Ceritasilat Novel Online

Pedang Naga Kemala 23


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 23




"Omitohud..., cita-cita ini amat luhur. Akan tetapi, nona, bagaimana kalau kelak mereka tidak mendengarkan peringatan yang kau berikan?" Diana memandang Hwesio tua itu dan diam-diam ia merasa tunduk. Hwesio ini memiliki pandang mata yang demikian mencorong tapi lembut dan penuh pengertian mendalam seolah-olah di dunia ini tidak ada rahasia apa-apa lagi baginya.

"Lo-suhu," katanya penuh hormat.

"Kalau sampai mereka tidak mau menerima peringatan yang akan saya berikan kelak, maka saya akan menggunakan segala kepandaian yang ada pada saya untuk menentang perbuatan mereka yang jahat! Demi untuk membela kebenaran dan keadilan, saya rela mati di tangan bangsaku sendiri karena menentang mereka."

"Siancai... gadis ini biarpun berkulit putih namun semangatnya besar dan berjiwa pendekar. Engkau beruntung sekali mendapatkannya sebagai murid, San-tok." Akan tetapi hati San-tok tidak merasa gembira oleh ucapan Siauw-bin-hud ini, bahkan dia lalu berkata kepada Diana,

"Kau keluarlah dulu, aku mau bicara dengan mereka mengenai urusan penting!" Tentu saja wajah Diana berubah agak pucat. Ia sudah mendengar dari Lian Hong bahwa Kakek yang menjadi gurunya ini seorang yang aneh, kadang-kadang jahat dan kejam sekali walaupun memiliki kesaktian. Akan tetapi tak disangkanya gurunya akan tega memperlakukannya seperti ini, mengusirnya dari depan banyak orang secara merendahkan sekali. Akan tetapi ia teringat akan pesan Lian Hong agar mentaati semua perintah suhunya, maka iapun mengangguk dan mengundurkan diri, keluar dari ruangan belakang itu menuju ke kebun. Melihat ini, Siauw-bin-hud merasa tidak enak.

"Ci Kong, temanilah gadis itu. Sebagai seorang tamu sudah sepantasnya ia kita sambut dengan baik." Tentu saja Ci Kong merasa tidak enak sekali. Sebetulnya, hatinya tidak keberatan untuk menemani seorang seperti Diana yang walaupun seorang gadis kulit putih namun harus diakuinya amat cantik, walaupun kecantikannya itu asing baginya. Namun, dia sedang berada di antara tokoh-tokoh besar, bahkan terutama sekali di situ ada Kui Eng! Dia akan merasa lebih senang menemani Kui Eng dari pada gadis asing ini!

"Kui Eng, engkau pun pergilah menemani mereka. Kami orang-orang tua mau bicara," tiba-tiba Tee-tok berkata. Ucapan ini menggirangkan hati Kui Eng yang segera bangkit dan turun ke kebun itu, akan tetapi juga menggirangkan hati Ci Kong karena dengan adanya Kui Eng, tidak perlu lagi dia merasa kaku dan malu-malu harus menemani Diana dari pada kalau dia berdua saja dengan gadis bule itu. Setelah tiga orang muda itu memasuki kebun dan tak nampak lagi dari ruangan itu, Santok yang ingin segera menyampaikan keinginan hatinya lalu berkata,

"Siauw-bin-hud, aku akan menyampaikan suatu rahasia. Kebetulan sekali Tee-tok di sini, biarlah dia menjadi saksi." Siauw-bin-hud dapat menduga bahwa tentu Kakek berpakaian tambal-tambalan itu hendak menyampaikan hal yang amat penting sekali. Akan tetapi dia bersikap tenang saja dan berkata,

"Omitohud, pinceng siap mendengarkan, San-tok."

"Tadinya, rahasia ini akan kusimpan sampai mati, karena memang aku ingin mengalihkan perhatian seluruh tokoh-tokoh agar tidak mengetahui rahasiaku ini. Akan tetapi setelah kita mengadakan pertemuan di tempat pesta Hai-tok, pendirianku berubah. Aku hendak bicara tentang rahasia Giok-liong-kiam!" Mendengar ini, Siauw-bin-hud yang biasanya tenang itupun kini mengangkat muka memandang penuh perhatian. Apa lagi Tee-tok. Dia memandang rekannya dengan sinar mata mencorong dan penuh curiga.

"Jembel gunung! Jangan katakan bahwa engkau sudah merampas Giok-liong-kiam dari tangan murid pertama Thian-tok yang murtad itu!" San-tok mengangguk-angguk.

"Terus terang saja, memang aku belum berhasil menemukan Giok-liong-kiam, akan tetapi dapat dikatakan bahwa Giok-liong-kiam sudah berada di tanganku! Akan tetapi sebelum aku melanjutkan ceritaku yang akan membuka rahasia Giok-liong-kiam, aku ingin minta pendapat kalian lebih dulu."

"Pendapat bagaimana?" tanya Siauw-bin-hud.

"Bagaimana pendapat kalian tentang orang yang akan mampu menemukan harta karun itu dan menyerahkannya untuk keperluan perjuangan menumbangkan pemerintah penjajah dan menentang bangsa kulit putih? Apa hadiah untuknya?"

"San-tok, apakah kau masih pura-pura lagi? Bukankah kau sendiri yang mengajukan usul bahwa dia yang berhasil itu akan memperoleh pedang pusaka Giok-liong-kiam, dan selanjutnya dianggap sebagai pahlawan dan jagoan nomor satu di dunia?" Tee-tok menegur.

"Itu benar, dan hal itu sudah menjadi persetujuan bersama," sambung Siauw-bin-hud.

"Aku tidak akan menyangkal persetujuan itu, Siauw-bin-hud, akan tetapi aku ingin menambahkan sedikit, yaitu bahwa apa bila aku yang berhasil menemukan harta karun itu, mengingat bahwa muridku Siauw Lian Hong yang banyak berjasa dalam hal itu, aku ingin agar engkau suka menyetujui Hong Hong menjadi jodoh muridmu, Tan Ci Kong." Mendengar ini, Tee-tok terkejut dan cepat mencela.

"Ah, itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Giok-liong-kiam! San-tok, baru saja aku hendak minta kepada Siauw-bin-hud agar muridnya itu dijodohkan dengan muridku Ciu Kui Eng. Karena engkau sudah menyatakan lebih dulu, biarlah akupun mengajukan pinangan dan kita lihat, siapa diantara murid-murid kita yang akan diterima menjadi calon isteri murid Siauw-bin-hud."

Kini Siauw-bin-hud yang merasa terkejut dan dia memandang kepada wajah dua datuk sesat itu dengan hati yang agak cemas. Pinangan orang biasa saja merupakan hal yang wajar dan menerima atau menolaknya merupakan peristiwa biasa yang takkanmendatangkan akibat apapun. Akan tetapi pinangan orang-orang seperti mereka ini, kalau ditolak tentu akan mendatangkan akibat apapun. Akan tetapi pinangan orang-orang seperti mereka ini, kalau ditolak tentu akan mendatangkan akibat buruk, dan kini yang mengajukan pinangan sekaligus adalah dua orang! Menerima yang satu tentu akan menolak yang lain dan dia menjadi serba salah. Akan tetapi, Siauw bin-hud hanya sedetik dua detik saja dicekam kecemasan. Dia sudah tersenyum kembali.

"Omitohud, betapa lucunya kalian ini, ha-ha-ha-ha!" Kakek tua renta itupun tertawa bergelak, suara ketawa yang halus dan penuh kegembiraan. Sejenak dua orang datuk sesat itu saling pandang dengan sikap bermusuhan, akan tetapi mendengar suara ketawa itu, San-tok berkata,

"Siauw-bin-hud, apa engkau merasa terlalu tinggi bagi orang macam aku?"

"Engkau berani memandang rendah kepadaku, dan muridku tidak pantas menjadi jodoh murid Siauw-lim-pai?" Tee-tok juga menegur. Dua orang datuk sesat itu nampak penasaran sekali dan siauw-bin-hud menarik napas panjang, akan tetapi masih tersenyum lebar. Baru bayangan bahwa pinangan itu ditolak saja sudah membuat kedua orang datuk ini nampak penasaran dan marah. Apa lagi kalau benar-benar ditolak! Dia tidak takut akan ancaman mereka, akan tetapi dia mengkhawatirkan perpecahan akan terjadi di antara mereka, pada hal dalam menghadapi kekalutan tanah air, mereka sudah sepakat untuk bekerja sama.

"Siancai... harap kalian bersabar dan tidak mengambil keputusan dan pendapat tergesa-gesa yang tidak tepat. Siapakah yang menolak dan siapakah yang menerima? Kalian tentu tahu bahwa perjodohan hanya dapat terlaksana kalau ada persetujuan kedua pihak, maksud piceng pihak mereka yang tersangkut. San-tok, engkau mengajukan pinangan, apakah engkau telah yakin bahwa muridmu itu mencinta Ci Kong?" Ditanya demikian, San-tok memandang bingung.

"Aku tidak tahu, akan tetapi... ia tentu mau, ia harus mau..."

"Bagaimana dengan engkau, Tee-tok, apakah muridmu itu mencinta Ci Kong?"

"Wah, mana aku tahu? Agaknya begitulah. Seharusnya begitu karena muridmu itu seorang pemuda yang baik dan alangkah baiknya kalau kita menjadi besan..." Siauw-bin-hud memperlebar senyumnya.

"Omitohud, kalian ini dua orang tua yang berpikiran singkat dan seperti kanak-kanak saja. Bagaimana kalian berani lancang mengajukan pinangan kalau kalian belum tahu apakah murid-murid kalian itu mencinta cucu muridku, belum tahu apakah murid-murid kalian akan menyetujui? Lancang, sungguh lancang! Bagaimana kalau andaikata pinangan kalian diterima kemudian ternyata bahwa murid-murid kalian itu tidak setuju? Bukankah ini berarti kalian menghina kepada yang dipinang?" Kembali dua orang datuk itu saling pandang dengan bingung.

"Tidak, aku tidak menghina, dan aku akan memaksa muridku untuk menyetujui!" kata San-tok.

"Akupun yakin muridku akan setuju, kalau ia menolak, akan kupaksa!"

"Nah, nah, itulah pikiran kekanak-kanakan, main paksa-paksaan. San-tok, pinceng sudah melihat muridmu itu dan agaknya orang seperti ia tidak akan dapat dipaksa, apa lagi untuk menikah dengan pria yang tidak dicintanya. Dan sekelebatan saja melihat muridmu, engkau pun akan mengalami kesulitan yang sama, Tee-tok. Anak-anak seperti mereka berdua itu tidak akan mudah ditundukkan, apa lagi menyangkut kehidupan mereka sendiri, kebahagiaan mereka sendiri."

"Hwesio tua, mengenai muridku, itu adalah urusanku sendiri, engkau tidak perlu ikut campur. Yang penting, engkau terima atau tidak pinanganku?" teriak San-tok.

"Benar, harus diputuskan sekarang siapa di antara kami yang pinangannya diterima, agar tidak membuat kami ragu-ragu dan penasaran," sambung Tee-tok tak mau kalah.

"Omitohud, kalian memang hanya anak-anak kecil belaka. Mana mungkin pinceng dapat mengambil keputusan? Kalau yang kalian pinang itu adalah pinceng, maka tentu saja sekarangpun pinceng dapat mengambil keputusan! Hei, San-tok dan Tee-tok, apakah kalian meminang pinceng untuk dijodohkan dengan murid-murid kalian?" Hwesio itu berkelakar untuk mendinginkan suasana.

"Hwesio tua jangan pecengisan!" San-tok membentak, akan tetapi dari mukanya dapat diketahui bahwa diapun merasa geli dan kemarahannya sudah banyak berkurang.

"Siapa sudi punya mantu seperti kau , tua bangka yang sudah tinggal menanti saatnya saja?" Tee-tok membentak. Siauw-bin-hud tertawa bergelak. Kemudian dia berkata dengan suara yang serius,

"Santok, dengarkan baik-baik. Andaikata kedua murid kalian itu setuju dengan pinangan kalian, andaikata mereka itu mencinta Ci Kong, itupun belum menjadi syarat bagi pinceng untuk menerima pinangan kalian. Yang dipinang adalah Ci Kong dan ini sepenuhnya merupakan urusan dan persoalan dia, maka keputusannya adalah di tangannya sendiri. Kalau dia suka menjadi suami seorang di antara murid kalian, pincengpun setuju saja. Akan tetapi kalau dia tidak suka, siapapun tidak akan dapat memaksanya. Dan pinceng kira kalian akan menjadi guru-guru yang bijaksana kalau bertindak seperti yang pinceng lakukan." Dua orang datuk sesat itu kembali saling pandang dan agaknya mereka dapat melihat kebenaran kata-kata pendeta itu. Mereka kinipun merasa ngeri kalau membayangkan watak murid mereka masing-masing yang keras hati. Memang seharusnya bertanya dulu kepada anak-anak itu.

"Baiklah, aku tunda dulu pinangan itu dan akan kurundingkan dulu dengan muridku. Asal engkau tahu saja isi hatiku yang ingin berbesan denganmu," kata San-tok.

"San-tok, kini engkau harus menceritakan apa rahasia tentang Giok-liong-kiam yang kau ketahui itu," Tee-tok mendesak. San-tok memandang kepada rekannya yang bertubuh pendek kecil berkepala botak hampir gundul itu dan dia tertawa.

"Heh-heh, engkau ini Hwesio bukan tosupun bukan, pendeta setengah matang, cerewet seperti perempuan bawel saja, tidak mau kalah dalam segala hal. kau mau tahu tentang Giok-liong-kiam yang diperebutkan itu? Ha-ha, Giok-liong-kiam yang diperebutkan itu, yang tadinya dirampas oleh Thian-tok dengan menggunakan nama Siauw-binhud, kemudian dicuri kembali oleh Koan Jit, pedang itu adalah pedang Giok-liong-kiam yang palsu."

"Palsu...??" Tee-tok berteriak, sedangkan Siauw-bin-hud juga memandang tajam kepada San-tok. Tentu saja berita ini merupakan berita yang amat penting sekali. Namanya telah dihebohkan karena pedang pusaka itu, bahkan dia telah mempergunakan waktu bertahun-tahun untuk mencari perampas Giok-liong-kiam yang mempergunakan namanya. Bukan itu saja, seluruh tokoh kang-ouw berebutan dan terjadi perkelahian-perkelahian, korban-korban nyawa, dan semua itu untuk memperebutkan sebuah benda palsu!

"Ya, palsu, Giok-liong-kiam di tangan Koan Jit itu adalah pedang yang palsu, ha-ha!" San-tok tertawa-tawa dengan gembira sekali.

"Aku tidak percaya!" Tee-tok membentak, mukanya merah karena dia mengira rekannya itu mempermainkannya.

"Ha-ha-ha, kalau tidak percaya, pergilah kau mencari Koan Jit untuk memperebutkan pedang palsu dengan dia. Ha-ha, memang orang seperti engkau ini lebih patut kalau memperebutkan sebuah benda palsu dari pada mempercaya seorang seperti aku!"

"Omitohud, pinceng percaya ceritamu itu, San-tok," kata Siauw-bin-hud dan suaranya terdengar mengandung kekecewaan. Kalau dia bersusah payah selama bertahun-tahun dan namanya dihebohkan hanya untuk urusan pedang palsu, itu bukan merupakan hal yang mengecilkan hatinya sekarang ini. Akan tetapi yang mendatangkan kecewa adalah kenyataan bahwa kalau pedang itu palsu, berarti harta karun itupun tidak akan bisa ditemukan. Mendengar ucapan tokoh Siauw-lim-pai itu yang mempercayai cerita San-tok, Tee-tok menjadi ragu-ragu dan diapun kini memandang kepada San-tok dengan penuh harapan untuk memperoleh keterangan lebih lanjut.

"Hwesio tua, engkau memang belum pikun dan dapat berpikir secara bijaksana sekali. Aku memang tidak berbohong."
"Siancai..., kalau begitu, musnahlah cita-cita kita bersama untuk mencari harta karun agar dapat dipergunakan membiayai perjuangan rakyat..."

"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Siauw-bin-hud. Akulah yang akan menemukan harta karun itu. Secara kebetulan aku mendapatkan keterangan tentang palsunya Giok-liong-kiam di tangan Koan Jit itu dan bukan hanya itu yang kuketahui. Akupun mengetahui rahasia bagaimana untuk dapat menemukan harta karun itu."

"Kau membual!" teriak Tee-tok.

"Kalau benar demikian, apa maksudmu menceritakan kepada kami tentang kepalsuan Giok-liong-kiam?" Tentu saja Tee-tok merasa curiga karena biasanya, orang-orang seperti mereka, apa lagi Empat Racun Dunia, selalu mempergunakan siasat dan tipu muslihat untuk mengelabui orang lain demi keuntungan diri sendiri. Maka, keterangan San-tok ini tentu tak dapat ditelannya mentah-mentah begitu saja.

"Ha-ha-ha, dasar tolol tetap tolol! Kalau tidak ada sebab-sebabnya, apa kau kira aku begitu bodoh untuk menceritakan ini semua kepada orang seperti engkau, Tee-tok? Sudah kukatakan tadi, rahasia ini tentu saja kusimpan sendiri dan aku bersama muridku akan tertawa geli sampai perut kaku melihat betapa kalian semua orang kang-ouw saling berlumba memperebutkan pusaka yang berada di tangan Koan Jit itu. Tadinya aku memang ingin begitu, melihat kalian seperti anjing-anjing berebutan tulang busuk, sedangkan aku diam-diam akan mengambil dan menikmati harta karun itu. Akan tetapi, setelah pertemuan di pesta Hai-tok, pendirianku berubah. Kita adalah rekan-rekan seperjuangan dan Persatuan demi tanah air ini membuat aku memaksa diri mengesampingkan kepentingan pribadi. Aku sengaja menceritakan agar kalian tidak membuang-buang waktu memperebutkan pusaka palsu itu. Nah, belum juga engkau menghaturkan terima kasih kepadaku, Tee-tok?"

"Terima kasih hidungmu! Engkau masih merahasiakan tempat harta karun dan akan mengambilnya sendiri untuk memiliki Giok-liong-kiam tulen dan mendapatkan sebutan pahlawan dan jagoan nomor satu! Akan tetapi, mengenai perjodohan murid-murid kita, aku tidak mau mengalah kalau engkau hendak memaksa Siauw-bin-hud menyerahkan muridnya!" Mendengar nada suara menantang itu, San-tok mengerutkan alisnya dan menatap wajah rekannya itu dengan tajam.

"Kalau tidak mau mengalah, lalu kau mau apa?"

"Mau apa?" Tee-tok melompat berdiri dan sikapnya menantang sekali.

"Hayo majulah, kau kira aku takut padamu?"

"Cacing pita! Akupun tidak takut!" San-tok juga melompat berdiri.

"Omitohud, kalian ini benar-benar seperti anak kecil." Siauw-bin-hud tahu-tahu sudah berdiri di antara mereka.

"Harta karun belum ditemuka, perjuangan belum dilakukan, dan kalian sudang ingin saling genjot dan saling bunuh sendiri? Pejuang-pejuang macam apa kalian ini? Celaka, kalau semua pejuang seperti kalian, belum apa-apa kita sudah kehabisan tenaga." Dua orang Kakek yang sudah saling melotot itu sadar dan keduanya duduk kembali dengan muka merah.

"Wah, aku memang pelupa dan pemarah. Dia itu yang membikin darah naik!" kata San-tok.

"Maaf, Siauw-bin-hud. Menghadapi orang macam dia itu memang bisa bikin orang lupa daratan!" Watak dan sikap dua orang datuk sesat ini memang menggelikan, seperti anak-anak saja mereka itu. Akan tetapi, bukankah kita semua ini hanyalah anak-anak yang besar tubuhnya saja? Apa bedanya kita dengan anak-anak? Masih selalu memperebutkan sesuatu, masih cengeng, masih suka berkelahi, mesih mengejar-ngejar kesenangan! Kalau orang yang susah menjadi Kakek berhadapan dengan anak cucunya, mungkin dia bersikap seperti seorang Kakek. Akan tetapi sikap ini sesungguhnya dipaksakan berhubung keadaan, karena malu dan merasa tua.

Akan tetapi, kumpulkanlah Kakek-kakek itu dengan teman-teman sebayanya, maka akan kembali menjadi anak-anak nakal! Hal ini tentu dirasakan oleh kita semua yang mau melihat diri sendiri dan tidak berpura-pura! Kita ini hanya anak-anak besar tubuhnya. Tubuh kita memang tumbuh menjadi besar, akan tetapi batin kita kadang-kadang bahkan semakin kecil, sarat dengan segala macam kepalsuan dan pamrih-pamrih tersembunyi, sedangkan anak-anak belum mengenal kepalsuan dan pamrih-pamrihnya tidak tersembunyi. Karena merasa bersalah, Tee-tok lalu memperlihatkan sikap berbaik kembali dengan Santok. Memang para datuk sesat itu aneh wataknya. Mudah tersinggung dan mudah marah sampai tega membunuh kawan, akan tetapi juga tidak mendendam dan mudah melupakan perselisihan antara mereka.

"Hei, San-tok. Engkau sudah mempunyai seorang murid perempuan yang baik, kenapa engkau mengambil murid perempuan bule itu? Untuk apa punya murid seperti itu?"

"Aih, kau tidak tahu! Siapa sudi mempunyai murid seperti itu? Akan tetapi ini semua gara-gara ulah muridku Hong-Hong. Ialah yang memaksaku menerima Diana sebagai murid, dan aku diakali olehnya, kalah janji. Kalau aku tidak mau menjadi guru Diana, berarti aku menjilat ludah sendiri. Sialan!" Mereka lalu bercakap-cakap dengan Siauw-bin-hud, membicarakan keadaan tanah air dan berita-berita yang mereka dengar tentang gerakan para pejuang, tentang kedudukan Koan Jit yang kuat dan tentang cita-cita mereka untuk menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu dan menghalau kekuasaan asing kulit putih. Sementara itu, Diana, Ci Kong dan Kui Eng berjalan-jalan di kebun yang luas itu. Mereka lalu duduk di ujung kebun, jauh dari kuil, di bawah pohon yang rindang di mana terdapat bangku-bangku bersih yang seolah-olah tersenyum mempersilahkan mereka duduk.

Tempat itu memang nyaman sekali. Terdapat rumpun bambu yang gemersik tertiup angin, setiap ujung daun bergerak sendiri-sendiri seperti memiliki kehidupan pribadi, padahal merupakan serumpun, dan semua garis, semua lengkung, semua warna, antara cahaya dan bayangan, membentuk pandangan yang mengandung kesenian bernilai tinggi. Mereka tadi sudah berkenalan sambil berjalan-jalan dan hati Diana girang sekali telah sempat berkenalan dengan penolongnya dan memperoleh sahabat baru yang demikian cantik manis dan gagah perkasa. Diam-diam ia membandingkan Kui Eng dengan Lian Hong dan biarpun hatinya lebih condong kepada sahabat lamanya itu, namun harus diakuinya bahwa teman barunya inipun amat menarik dan mengagumkan.

"Ci Kong, sungguh aku minta maaf kepadamu atas peristiwa tadi. Aku tidak berniat buruk sama sekali dan aku lupa diri." Kui Eng tersenyum lebar melihat wajah pemuda itu menjadi merah sekali.

"Tentu saja engkau tidak berniat buruk dan perbuatanmu itupun tidak buruk, bahkan manis sekali, Diana! Engkau tidak perlu minta maaf karena Ci Kong tentu senang juga dengan perbuatanmu tadi." Tentu saja Kui Eng berkata demikian untuk menggoda sehingga wajah pemuda itu menjadi semakin merah.

"Sudahlah, Diana," Ci Kong berkata dengan halus dan diapun merasa dekat dengan gadis bule ini karena selain pandai sekali berbahasa daerah, juga gadis ini amat akrab, menyebut namanya dan nama Kui Eng begitu saja sehingga mereka segera menjadi akrab dan dapat bercakap-cakap tanpa sungkan-sungkan lagi.

"Segala yang dilakukan tanpa unsur kesengajaan untuk mengganggu orang lain adalah tidak salah. Perbuatanmu itu kau lakukan karena kebiasaan cara hidup di negeri dan bangsamu. Akan tetapi di sini, perbuatan itu bisa dianggap tidak sopan, dan amat mengejutkan orang yang melihatnya."

"Aku tahu, tapi ketika aku melihatmu di sana, sungguh aku menjadi lupa diri dan hanya menurutkan kegembiraan hati saja. Salahmu sih, dahulu itu kenapa engkau pergi begitu saja tanpa pamit? Coba kau bayangkan, Kui Eng, dia baru saja menyelamatkan nyawaku dari ancaman maut, akan tetapi dia terus pergi tanpa pamit. Hati siapa takkan merasa menyesal? Maka begitu bertemu, aku begitu gembira sampai lupa diri."

"Tentu saja, Diana," kata Kui Eng.

"Engkau tahu siapa Tan Ci Kong? Biarpun namanya saja cucu murid Locianpwe Siauw-bin-hud, akan tetapi dia adalah muridnya, murid tunggal yang memiliki kepandaian tinggi. Dia seorang pendekar Siauw-lim-pai dan seorang pendekar besar memang selalu bertindak tanpa pamrih. Satu-satunya yang mendorong perbuatannya hanyalah menentang kejahatan, melindungi yang lemah, dan membela kebenaran dan keadilan. Setelah menyelamatkanmu, berarti tugasnya selesai dan perlu apa dia menanti balasan atau ucapan terima kasih?"

"Begitukah...?" Diana memandang kepada Ci Kong dan matanya yang biru lebar itu terbelalak penuh kagum. Mula-mula Ci Kong balas memandang, akan tetapi melihat betapa mata biru amat indah dan lebar bening itu menatapnya seperti itu, dia tidak berani lama-lama memandang. Sekarang dia mulai merasakan keindahan dan kecantikan wajah gadis bule ini!

"Wah, kalau begitu para pendekar di sini lebih hebat dari pada para ksatria dalam dongeng rakyat di negeriku!"

"Bagaimana dengan pahlawan-pahlawan dan ksatria-ksatria di negerimu?"

"Mereka juga pembela kebenaran dan keadilan, akan tetapi mereka masih ingin memperoleh pahala, terutama sekali memperoleh hadiah gelar dan puteri." Ia kembali memandang wajah pemuda itu.

"Jadi para pendekar di sini yang selalu siap menyumbangkan tenaga dengan taruhan nyawa untuk membela kebenaran dan keadilan, selalu tidak pernah menerima balas jasa apapun?" Kui Eng menggeleng kepala.

"Kalau menerima balas jasa itu namanya bukan pendekar, Diana. Seperti Ci Kong ini, bukan hanya tak pernah menerima balas jasa, bahkan sering menerima air tuba sebagai balas air susu yang diberikan."

"Maksudmu?"

"Dia menolong, akan tetapi yang ditolongnya membalasnya dengan kejahatan."

"Ah, mana mungkin?"

"Mungkin saja! Pernah dia menyelamatkan seorang gadis yang terancam bahaya maut, akan tetapi gadis yang diselamatkan nyawanya itu, tidak berterima kasih malah menyerangnya dan hampir membunuhnya..."

"Kui Eng...! Ci Kong mencoba untuk mencegah gadis itu melanjutkan. Akan tetapi Kui Eng tersenyum, dan berkata,

"Menceritakan hal yang sebenarnya terjadi, tidak ada salahnya."

"Ah, aku tidak percaya. Mana ada orang yang begitu jahat, diselamatkan nyawanya malah menyerang dan hampir membunuh penolongnya dan tidak berterima kasih? Tidak mungkin, mana ada orang seperti itu?"

"Inilah orangnya!" kata Kui Eng sambil menunjuk dada sendiri.

"Ci Kong ini pernah menolongku ketika aku dikepung pasukan pemerintah. Aku sudah terluka dan kehabisan tenaga dan jatuh pingsan ketika Ci Kong menolongku, membawa aku keluar dari kepungan dan menyelamatkan aku dari ancaman maut. Kalau tidak ada dia yang turun tangan, tentu aku sudah mati. Akan tetapi begitu siuman dari pingsan, aku lalu menyerangnya mati-matian!"

"Ihhh...!" Diana berseru kaget dan mengerutkan alisnya.

"Jangan mudah dibohongi, Diana," kata Ci Kong sambil tertawa.

"Kui Eng melakukan serangan itu tanpa disadarinya. Ia mengira bahwa saya seorang musuh, maka ia menyerang mati-matian.
Setelah ia tahu bahwa saya bukan musuh, kami lalu menjadi sahabat baik."

"Ah, kalau begitu aku mengerti. Aku tidak percaya orang seperti kau ini demikian jahatnya, membalas kebaikan dengan kejahatan, Kui Eng." Ia lalu memandang kepada Ci Kong dan sebuah pikiran membuat wajah gadis bule ini berseri dan seperti biasa, ia langsung saja mengatakan apa yang dipikirkannya itu.

"Ah, kalian ini sungguh merupakan sepasang pendekar yang amat cocok! Ci Kong seorang pemuda tanpan dan gagah perkasa berwatak halus dan budiman, sedangkan Kui Eng adalah seorang gadis yang cantik manis dan lihai pula." Mendengar ucapan yang sama sekali tak pernah mereka sangka dilontarkan begitu saja dari mulut Diana, Ci Kong dan Kui Eng saling pandang dan muka mereka mendadak menjadi kemerahan.

"Aih, kau ini ada-ada saja, Diana! Mana mungkin aku disamakan dengan pendekar ini? Dia adalah murid dari Locianpwe Siauw-bin-hud, dia seorang pendekar muda yang perkasa dari Siauw-lim-pai, sedangkan aku? Aku keturunan jahat, dan aku murid seorang datuk sesat yang biasa berkecimpung dalam dunia kejahatan. Diana, kau seperti membandingkan aku sebagai seekor burung gagak dan dia sebagai seekor burung Hong."

"Nona... Kui Eng, jangan engkau berkata demikian." Ci Kong cepat membantah.

"Baik buruknya seseorang nampak dalam sepak terjang kehidupannya, bukan dari keturunan atau perguruannya."

"Cocok!" Diana berkata sambil tertawa.

"Aku sudah mendengar banyak dari suci Lian Hong tentang Empat Racun Dunia. Dan akupun sekarang menjadi murid seorang di antara mereka. Akan tetapi, yang kupelajari adalah ilmu silatnya, bukan perbuatan jahat." Tidak lama kemudian, muncul tiga orang Kakek itu, mengajak murid-murid mereka melanjutkan perjalanan. Tiga orang Kakek itu sudah bersepakat. San-tok hendak melanjutkan usahanya mencari harta karun. Tee-tok ingin menyampaikan kepada rekan-rekan seperjuangan agar menghentikan usaha mereka merampas Giok-liong-kiam dari tangan Koan Jit yang ternyata hanya merupakan benda palsu.

Sedangkan Siauw-bin-hud akan mengabarkan kepada para tokoh besar di dunia para pendekar agar segala permusuhan pribadi antara kau m persilatan dihentikan dulu sehingga seluruh kekuatan dapat dipersatukan untuk perjuangan. Mereka berjanji akan saling bertemu kembali kalau San-tok sudah berhasil menemukan harta karun. Hati Ci Kong merasa berat harus berpisah dari Diana dan Kui Eng, dua orang gadis yang amat menyenangkan hatinya itu. Di dalam perjalanannya mengikuti Siauw-bin-hud kembali ke pusat Siauw-lim-si, Ci Kong membayangkan wajah gadis-gadis yang pernah dijumpainya dan membanding-bandingkan mereka. Dan harus diakuinya bahwa mereka semua itu, Siauw Lian Hong, Ciu Kui Eng, Tang Ki, bahkan juga Diana, merupakan gadis-gadis pilihan yang selain memiliki kecantikan-kecantikan khas, juga mempunyai watak-watak yang aneh dan menarik.

Dia sendiri tidak tahu apakah dia jatuh cinta kepada seorang di antara mereka. Dia tidak tahu bagaimana sih rasanya jatuh cinta itu! Akan tetapi harus diakuinya bahwa dia merasa suka, kagum dan senang bergaul dengan mereka semua dan kalau dia disuruh memilih siapa di antara mereka semua yang paling hebat, sukarlah agaknya bagi dia untuk menentukan. Siauw Lian Hong seorang gadis yang cantik dengan sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar bening dan tajam, dengan wajahnya yang bulat, pendiam, sederhana dan nampak cerdik dan gagah sekali. Ciu Kui Eng seorang gadis yang manis sekali, matanya tajam, mukanya lonjong dengan mulut yang manis sekali, galak, manja akan tetapi juga memiliki sikap dan wajah gagah perkasa.

Sukar dikatakan siapa di antara keduanya itu, Lian Hong dan Kui Eng, memiliki bentuk tubuh yang lebih elok. Keduanya bertubuh padat, penuh, langsing dan berkulit mulus. Tang Ki atau Kiki, jelita dan galak lucu, nakal manja, ditambah manis dengan tahi lalat di pipinya, biarpun nampak galak dan nakal, namun hatinya lembut sekali juga gagah perkasa dan pinggangnya ramping bukan main, agaknya dapat dilingkari dengan jari-jari tangannya. Dan Diana? Wah, gadis ini memiliki kecantikan yang khas dan aneh. Matanya biru laut, rambutnya yang seperti benang emas, kulitnya yang putih kemerahan dengan bulu-bulu halus sekali, tubuhnya yang tinggi ramping, sikapnya yang terbuka, pendeknya, ada daya tarik yang amat kuat keluar dari diri gadis bule itu. Akan tetapi, lamunannya itu dibuyarkan oleh suara gurunya atau juga Kakek gurunya yang berkata dengan nada suara lembut,

"Ci Kong, engkau sudah mendengar sendiri betapa pinceng sudah berjanji untuk membagi tugas pekerjaan dengan para tokoh Empat Racun Dunia. Bagian tugas pinceng adalah membujuk para pendekar di seluruh negara untuk menghentikan permusuhan pribadi dan mau bekerja sama dengan segala golongan, juga golongan sesat, untuk menyatukan tenaga untuk perjuangan. Pinceng sudah terlalu tua, Ci Kong, dan selain belum tentu pinceng akan kuat untuk melaksanakan tugas berat itu, juga pinceng ingin mengaso dan bertapa lagi. Engkau wakililah pinceng melaksanakan tugas itu, pinceng akan bertapa di dalam guha maut di bukit belakang kuil yang sudah kau ketahui tempatnya. Setelah melaksanakan tugas itu selama satu tahun, engkau boleh datang memberi laporan kepada pinceng."

"Baik, su-couw, teecu akan mentaati perintah su-couw," jawab Ci Kong dan Kakek itu lalu meninggalkan dia untuk kembali ke Siauw-lim-si pusat. Ci Kong sendiri, lalu berangkat meninggalkan kuil kecil itu untuk melaksanakan tugasnya yang baginya amat menyenangkan. Dia akan mengunjungi dan bertemu dengan tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw, bukankah hal itu amat menggembirakan? Dengan penuh semangat, Ci Kong lalu berangkat. Kita tinggalkan dulu para tokoh yang sedang berusaha untuk memupuk kekuatan guna perjuangan itu dan mari kita melihat keadaan Gan Seng Bu dan para pejuang yang berkumpul dan tinggal di sebuah dusun sebelah barat Kanton. Mereka itu menyamar sebagai penghuni dusun, bekerja sebagai petani-petani biasa.

Mereka berjuang dengan rahasia, kadang-kadang saja mereka menyelundup ke kota-kota dan menyerang markas-markas pasukan pemerintah penjajah. Gan Seng Bu tinggal pula di antara mereka, bersama isterinya, yaitu Sheila. Suami isteri muda ini, walaupun berlainan bangsa, berbeda kulit, namun ternyata mereka itu saling mencinta dengan murni. Sheila yang mengagumi suaminya, kini sudah dapat menyelami cara hidup para pejuang dan dianggapnya bahwa suami dan kawan-kawannya itu adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, yang patut dihormati. Ia merasa kagum dan menghormati perjuangan suaminya dan para pejuang. Makin nampak olehnya betapa jahatnya politik yang dianut oleh bangsanya sendiri, yang demi mengeduk keuntungan sebanyaknya, tidak segan-segan untuk meracuni sebuah bangsa dengan racun madat,

Bahkan kalau perlu menguasai dan menjajah negara dan tanah air bangsa lain. Cinta kasih yang dicurahkan oleh suami isteri ini telah menghasilkan benih dalam kandungan Sheila. Ia sudah mengandung tiga bulan dan hal ini bukan hanya menggirangkan suami isteri muda itu, akan tetapi juga mendatangkan kegembiraan kepada para kawan seperjuangan karena mereka itu rata-rata sudah dapat menerima Sheila sebagai seorang kawan, berkat sikap Sheila yang amat baik dan juga setia kawan. Kebahagiaan hidup sederhana mereka itu agaknya tidak akan mengalami gangguan. Sama sekali Seng Bu dan isterinya tidak sadar bahwa ada bayangan malapetaka semakin mendekati mereka! Bahaya ini datang dari Koan Jit!

Seperti diketahui, Koan Jit merasa marah, kecewa dan penasaran sekali karena dia gagal menangkap Diana. Apa lagi ketika dia mendengar betapa anak buahnya yang hendak menangkap Sheila telah dihajar babak belur oleh Gan Seng Bu, hatinya menjadi semakin panas. Dia tahu bahwa dirinya menjadi incaran para tokoh diseluruh kang-ouw yang ingin merampas Giok-liong-kiam. Dia sendiri, sekian lamanya memiliki Giok-liong-kiam akan tetapi belum juga mampu menemukan rahasia pusaka itu, rahasia yang sudah didengarnya bahwa pusaka itu menyembunyikan rahasia harta karun yang besar. Sudah dicobanya berbagai macam, namun senjata pusaka itu sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda menyimpan rahasia! Dan dia tahu bahwa dirinya diancam oleh banyak tokoh-tokoh besar yang lihai, yang ingin sekali merampas pusaka itu.

Dan dianggapnya berbahaya sekali baginya, di samping Empat Racun Dunia, juga dua orang sutenya yang telah menguasai ilmu-ilmu yang pernah dipelarinya. Ong Siu Coan dan Gan Seng Bu! Dua orang sute ini merupakan saingan yang cukup berat dan berbahaya, dan kalau mungkin harus segera disingkirkan dari muka bumi! Inilah sebabnya, ketika dia mendengar betapa anak buahnya dihajar oleh seorang pendekar bernama Gan Seng Bu yang telah menikah dengan seorang gadis bule, dia menjadi marah akan tetapi juga girang. Dia telah menemukan di mana sembunyinya sutenya itu. Untuk menyerang ke dusun itu dia tidak berani. Dia maklum bahwa tentu Gan Seng Bu yang terkenal sebagai seorang pejuang penentang pemerintah penjajah itu tidak sendirian di dusun itu, melainkan dengan kawan-kawan seperjuangan.

Kalau dia menyerbu, selain belum tentu akan dapat menang karena dia belum mengetahui kekuatan musuh, juga tentu Gan Seng Bu akan lebih mudah melarikan diri. Dan dia memerlukan sutenya itu untuk dibunuhnya, dan diapun merasa iri bahwa sutenya itu telah dipilih oleh seorang gadis bule yang katanya cantik sekali. Dia harus membunuh sutenya dan merampas wanita itu! Maka, Koan Jit yang selain lihai ilmu silatnya, juga benaknya penuh dengan tipu muslihat itu lalu mengatur siasat. Dusun yang ditinggali para pejuang itu dapat dibilang merupakan dusun pejuang. Penduduk dusun yang tadinya bukan pejuang, begitu melihat keadaan para orang gagah itu, merasa tertarik dan bangkit semangat mereka,

Bahkan para mudanya lalu belajar ilmu silat dari para pendekar dan mereka ikut pula berjaga, bahkan banyak yang sudah ikut aktip kalau kelompok itu mengadakan serangan dan gangguan pada kesatuan-kesatuan tentara kerajaan. Mereka bertempur secara gerilya, menyerbu selagi lawan lemah dan melarikan diri berpencar dan lenyap ke hutan-hutan kalau musuh sudah mampu mengumpulkan kekuatan yang jumlahnya jauh lebih besar dari mereka. Bahkan di antara mereka sudah ada yang membawa-bawa senjata api, yang dapat mereka rampas dari orang-orang kulit putih atau para perwira kerajaan. Dan Sheila berjasa dalam urusan senjata api ini. Ia banyak tahu tentang senjata ini dan ia melatih para pejuang cara mempergunakan senjata api. Pada suatu hari, para pejuang sedang sibuk menggarap sawah.

Kalau tidak berjuang, mereka itu bukan bermalas-malasan, melainkan bersama para petani menggarap sawah karena dari situlah mereka memperoleh ransum. Pagi-pagi itu, terdengar suara derap kaki kuda dan hal ini tidak aneh karena para pejuang itupun mempunyai banyak kuda dan banyak penunggang kuda keluar masuk dusun itu. Akan tetapi, ketika para penghuni dusun itu melihat bahwa dua orang penunggang kuda yang bertubuh tegap dan bersikap gagah itu merupakan dua orang pria yang tidak mereka kenal, beberapa orang pemuda segera berlompatan dan sudah menghadang lalu mengurung dua orang penunggang kuda itu dengan pandang mata penuh curiga. Melihat diri mereka dikepung, dua orang laki-laki itu kelihatan gentar juga dan mereka cepat mengangkat tangan dan seorang di antara mereka berkata dengan suara lantang,

"Saudarasaudara, kami datang bukan dengan niat buruk. Kami datang sebagai utusan dari komandan pasukan Inggeris di Kanton!" Mendengar ini, sudah tentu banyak mata melotot dan muka merah. Para patriot itu, walaupun tidak memusuhi orang-orang kulit putih secara langsung, namun di dalam hati mereka tidak suka kepada orang-orang kulit putih yang menyebar racun madat dan yang juga menduduki beberapa kota pelabuhan setelah perang madat yang berakhir dengan kekalahan pihak pemerintah Ceng yang lemah itu.

"Kalian mata-mata orang bule!"

"Tangkap saja!"

"Bunuh saja!" Dua orang penunggang kuda itu menjadi pucat dan seorang di antara mereka cepat mengeluarkan sebuah sampul panjang dan berteriak.

"Kami datang diutus untuk menyerahkan surat ini kepada nona Sheila Hellway...!!"

"Di sini tidak ada nona Sheila Hellway, yang ada ialah nyonya Gan Seng Bu!"

"Jangan dengarkan ocehan mereka!"

"Awas, mereka tentu mata-mata yang membawa pasukan di belakang mereka!" Untung pada saat itu, saat yang gawat bagi dua orang utusan ini, muncul Sheila yang cepat berseru,

"Kawan-kawan tahan dulu! Coba berikan surat itu kepadaku. Akulah Sheila Hellway!" Dua orang itu nampak lega dan seorang di antara mereka turun, lalu menyerahkan surat bersampul panjang itu kepada Sheila. Orang ke dua masih duduk di atas kudanya, agaknya siap untuk segera melarikan diri kalau ada bahaya mengancam. Para pemuda dusun itu masih mengepung dan semua mata memandang kepada Sheila. Kalau saja pada saat itu Sheila memberi aba-aba untuk menyerang, tentu dua orang utusan itu akan dikeroyok dan dibunuh di saat itu juga.

Sheila tidak mau bertindak sembrono. Dilihatnya dulu sampul itu dengan teliti dan melihat sampul tercetak dengan alamat Kapten Charles Elliot sebagai pengirimnya, diam-diam ia merasa terkejut. Namanya, Sheila Hellway, juga tercetak rapi dan surat itu jelas bukan surat palsu. Dengan hati-hati lalu dibukanya sampul surat dan sebelum membaca isinya, iapun meneliti cap kebesaran Kapten Charles Elliot. Kembali aseli, apa lagi isi surat dalam bahasa Inggeris yang rapi itu menghapus semua kecurigaannya. Memang jelaslah bahwa surat ini datang dari Kapten itu merupakan surat resmi! Dan begitu ia membaca isinya, wajahnya berseri dan semua pemuda yang sejak tadi mengamati itu, merasa lega.

"Kawan-kawan, dua orang ini memang utusan dari Kapten Charles Elliot dan surat ini benar ditujukan kepadaku." Mendengar ucapan itu, semua orang bubaran, hanya ada beberapa orang menjaga dari jauh saja dengan sikap melindungi Sheila dan beberapa orang lagi oleh Sheila dimintai tolong untuk memanggil suaminya yang sedang bekerja di ladang.

Kemudian Sheila mempersilahkan dua orang utusan itu untuk memasuki rumahnya dan dipersilahkan duduk sambil menanti datangnya Gan Seng Bu. Mendengar berita bahwa ada dua orang utusan dari komandan pasukan kulit putih datang mengantarkan surat untuk isterinya, Gan Seng Bu menjadi khawatir bukan main dan cepat dia berlari pulang tanpa mencuci kaki tangannya yang masih berlepotan lumpur. Dengan ilmu berlari cepat dia langsung saja pulang ke rumahnya dan memandang dengan mata penuh selidik ketika melihat dua orang laki-laki tinggi tegap sudah duduk di dalam rumahnya. Melihat kekhawatiran suaminya, Sheila lalu menyongsong dan menggandeng tangannya, lalu memperlihatkan surat itu.

"Aku menerima surat penting dari Kapten Charles Elliot," katanya dengan halus dan tersenyum ramah untuk menghilangkan kekhawatiran suaminya. Melihat sikap isterinya, memang hati Seng Bu menjadi agak lega dan dia membalas penghormatan dua orang utusan itu dengan dingin saja.
(Lanjut ke Jilid 23)

Pedang Naga Kemala (Seri ke 01 - Serial Pedang Naga Kemala)
Karya : Asmaraman S. (Kho Ping Hoo)

Jilid 23
Pernah dia menghajar sekelompok pasukan Harimau Terbang yang menyamar sebagai orang biasa dan diapun curiga apakah dua orang ini bukan anggauta pasukan itu. Dugaannya memang tepat. Dua orang itu memang merupakan dua orang anggauta pasukan Harimau Terbang golongan atas yang dipercaya oleh Koan Jit untuk mengantarkan surat dari Kapten Charles Elliot itu dan memang inilah siasat yang diatur Koan Jit! Dua orang anggauta Harimau Terbang itu, walaupun belum pernah merasakan sendiri kelihaian Gan Seng Bu, namun mereka berdua sudah mendengar dari teman-teman mereka, apa lagi mereka mendengar bahwa orang muda yang tinggi besar dan gagah perkasa ini adalah sute dari pimpinan mereka, tentu saja mereka merasa jerih bukan main.

"Apa maksudmu dia mengirim surat padamu?" tanya Seng Bu. Seperti biasa suaranya ramah dan halus kepada isterinya, akan tetapi alisnya tetap berkerut karena dia merasa tidak enak hatinya. Isterinya tersenyum, maklum akan kecurigaan suaminya terhadap bangsanya.

"Baik kuterjemahkan untukmu." Ia lalu membaca surat itu, sudah diterjemahkannya dengan baik sekali. Ternyata isi surat itu hanya pemberitahuan kepada nona Sheila Hellway bahwa pemerintah Inggeris menganggap Mr. Hellway dan isterinya yang gugur dalam keributan perang madat itu sebagai pahlawan-pahlawan dan kini pemerintah mengambil keputusan untuk minta pertimbangan Sheila, apakah kuburan orang tuanya itu akan dipindahkan ke Inggeris, ataukah dimakamkan kembali secara kehormatan militer. Dan untuk itu, diminta kehadiran Sheila ke markas pasukan Inggeris di kapal, di pantai Kanton. Dengan alis berkerut Gan Seng Bu bertanya,


Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Isteriku, setelah engkau menerima surat seperti itu, lalu bagaimana niatmu?" Sheila tersenyum, masih maklum bahwa suaminya tetap saja berkuatir.

"Tentu saja aku harus datang dan menghadiri upacara itu. Aku akan minta agar makam orang tuaku dikubur di sini saja agar mudah bagiku untuk sewaktu-waktu berziarah."

"Perlu benarkah engkau menghadiri? Bagaimana kalau engkau membalas surat saja menyatakan keinginanmu itu?" Sheila merangkul suaminya, tidak perduli di situ ada dua orang utusan yang memandang mereka dan mencium lembut pipi suaminya. Seng Bu tidak merasa canggung karena memang sudah biasa memperoleh perlakuan seperti itu dari isterinya yang amat bebas memperlihatkan kasih sayangnya.

"Seng Bu, pemindahan kerangka orang tuaku amatlah penting, Bukan? Aku harus menghadirinya sendiri, kalau tidak aku akan selalu merasa menyesal kelak. Jangan khawatir, Kapten Charles Elliot tidak akan berani menggangguku. Aku adalah warga negara Inggeris dan berhak penuh untuk menentukan kemauanku sendiri. Harap jangan khawatir, tidak ada yang akan berani mengganggu diriku." Seng Bu masih mengeritkan alisnya, menoleh kepada dua orang utusan itu dengan sinar mata mencorong sehingga dua orang itu menundukkan muka dengan sikap jerih. Mereka merasa gentar melihat sinar mata yang mencorong dari pendekar itu.

"Kapan engkau akan pergi ke Kanton?" akhirnya Seng Bu bertanya, tidak mempunyai alasan lagi untuk mencegah kepergian isterinya.

"Kurasa sekarang juga, Seng Bu. Hari masih pagi dan aku akan pergi bersama mereka ini. Engkau tidak keberatan, bukan?" Seng Bu memandang ragu, kemudian berkata dengan suara penuh kepastian,

"Sheila, aku tidak keberatan karena memang perlu sekali engkau menghadiri urusan itu, akan tetapi aku akan mengawalmu kesana."

"Seng Bu...!" Sheila membelalakkan matanya. Suaminya adalah seorang pejuang dan tentu saja amat berbahaya bagi Seng Bu untuk muncul di dalam kota Kanton di mana selain banyak terdapat pasukan kulit putih, juga terdapat pasukan pemerintah yang tentu akan menangkapnya karena nama Seng Bu sudah dikenal sebagai pemberontak. Seng Bu tersenyum dan merangkul isterinya, mencubit dagunya dengan mesra sambil berkata,

"Jangan khawatir. Kalau mereka tidak mengganggumu, tentu mereka tidak akan menggangguku pula. Selain itu, apakah engkau tidak percaya kepadaku bahwa aku dapat membela dan melindungi diriku sendiri, termasuk dirimu?"

"Tapi itu berbahaya sekali, Seng Bu!"

"Tidak kalah besarnya dengan bahaya yang mengancammu, Sheila. Kita pergi berdua atau kita tidak pergi sama sekali." Sheila mengenal kekerasan hati suaminya. Ia berpikir bahwa di markas Inggeris, ia akan mampu melindungi suaminya. Tak seorangpun di sana akan berani mengganggu Seng Bu yang sudah menjadi suaminya, Ayah dari calon anak mereka. Kapten Charles Elliot adalah seorang gentleman tulen, tidak mungkin mau bertindak curang. Maka iapun mengangguk.

"Baiklah, mari kita pergi bersama." Mereka lalu berkemas. Kawan-kawan seperjuangan Seng Bu banyak yang merasa cemas, mengkhawatirkan keselamatan mereka yang akan pergi ke Kanton. Akan tetapi setelah Sheila mengemukakan pendapatnya, merekapun merasa lega dan hanya memesan kepada Seng Bu agar berhati-hati. Suami isteri ini menunggang kuda dan diiringkan oleh dua orang utusan itu, menuju ke Kanton. Perjalanan itu berlangsung dengan selamat dan menjelang senja, mereka memasuki Kanton.

Benar saja, tidak ada gangguan dan merekapun langsung menuju ke pantai di mana terdapat beberapa buah kapal Inggeris yang besar dan diperlengkapi meriam-meriam besar. Banyak nampak serdadu-serdadu Inggeris di pantai hilir mudik, dan banyak pula mata yang menatap ke arah Sheila dengan sikap kurang ajar. Akan tetapi hal seperti ini sudah biasa dihadapi Sheila maka iapun pura-pura tidak melihat saja dan bersama suaminya lalu dibawa ke atas sebuah perahu yang membawa mereka langsung ke sebuah kapal besar yang tidak dapat menepi dan melepas jangkar agak jauh di tengah lautan. Kapten Charles Elliot sendiri setelah diberitahu, lalu keluar menyambut kedatangan Sheila dan Seng Bu. Kapten ini menyambut Sheila dengan wajah berseri, menjabat tangan Sheila dengan erat dan berkata dengan girang,

"Sungguh bahagia sekali melihat engkau dalam keadaan sehat dan selamat, nona Sheila Hellway. Berbulan-bulan lamanya kami dibuat gelisah oleh berita tentang dirimu. Selamat datang di kapal kami!" Sheila menyambut uluran tangan itu dan berkata dengan lembut dan ramah namun suaranya tegas.

"Kapten, saya bukan lagi nona Sheila Hellway melainkan nyonya Gan Seng Bu, dan inilah suami saya." Sheila memperkenalkan suaminya dengan maksud agar kapten itu menyambut suaminya sebagaimana mestinya. Akan tetapi, kapten itu hanya menoleh dan memandang kepada Gan Seng Bu sejenak. Seorang pemuda bertubuh tegap, berpakaian seperti petani sederhana, masih lebih sederhana dari pada kuli-kuli pelabuhan, bagaimana dia sudi menyambutnya seperti seorang tamu? Dia diam saja dan kembali memandang kepada Sheila.

"Nona Hellway, mari kita bicara di kantorku. Kita harus merundingkan urusan pemindahan makam orang tuamu itu dengan para pejabat lain. Mari, silahkan!" Dan dengan sopan sekali kapten itu memberikan lengannya untuk digandeng Sheila. Tentu saja Sheila memandang ragu.

"Kapten, saya hanya mau bicara kalau disertai suamiku."

"Ahh, mana mungkin itu, nona? Urusan ini adalah urusan intern, urusan dalam di antara bangsa kita sendiri dan amat penting. Biarlah dia menanti di sini dulu, nanti kalau rapat yang kita adakan sudah selesai, engkau boleh datang kembali menjemputnya di sini. Aku akan merasa canggung, tidak enak dan akan menjadi buah tertawaan kalau dia diajak memasuki ruangan perundingan." Sheila masih ragu-ragu, akan tetapi Seng Bu merasa tidak enak sendiri. Dia dapat mengerti alasan-alasan yang diajukan oleh kapten itu, maka diapun berkata,

"Sheila, pergilah, biar aku menanti di sini." Terpaksa Sheila menggandeng lengan Kapten Charles Elliot yang mengajaknya menuju ke ruangan luas di ujung kapal di mana telah menanti beberapa orang yang pakaiannya gemerlapan, yaitu orang-orang berpangkat dari pasukan armada Inggeris yang berada di situ. Semua orang bangkit berdiri dan memberi hormat ketika Sheila masuk dan wanita ini yang sudah hampir satu tahun hidup di antara orang-orang dusun sederhana, merasa betapa ganjil dan anehnya sikap sopan santun dan hormat seperti itu yang kini nampak seolah-olah merupakan sikap dibuat-buat saja.

Mereka lalu mengambil tempat duduk dan mulailah mereka merundingkan urusan pemakaman kembali jenazah keluarga Hellway yang dianngap gugur sebagai pahlawan! Pahlawan! Sungguh merupakan suatu sebutan yang muluk dan terhormat, bahkan mungkin diidamkan oleh semua orang. Siapa yang tidak ingin menjadi orang yang disebut pahlawan, atau setidaknya menjadi keluarga pahlawan? Seorang pahlawan adalah seorang yang sudah dianggap berjasa untuk negara dan bangsa, seorang yang perbuatannya patut dijadikan teladan dan dihormati semua orang, dari pembesar yang paling tinggi sampai rakyat yang paling rendah. Akan tetapi, apa dan siapakah sesungguhnya pahlawan?

Pahlawan hanyalah seorang yang dianggap menonjol dan berjasa bagi suatu pihak, suatu golongan, suatu kelompok, atau suatu bangsa. Seorang yang dianggap pahlawan besar bagi suatu bangsa, belum tentu dianggap pahlawan pula oleh bangsa lain, apa lagi kalau bangsa lain ini kebetulan menjadi lawan bangsa yang pertama. Pahlawan dari suatu bangsa mungkin akan dianggap penjahat besar oleh bangsa yang menjadi musuhnya. Dan bukankah pahlawan itu hanya merupakan suatu sebutan saja, yang diberikan untuk merangsang semangat semua orang yang tenaganya dibutuhkan untuk suatu perjuangan? Setelah meninggal dunia, makamnya lalu dibikin bagus, dihormati setahun sekali hanya untuk waktu beberapa menit saja, kemudian ditinggalkan dan dilupakan lagi, bersunyi sepi terlupakan di antara kuburan-kuburan lain.

Atau keluarganya mungkin akan menerima sekedar sumbangan. Bukankah semua ini hanya merupakan semacam piala atau medali saja bagi orang untuk merangsang orang-orang lain? Dan orang yang berjuang demi mencari sebutan pahlawan atau keuntungan lain, baik keuntungan benda atau batin, kiranya hanya orang-orang pengejar keuntungan saja namanya. Seorang pahlawan yang sesungguhnya pahlawan adalah orang yang melakukan sesuatu demi pengabdiannya akan sesuatu yang diagungkan, dimuliakan, tanpa mengharapkan jasa. Berjuta pahlawan di dunia ini, yaitu mereka yang meninggalkan harta benda, keluarga, untuk berjuang membela negara dan bangsa, tanpa pamrih, kemudian gugur tanpa ada yang mengenalnya.

Mati begitu saja, tidak diberi cap pahlawan, tidak dihormati setiap tahun beberapa menit lamanya, tidak memperoleh tunjangan terhadap keluarganya yang ditinggalkan. Mereka itulah pahlawan dalam arti yang seluas-luasnya. Semoga damai abadilah bagi mereka itu! Setelah mengikuti kepergian isterinya bersama Kapten Charles Elliot sampai mereka lenyap di dalam ruangan kamar di ujung kapal, barulah Seng Bu sadar bahwa dia tidak berdiri sendiri saja. Di sekelilingnya telah berkerumun banyak orang dan ketika dia menoleh karena ada sesuatu di belakangnya yang menarik perhatiannya, dia tertegun karena dia telah berhadapan dengan Koan Jit! Dia masih ingat benar wajah orang ini, orang tinggi kurus memakai jubah kebesaran berwarna hitam, dengan sepasang matanya yang seperti mata kucing, dengan wajahnya yang membayangkan kekejaman dan kelicikan.

Hanya kini, orang yang pernah dijumpainya satu kali ketika orang ini datang di puncak Tai-yun-san dan mencoba kepandaiannya dan kepandaian Ong Siu Coan, kemudian orang ini mencuri pusaka Giok-liong-kiam, telah berubah pakaiannya. Mengenakan jubah seorang pembesar, dan kepalanya juga memakai kopyah atau topi batok seperti topi yang biasa dipakai oleh seorang pembesar Mancu, rambutnya dikuncir tebal dan ujungnya diikat pita kuning, sikapnya congkak sekali. Dan beberapa orang yang berada di dekatnya adalah beberapa orang opsir dan perajurit bule dan juga beberapa orang yang mengenakan pakaian pasukan Harimau Terbang! Seng Bu sudah dikurung! Menghadapi ancaman ini, Seng Bu sudah siap siaga dan melihat pemuda itu memasang kuda-kuda, Koan Jit menyeringai.

"Huh, bocah sombong, apakah engkau masih ingat padaku?" Seng Bu marah sekali.

"Siapa tidak ingat padamu? Sekali saja melihat seorang murid murtad, seorang maling dan seorang pengkhianat yang curang, selamanya aku takkan lupa!" Tentu saja Koan Jit marah sekali mendengar dirinya dimaki di depan banyak orang. Diasegera meneriakkan aba-aba kepada para perajurit kulit putih,

"Tangkap orang ini!" Seng Bu hendak memberontak, akan tetapi beberapa orang perajurit kulit putih sudah mendorongkan pistol ke dadanya. Seng Bu maklum bahwa kalau dia melawan dengan nekat, selain dia harus menghadapi Koan Jit yang lihai, juga harus menghadapi senjata api yang tak boleh dipandang ringan. Apa lagi isterinya masih berada di situ, maka dia tidak melawan. Bahkan dia tidak melawan ketika seorang serdadu Inggeris yang bertubuh tegap dan berkumis menelikung kedua lengannya ke belakang dan memasang belenggu. Dia hanya memandang kepada Koan Jit dengan mata berapi.

"Koan Jit, dengan alasan apa engkau menangkapku? Aku datang mengantar isteriku yang diundang sebagai tamu oleh Kapten Elliot!" Koan Jit tertawa menyeringai dan menekan tangan kirinya di atas langkan besi di tengah kapal itu.

"Heh-heh, tentu saja. Nona Sheila Hellway memang menjadi seorang tamu terhormat, akan tetapi engkau ini siapa? Engkau seorang pemberontak, engkau seorang penjahat yang suka memusuhi golongan dan pasukan Inggeris!"

"Bohong! Fitnah! Aku datang mengantar isteriku, Sheila!"

"Engkau memata-matai kapal ini! Hayo jebloskan dia ke dalam kamar tahananku di bawah!" Seng Bu maklum akan datangnya bahaya maka diapun cepat menggerakkan khikangnya dan berteriak,

"Sheilaaaa...!!" Akan tetapi pada saat itu, Koan Jit sudah menotoknya sehingga pendekar itu menjadi lemas tak berdaya lagi, tak mampu melawan ketika dia diseret masuk ke tampat tahanan di bagian bawah kapal. Biarpun demikian, teriakan yang mengandung khikang amat kuatnya itu telah menembus dinding tebal dan terdengar oleh Sheila. Tentu saja wanita ini terkejut dan bangkit dari kursinya. Tadi ia asyik membicarakan tentang pemindahan kerangka Ayah ibunya dan ia mengajukan permohonan agar kerangka itu dikubur di daerah Kanton saja, jangan dibawa pulang ke Inggeris. Juga Kapten Charles Elliot dan yang lain-lain bangkit berdiri ketika mendengar pekik yang nyaring memanggil nama Sheila itu. Tentu saja Kapten itu sudah dapat menduga apa yang terjadi, akan tetapi dia pura-pura berkata kepada Sheila,

"Akan kulihat apa yang terjadi di sana."

"Yang berteriak tadi suamiku!" kata Sheila, juga mengikuti kapten yang sudah berlari keluar. Kapten Elliot dan Sheila, juga beberapa orang pejabat yang tadi ikut rapat, mendengar keterangan dari beberapa orang penjaga bahwa teriakan tadi memang teriakan Gan Seng Bu yang ditangkap dengan tuduhan sebagai penjahat dan pemberontak.



Dewi Ular Eps 5 Kemelut Kerajaan Mancu Eps 10 Kisah Si Pedang Kilat Eps 24

Cari Blog Ini