak yang sudah tidak dapat menemukan rumah mereka kembali, apa lagi harta milik mereka. Sudah habis dirampok dan dibongkar orang. Karena itu, banyaklah orang-orang yang jatuh miskin dan terlantar, berkeliaran tanpa tempat tinggal seperti halnya Kakek dan gadis itu. Akan tetapi sesungguhnya Kakek dan gadis ini bukan orang-orang terlantar, bukan gelandangan yang miskin dan tidak mempunyai tempat tinggal. Kakek itu usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, rambutnya yang awut-awutan itu cukup bersih. Kakek itu pakaiannya penuh tambalan, tangan kirinya memegang sebuah tongkat kayu butut dan sebuah kipas butut terselip di pinggangnya. Biarpun pakaiannya penuh tambalan, namun pakaian itu cukup bersih dan biarpun dia kelihatan miskin dan papa,
Namun dia selalu senyum-senyum sendiri, matanya yang sipit itu kadang-kadang berkedip-kedip lucu. Gadis itupun tidak kalah menariknya. Seorang gadis berusia kurang lebih delapanbelas tahun, dengan wajah yang manis, sepasang matanya lebar dan jeli. Memang pakaiannya butut penuh tambalan biarpun bersih, dan sepasangrambut yang gemuk hitam dan panjang itu dikuncir dua secara sederhana, tidak mengenakan perhiasan secuilpun, akan tetapi gadis ini memiliki wajah manis dan kulit yang nampak pada muka, leher dan tangannya amat putih bersih dan halus mulus, tubuhnya juga memiliki bentuk yang padat dan ramping menggairahkan, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum. Seperti juga Kakek itu, gadis ini mempunyai sebuah kipas yang tersembul di kantong bajunya.
Siapakah mereka? Mereka adalah penghuni-penghuni puncak Naga Putih di Pegunungan Wuyi-san dan Kakek itu bukan lain adalah Bu-beng San-kai (Jembel Gunung Tanpa Nama) atau lebih terkenal lagi dengan julukan San-tok (Racun Gunung), seorang di antara Empat Racun yang pernah menjadi datuk-datuk paling sakti di antara para datuk kau m sesat! Dan gadis itu adalah muridnya, murid tunggalnya yang bernama Siauw Lian Hong! Kita telah mengenal Lian Hong, puteri tunggal mendiang guru silat Siauw Teng di dusun Tung-kang dekat Kanton itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua tahun yang lalu Lian Hong ikut bersama gurunya mengunjungi Siauw-lim-si di mana Siauw-bin-hud menceritakan kepada para tamunya bahwa pusaka Giok-liong-kiam kini berada di tangan Hek-eng-mo Koan Jit, murid Thian-tok yang merampas pusaka itu dari tangan gurunya.
Ketika meninggalkan Siauwlim-pai, San-tok lalu memberi kesempatan kepada muridnya untuk pergi merantau selama dua tahun, selain untuk mencari jejak orang bernama Koan Jit itu, juga untuk meluaskan pengalaman dan memperdalam ilmu kepandaian yang selama ini dilatihnya. Kakek ini sudah percaya sepenuhnya kepada muridnya. Akan tetapi, belum juga lewat dua tahun, gadis itu telah kembali ke puncak Naga Putih di Pegunungan Wu-yi-san, menemui suhunya yang sedang tekun bersamadhi. Kakek itu tentu saja girang melihat muridnya yang amat disayangnya, dan lebih girang lagi hatinya melihat kenyataan bahwa muridnya itu juga mengenakan pakaian yang dihias tambalan! Hal ini saja menunjukkan bahwa murid itu berbakti dan setia kepadanya, melanjutkan "tradisi" keturunan perguruan yang suka memakai pakaian tambalan!
Lian Hong memberi hormat sambil berlutut di depan kaki gurunya yang juga menjadi Kakek angkatnya itu dan Kakek itu lalu bangkit dari pertapaannya. Dia mendengar laporan muridnya bahwa murid itu terpaksa menghentikan usahanya mencari jejak Hek-eng-mo Koan Jit yang menguasai pusaka Giok-liong-kiam, karena keadaan keruh oleh adanya perang madat. Kemudian gadis itu mengatakan bahwa karena sukar mencari jejak orang di waktu keadaan sekacau itu, di mana terjadi pertempuran-pertempuran kacau balau antara pasukan kulit putih yang menyerang dengan kapal-kapal besar, dan golongan yang anti pemerintah, juga golongan yang anti kulit putih, maka ia mengambil keputusan untuk menghentikan penyelidikannya dan pulang ke Puncak Naga Putih.
"Ah, Hong Hong, kenapa urusan perang saja membuat engkau mundur?" San-tok mencela muridnya.
"Kalau kita tidak mencari pusaka itu, tentu yang lain akan dapat menemukan lebih dulu. Mungkin dalam keadaan kacau karena perang, pusaka itu tidak ada artinya, akan tetapi kelak kalau sudah tidak ada perang, orang-orang akan kembali memperhatikan pusaka itu. Pemilik pusaka itu sama dengan bukti bahwa dia adalah orang yang paling lihai di dunia persilatan dan kalau engkau mampu merampasnya, maka namamu akan terangkat paling tinggi dan aku sebagai gurumu akan ikut merasa bangga."
"Suhu sebetulnya pusaka itu tidak terlalu menarik bagiku. Aku lebih tertarik untuk mencari musuh-musuh besarku, pembunuh Ayah ibuku. Akan tetapi ketika aku pergi ke Tungkang, ternyata si jahanam Ciu Lok Tai telah tewas bersama keluarganya ketika diserbu oleh pasukan pemerintah. Dan akupun belum berhasil mencari dua orang musuh lain, yaitu Gan Ki Bin dan Lok Hun yang sudah lama pindah dari Tung-kang dan tidak lagi menjadi pengawalpengawal Ciu Wan-gwe."
"Wah, jadi keluarga Ciu Wan-gwe telah terbasmi dan tewas semua oleh pasukan pemerintah? Sungguh aneh," kata Kakek itu.
"Bukankah dia mempunyai pengaruh besar di kalangan pejabat pemerintah?"
"Gara-gara pembasmian madat itu, suhu. Akan tetapi menurut keterangan, ada seorang puterinya yang dapat meloloskan diri, namanya Ciu Kui Eng dan kabarnya ia itu lihai sekali. Kelak aku akan mencarinya dan minta dia mempertanggungjawabkan dosa-dosa Ayahnya kepadaku."
"Jadi selama ini engkau sama sekali tidak peroleh jejak Koan Jit murid Thian-tok itu?" San-tok mendesak karena Kakek ini tertarik sekali untuk bisa mendapatkan pusaka Giok-liongkiam.
"Beberapa kali aku menemukan jejaknya, akan tetapi selalu hanya memperoleh jalan buntu. Akan tetapi jejaknya yang kedapati di daerah Tapie-san membawaku ke sebuah tempat yang luar biasa, suhu. Aku tidak menemukan dia di sana, jejaknya hilang lagi akan tetapi aku menemukan sesuatu yang amat aneh dan mengerikan."
Kisah Si Pedang Kilat Eps 24 Dewi Ular Eps 11 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 6