Pedang Naga Kemala 17
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
Tentu tenaganya yang sudah mulai menjadi lemah. Akan tetapi, pantai telah nampak tidak terlalu jauh. Dia harus berhasil, biarpun harus menghabiskan tenaganya. Dan Ci Kong menguatkan hati dan kemauannya, mengerahkan tenaganya dan terus berenang sambil menarik-narik balok yang kadang-kadang seperti "mogok" itu. Dia sama sekali tidak tahu betapa kalau dia sedang tidak memandang, gadis di atas balok itu menoleh kepadanya dan tersenyum mengejek, kadang-kadang tersenyum geli. Gadis itu, Kiki memang nakal sekali. Ia sengaja mempermainkan Ci Kong. Seperti kita ketahui, setelah melihat betapa penawannya berkelahi dengan orang yang datang membawa obor, Kiki terus menyembunyikan diri dengan baloknya di antara batu-batu karang.
Hatinya masih diliputi kepanikan. Penawannya itu lihai sekali dan pembawa obor yang kelihatannya hanya seorang petani itu tentu akan segera roboh dan tewas. Dan kalau penawannya kembali mencarinya, dan dapat menemukannya, tentu ia akan celaka. Akan tetapi, ia melihat betapa seorang di antara mereka tiba-tiba meloncat dan melarikan diri. Cuaca masih terlalu gelap dan ia berada di tempat yang cukup jauh sehingga ia tidak tahu siapa di antara dua orang itu yang melarikan diri. Maka iapun tetap menanti, dengan jantung berdebar tegang ketika ia mengintai dari tempat ia rebah terlentang, di balik batu-batu karang itu, betapa orang ke dua yang masih berada di pantai itu kini mencari-cari dengan pandang matanya ke permukaan air laut. Ia masih belum tahu siapakah orang itu. Penawannyakah? Ataukah petani pembawa obor?
Baru setelah sinar matahari menimpa orang itu dan ia melihat bahwa orang itu mengenakan pakaian petani, ia tahu bahwa orang ini si pembawa obor, sedangkan yang melarikan diri tadi tentu orang yang telah menawannya. Hatinya menjadi girang dan juga terheran. Kalau pembawa obor, petani ini dapat membuat penawannya melarikan diri, tentu berarti orang ini juga juga lihai lihai sekali! Dan ia belum tahu siapa orang ini, entah orang baik-baik ataukah orang yang bahkan lebih jahat dari pada penawannya tadi? Pikiran ini membuat Kiki menjadi gelisah lagi dan iapun takut kalau-kalau orang itu melihatnya dan berlompatan di atas batu-batu karang menghampirinya. Maka iapun cepat menggunakan kedua kakinya untuk mendorong batu karang dan meluncurkan tihang layar itu ke permukaan air laut bebas. Ia harus melarikan diri dari tempat ini, pikirnya.
Lalu ia melihat betapa petani itu mengejarnya sambil berenang. Dan melihat cara petani itu berenang, Kiki hampir tertawa. Kalau ia menghendaki, orang itu sampai mati takkan pernah dapat menangkapnya, walaupun ia hanya menggerakkan tihang layar itu dengan gerakan kedua kaki sebatas lutut saja. Maka iapun mempermainkan orang yang mengejarnya itu sambil diam-diam memperhatikan muka orang itu dari balik bulu matanya kalau mereka berada dalam jarak tidak terlalu jauh. Hampir ia tertawa keras ketika melihat betapa petani muda itu, yang kepandaiannya berenang hanya dangkal saja, terengah-engah kehabisan napas. Akan tetapi ketika kini sinar matahari sudah terang dan ia dapat melihat wajah petani muda itu dengan jelas, diam-diam ia tertarik.
Petani muda itu ternyata memiliki wajah yang gagah, tubuh yang tegap. Nampak jelas membayangkan kekuatan dalam tubuh itu. Karena melihat orang itu sudah kepayahan, Kiki menjadi semakin berani. Ia sengaja mendekatkan balok itu kalau si pemuda sudah tidak mengejar lagi karena kehabisan napas, akan tetapi menjauh lagi kalau dikejar. Seperti jinak-jinak merpati, dijauhi mendekat kalau hendak ditangkap terbang menghindar! Maka, terkejutlah hati Kiki ketika tiba-tiba saja baloknya terhenti karena tali itu disambar tangan Ci Kong. Ia sama sekali tidak tahu bahwa ada tali agak panjang terseret tihang layar itu. Ketika Ci Kong menarik tali dan balok itu meluncur, tak dapat ditahannya lagi Kiki mengeluarkan seruan kaget, hanya terdengar lirih karena ditekannya.
Kemudian ia mendengar suara pemuda itu yang bersyukur melihat ia masih hidup, menyuruh ia bertahan dan pemuda itu hendak menariknya ke pantai. Suara ini demikian halus dan lembut, dan jelaslah bahwa pemuda itu tidak mempunyai niat buruk, melainkan benar-benar hendak menolongnya. Berkurang kekhawatirannya, namun ia tetap waspada dan pura-pura pingsan, tidak bergerak maupun membuka mata ketika balok itu ditarik oleh Ci Kong melalui tali yang dipegangnya. Akan tetapi dasar berwatak nakal, diam-diam kedua kakinya utak-utik, diputar-putar sehingga kedua kaki itu menjadi penahan ketika balok ditarik, maka tidaklah mengherankan kalau Ci Kong merasa adanya perlawanan yang membuat balok terasa semakin berat. Dia memaksa diri dan akhirnya kedua kakinya menyentuh dasar laut, tak jauh dari pantai.
Dengan tenaga yang hampir habis, Ci Kong menyeret balok itu, berjalan terhuyung-huyung menuju pantai, seluruh tubuhnya terasa letih sekali. Tenaganya terasa hampir habis. Penggunaan tenaga di darat dan di air sungguh amat berbeda, terutama penggunaan pernapasan. Dan otot-otot di tubuh juga harus dibiasakan dengan suatu gerakan. Otot-otot yang biasa dipergunakan untuk latihan silat, biarpun seluruh tubuh bergerak, namun tidak ada gerakan silat yang seperti gerakan orang berenang yang harus mengulang terus-menerus gerakan kaki dan lengan secara tertentu. Otot-ototnya yang tidak biasa dengan gerakan ini tentu saja menjadi cepat lelah. Akan tetapi Ci Kong seorang pemuda gemblengan yang sejak kecil telah dididik dengan cara-cara Siauw-lim-pai yang keras dan tepat sekali.
Biarpun dalam keadaan teramat letih, ketika dia menarik balok itu ke pantai, diam-diam diapun mengatur pernapasan dan mulai menghimpun tenaga agar kekuatannya pulih. Akhirnya tiang layar itu dapat diseret sampai ke pantai, jauh dari air. Ci Kong menhentikan tarikannya, lalu berlutut di atas pasir dan memeriksa gadis itu. Dia menaruh telapak tangan di depan hidung dan mulut yang tak terbuka itu dan hatinya terguncang. Gadis itu tak bernapas lagi! Cepat dia meraba nadi pergelangan tangan dan mendapat kenyataan bahwa detik pergelangan itupun lemah sekali. Celaka, pikirnya. Kalau gadis ini tidak cepat bernapas kembali, denyut jantungnya akan makin melemah dan akhirnya berhenti! Dia teringat akan cara pengobatan terhadap orang yang baru saja tenggelam, yang sudah berhenti pernapasannya.
Paru-paru orang itu harus dibantu, itulah cara terbaik untuk memaksa orang itu bernapas kembali. Dan untuk membantu bekerjanya paru-paru yang sudah berhenti, cara terbaik adalah meniupkan napas ke dalam paru-paru itu melalui mulut, seperti orang meniup balon. Tiba-tiba jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah. Mana mungkin dia melakukan cara ini? Cara ini mengharuskan dia menutup lubang hidung gadis itu kemudian meniupkan pernapasan dari mulut ke mulut! Akan tetapi, kalau dia ragu-ragu, terlambat sedikit saja gadis ini akan mati! Ci Kong menoleh ke kanan kiri. Tidak ada orang. Tidak mengapa dia melakukan hal yang nampaknya tidak pantas itu kalau tidak terlihat oleh siapapun juga. Maksudnya kan untuk menyelamatkan nyawa, sama sekali bukan untuk berbuat kurang sopan. Betapapun juga, dia meragu dan diguncangnya pundak gadis itu.
"Nona... nona...! Sadarlah, nona...!" Akan tetapi ketika dia mengguncang pundak, hanya kepala nona itu yang terkulai ke kanan kiri dengan lemasnya, dan napas itu masih juga belum nampak bekerja!
Tentu saja Ci Kong tidak tahu bahwa gadis ini sejak kecil telah dilatih dengan ilmu bermain di dalam air dan telah mempelajari ilmu yang khusus untuk itu, ialah penghentian dan penahanan napas! Berkat latihannya, gadis itu dapat menahan napas sampai lama sekali di dalam air, hal yang tidak dapat dilakukan oleh dia sendiri sekalipun. Karena itulah, sejak tadi Kiki tidak bernapas. Tentu saja bukan karena ia pingsan, melainkan karena kenakalannya untuk menggoda orang, juga untuk melihat apa yang akan dilakukan penolongnya itu. Ci Kong lalu menggunakan jari-jari tangannya yang kuat membikin putus tali temali itu dan diam-diam Kiki terkejut dan kagum. Jari-jari tangannya telah membikin putus tali-tali tanpa banyak kesukaran. Ia sendiri belum tentu dapat melakukan hal ini karena tali itu telah menjadi ulet dan kuat sekali setelah terendam air.
Ia menjadi semakin berhati-hati dan biarpun kini kaki tangannya sudah bebas dan pemuda itu mengangkat badannya dengan menyorongkan lengan ke bawah punggungnya, kemudian menarik tihang layar itu sehingga tubuhnya terletak di atas pasir yang lunak dan hangat, ia masih pura-pura pingsan. Ia membiarkan jalan darah mengalir lancar kembali di kaki dan lengan yang tadi terikat kuat dan masih menahan napasnya. Karena pemuda petani itu telah membebaskan kaki tangannya, maka kecurigaannya berkurang. Makin yakin hatinya bahwa pemuda ini memang tidak mempunyai niat buruk seperti penawannya semalam, melainkan benar-benar hendak menolongnya belaka. Akan tetapi kenakalannya membuat ia ingin terus menggoda penolongnya ini, hendak dilihatnya apa yang akan dilakukan penolong yang lihai ini kalau melihat ia pingsan dan tidak bernapas lagi.
"Maaf, aku terpaksa harus melakukan ini untuk menolongmu, nona," tiba-tiba pemuda itu berkata lirih dan kedua tangan yang kuat itu lalu memegang dagu dan memencet hidungnya dan memaksa mulutnya terbuka, kemudian tiba-tiba Kiki merasa betapa mulutnya tertutup oleh sebuah mulut lain.
"Ihhh... dessss...!" Tubuh Ci Kong terlempar ke atas dan terbanting jatuh ke atas pasir ketika tiba-tiba Kiki menendang dan mendorong dadanya dengan kekuatan yang amat dahsyat.
"Ehhh... ahhhh...?" Ci Kong yang sama sekali tidak menduga hal itu dapat terjadi, tidak dapat menghindarkan dirinya yang ditendang dan didorong sedemikian kerasnya. Ketika tubuhnya terlempar ke atas kemudian terbanting, dia masih bengong dan kini matanya terbelalak memandang kepada Kiki dan dia terbatuk-batuk keras karena tendangan pada dadanya tadi sungguh amat keras.
Kalau bukan dia yang memiliki tubuh kuat terlatih, tentu akan roboh tewas atau setidaknya akan terluka parah. Kiki sudah meloncat berdiri setelah tadi menendang dan mendorong tubuh Ci Kong. Ia mengalami guncangan batin yang hebat ketika tiba-tiba merasa pemuda itu menempelkan mulut ke mulutnya. Teringatlah ia akan semua pengalamannya ketika penawannya semalam menggelutinya dan menciuminya, juga penawannya itu mencium mulutnya secara menjijikkan sekali. Kini, otomatis ia menggunakan lengan bajunya untuk menggosok-gosok bibirnya, seolah-olah hendak menghapus bekas sentuhan bibir Ci Kong juga sekaligus menghapus semua ciuman yang dilakukan oleh penawannya semalam. Mukanya menjadi merah, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi ditujukan kepada Ci Kong dengan penuh kebencian.
"Apa... apa yang kau lakukan tadi, nona...?" Ci Kong masih kebingungan, karena terkejut dan juga karena kesakitan.
"Membunuh manusia macam kamu...!" Kiki sudah menerjang dengan penuh kemarahan dan kebencian.
"Semua laki-laki sama! Kurang ajar, hanya ingin mempermainkan dan memperkosa wanita! Semua laki-laki harus dibunuhnya! Terjangan itu merupakan pukulan disusul tendangan yang dahsyat sekali. Karena Ci Kong masih belum percaya bahwa gadis yang telah diselamatkan nyawanya itu benar-benar akan menyerangnya, maka diapun masih lengah dan tidak membela diri dengan sungguh-sungguh. Akibatnya, biarpun dia dapat menghindarkan pukulan, tendangan itu tetap saja singgah di perutnya.
"Dukkk...!" Kembali dia terjengkang dan terbanting ke atas pasir. Untung pasir itu lunak dan dia sudah bersiap dengan melindungi perutnya menggunakan tenaga dalam sehingga dia hanya terjengkang dan terbanting saja, tidak menderita luka parah. Akan tetapi sebelum dia sempat bangkit, gadis itu seperti harimau betina saja sudah menyerbu lagi dengan tendangan-tendangan berikutnya yang ditujukan ke arah kepalanya. Barulah Ci Kong terkejut setengah mati karena tendangan-tendangan ini adalah tendangan-tendangan maut yang dapat membunuh orang. Cepat dia menggerakkan tubuhnya bergulingan lalu meloncat berdiri. Ketika gadis itu menyerbu dengan pukulan kedua tangan secara cepat dan bergantian. Ci Kong mengangkat kedua tangannya dan menangkis.
"Dukk! Plakk!" Dua kali dia menangkis dan tahulah dia bahwa gadis inipun, seperti orang yang menyerangnya semalam, memiliki tenaga sinkang yang kuat, gerakan-gerakan yang cepat dan serangan-serangan yang amat ganas. Jelaslah bahwa gadis ini tidak main-main karena semua serangannya merupakan serangan maut! Dia merasa penasaran sekali dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang ketika Kiki kembali menerjangnya.
"Tahan dulu, nona. Kalau engkau memang ingin membunuhku, setidaknya katakanlah padaku apa kesalahanku padamu. Jangan membuat aku mati penasaran." Mendengar suara yang lembut dan sopan ini, teringatlah Kiki bahwa pemuda ini mungkin tidak bermaksud berbuat tidak sopan, karena bukankah tadi pemuda itu mengatakan bahwa dia terpaksa melakukannya untuk menolongnya? Menempelkan mulut mereka! Ia bergidik.
"Engkau kurang ajar, engkau tiada bedanya dengan penjahat semalam. Engkau hendak berbuat hina dengan... men... mencium mulutku...!" Akhirnya ia berkata, mukanya berobah merah. Muka Ci Kong juga berobah merah sekali dan diapun menunduk, menarik napas panjang. Celaka, pikirnya, kiranya ketika dia melakukan usaha meniupkan napas ke paru-paru gadis itu melalui mulutnya, gadis itu sudah siuman dan melihatnya!
"Maaf, nona. Memang aku melakukan itu, akan tetapi bukan untuk berbuat kurang ajar, melainkan untuk menolongmu. Engkau pingsan, dan paru-parumu tidak bekerja, napasmu berhenti. Aku ingin meniupkan napas ke paru-parumu agar bekerja kembali. Dan jalan satu-satunya hanyalah meniupkan melalui mulut dan..."
"Bohong! Aku tidak pingsan! Paru-paruku tidak macet!"
"Ehh...?" Kini Ci Kong memandang dengan mata terbelalak, kemudian mukanya menjadi semakin merah.
"Kiranya selama itu engkau tidak pingsan? Ahhhh, kalau begitu engkau sungguh jahat sekali, nona. Aku mati-matian berusaha menolongmu, menyelamatkanmu, dan kau ... kau malah mempermainkan aku? Pura-pura pingsan, menahan napas... aihh, betapa jahatnya engkau. Aku hampir mati melawan penjahat yang agaknya menawanmu... kemudian aku hampir mati untuk kedua kalinya ketika aku mati-matian melawan ombak menyeret balok itu ke pantai... heiiii! Agaknya engkau pula yang punya ulah sehingga balok itu mampu bergerak ke sana ke sini menjauhiku, dan begitu berat ketika kuseret ke tepi sehingga aku kehabisan tenaga?" Kini pemuda itu memandang penuh perhatian dan penuh selidik. Kiki yang berwatak nakal itu tersenyum mengejek.
"Engkau memang tolol! Tapi agaknya engkau jujur. Benarkah kau ... kau tidak bermaksud kurang ajar ketika engkau tadi menempelkan mulutmu ke mulutku?" Ci Kong menggeleng kepala dengan keras.
"Aku bukan manusia macam itu, nona! Kalau tidak melihat engkau pingsan, atau pura-pura pingsan, dan melihat betapa napasmu berhenti, mana mungkin aku berani melakukan hal itu?"
"Benar-benar kau tidak sengaja menciumku karena kurang ajar?"
"Tidak!"
"Berani sumpah?" Ci Kong melongo.
"Sumpah...?"
"Ya, bersumpahlah bahwa engkau tadi tidak bermaksud mencium aku untuk kurang ajar. Engkau harus bersumpah demi nama baik orang tuamu, menyebutkan namamu dan nama orang tuamu, baru aku mau percaya!" Akan tetapi Ci Kong menggeleng kepala dan wajahnya dibayangi kedukaan.
"Tidak mungkin, nona..." Kiki mengerutkan alisnya, matanya menyinarkan api kemarahan lagi.
"Kenapa tidak mungkin? Berarti kau benar-benar telah..."
"Tidak mungkin karena Ayah ibuku telah lama meninggal dunia."
"Ahh...!" Jawaban ini sama sekali tidak disangka-sangka Kiki dan sinar matanya kehilangan api kemarahannya, bahkan ada sinar kasihan membayang di wajahnya yang manis.
"Baiklah, kalau begitu bersumpahlah demi nama baik gurumu dengan menyebut namamu dan nama gurumu." Gadis itu teringat bahwa pemuda ini lihai, tentu murid seorang sakti maka tak mungkin berani mempermainkan nama gurunya dan tidak berani berbohong.
"Nona, selama hidupku aku belum pernah bersumpah kecuali ketika menjadi murid suhu, bagaimana untuk urusan begini saja aku harus bersumpah. Untuk apakah? Bagaimana kalau aku bersumpah tanpa menyebut nama suhu segala?"
"Aku takkan percaya! Kalau engkau berani bersumpah demi nama gurumu, barulah aku mau percaya."
"Kalau aku tidak mau?"
"Aku tidak percaya dan berarti engkau bohong dan aku akan menyerangmu lagi, biar kita putuskan urusan ini dengan taruhan nyawa. Satu di antara kita akan menggeletak mati di sini!" Terpaksa Ci Kong tersenyum sedih. Dia sungguh tidak mengerti watak wanita.
Pernah dia menyelamatkan seorang gadis dari kematian, yaitu ketika dia menolong Ciu Kui Eng, akan tetapi gadis itupun segera menyerangnya mati-matian. Dan sekarang, dia mati-matian menolong gadis ini, hanya untuk menghadapi sikap yang aneh, bukan hanya memusuhinya, bahkan memaksa dia bersumpah segala dengan ancaman kalau dia menolak, dia akan diajak berkelahi sampai seorang di antara mereka mati. Adakah yang lebih aneh dan gila dari pada ini? Sejenak dia menatap wajah itu, mempelajarinya dan seperti ingin menjenguk isi hati gadis yang berwajah manis ini. Akan tetapi segera pandang matanya melekat pada wajah itu, terutama kemanisan pada mulut yang dihias tahi lalat di pipi itu membuat dia sukar mengalihkan pandang matanya, membuat matanya terus memandang tanpa kedip.
"Heii! Kenapa kau tidak cepat bersumpah malah bengong memandang aku?" bentak Kiki dan Ci Kong terkejut. Wajahnya kembali menjadi kemerahan.
"Baiklah, baiklah..." Dia mengalah agar cepat selesai berurusan dengan gadis luar biasa ini.
"Aku Tan Ci Kong..."
"Ah, jadi namamu Ci Kong dan kau she Tan?" Ci Kong mengangguk dan mengulang sumpahnya.
"Aku Tan Ci Kong, bersumpah demi nama suhu Nam San Losu..."
"Gurumu itu bernama Nam San Losu, apakah kedudukannya di tempat perguruanmu?" Ci Kong mengerutkan alisnya melihat kecerewetan gadis itu, akan tetapi dia menjawab juga.
"Suhu Nam San Losu seorang ketua kuil," lalu dia melanjutkan dengan mengulang kembali sumpahnya, "Aku, Tan Ci Kong, bersumpah demi nama suhu Nam San Losu dan para suhu di Siauw-lim-pai..."
"Aih, jadi engkau murid Siauw-lim-pai? Pantas engkau lihai! Menurut kata Ayah, tokoh Siauw-lim-pai yang paling lihai pada saat ini adalah Siauw-bin-hud. Apamukah Siauw-bin-hud itu?" Ci Kong menjadi jengkel, akan tetapi ditahannya pula.
"Beliau adalah Kakek guruku."
"Hanya Kakek guru? Jadi engkau hanya cucu muridnya? Ah, kalau begitu, untung engkau tadi tidak jadi berkelahi dengan aku."
"kenapa?"
"Kalau dilanjutkan, tentu engkau akan mati di tanganku. Menurut Ayah, kepandaian Siauw-bin-hud itu setingkat dengan Ayahku. Aku puteri Ayah, berarti muridnya, kepandaianku setingkat lebih rendah dari Ayah. Engkau hanya cucu murid Siauw-bin-hud, kepandaianmu tentu dua tingkat lebih rendah, jadi aku setingkat lebih tinggi daripada engkau. Maka, kalau kita berkelahi, engkau tentu akan mati. Eh, kenapa engkau belum juga bersumpah? Apa ingin berkelahi saja?" Agaknya mendengar bahwa pemuda itu hanya cucu murid Siauw-bin-hud, hati Kiki menjadi besar dan memandang rendah. Ci Kong menjadi gemas bukan main. Ingin rasanya dia membanting topi kalau saja saat itu ada topi di atas kepalanya.
"Nona, sampai setahun di sinipun aku tidak akan dapat bersumpah kalau engkau terus memotong-motong omonganku! Kalau memang engkau ingin aku bersumpah, tutup dulu mulutmu!" Ci Kong sudah merasa menyesal karena kemarahannya membuat dia mengeluarkan kata-kata kasar, dan dia tidak akan heran kalau gadis itu menjadi marah-marah oleh kekerasannya. Akan tetapi kembali dia melongo saking herannya. Gadis itu sama sekali tidak marah oleh kekasarannya, bahkan tersenyum demikian manisnya. Dia tidak tahu bahwa sejak kecil Kiki hidup di lingkungan yang kasar dan terbiasa oleh kekerasan, maka bahasa kasar yang dikeluarkan Ci Kong bahkan merupakan bahasa yang amat dikenalnya, sebaliknya sikap halus sopan malah membuat ia tak senang dan curiga.
"Baik, baik, bersumpahlah, Tan Ci Kong, aku yang salah tadi." kata Kiki sambil terkekeh. Dengan hati masih mendongkol, Gi Kong terpaksa mengulang kembali sumpahnya.
"Aku, Tan Ci Kong, bersumpah demi nama baik suhu Nam San Losu dan para suhu di Siauwlim-pai..."
"Termasuk Siauw-bin-hud...!" Kiki memotong lagi dan Ci Kong mengangkat telunjuknya memperingatkan, tidak memperdulikan ucapan Kiki dan melanjutkan saja,
"Aku bersumpah bahwa tadi aku sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap nona... eh, nona yang berdiri di depanku ini dan aku hanya bermaksud untuk meniupkan napas ke paruparunya untuk menyelamatkan nyawanya!"
"Apa-apaan itu sumpah tanpa menyebut namaku? Masa hanya nona yang berdiri di depanku?" Kiki mencela.
"Habis aku belum tahu namamu, disuruh menyebut apa?"
"Namaku Kiki!"
"Hemm, nama apa itu?" Ci Kong mengerutkan alisnya, merasa dipermainkan lagi.
"Kau tidak percaya? Namaku Tang Ki dan semua orang memanggilku Kiki."
"Ah, kau she Tang? Hemm, apakah ada hubunganmu barangkali dengan Tang Kok Bu yang berjuluk Hai-tok?" Sepasang mata yang indah jeli itu terbelalak.
"Ah, kau sudah mengenal nama Ayahku?"
"Ayahmu...?" Ci Kong benar-benar terkejut setengah mati. Dia berhadapan dengan puteri Hai-tok, seorang datuk iblis, seorang di antara Empat Racun Dunia yang amat jahat!
"Ya, kenapa kau kaget?"
"Pantas...!"
"Pantas apa? Jangan bicara seperti teka-teki. Hayo katakan, pantas bagaimana?" Kiki berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, sikapnya menantang sekali. Bajunya robek sanasini, basah kuyup melekat pada kulit tubuhnya, dan karena ia berdiri menantang dan membusungkan dada seperti itu, tubuhnya nampak indah menggairahkan, tubuh seorang gadis dewasa yang bagaikan bunga sedang mulai mekar,
Penuh dengan lekuk lengkung yang indah, tubuh yang penuh dan mulai masak. Ci Kong adalah seorang pemuda yang sejak kecil dididik kesopanan. Biarpun dia terpesona dan sejenak matanya melekat pada tubuh itu, namun dia cepat menundukkan pandang matanya. Namun, pandang mata yang sekilas itu cukup sudah untuk memancing senyum kemenangan pada bibir Kiki. Sejak peristiwa yang amat mengerikan di perahu semalam, ia telah menjadi dewasa benar dan telah sadar sepenuhnya akan daya tarik pada tubuhnya, sadar bahwa kau m pria kagum kepada wajahnya, kepada tubuhnya. Tadi dalam kagetnya, ingin sekali Ci Kong mengatakan "Pantas engkau sejahat ini!" akan tetapi setelah dia secara tak disengaja mengagumi keindahan tubuh Kiki, ingin dia berkata,
"Pantas engkau begini cantik!" dan kini dia menahan semua keinginan itu dan berkata,
"Pantas engkau demikian lihai." Menerima pujian ini, Kiki nampak senang. Ia seorang anak manja, maka pujian-pujian amat menyenangkan hatinya, apa lagi pujian itu keluar dari mulut pemuda yang baru dikenalnya dan yang ternyata amat menarik hatinya ini. Tanpa malu-malu kini Kiki memandangi tubuh Ci Kong, tubuh yang nampak tegap dan kuat, sebagian dada yang nampak karena bajunya terbuka dan robek di bagian pundak, juga karena pakaian itu basah kuyup, maka pakaian itu melekat pada kulit tubuh Ci Kong, membuat tubuhnya nampak jelas lekuk lekungnya. Melihat betapa gadis itu memandanginya, Ci Kong terpaksa memandang juga tubuh gadis itu. Dia merasa tidak enak dipandangi seperti itu dan untuk mengalihkan perhatian, dia berkata,
"Pakaianmu basah kuyup, engkau tentu kedinginan, nona."
"Hemm, sama saja. Engkau juga!"
"Tapi aku tidak kehilangan sepatuku dan kau ..." Ci Kong melihat ke arah sepasang kaki yang tidak bersepatu itu, kaki yang mungil, kecil dan putih kemerahan. Jantungnya tergetar dan kembali dia memaksa pandang matanya untuk lari dari kaki itu. Kiki meloncorkan kakinya bergantian.
"Sialan! Dan aku tidak punya sepatu lain, juga semua buntalan pakaianku lenyap. Gara-gara si keparat jahanam itu! Hemm, siapa dia? Tahukah engkau?" Ci Kong menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu, nona."
"Ci Kong, apa maksudmu dengan nona-nonaan? kau bukan anak buah Ayahku. Kalau anak buah Ayahku harus menyebut Siocia, akan tetapi kau bukan, maka kau tidak boleh menyebut nona-nona segala membuat aku merasa canggung. Namaku Kiki, lupakah kau ?" Ci Kong gelagapan. Belum pernah selamanya dia berdekatan dengan wanita, dan sekali berdekatan, dia bertemu dengan seorang gadis yang begini aneh luar biasa!
"Baiklah,... Ki... eh, Tang Ki... ehh..."
"Kiki!"
"Oya, Kiki."
"Kau tidak mengenal orang itu? Bagaimana rupanya? Engkau tadi berkelahi dengan dia, tentu engkau tahu bagaimana rupa orang itu. Aku hendak mencarinya dan kalau dapat kutemukan, akan kurobek-robek mulutnya sampai hancur lebur, akan kucabut hidungnya dan kuberikan kepada burung gagak, kulumatkan kepalanya..., ku..."
"Aku tidak dapat melihat mukanya, non... eh, Kiki. Cuaca amat gelap," potong Ci Kong yang merasa ngeri mendengar ancaman-ancaman sadis itu.
"Sayang sekali! Tapi tentu engkau dapat mengenal bagaimana bentuk tubuhnya, apa pakaiannya dan bagaimana ciri-cirinya!" Kembali Ci Kong menggeleng kepalanya.
"Aku tidak tahu. Terlalu gelap dan gerakannya terlalu cepat. Yang kuketahui hanya bahwa dia itu lihai sekali." Tiba-tiba gadis itu menghentakkan kakinya ke atas pasir.
"Hayaaa, kiranya engkau ini orang bodoh sekali, Ci Kong!" Ci Kong terkejut lagi, tidak mengerti mengapa gadis itu tiba-tiba memakinya bodoh.
"Aku... bodoh...?"
"Ya, bodoh sekali. Engkau hanya bilang tidak tahu, tidak tahu, kau bodoh sekali dan aku paling benci sama orang bodoh!" Ci Kong menghela napas panjang.
"Apa boleh buat, memang aku bodoh. Akan tetapi kalau engkau merasa dingin dan perlu mengganti pakaianmu untuk sementara agar engkau dapat menjahit bagian yang robek dan dapat mencuci bersih lalu menjemurnya, aku masih mempunyai bekal pakaian untuk sementara kau pakai." Berkata demikian, Ci Kong lalu mengambil buntalan pakaiannya yang disimpan tak jauh dari situ. Wajah Kiki nampak berseri gembira.
"Ah, bagus sekali, Ci Kong. Memang pakaianku ini perlu dicuci, dijemur dan dijahit. Wah, pakaianmu semua begini sederhana, seperti pakaian petani gunung. Pantasnya engkau dahulu menjadi Hwesio Siauw-lim-si saja," kata Kiki sambil memilih-milih satu stel pakaian. Ci Kong tersenyum. Dalam keadaan biasa seperti itu, harus diakuinya bahwa Kiki merupakan seorang gadis yang lincah jenaka dan gembira.
"Memang aku nyaris menjadi Hwesio , Kiki. Nah, kau ganti pakaianmu, biar aku bersembunyi dulu." Pemuda itu hendak melangkah pergi.
"Jangan pergi!" tiba-tiba Kiki membentak.
"Kau kira aku dapat kau tipu? Nah, berdiri saja di situ, akan tetapi engkau harus membelakangi aku. Awas, jangan berbalik sebelum aku mengatakan selesai!" Ci Kong tertegun, akan tetapi menahan senyum dan berdiri di tempatnya dan membalikkan punggung membelakangi gadis aneh itu. Kiki lalu menanggalkan semua pakaiannya yang basah kuyup, terus mengintai ke arah Ci Kong tanpa kedip, dan tergesa-gesa mengenakan pakaian Ci Kong yang sederhana itu. Tentu saja terlalu besar dan kedodoran, akan tetapi bagaimanapun juga pakaian itu menutupi seluruh tubuhnya dan ia merasa hangat oleh pakaian kering itu.
"Sudah selesai, kau boleh berbalik." Ci Kong berbalik dan sudah menahan diri agar tidak ketawa. Akan tetapi dia memang tidak perlu tertawa. Gadis itu dalam pakaian yang kebesaran tidak nampak menggelikan, bahkan nampak makin manis saja!
"Kiki, kenapa tadi kau bilang bahwa aku hendak menipumu?" Ci Kong yang merasa penasaran menuntut keterangan.
"Semua laki-laki sama saja! Genit dan ceriwis! Pernah ada dua orang anak buah Ayah kuhajar sampai hampir mampus karena mereka itu mengintai ketika aku mandi. Laki-laki paling suka mengintai wanita mandi atau tukar pakaian, dan kau pun seorang laki-laki. kau bilang mau pergi, siapa tahu engkau hanya sembunyi agar dapat mengintai aku selagi aku bertukar pakaian?" Hampir saja Ci Kong marah oleh tuduhan ini kalau dia tidak ingat bahwa gadis ini memang berwatak aneh, kekanak-kanakan dan kolokan sekali. Maka dia hanya tersenyum.
"Aku bukan laki-laki semacam itu, Kiki. Nah, sekarang aku yang mau berganti pakaian." Tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu pergi ke belakang batu-batu karang besar dan di sana dia berganti pakaian kering. Ketika dia kembali, Kiki nampak cemberut.
"Eh, kau mengapa?" Ci Kong bertanya.
"Kau memang bodoh. Aku bisa mencuci dan menjemur pakaianku ini, akan tetapi bagaimana dapat menjahit yang robek?" Ci Kong tersenyum. Disebut bodoh berkali-kali baginya kini tidak terasa seperti penghinaan, bahkan seperti kelakar saja, seperti kelakar sayang antara sahabat!
"Mungkin aku bodoh, akan tetapi kalau engkau butuh jarum dan benang, inilah!"
Ci Kong mengeluarkan jarum yang sudah ada benangnya cukup panjang dan menyerahkan benda itu kepada Kiki. Dia memang selalu membawa bekal jarum dan benang dalam buntalan pakaiannya. Kiki menerima benda itu dan agaknya lupa bahwa ia sudah mengatakan bodoh kepada Ci Kong, kini ia asyik mencoba untuk menjahit bagian pakaiannya yang robek. Akan tetapi Kiki adalah puteri tunggal Hai-tok Tang Kok Bu yang kaya raya. Sejak kecil ia dimanja dan dikelilingi pelayan-pelayan yang mengerjakan segala pekerjaan, mana ia pernah berkenalan dan menjamah jarum dan benang? Baru beberapa tusukan saja, tiba-tiba ia menjerit dan ibu jari tangan kirinya berdarah karena tertusuk jarum. Diam-diam Ci Kong merasa geli, akan tetapi dia tidak berani mentertawakan, hanya mendekati dan berkata,
"Biarkan aku yang menjahitkan bajumu yang robek itu, Kiki. Aku sudah biasa menjahit."
Tanpa berkata apa-apa Kiki menyerahkan bajunya dan Ci Kong lalu mulai menjahit bagian yang terobek dengan rapinya. Kiki menghisap sedikit darah dari ibu jari yang tertusuk jarum tadi, kemudian nonton pemuda itu menjahit dengan pandang mata kagum. Akan tetapi ia hanya pandai mencela, tidak pandai memuji sama sekali. Setelah bajunya selesai dijahit, gadis itu lalu diajak oleh Ci Kong menuju ke sebuah sumber air yang berada di lereng bukit kecil dekat pantai untuk mencuci pakaiannya. Sambil menanti pakaiannya kering, mereka duduk bercakap-cakap di bawah pohon sambil berteduh dari serangan panas matahari yang sudah naik tinggi. Kiki tidak menolak ketika Ci Kong menawarkan roti kering dan dendeng, dimakan sedikit-sedikit sambil didorong teh cair yang dibuat Ci Kong pagi tadi.
"Engkau tidak mungkin melanjutkan perjalanan dengan kaki telanjang, Kiki. kau pakailah sepatuku. Lumayan untuk sementara dapat melindungi kakimu."
"Sepatumu itu terlalu besar, mana bisa kupakai?"
"Mudah saja, dapat diganjal rumput kering. Nih, cobalah, kucarikan pengganjalnya." Biarpun nampak lucu karena sepatu itu kebesaran, dapat juga dipakai oleh Kiki dan tak lama kemudian pakaiannya juga sudah kering. Kini ia berganti pakaian di belakang batu-batu karang seperti yang dilakukan Ci Kong tadi tanpa banyak rewel sehingga diam-diam hati Ci Kong merasa girang. Setelah gadis itu muncul dari balik batu, memakai pakaiannya sendiri dan mengembalikan pakaian Ci Kong, gadis itu tersenyum gembira. Hanya sepatunya yang lucu, akan tetapi ia nampak cantik walaupun mukanya tidak dirias dan rambutnya masih awut-awutan.
"Sekarang aku akan pergi," katanya. Diam-diam Ci Kong terkejut dan dia merasa heran bukan main mengapa hatinya terasa tiba-tiba kosong dan kesepian mendengar betapa gadis ini mau pergi meninggalkannya. Akan tetapi dia menekan perasaan ini dan mengangguk.
"Harap engkau berhati-hati di dalam perjalanan, Kiki. Banyak orang jahat berkeliaran." Akan tetapi dia merasa menyesal mengeluarkan ucapan ini tanpa ingat bahwa yang diberi nasihat itu adalah puteri seorang datuk iblis, seorang tokoh kau m sesat! Kiki terkekeh.
"Aku sendiri puteri seorang datuk, masa takut terhadap orang jahat? Yang kutakuti adalah orang-orang yang pura-pura dan yang menyerangku dari dalam gelap." Ia bergidik teringat penjahat di dalam perahu semalam.
"Kau hendak pergi ke manakah?" Ci Kong tak dapat menahan hatinya bertanya.
"Aku hendak merantau... eh, baru aku ingat. Engkau begini lihai, tentu engkau banyak mengenal tokoh kang-ouw, bukan? Ci Kong, apa engkau mengenal seorang bernama Koan Jit, murid pertama dari Thian-tok?" Ci Kong terkejut, dan baru dia teringat bahwa gadis ini puteri Hai-tok, tentu saja mengenal Thian-tok dan murid-muridnya. Akan tetapi dia menekan perasaannya yang menegang dan menjawab,
(Lanjut ke Jilid 17)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)
Jilid 17
"Aku pernah mendengar namanya. Apakah engkau mengenal dia, Kiki? Dan mau apa engkau mencari dia? Kabarnya dia itu lihai dan berbahaya sekali." Dan kini Ci Kong mendengar jawaban yang membuat dia kembali bengong.
"Aku cari dia karena dia telah melarikan pusaka Giok-liong-kiam. Ayah menyuruh aku mencarinya dan minta pusaka itu dari tangannya."
"Kalau dia tidak menyerahkan?"
"Hemm, akan kujewer telinganya dan kuhajar dia sampai kapok dan kurampas pusaka itu." Hampir saja Ci Kong tertawa. Dia tidak percaya kalau Hai-tok yang menyuruh gadis ini pergi sendiri saja mencari Koan Jit. Seorang gadis yang masih begini mentah, yang seolah-olah seekor burung yang baru belajar terbang, tidak tahu tingginya langit dalamnya lautan luasnya bumi, disuruh mencari Koan Jit dan merampas Giok-liong-kiam? Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mengejek.
"Kiki, hati-hatilah. Seluruh tokoh kang-ouw mencari-cari Koan Jit itu dan semua orang pandai siap memperebutkan pusaka Giok-liong-kiam. Engkau baru berjumpa dengan aku saja sudah berani membicarakan urusan pusaka itu. Kalau orang lain yang mendengarnya, engkau bisa celaka."
"Aihhh, kau kira aku anak kecil? Kalau aku bicara terus terang denganmu, itu karena aku percaya padamu, tahu bahwa engkau seorang baik, apa lagi engkau murid Siauw-lim-pai walaupun murid tingkat rendahan saja. Sudahlah, katakan saja apakah kau tahu di mana dia berada?"
"Hek-eng-mo Koan Jit? Aku tidak tahu, Kiki, sungguh aku sendiri tidak tahu..." Ci Kong termenung karena dia sendiripun tidak pernah berhasil mencari tokoh itu. Dia sendiripun ingin dapat menemukan tokoh itu dan mencoba untuk merampas kembali pusaka Giok-liong-kiam untuk membersihkan nama Siauw-bin-hud.
"Sudahlah, mana kau tahu? Biar aku cari sendiri. Nah, selamat berpisah, Ci Kong, engkau baik sekali, lain waktu kita bertemu kembali," kata Kiki dan gadis ini sudah membalikkan tubuhnya lalu berjalan pergi. Akan tetapi baru beberapa langkah, ia seperti teringat akan sesuatu dan berhenti, lalu berbalik.
"CI Kong, engkau sudah bersumpah. Jadi benar engkau tidak menciumku, melainkan hendak meniupkan napas ke dalam paru-paruku yang kau kira macet?" Tentu saja Ci Kong terheran, akan tetapi dia mengangguk.
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar."
"Jadi engkau tidak ingin mencium aku, Ci Kong?" Sepasang mata pemuda itu terbelalak.
"Ah, Kiki..., itu... itu... tidak sopan namanya. Kita baru saja bertemu, mana aku berani melakukan perbuatan yang melanggar tata susila itu?" Kiki tersenyum, akan tetapi sepasang matanya memandang penuh selidik dan Ci Kong merasa seolah-olah sinar mata gadis itu dapat menembus ke dalam ruang dadanya dan melongok, mengintai isi hatinya.
"Andaikata kita sudah berkenalan lama, kita sudah menjadi sahabat, apakah engkau tidak ingin mencium aku, Ci Kong?" Tentu saja pertanyaan ini seolah-olah sebatang pedang yang ditodongkan di depan hidung pemuda itu. Dan dia tidak mau menjawab, bahkan masih bengong saking kaget dan herannya.
"Aku... aku... ah, aku tidak tahu..." Gadis itu mengerutkan alisnya. Jawaban ini mengesalkan hatinya. Entah bagaimana, ia merasa bahwa andaikata Ci Kong menciumnya, seperti yang dilakukan penjahat dalam perahu, mencium dengan lembut bukan paksaan, agaknya... ia tidak akan menolak dan akan merasa senang sekali. Akan tetapi tentu saja, Ci Kong tidak tahu!
"Tentu saja engkau tidak tahu, memang kau bodoh! Sudah kuketahui itu sejak tadi." Dan gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi, hatinya kecewa dan mendongkol, kakinya agak terpincang-pincang karena sepatu yang diganjal itu sungguh tidak enak rasanya, sama tidak enaknya dengan perasaan hatinya. Sejenak Ci Kong bengong mengikuti tubuh Kiki dengan pandang matanya, lalu dia menjatuhkan diri duduk di atas rumput, memegangi kepala dengan kedua tangan.
"Memang aku bodoh...!" Dan ini bukan pura-pura. Dia merasa benar-benar bodoh dan tidak mengerti sama sekali akan sikap Kiki! Setelah gadis itu tidak nampak bayangannya lagi, Ci Kong membayangkan wajah Kiki dan juga wajah Kui Eng. Ketika dia berjumpa dengan Kui Eng, diapun dibikin bingung dan tidak mengerti akan sikap gadis itu. Kini, bertemu dengan Kiki, dia menjadi semakin bingung. Betapa anehnya dan luar biasanya mahluk yang disebut wanita itu. Aneh, luar biasa, berbahaya, dan amat menarik hati! Dulu diapun tertarik sekali kepada Kui Eng, dan sekarang dia lebih tertarik lagi kepada Kiki, dengan wataknya yang angin-anginan, kekanak-kanakan, keminter, dan... mengguncangkan kalbu itu. Ci Kong lalu menggeleng kepala dan menjambak rambut sendiri.
"Ihh, mengapa engkau menjadi begini mata keranjang, heh?" Dan dengan kekuatan batinnya, diguncangnya dua bayangan wajah gadis itu sehingga buyar dan tak lama kemudian diapun meninggalkan tempat itu dengan kaki telanjang!
Sesuai dengan petunjuk yang diterima suhunya, Lian Hong menyelidiki jejak Koan Jit di selatan, karena perjalanannya itu membawanya ke daerah Kanton, maka timbul keinginan hatinya untuk menjenguk makam Ayah ibunya di luar kota Tung-kang, di sebuah tanah kuburan umum untuk orang-orang dusun yang sederhana. Kuburan ini memang berada di tempat sunyi di luar kota, di mana terdapat daerah perbukitan batu yang tandus dan banyak terdapat guha-guha di situ, disebut guha kelelawar karena di situ terdapat banyak kelelawar sehingga tempatnya menjadi kotor menyeramkan. Jarang ada orang suka mendatangi tempat ini, kecuali mereka yang mengunjungi kuburan nenek moyang pada waktu-waktu tertentu.
Perbukitan tandus itupun jarang didatangi orang karena tidak ada pohon, tidak ada kayu, yang ada hanya batu-batu besar. Daerah yang amat tandus dan mati. Dalam perjalanannya yang lalu ketika ia mencari jejak Koan Jit, ia pernah datang ke makam orang tuanya dan telah ditemukannya makam itu menurut petunjuk penduduk Tung-kang. Oleh karena itu, kini ia langsung saja pergi ke tanah kuburan itu walaupun hari telah menjelang senja. Bahkan ia mengambil keputusan untuk bermalam di kuburan orang tuanya malam itu. Akan tetapi, baru saja ia tiba di luar pagar tanah kuburan, ia berhenti melangkah, bahkan cepat menyelinap di antara nisan-nisan yang di tembok tinggi itu, karena ia melihat ada seorang gadis sendirian sedang berlutut di depan makam Ayah ibunya!
Tentu saja ia merasa terkejut dan heran sekali. Setahunya, Ayah ibunya tidak mempunyai sanak keluarga kecuali dirinya. Siapakah gadis itu? Dan mengapa pula gadis itu memberi penghormatan kepada makam Ayah bundanya? Karena merasa curiga, Lian Hong segera menyelinap dan menyusup-nyusup mendekat sambil bersembunyi, lalu mengintai dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Gadis itu cantik sekali dan sebaya dengan ia sendiri. Wajahnya manis sekali dengan sepasang mata yang tajam dan jeli seperti bintang kejora. Akan tetapi melihat sikapnya Lian Hong dapat menduga bahwa agaknya gadis ini bukan seorang gadis yang lemah. Yang membuat ia keheranan adalah ketika ia mendengar kata-kata bisikan yang keluar dari mulut gadis itu.
"Ji-wi tentu tidak mengenal aku," demikian gadis cantik itu berbisik, seolah-olah sedang bicara kepada Ayah bunda Lian Hong yang terus mengintai, "Akan tetapi aku tahu bahwa ji-wi adalah guru silat Siauw Teng dan isterinya yang dulu tinggal di Tung-kang dan yang tewas karena perbuatan jahat mendiang Ayahku Ciu Lok Tai. Ayah dan seluruh keluarganya telah binasa, oleh karena itu aku, Ciu Kui Eng, sebagai anak tunggalnya, sengaja mendatangi kuburan para korbannya untuk mintakan ampun bagi Ayah agar arwahnya tidak terlalu tersiksa di alam baka." Mendengar bisikan ini, hati Lian Hong merasa terharu. Ah, kiranya inilah puteri Ciu Lok Tai hartawan yang dulu menjadi penyebab kematian Ayah bundanya!
Puterinya yang kabarnya memiliki kepandaian tinggi itu. Dan kini, puteri hartawan itu mintakan ampun untuk dosa-dosa mendiang Ayahnya kepada para korban Ayahnya. Melihat ini saja sudah mendatangkan perasaan suka dan kasihan dalam hati Lian Hong. Tidak, ia tidak akan memusuhi gadis ini, biarpun tadinya memang ia mengandung maksud untuk menegur dan meminta pertanggungan jawab puteri keluarga Ciu atas dosa yang dilakukan Ciu Lok Tai terhadap orang tuanya. Gadis ini tidak tahu apa-apa dan ketika perbuatan keji Ayahnya berlangsung, tentu gadis ini masih kecil, sama dengan ia. Gadis ini tidak tahu apa-apa dan tidak adillah kalau gadis ini harus mempertanggungjawabkan perbuatan jahat Ayahnya. Melihat kini Kui Eng minta ampun untuk Ayahnya di depan kuburan itu, terhapuslah sudah semua ganjalan hati Lian Hong.
Ia tidak lagi menganggap keluarga yang tinggal satu-satunya ini sebagai musuh dan musuhnya hanya tinggal dua nama lagi, yaitu Gan Ki Bin dan Lok Hun! Sudah timbul keinginan hatinya untuk keluar dari tempat persembunyiannya, untuk memperkenalkan diri dan mengikat persahabatan dengan gadis cantik itu ketika tiba-tiba ia tertarik melihat berkelebatnya bayangan orang di seberang. Kemudian terdengar suara ketawa dan tahu-tahu telah meloncat seorang laki-laki di dekat Ciu Kui Eng yang juga terkejut dan gadis itu sudah meloncat bangun menghadapi laki-laki itu. Lian Hong tetap bersembunyi dan menonton dengan hati tegang. Melihat kemunculan laki-laki itu, Lian Hong dapat menduga bahwa laki-laki itu tentu seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
Ia tadi hanya melihat bayangan saja berkelebat dan tahu-tahu laki-laki itu telah berada di dekat Kui Eng. Laki-laki itu bertubuh tinggi kurus, mukanya yang berkulit kehitaman itu jelas membayangkan kekejaman, matanya yang mencorong hijau itu dan senyumnya yang sinis membayangkan kelicikan. Kepalanya mengenakan sebuah topi batok dan rambutnya yang gemuk hitam dikuncir, keluar dari belakang topinya dan melilit lehernya. Matanya yang mencorong seperti mata kucing atau mata burung hantu di waktu malam itu memandang ke arah Kui Eng dengan penuh kagum dan senyumnya makin menyeringai sadis. Melihat munculnya orang yang tak dikenalnya ini, yang memandangnya seperti itu dengan mulut menyeringai, Kui Eng menjadi marah.
"Bngsat dari manakah berani mengangguku!" bentaknya, siap untuk menyerang.
Akan tetapi laki-laki itu malah terkekeh, suara ketawanya seperti burung hantu dan hal ini tentu saja membuat Kui Eng merasa ngeri dan memandang tajam dan penuh keheranan, menduga-duga apakah yang dihadapinya ini bukan orang gila! Akan tetapi, tiba-tiba pria itu mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan tempat itu. Lian Hong yang berada dalam tempat persembunyiannya, terkejut bukan main ketika merasa betapa jantungnya terguncang keras. Tahulah ia bahwa pria itu telah mempergunakan tenaga khikang dalam suaranya dan suara itu merupakan serangan yang ganas dan berbahaya sekali. Maka iapun cepat menahan napas mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung dan telinganya. Kui Eng juga terkejut bukan main karena ia merasa betapa jantungnya terguncang.
Ia yang berdiri dekat pria itu dan yang menjadi sasaran serangan lengkingan itu, hampir saja roboh. Akan tetapi, sebagai murid Tee-tok yang sakti, tentu saja ia tahu apa yang harus dilakukannya menghadapi serangan tiba-tiba itu. Serangan suara itu datangnya terlalu mendadak sehingga ia kedahuluan atau kecurian, cepat ia mengerahkan sinkang dan memejamkan mata untuk beberapa detik. Inilah yang mencelakakannya. Dan agaknya ini pula yang telah diperhitungkan dengan masak oleh pria yang nampaknya amat cerdik itu. Begitu Kui Eng memejamkan mata, pria itu sudah mengeluarkan sehelai saputangan merah yang sudah dipersiapkannya dan sekali mengebutkan saputangan di depan muka Kui Eng, ada bubuk merah yang baunya harum keras memasuki hidung gadis itu. Kui Eng terkejut, maklum apa artinya itu ketika hidungnya menyedot bau harum keras.
Ia mengeluarkan teriakan dan meloncat ke belakang, akan tetapi ia terhuyung karena mulai dipengaruhi bubuk racun pembius. Ia seorang gadis yang lihai dan kuat, maka racun bubuk itu tidak membuatnya roboh, hanya terhuyung dengan kepala pening. Dan agaknya inipun sudah diperhitungkan oleh pria itu, karena dengan langkahnya yang lebar dia telah mengejar dan menyerang dengan kedua tangannya yang besar. Dua lengan yang panjang itu bagaikan ular-ular hitam meluncur. Andaikata ia tidak berada dalam keadaan pening, tentu Kui Eng tidak akan mudah dirobohkan. Akan tetapi gadis ini telah kecurian, telah menyedot bubuk racun pembius sehingga menghadapi serangan dua tangan itu, ia tidak mampu mempertahankan diri. Sebuah totokan pada pundaknya membuat ia terkulai lemas.
"Heh-heh-heh!" Pria itu lalu menyambar tubuh Kui Eng, dipanggulnya dan dibawanya lari pergi dari kuburan itu.
Lian Hong terkejut bukan main. Ia sendiripun tadi mengerahkan tenaga melindungi dirinya dari serangan suara maut itu. Dan melihat betapa Kui Eng ditawan, tentu saja timbul niat hatinya untuk membantu gadis itu. Akan tetapi ia teringat. Bagaimanapun juga, Kui Eng adalah puteri seorang yang amat kejam. Ia tidak mengenal Kui Eng dan belum tahu bagaimana watak gadis itu. Iapun tidak mengenal pria itu dan tidak tahu apa yang telah terjadi di antara mereka. Ia tidak tahu siapa yang bersalah di antara keduanya maka kini timbul perbuatan itu. Siapa tahu kalau-kalau Kui Eng yang telah melakukan kesalahan dan pria itu datang untuk menangkapnya atau membalas dendam? Ia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono dalam mencampuri urusan dua orang yang belum dikenalnya.
Maka iapun cepat membayangi tubuh pria yang melarikan Kui Eng. Orang itu, biarpun memanggul tubuh seorang gadis, dapat bergerak cepat bukan main, berloncatan di antara batu-batu yang besar seperti seekor kera saja. Akan tetapi Lian Hong juga seorang gadis yang memiliki ginkang yang tinggi sehingga tidak terlalu sukar baginya untuk membayangi terus. Tiba-tiba saja ia kehilangan orang yang dibayanginya. Lian Hong terkejut. Cepat ia menghampiri tempat di mana bayangan tinggi kurus itu melenyapkan diri. Ia hanya melihat sekumpulan batu-batu yang besar. Sama sekali tidak ada tempat untuk menyembunyikan diri, akan tetapi tiba-tiba saja orang itu telah lenyap. Lian Hong merasa penasaran dan ia mencaricari, menjenguk ke belakang setiap batu besar. Namun orang itu bersama tubuh Kui Eng lenyap seperti pandai menghilang saja!
Lian Hong yang merasa penasaran dan khawatir akan keselamatan Kui Eng, tidak mau meninggalkan bukit itu, terus berkeliaran mencari-cari. Sampai lama ia mencari, sampai senja mulai membawa kegelapan menyelimuti bukit, tetap saja ia tidak berhasil menemukan pria yang melarikan Kui Eng. Ia mulai putus harapan dan mulai mengira bahwa tentu laki-laki itu memiliki jalan rahasia dan kini tentu sudah jauh meninggalkan tempat itu. Ia mulai melihat-lihat ke sekeliling bawah bukit, berniat untuk meninggalkan tempat itu, kembali ke kuburan orang tuanya ketika tiba-tiba ia mendengar jerit suara wanita yang keluar dari dalam bukit, dari bawah tanah yang dipijaknya! Lian Hong meloncat dengan kaget. Bayangan itu tadi lenyap seperti ditelan bumi dan kini ada suara jeritan wanita dari bawah bumi. Ditelan bumi!
Ah, tentu saja! Kenapa ia begitu bodoh? Satu-satunya tempat di mana orang tadi melenyapkan diri, tentu di dalam bukit di bawah bumi, di bawah batu-batu itu. Tentu ada jalan rahasia ke situ. Terdorong oleh jeritan tadi yang ia duga tentu suara Kui Eng, Lian Hong mulai mencari-cari, mengguncang setiap potong batu, meraba-raba di dalam cuaca yang mulai gelap. Ia hampir putus asa karena batu-batu itu tidak ada yang menyembunyikan rahasia ketika tiba-tiba ada sinar mencorong dari celah-celah antara batu. Ia merasa girang sekali dan cepat ia meloncat mendekati batu-batu itu. Tak salah lagi. Ada sinar terang menyorot keluar melalui celah-celah batu, sinar yang datangnya dari bawah! Dengan hati-hati iapun mempergunakan tangannya yang dialiri tenaga sinkang untuk menggeser batu besar dan ia berhasil!
Di balik batu besar itu terdapat sebuah lubang terowongan ke bawah tanah! Dengan hati-hati sekali Lian Hong lalu menuruni lubang itu dan ternyata terdapat tangga batu menuju ke bawah dan ia dapat merayap ke bawah dituntun oleh sinar terang yang menyorot dari bawah. Akhirnya, tangga batu itu membawanya ke sebuah ruangan yang garis tengahnya tidak kurang dari enam meter dan ketika ia mengintai, hampir saja ia mengeluarkan seruan keras karena kaget, ngeri dan marah. Lian Hong mengintai dari balik pintu batu, dengan alis berkerut dan mata mencorong marah memandang ke dalam. Di tengah ruangan itu nampak Kui Eng berdiri dengan kedua lengan tergantung. Kedua pergelangan tangannya terikat ke atas dan tergantung, demikian pula kedua pergelangan kakinya. Dan pakaian gadis itu sudah robek-robek membuatnya hampir telanjang.
Bagian-bagian tubuh gadis itu nampak jelas di antara robekan-robekan yang membuat pakaian itu cabik-cabik dan hampir tanggal dari tubuhnya. Wajah gadis itu pucat sekali dan nampak titik-titik air mata membasahi mata dan kedua pipinya. Dan kini gadis itu memandang dengan mata terbelalak dan mulut menggigil ketika laki-laki tinggi kurus itu mengeluarkan seekor tikus yang dipegang pada ekornya sehingga tikus itu menggeliat-geliat ingin lepas. Pria itu berdiri sambil bersandar dinding batu. Sepasang matanya makin mencorong mengerikan, seperti mata setan ketika tertimpa sinar obor yang bernyala di atasnya. Mulutnya tersenyum sinis penuh kekejaman. Lebih mengerikan lagi, seekor ular besar melingkar di lehernya, dan kepala ular itupun terjulur ke depan, lidahnya keluar masuk seolah-olah ular itupun menggoda Kui Eng, hendak menjilati atau mematuk.
"Heh-heh-heh, Ciu Kui Eng, engkau masih berkeras kepala? Menyerahlah dengan baik-baik, dan aku akan menjadikan engkau isteri atau sekutu yang akan hidup penuh dengan kesenangan dan kemuliaan. Mari kita bina bersama, kita kejar kedudukan yang tinggi di dunia ini. Aku murid Thian-tok dan engkau murid Tee-tok, bukankah kalau kita berjodoh sudah tepat sekali? Untuk apa engkau ingin merebut Giok-liong-kiam dariku? Engkau takkan menang. Bukankah lebih baik kalau kita menjaganya bersama? Marilah, sayang, marilah manis, aku cinta padamu."
"Koan Jit, manusia iblis! Aku tidak sudi! Lebih baik bunuh saja aku. Aku tidak takut mati. Aku tidak sudi menjadi isterimu, aku tidak sudi kau sentuh!" Pria itu ternyata adalah Koan Jit! Mendengar ini, berdebar rasa jantung dalam dada Lian Hong. Kenyataan-kenyataan yang amat mengejutkan hatinya. Kiranya pria ini adalah Koan Jit, orang yang selama ini dicarinya! Dan lebih mengejutkan lagi, kiranya Kui Eng adalah murid Tee-tok, seorang di antara Empat Racun Dunia! Akan tetapi iapun melihat sikap Kui Eng yang menolak ajakan keji dari Koan Jit.
"Heh-heh-heh, nona manis. Aku sudah menyentuhmu sejak tadi, heh-heh. Kalau aku mau, sejak tadi aku sudah dapat memilikimu secara paksa. Akan tetapi aku tidak senang memaksa. Aku tidak ingin membunuhmu. Engkau merupakan pembantu yang amat baik. Kalau aku memperkosamu, tentu engkau akan kubunuh kemudian. Tiada gunanya. Sayang memperkosa seorang lihai sepertimu. Kalau aku butuh wanita, dengan mudah sekarang juga aku akan dapat memilih di antara mereka di mana saja. Akan tetapi aku butuh pembantu, butuh sekutu dan isteri. Dan kau lah yang tepat menjadi orang itu."
"Aku tidak sudi! Lebih baik mati!"
"Lihat ini!" Koan Jit mendekatkan tikus ke leher Kui Eng sehingga gadis itu mengeluarkan rintihan geli dan takut.
"Kau boleh pilih. Kusiksa dengan tikus dan ular ini sampai engkau hidup tidak matipun tidak dan pikiranmu akan berobah, membuatmu menjadi gila lalu kau kubebaskan sebagai orang gila yang telanjang bulat? Ataukah kuperkosa engkau dengan cara yang paling keji sehingga akhirnya engkau pun akan menjadi gila? Atau kupergunakan obat racun perangsang sehingga akhirnya engkau pun akan menyerahkan dirimu dalam keadaan tidak sadar dan terus setiap hari kujejali obat perangsang yang akhirnya akan meracuni dirimu dan membuat engkau menjadi gila lelaki? Atau kuserahkan engkau kepada anak buahku, orang-orang buas dan kasar, agar engkau dikeroyok oleh puluhan orang dari mereka dan akhirnya mampus dalam keadaan yang amat terhina? Nah, kau pilih antara semua itu, ataukah engkau mau menyerahkan diri dengan suka rela kepadaku, menjadi isteri, sekutu dan pembantuku yang terhormat? Nah, pilihlah sebelum terlambat."
Setelah berkata demikian, untuk menambah pengaruh ucapannya tadi, Koan Jit menggeser-geserkan tikus hidup itu di leher, dada dan perut Kui Eng. Tentu saja Kui Eng merasa jijik bukan main, jijik, geli dan ngeri sampai ia menggelinjang-gelinjang kegelian. Melihat gadis ini menggelinjang dan menggeliat, sepasang mata Koan Jit makin mencorong penuh nafsu yang mendidih. Tadi dia kurang berhasil ketika menggunakan ular. Ternyata Kui Eng, yang sudah biasa dahulu dilatih oleh gurunya mempergunakan banyak ular, tidak takut dan tidak ngeri melihat ular. Akan tetapi begitu dia mempergunakan seekor tikus, gadis yang gagah perkasa dan tidak takut mati ini menggelinjang-gelinjang penuh kengerian.
"Heh-heh-heh, pilihlah, manis, heh-heh-heh!" Koan Jit girang sekali melihat usahanya memaksa Kui Eng hampir berhasil dan makin giat dia menggeser-geserkan tikus hidup itu ke bagian-bagian tubuh yang paling peka. Sudah cukup bagi Lian Hong menonton semua itu. Ia kini yakin benar bahwa laki-laki tinggi kurus itu adalah Koan Jit, pencuri Giok-liong-kiam dari tangan Thian-tok dan orang yang selama ini dicari-carinya. Dan iapun sudah melihat betapa Kui Eng, walaupun puteri seorang hartawan jahat, walaupun murid Tee-tok, ternyata merupakan seorang gadis yang cukup baik. Gadis itu telah menyadari kesalahan-kesalahan yang dilakukan Ayahnya dan telah memperlihatkan kebaikan hatinya dengan mintakan ampun untuk arwah Ayahnya di depan kuburan korban-korban Ayahnya.
Dewi Ular Eps 2 Dewi Ular Eps 11 Rajawali Hitam Eps 2