Pedang Naga Kemala 2
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Hal ini jelas membuktikan bahwa dibalik pemberian sumbangan itu, walaupun tidak diakui oleh para penyumbangnya, tersembunyi pamrih, mengharapkan imbalan yang besar dan menguntungkan pula. Betapa tidak? Memang sudah membudaya bagi kehidupan manusia di dunia ini untuk menyembunyikan pamrih di dalam setiap perbuatannya! Di antara mereka yang mengirim sumbangan, terdapat banyak orang yang mengirim sumbangan berupa tulisan-tulisan indah, pujian-pujian dan doa-doa yang ditulis dengan indahnya dan tentu saja Tan Siucai kebagian pekerjaan yang cukup banyak. Banyak orang yang memesan tulisan kepadanya untuk dijadikan sumbangan. Inilah kesempatan yang amat baik bagi Tan Siucai untuk melampiaskan rasa penasaran di dalam hatinya. Dia menuliskan untuk seorang yang buta huruf, tulisan indah berupa doa restu untuk sepasang mempelai seperti ini.
"SELAMAT KEPADA SEPASANG MEMPELAI SEMOGA HIDUP PENUH BAHAGIA DAN DAMAI SEMOGA TIDAK RUSAK RUMAH TANGGA MEREKA OLEH MADAT SEPERTI SIAUW YANG SENGSARA!"
Tentu saja hati hartawan Ciu terkejut bukan main ketika dia membaca sajak itu dan cepatcepat dia menyuruh orang-orangnya menyingkirkan sajak itu agar tidak terbaca oleh para tamu. Dia mengutus orang-orangnya untuk mendatangi pemberi sumbangan dan tahulah dia bahwa pemberi sumbangan itu tidak dapat membaca dan bahwa sajak itu dipesan dari Tan Siucai. Jadi Tan Siucailah orangnya yang bertanggung jawab.
"Sasterawan jembel mau mampus!" Ciu Wan-gwe mengepal tinju dengan marah, akan tetapi karena dia sedang mempunyai kerja, tidak baik untuk melampiaskan kemarahannya di hari baik itu.
Apa lagi dia sedang sibuk menghadapi perayaan yang dihadiri oleh banyak orang besar, para pejabat dan para pedagang hartawan itu. Baru tiga hari kemudian setelah pesta pernikahan puterinya selesai, dia segera utsan orang memanggil Tan Siucai. Pada hari itu, masih ada tamu di dalam rumahnya, di antaranya adalah seorang komandan militer dari Kanton yang bernama Ma Cek Lung, seorang komandan pasukan kenamaan kota Kanton. Ma Cek Lung ini seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan tubuh yang kokoh kuat, wajah yang keras dan kejam menyeramkan. Ciu Wan-gwe sedang menjamu komandan Ma ini ketika pelayan melaporkan bahwa Tan Siucai yang dipanggil sudah datang.
"Suruh dia menunggu di luar sampai kami selesai Makan!" kata Ciu Wan-gwe dengan sikap congkak dan pelayannya dengan senang hati melaksanakan perintah itu dengan sikap yang lebih congkak lagi. Biasanya memang demikian. Untuk menyampaikan kekejaman atau kesombongan, bawahannya lebih hebat dari pada atasannya, makin ke bawah semakin menciut. Hukuman yang datang dari atas, makin ke bawah semakin berat dan menjadi bahan pemerasan atau perbuatan-perbuatan yang lebih kejam, sebaliknya sumbangan yang datang dari atas, makin ke bawah semakin berkurang sampai hampir habis. Pahit dan aneh tetapi nyata. Sambil bertolak pinggang, pelayan itu menghadapi Tan Siucai.
"Kamu diperintahkan untuk menunggu di sini dan tidak boleh pergi ke manapun sebelum majikan kami keluar menerimamu!" Lalu sambil mengangkat hidung pelayan itu pergi meninggalkan tamu itu di halaman depan! Tan Siucai tersenyum pahit. Dia tidak merasa heran. Sudah banyak ia melihat kenyataan seperti itu. Dia adalah seorang tamu yang diundang, akan tetapi diperlakukan seperti seorang pengemis saja.
Karena dalam undangan itu si pesuruh menyatakan bahwa Ciu Wan-gwe hendak memesan tulisan dan dia diharuskan membawa perabot menulis, maka kini dia menurunkan kotak berisi kertas dan alat-alat tulis, lalu duduklah dia di atas peti itu di halaman gedung sambil menyeka keringat dengan ujung lengan bajunya yang lebar, baju potongan khas sasterawan. Dia sudah siap menghadapi segala hal. Ketika menerima panggilan Ciu Wan-gwe, dia dapat menduga bahwa kemungkinan besar panggilan ini ada hubungannya dengan tulisan yang dia lakukan untuk melampiaskan rasa penasaran di dalam hatinya itu. Karena menduga hal yang buruk, maka ketika puteranya, Ci Kong, mau ikut, dia melarangnya. Dia tidak ingin puteranya hadir menyaksikan kalau sampai terjadi keributan. Setelah selesai makan, Ciu Lok Tai bersama tamunya keluar dan duduk di ruangan depan.
Seorang pengawal diutus untuk memanggil masuk Tan Siucai yang masih menanti di halaman. Sasterawan itupun memasuki ruangan dengan sikap tenang, membawa petinya dan dengan sikap sopan dia memberi hormat kepada dua orang yang duduk menanti kedatangannya itu. Diam-diam dia memperhatikan kedua orang itu dengan sudut matanya. Ciu Wan-gwe yang bernama Ciu Lok Tai adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tidak besar, akan tetapi gemuk sehingga muka dan lehernya kelihatan seperti membengkak. Matanya lebar dan hartawan yang terkenal mata keranjang itu adalah seorang pesolek. Kumisnya yang kecil dipelihara rapi, mukanya putih bersih, tentu dicukur setiap hari dan bahkan ada bekas-bekas bedak, seperti muka seorang thai-kam (pembesar kebiri) saja.
Dia mengenakan topi batok hitam dan kuncirnya kecil bergantungan di belakang kepala. Bajunya dari kain sutera yang mahal dan dia duduk dengan punggung yang agak membungkuk, mulutnya tersenyum mengejek dan matanya yang lebar itu memandang kepada Tan Siucai penuh selidik. Orang ke dua yang bertubuh tinggi besar tidak dikenalnya, akan tetapi dia dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang perwira, kentara dari bajunya dan juga dari sikapnya walaupun pakaiannyatidak seragam penuh. Dan memang orang itu adalah Ma Cek Lung, komandan pasukan keamanan di Kanton yang galak. Melihat sikap komandan ini saja sudah mendatangkan rasa tidak suka dan juga khawatir di dalam hati Tan Siucai. Akan tetapi dengan sikap ramah buatan, Ciu Wan-gwe menegur ramah,
"Ah, kiranya Tan Siucai yang datang? Ma-Ciangkun, inilah Tan Siucai, sasterawan dan pembuat tulisan dan sajak paling pandai di Tung-kang, bahkan mungkin di seluruh Kanton." Dengan sikap acuh dan memandang rendah, kemudian menggumam,
"Benarkah? Hemm, hal itu masih perlu dibuktikan dulu." Tan Siucai menjura.
"Ciu Wan-gwe terlampau memuji!" katanya merendah.
"Ah, siapa yang tidak tahu akan keahlianmu, Tan Siucai? Di dalam ruangan perpustakaanku terdapat banyak hasil karyamu." Pujian-pujian ini semakin tidak mengenakkan, hati sasterawan itu. Pujian dari mulut seorang seperti Ciu Wan-gwe ini amat berbahaya, dan diapun dapat merasakan adanya sikap lain yang bertentangan dengan manisnya kata-kata ejekan itu. Maka diapun cepat bertanya,
"Ciu Wan-gwe memanggil saya, tidak tahu ada keperluan apakah?"
"Engkau adalah ahli menulis, apa lagi keperluannya kalau tidak ingin agar engkau membuatkan tulisan indah untukku? Dan aku ingin melihat sendiri cara engkau membuat tulisan
indah."
"Suruh dia membuatkan sajak yang baik, ingin aku melihatnya!" Tiba-tiba komandan gendut itu berkata.
"Bgus sekali! Nah, engkau sudah mendengar sendiri, Tan Siucai. Ma-Ciangkun minta agar engkau suka membuatkan sajak yang baik." Legalah hati Tan Siucai. Agaknya dia terlalu banyak prasangka dan hartawan ini bersama tamunya memang suka akan seni tulis dan sajak. Dia menurunkan petinya dan mempersiapkan alat-alat tulisnya. Seperti biasa, dia lebih suka menulis mempergunakan alatnya sendiri. Dia memasang bangku yang hanya merupakan papan di atas tiga kaki, dan dia sendiri duduk bersila di atas lantai. Dia mengeluarkan sehelai kertas kuning dan setelah menggosok tinta bak dan mengoles-oleskan pena bulu, dia mengangkat muka memandang kepada komandan gendut itu.
"Tidak tahu sajak yang bersifat bagaimana. Yang Ciangkun inginkan?"
"Sajak yang gagah, yang pantas bagi seorang perwira seperti aku tentunya!" kata komandan gendut itu sambil membusungkan dadanya, akan tetapi akibatnya hanya perutnya yang amat besar itu yang semakin maju.
"Baiklah, Ciangkun." Sasterawan itu lalu memejamkan kedua matanya sambil duduk bersila, kulit di antara alisnya berkerut dan dia mulai mengerahkan kemampuannya mengkhayal. Dan diapun melihat kesempatan yang amat baik untuk meneriakkan jerit hatinya, bukan hanya karena kematian sahabatnya, akan tetapi juga karena melihat kenyataan bagaimana hebat madat telah mencengkeram bangsanya.
Sekarang terbukalah jalan baginya untuk menuliskan jerit hatinya, juga untuk menyampaikan bahaya itu kepada pemerintah melalui seorang perwira tinggi! Dalam keadaan seperti itu, tidak pernah Tan Siucai teringat akan diri sendiri, tidak lagi dapat melihat adanya bahaya-bahaya dari hasil tulisannya. Mulailah dia menulis. Tan Siucai memang seorang ahli. Setelah dia membuka mata, jari-jari tangan kanannya seperti kemasukan aliran tenaga luar biasa, menjadi peka sekali dan kini jari-jari tangannya itu mulai mengoles-oleskan pena bulu dengan gerakan yang halus dan manis sekali di atas tinta bak dan setelah mengukur jarak di atas kertasnya, diapun mulai membuat coret-coretan yang mengandung penuh gaya dan keindahan.
Iblis hitam berasap menyerbu Negara
membasmi semangat gagah para pendekar
melumpuhkan kebijaksanaan para pembesar
membekukan kelembutan para dermawan.
Madat! racun yang membinasakan bangsa
sampai tinggal tulang belulang belaka!
Pendekar menjadi lemah
pembesar menjadi korup
dermawan menjadi kejam
sasterawan menjadi tumpul!
Hanya si kaya semakin kaya
madat sumber keuntungan mereka
basmi madat! basmi racun dunia!!
Setelah selesai menulis dengan gerakan cepat dan indah, Tan Siucai merasa seolah-olah dadanya lapang dan lega dan dengan wajah berseri-seri dia menyerahkan tulisan itu kepada Ma-Ciangkun sambil berkata,
"Ciangkun, tulisan ini walaupun buruk akan tetapi menyuarakan hati nurani rakyat kecil. Harap Ciangkun sudi menerimanya." Perwira gendut itu menerima tulisan di atas kertas itu dan dengan lagak seorang pandai dia membaca dengan suara lantang. Perwira itu membaca tampa reaksi apa-apa karena dia menganggap bunyi sajak itu memang cukup bersemangat dan gagah. Akan tetapi begitu Ciu Wan-gwe mendengarnya, wajahnya berobah merah dan lebih lagi ketika tiga baris terakhir terbaca, dia bangkit berdiri.
"Kurang ajar!" bentaknya marah.
"Sasterawan jembel busuk, engkau berani menghinaku?" Dengan marah Ciu Wan-gwe lalu menyambar sebuah kemocing (sapu bulu ayam) yang bergagang rotan, lalu dia menyerang sasterawan itu kalang kabut, memukuli kepala sasterawan itu kalang kabut, memukuli kepala sasterawan itu dengan gagang kemocing. Sudah biasa hartawan ini menghajar pelayan-pelayannya yang tidak menyenangkan hatinya dengan gagang kemocing. Tan Siucai berusaha melindungi kepalanya dengan kedua lengan sehingga lengannya babak belur kena hantaman rotan.
"Ciu Wan-gwe, saya tidak menghina seseorang."
"Jelas sudah isi tulisanmu! Engkau tahu bahwa aku adalah saudagar yang antara lain berdagang madat, akan tetapi engkau berani mengutuk madat dan menyindir aku. Ma-Ciangkun, bukankah tulisannya itu menghina sekali?" Baru Ma-Ciangkun kini sadar bahwa sahabatnya itu tersinggung.
"Huh, sajak busuk dan menghina!" Diapun berkata dan merobek kertas itu.
"Maaf, saya maksudkan pedagang madat pada umumnya, bukan pribadi dan saya hanya menggambarkan kenyataan..."
"Setan! Keparat sombong, engkau patut dihajar!" Kembali Ciu Wan-gwe menghujankan pukulan-pukulan rotan sehingga Tan Siucai terhuyung ke belakang dan bangku alat tulisnya berantakan.
"Dukk...!" Sebuah tendangan membuat sasterawan itu roboh ketika kaki kiri yang besar dari Ma-Ciangkun menyambar.
"Apakah engkau menghendaki aku menginjak mampus cacing ini? tanya Ma-Ciangkun kepada Ciu Wan-gwe dan kaki kirinya sudah menginjak punggung Tan Siucai yang roboh menelungkup di atas lantai.
"Jahanam kau , Tan Siucai. Berani engkau menulis kata-kata menghina melalui sumbangan seorang tamuku dan kini engkau malah terang-terangan menghinaku? Jangan bunuh dulu, Ma-Ciangkun, aku ingin menghajarnya sampai puas dan tidak baik membunuhnya di rumahku." Ma-Ciangkun melepaskan injakannya dan kembali Ciu Wan-gwe menghujankan hantaman rotan itu di atas tubuh belakang Tan Siucai yang mengeluh lirih. Biarpun tubuhnya terasa nyeri semua, namun sasterawan yang berjiwa gagah ini menahan diri agar tidak minta-minta ampun atau menjerit-jerit. Tiba-tiba terdengar teriakan,
"Ayaaaah...!" dan seorang anak laki-laki lari menerobos masuk dari luar halaman. Dia adalah seorang anak laki-laki yang berusia sekitar tujuh tahun, berpakaian sederhana dan bermata lebar.
"Ci Kong... pergilah... jangan ke sini...!" Tan Siucai mengeluh dengan penuh kegelisahan melihat puteranya yang datang itu. Akan tetapi Ci Kong, anak itu, cepat lari naik ke ruangan depan dan menjatuhkan dirinya berlutut menghadap Ma-Ciangkun dan Ciu Wan-gwe.
"Harap tai-jin sudi mengampuni Ayahku...!" Dengan lagak congkak, Ma-Ciangkun kembali mengangkat kaki kiri menginjak punggung Tan Siucai, dan tangan kanannyayang besar itu menempel di kepala anak yang berlutut di depannya.
"Bocah setan, berani kau mencampuri? Sekali cengkeram, kepalamu akan dapat kuhancurkan!" Akan tetapi, Ci Kong yang amat mengkhawirkan keselamatan Ayahnya, agaknya tidak perduli akan keselamatan dirinya sendiri dan tidak menjadi takut oleh ancaman itu. Dia tetap berlutut dan merangkap kedua tangan yang diangkat tinggi-tinggi, dengan air mata berlinang dia berkata memohon,
"Harap ampuni Ayahku dan tai-jin boleh saja membunuhku. Akan tetapi harap lepaskan Ayahku...!"
"Setan cilik! Ayahmu ini kurang ajar, sudah menghinaku, dia pantas dihukum, bahkan patut dibunuh!" bentak Ciu Wan-gwe marah, menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah Tan Siucai dan mengamankan gagang kemocing di tangan kanan.
"Ampun, tai-jin. Untuk kesalahan Ayah, biarlah aku yang menebus dosanya. Hukumlah aku, akan tetapi bebaskan Ayah..." Ci Kong meratap. Bukan main terharu rasa hati Tan Siucai.
"Anakku... aahhhh, engkau... jangan begitu... kau pergilah..."
"Pergilah, anak setan!" Ma-cingkun mendorongkan tangannya dan tubuh anak itu terpelanting dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, babak belur. Akan tetapi Ci Kong bangkit dan berlutut lagi.
"Ampunkan Ayahku, ampun..." ratapnya. Anak ini memiliki keberanian luar biasa seperti Ayahnya. Dia sendiri tidak takut mati, akan tetapi dia takut kehilangan Ayahnya. Pada saat itu, terdengar seruan nyaring,
"Ayah...!" dan muncullah seorang anak perempuan dari dalam gedung Ciu Wan-gwe. Anak itu berusia sekitar enam tahun, berwajah manis sekali dengan sepasang mata yang tajam da lebar. Pakaiannya indah dari sutera halus, rambutnya dikuncir dua yang bergantungan di kanan kiri. Anak itu berhenti berlari ketika melihat Tan Siucai masih rebah babak belur dan berlumuran darah. Ci Kong yang berlutut dan meratap mintakan ampun bagi Ayahnya. Setelah tertegun sejenak, anak perempuan itu lalu lari menghampiri Ciu Wan-gwe dan memegang tangan orang tua itu.
"Ayah, apakah yang telah terjadi? Kenapa Ayah marah-marah dan siapa mereka ini? Apa yang telah mereka lakukan maka Ayah agaknya menghajar mereka?" Sungguh mengherankan sekali, Ciu Wan-gwe yang sedang marah-marah dan jengkel itu, begitu melihat anak perempuan ini, segera terjadi perobahan pada wajahnya. Kemarahannya seperti hilang dan dia memandang kepada anak perempuan itu dengan sinar mata penuh sayang, dan dibuangnya kemocing itu dan dirangkulnya pundak anaknya.
"Siapa yang tidak jengkel, anakku. Sasterawan jembel ini berani menghinaku dengan tulisannya."
"Tulisan apakah, Ayah? Boleh aku melihatnya?" Ciu Wan-gwe amat sayang kepada puteri bungsunya ini. Ciu Kui Eng, demikian nama anak itu, memang amat cerdas dan menyenangkan hati, selain jelita dan manis, juga biarpun disayang tidak menjadi manja. Yang mengagumkan hati Ayahnya adalah karena anak ini selalu bersikap berani dan tegas, bahkan bijaksana sekali.
"Dia mengejekku dan bersikap memberontak. Itu tulisannya." Ciu Wan-gwe menunjuk ke arah kertas yang sudah terobek menjadi dua potong. Kui Eng mengambil kertas itu dan dengan alis berkerut dibacanya sajak itu. Biarpun baru berusia enam tahun, anak ini memang cerdik dan sudah dapat menghafal banyak sekali kata-kata tulisan sehingga sajak itu tidak terlalu sukar baginya untuk dapat dibacanya dengan mengerti. Sehabis membaca sajak itu, ia lalu menghampiri Tan Siucai yang sudah bangkit duduk diatas lantai karena agaknya kemunculan anak perempuan itu membuat Ma-Ciangkun juga menyingkirkan injakan kakinya.
"Orang tua, tulisanmu bagus sekali, juga sajakmu bagus dan menggambarkan kenyataan. Akan tetapi engkau lancang sekali berani menulis sajak seperti ini di depan Ayah, padahal engkau tahu bahwa Ayah adalah seorang pedagang madat. Nah, pergilah! Dan dia itu siapa?" Ia menuding ke arah Ci Kong yang masih berlutut. Tan Siucai memandang anak perempuan itu dengan heran dan kagum, sungguh anak ini memiliki sikap yang penuh wibawa dan dari gerak gerik dan ucapannya, mudah diketahui bahwa ia seorang anak yang cerdik sekali.
"Dia adalah Ci Kong, anakku..." jawabnya lirih karena seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, terutama sekali dada kanannya yang tadi terkena tendangan kaki Ma Cek Lung.
"Aku benci melihat anak laki-laki merengek dan meratap minta ampun!" Tiba-tiba Kui Eng berkata sambil memandang kepada Ci Kong. Ci Kong menoleh dan mereka saling pandang. Ci Kong mengerutkan alisnya dan sepasang matanya seperti mengeluarkan api.
"Aku mintakan ampun untuk Ayah, bukan untuk diriku sendiri!" katanya, seketus suara Ciu Kui Eng. Sejenak mereka saling panadang dan Kui Eng lalu membalikkan tubuh, menghampiri Ayahnya.
"Ayah, biarkan mereka pergi." Ciu Wan-gwe mengangguk dan berkata kepada Tan Siucai,
"Sasterawan jembel, bersyukurlah atas kemurahan hati anakku dan pergilah!" Ma Cek Lung menggerakkan kakinya dan kembali kakinya menendang rusuk Kakek itu. Terdengar suara "bukk!" dan tubuh sasterawan itu terlempar, terbanting dan dari mulutnya keluar darah. Tendangan itu saja sedikitnya meretakkan dua tiga batang tulang rusuknya.
"Engkau telah nenimbulkan kekacauan dan engkau kuanggap pemberontak. kau harus pergi meninggalkan dusun ini, atau kau akan kutangkap dan kumasukkan penjara!" kata Ma Cek Lung.
Ci Kong membantu Ayahnya bangkit berdiri, mengumpulkan alat-alat tulis dan sambil memapah Ayahnya, anak itu lalu mengajak cepat-cepat pergi meninggalkan halaman gedung keluarga Ciu. Setelah tiba di rumahnya, Tan Siucai jatuh sakit. Tabib yang memeriksanya mengatakan bahwa ada empat tulang rusuknya yang patah dan retak-retak dan selain itu Tan Siucai juga menderita luka dalam yang cukup parah dan yang mengharuskannya tinggal di atas pembaringan selama sedikitnya satu bulan! Tan Siucai teringat akan ancaman" Ma-Ciangkun. Dia harus pergi dari Tung-kang. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, mana mungkin dia dapat pergi? Berjalan kaki jauh. Tidak mungkin, menyewa kereta lebih tidak mungkin lagi karena dia tidak punya uang. Dipanggilnya putranya pada keesokan harinya setelah semalam suntuk dia tidak tidur dan mempertimbangkan masak-masak apa yang harus dilakukan.
"Ci Kong, dengarkan baik-baik dan engkau harus mentaati semua permintaanku. Kemaskan semua pakaianmu, jadikan satu buntalan dan hari ini juga engkau harus pergi ke barat, ke kota Nan-ning..."
"Nan-ning? Di mana itu, Ayah? Aku belum pernah mengetahuinya..."
"Dengar baik-baik. Kota Nan-ning terletak di sebelah barat, di seberang sungai Si-kiang. Engkau harus menyeberang sungai itu dan menuju ke barat. Dengan bertanya-tanya, tentu engkau akan bisa menemukan kota Nan-ning..."
"Tapi kenapa aku harus pergi ke sana sendiri saja, Ayah? Engkau sakit, aku harus merawatmu. Kalau Ayah takut akan ancaman perwira itu, mari aku antar Ayah pergi meninggalkan dusun ini."
"Tidak, anakku, dan jangan membantah. Semua sudah kupikirkan baik-baik. kau pergilah ke Nan-ning dan di sana engkau carilah rumah seorang saudara angkatku. Ayahmu ini hidup sebatangkara, hanya dengan engkau seorang, akan tetapi ada seorang saudara angkatku yang bernama Sie Kian. Dia membuka toko obat di kota Nan-ning dan kau carilah dia, serahkan surat ini kepadanya. Dia yang akan mengatur semuanya, menolong kita pergi dari sini kalau perlu dan... Dan dialah satu-satunya orang yang dapat kau harapkan bantuannya kalau aku... tidak dapat menolongmu seperti keadaanku sekarang. Nah, cepat kau berkemas , Ci Kong."
Ci kong tidak banyak membantah lagi. Dia tahu bahwa keputusan yang diambil Ayahnya itu tentulah yang terbaik untuk mereka. Dan dia dapat menduga bahwa keadaan memang gawat dan tentu Ayahnya sudah memperhitungkan segalanya, maka diapun tidak ragu-ragu lagi walaupun ada juga rasa bingung dalam hatinya menghadapi perjalanan jauh ke tempat yang selamanya belum pernah diketahuinya itu. Tidak banyak bekal yang dapat diberikan oleh Tan Siucai kepada puteranya, akan tetapi yang dia serahkan kepada Ci Kong adalah seluruh uang yang dimilikinya. Setelah siap, Ci Kong berlutut di dekat dipan Ayahnya dan sasterawan itu menahan keluarnya air matanya. Tidak, dia tidak boleh memperlihatkan kelemahan di depan puteranya yang menghadapi perjalanan sukar dan jauh. Dia mengulur tangan menyentuh kepala Ci Kong, dibelainya rambut di kepala itu.
"Anakku yang baik, aku menyesal sekali tidak mampu memberi kehidupan yang lebih baik untukmu, bahkan kini terpaksa engkau akan mengalami kesengsaraan dengan melakukan perjalanan jauh yang melelahkan. Akan tetapi aku yakin bahwa engkau anakku yang baik, pandai membawa diri dan berani menghadapi segala macam kesukaran. Pergilah, anakku, dan carilah Sie Kian sampai dapat. Dialah satu-satunya orang yang boleh kau harapkan, boleh kita harapkan dan jangan sampai hilang di jalan suratku untuknya itu."
"Baiklah, Ayah, akan kulaksanakan semua perintah Ayah. Harap Ayah pandai-pandai menjaga diri dan jangan lupa minum obat yang telah diberi oleh sinshe kemarin." Anak itu merasa bersedih dan terharu sekali harus meninggalkan Ayahnya dalam keadaan sakit seperti itu, namun dia mengeraskan hatinya dan menahan diri agar tidak menangis. Baru setelah dia meninggalkan rumah, sambil berjalan Ci Kong menangis, mengusapi air mata yang menuruni sepanjang kedua pipinya. Dia tidak tahu betapa pada saat itu, setelah dia pergi, Ayahnya juga mengusapi air mata dengan ujung lengan bajunya.
Tentu saja hati orang tua ini merasa hancur membayangkan betapa terpaksa anaknya yang masih begitu kecil harus melakukan perjalanan sukar seorang diri, bahkan mungkin anaknya mulai sekarang akan hidup sebatang kara di dunia yang kejamini. Dia sudah mengambil keputusan. Sakitnya takkan sembuh, ini dia dapat merasakan benar. Biarpun tabib itu hendak menyembunyikan kenyataan, dia sendiridapat merasakan. Apa lagi dia tidak mempunyai cukup uang untuk biaya pengobatan dirinya sampai sembuh, kalau hal itu mungkin. Dan diapun teringat akan ancaman Ma-Ciangkun yang dia tahu bukan merupakan gertakan kosong belaka. Sekali waktu ancaman perwira gendut itu tentu akan dilaksanakan dan dia tidak ingin puteranya ikut tertangkap nanti.
Ci Kong harus bebas dan satu-satunya jalan hanyalah lebih dulu pergi secara diam-diam dari Tung-kang. Syukur kalau puteranya dapat bertemu dengan Sie Kian, saudara angkatnya di Nan-ning. Andaikata tidak dapat jumpa, setidaknya Ci Kong sudah pergi jauh dari Tung-kang dan aman dari ancaman malapetaka yang datang dari Ciu Wan-gwe dan Ma-Ciangkun. Kini keputusannya telah tetap. Dia tidak boleh mati konyol begitu saja. Sehari itu, juga pada malam harinya, Tan Siucai tiada hentinya menulis, dengan huruf besar-besar di atas kertas bertumpuk-tumpuk sampai habis kertas-kertasnya baru dia berhenti. Kemudian, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia membawa kertas-kertas itu, berjalan terhuyung-huyung, menuju ke pasar yang berada di tengah-tengah dusun.
Kemudian, di tempat yang belum begitu ramai karena masih amat pagi itu, Tan Siucai menempel-nempelkan semua kertas yang sudah ditulisinya itu di atas papan-papan, pada dinding-dinding toko, pada batang-batang pohon. Tentu saja hal ini menarik perhatian orang dan sebentar saja tempat-tempat itu penuh dengan kerumunan orang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya semua orang ketika membaca tulisan-tulisan Tan Siucai. Mereka saling pandang dan saling bertanya-tanya apakah sasterawan yang mereka hormati dan kagumi tulisannya itu kini sudah menjadi gila! Tulisan-tulisan itu adalah protes-protes terhadap para pejabat, dan protes akan adanya madat yang meracuni bangsanya. Di antaranya terdapat kalimat keras,
"Para pendekar, di mana kegagahan kalian? Apakah kalian membiarkan saja bangsa kita menjadi pemadat-pemadat lemah yang mudah dihina orang?" dan ada lagi kecaman-kecaman keras terhadap para pejabat,
"Apakah para pembesar mengorbankan rakyat hanya untuk memenuhi kantong hasil perdagangan candu?" dan banyak macam lagi kata-kata yang mengejutkan semua orang karena kata-kata itu jelas merupakan protes keras dan dapat dianggap sebagai mengandung hasutan-hasutan pemberontakan! Banyak orang yang sudah mengenal Tan Siucai memberi nasihat agar sasterawan itu menyingkirkan semua tulisan itu. Akan tetapi hal ini membuat Tan Siucai marah dan dia berkata lantang,
"Kalau bangsa kita sudah begini pengecut, apa yang dapat diharapkan? Anak cucu kita akan menjadi hamba-hamba madat yang hina!" Makin siang, makin banyak orang berkerumun dan tak lama kemudian, tentu saja pembesar setempat mendengarnya dan Tan Siucai ditangkap!
Ketika Ciu Wan-gwe mendengar akan hal ini, cepat dia menghubungi Ma Cek Lung yang segera mengirim pasukan untuk mengambil alih tawanan dari dusun Tung-kang itu. Sebagai seorang tawanan berat, seorang yang dicap sebagai pemberontak, Tan Siucai lalu dibawa ke Kanton sebagai seorang tawanan yang diborgol kaki tangannya, diperlakukan kasar dan dijaga ketat seolah-olah dia seorang yang amat berbahaya! Padahal, napas sasterawan itu sudah empas empis dan sukar sekali dia menggerakkan tubuhnya karena tarikan-tarikan dan pukulan-pukulan, serta perlakuan kasar yang didapatnya dari para perajurit ketika dia diseret, membuat luka-luka di tubuhnya semakin parah. Dan apa yang diduga oleh kebanyakan orangpun terjadilah. Tan Siucai meninggal dunia di dalam tahanan tanpa memperoleh kesempatan membela diri di depan pengadilan!
Banyak orang tahu bahwa di balik kematian Tan Siucai ini tentu tersembunyi rahasia. Siapapun maklum akan kelihaian sasterawanitu dalam kesusasteraan dan andaikata sasterawan itu dihadapkan di pengadilan, tentu akan banyak yang dibicarakan, banyak yang akan dibongkarnya mengenai kebejatan-kebejatanyang terjadi. Dan hal itu amatlah berbahaya bagi para pejabat setempat. Lebih aman dan mudah kalau sasterawan yang memang sudah menderita luka dalam yang parah itu mati saja sebagai seorang tahanan. Pada waktu itu, yang menjadi Kaisar dari kerajaan Ceng-tiauw atau kerajaan Mancu adalah Kaisar Tao Kuang, seorang Kaisar yang tidak berhasil mempertahankan kejayaan Kerajaan Mancu yang selama puluhan tahun dibina oleh mendiang Kaisar Kian Liong sehingga menjadi besar dan kuat.
Semenjak Kaisar Kian Liong meninggal dan singgasana diserahkan kepada Kaisar Cia Cing (1796-1820) sampai kini diduduki Kaisar Tao Kuang, putera Kaisar Cia Cing, Kerajaan Ceng-tiauw terus merosot. Pemberontakan terjadi di mana-mana para pembesar mabok kekayaan dan kedudukan, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pembesar, dan penindasan kau m pembesar terhadap rakyat jelata untuk menambah isi gudang kekayaan mereka. Korupsi terjadi di mana-mana. Di bawah pemerintahan Kaisar Cia Cing setelah Kaisar Kian Liong meninggal, rakyat mulai mengenal madat. Mula-mula madat itu didatangkan oleh para pedagang dari India, karena memang dari sanalah datangnya madat itu. Setelah banyak orang mencobanya dan mulai ketagihan, perdagangan madat ini menjadi semakin subur.
Kebutuhan akan madat makin hebat, orang-orang yang ketagihan semakin banyak dan mulailah benda yang amat berbahaya itu mengalir dalam jumlah besar ke Cina. Pada permulaan abad ke sembilan belas itulah, Persatuan Dagang India Timur (East India Company) milik orang-orang Inggeris, melihat kesempatan untuk mengeduk keuntungan yang amat besar. Mereka lalu bersekutu dengan para pejabat pemerintah Ceng dan sebentar saja, dengan jalan penyuapan dan penyogokan, kau m pedagang Inggeris itu berhasil menguasai seluruh pejabat pemerintah di Kanton,dari gubernurnya sampai kepada perajurit-perajurit petugas keamanan. Pemerintah Kaisar Tao Kuang sama sekali tidak mengijinkan peredaran madat itu dan mereka sudah tahu akan bahayanya.
Akan tetapi, di Kanton terjadi penyelundupan-penyelundupan atau penyuapan-penyuapan dan dengan cara bagaimanapun juga, orang-orang berkulit putih itu berhasil memasukkan madat dalam jumlah yang luar biasa besarnya ke daratan Cina. Melalui madat, kau m kulit putih itu menghisap seluruh kekayaan Cina. Dan melihat sukses yang diperoleh orang-orang Inggeris, maka bangsa kulit putih lainnya seperti Amerika, Portugis dan Belanda, juga tidak mau tinggal diam dan merekapun mengharakan bagian sehingga perdagangan madat menjadi semakin ramai. Orang-orang kulit putih itu mengusap-usap perut gendut dan kantong padat, meninggalkan rakyat Cina menjadi kurus kering karena kehabisan kekayaan dan juga karena keracunan madat. Cerita ini terjadi pada jaman itu, selagi madat merajalela di Cina, dan pusatnya berada di Kanton di mana terdapat banyak kantor-kantor perdagangan orang kulit putih.
Tidaklah mengherankan kalau Ciu Lok Tai menjadi kaya raya karena dia merupakan seorang di antara para pedagang madat yang menerima madat dari orang-orang kulit putih. Dan tentu saja dia mempunyai hubungan erat dengan para pejabat, termasuk Ma Cek Lung yang menjadi komandan pasukan keamanan di Kanton. Dan tidak mengherankan pula kalau Tan Siucai mati di dalam kamar tahanan karena dia berani menyinggung masalah yang amat peka itu, soal peredaran madat yang tentu saja dianggap membahayakan kedudukan para pembesar yang menjadi makmur karena perdagangan madat. Pada waktu itu, orang-orang kulit putih tidak memperoleh kebebasan gerak di daratan Cina. Mereka hanya boleh datang di dua tempat saja.
Yaitu pertama di Makao yang menjadi pusat orang-orang portugis berpangkal, sedangkan kota ke dua adalah Kanton. Agaknya, setelah ribuan tahun lamanya mempunyai pemerintahan feudal dan keluarga Kaisar selalu menganggap derajatnya amat tinggi, jauh lebih tinggi dari derajat manusia biasa, bahkan Kaisar menganggap dirinya sebagai utusan Tuhan, maka setelah bangsa kulit putih mulai mengadakan hubungan dengan Cina, Kaisarpun memandang mereka itu atau bangsa-bangsa asing pada umumnya sebagai bangsa biadab. Hal ini mungkin tadinya timbul karena di luar Cina banyak tinggal suku-suku bangsa yang liar dan yang selalu membikin kekacauan, menyerbu ke pedalaman sehingga timbul pandangan bahwa bangsa yang berada di luar Cina adalah bangsa liar atau bangsa biadab.
Pandangan yang besar sekali kemungkinan timbul karena kecongkakan pemerintahannya sebagai akibad sistim perbedaan kelas yang menyolok dari keluarga Kaisar ini kemudian menjalar ke seluruh rakyat sehingga timbul semacam penyakit dalam batin masyarakat Cina untuk menganggap bangsa apapun di luar Cina adalah bangsa biadab. Kecongkakan dan pemujaan diri sendiri yang berlebihan ini menghancurkan Cina sendiri. Karena congkak, mereka tidak mau tahu bahwa bangsa-bangsa biadab yang mereka pandang rendah itu telah memperoleh kemajuan pesat sekali dan sama sekali tidak dapat dinamakan bangsa yang lebih bodoh, lebih sederhana, atau lebih rendah dari pada mereka.
Bahkan untuk mengurus bangsa asingpun oleh pemerintah dinamakan Kantor Urusan Bangsa-bangsa biadab! Kaisar keturunan Bangsa Mancu, yang sebelum menguasai Cina juga dianggap bangsa biadab oleh pribumi daratan Cina sendiri, agaknya sengaja mengangkat bangsanya agar terlupa bahwa mereka adalah suku bangsa di luar tapal batas Cina dan hendak melebur diri sendiri dengan pribumi. Pemerintah mengadakan peraturan yang amat menghina bangsa asing. Bangsa asing dari manapun juga yang hendak menghadap Kaisar harus tunggu berbulan lamanya dan diperlakukan sebagai utusan negara yang hendak menyataklan tunduk dan setia kepada Kaisar. Mereka diharuskan menjura dengan hormat kepada Kaisar. Kalau tidak mau melakukan penghormatan ini, mereka tidak akan diterima dan akibatnya mereka tidak boleh berdagang, apa lagi tinggal di Cina.
Pemerintah juga melarang orang-orang asing melakukan perdagangan langsung ke pasar-pasar, melainkan harus berhubungan dengan badan yang ditunjuk pemerintah khusus melayani mereka, dan badan atau orang ini disebut Co-hong. Akibatnya tentu saja ada persekutuan antara orang-orang asing dengan Cohong-cohong ini, yang meluas menjadi kerja sama dengan para pejabat yang menerima suapan. Pemberontakan yang merajalela di seluruh Tiongkok membuat pemerintah Kaisar Tao kuang menjadi semakin lemah. Sementara itu, orang-orang Eropa yang datang ke daratan Cina bukan lagi perantau-perantau seperti abad-abad yang lalu, melainkan orang-orang yang mewakili negara-negara yang mulai berkembang menjadi negara yang kuat.
Mereka tidak mau direndahkan dan menganggap diri mereka lebih tinggi. Merekalah yang menganggap Bangsa Cina masih terbelakang dan kuno, dan melihat negara dan bangsa itu merupakan makanan empuk dan merupakan pasar yang amat besar untuk menjual barang-barang dagangan mereka. Akan tetapi, pada permulaan abad ke sembilanbelas itu, Cina tidak membutuhkan barang-barang dari Eropa. Kemudian, setelah orang-orang kulit putih melihat kelemahan rakyat Cina yang mulai ketagihan candu, mereka melihat kesempatan baik sekali untuk mengeduk keuntungan sebesarnya dan mulailah mereka memasukkan madat secara besar-besaran, madat yang mereka datangkan dari India. Dan madat ini, seperti yang digambarkan oleh Tan Siucai, memang benar-benar merupakan malapetaka bagi rakyat Cina.
Dalam waktu beberapa tahun saja, racun itu bukan saja terdapat dalam rumah-rumah madat umum di mana para pecandu boleh membeli dan menghisap madat, akan tetapi juga sudah menyusup ke rumah-rumah para hartawan dan bangsawan, bahkan banyak sekali pendekar-pendekar gagah perkasa tunduk dan lumpuh oleh pengaruh madat, para pejabat juga menjadi hambanya. Demikianlah gambaran sekilas tentang keadaan di jaman itu dan mari kita ikuti perjalanan Tan Ci Kong, putera tunggal Tan Siucai yang bernasib malang itu. Pesan Ayahnya masih terngiang di telinganya ketika akhirnya dia tiba di tepi sungai Si-kiang, menyusuri tepi sungai sebelah utara menuju ke barat untuk mencari tempat penyeberangan. Air sungai itu penuh dan arusnya deras sekali dan tidak nampak ada perahu disitu.
Di antara pesan Ayahnya yang paling membingungkan adalah ""Jangan sekali-kali engkau kembali ke Tung-kang sebelum ada berita dariku. Kelak aku akan menyusulmu ke Nan-ning." Jadi aku tidak akan melihat dusun tempat kelahiranku lagi, pikir Ci Kong ketika dia berjalan dengan menyusuri sungai. Melakukan perjalanan di waktu itu tak dapat dibilang aman. Penduduk tidak boleh membawa senjata dan tampa senjata di tangan, tentu saja orang mudah menjadi korban keganasan perampok-perampok yang bersenjata. Akan tetapi, siapakah mau menganggu seorang anak laki-laki kecil, apa lagi kalau dia tidak memakai pakaian bagus dan tidak membekal uang? Setelah menemukan perahu yang suka membawanya ke seberang dan melanjutkan perjalanannya yang amat melelahkan, berulah seminggu kemudian Ci Kong tiba di kota Nan-ning.
Kota ini tidak begitu besar dan tidak sukar bagi Ci Kong untuk menemukan toko obat milik orang yang bernama Sie Kian. Dia tiba di toko itu setelah hari mulai gelap dan toko itu sudah tutup, hanya daun pintunya saja yang masih terbuka. Sebuah toko sederhana saja, tidak terlalu besar. Ketika Ci Kong mengetuk daun pintu perlahan, muncullah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, pakaiannya seperti seorang pelajar dengan lengan baju yang lebar sekali. Biarpun usianya baru lima puluh tahun lebih, akan tetapi kepala orang itu sudah putih, semua rambutnya sudah menjadi uban. Wajahnya juga membayangkan bahwa hidupnya lebih banyak menderita dari pada bersuka ria. Pandang matanya sayu dan gerak geriknya halus.
"Anak baik, apakah engkau hendak membeli obat? Ataukah ada yang sakit?" Tanya Kakek itu denga sikap ramah. Ci Kong menggeleng kepala.
"Tidak, paman, saya mencari seorang paman yang bernama Sie Kian dan kata orang tinggal di toko obat ini." Ci Kong memandang penuh selidik karena dia sudah menduga bahwa agaknya orang inilah sahabat Ayahnya itu.
"Sie Kian? Ah, aku sendirilah orangnya. Engkau anak kecil ada urusan apakah mencari aku? Dan darimana engkau datang? Nampaknya kau lelah sekali." Bukan main girangnya hati Ci Kong ketika orang itu mengaku bernama Sie Kian, orang yang dicarinya. Segera dia menjatuhkan diri berlutut sebagai penghormatan.
"Paman Sie Kian, saya datang diutus oleh Ayah saya yang bernama Tan Seng..." katanya dengan suara serak karena hatinya merasa terharu sekali. Orang itu terbelalak.
"Apa? kau maksudkan Tan Siucai... yang tinggal di Tungkang?"
"Benar, paman, dan ada surat dari Ayah untuk paman." Ci Kong menurunkan buntalan pakaiannya dan hendak membukanya. Akan tetapi Sie Kian menangkap lengannya.
"Mari masuk, nak. Kita bicara di dalam saja." Ci Kong menurut dan merekapun memasuki rumah itu. Sie Kian menutup daun pintunya dan setelah mereka memasuki rumah itu, baru Ci Kong tahu bahwa laki-laki itu tinggal seorang diri saja dalam rumah ini, bahkan pelayanpun tidak punya. Sie Kian mengajak anak itu duduk menghadapi sebuah meja dan ruangan itu diterangi oleh sebuah lampu yang cukup besar.
"Duduklah. Taruh buntalanmu di atas meja dan keluarkan surat itu. Ingin sekali aku tahu apa isi surat Ayahmu," kata Sie Kian, masih terheran-heran melihat anak sekecil ini datang sendirian saja dari tempat yang begitu jauhnya. Hatinya merasa tidak enak. Apakah gerangan yang terjadi dengan diri kakak angkatnya itu? Sudah hampir se puluh tahun mereka tidak saling mengadakan hubungan dan dia tidak tahu sama sekali bagaimana keadaan sasterawan itu. Setelah dia membaca surat Tan Siucai yang diterimanya dari Ci Kong, wajah orang she Sie itu berobah agak pucat.
"Ah... ahhh...!" berkali-kali dia mengeluh, kemudian dia menyimpan surat itu di saku jubahnya.
"Anak baik, namamu Tan Ci Kong?"
"Benar paman."
"Engkau tinggallah disini bersamaku, engkau bisa membantuku. Besok aku akan menyuruh seorang teman untuk pergi ke dusunmu dan menyelidiki tentang keadaan Ayahmu. Kalau mungkin, aku akan membawa Ayahmu itu ke sini agar dapat kurawat dia sampai sembuh." Tentu saja hati anak kecil itu menjadi girang sekali dan diapun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sie Kian.
"Terima kasih, paman, aku Tan Ci Kong selama hidup tidak akan lupa kepada budi paman ini." Sie Kian merangkul anak itu dengan hati terharu dan diam-diam dia merasa kagum. Anak kecil ini bukan hanya tabah dan pemberani sekali, tahan menderita dan dapat melakukan perjalanan demikian jauhnya sendirian saja, akan tetapi juga baik budi dan berkelakuan sopan. Mulai hari itu, Ci Kong membantu paman angkatnya yang tidak mempunyai pelayan.
Dia membersihkan rumah, mencuci pakaian, mencari air, masak nasi dan air, juga belajar membuat masakan dari pamannya. Sementara itu Sie Kiam mengutus seorang teman untuk melakukan penyelidikan ke Tung-kang. Seminggu kemudian, teman itu datang kembali dan menyampaikan kabar yang amat mengejutkan hati Sie Kian, bahwa Tan Siucai telah tewas di dalam tahanan setelah ditangkap karena menempelkan tulisan-tulisan yang dianggap memberontak! Sie Kian segera menutup tokonya dan membawa Ci Kong ke dalam kamarnya. Di situ dia merangkul anak itu, tak mampu mengeluarkan kata-kata dan orang yang bertubuh agak gemuk pendek dan biasanya amat peramah dan halus budi ini menangis! Ci Kong adalah seorang anak yang amat cerdik. Melihat sikap pamannya, hatinya terasa perih seperti tertusuk.
"Paman Sie Kian, apakah yang telah terjadi dengan Ayahku?" Mendengar pertanyaan ini Sie Kian makin mengguguk tangisnya dan dia mendekap kepala anak itu di dadanya. Selama ini dia hidup menyepi seorang diri, tanpa sanak tanpa teman, dan segera tiba-tiba dia dipertemukan dengan anak kakak angkatnya ini, akan tetapi ternyata nasib anak ini demikian buruknya.
"Paman. Apakah Ayah... Ayah meninggal dunia?" Sie Kian terkejut dan memegang kedua pundak kecil itu, melalui air matanya dia memandang wajah itu dengan heran. Ci Kong tidak menangis, akan tetapi kedua matanya juga basah air mata.
"Paman, ketika aku disuruh pergi oleh Ayah, dia terluka parah dan hatiku sudah tidak enak. Sikap Ayah seolah-olah kami tidak akan saling bertemu kembali. Benarkah Ayah meninggal dunia...?" Sie Kian menelan ludahnya dan mengangguk. Ci Kong menjatuhkan dirinya berlutut, tidak menangis hanya menundukkan mukanya dan hanya beberapa butir air mata yang menuruni kedua pipinya. Anak itu mengepalkedua tangannya yang kecil. Hening sejenak, yang terdengar hanya tarikan napas panjang berkali-kali dari Sie Kian. Kemudian terdengar suara Ci Kong, lirih dan agak gemetar.
"Paman Sie Kian, bagaimanakah meninggalnya Ayahku? Dan siapakah yang mengurus penguburannya?" Dengan hati-hati dan perlahan-lahan Sie Kian lalu menceritakan apa yang telah didengarnya dari teman yang disuruhnya melakukan penyelidikan ke Tung-kang itu, betapa Ayah anak itu dalam keadaan sakit menempelkan tulisan-tulisan yang menentang madat dan mengutuk para pembesar dan pedagang madat, sehingga dia dianggap pemberontak, ditangkap dan karena keadaannya memang payah, dia meninggal dalam tahanan.
"Ayahmu sungguh keras hati dan nekat," Sie Kian berkata, "Dalam keadaan masih sakit berat, dia bahkan berani bertindak demikian jauh sehingga menimbulkan keributan. Mungkin ketika ditangkap, dia berada dalam keadaan yang sudah menghebat sakitnya akibat luka-lukanya dan dia meninggal di dalam kamar tahanan."
"Ayah hebat!" Tiba-tiba Ci Kong berkata sambil mengepal tinju.
"Biarpun lemah dan sakit, Ayah berani menentang apa yang dianggapnya tidak benar, kalau sudah besar, akupun ingin seperti Ayah!" Sie Kian memandang kagum dan tiba-tiba ada sebuah pikiran menyelinap di benaknya.
"Ci Kong, dengar baik-baik. Peristiwa kematian Ayahmu ini mendorongku untuk segera membawamu pergi ke suatu tempat. Engkau tidak bisa tinggal terus disini...!" Ci Kong mengerutkan alisnya, menatap wajah Sie Kian dengan pandang mata tajam penuh selidik.
"Apakah paman takut terlibat dan menerima akibat buruk dari urusan keluarga Ayah? Kalau begitu, biarlah aku pergi dari sini agar paman tidak sampai tersangkut." Sie Kian merangkul pundak anak itu.
"Jangan salah sangka, anak baik. Dengarlah. Ayahmu dimusuhi oleh pemerintah, dan dicap pemberontak. Hal ini amat berbahaya bagimu. Kalau mereka tahu bahwa Ayahmu mempunyai seorang putera, tentu mereka akan mencarimu dan kalau sampai ketahuan engkau disini, bagaimana aku akan dapat melindungimu? Karena itu, engkau harus disingkirkan dan diselamatkan, disembunyikan dari mereka. Dan ke dua, engkau tadi mengatakan bahwa engkau ingin segagah Ayahmu, bukan? Akan tetapi, bagaimana engkau dapat berhasil melakukan kegagahan kalau tubuhmu lemah seperti Ayahmu? Engkau harus menjadi seorang yang berbeda dengan Ayahmu yang hanya pandai menulis itu. Engkau harus menjadi seorang ahli silat yang pandai dan kuat." Ci Kong yang masih kecil itu dapat menangkap apa yang dimaksudkan pamannya dan dia mengangguk-angguk.
"Lalu apa yang akan paman lakukan?"
"Aku akan mengantarmu ke sebuah kuil. Kepala kuil itu adalah seorang Hwesio tua yang berilmu tinggi. Aku mengenalnya dengan baik karena diantara kami terdapat kecocokan, yaitu kami sama-sama penentang pemerintah penjajah Mancu. Di sana engkau akan lebih terlindung, juga tersembunyi. Engkau dapat belajar ilmu dari Hwesio itu dan membantu pekerjaan di kuil. Setujukah engkau, Ci Kong?" Anak itu mengangguk. Dan pada hari itu juga Ci Kong dibawa oleh Sie Kian pergi ke sebuah kuil tua yang besar. Kuil itu berada di lereng dekat puncak sebuah bukit, di sebelah utara kota Nan-ning, dua hari perjalanan dari kota itu.
Dari bukit inilah mengalirnya sungai Si-kang ke timur. Ketua kuil itu bernama Nam San Losu, seorang penganut agama Budha yang taat, berusia enam puluh tahun lebih namun tubuhnya tinggi besar masih nampak kokoh kuat dan dengan wajahnya yang hitam dan kasar dia kelihatan seperti seorang yang berhati keras. Akan tetapi sesungguhnya tidak demikian karena Nam San Losu memiliki watak yang lembut, halus tutur sapanya dan halus gerak geriknya walaupun dalam setiap gerakannya itu tenaga yang amat kuat. Dengan sabar Nam San Losu mendengarkan penuturan Sie Kian yang sudah lama menjadi sahabatnya karena keduannya suka bertukar pikiran tentang ilmu pengobatan, dan setelah Sie Kian selesai bercerita, Kakek kepala gundul itu menarik napas panjang dan memandang kepada Ci Kong.
"Omitohud...! Pinceng sendiri prihatin melihat betapa makin banyak rakyat yang menjadi korban madat. Kalau saja semua orang yang pandai memiliki kebijaksanaan seperti Tan Siucai, tentu pengaruh madat itu akan dapat ditentang dan ditolak." Kemudian dia bertanya kepada Ci Kong,
"Anak baik, siapakah namamu?"
"Namaku Tan Ci Kong, losuhu."
"Engkau tidak lagi mempunyai sanak keluarga di dunia ini?"
"Tidak, kecuali paman Sie Kian seorang."
"Pamanmu hendak menitipkan engkau disini, apakah engkau suka?" Ci Kong mengangguk tampa menjawab, akan tetapi sinar matanya yang tajam berseri itu menunjukkan bahwa dia menyukai tempat sunyi yang berhawa sejuk itu.
Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ci Kong, tempat ini adalah sebuah kuil dan hanya orang-orang yang telah bersumpah mengabdikan dirinya kepada agama saja dan menjadi Hwesio yang tinggal disini. Pinceng tinggal disini bersama lima orang Hwesio yang menjadi murid pinceng. Akan tetapi kulihat engkau tidak mempunyai bakat untuk menjadi pendeta. Satu-satunya jalan agar engkau dapat tinggal disini untuk sementara waktu hanyalah menjadi muridku, bukan murid agama melainkan murid ilmu silat. Bagaimana?" Ci Kong memang cerdik. Sebelumnya dia sudah mendengar penuturan Sie Kian tentang Hwesio tua ini, maka mendengar ucapan itu diapun segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hwesio itu.
"Teecu suka sekali menjadi murid Suhu dan akan mentaati segala petunjuk dan perintah suhu." Hwesio itu tersenyum dan saling bertukar pandang dengan Sie Kian yang menganggukangguk girang dan kagum.
"Selain mempelajari ilmu silat, karena kau putera seorang siucai, engkaupun harus mempelajari ilmu sastera dan pinceng akan memimpinmu sedapat mungkin. Akan tetapi, di waktu tidak belajar engkau harus bekerja keras membantu para suhengmu di kuil ini."
"Teecu akan mentaatinya!" Demikianlah, mulai hari itu, Sie Kian meninggalkan Ci Kong di kuil tua dan anak itu menjadi murid Nam San Losu, Hwesio tua yang hidup seperti pertapa di dekat puncak bukit sunyi itu.
Dia belajar ilmu silat dan sastera kepada Hwesio itu, dan bergaul dengan akrabnya dengan para suhengnya yang menjadi Hwesio -Hwesio berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Anak ini rajin sekali, tidak pernah bermalas-malasan sehingga bukan saja Nam San Losu suka kepadanya, juga lima orang Hwesio lainnya menjadi sayang kepadanya. Untunglah bagi Ci Kong karena Nam San Losu adalah seorang ahli silat dari Siauw-lim-pai dan betapapun beratnya gemblengan yang dilakukan Nam San Losu terhadap dirinya, dia terima dengan segala keikhlasan hati dan dia belajar tanpa mengenal lelah. Malam yang gelap di kota Kanton. Kota ini menjadi sebuah kota yang ramai dan mewah setelah kota itu ditentukan untuk menjadi kota perdagangan dengan orang-orang berkulit putih.
Kota inilah, disamping kota Makao, yang menampung penyelundupan candu dan di kedua kota ini rakyat dapat melihat orang-orang berkulit putih yang kalau masuk ke pedalaman, tentu akan menimbulkan perasaan heran bukan main karena kulit mereka yang putih, rambut dan bola mata mereka yang berwarna. Malam itu gelap, kecuali rumah-rumah besar para pedagang kaya yang sekelilingnya digantungi lampu-lampu minyak yang besar dan yang sinarnya mendatangkan penerangan sekedarnya di jalan-jalan depan rumah-rumah gedung itu. Rumah berpintu merah itu amat dikenal oleh mereka yang suka melacur dan mereka yang suka menghisap madat. Di dalam rumah itu laki-laki iseng dapat menghamburkan uangnya untuk pelacur ataupun untuk menghisap madat. Memang dua kebiasaan ini berdekatan selalu. Kalau malam tiba, terdengar suara cekikikan ketawa wanita menyelinap keluar melalui jendela kamar-kamar itu bersama keluarnya asap tipis berbau madat yang memuakkan bagi mereka yang tidak biasa,
Akan tetapi merupakan asap ajaib yang dapat mendatangkan kenikmatan tanpa batas bagi mereka yang telah mencandu. Orang-orang yang tidak punya uang jangan harap dapat memasuki rumah berpintu merah ini, karena selain madat mahal harganya, juga para pelacur yang berkumpul disitu, yang jumlahnya belasan orang, terdiri dari pelacur-pelacur kelas mahal. Seorang laki-laki tinggi kurus yang mukanya pucat kehijauan keluar dari dalam kamar yang bau pengap oleh asap madat dan dengan langkah terhuyung akan tetapi kedua kakinya bergerak ringan dia berjalan ke ruangan depan. Sebuah buntalan kuning digendongnya di belakang punggung dan wajah si muka kehijauan ini nampak senyum penuh kepuasan seperti biasa senyum laki-laki yang meninggalkan kamar madat itu.
"Hai, A-Ceng! kau hendak kemana? Malam belum larut dan kau sudah mau pergi?" Tegur seorang laki-laki gendut yang sedang memangku seorang pelacur dan bergurau dengan teman-temannya yang masing-masing dikawani seorang pelacur pula. Mereka, empat orang itu, duduk menghadapi arak mengelilingi sebuah meja bundar dan agaknya mereka ini lebih suka minum-minum di situ ditemani pelacur dari pada menghisap madat atau melacur di dalam kamar.
Atau mungkin juga mereka tadi sudah puas menghisap madat. Laki-laki kurus bermuka hijau itu menoleh dan tersenyum ketika melihat mereka berempat. Hanya si gendut itu saja yang dikenalnya, yang lainnya tidak. Kenalpun hanya selewat dengan si gendut karena si gendut itu adalah seorang tukang pukul yang melindungi tempat pelacuran dan pemadatan itu. Secara sambil lalu dia berkenalan dengan si gendut, bahkan secara sembarangan dia memperkenalkan diri dengan nama palsu A Ceng, dan si gendut itu memperkenalkan namanya pula yang tidak diingatnya lagi, akan tetapi dia teringat akan julukan yang diperkenalkan dengan bangga oleh si gendut, yaitu "Si Kaki Besi." Orang bermuka kehijauan yang mengaku bernama A Ceng itu melambaikan tangan sebagai balasan salam.
"Aku sudah puas menghisap, dan ada keperluan penting. Besok aku dating lagi!" A Ceng melanjutkan langkahnya keluar dari rumah berpintu merah itu. Si Kaki Besi memberi syarat kepada tiga orang kawannya. Merekapun segera meninggalkan pelacur-pelacur itu dan dengan berindap-indap mereka berempat keluar pula dari tempat itu melalui pintu samping, dengan sikap yang amat mencurigakan. Empat orang wanita pelacur itu saling pandang dengan heran akan tetapi seperti biasa, mereka tidak perduli dan segera memperbaiki muka dan rambut mereka dengan bedak, pemerah bibir dan sisir untuk menanti datangnya lain tamu iseng.
Malam masih terlalu panjang bagi mereka ini. A Ceng berjalan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk dan tiba-tiba dia berhenti di dekat tempat terbuka yang sunyi, memandang ke kanan kiri dan belakang karena dia seperti mendengar suara yang mencurigakan. Dari sikapnya yang penuh curiga dan waspada, dapat diduga bahwa dia tidak sedang berjalan-jalan biasa melainkan ada suatu urusan penting yang sedang dikerjakannya. Tiba-tiba nampak empat bayangan orang berloncatan dan si gendut yang berjuluk Si Kaki Besi, tukang pukul rumah pelacuran dan pemadatan Pintu Merah telah berada di depan A Ceng, bersama tiga orang kawannya yang tadi minum-minum dengannya. Melihat si gendut, wajah A Ceng yang tadinya terkejut nampak lega.
"Ah, kiranya engkau, Toako! Ada apakah menyusulku? Aku tidak meninggalkan hutang di rumah Pintu Merah." Si gendut menyeringai.
"Hemm, engkau membawa bungkusan dari rumah itu. Aku harus memeriksanya dulu, sobat, apa isi bungkusan itu." Wajah yang kehijauan itu berobah pucat dan matanya terbelalak.
(Lanjut ke Jilid 03)
Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)
Jilid 03
"Aku tidak mengambil apa-apa, tidak mencuri apa-apa. Ini adalah barang ku sendiri!"
"Heh, mana aku tahu kalau belum kulihat isi buntalan itu?" hardik si gendut dan dengan sikap mengancam dia mendekati A Ceng, diikuti tiga orang temannya yang jelas memperlihatkan sikap mengurung dan mengancam.
"Toako, sekali lagi kuperingatkan bahwa aku tidak mencuri apa-apa dan ketika memasuki rumah Pintu Merah aku sudah membawa barangku ini." Bantah pula orang yang mengaku bernama A Ceng.
"Ha-ha! kau kira kami orang-orang bodoh atau buta? Engkau bukan bernama A Ceng, melainkan she Phek, seorang buaya darat dari sebelah utara Kanton. Engkau mengaku bernama A Ceng dan engkau membawa barang yang selalu kau rahasiakan. Hayo buka dan perlihatkan kepada
kami!"
"Baiklah..., baiklah...!" kata A Ceng dan diapun menurunkan buntalannya dari gendongan dan meletakkannya di atas tanah. Ketika dia membuka buntalan itu perlahan Pedang lahan, empat orang itu membungkuk di sekelilingnya karena mereka ingin melihat lebih jelas apa isi bungkusan itu dan tempat itu hanya mendapat penerangan sedikit saja dari lampu yang tergantung di rumah agak jauh dari tempat itu.
Dengan perlahan-lahan dan sikap tenang sekali A Ceng membuka buntalan kain kuning itu dan tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya bergerak ke atas. Sinar-sinar hitam menyambar ke empat penjuru dan Si Kaki Besi bersama tiga orang kawannya berteriak kesakitan sambil menutupi kedua mata dengan tangan, menggosok-gosoknya karena mata mereka disambar pasir yang dilemparkan dengan tiba-tiba oleh A Ceng tadi. A Ceng tidak membuang waktu lagi. Melihat betapa empat orang itu kebingungan menggosok-gosok mata dengan kedua tangan, diapun cepat meloncat berdiri dan membagi-bagi pukulan dan tendangan yang dilakukan penuh pengarahan tenaga sinkangnya.
Rajawali Hitam Eps 10 Rajawali Hitam Eps 11 Rajawali Hitam Eps 4