Pedang Naga Kemala 18
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
Dan kini, setelah tertawan oleh Koan Jit, gadis itu menolak semua bujuk rayu Koan Jit untuk membantunya, bahkan memilih mati dari pada dijamah oleh penjahat berwatak iblis itu. Dua syarat ini cukup untuk menganggap Kui Eng seorang gadis yang baik dan patut diselamatkan dari ancaman yang lebih mengerikan dari pada maut bagi seorang gadis terhormat. Lian Hong bukan seorang gadis yang sembrono. Tidak, biarpun ia pendiam dan sederhana, namun ia seorang yang amat cerdik. San-tok, gurunya yang pernah menjadi datuk iblis itu, telah mendidiknya dengan tekun, bukan hanya dalam ilmu-ilmu silat tinggi, akan tetapi juga telah memberi tahu tentang segala kecurangan dan akal busuk di dunia persilatan kau m sesat. Ia sudah memperhitungkan masak-masak lebih dahulu sebelum bergerak.
Ia dapat melihat tadi cara Koan Jit merobohkan Kui Eng dan tahulah ia bahwa Koan Jit adalah seorang yang selain lihai ilmu silatnya, juga amat curang dan penuh muslihat. Oleh karena itu, kalau ia maju begitu saja menyerang Koan Jit dengan kekerasan, banyak sekali bahayanya dan mungkin saja ia tidak akan berhasil menolong Kui Eng, malah ia bisa tertawan pula. Dan ia harus berhasil menolong Kui Eng. Kalau gadis murid Tee-tok itu dapat ia bebaskan dari belenggu, maka mereka berdua tentu akan dapat mengalahkan Koan Jit. Maka iapun cepat menyelinap meninggalkan tempat pengintaiannya. Tak lama kemudian, selagi Koan Jit terkekeh gembira dan Kui Eng menggeliat-geliat saking gelinya ketika tikus itu meronta-ronta di dadanya, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali dari arah terowongan.
"Heii, tikus Koan Jit! Kalau memang gagah, jangan hanya mengganggu wanita, hayo keluar dan terima binasa!" Tentu saja Koam Jit kaget dan marah mendengar suara pria yang berat ini, yang datangnya dari atas dan suaranya menerobos memasuki terowongan.
Dimaki dan ditantang begitu, dia kehilangan nafsu berahinya yang berubah menjadi nafsu amarah. Dengan geram dia membanting binatang tikus yang tadi dipergunakannya untuk menggoda Kui Eng ke atas lantai sehingga tubuh binatang itu hancur berantakan dan darahnya muncrat ke mana-mana, kemudian dia meloncat keluar dari ruangan itu menerobos jalan terowongan untuk menghadapi musuh yang berada di atas. Tentu saja suara tadi keluar dari mulut Lian Hong yang merendahkan suaranya seperti suara pria dan dengan kekuatan khikang ia memindahkan suaranya sehingga seperti terdengar datang dari luar. Sebetulnya ia masih berada di terowongan itu, di luar ruangan di mana Koan Jit menyiksa Kui Eng dan ia bersembunyi di balik batu.
Pada saat Koan Jit berkelebat keluar, cepat sekali Lian Hong keluar dari tempat persembunyiannya, dengan beberapa loncatan saja ia sudah berada di dekat Kui Eng dan tanpa banyak cakap ia lalu menggunakan ujung gagang kipasnya menotok tiga jalan darah di punggung dan kedua pundak Kui Eng untuk membebaskan totokan yang membuat tubuh Kui Eng lemas. Kemudian, ia membantu Kui Eng melepaskan belenggu kaki tangannya, hal yang mudah saja dilakukan Kui Eng setelah ia terbebas dari totokan. Dapat dibayangkan betapa girang dan lega rasa hati Kui Eng ketika mendapatkan pertolongan ini. Iapun memandang kagum kepada gadis cantik yang menolongnya, karena orang yang berani menolongnya berani menentang Koan Jit dan tidak sembarang orang berani menentang seorang penjahat lihai seperti Koan Jit.
"Terima kasih," bisiknya.
"Siapa engkau?" Lian Hong tersenyum.
"Nanti saja kita bicara. Sekarang mari kita keluar dan kita hajar tikus busuk tadi." Teringat akan Koan Jit, Kui Eng mengepal tinjunya.
"Baik, mari kita bunuh jahanam Itu!" Dua orang gadis perkasa itu berloncatan keluar dari ruangan itu. Di lubang masuk menuju terowongan, hampir mereka bertumbukan dengan Koan Jit yang hendak masuk lagi. Tadi Koan Jit cepat keluar untuk mencari orang yang menantangnya, akan tetapi di luar sunyi saja, bahkan cuaca yang agak gelap karena malam sudah mulai tiba dan tidak nampak ada bayangan seorangpun manusia. Dia merasa heran, penasaran dan marah. Lalu dia teringat akan tawanannya yang ditinggalkan di dalam ruangan bawah tanah. Timbul kekhawatirannya kalau-kalau tawanan itu akan ditolong orang yang tadi mengeluarkan suara, maka diapun cepat masuk lagi.
Akan tetapi tiba-tiba ada dua bayangan orang berkelebat dari dalam dan seorang di antara mereka menyerangnya dengan tendangan berantai yang amat cepat dan dahsyat. Bukan serangan itu yang mengejutkan karena Koan Jit mampu meloncat ke belakang dan keluar lagi dari lubang itu untuk menghindarkan diri, akan tetapi yang membuatnya bengong dan marah sekali adalah ketika mengenal orang yang menendangnya adalah gadis yang pakaiannya compang-camping setengah telanjang, bukan lain adalah tawanannya tadi, Ciu Kui Eng! Dan kini Kui Eng sudah meloncat keluar, diikuti seorang gadis lain yang memiliki sepasang mata yang lebar, indah dan sinar matanya tajam sekali. Dengan hati penuh kegeraman dia dapat menduga bahwa tentu gadis bermata lebar ini yang telah membebaskan Kui Eng.
"Keparat, siapa kau berani menantangku!" bentaknya. Akan tetapi Kui Eng yang sudah tidak dapat menahan lagi kemarahan hatinya, tanpa banyak cakap lagi tidak memberi kesempatan kepada Koan Jit untuk bicara,
Ia sudah menyambar sepotong kayu yang terletak di atas tanah dan dengan tongkat ini iapun lalu menyerang dengan ilmu yang paling diandalkan oleh Tee-tok gurunya, yaitu Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam Pengejar Nyawa)! Dan Lian Hong memang juga tidak ingin banyak bicara dengan Koan Jit, maka iapun cepat membantu Kui Eng dengan serangan senjata kipasnya. Dengan gerakan aneh gagang kipasnya menyambar-nyambar dahsyat menghujankan totokan-totokan maut ke arah jalan darah di tubuh bagian depan lawan. Menghadapi serangan dua orang gadis itu, Koan Jit terkejut bukan main. Melihat betapa tongkat di tangan Kui Eng itu hanya sebatang cabang pohon akan tetapi dapat berubah menjadi senjata yang luar biasa ampuh dan berbahayanya, dia tidak merasa heran karena maklum betapa lihainya guru gadis itu.
Akan tetapi melihat betapa kipas di tangan gadis bermata lebar itu tidak kalah hebatnya dari tongkat Kui Eng, ia benar-benar terkejut dan terpaksa dia mengerdahkan seluruh kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri dari cengkeraman maut. Dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, sedikitpun tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Demikian hebatnya dua orang gadis itu menyerang! Koan Jit mengenal lawan tangguh. Memang ada rasa penasaran di dalam hatinya bahwa dia kehilangan Kui Eng yang sudah berada dalam cengkeramannya, dan merasa penasaran pula dia bahwa dia tidak mampu mengalahkan dua orang gadis muda. Akan tetapi karena dia tahu bahwa kalau dia terlalu lama menghadapi dua orang gadis ini, mungkin saja dia akan celaka di tangan mereka, maka diapun mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan itu.
Akan tetapi sekali ini, Kui Eng dan Lian Hong sudah siap. Mereka tahu bahwa lawan ini memiliki ilmu semacam gerengan harimau yang berbahaya, maka merekapun cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi diri masing-masing sehingga tidak sampai didahului daya serangan suara itu. Sambil melindungi diri dengan pengerahan sinkang, tongkat dan kipas di tangan dua orang gadis itu masih terus menyambar-nyambar dahsyat menghujankan totokan dan pukulan maut ke arah tubuh Koan Jit. Koan Jit mengeluarkan saputangan merahnya. Akan tetapi juga untuk menghadapi itu, Lian Hong dan Kui Eng sudah siap siaga. Maka ketika Koan Jit mengebutkan saputangannya, dua orang gadis itu sudah menahan napas dan kini tongkat di tangan Kui Eng menyambar ke arah saputangan itu pada saat kipas Lian Hong menotok pinggang.
"Brettt...!" Saputangan merah itupun terobek oleh ujung tongkat! Koan Jit mengeluarkan seruan kaget dan sekali meloncat dia telah pergi jauh dan tanpa menoleh atau merasa malu-malu lagi, Koan Jit yang merasa betapa dua orang gadis itu merupakan lawan yang terlalu berat, dan selain itu juga dia khawatir kalau-kalau Tee-tok, guru Kui Eng muncul, segera melarikan diri.
"Jahanam busuk, hendak lari ke mana kau ?" Kui Eng membentak dan mengejar, diikuti Lian Hong. Akan tetapi Koan Jit memang memiliki ginkang yang luar biasa. Tubuhnya berkelebat cepat dan walaupun dua orang gadis itupun memiliki ginkang yang hebat pula, namun tidak mampu menyusul Koan Jit yang menghilang di antara pohon-pohon yang gelap. Apa lagi Koan Jit mengenakan pakaian serba hitam, maka sukarlah untuk mengejarnya setelah dia masuk hutan. Dua orang gadis itupun maklum betapa berbahayanya mengejar seorang licik macam Koan Jit itu di dalam gelap, apa lagi pakaian orang itu hitam. Terpaksa mereka menghentikan pengejaran mereka di luar hutan.
Baru sekarang dua orang gadis itu memperoleh kesempatan untuk saling berkenalan dan bicara. Mereka berdiri saling pandang. Keduanya sebaya dan memiliki bentuk tubuh yang hampir sama. Keduanya memang cantik dan manis, akan tetapi memiliki daya tarik yang berbeda. Lian Hong adalah seorang gadis yang amat sederhana, baik pakaiannya maupun gerakgeriknya, dan daya tariknya yang paling kuat terletak pada sepasang matanya yang lebar. Mukanya berbentuk bundar dan kulitnya halus putih dengan sepasang alisnya yang hitam nampak menyolok di wajah yang putih itu. Sedangkan Kui Eng berwajah bulat telur, sepasang matanya tajam dan mengandung keangkuhan, dan agaknya daya tarik yang paling kuat terletak pada mulutnya yang amat manis itu, manis menggairahkan.
"Adik yang manis, engkau telah menyelamatkan aku dari cengkeraman bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut. Aku berterima kasih sekali," kata Kui Eng.
"Sudahlah, Enci. Wanita manapun melihat kekejian Koan Jit itu terhadap dirimu, tentu akan berusaha untuk menolongmu. Jahanam itu memang pantas dilenyapkan dari permukaan bumi."
"Siapakah namamu?"
"Aku bernama Lian Hong."
"Adik Hong, namaku Ciu Kui Eng. Mudah-mudahan di lain kesempatan aku akan dapat membalas budimu..."
"Sudahlah, Enci Kui Eng. Sudah kukatakan tadi, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Maaf, sekarang aku harus pergi. Sampai jumpa lagi."
"Eh, nanti dulu, adik Hong!" Kui Eng menahan dan memegang lengan Lian Hong yang tentu saja tidak jadi meloncat pergi.
"Engkau hendak kemana?"
"Aku... aku mau mengunjungi makam orang tuaku."
"Eh? Malam-malam begini mengunjungi makam?" Kui Eng bertanya heran. Lian Hong mengangguk, lalu melanjutkan lirih,
"Aku malah mau bermalam di sana. Nah, selamat tinggal, Enci Kui Eng." Dan kini iapun meloncat pergi dengan cepat sebelum Kui Eng sempat mencegahnya. Sejenak Kui Eng termangu, kemudian iapun cepat berkelebat melakukan pengejaran. Hatinya masih belum puas. Ia ingin mengenal gadis penolongnya itu lebih dekat lagi,
mengetahui segala hal tentang gadis itu, murid siapa dan bagaimana tadi dapat menolongnya dan datang pada saat yang demikian tepatnya. Bahkan ia ingin sekali menguji kepandaiannya sendiri dengan gadis itu, menguji secara persahabatan untuk menambah pengalaman dan pengetahuan. Lian Hong tiba di depan makam Ayah ibunya. Bulan sepotong sudah mulai memuntahkan sinarnya yang lembut sehingga cuaca malam itu remang-remang kuning kehijauan dan romantis. Gadis itu lalu berlutut di depan makam, memberi hormat di dalam batin. Sampai lama ia berlutut tanpa bergerak sampai ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ia waspada dan cepat menengok, tubuhnya siap menghadapi segala kemungkinan. Kiranya Kui Eng yang berdiri di belakangnya. Sepasang mata Kui Eng terbelalak dan mukanya yang tertimpa sinar bulan itu nampak pucat.
"Ini... ini bukan orang tuamu...? kau ... kau puteri mendiang guru silat Siauw Teng dari Tung-kang?" Lian Hong menarik napas panjang. Sebetulnya ia tidak menghendaki Kui Eng mengenalnya, akan tetapi apa boleh buat. Ia tidak mengira bahwa gadis itu akan membayanginya dan menyusul ke situ.
"Benar, ini kuburan Ayah ibuku."
"Tapi... tapi... kau tahu mengapa mereka tewas?"
"Aku tahu. Mendiang Ayahmu yang menyebabkan mereka tewas, dan Ayah tewas di tangan Gan Ki Bin dan Lok Hun."
"Ahhh... engkau tahu bahwa pembunuh orang tuamu adalah Ayahku... dan engkau telah menolongku, menyelamatkan aku. Aih, adik Hong... aku... aku sungguh menyesak sekali atas perbuatan Ayah terhadap orang tuamu..."
"Aku tahu, Enci Kui Eng. Aku melihatmu tadi ketika engkau memintakan ampun kepada orang tuaku atas perbuatan Ayahmu, sampai kau ditawan Koan Jit."
"Ahhh... dan engkau pergi membayangi kemudian menyelamatkan aku? Padahal Ayahku dahulu menghancurkan dan membinasakan keluarga Ayahmu? Betapa mulia hatimu, adik Lian Hong."
"Sudahlah, Enci Eng, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi," kembali Lian Hong mencegah. Ia tidak senang kalau dipuji-puji. Akan tetapi, Kui Eng kini malah duduk di dekatnya, di depan makam.
"Bagaimana tidak akan dibicarakan? Engkau begini baik. Orang tuamu dahulu juga orang gagah. Tidak seperti aku. Biarpun kami hidup kaya raya, akan tetapi Ayah telah melakukan banyak hal yang buruk. Dan sekarang kami sekeluarga tertumpas habis. Aku kehilangan Ayah ibuku, bahkan kehilangan segala milik keluargaku. Aku juga menjadi seorang yang tidak mempunyai apa-apa lagi. Engkau masih mempunyai nama baik, nama terhormat. Sebaliknya aku mempunyai apa lagi? Nama keluargaku busuk, dan aku bahkan menjadi murid seorang datuk sesat."
"Aku tahu, engkau murid Tee-tok. Kudengar itu dari kata-kata Koan Jit tadi. Akan tetapi, gurumu agaknya tidak lebih buruk dari pada guruku, karena guruku juga seorang di antara Empat Racun Dunia." Hampir Kui Eng melompat. Dipegangnya pundak Lian Hong dan wajah yang tadinya sedih itu kini berseri.
"Aih, engkau murid San-tok! Aku tahu. Ilmu silatmu dengan kipas tadi! Siapa lagi gurumu kalau bukan Si Racun Gunung? Pantas engkau begini gagah perkasa, adik Hong. Wah, kalau begini kita ini segolongan!" Akan tetapi Lian Hong tidak segembira Kui Eng walaupun ia tersenyum melihat kegembiraan yang mengubah wajah Kui Eng yang tadinya berduka itu.
"Golongan apakah maksudmu, Enci Kui Eng?"
"Golongan... eh, maksudku, bukankah guru-guru kita segolongan?"
"Golongan sesat? Golongan hitam? Golongan penjahat?"
"Ehh... ohhh... Bukan begitu, tapi... Yaah, perlukah kita menutupi kenyataan bahwa kita adalah murid-murid mereka lalu kita juga harus menjadi orang-orang sesat? Maukah engkau menjadi segolongan dengan orang-orang seperti Koan Jit tadi?"
"Tidak sudi!"
"Akan tetapi diapun murid seorang di antara Empat Racun Dunia. Dia murid pertama dari Thian-tok."
"Akan tetapi aku tidak sudi menjadi segolongan dengan jahanam itu. Lain kali, kalau bertemu dengan dia, aku pasti akan mati-matian menyerangnya, dia atau aku yang akan mati!" Lian Hong tersenyum dan dalam percakapan ini, ia merasa cocok dengan Kui Eng. Bagaimanapun, ia sudah membuktikan bahwa murid Tee-tok ini ternyata tidak menyukai pula kejahatan. Kebaikan pertama dari Kui Eng adalah ketika gadis itu memintakan ampun atas dosa Ayahnya kepada makam Ayah ibunya, dan kedua kalinya ia melihat sendiri betapa Kui Eng mati-matian mempertahankan kehormatannya, rela mati dari pada harus tunduk atas bujuk rayu Koan Jit. Dua hal ini saja sudah membuat ia merasa suka kepada Kui Eng.
"Enci Kui Eng, menurut pendengaranku ketika Koan Jit bicara kepadamu tadi, engkau hendak merampas pusaka Giok-liong-kiam darinya. Benarkah itu?" Kui Eng mengerutkan alisnya.
"Aku sendiri tidak ingin memiliki pusaka itu. Sejak kecil aku hidup dalam keluarga Ayah yang kaya raya sehingga aku tidak ingin lagi memperebutkan segala macam benda-benda berharga walaupun kini aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Akan tetapi, keluargaku sudah terbasmi, dan aku teringat akan pesan suhu tentang Giok-liong-kiam.
"Suhu yang menghanjurkan agar aku ikut memperebutkan pusaka itu karena siapa yang memiliki pusaka itu dapat dianggap sebagai orang yang paling lihai. Nah, karena itu akupun mulai melakukan penyelidikan dan mencari jejak Koan Jit. Siapa tahu, kiranya dia malah yang menawanku lebih dulu secara curang dan dia tahu bahwa akupun ingin merampas pusaka itu dari tangannya. Dan bagaimana denganmu, adik Hong? Sebagai murid San-tok, kiranya engkau pun tentu ada kepentingan dengan pusaka itu." Lian Hong menarik napas panjang.
"Semua orang di dunia persilatan agaknya memperebutkan pusaka itu dan terus terang saja, guruku juga menghendakinya. Akupun sedang mencari jejak Koan Jit, dan sungguh tak kusangka akan dapat bertemu dengannya. Ketika dia menawan, aku ragu-ragu tidak tahu siapa dia dan apa urusan antara dia dan engkau maka dia menawanmu. Karena ragu-ragu inilah maka aku tidak turun tangan di sini, melainkan membayanginya. Baru setelah aku mendengar ucapannya bahwa dia adalah Koan Jit dan bahwa dia hendak memaksamu, aku lalu turun tangan."
"Caramu menolongku cerdik bukan main, adik Hong. Tentu engkau yang mengeluarkan suara tantangan mirip suara pria itu, bukan?"
"Benar, aku melihat cara dia merobohkanmu dengan saputangan merah itu dan tahu bahwa dia berbahaya sekali. Maka aku lalu mempergunakan siasat memancing harimau keluar dari sarangnya. Begitu dia tertarik oleh suara tantanganku dan saking marahnya dia langsung keluar sehingga tidak melihat aku yang bersembunyi di luar ruangan bawah tanah itu, aku lalu membebaskanmu. Aku yakin, kalau kau bebas, kita berdua pasti akan mampu mengalahkannya."
"Pasti! Sayang dia licik sekali, menggunakan pakaian hitamnya dan kegelapan malam untuk menghilang ke dalam hutan. Kalau tidak, tentu aku berhasil meremukkan kepalanya, akan kuinjak-injak kepalanya sampai hancur berantakan!" Kui Eng mengepal tinju dengan hati panas sekali, teringat kembali akan penghinaan Koan Jit terhadap dirinya.
"Engkau harus berhati-hati terhadap lawan seperti itu, Enci. Enci Kui Eng, bagaimana engkau tahu bahwa aku lebih muda darimu? Begitu bicara, engkau menyebut adik kepadaku. Siapa tahu aku lebih tua."
"Aku dapat menduga bahwa engkau tentu lebih muda dariku. Berapa usiamu sekarang?"
"Aku sudah delapanbelas tahun."
"Dan aku sudah sembilanbelas. kau lihat, bukankah aku yang lebih tua?"
"Enci Kui Eng, ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu dan mudah-mudahan kau dapat membantuku dalam hal ini."
"Ah, aku akan senang sekali kalau dapat membantumu, adik Hong. Tanyakanlah, apa yang ingin kau ketahui itu?"
"Alamat dua orang bekas pembantu Ayahmu. Gan Kin Bin dan Lok Hun." Wajah Kui Eng menyuram karena pertanyaan ini mengingatkan akan semua perbuatan Ayahnya yang jahat dan kotor.
"Hemm, dua ekor anjing penjilat itu sudah lama tidak lagi membantu Ayah. Mereka kini tinggal di Kanton dan kabarnya menjadi pengawal pembesar di sana."
"Terima kasih, besok aku akan mencari mereka di Kanton."
"Aku ikut, aku akan membantumu menghadapi dua ekor anjing penjilat itu, adik Hong." Akan tetapi Lian Hong menggeleng kepala.
"Ini adalah urusan pribadi, Enci, tidak usah engkau mencampuri." Ketika Kui Eng hendak membantah, Lian Hong membuka buntalan pakaiannya.
"Sudahlah, kau pakai pakaian ini untuk mengganti pakaianmu yang sudah hancur itu." Dan ia menyerahkan satu stel pakaian luar dalam kepada Kui Eng dan ia sendiri pergi mencari kayu dan daun untuk membuat api unggun karena selain malam agak dingin, juga ditempat itu terdapat banyak nyamuk. Mereka duduk menghadapi api unggun, saling pandang di bawah sinar api unggun yang terang kemerahan. Melihat Kui Eng memakai pakaiannya, ada perasaan akrab dalam hati Lian Hong terhadap gadis itu, sebaliknya Kui Eng juga merasa akrab terhadap Lian Hong setelah mengenakan pakaian kawan baru itu. Mereka saling pandang sejenak, kemudian terdengar Lian Hong menarik napas panjang.
"Betapa anehnya hidup ini. Lihat diri kita berdua ini. Kita datang dari dua keluarga yang jauh berbeda..."
"Ya, aku dari keluarga kaya raya yang jahat, engkau dari keluarga miskin yang menjadi korban kejahatan keluargaku," sambung Kui Eng dengan suara penuh sesal.
"Sudahlah, Enci Eng. Luka tidak perlu digosok dan digosok lagi sampai berdarah kembali. Maksudku bukan demikian. Kita datang dari keluarga yang jauh berlainan, akan tetapi lihat. Kita berdua kehilangan keluarga, kehilangan segala-galanya, dan kini duduk menghadapi api unggun dalam keadaan yang sama. Tidak mempunyai apa-apa. Tidak mempunyai masa depan yang cerah. Belum tahu harus kemana dan bagaimana macamnya jalan hidup kita yang terbentang di depan."
"Ya... ya, kita berdua ini adalah korban-korban. Siapakah yang bersalah?"
"Siapa lagi kalau bukan candu? Ini kesalahan orang-orang kulit putih yang celaka itu! Merekalah yang memasukkan candu dan menyebar racun. Racun candu yang merusakkan rakyat pecandu secara lahir batin, racun korupsi di antara pejabat."
"Kukira tidak demikian. Andaikata orang kulit putih tidak memasukkan candu, akhirnya para pecandu akan mencari sendiri dengan segala caranya. Yang salah adalah pemerintah, yang lemah dan para pembesarnya hanya mementingkan diri sendiri saja, sama sekali tidak memperdulikan keadaan rakyat." Kui Eng mengangguk-angguk.
"Akupun sudah mengambil keputusan untuk membantu para pendekar yang hendak mengusir pemerintah penjajah Mancu!"
"Ssttt, ucapan itu kalau terdengar pemerintah sama saja dengan keputusan mati untuk kita. Akan tetapi akupun diam-diam menaruh rasa kagum terhadap mereka dan kalau terdapat kesempatan, akupun tentu akan membantu." Malam itu mereka bercakap-cakap secara akrab dan karena mereka khawatir kalau-kalau Koan Jit datang lagi, mereka tidak berani tidur berdua. Mereka berjaga dengan bergilir, akan tetapi malam itu tidak terjadi sesuatu.
Agaknya Koan Jit merasa tidak ada harapan lagi untuk mengalahkan dua orang gadis perkasa itu. Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, Lian Hong dan Kui Eng saling berpisah sebagai dua orang sahabat yang baik sekali. Derap kaki dua ekor kuda besar yang berlari congklang itu, diseling suara ketawa seorang laki-laki dan wanita di atas kuda, memecah kesunyian lembah Sungai Mutiara itu. Mendengar suara ketawa tanpa melihat rupanya, orang hanya akan dapat membedakan antara suara pria dan wanita saja. Suara ketawa tidak memisahkan manusia di seluruh dunia ini, seperti bahasa. Bangsa apapun juga memiliki suara ketawa yang sama. Seperti juga tangis. Tawa dan tangis merupakan suara suci yang keluar dari hati, suara aseli bawaan manusia, tidak seperti bahasa yang muncul sebagai hasil buatan manusia.
Setelah melihat orang-orang yang menunggang kuda itu, barulah kita tahu bahwa mereka itu adalah dua orang kulit putih. Seorang pria dan seorang wanita. Dari pakaian mereka, dari warna kulit dan rambut dan mata, kemudian dari suara percakapan mereka, mudah diketahui bahwa mereka adalah dua orang Inggeris. Memang suatu hal yang amat mengherankan melihat mereka berada di luar kota, begitu jauh dari kota. Biasanya, orang-orang kulit putih hanya berani berkeliaran di dalam kota saja. Kalau mereka terpaksa memiliki urusan dan keperluan ke luar kota, mereka tentu pergi dengan pengawalan ketat. Akan tetapi dua orang ini menunggang kuda tanpa pengawal dan kelihatan mereka itu demikian gembira dan sama sekali tidak takut. Padahal, di waktu itu, banyak terdapat perkumpulan-perkumpulan ahli silat yang bersikap anti kulit putih.
Akan tetapi mereka berdua ini bukan orang-orang biasa. Perempuan kulit putih yang usianya sembilanbelas tahun itu adalah Diana, seorang keponakan terkasih dari Kapten Charles Elliot. Sebagai keponakan kapten yang mengepalai semua orang kulit putih di Kanton, yang dianggap sebagai anak sendiri, tentu saja Diana dihormati semua orang kulit putih. Dara ini pemberani, lincah jenaka, dan mengetahui banyak tentang pergolakan di tempat di mana ia bekerja sebagai sekretaris pamannya sendiri. Diana sangat cantik jelita, dengan rambut kuning keemasan, ikal mayang dan lebat sekali, seolah-olah kepalanya dihias benang-benang sutera kemerahan dan bentuk tubuhnya amatlah indah. Apa lagi karena pakaiannya ketat, bentuk tubuh itu menonjol sekali. Gaunnya panjang sampai ke mata kaki, dengan lengan gaun sampai di bawah siku.
Wajahnya berbentuk bulat telur, dengan mata biru laut, bulu mata lentik panjang, alis yang agak kehitaman melengkung panjang, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum dengan bibir yang selalu merah basah dan kadang-kadang nampak kilatan gigi putih seperti mutiara berjajar. Perhiasan yang menempel di tubuhnya hanyalah gelang emas di kedua tangan dan sepasang anting-anting. Kedua kakinya memakai sepatu panjang sampai ke bawah lutut. Adapun pria yang menunggang kuda di sampingnya, juga bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang berpangkat letnan, namanya Peter Dull dan di kalangan pasukan Inggeris yang berada di Kanton, Peter Dull ini terkenal sebagai seorang jagoan dalam perang. Seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, masih bujangan, dan seorang ahli tinju,
Ahli tembak dan terkenal tampan dan dikagumi semua wanita, baik yang sudah bersuami ataupun belum, di kalangan orang kulit putih di kota itu. Letnan Peter Dull ini berwajah jagoan, dengan sepasang mata tajam, alis tebal, hidung mancung dan mulut yang seperti selalu tersenyum sinis. Dagunya terhias jenggot pendek terpelihara rapi. Rambutnya berwarna coklat, demikian pula jenggotnya. Dia memakai pakaian pasukan, dengan topi letnan, sepatunya juga tinggi sampai ke lutut, dan sehelai mantel merah yang lebar berkibar di belakang tubuhnya. Di pinggangnya tergantung sebuah pistol yang membuat dia nampak keren dan gagah sekali. Di pinggang kiri tergantung sebatang pedang. Letnan Peter Dull ini selain mahir menggunakan pistol, juga merupakan seorang ahli pedang yang kenamaan di dalam pasukannya.
"Heii, Diana! Sudah, sampai di sini saja. Kita harus kembali!" Terdengar letnan itu berteriak. Diana menoleh dan tertawa.
"Hi-hi, engkau takut berjumpa dengan gerombolan?" Seruan itu menyinggung harga diri letnan itu.
"Aku? Takut? Aku mengkhawatirkan kamu, Diana!" katanya dan diapun membalapkan kudanya. Mereka tertawa-tawa sambil membalapkan kuda dan akhirnya, di sebuah tikungan, mereka berpisah karena secara tiba-tiba Diana membelokkan kudanya ke kiri sedangkan kuda yang ditunggangi Peter Dull sudah mendahuluinya dan terus membalap ke depan. Letnan itu baru tahu kalau Diana membelokkan kudanya karena tidak lagi mendengar derap kaki kuda kawannya itu.
"Heiii! Diana, kau ke mana...?"
"Ha-ha, Peter. Sekarang engkau kalah. Kalau bisa, kejarlah aku!" terdengar teriakan Diana jauh di depan ketika Peter memutar kembali kudanya.
"Diana...!" teriaknya, akan tetapi Diana dan kudanya sudah lenyap tertutup debu dan ketika Peter mulai mengejar, gadis itu bahkan sudah jauh sekali dan tidak nampak lagi karena memasuki hutan kebat.
"Diana, tunggu..." Hati perwira itu mulai khawatir. Mengapa Diana mengambil jalan liar, memasuki hutan? Itu berbahaya sekali, dan ia mulai merasa menyesal mengapa tadi membiarkan saja gadis itu mengajaknya pergi sejauh ini. Dia tergila-gila kepada Diana, bukan hanya karena gadis itu memang cantik jelita dan menggairahkan, akan tetapi terutama sekali karena Diana jinak-jinak merpati. Nampaknya mudah didekati dan mudah ditundukkan, akan tetapi setelah dekat tinggal mengulur tangan, gadis itu selalu menghindar dan menjauh!
Padahal, wanita mana saja kalau dia menghendaki, akan menyambutnya dengan hati dan kedua lengan terbuka, bahkan dengan pakaian terbuka. Dia terkenal sebagai seorang penakluk wanita yang tidak bandingnya. Akan tetapi, betapapun dia telah berusaha, dia tidak berhasil menaklukkan Diana. Apa lagi menaklukkan, mencium satu kalipun dia tidak pernah berhasil! Dan seorang keponakan Kapten Charles Elliot, tentu saja tidak boleh dibuat main-main dan sama sekali tidak mungkin didapatkan melalui kekerasan! Pada pagi hari itu, seperti biasa Diana kelihatan begitu ramah dan baik, begitu akrab seolah-olah sudah siap untuk menerima cintanya. Karena itulah dia tidak membantah ketika Diana mengajaknya ke tempat sejauh itu, dengan harapan di tempat sunyi itu akhirnya Diana akan menyerahkan diri,
Setidaknya untuk dibelai dan diciuminya. Sudah terbayang dia tadi betapa akan nikmat dan senangnya kalau dia berhasil meraih gadis ini sebagai pacar barunya. Seorang gadis tulen, seorang perawan, ini dia yakin benar karena belum pernah Diana mempunyai seorang kawan pria yang akrab, seakrab dia. Akan tetapi, kembali Diana memperlihatkan watak berandalnya. Secara tiba-tiba saja kudanya dibelokkan ke dalam hutan lebat dan hal ini amat berbahaya sekali. Akan tetapi, kegagahannya ditantang dan dia tentu saja bertanggung jawab atas keselamatan gadis itu. Celakanya, Diana adalah seorang gadis yang mahir sekali menunggang kuda, dan tadi ketika berangkat, dara itu sengaja meminjam kuda kesayangan pamannya sendiri.
Kuda hitam yang ditunggangi Diana dapat berlari cepat seperti setan, dan Diana juga seorang penunggang yang mahir, maka kini, setelah gadis itu membalap, dan sudah jauh lebih dulu meninggalkannya, Peter tidak dapat menyusul. Dapat dibayangkan betapa besar kegelisahan hati letnan yang gagah ini ketika dia tidak lagi melihat bayangan Diana dengan kudanya. Apa lagi ketika dia kehilangan jejak kaki kuda yang ditunggangi Diana karena kini tanah tertutup batu-batu yang tidak meninggalkan bekas jejak kaki yang dapat dilihat begitu saja. Terpaksa dia harus meloncat turun dari atas kudanya dan meneliti dari dekat. Setelah bertemu jejak kaki kuda, baru dia melanjutkan pengejaran dan pencariannya. Tentu saja hal ini memakan waktu.
Ketika ia tiba di tempat terbuka, di mana terdapat batu-batu besar dan pohon-pohon raksasa, kembali dia bingung dan terpaksa meloncat turun dari kuda. Pada saat itu dia merasa seperti dipandang orang dan cepat dia bangkit memutar tubuhnya. Benar saja, tidak jauh dari tempat dia berdiri, di atas sebuah batu gunung, berdiri seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Laki-laki itu berusia empat puluh tahun lebih, pakaiannya serba hitam, badannya tinggi kurus dan mukanya juga agak kehitaman, dengan sepasang mata mencorong kehijauan seperti mata kucing. Kepalanya ditutup topi batok, dengan kuncir rambut yang tebal panjang berjuntai ke depan dadanya. Laki-laki ini memandang dengan senyum sinis penuh ejekan. Melihat laki-laki ini, Letnan Peter Dull yang sudah pandai bicara dengan bahasa daerah, segera bertanya,
"Hei, apa kamu melihat seorang nona menunggang kuda lewat di sini?" Semenjak kunjungannya pertama kali di negara yang penduduknya bukan kulit putih, orang kulit putih selalu memandang rendah kepada pribumi yang dianggap sebagai bangsa yang masih terbelakang, bodoh dan rendah derajatnya. Oleh karena itu, sikap seorang kulit putih terhadap kulit berwarna memang selalu angkuh dan tinggi hati. Apa lagi seorang perwira seperti Letnan Peter Dull ini, sikapnya terhadap pribumi memang congkak, terutama semenjak pecahnya Perang Madat. Laki-laki yang nampaknya hanya seorang petani atau seorang penghuni gunung biasa itu, masih memandang dengan senyum sinis, dan mata yang mencorong hijau itu makin berkilat ketika mendengar pertanyaan itu. Akan tetapi akhirnya dia menjawab juga, menjawab dengan pertanyaan.
"Kalau aku melihatnya bagaimana, kalau tidak bagaimana?" Peter mengerutkan alisnya dengan marah. Jawaban seperti ini sungguh sama sekali tak pernah disangkanya. Orang ini terlalu kurang ajar, pikirnya. Akan tetapi karena dia membutuhkan keterangannya tentang diri Diana, dia menahan sabar dan maju menghampiri batu gunung itu, meninggalkan kudanya yang asyik makan rumput.
"Kalau engkau melihatnya, katakan padaku ke arah mana ia pergi dan bagaimana keadaannya tadi. Kalau engkau tidak melihatnya, pergilah ke neraka!" Tiba-tiba orang itu tertawa dan tubuhnya melompat turun dari atas batu itu, berdiri di depan Peter dalam jarak hanya dua meter saja. Sepasang matanya mencorong hijau dan dia menjawab dengan suara lantang,
"Kalau aku melihatnya, aku tidak akan memberi tahu kepadamu, kalau aku tidak melihatnya, engkau lah yang pergi ke neraka!"
"Bngsat kurang ajar, kamu bosan hidup, ya?" Dan saking kesal dan marahnya, Peter lalu menerjang ke depan dengan kedua tangan terkepal. Sudah beberapa lama letnan ini menghimpun pribumi yang dianggap kuat, untuk bersekutu dengan pasukannya dan terhadap para pembantunya yang rata-rata ahli ilmu silat itupun dia bersikap tegas dan selalu dipatuhi. Maka kini melihat sikap orang yang dipandang rendah begini angkuh terhadap dirinya, Peter kehilangan kesabaran. Begitu dia menerjang maju, kedua kepalannya sudah diayun dengan tenaga sepenuhnya, dari kiri kanan menyambar ke arah dagu dan dada orang berpakaian hitam itu. Pukulan kombinasi ini amat cepat dan biasanya, jarang ada lawan yang mampu menghindarkan diri. Kecepatan dan kekuatannya sudah terkenal sehingga di dalam pasukannya dia dijuluki "The Iron Fist" (Si Kepalan Besi)!
"Wuuutt... wuuuuttt...!" Peter terkejut. Pukulannya sama sekali tidak mengenai sasaran! Padahal, orang di depannya itu tidak meloncat terlalu jauh, hanya menggerakkan sedikit saja tubuhnya dan dua pukulannya yang diayun dari belakang kanan kiri itu mengenai tempat kosong! Akan tetapi dia menerjang terus, kedua kepalan tangannya menyambar-nyambar dengan berbagai bentuk serangan, dari samping, langsung dari depan, dari bawah menghantam dagu. Sampai belasan kali pukulannya mengenai tempat kosong, dan ketika tangan kanannya mengirim sebuah pukulan langsung, orang
(Lanjut ke Jilid 18)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)
Jilid 18
berpakaian hitam itu menggerakkan lengan kirinya menangkis. Tangkisan pertama sejak Peter menghujankan pukulan tadi. Dengan tangan kiri yang dimiringkan, orang itu menangkis dan tepat mengenai pergelangan tangan kanan Peter.
"Dukkk...!" Peter terhoyong ke belakang dan dia harus menggigit bibirnya untuk menahan teriakannya. Lengan kanannya yang tertangkis itu tergetar hebat dan tulang lengan yang tertangkis tangan miring itu seperti ditangkis dengan linggis besi saja rasanya.
Kiut-miut rasanya, nyeri bukan main, sampai menyusup ke tulang sumsum. Dia merasa heran dan penasaran sekali. Semua pembantunya, orang-orang pribumi yang katanya pandai silat, sudah dicobanya. Memang di antara mereka ada yang cekatan, akan tetapi tidak begitu hebat dan belum pernah ada yang mampu menangkis pukulannya seperti orang ini, sekali tangkis membuat ia hampir menjerit kesakitan! Dia tidak tahu bahwa orang-orang yang ditarik menjadi sekutunya itu hanyalah ahli-ahli silat kampungan saja yang menjual kepandaian yang tidak seberapa itu untuk mencari uang mudah. Dan dia tidak tahu sama sekali bahwa kini dia berhadapan dengan seorang ahli dalam arti kata yang paling dalam. Seorang ahli silat kelas satu!
"Keparat kamu!" bentaknya dan diapun menerjang lagi dengan mata mendelik. Akan tetapi orang itu agaknya memang hendak mempermainkannya.
Tubrukan dengan pukulan-pukulan ganda itu dielakkan secara tiba-tiba setelah kepalan tangan Peter hampir menyentuh dada. Hal ini membuat tubuh Peter terdorong ke depan dan tiba-tiba saja, belakang lutut Peter didorong ujung sepatu orang itu dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuh Peter terdorong dan dia jatuh berlutut! Baru sekarang Peter menduga bahwa orang ini tidak dapat dipersamakan dengan orang-orang yang telah menjadi sekutunya. Orang ini agaknya memiliki ilmu silat yang hebat. Pernah dia mendengar akan pendekar-pendekar yang katanya sedemikian tinggi ilmu silatnya sehingga seperti iblis saja, bahkan ada kabar desas-desus tentang adanya pendekar-pendekar yang mampu mengelak dari sambaran peluru pistol atau bedil.
Tentu saja dia tidak percaya dan menganggap semua itu kabar bohong dan nonsens belaka. Kini, melihat betapa serangan-serangan tangan kosongnya tidak mampu menandingi kegesitan lawan ini, tiba-tiba dia mencabut pedangnya! Dia melihat reaksi orang itu. Akan tetapi sungguh luar biasa. Orang itu tidak nampak takut, bahkan berdiri tegak dan bertolak pinggang, seolah-olah menanti datangnya serangan pedang dari Peter! Peter berhati-hati. Diapun bukan orang bodoh. Sama sekali bukan. Peter seorang yang amat cerdik, dan kecerdikkannya itulah yang membuat dia mengumpulkan ahli-ahli silat untuk membantunya. Kini dia mulai tertarik. Dia akan menguji orang ini. Siapa tahu orang ini benar-benar pandai dan kalau ada orang yang dengan tangan kosong mampu mengalahkan dia dan pedangnya, orang itu berharga dan berguna sekali!
"Kamu berani melawan pedangku? Nah, terimalah ini!" bentaknya dan Peter mulai menyerang dengan pedangnya. Gerakannya cepat sekali dan dia memegang pedang dengan tangan kanannya yang di julurkan ke depan sehingga pedang itu disambung lengan menjadi panjang. Tubuhnya membuat gerakan-gerakan cepat ke depan, tangan kiri diangkat tinggi di atas kepala untuk keseimbangan, dan pedang di tangannya itu mengeluarkan bunyi berdesing saking cepat dan kuatnya dia menggerakkan pedang itu. Pedang membuat gerakan menusuk ke arah leher lawan berbaju hitam. Ketika orang itu mengelak sambil menggeser kaki sehingga tubuhnya miring dan pedang itu meluncur lewat,
Tiba-tiba Peter menggerakkan pergelangan tangannya dan pedang itu menyambar dari samping dengan amat cepat, kini menyambar ke arah leher juga. Akan tetapi, gerak cepat Peter masih kalah oleh kecepatan orang itu karena kembali bacokan ke arah leher itu luput! Demikian cepatnya orang itu bergerak sehingga Peter tidak tahu bagaimana cara orang itu mengelak, tahu-tahu orang itu sudah tidak lagi berada di tempat sasaran dan serangannya luput! Tidak kurang dari dua puluh kali serangan dilakukan oleh Peter, namun semua serangan itu dapat dielakkan secara mudah saja oleh orang berpakaian hitam itu. Kemudian, ketika Peter melanjutkan serangannya, dengan kaget dan heran dia melihat betapa orang itu tidak mengelak lagi melainkan menangkis pedangnya dengan kedua tangan yang bergerak cepat.
"Tak-tak-tinggg...!" Bukan main kagetnya hati Peter, kedua tangan telanjang orang itu mampu menangkis pedangnya seperti sepasang tangan baja saja!
Bukan saja tidak terluka sama sekali, bahkan ketika kedua tangan menangkis pedang, dia merasa lengannya tergetar hebat dan hampir saja pedangnya terpental lepas. Dia merasa semakin penasaran, akan tetapi juga kagum bukan main. Jelas bahwa dalam hal pukulan tangan kosong, dia kalah jauh oleh orang ini dan sekarang, mungkinkah pedangnya dikalahkan oleh dua tangan kosong saja? Dia menyerang lagi dan tiba-tiba saja, entah dengan gerakan bagaimana, tahu-tahu pergelangan tangannya disentuh jari orang itu dan tanpa dapat dielakkannya lagi karena tiba-tiba tangan kanannya menjadi lumpuh, pedang itu telah berpindah tangan! Orang berpakaian hitam itu mengeluarkan suara ketawa aneh, lalu kedua tangannya menekuk pedang itu!
"Krekkk!" Pedang itu patah menjadi tiga potong lalu dibuang dengan sikap mengejek ke atas tanah. Melihat ini, wajah Peter berobah. Bukan main orang ini, pikirnya. Selain kagum, dia juga merasa marah dan terhina. Dengan cekatan, dia lalu lari ke arah kudanya dan sekali meloncat, dia telah berada di punggung kuda dan tangan kanannya sudah mencabut pistolnya.
Dia adalah seorang ahli tembak dari atas kuda. Dia merasa lebih yakin dan tenang kalau memainkan pistol dari atas kuda, dari pada di atas tanah. Kini dia mengambil keputusan untuk memilih satu antara dua. Membunuh orang ini karena berbahaya, atau mengujinya dan kalau mungkin menariknya menjadi pembantu. Akan tetapi, karena pedangnya dipatahkan, dia akan menguji sampai akhir, yaitu kini hendak mengujinya dengan menggunakan pistol. Ingin dia melihat apakah orang ini benar-benar mampu menghindarkan diri dari bidikan pistolnya, seperti yang dikabarkan sebagai dongeng tentang para pendekar sakti. Dia mengangkat pistol, membidik ke arah orang itu, siap menembakkan pistolnya. Akan tetapi, begitu pistolnya meledak, orang itu lenyap.
Yang nampak hanya bayangan hitam berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu orang itu telah berdiri di atas sebuah batu besar! Peter cepat memutar kudanya dan menembak ke arah orang di atas batu itu, akan tetapi kembali tembakannya luput karena orang itu sudah meloncat ke atas, seperti seekor burung saja cepatnya, dan telah turun kembali jauh di sebelah belakangnya! Peter terbelalak. Benar saja orang ini mampu mengelak dari serangan pistolnya. Sampai dua kali tembakannya, yang dibidikkan dengan cermat tadi, sama sekali tidak mengenai sasarannya. Orang seperti ini amatlah berguna baginya, dan sayang kalau dibunuh. Lebih baik ditarik menjadi kawan dari pada menjadi lawan, dan kalau orang ini menolaknya, masih belum terlambat baginya untuk membunuhnya dengan peluru-peluru pistolnya yang masih siap di dalam senjata api itu.
"Tahan...!" Teriaknya dan dari atas kudanya dia menghadapi orang berpakaian serba hitam itu, pistolnya tidak lagi dibidikkan, melainkan dipegang dengan laras menunduk. Peter cepat memutar kudanya dan menembak ke arah orang di atas batu itu, akan tetapi kembali tembakannya luput karena orang itu sudah meloncat ke atas, seperti seekor burung saja cepatnya, dan telah turun kembali jauh di sebelah belakangnya! Orang berpakaian hitam itu tersenyum sinis,
"Hemm, hanya begitu saja lihainya senjata apimu?" Ejekan ini tidak memarahkan Peter karena dia mempunyai tujuan lain dengan orang ini.
"Nanti dulu, aku ingin berdamai dan bicara denganmu. Aku adalah Letnan Peter Dull, amat terkenal dalam pasukan kami. Siapakah namamu?" Dengan suara dingin orang itu menjawab,
"Namaku Koan Jit, akan tetapi orang lebih mengenalku dengan sebutan Hek-eng-mo!"
"Hek-eng-mo (Bayangan Iblis Hitam)? Sungguh sebutan yang hebat dan cocok sekali. Kami amat membutuhkan orang-orang seperti kamu ini, Koan Jit. Kalau kamu suka ikut dengan kami, suka membantu kami untuk menghadapi para perusuh dan penjahat, kamu akan diberi pangkat, memimpin para jagoan yang membantu kami, dan kamu akan diberi hadiah besar, tempat tinggal yang mewah, dan kamu akan menjadi kaya raya dan terpandang. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang perwira dari pasukan yang telah mengalahkan pasukan-pasukan pemerintah, kami adalah pasukan pemenang, maka tidak keliru kalau seorang dengan kepandaian seperti kamu ini menjadi pembantu kami."
Koan Jit mendengarkan ucapan ini dan menundukkan muka dengan alis berkerut. Otaknya bekerja dengan cepat dan cermat. Seperti kita ketahui, Koan Jit gagal membujuk atau memaksa Kui Eng menjadi sekutunya, bahkan dia hampir celaka karena dihadapi Kui Eng yang dibantu Lian Hong, dua orang gadis yang kalau bergabung menjadi satu dapat merupakan lawan yang amat berbahaya baginya. Koan Jit bukan termasuk orang yang suka dengan orang kulit putih. Walaupun dia tidak berjiwa patriot, bahkan tidak perduli akan semua urusan pemerintah atau orang lain, yang dipikirkan hanyalah kepentingan dia sendiri saja.
Kini dia menghadapi penawaran yang dianggapnya menarik dari seorang Letnan pasukan kulit putih. Dia mempertimbangkan untung ruginya. Tentu saja dia tidak begitu tertarik tentang harta karena kalau dia mau apa sukarnya mencari harta? Tinggal memasuki rumah orang-orang kaya dan mengambil sesuka hatinya! Tidak, dia tidak tertarik oleh harta. Akan tetapi, kini setelah dia menjadi pemilik Giok-liongkiam, semua orang kang-ouw mencarinya dan dia seolah-olah menjadi buruan orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Hal ini amatlah berbahaya. Baru mengingat bahwa gurunya dan dua orang sutenya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula itu tentu mencarinya, sudah membuat dia merasa jerih. Apa lagi diingat bahwa tiga orang dari Empat Racun Dunia, yaitu Tee-tok, San-tok dan Hai-tok bersama murid-murid merekapun mencarinya, dan mereka amat lihai.
Belum lagi orang-orang Siauw-lim-pai yang ingin mencuci bersih nama baik Siauw-bin-hud yang dicemarkan oleh perbuatan Thian-tok. Pendeknya, sebagai pemilik Giok-liong-kiam, hidupnya tidak aman lagi. Dan kini terbukalah kesempatan yang amat baik baginya untuk dapat hidup aman. Kalau dia menjadi pembantu pasukan kulit putih, tentu saja dia hidup aman, hidup terhormat dan menduduki pangkat dan yang terpenting baginya, untuk sementara selagi urusan Giok-liong-kiam masih sedang hangat-hangatnya, dia dapat berlindung pada kekuatan pasukan kulit putih yang menjadi sekutunya. Koan Jit kini mengangkat mukanya memandang dan Peter merasa betapa tengkuknya menjadi dingin. Orang ini memiliki sinar mata yang mencorong seperti iblis, pikirnya.
"Baik, aku suka menerima usulmu. Akan tetapi agar kau ketahui sebelumnya bahwa aku tidak suka menjadi anak buah yang hanya melakukan perintah, aku ingin menjadi pemimpin!" Peter Dull tertawa.
"Ha-ha-ha, aku mengerti maksudmu. Engkau ingin bebas dan mengepalai pasukan, bukankah demikian? Jangan khawatir. Engkau menjadi pembantuku yang utama, Koan Jit. Hanya aku yang akan memberi perintah kepadamu. Akan tetapi engkau akan kuangkat menjadi komandan pasukan yang terdiri dari jagoan-jagoan yang sudah berhasil kami kumpulkan. Jumlah mereka hampir seratus orang. Nah, engkau menjadi pemimpin mereka, menjadi komandan yang membantu tugas-tugasku menjaga keamanan. Bagaimana?" Koan Jit mengangguk dan diam-diam Peter Dull merasa girang bukan main. Tak disangkanya dia menemukan seorang pembantu yang demikian lihai. Makin kuat sajalah kedudukannya, dengan seorang pembantu seperti Hek-eng-mo Koan Jit ini! Akan tetapi kegirangannya segera lenyap ketika ia teringat kembali kepada Diana. Begitu teringat, dia terkejut sekali dan wajahnya berobah agak pucat.
"Celaka! Di mana Diana...??" Dia memandang wajah Koan Jit.
"Koan Jit, katakan di mana gadis itu?"
"Gadis yang mana?"
"Apakah engkau tidak melihat seorang gadis berambut pirang naik kuda membalap lewat sini?" Koan Jit menggeleng kepalanya.
"Aku baru saja datang dan melihatmu, tidak melihat adanya gadis menunggang kuda. Siapakah gadis itu?"
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gadis itu adalah Diana, puteri komandanku, komandan kita! Hayo kau bantu aku mencarinya, Koan Jit!" Peter lalu membedal kudanya, dan kembali dia kagum bukan main melihat bayangan hitam berkelebat dan ternyata Koan Jit bukan hanya dapat mengimbangi kecepatan kudanya, bahkan dapat mendahuluinya!
Bahkan pembantu barunya itu memberi isyarat agar dia mengikutinya. Agaknya sambil berlari, Koan Jit dapat menemukan dan mengikuti jejak kaki kuda yang membawa Diana. Mereka memasuki sebuah hutan besar dan makin lama hutan itu semakin lebat sehingga diam-diam Peter merasa khawatir dan juga jerih. Bagaimanapun juga, dia belum yakin benar akan kesetiaan orang yang baru saja diangkat menjadi pembantunya itu. Maka, diam-diam diapun selalu mempersiapkan pistolnya. Tiba-tiba Koan Jit memberi isyarat agar Peter berhenti. Dari depan terdengar bunyi derap kaki kuda. Hati Peter berdebar tegang dan girang, mengharapkan bahwa itulah kuda bersama Diana yang datang kembali. Tak lama kemudian muncullah kuda hitam besar itu... tanpa Diana!
"Itu kudanya! Tapi di mana Diana...?" teriaknya penuh kegelisahan. Koan Jit sudah menangkap kembali kuda itu yang terseret dan kuda itupun berhenti, terengah-engah dan mendengus-dengus seperti yang merasa ketakutan.
"Celaka..., tentu terjadi sesuatu dengan Diana!" Koan Jit mengerutkan alisnya dan mengamati kuda hitam itu.
"Kuda ini ketakutan, dan biasanya kuda sebesar ini hanya takut kepada sebangsa harimau yang berkeliaran di tempat ini. Tentu ia ketakutan bertemu dengan seekor harimau kumbang."
"Apa...? Dan Diana...? Celaka, ia tentu menjadi mangsa harimau kumbang!" Koan Jit menggeleng kepalanya.
"Apakah gadis itu pandai menunggang kuda?"
"Ia seorang ahli. Aku sendiri belum tentu menang."
"Kalau begitu, ia tidak akan jatuh dari atas pelana kuda kalau kuda ini hanya ketakutan saja. Di atas punggung kuda tidak terdapat tanda-tanda bercak darah, jadi gadis itu tidak diterkam harimau ketika ia menunggang kuda ini. Mungkin kuda ini meronta dan bisa jadi gadis itu terjatuh dan ditinggalkan kuda yang ketakutan. Mari kita cari," kata Koan Jit yang meloncat ke atas kuda hitam yang kini sudah dapat dijinakkan kembali.
Peter Dull merasa kagum dan girang. Kiranya pembantu ini memang orang yang selain lihai ilmu silatnya, juga cerdik sekali dan memang dapat berdikari, dapat bekerja sendiri tanpa menanti perintah. Buktinya, dalam hal mencari jejak Diana, orang ini segera telah mengambil alih pimpinan dan dia sendiri malah menjadi pengikut! Mereka terus menyusup ke dalam hutan dan kembali Koan Jit berhenti, bahkan meloncat turun dari kudanya. Peter juga ikut meloncat turun dan menghampiri Koan Jit yang sudah berlutut di dekat seekor harimau kumbang besar yang sudah mati. Bangkai itu menggeletak dengan mulut, hidung dan telinga mengeluarkan darah dan agaknya belum lama sekali binatang itu mati karena darah itu belum kering benar.
"Aduh celaka! Agaknya benar ada harimau kumbang. Tentu Diana telah tewas diterkamnya!" Peter berseru dengan muka berubah pucat. Akan tetapi kembali Koan Jit menggeleng kepalanya. Dia sudah melakukan penyelidikan dengan cermat, mengamati keadaan bangkai harimau dan keadaan sekeliling.
"Ia tidak diterkam harimau ini. Lihat, pada taring dan kuku harimau ini tidak terdapat darah atau robekan kulit daging. Hal ini berarti bahwa harimau ini tidak sempat menerkam orang, dan darah ini hanya darahnya sendiri yang keluar dari mulut, hidung, telinga dan matanya. Dan di sekitar tempat inipun tidak nampak tanda darah. Nona Diana itu tidak diterkam harimau di tempat ini."
"Kalau begitu, ke mana ia pergi? Dan harimau ini... bagaimana bisa mati di tempat ini?" Peter sudah tidak malu-malu lagi untuk menyerahkan penyelidikan tentang Diana kepada pembantunya yang baru ini karena dia benar-benar gelisah dan tidak dapat menduga apa yang telah terjadi.
"Harimau ini tewas karena pukulan tangan kosong. Mati tanpa luka di luar tubuhnya, berarti bahwa binatang ini tewas di tangan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan besar kemungkinan nona Diana dibawa pergi oleh orang yang membunuh harimau itu."
"Ke mana?" tanya Peter terkejut.
"Harus kita selidiki lebih dulu. Jejak seorang berilmu tidak mudah diikuti, karena langkah-langkahnya tidak menimbulkan bekas. Kita harus teliti dan sabar mencari dan mengikuti sampai kita dapat menemukan mereka." Akan tetapi hati Peter sudah terlampau gelisah. Kalau orang yang membawa pergi Diana itu dapat membunuh seekor harimau kumbang besar dengan pukulan tangan, betapa berbahayanya orang itu! Mencari orang itu hanya berdua dengan Koan Jit, selain amat berbahaya, juga akan sedikit kemungkinannya berhasil.
"Tidak, kita harus kembali ke Kanton. Aku akan mengerahkan pasukan untuk mencarinya." Koan Jit tersenyum dingin. Tentu saja urusan hilangnya seorang gadis kulit putih tidak ada hubungannya dengan dia dan dianggap urusan kecil saja.
"Kalau begitu, mereka sudah akan pergi jauh."
"Dengan pasukan, aku akan dapat menyusul dan menemukan Diana, di manapun juga ia berada dan aku akan menghukum orang itu!" bantah Peter, "Sekarang mari kita kembali ke Kanton agar dapat cepat mempersiapkan pasukan dan melapor kepada Kapten Charles Elliot paman gadis itu." Koan Jit mengangkat kedua pundaknya dan diapun mengikuti letnan itu meloncat kembali ke atas punggung kuda dan merekapun membalapkan kuda mereka keluar dari hutan itu, kembali ke Kanton. Ke manakah perginya Diana? Apa yang telah terjadi dengan gadis kulit putih berambut pirang yang cantik jelita itu? Dugaan-dugaan yang dilakukan Koan Jit memang tepat sekali. Ketika Diana diajak melancong oleh Peter Dull pada hari yang cerah itu, ia tidak dapat menolak.
Sudah terlampau sering ia menolak ajakan Peter. Ia tidak suka berkencan dengan Peter yang terkenal sebagai penggoda dan perayu wanita itu. Ia tentu saja kenal baik dengan Peter yang menjadi tangan kanan pamannya, yaitu Kapten Charles Elliot. Dan agaknya pamannya juga condong menyetujui kalau sampai ia menerima uluran tangan Peter Dull yang masih bujangan, dan ahliwaris keluarga yang kaya raya di India itu. Akan tetapi, Diana tidak suka melihat sikap Peter yang demikian sombong, yang seolah-olah memandang rendah dan meremehkan kau m wanita yang dianggap barang permainan belaka yang boleh dibuang dan diganti dengan yang baru setiap waktu dia sudah merasa bosan. Ia sudah mendengar betapa banyaknya wanita yang bertekuk lutut, kemudian disia-siakan oleh Peter, menderita patah hati dan aib.
Pagi yang cerah itu Diana merasa gembira sekali, maka ketika Peter menajaknya berkuda dengan janji akan menunjukkan tempat-tempat yang amat indah di luar kota Kanton, iapun setuju. Dengan berkuda, Diana merasa aman. Sejak kecil ia suka naik kuda dan apa yang akan dapat dilakukan Peter terhadap dirinya kalau ia berada di atas kuda? Bukan berarti bahwa ia takut terhadap Peter. Peter tidak akan mampu mengganggunya, karena Peter tentu takut kepada pamannya, Kapten Charles Elliot. Akan tetapi, ia melihat betapa Peter memang amat pandai merayu, pandai membujuk sehingga kadang-kadang Diana merasa khawatir kalau-kalau ia sendiri akan terpeleset. Ia merasa ngeri membayangkan hal ini terjadi pada dirinya. Ketika mereka memasuki hutan, Diana sebenarnya sudah muak karena di sepanjang perjalanan,
Seperti biasa Peter mulai lagi dengan rayuan-rayuan mautnya, memuji-mujinya setinggi langit, menyatakan betapa ia menderita penyakit rindu terhadap dirinya yang amat hebat dan yang mungkin akan mendatangkan maut kepadanya. Lalu membayangkan betapa akan bahagianya kalau mereka dapat menjadi satu, menggambarkan keadaan yang indah-indah dan muluk-muluk. Diana merasa muak mendengarkan ini semua, maka iapun mengajak berlumba untuk menghentikan bujuk rayu itu. Bahkan, mengandalkan kepandaiannya menunggang kuda, ia sengaja menyimpang dari perjalanan, membelok dengan tiba-tiba dan meninggalkan Peter. Akan tetapi, ketika kudanya sudah jauh meninggalkan Peter dan memasuki hutan, tiba-tiba kuda hitamnya itu meringkik keras, lalu kabur!
Ia terkejut dan berusaha untuk menguasai kuda hitamnya, namun binatang yang nampak ketakutan itu membedal terus seperti gila! Terpaksa Diana hanya mendekam di atas kudanya, menjepit perut kuda sehingga ia tidak sampai terlempar dari atas pelana. Akan tetapi, kuda itu memasuki bagian yang penuh belukar, sehingga tubuh Diana dicambuki ranting-ranting dan tumbuh-tumbuhan menjalar yang malang-melintang ketika kuda itu menerjang tempat itu. Diana menjerit-jerit kecil ketika gaunnya tersangkut dan terobek, bahkan kulitnya mulai lecet-lecet terkait duri. Kuda itu berlari terus, masih ketakutan seperti dikejar setan, keluar dari hutan lebat itu dan memasuki daerah yang penuh batu-batu sebesar bukit kecil dan pohon-pohon raksasa.
Dewi Ular Eps 16 Dewi Ular Eps 10 Rajawali Hitam Eps 5